• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUAT"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIKUM

PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUATAN TAPE DARI

SINGKONG

Dibuat oleh:

Yesaya Reuben Natanael

(2313100146)

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI TEKNIK

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

(2)

LAPORAN RESMI

PEMBUATAN TEMPE DARI KEDELAI DAN PEMBUATAN TAPE DARI

SINGKONG

I. Tujuan

I.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai

Untuk mengetahui bahwa jamur dapat memfermentasikan suatu bahan sehingga mudah

dicernakan oleh usus.

I.2 Pembuatan Tape dari Singkong

I.2.1 Untuk mengetahui cara penerapan bioteknologi dengan fermentasi tape.

I.2.2 Mengetahui peranan organisme Saccharomyces cereviceae dalam peragian.

Pengamatan

II.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai

Percobaan pembuatan tempe dari kedelai menggunakan mikroorganisme Rhizopus oryzae.

Tabel II.1.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan

(3)

d. Rasa: - d. Rasa: -

c. Tekstur: Permukaan halus dan agak

empuk

d. Rasa : Tidak ada rasa asam

Tabel II.1.2 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan

Plastik

(4)

a. Warna: Putih

Tabel II.1.3 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan

Daun Pisang

Waktu Pengamatan Variabel

Daun Pisang Terbuka Daun Pisang Tertutup

(5)

2. Kondisi tempe:

d. Rasa: Tidak ada rasa asam

(6)

II.2 Pembuatan Tape dari Singkong

Percobaan pembuatan tape dari singkong menggunakan mikroorganisme

Saccharomyces cereviciae.

Tabel II.2.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tape dari Singkong dengan Menggunakan

Daun Pisang

Waktu Pengamatan Hasil Pengamatan

24 jam

1. Kondisi jamur:

Tumbuh jamur dan tidak mengalami kontaminasi

2. Kondisi tape:

a. Warna: Putih pucat kekuningan

b. Bau: Bau tape dan alkohol kurang menusuk

c. Tekstur: Lembek ada bagian permukaan saja

d. Rasa: rasanya kurang manis

3. Kondisi jamur:

Tumbuh jamur dan tidak mengalami kontaminasi

4. Kondisi tape:

a. Warna: Putih kekuningan

b. Bau: Aromanya asam

c. Tekstur: Lembek hingga bagian tengahnya

(7)

II. Pembahasan

III.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui bahwa jamur dapat memfermentasikan suatu

bahan agar mudah dicerna oleh usus. Tempe adalah produk fermentasi oleh jamur dengan bahan

baku kacang kedelai yang telah direndam dan dimasak supaya lembut. Hasil fermentasi kacang

kedelai oleh jamur ini menghasilkan tekstur yang padat, dan kaya protein, sehingga banyak

digunakan sebagai bahan olahan pengganti protein hewani/daging yang biasa disebut „mock

burgers‟ di Amerika Serikat. Tempe sangat populer utamanya di Indonesia dan acapkali disebut

sebagai kuliner nasional (Babu,2009). Jamur yang digunakan untuk fermentasi adalah genus

Rhizopus, beberapa jenis jamur dari genus Rhizopus yang banyak digunakan adalah Rhizopus

stolonifer, Rhizopus arrhizuz, Rhizopus oryzae, dan Rhizopus formosaensis. Pada ragi tempe

komersial umumnya ditemukan tidak hanya jamur kapang, namun juga ragi, bakteri gram-negatif,

dan bakteri asam laktat (Babu,2009).

Tempe secara umum dapat dibuat dari beberapa jenis kacang-kacangan, namun pada kali ini

pembuatan tempe dilakukan menggunakan bahan baku kacang kedelai. Kacang kedelai, layaknya

kacang-kacangan lain merupakan bahan yang kaya protein dan nutrisi pada umumnya. Kacang

kedelai memiliki 35% kandungan protein dan memiliki delapan asam amino esensial (Shurtleff dan

Aoyagi, 2001) . Hasil fermentasi kacang kedelai, seperti tempe, memiliki kandungan protein yang

lebih tinggi bila dibandingkan dengan daging ayam dan sapi, dimana tempe memiliki kandungan

protein sebesar 43% (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Namun, secara umum, banyak dari produk yang

terbuat dai kacang-kacangan akan sulit untuk dicerna oleh tubuh, tetapi tidak demikian untuk

tempe, karena pada proses pembuatannya menyebabkan tempe menjadi tidak memproduksi gas

dalam perut, menurunkan tingkat oligosakarida (senyawa kompleks gula), bahkan membantu

memecahkan beberapa lemak dan protein sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh (Shurtleff dan

Aoyagi, 2001).

Penggunaan kacang kedelai yang berkualitas baik akan sangat memengaruhi hasil dari

tempe yang dibuat, maka langkah pertamanya ialah memilih kacang kedelai yang berkualitas.

Pemilihan ini dapat dilakukan dengan merendam kacang kedelai dalam air kemudian membuang

kacang yang mengambang, membuang kacang kedelai yang berwarna kehitaman, dan kotoran yang

kasat mata. Selanjutnya kacang kedelai dicuci dengan air bersih agar semua kotoranya hilang.

Setelah bersih, kacang kedelai direbus selama kurang lebih 30 menit. Tujuan dilakukan perebusan

(8)

kedelai direndam dalam air perebus dimana air perebus telah ditambahkan cuka sebanyak 10 ml

asam cuka per liter air perebus selama satu malam sehingga diperoleh pH kacang kedelai dan

larutannya sebesar 5. Tujuan dari menurunkan pH kacang kedelai adalah untuk menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Pertumbuhan jamur Rhizopus sp. tidak

terganggu. Jamur dapat tumbuh baik pada pH diatas 3,5 dan tetap tumbuh pada pH yang lebih asam

namun akan lebih lambat proses pertumbuhannya (Babu, 2009). Selain itu perendaman bertujuan

untuk membuat kacang kedelai dapat menyerap air, sehingga pertumbuhan jamur pada saat

penambahan bibit tempe akan lebih maksimal.

Setelah direndam selama satu malam, proses selanjutnya ialah membuang kulit ari dari

kacang kedelai. Proses pembuangan kulit ari dapat dilakukan dengan menggosok kacang kedelai

dengan tangan, namun cara yang efektif ialah dengan menginjak-injak kacang kedelai, lalu

dimasukan ke dalam air sehingga kulit ari kacang kedelai tersebut akan mengambang dan dapat

dipisahkan dari kacang kedelai. Tujuan dari pemisahan dari kulit ari kacang kedelai adalah untuk

medorong pertumbuhan jamur agar lebih baik (Babu, 2009).

Setelah kulit ari dibuang, kacang kedelai direbus kembali dengan air bersih. Perebusan

dilakukan selama 90 menit dengan air mendidih. Tujuan dari perebusan ini ialah agar kacang

kedelai menjadi lebih lunak dan lebih mudah difermentasikan oleh jamur selain itu serta membuat

bakteri yang lain yang tumbuh pada saat proses perendaman akan mati dengan panas dari air yang

mendidih. Proses berikutnya ialah menaruh kacang kedelai pada nyiru agar suhu kacang kedelai

turun sampai suhu 37-38oC dan juga agar kacang kedelai tidak terlalu basah pada saat ditambahkan bibit tempe. Hal ini dilakukan karena suhu 37-38oC merupakan suhu optimal dilakukannya inokulasi jamur pada kacang kedelai (Babu, 2009). Pada proses inkubasi maupun penambahan

kacang kedelai tidak boleh berkontak dengan air, sehingga harus terlebih dahulu dikeringkan (Babu,

2009).

Proses selanjutnya ialah menambahkan bibit tempe ke dalam kacang kedelai. Jumlah ragi

yang cukup harus tepat agar dapat dihasilkan tempe yang baik. Ragi tempe yang ditambahkan

sebanyak 2 gram / kg kacang kedelai. Pada saat penambahan ragi pada kacang kedelai, hal ini harus

dilakukan hingga ragi tercampur dengan rata. Hal ini dapat dilakukan dengan mencampur ragi

dengan tangan, sehingga ragi tempe tercampur rata pada kacang kedelai.

Kacang kedelai yang telah ditambahi dengan ragi kemudian dibungkus dengan 6 variabel

pembungkusan yang berbeda, yaitu dengan plastik berlubang, plastik tanpa lubang, daun pisang

(9)

yang tertutup. Cawan petri yang digunakan telah sebelumnya disterilisasi dengan cara dibersihkan

dengan alkohol 70% dengan tujuan untuk memusnahkan semua mikroorganisme yang berada di

cawan petri tersebut. Berat kacang kedelai untuk cawan petri ialah 50 gram, sedangkan untuk daun

pisang dan plastik masing masing 98 gram. Secara umum, variabel-variabel yang berbeda ini

dimaksudkan untuk mengetahui kondisi terbaik untuk membuat tempe berdasarkan ketersedian

udara.

Setelah itu kacang kedelai yang sudah diberi ragi dan dibungkus dengan variabel-variabel

yang berbeda ini diinkubasikan selama 45 jam pada suhu 37 oC, diamati pada 24 jam pertama dan pada 48 jam masa inkubasi. Suhu 37 oC merupakan suhu optimal jamur Rhizopus sp untuk tumbuh (Babu, 2009). Dari penilitian, suhu dibawah 45oC dan diatas 25oC masih memberikan hasil pertumubuhan jamur yang memuaskan, akan tetapi bila inkubasi dilakukan pada suhu 25 oC proses

fermentasi kacang kedelai untuk menjadi tempe membutuhkan waktu selama 5 hari, atau 5 kali lipat

lebih lama daripada fermentasi pada suhu optimalnya, 37 oC (Babu, 2009).

Pengamatan setelah 24 jam masa inkubasi terlihat bahwa kacang kedelai yang dibungkus

daun pisang berlubang dan daun pisang tidak berlubang terdapat hifa putih pada kacang kedelai.

Namun hanya terlihat sedikit substrat putih, dan kacang masih terpisah-pisah. Sementara pada

tempat lainya seperti pada petridish dan plastik, tidak terlihat adanya substrat putih atau

pertumbuhan hifa disana dan kondisi kacang kedelai masih terpisah pisah. Pengamatan awal ini

menandakan bahwa supaya jamur Rhizopus oryzae dapat tumbuh dan memfermentasikan tempe,

namun belum dapat disimpulkan apa apa mengenai peranan oksigen pada pertumubuhan jamur

tersebut. Pada pengamatan 24 jam, tekstur tempe pada umumnya belum terbentuk. Hal ini

menandakan bahwa fermentasi tempe belum selesai dan tempe belum matang. Maka selanjutnya

dimasukan kembali pada inkubator dengan suhu 37 oC.

a b

(10)

a b

Gambar III.1.2 Tempe pada plastik yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 24 jam

a b

Gambar III.1.3 Tempe pada petridish yang terbuka (a) dan tertutup (b) 24 jam

Pada pengamatan 46 jam, tempe yang dibungkus dengan daun pisang berlubang, plastik

berlubang, dan cawan petri tertutup, telah terbentuk tempe yang matang. Tempe yang terbentuk

memiliki tekstur tempe yang keras, padat dan kokoh, hal ini ditandai ketika tempe dipotong, tempe

masih bertekstur cake yang kuat di mana kacang kedelai tidak berjatuhan. Menurut literatur, tempe

yang baik ketika kacang kedelai terlekat secara kokoh dan kompak, terselimuti miselium putih

secara merata dan memiliki karakteristik yang padat (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Maka dapat

dikatakan bahwa tempe pada daun pisang berlubang, plastik berlubang dan cawan petri tertutup

merupakan tempe yang baik. Sementara itu pada tempe yang dibungkus dengan daun pisang tidak

berlubang, terdapat miselium cukup merata namun terdapat beberapa bagian yang masih tidak

padat, sehingga bukanlah tempe yang baik. Pada cawan petri terbuka terdapat warna hitam yang

menandakan jamur ini telah bersporulasi akibat fermentasi yang terlalu lama serta ada kemungkinan

terjadinya kontaminasi. Sementara tempe yang dibungkus dengan plastik tertutup tidak terlihat

adanya pertumubuhan dari jamur yang ditandai tidak adanya miselium yang terbentuk maupun hifa

(11)

a b

Gambar III.1.4 Tempe pada daun pisang yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 48 jam

a b

Gambar III.1.5 Tempe pada plastik yang dilubangi (a) dan tertutup (b) 46 jam

a b

Gambar III.1.6 Tempe pada petridish yang terbuka (a) dan tertutup (b) 46 jam

Dari hasil percobaan, menunjukan bahwa jamur membutuhkan asupan udara yang cukup

untuk dapat tumbuh, namun udara tersebut tidak dapat terlalu banyak. Secara umum, jamur

membutuhkan keberadaan oksigen untuk tumbuh (Babu, 2009). Hal ini sesuai dengan percobaan

dimana pada konndisi plastic tertutup dimana udara sama sekali tidak dapat masuk, tidak terjadi

pertumbuhan jamur. Pada daun pisang tertutup, tetap ada udara yang masuk dari pori daun namun

jumlahnya sangat sedikit, sehingga pertumbuhan terjadi namun tidak maksimal. Sedangkan untuk

cawan petri tertutup, daun pisang berlubang serta plastik berlubang, pertumbuhan jamur sangat baik

karena mendapat asupan oksigen yang cukup. Namun faktor lain yang menentukan pertumbuhan

(12)

dengan udara, dan ketika dimasukan ke dalam inkubator, menyebabkan kurang lembabnya

lingkungan tersebut, dibuktikan dengan keadaan kacang kedelai yang kering. Hal ini menyebabkan

pertumbuhan jamur kurang maksimal, sehingga pada cawan petri terbuka tidak terbentuk tempe

yang baik. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa supaya jamur dapat memfermentasi tempe

dibutuhkan asupan udara yang cukup agar jamur dapat berkembang dengan baik, serta kelembaban

yang tinggi (Babu, 2009).

Maka dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa jamur Rhizopus oryzae dapat

memfermentasi kacang kedelai menjadi tempe yang mudah dicerna usus. Tempe lebih mudah

dicerna oleh usus dibandingkan dengan kacang kedelai. Fermentasi membuat kacang kedelai

menjadi lebih lembut dan lunak karena jamur yang ada pada proses fermentasi mencerna nutrien

dasar menjadi bentuk solid yang dapat larut dan nitrogen (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Enzim

protease yang terdapat pada jamur juga memecahkan protein menjadi asam amino, agar lebih

mudah dicerna oleh usus, sedangakan enzim lipase memecah lipid menjadi asam lemak, sehingga

lebih mudah dicerna oleh usus (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Proses fermentasi juga

menghilangkan bakteri, bau, dan rasa yang tidak diinginkan dari kedelai (Shurtleff dan Aoyagi,

2001).

III.2 Pembuatan Tape dari Singkong

Tujuan dari percobaan pembuatan tape singkong ini adalah untuk mengetahui penerapan

bioteknologi dengan fermentasi tape dan peranan organisme Saccharomyces cerevisiae dalam

peragian. Salah satu penerapan bioteknologi yang telah diterapkan sejak lama adalah fermentasi.

Fermentasi makanan telah dilakukan sejak lama untuk memproses dan mengawetkan makanan.

Makanan yang difermentasi pada umumnya memiliki rasa yang enak, dan umumnya memiliki bau,

tekstur yang baik serta baik untuk disimpan pada keadaan ambien (Law, 2011).

Tape merupakan suatu produk makanan yang dibuat oleh proses fermentasi. Umumnya tapai

berbahan dasar ketan (Oryza sativa glutinosa), namun selain itu singkong (Manihot utilissima)

sering digunakan sebagai bahan untuk difermentasi (Law, 2011). Manusia telah memfermentasi

umbi-umbian selama lebih dari 1000 tahun. Fermentasi meningkatkan kandungan nutrisi, tekstur,

dan rasa dari ubi kayu (Law, 2011). Fermentasi tape berlangsung secara fakultatif anaerobik, dan

alkoholik di mana fermentasi ini menghasilkan alkohol sebagai produk samping selain produk

akhir. Fermentasi dilakukan oleh khamir (Saccharomyces cerevisiae) dan kapang (Aspergillus sp.).

(13)

Tabel III.1.1 Komposisi kandungan kimia singkong dan tape (per 100 gram)

Pada pembuatan tapai, digunakan ragi tapai sebagai bahan atau zat yang berfungsi untuk

memfermentasi. Salah satu cara membuat ragi yang sering dilakukan pada desa yaitu ragi dibuat

dengan mencampur beberapa bahan yaitu, tapung beras, bawang putih, akar tumbuhan Alpina

galanga, lada hitam, lada putih, cabai merah, kayu manis, buah adas, gula tebu, lemon, dan air

kelapa. Beberapa tetes sari jahe ditambahkan, dan air juga ditambahkan sehingga adonan tebal yang

kemudian dicetak. Adonan yang sudah dibentuk ini kemudian diletakkan pada suatu tempat yang

bebas angin selama 2-3 hari, dimana tempat ini sebagai fermentasi natural. Selanjutnya adonan

kemudian dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari. Ragi tape merupakan campuran beberapa

mikroorganisme antara lain Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor

sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Sacharomyces cerevisiae, dan beberapa bakteri :

Pediococcus sp., Bacillus sp.

(Gandjar, 2003)

Pada percobaan ini digunakan bahan baku berupa tape singkong dan ragi tapai. Hal pertama

yang dilakukan ialah mengupas singkong dan mengupas bagian kulit arinya dengan kesat

(mengerok bagian lendirnya). Setelah dikupas singkong, lalu singkong dicuci dengan air bersih.

Selanjutnya singkong kemudian dikukus menggunakan dandang hingga ¾ matang yang ditandai

dengan singkong yang sudah dikukus ini bisa ditusuk dengan garpu. Tujuan pengukusan adalah

agar singkong lebih lunak dan lebih mudah dipecahkan oleh mikroorganisme yang

memfermentasikan singkong tersebut. Selanjutnya singkong ditiriskan. Tujuan meniriskan singkong

adalah agar singkong tidak terlalu basah karena berpotensi menyebabkan singkong membusuk dan

juga agar suhu singkong lebih dingin agar pada saat penambahan ragi dapat tumbuh dengan baik.

(14)

dengan daun pisang. Selanjutnya ragi tapai dibalurkan ke singkong secara merata. Penambahan ragi

tidaklah terlalu banyak karena bila penambahan ragi terlalu banyak dapat mempercepat proses

fermentasi dan dapat membuat tape menjadi rasnaya asam dan bahkan berpotensi menjadi racun

(Gandjar, 2003). Selanjutnya singkong ditutup dengan daun pisang dan ditutup dengan rapat dan

diinkubasikan pada suhu 30 oC pada inkubator. Pada proses inkubasi juga tidak dapat dilakukan terlalu lama karena dapat membuat tape menjadi sangat asam (Gandjar, 2003). Secara umum proses

fermentasi yang terjadi ialah:

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2

Glukosa Etanol Karbondioksida

Proses ini terjadi secara anaerob atau dalam artian tanpa adanya oksigen pada lingkungan terjadinya

proses fermentasi. Namun bila dijabarkan lebih lanjut, pada fermentasi ini ialah pati yang dipecah

menjadi maltose lalu glukosa, sehingga terbentuk asam piruvat dan baru terbentuklah etanol. Jadi

fermentasi yang terjadi pada singkong ialah memecah pati dari singkong menjadi suatu etanol pada

proses yang anaerob. Secara umum, proses pemecahan pati menjadi glukosa merupakan peranan

dari khamir ataupun kapang, dan ragi tape berperan mengubah glukosa menjadi alkohol (Rukmana,

2001). Saccharomyces cerevisiae yang terdapat pada ragi tape berperan besar dalam

mendekomposisi glukosa menjadi alkohol.(Gandjar, 2003).

(15)

Setelah 24 jam inkubasi, tape diamati. Hasil tape myang didapatkan bahwa rasa dari tape

belum terlalu manis, dan belum tercium bau alkohol yang terlalu kuat, sementara itu tekstur dari

tape empuk dan basah pada bagian luarnya saja, dengan warna putih.

Gambar III.2.2 Tape setelah pada 24 jam

Pada pengamatan tape yang diinkubasikan selama 46 jam, uji organoleptik menandakan

bahwa rasa dari tape manis dengan sedikit asam, dengan bau alkohol, tekstur tape empuk dan basah,

dengan warna putih kekuningan dengan terlihat serbuk putih. Sesuai dengan literatur bahwa tape

akan berasa manis dan terdapat rasa maupun bau alkohol yang merupakan hasil dari fermentasi.

Pada percobaan kali ini digunakan dua wadah yang berbeda, kedua wadah ini memberikan cita rasa

serta tekstur yang berbeda, dimana yang ada pada baskom lebih basah dan rasanya kurang manis

bila dibandingkan dengan yang di dalam Tupperware. Dengan demikian dapat dilihat bahwa

kualitas tape lebih baik terdapat pada yang ada di dalam Tupperware hal ini sesuai dengan literatur

karena pada Tupperware oksigen lebih sedikit dan prosesnya lebih anaerob.

a b

Gambar III.2.3 Tape setelah 46 jam pada baskom (a) dan Tupperware (b)

Dari hasil percobaan, didapatkan kualitas tape yang baik dimana terdapat rasa manis dan bau

(16)

singkong dimana singkong yang mengandung lebih sedikit HCN akan menghasilkan tape yang

lebih baik. Kedua, pemberian ragi yang tidak berlebihan. Ketiga ialah kualitas ragi tape yang

digunakan akan sangat memengaruhi kualitas tape. Terakhir ialah kerapatan penutupan wadah, hal

ini dikarenakan tape terfermentasi secara anaerob, maka semakin rapat penutupnya maka semakin

baik hasil tapenya.

(Rukmana, 2001)

Pada percobaan ini dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan tape merupakan proses

bioteknologi dengan fermentasi oleh ragi tape, dan peranan Saccharomyces cerevisiae adalah untuk

(17)

IV. Kesimpulan

IV.1 Pembuatan Tempe dari Kedelai

Dari percobaan pembuaatan tempe kedelai ini dapat diketahui bahwa jamur Rhizopus oryzae

mampu memfermentasi kacang kedelai menjadi tempe yang lebih mudah dicerna oleh tubuh

IV.2. Pembuatan Tape Singkong

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Pada pembuatan tape singkong telah diketahui proses bioteknologi dengan proses

fermentasi singkong menjadi tape.

2. Mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae berperan dalam proses pembuatan tape untuk

mendekomposisi gula sederhana menjadi alkohol.

Daftar Pustaka

Babu, Dinesh P., et al. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh”, A Review. World Journal of

Dairy and Food Sciences (4) 1: 22-27

Gandjar, I. 2003. Tapai from Cassava and Cereals. Department of Biology, Faculty of Mathematics

and Natural Sciences, University of Indonesia.

Law, S.V., et al. 2011. Mini Review: Popular Fermented Food and Beverages in Southeast Asia.

International Food Research Journal 18: 475-484.

Rukmana, Rahmat dan Yuyun Yuniarsih. 2001. Teknologi Tepat Guna: Aneka Olahan Ubi Kayu.

Jakarta: Kanisius

Shurtlett, William dan Aiko Aoyagi. 2001. The Book Of Tempeh: A Cultured Soy Food. California:

Gambar

Tabel II.1.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Tabel II.1.2 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Tabel II.1.3 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tempe dari Kedelai dengan Menggunakan
Tabel II.2.1 Hasil Pengamatan Percobaan Pembuatan Tape dari Singkong dengan Menggunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari daftar analisa sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa interaksi perbandingan berat kacang kedelai tergerminasi dengan biji nangka dan konsentrasi ragi memberikan

Pengujian dilakukan dengan mengukur tegangan beban, suhu reservoir panas, dan suhu reservoir dingin yang kemudian dianalisa untuk mendapatkan nilai daya yang

Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan anggur buah dari buah rambutan dengan volume dan suhu sebagai variabel bebasnya serta waktu fermentasi, pH, dan penambahan ragi

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN JENIS RAGI (Saccharomyces cerevisiae Dan Debaryomyces hanseii) TERHADAP PEMBUATAN BIOETANOL DARI SINGKONG.. KARET (Manihot

Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.. Aerasi

Limbah cangkang kepiting direbus selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air agar kotoran yang melekat hilang, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 110-120oC selama

Setelah 15 menit fasa air kemudian dituangkan kedalam fasa minyak dan dihomogenkan dengan menggunakan mortar sampai dingin, setelah dingin kemudian di tambahkan minyak

Pengujian dilakukan dengan mengukur tegangan beban, suhu reservoir panas, dan suhu reservoir dingin yang kemudian dianalisa untuk mendapatkan nilai daya yang dihasilkan dan