• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM KARBONAT PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM KARBONAT PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM KARBONAT

PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL

TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus)

ARIZA VERONICA MUFIDAH

SURABAYA – JAWA TIMUR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

Seminar diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya

Oleh :

ARIZA VERONICA MUFIDAH Nim : 060233095

Menyetujui, Komisi pembimbing

Julien Soepraptini.,SU. Drh. Soetji Prawesthirini., SU. Drh.

(3)

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN HEWAN.

Menyetujui, Panitia Penguji,

Dr. E. Bimo. A. H. P., M.Kes., drh. Ketua

Roesno Darsono, drh. Kuncoro Puguh, S., M.Kes., drh

Sekretaris Anggota

Julien Soepraptini, SU., drh Soetji Prawesthirini, SU., drh. Anggota Anggota

Surabaya, 3 Maret 2006. Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Dekan,

(4)

ARIZA VERONICA MUFIDAH

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian kalsium karbonat dengan dosis tertentu pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dan juga untuk mengetahui pada dosis berapakah ginjal mulai terjadi perubahan.

Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) umur kurang lebih tiga bulan dengan berat rata-rata 150 gram yang dibagi secara acak menjadi lima kelompok perlakuan (P0, P1, P2, P3, dan P4) dengan lima ulangan. Perlakuan kontrol (P0) diberi perlakuan kalsium karbonat (CaCO3) sebanyak 0 mg/ekor/hari, kelompok P1 diberi perlakuan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 100 mg/ekor/hari, kelompok P2 diberi perlakuan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 200 mg/ekor/hari, kelompok P3 diberi perlakuan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 400 mg/ekor/hari, pada P4 diberi perlakuan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 600 mg/ekor/hari yang masing-masing perlakuan dilarutkan dengan aquades sebanyak 3 ml. Pemberian kalsium karbonat (CaCO3) dilakukan peroral dengan menggunakan sonde yang dilakukan pada hari ke-15. Setelah perlakuan selama 8 minggu, hewan coba dieutanasia menggunakan dietil eter kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil organ ginjal guna dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Heamatoxylin Eosin, kemudian diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan 400x kemudian dilakukan penilaian (skor).

3

3

3

3

Hasil pemeriksaan preparat histopatologi ginjal dianalisis dengan Uji Kruskal – Wallis yang dilanjutkan dengan Uji Pasangan Berganda (Uji Z) 5%. Hasil uji statistik yang dilakukan menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perubahan gambaran histopatologi ginjal tikus putih. Kesimpulan yang didapat bahwa pada pemberian kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 100 mg, 200 mg, 400 mg, dan 600 mg dapat terlihat adanya perubahan pada gambaran histopatologi ginjal pada tikus putih. Perubahan yang terjadi pada P0, P1, P2, P3 dan P3 antara lain mengalami hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis tubuler dan glomerulonefritis. Kerusakan paling berat terlihat pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih betina berupa hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis tubuler dan glomerulonefritis dengan pemberian kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 600 mg/ekor/hari.

3

(5)

Syukur Alhamdulillah semoga selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT, sehingga atas berkat rahmat dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan makalah skripsi dengan judul :

“PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM KARBONAT PADA GAMBARAN

HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ismudiono, MS., Drh. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlanggga.

2. Ibu Julien Soepraptini., SU. Drh. selaku Dosen Pembimbing I, yang dengan sabar membimbing dan mengkoreksi penulisan makalah.

3. Ibu Soetji Prawesthirini, SU., Drh. selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Pembimbing Penelitian, yang telah dengan sabar membimbing, memberi dorongan moril. 4. Para Bapak Dosen Penguji : Dr. E. Bimo A.H.P., M.Kes., drh. Roesno Darsono, drh.

Kuncoro Puguh, S., M.Kes., drh., yang telah membantu kesempurnaan makalah skripsi ini

5. Para staf Kandang Unit Hewan Coba

6. Para Staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner 7. Para staf Laboratorium Patologi

8. Ayahanda dan Umik atas segala dukungan, dorongan moral maupun material dan doa restu yang telah diberikan pada penulis.

9. Arliza, Arizky, Mbak Ani dan Azzam yang selalu memberi semangat baik moril maupun spiritual pada penulis sampai terselesaikannya penulisan makalah.

(6)

skripsi

13.Sahabat-sahabatku dan orang-orang yang kusayangi, Mbak Dini, Lidya, Mbak Phin, Meta, dan Tri Dian, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya, serta teman-teman angkatan ’01 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

14.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Penuls berharap semoga Allah SWT, memberikan balasan atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Demi kesempurnaan makalah seminar ini, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, juga bagi semua yang membacanya.

(7)

ABSTRAK………...……...……… UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI………...……….... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN……...………...……… 1.1Latar Belakang………... 1.2Perumusan Masalah..………... 1.3Landasan Teori………... 1.4Tujuan Penelitian…...………... 1.5Manfaat Penelitian………... 1.6Hipotesis Penelitian………... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 2.1 Kalsium..………..…... 2.1.1 Sumber,Fungsi dan Penggunaan Kalsium... 2.1.2 Absorbsi, Metabolisme dan Ekskresi... 2.2 Tinjauan Tentang Ginjal... 2.2.1 Anatomi Fisiologi Ginjal... 2.2.2 Fungsi Ginjal... BAB III. MATERI DAN METODE... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 3.2 Materi Penelitian... 3.2.1 Hewan Percobaan...

(8)

3.3 Metode Penelitian... 3.3.1 Persiapan Hewan Coba………... 3.3.2 Penentuan Dosis………...………. 3.3.3 Perlakuan………...……… 3.3.4 Pembuatan Preparat Histopatologi………... 3.3.5. Variabel Penelitian………... 3.3.6 Pemeriksaan Preparat Histopatologi... 3.4Rancangan Percobaan dan Analisis Data... BAB IV. HASIL PENELITIAN...……....…...……...

BAB V. PEMBAHASAN... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1 Kesimpulan...

6.2 Saran... RINGKASAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

(9)

Tabel Halaman 3.1. Peubah dan Skor Perubahan Gambaran Histopatologi Ginjal tikus Putih

(Rattus norvegicus)... 4.1. Nilai rank dan Skor Perubahan Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus

Putih... 1. Data, Jumlah dan Rata-rata Skor Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus

norvegicus) Pada Perubahan Hemorragi………...

2. Data, Jumlah dan Rata-rata Skor Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pada Perubahan Degenerasi Tubuler………...

3. Data, Jumlah dan Rata-rata Skor Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pada Perubahan Nekrosis………...…...

4. Data, Jumlah dan Rata-rata Skor Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pada Perubahan Glomerulonefritis.………...…...

5. Beda Rata-rata Perlakuan Pada Perubahan hemorragi untuk Uji Z…………... 6. Beda Rata-rata Perlakuan Pada Perubahan Degenerasi Tubuler untuk

Uji Z………...….. 7. Beda Rata-rata Perlakuan Pada Perubahan Nekrosis untuk Uji Z………... 8. Beda Rata-rata Perlakuan Pada Perubahan Glomerulonefritis untuk

Uji Z..………..…...… 19

23

46

47

48

49 51

53 55

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1. Gambar Bagan Alir Penelitian…..………

4.1. Grafik Rata-rata Perubahan Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus)………...…

) (

_ R

5.1. Gambar hemorragi di sekitar Tubulus Pewarnaan yang digunakan HE dengan pembesaran 400x………...…………... 5.2. Tubulus mengalami degenerasi, selain itu terdapat perdarahan

(perbesaran 400x). Pewarnaan yang digunakan HE……… 5.3. Pada ujung panah warna biru terlihat tubulus yang mengalami nekrosis

(perbesaran 400x) dengan pewarnaan HE………... 5.4. Glomerulonefritis (perbesaran 400x). Pewarnaan HE……….………… 1. Proses Pengambilan Organ………...…...

2. Peralatan Bedah………

3. Timbangan dan Mikroskop……….

4. Kandang Tikus Percobaan………...…

5. Kalsium Karbonat………...……….

6. Komposisi Pakan……….

20

24

26

28

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pembuatan Preparat Histopatologi……….. 2. Pewarnaan Preparat Histopatologi Ginjal Tikus Putih Betina... 3. Konversi Penghitungan Dosis untuk Berbagai Jenis Hewan dan

Manusia……… 4. Volume Maksimum Larutan Obat yang dapat diberikan Pada Berbagai

Hewan……… 5. Data, Jumlah dan Rata-rata Skor Histopatologi Ginjal Tikus Putih

(Rattus norvegicus)………

6. Analisa Dats Uji Kruskal Wallis dan Uji Z untuk Perubahan

Hemorragi……… 7. Analisa Data Uji Kruskal Wallis dan Uji Z untuk Perubahan

Degenerasi ……….………. 8. Analisa Data Uji Kruskal Wallis dan Uji Z untuk Perubahan

Nekrosis………. 9. Analisa Data Uji Kruskal Wallis dan Uji Z untuk Perubahan

Glomerulonefritis……….... 10.Gambar Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan

perbesaran 400x Pada Perlakuan P0 Tanpa Pemberian Kalsium

39 42

44

45

46

50

52

54

(12)

perbesaran 400x Pada Perlakuan P1 dengan Pemberian Kalsium Karbonat Dosis 100 mg………... 12.Gambar Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan

perbesaran 400x Pada Perlakuan P2 dengan Pemberian Kalsium Karbonat Dosis 200 mg ………..

13.Gambar Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan perbesaran 400x Pada Perlakuan P3 dengan Pemberian Kalsium Karbonat Dosis 400 mg ……….. 14.Gambar Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan

perbesaran 400x Pada Perlakuan P4 dengan Pemberian Kalsium Karbonat Dosis 600 mg ………..

15.Foto Penelitian……….

59

60

61

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan tulang sering terjadi baik pada manusia maupun hewan. Gangguan tersebut biasanya berkaitan dengan status mineral kalsium (Ca) dan fosfor (P) di dalam tubuh. Ketidakseimbangan mineral di dalam tubuh antara lain dapat mengakibatkan demineralisasi tulang (osteomalasia) atau pengeroposan tulang (osteoporosis) (Darmawan, 1988 dikutip oleh Suyatmi, 2005).

Osteoporosis menunjukkan kadar mineral dan kepadatan tulang menurun, tanpa atau dengan diikuti oleh bahan organik tulang (kolagen, osteoblast, osteoklast dan tenunan pengikat). Kondisi tersebut menggambarkan penurunan hydroxylapatit [3Ca3(PO4)2Ca(OH)2] tulang dan defisiensi kalsium pada tulang.

Penyebab utama defisiensi kalsium dan demineralisasi tulang sudah diketahui yaitu tidak tersedianya vitamin D dan kalsium yang dapat digunakan dari makanan (Linder, 1992). Menurut Macon et al (1992), bahwasanya pemberian

(CaCO )3 dapat meningkatkan kadar kalsium dalam darah.

Kalsium dibutuhkan bagi segala umur, mulai dari bayi sampai usia tua dengan jumlah kebutuhan kalsium yang berbeda-beda (Agus, 1999). Kalsium sangat banyak dibutuhkan selama pertumbuhan bayi dan anak-anak, sekalipun demikian kebutuhan kalsium tidak menurun bersama umur (Linder, 1992).

(14)

fungsinya sebagai pemicu kalsium untuk masuk dalam aliran darah dan tulang. Gaya hidup dan kesalahan dalam memilih makanan dengan gizi yang tidak seimbang terutama defisiensi vitamin D yang dapat menyebabkan terhambatnya penyerapan kalsium dalam tubuh (Agus, 1999). Fungsi kalsium sudah diketahui banyak orang yaitu mencegah kerapuhan tulang, hal ini dapat ditunjang melalui konsumsi kalsium bersamaan dengan konsumsi vitamin D (Mutschler, 1991).

Vitamin D tidak banyak terdapat dalam makanan, maka bisa ditambahkan dari air susu (Linder, 1992). Sumber vitamin D yaitu minyak hati ikan dan jaringan lemak hewan, kuning telur, susu. Fungsi vitamin D yaitu membantu absorbsi ion kalsium di usus dan juga meningkatkan reabsorbsi ion kalsium dalam ginjal (Mutschler, 1991).

Pengaruh pengaktifan vitamin D apabila kalsium cukup tersedia dalam lumen usus adalah untuk meningkatkan jumlah kalsium dalam tubuh yang sebagian untuk memperbaiki kalsium yang telah diambil dari tulang sebagai upaya mempertahankan konsentrasi kalsium dalam darah, bila kalsium tidak cukup atau tidak ada, maka kalsium darah dipertahankan dengan mengambil kalsium dari tulang, jika keadaan ini terus berlanjut maka bisa menyebabkan terjadinya osteoporosis, walaupun Ca dan P cukup dalam pakan tetapi vitamin D kurang, maka kalsium tidak dapat diserap dengan jumlah yang cukup (Linder, 1992).

(15)

hewan kesayangan juga memberikan kalsium pada hewan-hewan peliharaannya dalam usaha mereka untuk mencegah terjadinya kerapuhan tulang (Isbagio, 1995 dikutip oleh Indra, 2005).

Kalsium diperlukan setiap hari, jika kebutuhan kalsium tersebut tidak terpenuhi maka darah akan mengambil kalsium tersebut dari tulang dan gigi, juga dapat mempengaruhi fungsi gerak tubuh diantaranya terjadi kram kaki, sakit kepala, sulit tidur dan keadaan paling parah yaitu terjadi pengeroposan tulang (osteoporosis) (Prawira, 2000).

Kebutuhan kalsium tidak cukup hanya mengandalkan makanan sehari-hari, oleh sebab itu dapat diberikan susu sebagai salah satu sumber kalsium terbaik, apabila tidak suka atau alergi dengan susu, maka alternatif lain adalah mengkonsumsi produk-produk yang diperkaya kalsium seperti sereal dan suplemen kalsium. Banyak suplemen kalsium dan susu kalsium tentu perlu disikapi dengan bijaksana, karena kelebihan asupan kalsium dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan batu ginjal bagi mereka yang beresiko terkena batu ginjal (Agus, 1999). Menurut Ganong (1983), ginjal merupakan organ utama yang berfungsi mengeluarkan produk sisa metabolisme yang terlarut dalam air dan semua substansi yang diserap dari saluran pencernaan yang tidak dapat dimetabolisme dan tidak dibutuhkan oleh tubuh.

(16)

kalsium dalam usus terbatas (Linder, 1992). Batas maksimal volume larutan obat yang dapat diberikan pada tikus sebanyak lima ml secara peroral (Pujianto,1997 dikutip oleh Veronica, 2003). Pemberian kalsium karbonat kepada tikus percobaan merupakan jenis kalsium yang sering digunakan karena selain mudah didapat, harganya juga murah, dan lebih ekonomis (Monroe, 1994)

1.2. Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : apakah pemberian kalsium karbonat

(CaCO ) dengan dosis tertentu dapat menimbulkan kelainan pada ginjal tikus

(Rattus norvegicus), pada gambaran histopatologisnya. 3

1.3. Landasan Teori.

(17)

tulang adalah rasio kalsium terhadap fospor dalam makanan hendaknya berkisar 2 : 1 dengan demikian dapat menyebabkan absorbsi kalsium maksimal dan kehilangan minimal mineral tulang (David, 1987). Makin tinggi kalsium yang dikonsumsi terbukti dapat meningkatkan kristalisasi garam-garam kalsium. Kalsium hanya dapat diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan bukan dalam unsur makanan (Murray, 1999). Konsentrasi kalsium dalam darah sedikit, maka mengakibatkan reabsorbsi tubulus sangat tinggi, sehingga hampir tidak ada kalsium yang dikeluarkan dalam urin, sebaliknya bila konsentrasi kalsium dalam darah bertambah sedikit saja di atas normal, maka ekskresi kalsium akan meningkat dalam urin (Guyton, 1995).

Menurut Linder (1992), kalsium yang tidak diserap oleh tubuh sebagian besar di ekskresikan lewat feses dan urin. Organ ekskresi terpenting adalah ginjal. Kecepatan dan besarnya ekskresi melalui ginjal dipengaruhi oleh filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus (Mutschler, 1991).

Mekanisme utama untuk pengaturan jangka panjang dari konsentrasi ion kalsium adalah rendahnya kadar kalsium dalam cairan ekstraseluler akan meningkatkan sekresi hormon paratiroid dan hormon ini akan menyebabkan peningkatan absorbsi kalsium dalam saluran cerna (Guyton, 1995).

Menurut Agus (1999), ada tiga jenis garam kalsium, yaitu kalsium karbonat (CaCO ), sitrat, dan fosfat. Kalsium karbonat (CaCO ) merupakan jenis garam kalsium yang paling banyak didapat dalam saluran cerna. Konsumsi suplemen kalsium ssebaiknya mulai dari dosis rendah lalu perlahan-lahan

(18)

ditingkatkan sampai dosis yang dianjurkan, jika kelebihan bisa membentuk batu ginjal bagi orang yang beresiko batu ginjal.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu : untuk mengetahui pengaruh dari pemberian kalsium karbonat (CaCO )3 dengan dosis tertentu pada ginjal.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi tentang efek dari kalsium karbonat (CaCO ) dan dapat mengetahui dosis kalsium yang lebih baik untuk digunakan.

3

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang ada, maka hipotesis penelitian ini adalah pemberian kalsium karbonat (CaCO ) dalam dapat menyebabkan kerusakan ginjal

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kalsium

2.1.1. Sumber, Fungsi dan Penggunaan Kalsium.

Kalsium bisa diperoleh dari sayuran hijau (misalnya bayam), buah-buahan, brokoli, serta tempe, tahu, juga ikan-ikanan. Kandungan kalsium dalam bahan makanan kacang-kacangan dan ikan cukup besar, selain itu sumber kalsium yang didapat dari makanan adalah susu, keju dan hasil olahannya (Agus, 1999 ; Sumarni, 2003).

Konsumsi kalsium bisa didapat dari makanan atau suplemen dalam bentuk tablet. Suplemen kalsium dalam pakan biasanya disediakan dalam bentuk kalsium karbonat dan sumber yang paling populer adalah batu kapur atau kulit tiram. Kapur tanah, kulit hewan laut lain dan kulit telur unggas juga dapat digunakan (Davies, 1982). Kalsium karbonat (CaCO3) cukup baik diabsorbsi bila

lambung terisi makanan, sebaliknya kalsium sitrat dapat diabsorbsi dengan baik pada kondisi puasa atau lambung dalam keadaan kosong (Nicar et al., 1985).

Kalsium adalah kation utama yang terdapat dalam tubuh manusia dan hewan. Elemen ini adalah nomor lima terbanyak dalam tubuh manusia dan hewan. Kandungan kalsium sekitar 99% berada pada tulang dalam bentuk hydroxylapatit [3Ca3(PO4)2Ca(OH)2] (Linder, 1992). Kalsium termasuk

(20)

Kalsium bukan hanya berperan sebagai komponen dasar jaringan tulang dengan membentuk kesatuan struktural yang penting dalam membantu meningkatkan ukuran tubuh selama masa pertumbuhan, tetapi juga berperan penting dalam berbagai proses fisiologis dan biokimia. Fungsi ion kalsium yang lain adalah mempengaruhi proses pembekuan darah, mempengaruhi kepekaan neuromuskuler, transmisi impuls syaraf, memelihara fungsi membran sel, serta mengaktifkan reaksi enzimatis dan sekresi hormon (Lewis et al., 1990 ; Sumarni, 2003).

Di Indonesia, biasanya pada anjing, kuda, kambing terjadi kekurangan jumlah kalsium dalam pakannya yang mengakibatkan kebutuhan kalsium setiap hari tidak tercukupi sehingga dapat menimbulkan gangguan pada hewan itu (Ressang, 1984), tetapi bila jumlah kalsium dalam pakan berlebihan akan dapat mengakibatkan gangguan berupa penurunan fungsi tiroid (Lewis et al., 1990).

2.1.2. Absorbsi, Metabolisme dan Ekskresi.

(21)

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium antara lain adanya asam amino tertentu seperti lisin dan arginin, vitamin D, laktosa, sitrat, glukosa, serta sukrosa. Pada umumnya makanan yang dikonsumsi cenderung akan meningkatkan penyerapan kalsium dengan meningkatkan sekresi asam lambung. Mekanisme utama untuk pengaturan jangka panjang dari konsentrasi ion kalsium adalah rendahnya kadar kalsium dalam cairan ekstraseluler akan menimbulkan sekresi hormon paratiroid dan hormon ini akan menyebabkan meningkatnya absorbsi kalsium dari saluran cerna (Guyton, 1995).

Penyerapan kalsium oleh usus halus sangat terbatas kurang lebih 30 – 80% dari yang dikonsumsi dan pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Kalsium di ekskresikan dari tubuh melalui beragam jalur, antara lain melalui feses, urin, plasenta selama kehamilan untuk membantu pertumbuhan fetus, air susu dan kulit (Djojosoebagio, 1990). Penyerapan kalsium terjadi terutama di usus halus bagian proximal dan menurun pada bagian usus yang lebih distal (Lewis et al., 1990).

(22)

Kalsium memegang peranan kunci didalam berbagai macam proses biologi seperti kontraksi otot, koagulasi darah, aktivitas enzim, eksitabilitas syaraf, pembebasan hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang rangka (Smith et al., 1983).

(23)

2.2. Tinjauan Tentang Ginjal

2.2.1. Anatomi Fisiologi Ginjal.

Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari sistim urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Pada umumnya ginjal merupakan organ yang berpasangan, terletak dibagian belakang peritonium di sebelah kanan dan kiri kolumna vertebralis, bertempat pada sisi tengah atau sisi cekung dari ginjal, terdapat suatu hillus yang dilalui oleh arteri dan vena ginjal (Ganong, 1983). Ginjal terdiri dari dua komponen antara lain: bagian korteks ginjal dan medula ginjal.

Lapisan kortek terluar terlihat terang dan mengandung granula halus, lapisan medula disebelah dalam berwarna lebih gelap dan mempunyai garis-garis halus memanjang. (Mutschler, 1991). Unit satuan ginjal ialah tubulus uriniferus, yang terdiri atas dua bagian yaitu nefron dan duktus kolektivus. Nefron berfungsi sebagai penghasil urin, sedangkan duktus kolektivus sebagai saluran yang membawa urin ke pelvis ginjal (Lesson et al, 1993). Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron. Pada kedua ginjal mengadung kira-kira 2.400.000 nefron, dan setiap nefron dapat membentuk urin sendiri. Nefron pada dasarnya terdiri dari : sebuah glomerulus sebagai tempat filtrasi dan sebuah tubulus yang panjang, dimana cairan hasil filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanannya menuju renis (Guyton, 1995).

(24)

sebagian besar direabsorbsi dalam tubulus. Setiap glomerulus terdiri dari anyaman kapiler yang komplek yang menonjol di dalam ruang Bowman (Underwood, 1999). Glomerulus adalah sebuah jaringan yang mengandung sampai lebih dari 50 cabang-cabang paraler kapiler, dilapisi sel-sel epithelial dan dibungkus dalam kapsula Bowman (Guyton, 1995). Lapisan dalam kapsul Bowman menutupi kapiler glomerulus sedangkan lapisan luar membatasi rongga kapsul dan terus manuju ke tubulus proksimal. Tubulus terdiri dari bagian-bagian berikut : tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, tubulus kolektivus (Mutschler, 1991).

(25)

berbagai zat yang terlarut didalamnya secara normal diresorbsi kedalam sistem pembuluh darah (Guyton, 1995).

2.2.2. Fungsi Ginjal

Fungsi dasar dari nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan plasma dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh, sewaktu darah mengalir melalui ginjal, terutama hasil akhir metabolisme, seperti urea, kreatinin, dan asam urat, sebagai tambahan ada beberapa substansi yang lain seperti ion natrium, ion kalium, ion klorida dan ion hidrogen cenderung untuk berakumulasi kedalam badan dalam jumlah yang berlebihan, ini juga merupakan fungsi nefron untuk membersihkan plasma dari kelebihan tersebut (Guyton, 1995).

Pada umumnya fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan keseimbangan susunan darah yaitu dengan : mengeluarkan bahan sisa, mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan, mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah, mengatur keseimbangan air dan elektrolit. Ginjal dapat melakukan fungsi diatas karena fungsi saring glomerulus dan karena adanya reabsorbsi dari tubulus dan karena fungsi sekretorik sel-sel tubulus (Leeson et al., 1989 ; Ressang, 1984).

Ginjal juga memproduksi beberapa hormon antara lain : Prostaglandin, yang mempengaruhi pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan

vaskuler. Eritropoietin, yang merangsang produksi sel darah merah. 1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan

(26)

untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan produksi aldosteron (Underwood, 1999).

(27)

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kandang unit hewan coba Kampus C Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan dilanjutkan dengan pembuatan dan pemeriksaan preparat hispatologis ginjal tikus putih betina (Rattus norvegicus) di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Unair. Waktu penelitian pada tanggal 3 Oktober 2005 sampai dengan 27 November 2005.

3.2. Materi Penelitian

3.2.1. Hewan Percobaan

Pada penelitian ini hewan coba yang digunakan adalah tikus putih betina (Rattus norvegicus) umur tiga bulan dengan berat rata-rata 150 gram.

3.2.2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah : kalsium karbonat

(CaCO ), aquadest, dietil ether, formalin 10%, alkohol 70%, 80%, 90%, 96%,

alkohol absolute I, II, III dan xylol I, II, Parafin I dan II, Canada Balsam, pakan tikus bentuk pellet dan air PDAM.

(28)

3.2.3. Alat-alat Penelitian

Kandang tikus berupa kotak plastik serta tutup kandang tikus yang terbuat dari anyaman kawat, botol tempat minum tikus, timbangan, sonde, peralatan bedah, mikroskop, obyek glass, hot plate, mikrotom, oven, cetakan blok dan alat clearing.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Hewan Percobaan

Hewan coba yang digunakan untuk penelitian ini sejumlah 25 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) dibagi menjadi lima kelompok perlakuan (P0, P1, P2, P3 dan P4) masing-masing menggunakan lima ulangan

3.3.2. Penetuan Dosis

Dosis kalsium karbonat (CaCO ) yang diberikan pada lima kelompok

perlakuan P0 sebanyak 0mg/ekor/hari, P1 sebanyak 100mg/ekor/hari, P2 sebanyak 200mg/ekor/hari, P3 sebanyak 400mg/ekor/hari, P4 sebanyak 600mg/ekor/hari yang masing-masing dilarutkan dalam 3 ml aquadest.

3

3.3.3. Perlakuan

(29)

P4) terdiri atas lima ekor tikus betina sebagai ulangan. Pada hari kelima belas mulai diberikan kalsium karbonat (CaCO )3 .

Perlakuan pada hewan coba meliputi :

• P 0 : Kalsium karbonat 0 mg/ekor/hari

• P 1 : Kalsium karbonat 100 mg/ekor/hari

• P 2 : Kalsium karbonat 200 mg/ekor/hari

• P 3 : Kalsium karbonat 400 mg/ekor/hari

• P4 : Kalsium karbonat 600 mg/ekor/hari

Pemberian suplemen kalsium diberikan secara per oral menggunakan sonde pada pagi hari selama enam minggu. Selama masa perlakuan hewan coba diberi pakan dan air minum secara ad libitum.

3.3.4. Pembuatan Preparat Histopatologis

(30)

3.3.5. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel yang diamati meliputi : variabel bebas yaitu pemberian kalsium karbonat (CaCO3); variabel kendali yaitu tikus putih, umur, pakan dan kandang dengan kondisi yang sama; dan variabel tergantung adalah gambaran histopatologis ginjal.

3.3.6. Pemeriksaan Preparat Histopatologis

Pengamatan secara mikroskopis terhadap preparat histopatologis ginjal tikus betina menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x dan dilanjutkan dengan pembesaran 400x. Pengamatan dilakukan pada masing-masing lapangan pandang mulai dari sudut kiri, kanan, bagian atas, bawah serta bagian tengah dari preparat histopatologi, tingkat perubahan yang terjadi pada masing-masing lapangan pandang diberikan nilai (skor) untuk satu sampel ginjal (Azmijah, 1996).

(31)

Tabel 3.1. Peubah dan skor perubahan gambaran histopatologi ginjal

Keparahan Skor Perubahan

Tidak terjadi perubahan 0

Perdarahan Ringan (terjadi kerusakan < 25%)

Sedang (terjadi kerusakan antara 25 – 50%) Berat ( terjadi kerusakan > 50%)

1 2 3 Degenerasi tubuler Ringan (terjadi kerusakan < 25%)

Sedang (terjadi kerusakan antara 25 – 50%) Berat ( terjadi kerusakan > 50%)

1 2 3 Nekrosis Ringan (terjadi kerusakan < 25%)

Sedang (terjadi kerusakan antara 25 – 50%) Berat ( terjadi kerusakan > 50%)

1 2 3 Glomerulonefritis Ringan (terjadi kerusakan < 25%)

Sedang (terjadi kerusakan antara 25 – 50%) Berat ( terjadi kerusakan > 50%)

1 2 3 Keterangan :

Perdarahan : pecahnya arteri atau vena yang disebabkan oleh jejas. Degenerasi tubuler : kelainan patologi yang menyebabkan perubahan pada sitoplasma, baik struktur, ukuran, kepekatan. Degenerasi ditandai adanya akumulasi dari produk - produk

metabolisme sel seperti, air, lemak, protein dan glikogen. Glomerulonefritis : keradangan pada ginjal yang dimulai dari glomerulusnya, kapiler-kapiler maupun membran basalis dari

kapsula Bowman. Glomerulusnefritis ditandai dengan adanya perlekatan kapsula Bowman.

Nekrose : kematian sel yang patologis dari jaringan tubuh yang masih hidup. Nekrose ditandai dengan adanya perubahan pada inti yang bervariasi mulai dari piknotis, karioreksis, dan kariolisis.

3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

(32)

5 ekor P1

5 ekor P3 5 ekor

P2

Adaptasi selama 1 minggu dengan pakan standar dan pemberian minum ad-libitum

P1 100 mg

P3 400 mg P2

200 mg

Perlakuan selama 6 minggu

Pada hari ke 15 mulai diberikan Kalsium Karbonat

5 ekor P4

P4 600 mg

5 ekor P0

P0 0 mg

pada umur 8 hari dilakukan pengacakan pada masing-masing perlakuan

Pengamatan kerusakan ginjal tikus tikus Pembuatan preparat histopatologi ginjal

(33)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Hasil pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 100x dan 400x didapatkan adanya perubahan gambaran histopatologi ginjal yaitu hemorragi, degenerasi tubuler, glomerulonefritis dan nekrosis

Pada kelompok perlakuan kontrol (P0) yang diberikan aquades secara peroral sebanyak 3 ml, terlihat adanya hemorragi sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan P1 (100 mg/ekor/hari) tetapi masih termasuk tingkatan ringan, selain itu terlihat adanya sedikit degenerasi, glomerulonefritis dengan tingkatan kerusakan yang sama. Hewan coba pada perlakuan ini dikondisikan sebagai pembanding sekaligus kontrol, karena pada P0 hanya diberi pakan tanpa diberikan tambahan kalsium karbonat (CaCO ). Tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pada gambaran histopatologi ginjal tikus jika tidak diberikan tambahan kalsium karbonat (CaCO ) (lihat lampiran 10).

3

3

Pada kelompok perlakuan P1 yang diberikan kalsium karbonat (CaCO )

dengan dosis 100 mg/ekor/hari yang dilarutkan dengan aquades sebanyak 3 ml, perlakuan diberikan selama enam minggu, hasil yang didapat dari pemeriksaan preparat histopatologi ginjal terlihat adanya hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis dengan derajat kerusakan ringan (lihat lampiran 11).

(34)

Pada kelompok perlakuan P2 yang diberikan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 200 mg/ekor/hari yang dilarutkan dengan aquades sebanyak 3 ml, perlakuan diberikan selama enam minggu, hasil yang didapat dari pemeriksaan preparat histopatologi ginjal terlihat adanya perubahan ringan pada hemorragi, nekrosis dan glomerulonefritis, sedangkan pada degenerasi tubuler tingkatan sedang (lihat lampiran 12).

3

Pada kelompok perlakuan P3 yang diberikan kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 400 mg/ekor/hari dilarutkan dengan aquades sebanyak 3 ml, perlakuan diberikan selama enam minggu, hasil yang didapat dari pemeriksaan preparat histopatologi ginjal terlihat ada perubahan yang cukup berat pada degenerasi tubuler sedangkan hemorragi, nekrosis dan glomerulonefritis tingkatannya sedang (lihat lampiran 13).

3

Pada kelompok perlakuan P4 yang diberikan kalsium karbonat (CaCO )

dengan dosis 600 mg/ekor/hari dilarutkan dengan aquades sebanyak 3 ml, perlakuan diberikan selama enam minggu, hasil yang didapat dari pemeriksaan preparat histopatologi ginjal terlihat ada perubahan yang sangat berat pada hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis (lihat lampiran 14).

(35)

Tabel 4.1. Nilai rank dan skor perubahan gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) akibat pengaruh pemberian kalsium karbonat

(CaCO )3 .

Tingkat kerusakan Perlakuan

Hemorragi Degenerasi tubuler Nekrosis glomerulonefritis

P0 5,6c 3,1d 3,3d 2,8d

P1 5,4c 9,5c 9,4c 10c

P2 15,2b 11,4c 11,5c 12,2c

P3 15,8b 19,1b 17,8b 16,8b

P4 23a 21,9a 23a 23a

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan (p<0,05).

Hasil analisis statistik dengan menggunakan Uji Kruskal Wallis pada perubahan berupa hemorragi menunjukkan bahwa perlakuan P4 mempunyai nilai tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain, pada perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P2, sedang P2 berbeda nyata dengan P1 dan P0, tetapi P1 tidak berbeda nyata dengan P0. Pada perubahan degenerasi, nekrosis dan glomerulonefritis masing-masing menunjukkan bahwa perlakuan P4 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan yang lain, sedang pada P2 tidak berbeda nyata dengan P1, tetapi P1 berbeda nyata dengan P0. Pada Uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan, selanjutnya dilakukan Uji Pasangan Berganda (Uji Z), didapatkan hasil bahwa perbedaan dosis pemberian kalsium karbonat (CaCO ) secara peroral menyebabkan kerusakan gambaran preparat histopatologi ginjal dengan skor tertinggi diperoleh perlakuan P4

(36)

(dosis 600 mg/ekor/hari) yang diikuti perlakuan P3, P2 dan P1 yang berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan kontrol.

0

5

10

15

20

25

hem

orragi degeneras i tubul

er ne

krosis glome rulo

nefritis

P0

P1

P2

P3

P4

Gambar 4.1. Grafik rata-rata rank perubahan histopatologi ginjal tikus _

(37)

BAB V

PEMBAHASAN

Perubahan Pada Ginjal

Terbukti setelah dilakukan analisis statistik dengan menggunakan Uji Kruskal – Wallis, kemudian dilanjutkan dengan uji pasangan berganda (Uji Z) dengan taraf nyata signifikansi 0,05, menunjukkan hasil pengamatan secara mikroskopis melalui lima lapangan pandang yang berbeda pada tiap preparat histopatologi ginjal tikus putih menunjukkan adanya perbedaan gambaran histopatologi antara perlakuan kontrol (P0) dengan kelompok perlakuan (P1, P2, P3 dan P4) berupa hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis.

(38)

Hemorragi pada jaringan ginjal akibat pemberian kalsium karbonat

(CaCO ) sudah mulai tampak pada perlakuan P1 dengan dosis pemberian 100 mg

dengan derajat kerusakan ringan dan derajat kerusakan berat terlihat pada perlakuan P4 yang diberi kalsium karbonat (CaCO3) dengan dosis 600 mg (seperti terlihat pada gambar perdarahan 5.1), hemorragi juga terjadi pada perlakuan P0, dikarenakan pada P0 tidak diberikan tambahan kalsium karbonat (CaCO ), dengan rendahnya asupan kalsium dalam pakan dapat menyebabkan peningkatan penyerapan kalsium di usus, selain itu tubuh berpeluang menyerap kembali kalsium dari ginjal sehingga kadar kalsium dalam darah kembali normal (Hadat, 2005). Hemorragi terjadi akibat masuknya zat-zat toksik dan sisa metabolisme dalam jumlah besar ke dalam jaringan ginjal, sehingga terjadi dilatasi arteriol lokal untuk vasokontriksi singkat. Katup prakapiler membuka, mengakibatkan aliran darah dalam kapiler meningkat, juga dibukanya anyaman kapiler, akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras, dengan demikian vaskulator pada lokasi jejas melebar, berisi darah dan akhirnya pembuluh darah pecah (Robbins dan Kumar, 1995)

3

3

a

(39)
(40)

Gambar 5.2. Tubulus mengalami degenerasi, selain itu terdapat perdarahan (perbesaran 400x). Pewarnaan yang digunakan HE.

(41)

peradangan ini, maka jaringan yang mati akhirnya dihancurkan dan dihilangkan. Keadaan ini akan membuka jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotikdengan se-sel regenerasi yang sama dengan yang hilang. Kerusakan khas terletak pada sel tubulus proksimal, sedangkan pada tubulus distal jarang ditemukan (Gerald, 1994).

Gambar 5.3. Pada ujung panah warna biru terlihat tubulus yang mengalami nekrosis (perbesaran 400x) dengan pewarnaan HE.

(42)

pelepasan sel darah merah ke dalam urin dan menimbulkan kelainan hemodinamika yang menjurus ke pengurangan laju filtrasi glomerulus (Robbins dan Kumar, 1995)b. Reaksi keradangan ini menyebabkan glomerulus secara total digantikan jaringan fibrosa dan fungsi nefron akan menurun atau hilang sama sekali. Sedikit nefron yang masih berfungsi akan menjadi beban dari tubulus ginjal terhadap zat-zat yang sedikit diabsorpsi dan dikompensasi dengan peningkatan daya reabsorpsi oleh masing-masing tubulus ginjal sebanyak 50%. Oleh karena sedikitnya larutan yang diabsorpsi, maka larutan yang lain berubah menjadi diuretik osmotik dan menyebabkan peningkatan aliran cairan tubulus, sehingga volume urin meningkat (Guyton, 1995).

(43)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pemberian kalsium karbonat

(CaCO ) pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih betina (Rattus

norvegicus), dapat disimpulkan bahwa : pemberian kalsium dengan dosis

100 mg, 200 mg, 400 mg, 600 mg, dapat menimbulkan perubahan pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih berupa : hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis, pada pemberian kalsium karbonat

(CaCO ) dengan dosis 600 mg/ekor/hari terlihat perubahan yang hebat

pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih betina berupa : hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis.

3

3

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diajukan saran bahwasanya tidak dianjurkan untuk pemberian kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis 600 mg/ekor/hari pada tikus putih betina (Rattus norvegicus). Penggunaan suplemen kalsium hendaknya disesuaikan dengan dosis dan aturan pakai sehingga sesuai dengan efek terapi yang maksimal.

(44)

R I N G K A S A N

ARIZA VERONICA MUFIDAH. Pengaruh Pemberian Kalsium

Karbonat Pada Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus Norvegicus), dibawah bimbingan Ibu Julien Supraptini., SU., Drh. selaku dosen pembimbing I dan Ibu Soetji Prawesthirini., SU., Drh. selaku dosen pembimbing II.

Asupan kalsium tidak cukup atau bahkan tidak ada dalam pakan, maka kalsium darah dipertahankan dengan mengambil kalsium dari tulang, jika keadaan ini terus berlanjut maka bisa menyebabkan terjadinya osteoporosis. Kebutuhan kalsium tidak cukup hanya mengandalkan makanan sehari-hari, oleh sebab itu dapat diberikan susu sebagai salah satu sumber kalsium terbaik, apabila tidak suka atau alergi dengan susu, maka alternatif lain adalah mengkonsumsi produk-produk yang diperkaya kalsium seperti sereal dan suplemen kalsium. Banyak suplemen kalsium dan susu kalsium tentu perlu disikapi dengan bijaksana, karena kelebihan asupan kalsium dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan batu ginjal bagi mereka yang beresiko terkena batu ginjal.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh dari pemberian kalsium karbonat (CaCO ) dengan dosis tertentu pada ginjal. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih betina (Rattus norvegicus) sebagai hewan percobaan dengan umur kurang lebih tiga bulan dengan berat rata-rata

(45)

perlakuan, yaitu perlakuan P0 (kontrol), P1 (diberi kalsium karbonat (CaCO )

dengan dosis 100 mg/ekor/hari), P2 (diberi kalsium karbonat (CaCO ) dengan

dosis 200 mg/ekor/hari), P3 (diberi kalsium karbonat (CaCO3) dengan dosis 400

mg/ekor/hari) dan P4 (diberi kalsium karbonat (CaCO3) dengan dosis 600

mg/ekor/hari), setiap kelompok mendapat lima ulangan, setelah enam minggu pemberian perlakuan kalsium karbonat (CaCO ) dilakukan pembedahan untuk

mengambil organ ginjal guna dilakukan pembuatan preparat histopatologi, dan dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Hematoxilyn Eosin (HE). Pemeriksaan preparat histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x dan dilakukan penilaian. Data yang diperoleh berdasarkan derajat kerusakan diolah dengan penilaian peringkat (rank) kemudian dianalisis menggunakan Uji Kruskal – Wallis dan dilanjutkan dengan Uji Perbandingan Berganda (Uji Z) dengan taraf nyata 0,05.

3

3

3

Hasil penelitian pada tiap perlakuan menunjukkan adanya kelainan pada gambaran histopatologi ginjal tikus putih yang telah diberi kalsium karbonat

(CaCO ), berupa hemorragi, degenerasi tubuler, nekrosis dan glomerulonefritis.

Kerusakan gambaran histopatologi ginjal terlihat berat pada P4 dengan pemberian kalsium karbonat (CaCO3)dengan dosis 600 mg/ekor/hari. Berdasarkan penelitian

ini dapat dinyatakan bahwa pada pemberian kalsium karbonat (CaCO3) dengan

dosis 600 mg/ekor/hari tidak dianjurkan pada tikus tikus betina (Rattus norvegicus). Pemberian kalsium karbonat (CaCO ) sebagai suplemen harus

3

(46)
(47)

D A F T A R P U S T A K A

Agus S. 1999. Penuhi Kalsium dari Berbagai Sumber.

www.indomedia.com/intisari

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Azmijah, A., Arimbi, dan T. Widiyatno. 1996. Pengamatan Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Putih Akibat Pemberian Air Sumur Pada Daerah Pemukiman di Sekitar Pabrik Baja. Lembaga penelitian. Universitas Airlangga.

Banks, W.J. 1980. modern Nutrisi in Health Disease, Goodhart, R.S., and M.E. Shils (ed). Lea and Fabiger, Philadelphia.

Bremmer, D. M. and T. H. Hosteter. 1982. Principles of Internal medicine. Edition 9th. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakata. Halaman 6-9.

Daniel. W. W. 1999. Statistika Non Parametrik Terapan. Terjemahan : Alex Tri Kantjono W. PT. Gramedia. Jakarta.

Darmawan, J. 1988. Pengaruh Pemberian Rebon Terhadap Tulang Femur dan Kelenjar Paratiroid Tikus Sprague dawley Betina Penderita Osteoporosis Umum. Medika , Jurnal Kedokteran dan Farmasi. No 6. thn 14. Jakarta. Halaman 528-535

David, W. Martin, Jr., MD. 1987. Biokimia / David, W. Martin, Jr. Alih bahasa, Iyan Darmawan. ED. 20. Jakarta ECG. Halaman 721-723.

Davies, H.L. 1982. Nutritional and Growth manual. Published by the Australian University International Development Program.

(48)

Ganong. 1983. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih bahasa : Petrus Andrianto. Editor : Jonatan Oswari. Hak Cipta Terjemahan Indonesia Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 365 – 377.

Gerald, D. Abrams., Prince Sylvia Andedrson. 1994. Patofisiologi ; Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa : Peter Anugrah. Editor : Caroline Wijaya. Jakarta EGC. Halaman 22-35

Guyton. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7 Bagian III. Penerbit Buku kedokteran EGC Jakarta. Halaman 288 – 308.

Hadat, H. M. 2005. Kalsium Tidak Hanya Buat Tulang

http://www.kompas.com/kesehatan/news/0503/16/153255.htm

Indra Firmansyah. 2005. Gambaran Histopatologi Tulang Femur Tikus Putih Betina (Sprague dawley) Ovariohisterektomi Dengan Suplemen Kalsium Karbonat Dosis Tinggi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Isbagio, H. 1995. Pencegahan dan Pengelolaan Osteoporosis. Cermin Dunia Kedokteran.

Kusumawati, D. 1999. Bahan Ajar : Manajemen Hewan Coba. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Lesson, C. R., Tomas, S. Lesson and A. A. Paparo. 1989. Buku Teks Histologi. Edisi V. Jakarta EGC. Halaman 427-453

Lesson, C. R., Tomas, S. Lesson and A. A. Paparo. 1993. Atlas Histologi Cetakan I. .Binarupa Aksara. Jakarta. Halaman 215-234

Lewis, L. D., Morris, M. L. Aand Hand, N. S. 1990. Small Animal Clinical Nutrition III. Mark Morris Associates. Topeka. Kansas.

Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerjemah : Aminudin Parrakasi., cetakan I, Jakarta. Penerbit UI (UI – Press). Halaman 194 – 196.

(49)

Macon, E.J., J.C. Oliver., Oettingger, C.W. 1992. The Effects Of Calcium Carbonate as The Sole PhosPhate Binder in Combination with Low Calcium Dialysate and Calcitriol Therapy in Chronic Hemodialysis Patients. Journal of The America Society of Nephrology, Vol 3

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat oleh Ernest Mutschler Edisi ke–5, diterjemahkan oleh Mathilda B. Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Penerbit ITB. Halaman 597 – 599.

Monroe, W. E. 1994. Diseases of the Parathyroid Glands In Practical Small Animal Internal Medicine. Saunders Company. Philadelpia. London. Toronto. Montreal. Sydney. Tokyo. Halaman 1071-1082.

Murray, R. K. Granner, D. K. Mayes, P. A. Rodwel, V. W. 1999. Biokimia Herper. Edisi 24. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Halaman 644-655.

Nicar, J. Michael and C. Y. Pak. 1985. Calcium Bioavilability From Calcium Carbonate and Calcium Citrate. J. Clin. Endocrinol. Meteb.

Prawira, R. 2000. Penuhi Kalsium dari Berbagai Sumber.

http://www.mail-archive.com/balita-anda@indoglobal.com/msg18899.html.

Pudjianto, A. 1997. Uji Anti Kanker Ekstrak Etanol Daun Gynura Procumbens (lour) Merr pada Mencit yang diinduksi dengan Benzo (a) Pyrena. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Ressang, A. A. 1984. Patologi Veteriner. Denpasar.

Rippey, J. J. 1993. General Pathologi. Witwatersrand University Press. Perth Western Australia. Halaman 89-92

Robbins, Stanley L. dan Kumar, Vinay. 1995a. Buku Ajar Patologi I (Basic Pathology Part I). Edisi 4. Editor : dr. Jonatan Oswari. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Halaman 1-89

(50)

Smith, E. L., R. L. Hill, I. R. Lehman, R. J. Lefkowitz, P. Handler, and A. White. 1983. principles of biochemistry : Mamalian Biochemistry. Ed. 7. MacGraw Hill Book Co. New York. Halaman 441-467.

Solez, K. 1996. International Standarditation of Criteria for The Histologic Diagnosis of Renal Allograft Rejection. Specimen Adequasy and Lesion Scoring. University of Pittsburgh.

www.yahoo.com/search/kidney_scoring

Sumarni, S. 2003. Gizi Mikro. Jilid II. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga.

Suyatmi. 2005. Pengaruh Pemberian Kalsium Dosis Tinggi Terhadap Mineralisasi Tulang Tikus Putih (Rattus norvegicus) Ovariohisterektomi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik. Vol. 2/ Ed. 2. Jakarta EGC. Halaman 639-681

(51)

Lampiran I. Pembuatan Preparat Histopatologis.

Pembuatan sediaan histopatologi ini dilakukan di laboratorium patologi FKH Unair, dengan cara sebagai berikut :

a) Fiksasi dan Pencucian b) Dehidrasi dan Cleaning c) Infiltrasi

d) Pembuatan Balok Parafin e) Pengirisan dengan Mikrotom

a. Fiksasi dan Pencucian

Bertujuan untuk :

9 menghentikan proses metabolisme jaringan 9 mematikan kuman

9 menjadikan jaringan lebih keras, sehingga lebih mudah untuk dipotong

9 mencegah terjadinya degenerasi Reagen : formalin 10%

Cara kerja :

ƒ Setelah diseksi, organ ginjal diambil dan dimasukkan dalam formalin 10% sekurang-kurangnya selama 24 jam.

ƒ Organ ginjal dipotong dengan ketebalan 0,5 cm.

(52)

b. Dehidrasi dan Clearing

Bertujuan untuk :

9 Menarik air dari jaringan

9 Membersihkan dan menjernihkan jaringan

Reagen : alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alcohol absolute I, II, III dan xylol I, II

Cara kerja :

ƒ Organ yang telah dicuci dengan air demasukkan ke dalam reagen dengan urutan alcohol 70%, 80%, 90%, 95%, alcohol absolute I dan II masing-masing 30 menit.

c. Infiltrasi

Bertujuan

9 Menginfiltrasi jaringan dengan parafin. Parafin ini akan menembus ruang sel dan dalam sel sehingga jaringan lebih tahan terhadap pemotongan.

Reagen : Parafin I dan II Cara kerja :

(53)

d. Pembuatan Balok Parafin

Bertujuan

9 Supaya jaringan mudah dipotong Reagen : Parafin cair

Cara kerja:

ƒ Disediakan beberapa cetakan besi yang telah diolesi dengan gliserin dengan tujuan untuk mencegah lekatnya parafin dengan cetakan, kemudian organ ginjal yang telah dipotong tadi dimasukkan dengan pinset kedalam cetakan dan ditunggu sampai parafin membeku.

e. Pengirisan dengan Mikrotom

Bertujuan :

9 Untuk memotong jaringan setipis mungkin, agar mudah dilihat di mikroskop.

Alat : Mikrotom Cara kerja :

(54)

Lampiran II. Pewarnaan Preparat Histopatologi Ginjal Tikus Putih Betina

Pembuatan sediaan histopatologi dilanjutkan dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)

a. Pewarnaan

Bertujuan :

9 Untuk memudahkan melihat perubahan pada jaringan, disini digunakan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dengan metodde Harris.

Cara kerja :

ƒ Jaringan yang telah dikeringkan dimasukkan kedalam xylol I selama tiga menit

ƒ Masukkan kedalam xylol II selama satu menit

ƒ Masukkan berturut-turut alkohol absolut I, II, alkohol 96%, 90%, 80%, 70% dan air kran selama

ƒ Masukkan jaringan kedalam zat warna Harris selama lima menit sampai sepuluh menit.

ƒ Masukkan kedalam air PDAM selama sepuluh menit. ƒ Celupkan kedalam alkohol amoniak sebanyak enam kali ƒ Masukkan kedalam air PDAM selama sepuluh menit. ƒ Masukkan kedalam aquades selama lima menit.

(55)

ƒ Masukkan kedalam xylol I dan II masing-masing selama dua menit.

ƒ Bersihkan dari sisa-sisa pewarnaan.

b. Mounting

Penutupan obyek glass dengan cover glass yang sebelumnya telah ditetesi dengan Canada Balsam.

c. Pemeriksaan Mikroskopis

(56)
(57)

Lampiran 4. Volume Maksimum larutan obat yang Dapat diberikan pada Berbagai Hewan

IV (ml) IM (ml) IP (ml) SC (ml) PO (ml) Mencit

20-30 g

0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0

Tikus 100 g 1,0 0,1 2-5,0 2,5-5,0 5,0

Hamster 250 g

- 0,1 1-2,0 2,5 2,5

Marmut 250 g

- 0,25 2-5,0 5,0 10,0

Merpati 300g

2,0 0,50 2,0 2,0 10,0

Kelinci 2,5 g

5-10 0,5 10-20 5-10 20,0

Kucing 3 kg 5-10 1,0 10-20 5-10 50

Anjing 5 kg 10-20 5,0 20-50 10,0 100,0

(58)

Lampiran 5. Data, jumlah dan rata-rata skor histopatologis ginjal tikus putih.

Tabel 1. Data, jumlah dan rata-rata skor histopatologis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) pada perubahan Hemorragi.

(59)

Tabel 2. Data, jumlah dan rata-rata skor histopatologis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) pada perubahan Degenerasi Tubuler.

(60)

Tabel 3. Data, jumlah dan rata-rata skor histopatologis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) pada perubahan Nekrosis.

(61)

Tabel 4. Data, jumlah dan rata-rata skor histopatologis ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) pada perubahan Glomerulonefritis.

(62)

Lampiran 6. Analisa data uji Kruskal-wallis dan Uji Z untuk perubahan

H hitung > H tabel (0,05), maka terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, jadi H0 ditolak.

Dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda (Uji Z)

|Ri-Rj| > Z

{

(

(

)

(

)

) }

Rj : Jumlah rank dari cuplikan (lajur) ke-j

K : Banyaknya perlakuan N : Banyaknya sampel

(63)

Untuk tingkat kesalahan sebesarα = 0,05 dan k = 5, maka :

Tabel 5. Beda rata-rata perlakuan pada perubahan hemorragi untuk uji Z beda

Menentukan notasi garis

P4 P3 P2 P0 P1 a

b

(64)

Lampiran 7. Analisa data uji Kruskal-wallis dan Uji Z untuk perubahan

Grouping Variable: degenerasi tubuler b.

Untuk db 4, H tabel (0,05) = 9,49

H hitung > H tabel (0,05), maka terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan, jadi H0 ditolak.

Dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda (Uji Z)

Rj : Jumlah rank dari cuplikan (lajur) ke-j

K : Banyaknya perlakuan N : Banyaknya sampel

(65)

Untuk tingkat kesalahan sebesarα = 0,05 dan k = 5, maka :

Tabel 6. Beda rata-rata perlakuan pada perubahan degenerasi tubuler untuk uji Z beda

Menentukan notasi garis

(66)

Lampiran 8. Analisa data uji Kruskal-wallis dan Uji Z untuk perubahan

H hitung > H tabel (0,05), maka terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, jadi H0 ditolak.

Dilanjutkan dedngan uji perbandingan berganda (Uji Z)

|Ri-Rj| > Z

{

(

(

)

(

)

) }

Rj : Jumlah rank dari cuplikan (lajur) ke-j

K : Banyaknya perlakuan N : Banyaknya sampel

(67)

Untuk tingkat kesalahan sebesarα = 0,05 dan k = 5, maka :

Tabel 7. Beda rata-rata perlakuan pada perubahan nekrosis untuk uji Z beda

Menentukan notasi garis

(68)

Lampiran 9. Analisa data uji Kruskal-wallis dan Uji Z untuk perubahan

H hitung > H tabel (0,05), maka terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, jadi H0 ditolak.

Dilanjutkan dedngan uji perbandingan berganda (Uji Z)

|Ri-Rj| > Z

{

(

(

)

(

)

) }

Rj : Jumlah rank dari cuplikan (lajur) ke-j

K : Banyaknya perlakuan N : Banyaknya sampel

(69)

Untuk tingkat kesalahan sebesarα = 0,05 dan k = 5, maka :

Tabel 8. Beda rata-rata perlakuan pada perubahan glomerulonefritis untuk uji Z beda

Menentukan notasi garis

(70)

Lampiran 10. Gambar histopatologik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dengan pembesaran 400x pada perlakuan P0 tanpa pemberian kalsium karbonat

a

b

c

d

Keterangan gambar:

(71)

Lampiran 11. Gambar histopatologik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dengan pembesaran 400x pada perlakuan P1 dengan pemberian kalsium karbonat dosis 100 mg

a

b

d

a

C

d

Keterangan gambar:

(72)

Lampiran 12. Gambar histopatologik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dengan pembesaran 400x pada perlakuan P2 dengan pemberian kalsium karbonat dosis 200 mg

d

d

a

b

c

d

c

a

Keterangan gambar:

(73)

Lampiran 13. Gambar histopatologik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) pada perlakuan P3 dengan pemberian kalsium karbonat dosis 400 mg

d

a

c

b

Perbesaran 400x

a

Perbesaran 100x

Keterangan gambar:

(74)

Lampiran 14.. Gambar histopatologik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) dengan pembesaran 400x pada perlakuan P4 dengan pemberian kalsium karbonat dosis 600 mg.

c

d

a

b

d

Keterangan gambar:

(75)

Lampiran 16. Foto Penelitian

Gambar 1. Proses Pengembilan Organ.

(76)

Gambar 4. Kandang Tikus Percobaan.

(77)

Gambar

Tabel  Halaman
Gambar
Tabel 3.1.  Peubah dan skor perubahan gambaran histopatologi ginjal
Gambar 3.1.  Bagan Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Temperatur udara dapat mempengaruhi perkerasan lunak, karena ketika suhu mulai naik maka perkerasan akan lebih melunak, sedangkan jika suhu turun makan perkerasan

Dari analisa grafis dan komparasi tabel tampak bahwa Return on Equity PT Wijaya Karya (Persero) Tbk selama tahun 2016 sampai dengan 2018 lebih mendekati pola

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat DM dalam keluarga dengan kejadian DM Gestasional pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Simpang

Pertama secara internal yaitu dengan mengadakan rapat koordinasi (pimpinan dan bawahan). Dalam rapat ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan

Berdasarkan pada pengujian yang telah dilakukan terhadap 3 hipotesis dalam penelitian, hasilnya menunjukkan bahwa sticky cost yang diproksikan dengan biaya pemasaran,

Makanan yang disimpan di dalam peralatan memasak ini untuk jangkamasa yang panjang mungkin akan memberi kesan pada permukaan peralatan memasak dan makanan akan meresap rasa besi.

Karakteristik angka kejadian phlebitis yang terjadi berdasarkan penyebabnya masih variatif, penyebab yang sering terjadi pada pasien sering dipengaruhi diantaranya adalah

Kesimpulan : Pengetahuan, dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan dan ekonomi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam manajemen kesehatan pada