• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi dan Akuntabilitas kebijakan Pemerin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desentralisasi dan Akuntabilitas kebijakan Pemerin"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

DISKRESI PEMERINTAH DAERAH DAN AKUNTABILITAS

Bahasan mengenai Review Jurnal dengan Judul;

Linking Local Government Discretion and

Accountability in Decentralisation

Oleh;

Serdar Yilmaz, Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet

Dimuat dalam ;

Development Policy Review, 2010, 28 (3): 259-293

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Desentralisasi merupakan sarana untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat berprakarsa dalam pemerintahan daerahnya. Melalui model otonomi daerah yang dijalankan di Indonesia termaktub dalam UU No 32 Tahun 2004, menghendaki adanya kedekatan antara negara (state) kepada masyarakat (society), sehingga anatara keduanya dapat tercipta interaksi yang dinamis dalam pembangunan daerah. disamping itu, hal ini juga dimaksudkan sebagai dinamisasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pada tahapan implementasi kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat di daerah. namun esensi desentralisasi dan otonomi daerah tersebut secara tegas diartikulasikan bukan sebagai tujuan akhir, namun dalam hal ini tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Saat ini persoalan mendasar dari desentralisasi bukan saja di Indonesia namun juga terjadi di berbagai negara adalah persoalan akuntabilitas. Kewenangan yang diberikan pada pemerintah daerah terkadang tercederai dengan kurangnya akuntabilitas, disamping itu juga desentralisasi yang seharunya dijalankan berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui supply dan demand dari masyarakat belum optimal berjalan. Sehingga pelaksanaan desentralisasi selalu diperhadapkan pada akuntabilitas pemerintah daerah terutama dalam kebijakannya di daerah.

Disisi lain, dalam pelaksanaan desentralisasi kini diperkenalkan dengan konsep diskresi yakni keleluasaan yang diberikan kepada pemimpin atau kepala daerah untuk dapat menentukan kebijakan yang disesuaikan pada kebutuhan daerahnya. Namun, timbul persoalan mengenai keleluasaan tersebut dalam bingkai desentralisasi. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa diskresi memberi ruang kepada pemimpin/kepala daerah untuk melakukan penyimpangan sehingga hal ini menciderai akuntabilitas yang dimaksudkan dalam esensi desentralisasi. Merujuk pada permasalahan ini, timbul pertanyaan mendasar apakah diskresi dan akuntabilitas dalam desentralisasi dapat saling mendukung?. Berikut akan disajikan artikel mengenai hal ini.

Serdar Yilmaz, Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet (2010) dalam artikelnya Linking Local Government Discretion and Accountability in Decentralisation. Mencoba mengetengahkan masalah akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi, dimana mereka meyakini bahwa Desentralisasi dapat menawarkan kesempatan yang baik untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah. Dengan mengkaji beberapa literatur serta contoh kasus mengenai pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara, untuk kemudian mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pemerintah daerah, kaitannya kemudian dengan diskresi daerah dalam kebijakan desentralisasi.

(3)

negara dalam pelaksanaan desentralisasinya, tapi tentunya menarik jika kemudian persoalan yang ada ditarik pada kondisi saat ini.

Kemudian dalam pembahasan artikel ini, mencoba menjelaskan persoalan diskresi dan akuntabilitas dalam desentralisasi. Dengan mencoba mendiskusikan diawal mengenai tantangan pemerintah daerah terhadap hubungan diskresi dan akuntabilitas, kemudian penulis mencoba lebih mengeksplor lebih jauh terkait potensi hubungan ini dalam perspektif desentralisasi politik, administrasi dan fiskal. berikut ringkasan dari artikel tersebut;

1. Tantangan Pemerintah Daerah : Hubungan Kebijakan dan Akuntabilitas.

Melalui kajian literatur yang dilakukan dalam praktek desentralisasi di berbagai negara, artikel ini mencoba mendiskusikan mengenai lemahnya praktek desentralisasi yang terjadi. Dengan mencermati reformasi desentralisasi yang efektif sebagai masukan dalam permasalah tersebut, mereka melihatnya melalui beberapa pendekatan yakni pendekatan parsial dan terfragmentasi, pendekatan komprehensif dan strategi peruntutan. Hal ini, sangat penting untuk menciptakan kerangka pemerintah daerah yang tepat, kebijakan yang seimbang dan akuntabilitas (p.259)

Desentralisasi sebagai bentuk devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sudah barang tentu kemudian desentralisasi diperhadapkan dengan mekanisme akuntabilitas untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik di daerah. Melalui reformasi desentralisasi yang menjadi issue di berbagai negara saat ini, artike ini mencoba untuk menjelaskan adanya peningkatan akuntabilitas pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang responsif dan bertanggung jawab melalui reformasi desentralisasi.

Tantangannya kemudian, Pemerintah cenderung hanya menekankan pada mekanisme internal dan seringkali mengabaikan sisi eksternal seperti pengawasan masyarakat dan pengawasan politik. Disamping itu dengan mengacu pada hubungan antara kebijaksanaan dan akuntabilitas dalam reformasi birokrasi akan lebih rumit jika aspek fiskal, administrasi dan politik diabaikan. Beberapa tantangan dalam bahasan mengenai desentralisasi dan akuntabilitas dalam artikel ini, dapat dijelaskan secara ringkas adalah sebagai berikut :

a. Adanya alokasi keuangan publik yang ditekankan pada efisiensi keuntungan pada desentralisasi fiskal, menurunkan potensi dinamika politik yang membuat adanya capture by the local elite (p.260). seringkali buruknya reformasi desentralisasi dirancang dan dilaksanakan karena kurangnya pemahaman hubungan kekuasaan dan akuntabilitas antara berbagai aktor di daerah.

b. Hubungan antara diskresi lokal dan akuntabilitas jauh lebih kompleks ketimbang akuntabilitas yang secara otomatis muncul dari meningkatnya diskresi. Bahkan tantangan lainnya, adalah pemerintah perlu meningkatkan alokasi sumber daya dalam pelayanan publik dan memperluas kebijakan pemerintah daerah dalam penggunaan sumber daya tersebut. Karena jika tidak upaya desentralisasi kemungkikan besar akan sulit menciptakan pemerintah yang akuntabel (p.261). c. Desentralisasi menyebabkan adanya interaksi baru dan kontrak hubungan antara

(4)

sebuah sistem good governance diterapkan dalam model reformasi desentralisasi yang dikemukakan disini (p.262).

d. Menyangkut hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana pemerintah pusat memberikan diskresi kepada daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. sehingga terkadang ditemukan bahwa hubungan akuntabilitas keatas pada pemerintah pusat, bisa jadi bertentangan dengan diskresi dan akuntabilitas yang dilakukan di tingkat lokal (p.262).

2. Kondisi Politik Lokal dan Akuntabilitas.

Dalam pelaksanaanya desentralisasi tentunya dipengaruhi oleh kondisi politik lokal yang berlangsung, dialektika tersebut kemudian menyangkut kepemimpinan dan tata organisasi di pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam bahasan selanjutnya artikel ini menyajikan elemen-elemen struktural didaerah untuk mendefinisikan tindakan politik, dana menerapkan beberapa pengaturan terkait hal tersebut untuk meningkatkan hubungan akuntabilitas ke bawah antara pemerintah daerah dan masyarakat.

Seperti yang dikemukakan sebelum artikel ini akan membahas variabel yang didiskusikan didalamnya, pada dua hal yakni faktor dan hal yang bisa menurunkan akuntabilitas. untuk itu, artikel ini memberikan dua kerangka mencermati kondisi politik lokal tersebut, dalam menciptakan akuntabilitas pemerintah. Yaitu ;

a. Faktor Gambaran dan Kondisi Politik Lokal

Menurut artikel ini, kerangka politik yang tepat untuk menciptakan akuntabilitas adalah independensi pemimpin lokal yang terpilih (bahkan menurutnya jika itu bertentangan dengan pihak sendiri atau pemerintah pusat) dan bertindak responsif (sesuai tuntutan dari masyarakatnya). Disamping itu, pemimpin lokal akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

(i) Pengaturan Kelembagaan dan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam hal ini menyangkut check and balances kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga masing-masing memiliki peran serta dalam kebijakan pemerintah daerah, juga dalam hal penyelesaian konflik masyarakat. Kejelasan kelembagaan dan kekuasaan pemimpin lokal tentunya akan lebih menciptakan pemerintahan yang akuntabel, dengan lahirnya mekanisme yang saling kerjasama dan mengawasi. hubungan yang lain dari kekuasaan tersebut tercermin dalam kelembagaan yang dibahas dalam artikel ini yaitu; Sistem Walikota yang kuat, Dewan yang Kuat, Dewan Manajer dan Komisaris (p.265)

(5)

namun ketepatan dalam pengaturan pemilu akan berpengaruh pada akuntabilitas pemerintah daerah (p.266).

(iii) Eksistensi Fungsi Partai dan Hukum Partai Politik. Tantangannya dalam pemerintahal lokal, kemudian digambarkan dalam artikel ini adalah adanya mekanisme patron-klien di daerah, pengaruh struktur partai nasional hingga kedaerah, sehingga besar kemungkinan pemimpin lokal akan sangat dipengaruhi oleh ideologi partai dalam menjalankan tugasnya di daerah. pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi tingkat akuntabilitas pemerintahan daerah juga (p.267-268).

b. Membuat politik lokal menurunkan akuntabilitas.

Hal ini dapat dilihat dari cara memperkuat akuntabilitas politik, dimana dengan memilih pejabat lokal untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif atau dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dalam perjalanannya artikel ini menawarkan dua model memperkuat akuntabilitas politik, yakni melalui:

(i) Pendekatan Akuntabilitas publik, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pejabat terpilih menjalankan kekuasaan diskresinya atas nama semua tingkatan masyarakat. salah satu penciri dari akuntabilitas publik terhadap pemimpin lokal ini adalah dengan adanya pembatasan masa jabatan, agar pemimpin tidak terus menerus bercokol dan mencegah lahirnya patronase politik lokal (p.269-271). (ii) Pendekatan Akuntabilitas Sosial, dimaksudkan sebagai mekanisme yang

merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memperdalam demokrasi dan memastikan ruang publik yang kuat bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik dan kontrol publik atas kinerja pemerintah, hal ini dilakukan dengan pembentukan kelembagaan dan pendampingan bagi masyarakat untuk melakukan kontrol pemerintah (p.271-272).

3. Diskresi Administrasi Lokal dan Akuntabilitas

Penting kiranya untuk merespon kondisi lokal dengan memberikan diskresi kepada pemerintah daerah dalam hal otonomi administrasinya. Maksud dari diskresi menurut artikel ini adalah kekuasaan untuk membuat, mengubah dan menegakkan keputusan, peraturan atau hukum, untuk mengatur pengadaan sistem (berdasarkan standar nasional) dan untuk melaksanakan pelayanan publik dan memilih pegawai. Dalam memahami diskresi tersebut, dalam artikel ini mengemukakan beberapa jalur yang dapat dilakukan, yakni;

a. Faktor yang mempengaruhi diskresi administrasi lokal.

(6)

Kedua, diskresi untuk memperoleh dan mengatur pelayanan (Discretion to procure and administer services), hal ini tentu mempengaruhi kondisi diskresi administrasi lokal, pemerintah daerah belum diberi diskresi untuk memperoleh fleksibilitas dalam menentukan pengadaan barang dan jasa.

Ketiga, diskresi dalam pelayanan publik dan kebijakan pegawai (Discretion over civil service and employment policies) tentunya hal ini menyangkut keleluasaan pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat, namun kecenderungan yang muncul dari para pelaksananya (Pegawai Negeri) terlihat pada manajemen dalam realokasi kekuasaan dan pekerjaan, geografis dan kelembagaan tersebut, diperhadapkan dengan penolakan birokrasi untuk melakukan reformasi desentralisasi. Isu yang terkait dengan status, prestise dan mobilitas tenaga kerja sering menghambat relokasi atau dislokasi PNS di seluruh tingkatan pemerintahan. Kemudian ada kecenderungan bahwa di mana para pejabat pemerintah pusat itu hanya dipindahkan ke pemerintah daerah setelah reformasi desentralisasi diberlakukan, namun tidak diiringi dengan kekuasaan diskresi atas PNS pemerintah pusat yang dialihkan ke pemerintah daerah. (p.273-275).

b. Membuat Administrasi Lokal Menurunkan Akuntabilitas.

Bahasan disini menyangkut pada keterlibatan pengawasan sipil terhadap layanan kontrol mencakup transparansi anggaran pada pembayaran staff, kebijakan dan praktek perjanjian, dan praktek dan kontrol anggaran. Langkah-langkah tersebut diperlukan untuk menjamin transparansi dan keterbukaan proses kebijakan untuk menghindari adanya kesalahan dan korupsi. Dikemukakan pula dua hal dalam melihat pendekatan tersebut, yakni : (i) Pendekatan akuntabilitas publik, menyangkut pada peran lembaga kontrol sektor publik. terdapat tiga pendekatan dalam meningkatkan akuntabilitas publik dalam hal ini, yaitu adanya struktur lembaga kontrol publik dalam hirarki birokrasi , adanya badan yang independen (conth: ombudsman, KPK dsb), dan penatausahaan lembaga kontrol tersebut (p.276).

(ii) Pendekatan akuntabilitas sosial, pendekatan ini diperlukan sebagai dasar informasi bagi praktik pelayanan publik dan jasa. Penekanannya adalah perlunya masyarakat mendapatkan informasi tentang kebijakan sebagaimana hubungan antara pemerintah dan penyedia layanan. Dengan adanya pendekatan ini diharapkan adanya inisiatif dalam akuntabilitas sosial berbasis masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik. dimana saat ini berkembang sebuah kemitraan antara pemerintah sebagai penyedia layanan publik dan masyarakat dalam bentuk citizen charter, dengan itu akan dapat menciptakan pemerintahan yang akuntabel (p.277-278).

4. Diskresi Fiscal dan Akuntabilitas.

(7)

a. Faktor yang menentukan Diskresi Fiskal

Beberapa hal yang meliputi faktor yang mempengaruhi diskresi fiskal oleh pemerintah lokal dengan pemerintah pusat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah, sebagai berikut :

(i) Mengelola Pengeluaran (expenditure assigment). Esensi dari desentralisasi adalah memberikan tanggungjawab pengeluaran kepada pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan partisipasi warga dalam pembuatan keputusan. Dengan maksud tersebut pemerintah daerah diberikan diskresi untuk mengelola pengeluaran (belanja), pemerintah dapat lebih merespon kebutuhan lokal. Tantangannya kemudian adalah pemerintah daerah memerlukan kelembagaan yang jelas dan kerangka kerja yang dapat menggambarkan tanggungjawab kepada berbagai tingkat pemerintahan.

(ii) Mengelola Pendapatan (Revenue assignment) , implikasi praktis dari hal ini dalah pemerintah daerah harus diberi kewenangan untuk menarik pajak sendiri di daerah. otonomi pendapatan tersebut dan beberapa inisiatif pajak sangat penting untuk mendorong pertanggungjawaban ke masyarakat dan meningkatkan efisiensi kinerja pemerintah daerah. namun untuk kasus dibeberapa negara, pemerintah pusat melakukan intervensi pada pendapatan daerah, sehingga secara tidak langsung membatasi ruang diskresi pemerintah daerah dalam hal ini.

(iii) Keuangan dalam jurang fiskal (Financing the fiscal gap), dengan adanya transfer keuangan antar pemerintah akan memiliki implikasi untuk akuntabilitas pemerintah, karena dengan hal ini akan mempengaruhi ketergantungan fiskal pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan kemampuan pendapatan. Tantangannya adalah dengan tingginya derajat ketergantungan pendapatan dan kurang baiknya desain sistem perubahan yang fokusnya pada pemerintah daerah akan menjauhkan masyarakat kepada pemerintah pusat.

(iv) Infrastruktur Keuangan : Pinjaman Daerah (Financing infrastructure: local government borrowing). Kebutuhan akan investasi didaerah kemudian menjadikan pemerintah daerah membutuhkan adanya sebuah investasi maka pemerintah daerah melakukan pinjaman keuangan. Namun ketergantungan akan pinjaman ini akan berdampak negatif pada makro ekonomi. Karena itu, pemerintah pusat membatasi, mengendalikan, atau bahkan melarang penerbitan utang oleh pemerintah daerah. bahkan di sejumlah negara berkembang. Pembatasan yang kuat terhadap akses pada pinjaman ini, menurut bahasan dalam artikel ini akan membatasi inovasi dan kebijaksanaan pemerintah lokal.

b. Membuat Keuangan Lokal menurunkan akuntabilitas.

(8)

(i) Pendekatan Akuntabilitas Publik, fokus dalam meningkatkan akuntabilitas sektor publik adalah pada manajemen yang efektif dan efisien. Disamping itu juga dibutuhkan, adanya keuangan publik yang transparan, kebijakan yang berbasis penguatan kapasitas lokal, penetapan pengendalian transfer antar pemerintah, aturan yang jelas, bertanggungjawab dan tersedianya akses informasi kepada publik.

(ii) Pendekatan Akuntabilitas Sosial, masalah anggaran selalu dianggap merupakan persoalan teknis yang hanya berada ranah eksekutif nasional dan pemerintah daerah, sehingga masyarakat sipil kekurangan kapasitas untuk terlibat dan melakukan pengawasan, hal ini terutama terjadi di tingkat lokal. Padahal, untuk menumbuhkan akuntabilitas sosial perlu kiranya ada sebuah mekanisme dalam perumusan kebijakan daerah dan informasi mengenai penggunaan anggaran yang dapat diakses oleh masyarakat (publik). untuk itu, maka dimungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses anggaran melalui praktek-praktek penganggaran partisipatif, analisis anggaran independen dan mengawasi pengeluaran publik secara partisipatif untuk meminimalisir adanya kebocoran dana.

Sebagai kesimpulan dalam artikel ini adalah penulis kemudian mencoba menawarkan empat kemungkinan kombinasi diskresi dan akuntabilitas dalam konteks negara tertentu :

(i) Keduanya sangat rendah, dimana negara yang sangat sentralistik tanpa adanya akuntabilitas pemerintah daerah, fokusnya adalah pada kebijaksanaan lokal dalam jangka pendek. Dengan mengambil contoh di Indonesia dimana fungsi dan sumber daya diatur melalui dua Undang-undang (UU 22/1999 dan UU 25/1999). Sedangkan tindakan kelembagaan untuk meningkatkan akuntabilitas lokal diperkenalkan kemudian.

(ii) Diskresi yang tinggi tetapi tidak memiliki akuntabilitas, kombinasi ini mungkin benar-benar diterima bagi pemerintah daerah, namun membuat adanya kerentanan terhadap capture of elit atau mudah membuat keputusan yang sembrono, tampilannya disini ditunjukkan pada pembuat keputusan menempatkan prioritas yang lebih tinggi pada promosi politik pluralisme, akuntabilitas administrasi, dan perlindungan fiscal dalam jangka pendek serta pembuat keputusan menempatkan promosi pada posisi yang tertinggi.

(iii) Negara lebih fokus pada pembangunan akuntabilitas stuktur pemerintah daerah, dalam banyak kasus dibentuk ex ante penerimaan dan kontrol input, tapi tanpa tingkat diskresi yang tinggi dalam pengambilan keputusan, terutama untuk tingkat pemerintahan atas yang membuat keputusan besar, dengan sedikit masukan akuntabilitas terhadap masyarakat, baik kebijaksanaan dan akuntabilitas diperkuat secara bersamaan.

(9)

Pada kondisi ideal ini, penulis menggambarkan pembenahan hubungan relasi kekuasaan dan pembagian tugas terhadap empat aktor dalam desentralisasi, yaitu; warga-klien (yang miskin dan rentan), pembuat kebijakan (politisi, anggota parlemen, regulator), Organisasi (departemen, sektor swasta, non-profit, dsb), dan Penyedia Layanan (orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan masyarakat mis, guru, dokter dsb).

Desentralisasi sering disalahkan karena tidak memenuhi janjinya, dan karena itu gagal membangun dampak positif pada pembangunan daerah. dalam banyak kasus yang ditunjukkan penulis dalam artikel tersebut, banyak pemerintah pusat merespon friksi tersebut dengan memberlakukan kontrol yang lebih ketat dan standar akuntabilitas yang berlebihan pada pemerintah daerah, Namun, artikel ini berpendapat, mengurangi kekuatan dan fungsi bukanlah bentuk akuntabilitas. Kompleksitas yang ada terhadap masalah desentralisasi berhadapan dengan akuntabilitas yang diinginkan dalam pemerintah daerah. Pesan dari artikel ini adalah bahwa pertanggung jawaban pemerintan daerah kepada pemerintah pusat tidak cukup memastikan kebijakan lokal yang tepat. Untuk itu, artikel ini menawarkan adanya mekanisme voice pada masyarakat untuk mendorong akuntabilitas pemerintah.

(10)

BAB II PEMBAHASAN

Tuntutan terhadap reformasi sektor publik kemudian melahirkan rangkaian pemerintahan yang diorientasikan untuk memenuhi pelayanan publik yang lebih baik, pemerintahan yang responsif terhadap kondisi masyarakat dan akuntabilitas pemerintahan. Ketika desentralisasi menjadi bagian integral dari paket reformasi sektor publik, sudah seharusnya proses pemerintahan dapat menjadi a part of problem, bukan a part of solution dalam keseluruhan proses pembangunan. Dalam konteks inilah kemudian perlu ada kewenangan yang diberikan kepada setiap tingkatan pemerintahan, disamping itu juga perlu didukung dengan adanya mekanisme akuntabilitas terhadap kinerja pemerintahan.

Desentralisasi merupakan jawaban dari adanya protes terhadap tatanan yang bersifat senralisasi dalam pemerintahan. Sejak itu, desentralisasi ditunjukkan dengan adanya peningkatak partisipasi oleh para implementor dalam pembuatan keputusan, sehingga keputusan tersebut merefleksikan kebutuhan lokal dan menjadikan pemerintah lokal lebih responsif (Cheema and Rondinelli, 1983; Slater 1989; Slater, 1997; Smith, 1985; Turner, 1999 dalam Pramusinto, 2010).

Kondisi saat ini kemudian mensyaratkan adanya sebuah akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahan, baik itu di tingkat pusat hingga pemerintah daerah. disamping itu, desentralisasi sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan hal ini. dimana dengan adanya penyerahan kewenangan pada tingkatan pemerintahan paling bawah (pemerintah daerah), akan menjadikan pemerintahan yang lebih responsif terhadap adanya supply dan demand dari masyarakat. padagilirannya kondisi ini akan mendukung adanya pemerintahan yang akuntabel dalam penyediaan pelayanan publik.

Namun, disisi lain desentralisasi juga memberikan kewenangan kepada daerah khususnya kepala daerah berupa kekuasaan diskresi (discreation power) dimana pejabat pemerintah diberikan kekuasaan untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan berdasarkan pertimbangannya sendiri. Muncul persoalan disini adalah ketika kekuasaan diskresi ini kemudian disalahgunakan, adanya penyimpangan, hingga korupsi. Pada gilirannya kemudian kekuasaan diskresi seperti itu tentunya tidak mendukung penciptaan pemerintahan yang akuntabel. Dalam artikel yang dibahas dimuka, beberapa persoalan ini juga didiskusikan dalam melihat kecenderungan hubungan antara diskresi dan akuntabilitas pemerintah daerah.

(11)

Kenapa perlu Desentralisasi ?

Sebelum membahas mengenai bahasan dalam artikel diatas, perlu kiranya kita mengetahui kenapa desentralisasi saat ini diperlukan untuk kemudian melihat posisi diskresi dan akuntablitas didalamnya. Ada beberapa kondisi yang mendorong penerapan desentralisasi, namun dalam pembahasan ini akan difokuskan pada desentralisasi yang kemudian mendorong adanya akuntabilitas di tingkatan pemerintah daerah.

Desentralisasi dianggap memberikan voice kepada tuntutan lokal dan merupakan kebutuhan untuk membawa sistem ekonomi politik lebih dekat kepada komunitas (Litvack, et.al.,1998;4). Dalam kaitan itu, fungsi desentralisasi adalah untuk memperkuat akuntabilitas dan kemampuan politik (Smith, 1985:4), mempromosikan kebebasan, kesamaan dan kesejahteraan (Hill, 1974; Maas, 1959 dalam Pramusinto, 2010). Dari pandangan ini jelas bahwa desentralisasi dilakukan untuk mendekatkan pemerintah kepada komunitas masyarakat, demi menciptakan adanya akuntabilitas sehiangga menciptakan kesejahteraan bersama.

Philipus Keban (2010) mengemukakan bahwa teori yang menegaskan pentingnya desentralisasi di tingkat lokal dan peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan pentingnya nilai-nilai efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957), misalnya, mengedepankan 2 prinsip: 1) semakin dekat pemerintah yang representatif kepada masyarakat, semakin baik kinerja pemerintah tersebut; 2) publik berhak untuk memilih macam dan jumlah pelayanan publik yang diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan bahwa pembuatan keputusan seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat terendah pemerintah dengan tujuan agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang dan jasa publik.

Sejalan dengan perluasan maknanya, desentralisasi kemudian terbagi menjadi empat bentuk: desentralisasi administrasi, politik, fiskal, dan ekonomi. Desentralisasi administrasi mencakup struktur dan birokrasi pemerintah pusat, delegasi kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga pemerintah semi-otonomi, dan kooperasi lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi yang similar. Desentralisasi politik mencakup berbagai organisasi dan prosedur untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam menyeleksi para pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik, serta perubahan dalam struktur pemerintah melalui devolusi kekuasaan dan kewenangan kepada unit-unit pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal meliputi adanya berbagai sarana dan mekanisme baik terkait dengan fiscal cooperation, fiscaldelegation, dan fiscalautonomy. Sedangkan desentralisasi ekonomi mencakup liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan dianutnya pola-pola kemitraan sektor publik-privat (Keban, 2010;111).

(12)

Tantangan Pemerintah Daerah dalam Desentralisasi

Jika dalam artikel membahas tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam desentralisasi kaitanya dengan diskresi dan akuntabilitas, meliputi hubungan pemerintah pusat dan daerah, kebijakan fiskal, hubungan pemerintah dan swasta, hingga bagaimana hubungan antara kebijakan dan pelibatan diskresi didalamnya. Tantangan yang berbeda diberikan oleh pemerintah daerah dalam menyikapi kebijakan desentralisasi. melalui desentralisasi berbagai masalah nasional akan diselesaikan di tingkat daerah dengan menggunakan sarana lokal untuk mengatasi permasalah lokal (Simandjuntak 2003, 1)

Peranan birokrasi publik dalam hal ini menjadi penting dalam penciptaan akuntabilitas di pemerintahan. Dimensi etika yang saat ini memudar dalam praktek birokrasi pemerintahan didaerah, menjadikan pemerintahan tidak dapat menunjukkan perilaku akuntabel. menurut Keban (2008) pentingnya dimensi etika, bahkan dapat dianalogikan dengan sistem sensor pada administrasi publik dan dapat mempengaruhi dimensi -dimensi lain dalam sistem administrasi publik.

Tantangan lainnya kemudian, dalam menjawab keresahan yang digambarkan dalam artikel diatas mengenai penciptaan akuntabilitas dalam desentralisasi. Kita dapat mengutip pandangan Cheema (2005, dalam Keban 2010), bahwa desentralisasi dapat mendorong tercapainya nilai-nilai demokrasi dan good governance dalam beberapa cara;

1. Tersedianya kerangka kerja bagi masyarakat pada level lokal untuk mengelola diri mereka sendiri dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan lokal. Semakin tinggi tingkat partisipasi publik di tingkat lokal, makin tinggi pula derajat legitimasi politik pemerintah.

2. Desentralisasi merupakan sarana (means) yang lebih efektif untuk meningkatkan akuntabilitas pemimpin politik dan birokrat. Sebagai konsekuensinya, ada perbaikan akses bagi publik terhadap pelayanan dan fasilitas yang diinisiasi oleh pemerintah. 3. Desentralisasi mendorong proses pelembagaan budaya demokrasi dengan cara

memberikan ruang yang cukup bagi kelompok dan individu di tingkat lokal untuk membuat keputusan-keputusan politik dan anggaran. Kalau desentralisasi diterapkan secara cermat, praktis berbagai persoalan di birokrasi seperti red-tapedan kekakuan prosedur dapat direduksi dan birokrasi lebih mendasarkan dirinya pada keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari masyarakat lokal. Juga, kalau diterapkan secara lebih hati-hati, desentralisasi mempermudah arus pertukaran informasi di tingkat lokal. 4. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, desentralisasi menyiapkan kerangka kerja

(framework) yang lebih baik untuk proses eradikasi kemiskinan. Kelima, desentralisasi mendorong terciptanya mekanisme check and balance di antara pemerintah pusat dan unit-unit pemerintah dan administrasi di tingkat daerah – suatu karakter kunci demokrasi dan tata pemerintahan yang baik.

(13)

Tujuan utama desentralisasi adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan publik di daerah. Desentralisasi juga berfungsi sebagai instrumen pemerintah pusat dalam mengorganisasikan tata pemerintahan agar memudahkan dan mengawasi organisasi ditingkat bawahnya dengan prinsip demokratisasi. Desentralisasi dan prinsip demokratisasi dianggap dapat meningkatkan efektivitas pemerintah dalam membuat kebijakan publik melalui pendelegasian tanggung jawab (accountability) yang lebih besar kepada para pejabat tingkat daerah (Rondinelli, 1983). Desentralisasi sebagai instrumen kebijakan publik di daerah tidak hanya menyangkut solusi atas pemecahan masalah di tingkat daerah, tetapi juga dapat dipahami sebagai upaya optimalisasi koordinasi hubungan kerja antar aktor governance. Dalam perspektif ini, desentralisasi dipandang sebagai alat memperkuat relasi antara state dan citizen. Jika kondisi ini terjadi, maka tujuan desentralisasi akan menguntungkan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan regionalisasi fungsi pemerintahan. Argumentasi ini sesuai dengan pendapat.

Akuntabilitas yang dimaksud disini merujuk pada tiga dimensi akuntabilitas, yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas administrsi dan akuntabilitas fiskal. adapaun penjelasan akuntabilitas tersebut adalah :

1. Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilu sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.

2. Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitandengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.

(14)

pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana.

Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggungjawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu. Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:

a. Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).

b. Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.

c. Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya

Adanya kompleksitas penafsiran mengenai akuntabilitas seperti dikemukakan dari beberapa pandangan diata, memperlihatkan luasnya khasanah defenisi akuntabilitas. Sehingga daerah atau negara-satu dan negara lainnya bisa berbeda-beda. Disamping itu, perbendaan kondisi politik, administrasi dan ekonomi bisa membuat analisa akuntabilitas yang beragam. Untuk itu, fokus dari pembahasan selanjutnya berdasarkan pada bahasan dalam artikel diatas, akan dikemukakan berdasarkan dimensi dalam akuntabilitas yang ada.

a. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Politik

(15)

maka desentralisasi mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan politik, dan atau wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa desentralisasi diartikulasikan sebagai penyerahan kekuasaan (devolution power) kepada pemerintah daerah. pada posisi ini tentunya, pemerintah daerah memiliki kekuasaan politik untuk menentukan arah kebijakan daerahnya sendiri. Konsekuensinya adalah kekuasaan yang dimiliki ini tentunya harus diikuti dengan akuntabilitas, terhadap pemerintahan diatasnya atau kepada masyarakat.

Telah dijelaskan dalam artikel diatas, bahwa untuk menciptakan ruang akuntabilitas dalam diskresi yang dimiliki pemerintah daerah ada beberapa hal faktor yang menjadi bahan diskusi didalamnya, yakni mengenai pembagian kelembagaan dan kekuasaan di daerah, pilihan dalam pemilihan umum dan peran partai politik di tingkat lokal. Dengan mengambil realitas politik lokal di negara berkembang, contohnya di Indonesia dimana adanya keterlibatan masyarakat dalam menentukan kepemimpinan politik lokal dalam pilkada.

Jika kondisi yang terbangun dalam realitas pembagian kekuasaan dan kelembagaan yang jelas di tingkat pemerintah daerah, seperti yang dijelaskan dalam artikel tersebut diatas kemudian mampu membangun ruang diskresi yang akuntabel. Maka perlu juga kiranya kita merujuk pada kondisi realitas dilapangan. Dimana, pembagian kekuasaan dan kelembagaan memang jelas, namun untuk tanggungjawab dalam penciptaan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahan, hal tersebut selalu diperhadapkan pada kondisi birokrasi daerah sebagai pelaksana kebijakan.

Maka tidak salah jika merujuk pada apa yang dikatakan Friedrich (1978) menegaskan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan pada masyarakat modern, membuat legislatif semakin kesulitan dalam merumuskan kebijakan dengan detail dan akan lebih banyak mendelegasikan kepada birokrasi. Sementara itu, birokrasi yang sudah semakin berkembang dan menyadari perlunya membangun semangat “ democratic responsibility” sebagai bagian dari tugas administrator, tentu akan lebih dituntut mengembangkan kapasitas internal responsibility-nya. Dalam penelitian ini kedua pendapat tersebut dipandang memiliki kekuatan yang berimbang dan perlu diimplementasikan agar penggunaan diskresi tidak keluar dari parameter diskresi yang secara normatif dapat diterima (acceptable).

Jadi tidak salah, kemudian penulis artikel tersebut menyebutkan faktor yang kedua dengan merujuk pada sistem pemilu juga menjadi masukan yang baik dalam melihat realitas ruang akuntabilitas di pemerintahan lokal. Dengan pemilihan umum yang baik akan menghasilkan pemimpin lokal yang bisa dipertanggungjawabkan, serta keterlibatan masyarakat didalamnya bisa turut mengontrol diskresi yang ada pada pemimpin atau elite daerah tersebut.

(16)

Mekanisme Pilkada yang kita kenal ini, bisa dijadikan sebagai instrumen untuk terus memperbaiki ruang akuntabilitas pemerintah daerah dari segi desentralisasi politik yang dimiliki oleh daerah. dengan adanya partisipasi politik yang baik dari masyarakat merupakan gagasan yang membagun bagi menciptakan pemerintahan yang akuntabel. Seperti yang dikemukakan Jurgen Ruland (1992 dalam Hidayat, 2007) bahwa desentralisasi yang selanjutnya akan melahirkan otonomi daerah sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat, yang pada akhirnya akan menunjang pembangunan sosial ekonomi.

Mengutip pendapat Maddick dalam Hidayat (2007), melalui desentralisasi politik juga kemudian masyarakat akan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilij calon anggota legislatif yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik yang diharapkan; dan belajar mengkritisi berbagai kebijaksanaan pemerintah, termasuk didalamnya mengkritisi masalah penerimaan dan belanja daerah.

Dari beberapa pendapat diatas, kemudian dikaitkan dengan kombinasi yang dikemukakan dalam artikel tersebut diatas. Kita dapat merangkai sebuah konklusi dalam menempatkan desentralisasi politik sebagai ruang bagi akuntabilitas. Diman dengan lebih memfokuskan pembangunan pada keberdayaan masyarakat dan menciptakan ruang partisipatif bagi masyarakat, untuk kemudian ikut melakukan kontrol publik atas jalannya pemerintahan daerah.

b. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Administrasi

Desentralisasi administratif adalah pelimpahan sebagian wewenangan dan pertanggungjawaban dibarengi dengan pemberian wewenang untuk mengelola sumber-sumber keuangan untuk membiayai kegiatan operasional dan penyediaan pelayanan publik (public service). Pelimpahan wewenang tersebut berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen urusan pemerintahan dan bidang keuangan (financial management) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (local government) (Rahayu, 2010).

Kaitannya dalam artikel diatas kemudian, desentralisasi administrasi dibahasakan kedalam tiga faktor yang mempengaruhi akuntabilitas yang menyangkut pada kemampuan birokrasi pemerintah daerah, yaitu kemampuan mengatur, bagaimana mengaturnya dan mengenai pelayanan publik dan kepegawaian. Tentunya fokus dari desentralisasi ini kemudian berada pada domain aparat birokrasi dalam pelaksanaannya, maka pada ranah desentalisasi disini akan diperhatikan pada diskresi yang dimiliki aparat birokrasi didaerah.

Kajian tentang penggunaan ruang diskresi birokrasi apakah sudah didasarkan pada parameter-parameter yang secara normatif dapat diterima (acceptable) merupakan salah satu dimensi yang dapat digunakan untuk menilai sejauhmana gerakan reformasi birokrasi telah membuahkan hasil. Sebagaimana diketahui, birokrasi publik di Indonesia masih berperan sebagai penyelenggara utama pelayanan publik. Sehingga birokrasi masih memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power) dalam rangka memberikan pelayanan umum ( public service) sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan pada ranah politik (Astuti, 20..).

(17)

ini karena birokrasi lebih menguasai substansi permasalahan yang akan dicarikan solusinya melalui kebijakan publik tersebut. Namun fokus dari studi ini adalah pada kewenangan operasional birokrasi sebagai pelaksana kebijakan.

Tantangannya kemudian, dalam desentralisasi administrasi seringkali terjadi di negara-negara berkembang tidak semua praktik desentralisasi diberikan kewenangannya kepada pemerintah daerah, termasuk di Indonesia dalam 5 urusan yang tidak didesentralisasikan. Terkait hal ini juga, adalah mengenai kewenangan daerah yang seringkali bertentangan dengan peraturan diatasnya dalam hal ini pusat. Contohnya adalah, desentralisasi di aceh yang kemudian diberi keleluasaan membentuk partai politik lokal dan peraturan daerah berbasis syariah. Beberapa waktu lalu polemik muncul dari adanya diskresi provinsi aceh tersebut, yakni persoalan qonun (sejenis perda) yang mensahkan bendera dan lambang aceh. Pada gilirannya kemudian hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pemerintah pusat. Hal-hal seperti inilah kemudian yang perlu dicarikan jalan tengah yang baik, sehiangga diskresi yang diberikan juga kemudian dapat dinilai akuntabilitasnya baik terhadap pemerintah pusat maupun masyarakatnya sendiri.

Demikian pula dengan diskresi yang dilakukan baik itu berupa suatu keputusan untuk berbuat maupun berupa keputusan untuk tidak berbuat (Davis 1969) harus dapat dipertanggungjawabkan melalui mekanisme atau sistem akuntabilitas yang ada. Oleh karenanya diskresi birokrasi perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar dapat diterima dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini sesuai dengan prinsip -prinsip human governance yang dikemukakan oleh Baggini sebagai akuntabilitas sosial yakni pertanggungjwaban sosial yang harus dilakukan oleh administrasi publik secara lebih luas dan dijadikan sebagai alat dialog dengan stakeholder (Thoha 2008:158).

Ruang kontrol masyarakat seperti yang dikemukakan dalam artikel tersebut, dalam pendekatan akuntabilitas publik dan akuntabilitas sosial memegang peranan penting disini. Saat ini dikenal mekanisme citizen charter atau pelayanan publik yang berbasis masyarakat, ataupun mekanisme pembangunan dalam Musrembang dan lain-lain yang membuka keran ruang partisipasi masyarakat. sehingga proses pelaksanaan pemerintahan didaerah mampu memanfaatkan partisipasi dalam bentuk kontrol masyarakat untuk berkolaborasi menciptakan pemerintahan yang akuntabel.

c. Akuntabilitas dalam Desentralisasi Fiskal

Akuntabilitas dalam sektor fiskal (keuangan) mungkin menjadi hal yang sangat rentan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. kerentanan ini bukan saja dalam hal penggunaannya yang sangat vital dalam pelaksanaan pelayanan publik di daerah, namun juga pada kemampuan daerah menggunakan diskresinya dalam penyelenggaraan fiskan didaerah secara tepat dan akuntabel. Banyak contoh kasus bisa dikemukakan disini, masalah fiskal didaerah yang kemudian menjerat kepala daerah atau aparat birokrasi ke dalam masalah korupsi.

(18)

Pada posisinya, faktor yang disebutkan diatas dalam pelaksanaannya di pemerintah daerah kemudian memberikan inovasi kepada daerah untuk menarik pendapatan baik dalam bentuk pajak maupun retribusi daerah, selain dari sumber-sumber pendapatan lain tentunya. Hal tersebut kemudian memacu daerah untuk meningkatkan keuangannya melalui berbagai inovasi yang dilakukan, termasuk adalah melakukan pinjaman untuk investasi didaerah. Salah satu yang paling sering kita dengar dalam kaitannya dengan diskresi fiskal ini adalah daerah berwenang menarik pajak atau retribusi didaerah sebagai bagian dari pendapatan daerah.

Konteks di Indonesia, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan (Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum/DAU, dan Dana Alokasi Khusus/DAK), dan Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh pemerintah daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh pemerintah pusat melalui kerjasama dengan pemerintah daerah. tentunya kesenangan yang diberikan tersebut diikuti dengan akuntabilitas sebagai wujud pertanggungjawaban atas peruntukan aggaran tersebut di daerah.

Keterkaitan antara implementasi kebijakan desentralisasi fiskal dengan kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah akan berdampak pada peningkatan perolehan pendapatan daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan dua komponennya. Implementasi kebijakan fiskal ini akan berwujud pada pemberian keleluasaan kepada daerah dari pemerintah atasnya untuk memperoleh pemerimaan (earning), serta kewenangan untuk membelanjakannya (spending).

Dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah akibat di implemntasikannya kebijakan daerah, tentunya harus disusun kerangka hukum (legal framework) yang jelas. Kerangka hukum ini merupakan seperangkat aturan yang saling terkait, melibatkan seluruh tingkatan pemerintah yang ada, dan tentunya tidak boleh saling bertentangan satu dengan lainnya. di tingkat pusat, seperangkat peraturan perundang-undangan perlu dibuat untuk mengatur atau memberikan kerangka acuan yang jelas bagi daerah dalam upayanya untuk meningkatkan penerimaan dari sumber penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. operasionalisasi dari aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang lebih tinggi harus dapat dijabarkan dalam peraturan yang lebih rendah, dan tentunya lebih operasional, oleh tingkatan pemerintahan yang ada dibawahnya dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi (Rahayu, 2010; 120).

(19)

pemerintah, dan mungkin akan menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta terjadinya ketidakstabilan makroekonomi (Prud’hommme, 1995).

Catatan Akhir : Diskresi Pemerintah Daerah dan Akuntabilitas

Dalam artikel ini kemudian mencoba menjembatani masalah diskresi dan bentuk akuntabilitasnya dalam pemerintahan daerah. walaupun memang dinyatakan dalam artikel adalah hal yang tidak mudah untuk melihat korelasi akuntabilitas dan diskresi yang ada dalam pemerintah daerah. karena ditahu bahwa ruang diskresi merupakan kewenangan yang sifatnya pribadi pimpinan daerah dalam mengambil keputusan atau kebijakan di daerah. faktor etika dalam birokrasi pemerintah daerah disini kamudian memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan akuntabilitas.

Disadari memang terdapat perbedaan mendasar bagi setiap negara dalam implementasi desentalisasi dalam pemerintahan daerah. faktor politik, ekonomi, dan administrasi sangat berperan disini. Namun esensi utama desentralisasi dalam setiap negara ini dapat kita tarik sebuh benang merah adalah untuk mendekatkan pelayanan publik ketingkat pemerintahan daerah. sehingga kinerja pemerintah daerah dapat lebih mencerminkan kinerja yang akuntabel.

Perbedaan praktek penyelenggaraan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, desentralisasi dipandang sebagai prinsip pemerintahan yang menyangkut persoalan regional dan adat istiadat (budaya lokal) dalam konteks negara kesatuan. Kedua, desentralisasi sebagai upaya ekonomi politik pemerintah dalam memberikan peluang berdemokrasi dan berprakarsa guna memenuhi kepentingan lokal. Ketiga, desentralisasi dianggap sebagai kemerdekaan dalam segala urusan yang menjadi hak daerah. Keempat, desentralisasi sebagai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam memenuhi kepentingan masyarakat daerah. Keenam, desentralisasi sebagai suatu mekanisme empowerment masyarakat dalam kerangka demokrasi, dimana daerah memiliki keleluasaan untuk melakukan pembangunan daerah secara mandiri (Keban, 2000).

Dari penjelasan mengenai desentralisasi dalam artikel diatas dikemukakan tiga ranah desentralisasi yakni politik, administrasi dan fiskal. disadari memang hubungan ketiga ranah ini akan menentukan juga bagaimana mengkombinasikan sebuah akuntabilitas melalui diskresi pemerintah daerah. karena peranan masing-masing ranah tersebut jika dikaitkan dengan partisipasi masyarakat didalamnya, juga dalam hal ini adalah adanya kontrol publik akan memberikan peningkatan bagi akuntabilitas pemerintah.

(20)

Akuntabilitas dan diskresi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Penggunaan ruang diskresi haruslah akuntabel, yang mana dapat diwujudkan dengan adanya sistem akuntabilitas melalui mekanisme kontrol birokrasi baik internal maupun eksternal. Mengutip pendapat Finer (1941), mekanisme eksternal check and balances yang disebut juga “objective responsibility” (dalam Denhardt,1999) yang dijalankan oleh lembaga legislatif lebih efektif untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan birokrasi (mall administration) termasuk penggunaan diskresi. Untuk itu sudah seharusnya pemerintah daerah mengedepankan akuntabilitas dalam menjalankan proses pemerintahan daerah.

Rekomendasi

Berdasarkan realitas tersebut diatas, diskresi pemerintah daerah terhadap hubungannya dengan akuntabilitas memang masih belum optimal. Disatu sisi kewenangan daerah berupa diskresi yang dimilikinya merupakan ranah keputusan individu terhadap tuntutan lingkungan pemerintahan, namun disatu sisi juga bahwa apapun yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dipandang sebagai kebijakan publik. sehingga setiap mekanisme keputusan ataupun kebijakan yang dilahirkan, tetap memerlukan pertanggungjawaban sebagai wujud akuntabilitas pemerintahan.

Disisi lain, diskresi yang dimiliki pemerintah daerah dalam realitas desentralisasi selalunya diperhadapkan pada responsifitas tuntutan masyarakat didaerah. Dan, seringkali terjadi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah pusat. Disamping itu juga, permasalahan mengenai penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh elite lokal di era desentralisasi semakin menganga lebar. Praktek mal administrasi, korupsi dan sejumlah patologi birokrasi lainnya masih saja melingkupi realitas kinerja birokrasi.

Pada gilirannya kondisi ini hanya akan merugikan masyarakat terutama dalam penyediaan pelayanan publik baginya. Namun, kondisi ini juga diperparah dengan tidak adanya masyarakat kontrol publik terkait proses pemerintahan, hal ini terjadi bukan karena masyarakat cenderung apatis saja tapi keterbatasan akses masyarakat terhadap produk-produk pemerintah daerah. disini kemudian dapat dilihat bahwa hubungan diskresi pemerintah daerah dan akuntabilitasnya, ternyata dipengaruhi juga oleh kontrol masyarakat di daerah.

Sebagai rekomendasi dalam menjawab persoalan diskresi pemerintah daerah dan akuntabilitasnya, penulis mencoba menambahkan rekomendasi untuk mengawal diskresi pemerintah daerah untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel, yakni dengan memperkuat kontrol publik. kontrol publik dimaksudkan disini adalah adanya keterlibatan maupun pelibatan masyarakat dalam proses pemerintahan.

(21)

masyarakatnya untuk kemudian berkemampuan untuk terlibat dalam kontrol publik dalam pemerintahan.

Adapun tawaran skema penguatan kontrol publik yakni dibagi menjadi dua sisi, yakni penguatan kontrol publik melalui intervensi pemerintah daerah (internal akuntabilitas) dan penguatan kontrol publik yang berasal dari usaha masyarakat sendiri (eksternal akuntabillitas). Dengan begitu usaha ini diarahkan untuk membangun keberdayaan masyarakat di daerah, yang selaman hanya menjadi sub-ordinat dalam pembangunan di daerah.

Skema Tawaran Rekomendasi

Dari skema diatas dapat dijelaskan bahwa, Penguatan kontrol publik untuk mengawasi akuntabilitas pemerintah daerah, yang dilakukan melalui intervensi pemerintah daerah, hal ini dapat dilakukan yakni :

a. Perencanaan partisipastif, yang dimaksud dalam hal ini adalah melibatkan masyarakat dalam perencanaan program pemerintahan, hal ini akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pembangunan, yaitu menghindari adanya peluang terjadinya manipulasi, memberikan nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan, serta meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat. tentunya dengan model perencanaan partisipatif yang terbangun, akan lebih membuat masyarakat merasa memiliki andil dalam setiap program pemerintahan. Mekanisme ini juga kemudian akan sejalan dengan proses pengawasan pelaksanaan program pemerintah, yang dilakukan oleh masyarakat di daerah.

b. Pembangunan berbasis komunitas (community development), hal ini dilakukan melalui pembangunan kapasitas masyarakat dalam didaerah, yang kemudian ditujukan untuk memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya yang ada didaerah. Disisi lain, pembangunan yang dilakukan ini kemudian diorientasikan pada usaha-usaha untuk memberdayakan masyarakat. keberdayaan disini meliputi keberdayaan politik,

Diskresi Pemerintah Daerah

Citizen Charter Community

Development

Perencanaan Partisipatif

Lingkup Pemerintah Masyarakat

Penguatan Kontrol Publik

(22)

sosial dan ekonomi. Padagilirannya kondisi masyarakat akan mampu berkontribusi secara optimal dalam memilih pemimpin daerah dalam pilkada, sehiangga setidaknya dalam posisi kepemimpinan daerah dapat diisi oleh orang-orang yang capable sesuai dengan pilihan masyarakat.

c. Citizen charter, kondisi ini memang mestinya adalah hasil dari intervensi pemerintah terhadap kekuatan kontrol masyarakat dalam perencanaan partisipatif dan pembangunan berbasis komunitas diatas. Namun kemudian mencoba memulai secara pelan-pelan dimulai, mungkin akan membentuk kebiasaan masyarakat untuk selalu membangun komunikasi dengan pemerintah daerah.

Benang merah dari kedua bahasan diatas adalah ketika ruang diskresi dibuka secara luas sebagaimana maksud desentralisasi, sudah selayaknya diikuti oleh kontrol akuntabilitas yang baik, sehingga kecenderungan penyimpangan dapat dihindari seperti yang dikemukakan dalam artikel diatas yakni terjebaknya pemerintah dalam elite capture, red tape birokrasi, korupsi hingga penyalahgunaan kekuasaan. Dukungan juga bisa beasal dari dari adanya kontrol publik dalam sebagai partisipasi politik lokal, diperlukan untuk menguatkan mekanisme akuntabilitas yang sesuai dengan diskresi yang dijalankan oleh pemerintah daerah.

(23)

Referensi

Astuti, Sri Juni Woro, 2008. Akuntabilitas Diskresi Birokrasi di Era Otonomi Daerah, Tesis Program Magister Administrasi Publik, Universitas Wijaya Putra, tidak dipublikasikan.

Hidayat, Syarif, 2007. Too Much Too Soon; Local State Elite’s Perspective on and The Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy, Raja Grafindo Persada; Jakarta

Keban, Yeremias, T. 2000. Pengantar Administrasi Publik. Modul Matrikulasi, MAP-UGM. Yogyakarta.

..., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.

Muluk, M.R.Khairul, 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir system). Malang : FIA Unibraw -Bayumadia Publishing.

Murshed, Syed Mansoob, Mohammad Zulfan Tadjoeddin & Anis Chowdhury, Is Fiscal Decentralization Conflict Abating? Routine Violence and District Level Government in Java, Indonesia, Oxford Development Studies, Vol. 37, No. 4, December 2009.

Rahayu, Ani Sri, 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal, Bumi Aksara; Jakarta.

Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika: Jakarta.

Suaedi,Falih., Bintoro Wardiyatmo (ed)., 2010. Revitalisasi Administrasi Negara: Reformasi Birokrasi dan e-Governance, Graha Ilmu: Yogyakarta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya Yilmaz, Serdar., Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet, Linking Local Government

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukanpenegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu

Jelas bahwa perbuatan yang disebut pula dengan istilah duplicate publication, multiple publication atau redundant publication tersebut tidak semata berhubungan

Pembelajaran IPA materi pokok Konduktor dan Isolator dengan menggunakan metode demontrasi Siklus I pada siswa kelas VI SD Negeri Kertaharja 03 Kabupaten Tegal semester

Keempat , bahasa dan budaya dapat difilsafati sebagai satu bidang kajian interdisipliiner yang secara ontologis diramu dari ilmu bahasa dan kebudayaan sebagai pilar keilmuan

Tingkat kemasakan buah berwarna kuning memiliki daya berkecambah dengan nilai rata-rata tertinggi untuk semua aksesi kecuali aksesi Lokal Sukabumi G-2 yang

Keempat : Kepada para penerima sebagaimana tersebut dalam daftar lampiran diberikan honor per kegiatan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :

Kegiatan pendistribusian pada perusahaan dapat dilakukan penjadwalan distribusi mengunakan metode Distribution Requirement Planning (DRP), yaitu perencanaan kebutuhan

Berdasarkan saran dan masukan dari banyak pihak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan sejumlah perbaikan dan penyesuaian pada materi/substansi, desain, dan tata letak