BAB I PENDAHULUAN
Perjalanan Paulus ke Atena adalah sebuah perjalanan yang cukup berat, karena Paulus akan berhadapan dengan sebuah kota yang disebut sebagai “kota para filsuf.” Kota yang diisi oleh banyak kaum intelektual, pemikir hebat, dan filsuf-filsuf dimana karya-karya mereka sangat mempengaruhi peradaban, kemajuan teknologi, dan kebudayaan. Selain itu, Atena juga adalah sebuah kota para dewa karena begitu banyak dewa yang tergambar dalam rupa-rupa patung yang hampir terdapat disetiap ruas jalan kota itu (Kis 17:16). Ada sindiran yang mengatakan bahwa di kota Atena lebih mudah mencari dewa dibanding mencari manusia1.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Paulus menggunakan pendekatan sosiologi dalam memberitakan injil Kristus dengan sistem kepercayaan yang sudah ada, yaitu “kepada Allah yang tidak dikenal” menurut Kis 17:16-33.
Berikutnya tulisan ini juga akan memaparkan sejarah berdirinya patung “kepada Allah yang tidak dikenal”, apa latar belakang perikop, dan pesan utama yang ingin disam-paikan oleh Paulus kepada oleh para intelektual di Atena.
Bagaimana latar belakang kehidupan masyarakat Atena ketika Paulus ada disana?Apa dan bagaimana kisah di balik berdirinya patung berhala “kepada Allah yang tidak dikenal” di Atena?
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASYARAKAT ATENA
Jauh sebelum kedatangan Yesus Kristus, Atena memang sudah terkenal dengan para pemikir hebat seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Zeno, Phytagoras, Heraklitos, Permanindes, Thales, dan masih banyak lagi filsuf lain dengan berbagai jenis pemikiran dan gaya filsafat masing-masing. Sehingga tidak salah jika ada yang memberi komentar atau gambaran mengenai kota Atena yaitu sebagai “a great univer-sity city.”2
1 J. Knox Chamblin, terj. Irwan Tjulianto dan Elsye Elisabeth Rau, Paulus dan Diri (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 21
Atena pernah bertumbuh baik dalam bidang ekonomi dan kekuasaan dalam bidang politik, namun ketika Paulus datang, kota itu tidak lagi memiliki kekuasaan politik seperti sedia kala.3 Kondisi ini bisa terjadi karena pada tahun 146 SM, Atena
sudah jatuh kepada kekuasaan imperium Romawi, tetapi karena sejarah besar kota ini, maka pemerintah Romawi membiarkan bangsa ini menjadi bangsa yang bebas atau memerintah sendiri negaranya.4 Orang Romawi pun tidak serta merta menjadikan
mereka (orang Yunani) sebagai budaknya, tapi justru memanfaatkan kepintaran mereka, sehingga mereka hanya dijadikan sebagai guru yang mengajari penduduk Roma filsafat, seni, dan budaya.5 Sehingga tradisi sebagai kota para cendikiawan
tetap terpelihara walaupun kondisinya sudah tidak seperti dulu lagi, yaitu sebuah kondisi negara yang bebas dan merdeka.
Hal menarik lain dari kota Atena adalah seperti apa yang diungkapkan Paulus bahwa “kota itu penuh dengan patung-patung berhala” (Kis 17:16). Ini merupakan sebuah indikasi bahwa kota ini merupakan sebuah kota yang memiliki tingkat spiritualitas dan hidup kerohanian yang tinggi. Ketergantungan mereka terhadap berbagai mitos, dewa-dewa, dan hal-hal ilahi supranatural memang sudah ada sejak dahulu kala dan inilah yang memaksa Thales pada tahun 585 SM merumuskan pemikiran humanisme pertamanya yaitu keluar dari pemahaman mitologi yang dianut dengan mengatakan bahwa alam semesta berasal dari air.6 Fakta menarik lainnya
adalah konon seorang sejarahwan yang bernama Pausinas pernah menuliskan bahwa jumlah patung yang terdapat di Atena melebihi jumlah patung yang ada di seluruh daerah Yunani.7 Fakta-fakta sejarah ini setidaknya memberikan sebuah gambaran
betapa religiusnya masyarakat Atena ketika itu dan betapa rindunya mereka untuk mengenal Allah yang sejati.
3 John Drane, Memahami Perjanjian Baru, terj. P. G. Katoppo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 334
4 Matthew E. Carlton, Kisah Para Rasul, terj. Berton Halomoan Turnip (Jakarta: Kartidaya, 2002), hlm. 211
5 R. Dixon, Tafsiran Kisah Para Rasul (Surabaya: Gandum Mas, 1985), hlm. 125
6 Richard Osborne, Filsafat Untuk Pemula, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), hlm. 5
BAB II
KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL
Allah yang tidak dikenal bukanlah dewa yang khusus, tetapi sebuah tempat, untuk tuhan atau dewa manapun yang ada, tetapi nama dan sifatnya tidak terungkap kepada orang Athena atau dunia Helen secara luas.8
Kisah Paulus di kota Atena merupakan sebuah kisah yang dicatat oleh Lukas pada perjalanan misi Paulus yang kedua. Kedatangan Paulus di kota Atena sebenarnya bermula dari pengejaran orang-orang Yahudi di Tesalonika terhadap tim misi Paulus karena mereka memberitakan kabar sukacita tentang Kristus dan banyak orang menjadi percaya dan menggabungkan diri dengan Paulus dan Silas dan diantara mereka yang bergabung adalah orang-orang Yunani dan perempuan-perempuan yang terkemuka (Kis 17:3). Sehingga mereka (dengan dibantu dengan petualang-petualang di pasar) berusaha membuat huru-hara dan berusaha menangkap Paulus untuk menyerahkannya ke sidang rakyat (ay. 5). Namun rencana ini berhasil di-ketahui oleh jemaat dan pengikut Paulus, sehingga mereka meminta agar Paulus melarikan diri ke Berea (ay. 10).
Peristiwa inilah yang akhirnya mengantarkan Paulus tiba di kota Atena. Alkitab mencatat, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena…” (ay. 16a), “mereka” dalam ayat ini mengacu kepada Silas dan Timotius.
Dalam penantiannya, Paulus melihat bahwa kota Atena dipenuhi dengan patung-patung berhala dan ia melihat sebuah altar dengan epigrafi yang dipersembahkan kepada dewa tersebut, Karena Tuhan bangsa Yahudi tidak dapat disebut, kemungkinan para pendengar Paulus mempertimbangkan tuhannya sebagai "Allah tidak dikenal yang tidak tertandingi".9 Pendengarnya mungkin mengerti
pengenalan akan tuhan baru secara kiasan kepada Aeschylus The Eumenides; ironinya mungkin seperti Eumenides bukanlah tuhan baru sama sekali tetapi Erinyes
8 https://id.wikipedia.org/wiki/Allah_yang_tidak_dikenal#cite_ref-2 (5 Jan 2017)
dalam bentuk baru, begitu pula dengan Tuhan Kristen bukanlah tuhan baru tetapi tuhan yang orang Yunani telah sembah sebagai Allah yang tidak dikenal.
Allah yang tidak dikenal atau Agnostos Theos (bahasa Yunani Kuno: γνωστος Θεός) adalah teori oleh Eduard Norden yang dipublikasikan pada tahun
Ἄ
1913 yang mengusulkan, berdasarkan khotbah di Areopagus oleh Rasul Paulus dalam Kisah para Rasul 17:23, bahwa sebagai tambahan kedua belas dewa dan dewa-dewa kecil yang tak terhitung banyaknya, orang Yunani kuno menyembah dewa yang disebut "Agnostos Theos", yaitu: "Allah yang tidak dikenal", yang disebut Norden "Bukan-Yunani". Di Athena, ada sebuah kuil yang secara khusus dipersembahkan untuk dewa tersebut dan sangat sering orang Athena akan berkata "dalam nama Allah yang tidak dikenal" (Ν τ ν γνωστον Ne ton Agnoston). ὴ ὸ Ἄ
Hal ini mendatangkan kesedihan bagi Paulus (ay. 16b). Terjemahan “sedih” dalam ayat ini tidak diterjemahkan seperti yang diterjemahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. III, yaitu perasaan pilu dalam hati. Alkitab NIV menggambarkan kesedihan Paulus dengan mengatakan, “he was greatly distressed.” Terjemahan bebasnya adalah “dia mengalami kesusahan atau kesedihan yang sangat mendalam.” Ada juga yang menerjemahkan kata ini menjadi “bergejolak”10 yaitu
suatu kondisi yang menunjukkan kesal atau sedih atau ingin mempertobatkan orang yang belum percaya. παρωξύνετο adalah kata dalam Alkitab bahasa Yunani yang dipakai dalam menggambarkan perasaan Paulus. Kata ini ditulis dengan bentuk indikatif, yaitu suatu modus yang berguna untuk mengekspresikan suatu kondisi realita yang aktual.11 παροξύνω adalah akar katanya yang berarti menimbulkan rasa
marah. Seesemann memberikan komentar pada kata ini dengan mengatakan bahwa kata ini adalah, ”the expressions seek to emphasise the honest anger of the apostle, and can hardly suggest that he was simulated to preach or to win converts.”12
Sehingga bisa dikatakan bahwa kesedihan Paulus adalah sebuah kesedihan yang bercampur dengan “kemarahan yang kudus” dikarenakan hasratnya yang sangat
10 Hasan Susanto, Perjanjian Baru InterlinierYunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru Jilid I (Jakartat: LAI, 2003), hlm. 732
11 Yoppi Margianto, Belajar Sendiri Bahasa Yunani (Yoyakarta: Penerbit Andi, 2005), hlm. 2
menggebu-gebu untuk memberitakan injil kepada orang-orang di depan matanya yang mendedikasikan diri pada penyembahan berhala. Ada keinginan besar dalam diri Paulus untuk sesegera mungkin memberitakan kabar Injil kepada mereka. Hasratnya sangat membara untuk segera memberitakan Injil kepada masyarakat di Atena.
PENDEKATAN SOSIOLOGI PAULUS KEPADA MASYARAKAT ATHENA
A. Bertukar Pikiran
Dalam persinggahannya di kota Atena, Paulus menggunakan pendekatan sosiologi “bertukar pikiran” dengan orang-orang yang dijumpainya setiap hari. Kata “bertukarpikiran” dalam Alkitab bahasa Yunani menggunakan kata διελέγετο dimana menurut Schrenk kata ini biasanya digunakan hanya untuk menunjukkan suatu percakapan atau diskusi yang sifatnya berupa pengajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah. Setiap hari Paulus bertukar pikiran, berdiskusi, dan (mungkin) berdebat dengan orang-orang yang berada di pasar. Perlu juga diketahui bahwa pasar yang dimaksud dalam ayat ini adalah γορ yang berartiἀ ᾷ
suatu tempat yang ramai dikunjungi oleh orang dimana disana sering terjadi debat publik dalam membicarakan sesuatu.
Alkitab mencatat bahwa orang-orang yang sering berkumpul disana adalah orang-orang yang berasal dari golongan Epikuros dan Stoa. Orang-orang dari golongan inilah yang sering bertanya jawab dengan Paulus (ay. 18). Mereka menyebut Paulus dengan sebutan ‘si peleter”. Perlu dipahami bahwa sebutan ini adalah sebuah ejekan mereka terhadap Paulus karena “peleter” berarti orang yang berlagak tahu.13 Mereka mengatakan bahwa Paulus adalah orang yang
mengajarkan dewa-dewa asing sebab Paulus mengajarkan tentang Injil Kristus. Untuk memahami pergulatan intelektual yang terjadi dalam kisah penginjilan Paulus di Atena, perlu mengetahui terlebih dahulu seluk beluk gaya pemikiran kaum Epikuros dan Stoa. Jerome Crow mengatakan bahwa Epikuros dan Stoa adalah symbol of the religion and philosophy of the pagan Hellenstic world.14
13 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia, hlm. 732
Mereka bukanlah aliran filsafat yang tertua, tapi merupakan aliran filsafat yang paling terkenal dan banyak memberi pengaruh ketika itu.15 Untuk mengetahui
lebih jauh pemikiran dua golongan ini, berikut akan dipaparkan secara ringkas masing-masing ide pokok pemikran mereka.
1. Golongan Epikuros
o Golongan ini didirikan oleh seseorang yang bernama Epikurus yang lahir di Samos (341-271 SM) dan dalam pertumbuhannya mendapat pendidikan di Atena.Tujuan dari filsafatnya ada-lah untuk menciptakan kebahagian manusia. Itulah alasannya mengapa kebanyakan dari filsafat-nya banyak membicarakan tentang etika.
o Inti dari filsafat epikurus adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang ada yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak ada dan tidak ada sesuatu yang ada yang kemudian musnah menjadi tidak ada.” Inilah yang mendasari pemikiran Epikurus tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh pergerakan atom yang turun naik dan akhirnya kare-na pergerakannya yang terus menerus akan menciptakan alam semesta (pemikiran ini ada mirip-nya dengan teori big bang dimasa kini). Menurut dia, dunia ini diciptakan dari kombinasi-kom-binasi atom16
yang saling bergerak dan bereaksi satu dengan yang lain.
o Menurut Epikurus, manusia terdiri dari jiwa. Jiwa adalah atom bulat dan licin. Sehingga dengan demikian, jiwa menjadi seperti sebuah tubuh halus yang terdapat dalam sebuah tubuh yang kasar. Ketika tubuh yang kasar mati, maka tubuh halus (jiwa) akan akan larut dalam atom-atom semesta. Implikasi dari pemikiran Epikurus ini adalah dia tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian, ada penghukuman di dunia akhirat, dan mengajarkan agar tidak perlu takut terhadap maut. Setelah mati, tubuh tidak akan menikmati apa-apa dan tidak menderita apa-apa. Tidak ada
15 A. W. F. Blunt, Acts of The Apostles (Oxford: Clarendon Press, 1923), hlm. 215
nasib karena semua yang terjadi dalam diri manusia ditentukan oleh dirinya sen-diri.
o Menurut Epikurus sendiri tujuan hidup adalah hedone yaitu sebuah kondisi dimana tercipta harmoni antara tubuh dan jiwa,17 dimana batin
tenang dan tubuh sehat. Hal ini hanya bisa tercapai jika keinginan dipuaskan, sehingga keinginan akan menjadi semakin sedikit dan menuju ketiadaan keingian. Epikurus menambahkan bahwa semakin sedikit keinginan maka akan sema-kin besar kebahagiaan.
2. StoaGolongan
o Didirikan oleh Zeno dari Citium di Siprus (336-264 SM). Ia mengajar di gang di antara tiang-tiang (yun. stoa poikilia) dan dari sinilah asal kata nama golongannya yaitu golongan Stoa.
o Pandangannya sangat materialistis, sehingga dia menolak segala sesuatu yang imaterial, yaitu menganggap yang imaterial itu tidak ada. Zeno percaya akan adanya Tuhan, namun dia mengatakan bahwa Tuhan itu adalah bersifat materi. Zeno mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Seiring waktu Dia akan terkorupsi dan kondisi ini menyebabkan Dia sudah tidak menjadi Tuhan lagi. Kekuatannya yang besar terserap dalam segalanya.18 Sehingga, Allah
yang material itu identik dengan alam.
o Menurut Zeno, dunia ini dikuasi oleh logos yaitu akal dan rasio ilahi. Dalam logos inilah terdapat tata tertib dunia, mengatur segala sesuatu pada tujuan, dan segalanya takluk pada hukum logos. Jiwa adalah sesuatu yang bersifat materi juga bagi Zeno. Inilah yang mendasari dia dengan mengatakan bahwa jiwa adalah pusat dari tubuh manusia. Jika jiwa mati, maka jiwa akan larut ke dalam jiwa semesta.
17 Jerome Crow, The Acts, hlm. 132
Sehingga dari pemaparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa baik Epikuros dan Zeno sama-sama tidak percaya ada kehidupan setelah kematian, ada kebangkitan setelah kematian, dan ada penghakiman setelah kematian.
Kegiatan tukar pikiran yang sering dilakukan Paulus di agora ternyata membawa dampak dalam kehidupan masyakrat Atena ketika itu. Hal ini terlihat ketika Paulus akhirnya diundang ke Areopagus untuk mempresentasikan pemikiran atau Injil yang disampaikannya (ay. 19). Aeropagus adalah sebuah tempat yang disiapkan khusus untuk membicarakan hal-hal penting yang berkenaan dengan topik-topik seperti ilmu politik, masalah-masalah sosial, kebudayaan, filsafat,dsb. D. H. Madvig memberi komentar tentang Areopagus, dia mengatakan bahwa dalam Areopagus terdapat “The Council of Areopagus was similar to a council elders and was subject to the King of Athens. They have the right to punish all case.”19 Jika melihat sentralisasi Areopagus dalam kebudayaan
Yunani, maka bisa dilihat apa yang dilakukan Paulus ternyata sangat memberi dampak terhadap kehidupan masyarakat Atena kala itu.
Ajaran Paulus mungkin menimbulkan gejolak dalam sistem kehidupan sosial masyarakat Atena, sehingga topik yang diangkat oleh Paulus yaitu mengenai Injil Kristus tampaknya perlu didengarkan oleh banyak orang di Atena dan para penatua di Areopagus akan mengambil keputusan mengenai ajaran Paulus tersebut. Orang-orang di Atena memang senang dan menghabiskan banyak waktu untuk mende-ngar segala jenis pengajaran yang baru (ay. 20-21). Mereka rela meninggalkan pekerjaan sehari-hari demi mendengar orang memperdebatkan hal-hal baru mengenai filsafat atau ajaran agama tetentu. Konon katanya, dikarenakan “hobi” mereka yang satu ini, pemerintah yang berkuasa atas mereka mengalami kesulitan20 karena semua kegiatan harus diliburkan jika ada perdebatan di
Areopagus, sehingga hal ini membawa dampak pada sektor ekonomi dan tentunya akan merembes pada sektor-sektor yang lain.
19 D. H. Madvig, Ensyclopedia of The Bible, ed. Geoffrey W. Bromiley (Michigan: WMB. Eerdemans Publishing Company, 1989), hlm. 288
Kis 17:23-31 bercerita tentang apologetika Paulus kepada orang-orang di Atena. Dia memulai dengan menyanjung orang-orang Atena sebagai orang-orang yang religius (ay. 22).
B. Pendekatan Commond Ground (Kesamaan) ay. 23.
Don Richardson memaparkan penjelasan yang menarik tentang kisah dibalik altar “kepada Allah yang tidak dikenal” ini.21 Konon katanya dalam peradaban
Atena kuno, pernah terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat. Dalam kepercayaan mitologi Atena kuno, ini merupakan sebuah pertanda bahwa para dewa di khayangan sedang marah karena manusia lalai dalam memberi persembahan. Namun mereka sama sekali tidak tahu dewa mana yang sedang marah kepada mereka, sehingga mereka memutuskan untuk memberi persembahan kepada semua dewa yang ada di Atena ketika itu. Setelah memberikan persembahan, justru yang terjadi adalah yang sebaliknya, wabah penyakit sama sekali tidak berhenti. Hal ini membuat mereka bertanya-tanya, “Dewa mana lagi yang belum diberikan persembahan?” Hal ini membuat mereka bertanya kepada peramal (oracle), namun tidak satu pun yang tahu penyebabnya. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertanya kepada peramal lain yang berada di Knossos, bernama Epimenides. Ketika mereka menanyakan hal ini kepadanya, Epimenides menjawab,
“…is that there is still another god concerned in the matter of this plague a god whose name is unknown to us….and who is therefore not represented by any idol in your city. Secondly, I am going to assume also that this god is great enough and good enough to do something about the plague, if only we invoke his help.”
Keesokan paginya, Epimenides memerintahkan agar disediakan domba hitam dan putih yang akan dilepaskan bebas di padang rumput untuk makan. Setiap domba yang bergerak tidak dibatasi, namun cukup diikuti oleh satu orang gembala. Epimenides berkata, “Jika ada domba yang tidak makan, tapi memilih untuk berbaring di padang rumput beritahukan kepadaku, karena domba itu akan
dipersembahkan kepada dewa yang akan melepaskan kita dari wabah ini.” Tidak lama berselang ada domba yang berbaring dan di atas tempat domba itu berbaring didirikanlah sebuah altar. Epimenides berdoa, “O thou unknown god! Behold the plague afflicting this city.” Singkat cerita, wabah itu pun berhenti. Altar itu diberi nama sebutan γνώστ θε sampai ketika paulus datang ke Atena.Ἀ ῳ ῷ
Paulus menggunakan ketidak mampuan orang-orang di Atena untuk mengenal Allah sebagai jembatan untuk memperkenalkan Allah yang sejati kepada mereka. Paulus setidaknya memberikan empat argumentasi tentang Allah:
Allah sebagai pencipta (ay. 24).
Allah yang tidak kekurangan apa-apa, sehingga tidak perlu dilayani manusia.
(ay. 25).
Allah yang dekat dan sebagai penyebab kehidupan (ay. 27-28).
Allah bukan materi (ay. 29).
Orang Atena sama sekali tidak memiliki latar belakang ini, sehingga pendekatan yang dilakukan Paulus adalah dengan mengadopsi gaya pemikiran mereka sendiri, yaitu dengan mengutip pandangan mereka tentang yang ilahi (lih. ay. 24-29), yaitu sebagai pencipta dan pemelihara. Untuk menjelaskan ini Paulus mengutip langsung pujangga Yunani yaitu Epimenides dan Aratus yang mengatakan, “Ia tidak jauh dari kita masing-masing.”22 Paulus menggunakan
pendekatannya dengan menggunakan pendekatan commond ground23 sebagai
jembatan agar orang Atena paham dengan apa yang akan dipaparkan oleh Paulus berikutnya.
Paulus kemudian melanjutkan ajarannya dengan mengatakan, “Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua
22 John Drane, Memahami Perjanjian Baru, terj. P.G. Katoppo (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008), hlm. 335
orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati.” (ay. 30-31)
BAB III KESIMPULAN
Paulus tidak terlalu kaku dalam memberitakan pesan Injil, tapi dia menggunakan sarana yang sudah ada dalam mempresentasikan berita yang hendak di-beritakannya. Dia menggunakan apa yang mudah dimengerti oleh para pendengarnya, dalam hal ini (di Atena), dia menggunakan pendekatan bertukar pikiran dan Paulus juga menggunakan sebuah altar “kepada Allah yang tidak dikenal”. Beranjak dari sinilah Paulus memberitakan pesan Injilnya, yaitu berita tentang Kristus dan penghakiman setelah kematian.
Dari teladan Paulus, bisa dipelajari bahwa pendekatan sosiologi dalam penginjilan bukanlah sebuah strategi yang kaku, yang harus terpaku dalam sebuah cara, Paulus dengan lihai menggunakan cara yang sangat kontekstual dan yang mudah dimengerti dalam konteks pendengarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brink, H.V.D. Kisah Para Rasul – Tafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
2. Bruce, F. F. The Acts of The Apostles. England: Apollos, 1952. 3. Carlton, Matthew E., Kisah Para Rasul. terj. Jakarta: Kartidaya, 2002. 4. Chamblin, J. Knox. terj. Paulus dan Diri. Surabaya: Momentum, 2009. 5. Dixon, R. Tafsiran Kisah Para Rasul. Surabaya: Gandum Mas, 1985.
6. Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. terj. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
7. Guthrie, Donald. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, terj. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2006.
8. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius, 1993. 9. Margianto, Yoppi. Belajar Sendiri Bahasa Yunani. Yoyakarta: Penerbit Andi,
2005.
10. Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula. Terj. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.
11. Richardson, Don. Eternity In Their Hearts. Ventura: Regal Books, 1981. 12. Susanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan