• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Merokok dalam Perspektif MTA Muham

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Merokok dalam Perspektif MTA Muham"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

[1]

MINI RISET

HUKUM MEROKOK

(Perspektif NU, MUhammadiyah, MTA, MUI)

Mini Riset ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Matakuliah Perbandingan Madzhab dalam Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. Muh. Nashirudin, M.A,.M.Ag. Disusun oleh:

Try Yogi Prastiyo (132111003) SitiArifatusshaliha (132111015) Muthiatus Sa’adah (132111028)

HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA 2015/2016

A. LATAR BELAKANG

(2)

[2]

bronchitis, 40% kematian akibat kandung kencing, dan 25% kematian akibat jantung iskemik.1

Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai dan bahkan ikut menghirup asap rokok. Walaupun sudah secara jelas disebutkan “madharat” atau sebab yang ditimbulkan dari rokok dan asapnya itu sendiri, namun masih banyak yang mengkonsumsi rokok itu sendiri.

Maka, muncullah kajian-kajian dari kalangan para ulama untuk menghukumi mengkonsumsi rokok tersebut. Ada sebagian kalangan ulama yang tidak memperbolehkan dan bahkan mengharamkan rokok karena melihat “madharat”yang ditimbulkan dari asap rokok tersebut.

Ada juga kalangan ulama yang justru memperbolehkan atau menghalalkan karena pada realitanya malah membawa dampak positif bagi kalangan tertentu. Dan itu merupakan candu yang ketergantungan, bahkan juga ada yang mengatakan “kalau tidak rokok tidak bisa mikir”. Maka dari sinilah timbul pro kontra tentang hukum mengkonsumsi rokok itu sendiri.

B. POKOK MASAlAH

Berangkat dari latar belakang di atas, dapat diambil beberapa pokok masalah yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu :

a. Bagaimana hukum rokok dalam islam ?

b. Bagaimana hukum rokok menurut ulama NU ?

c. Bagaimana hukum rokok menurut ulama Muhammadiyah ? d. Bagaimana hukum rokok menurut ulama MTA ?

e. Bagaimana hukum rokok menurut MUI ?

f. Apa sebab perbedaan pendapat dari beberapa kalangan ulama ?

C. KERANGKA TEORI

Muh. Nashirudin, dengan mengutip pendapat Mustafa Sa’id al-Khin dalam bukunya Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan

(3)

[3]

ulama dalam bidang fiqih. Di antara sebab perbedaan yang bersifat umum, antara lain:2

a. Perbedaan qiro’at (تاءاﺮﻘﻟا ف ﻼﺘﺧا)

Merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan pemahaman makna al Qur’an karena adanya perbedaan dalam pembacaan lafadz tertentu. Contoh dalam permasalahan mengenai berwudhu, kaki harus dibasuh atau cukup diusap. Yang tertera dalam surat al-Maidah ayat 6, pada kata arjul dalam ayat dibaca nashab : wa arjulakum dalam satu qira’at dan dibaca jar : wa arjulikum dalam qir’at yang lain.

b. Ragu pada keabsahan hadits( ﺚﯾﺪﺤﻟا ت ﻮﺒﺛ ﻲﻓ ﻚﺸﻟا )

Perbedaan dalam pengambilan dalil hadits shahih yang yang bersumber dari Jasyrah binti Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “....maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita haid dan seorang yang junub”. (HR. Abu Dawud, No 232)

Hadits tersebut di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Asy Syaukani dan dihasankan oleh Ibnu Khatthan, al Zaila’iy dan Ibnu Sayyidun Nas serta dilemahkan oleh Ibnu Ar Ruf’ah dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.

c. Perbedaan memahami dan menafsirkan nash(هﺮﯿﺴﻔﺗو ﺺﻨﻟا ﻢﮭﻓ ﻲﻓ فﻼﺘﺧﻻا) Meskipun suatu dalil telah sepakati dan dinyatakan shahih namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar, yang disebabkan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikan suatu dalil tertentu. Juga dalam melakukan pemaduan dan pentarjihan antara dalil-dalil tersebut dengan dalil-dalil lain yang terkait.

d. Makna ganda pada lafadz (ﻆﻔﻠﻟا ﻲﻓ كاﺮﺘﺷﻻا)

Hal ini terjadi pada suatu ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 228, yaitu pada lafadz “quru’” yang bisa berarti suci dan

2 Lihat dalam https://sofianasma.wordpress.com /2010/12/18/ perbedaan-dalam-furu –

(4)

[4]

bisa berarti haid. Bahkan sebelum ayat tersebut turun, kata quru’ telah dikenal oleh bangsa arab yang memiliki arti masa suci atau masa kotor.

e. Pertentangan dalil (ﮫﻟدﻻا ضرﺎﻌﺗ)

Khudari Beik memberikan pengertian tentang ta’arudh sebagai dalil yang menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan dalil lain. Sedangkan Ali Hasbalah memberikan pengertian ta’arudh adalah dua dalil yang sama tingkatnya menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam kasus yang sama.

f. Tidak adanya nash dalam sebuah masalah (ﮫﻟ ﺎﺴﻤﻟا ﻲﻓ ﺺﻨﻟا دﻮﺟو مﺪﻋ) Tidak adanya dalil dari al-Qur’an atau Sunnah sering menjadi salah satu penyebab perbedaan di antara ulama fikih. Hal ini karena setelah Nabi SAW meninggal, masih banyak permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Masalah-masalah ini ada yang memiliki kemiripan dengan masalah-masalah yang ada sebelumnya, dan ada yang berbeda sama sekali. Masalah-masalah hukum terus bertambah sementara ayat al-Qur’an dan hadis Nabi jelas sangat terbatas.

D. HUKUM MEROKOK DALAM ISLAM

Merokok pada hakikatnya adalah menghisap gabungan pengaruh yang merugikan dari nikotin, karbon monoksida, tar, dan racun lainnya. Nikotin menyebabkan jantung bekerja lebih berat dan membutuhkan lebih banyak oksigen, tetapi karbon monoksida mengurangi pengambilan oksigen oleh darah. Sedangkan tar lebih memperberat keadaan yang mengurangi kemampuan penyimpanan udara oleh paru-paru.

(5)

[5]

menyimak dalam surat al-Ma’idah ayat 90, yang artinya :”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.3

a. Merokok dalam pandangan ulama MTA

Menurut ulama MTA bahwa pada dasarnya rokok adalah sesuatu yang tidak haram, jika dilihat dari bahan-bahanny sama sekali tidak ada unsur yang mengharamkan. Namun yang dianggap haram adalah akibat dari merokok tersebut. Maka secara otomatis apabila tidak ingin merasakan akibat yang haram tersebut hindarilah rokok.

Dalam hal ini mereka tidak menggunakan dasar-dasar yang berupa nash, namun melihat realita yang terjadi pada perokok, yaitu yang menurut ahli medis dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit yang mematikan.

Mereka berpendapat bahwa tidak ada satupun nash yang menghalalkan ataupun mengharamkan rokok. Sedangkanyang mempunyai otoritas untuk menentukan akan haram atau halalnya suatu makanan hanyalah Allah swt dan Rasul-Nya. Dan menurut ulama MTA tersebut bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-ulama tentang hukum rokok tersebut adalah hal yang tidak wajib untuk diikuti. Karena itu hanyalah fatwa manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lalai.4

b. Merokok dalam pandangan ulama NU

Menurut ulama NU dalam menetukan suatu hukum,tentu harus melihat dari beberapasudut pandang dan juga melihat pada dalil-dalil (Hadits, Ijma’, dan Qiyas). Karena dalam menentukan hukum islam, bukan saja hanya melihat dari Al-quran. Namun juga harus merujuk

3 Ahsin W. Alhafidz, Fikih Kesehatan, hlm. 226

4 Wawancara langsung oleh Bapak Muslih, selaku tokoh sekaligus sesepuh di Majelis Tafsir

(6)

[6]

kepada Hadits, Ijma’, dan Qiyas sebagai pertimbangan yang perlu diperhatikan.

Rokok menurut ulama NU hukumnya adalah “MAKRUH” dengan pertimbangan dan dalil-dalil hukumnya sebagai berikut :

Pertama, dalam kaidah ushul fiqih, kita ketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu adalah boleh (halal) sehingga tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Kedua, bahan baku rokok (tembakau, cengkeh, dan bahan-bahan yang lain) pada asalnya bukan merupakan benda yang memabukkan dan bukan merupakan benda yang membahayakan. Sedangkan nikotin itu sendiri sebenarnya bukan berasal dari tembakau, namun zat yang ditambahkan kedalam rokok.

Ketiga, rokok memang membawa bahaya bagi kesehatan menurut pakar-pakar kesehetan. Namun, fatwa haram rokok akan membawa dampak yang lebih besar, yakni ditutupnya pabrik rokok, yang kemudian perlu dipertimbangkan nasib dari karyawan, petani tembakau, petani cengkeh dan orang yang bekerja di kebun cengkeh, dan lain sebagainya. Kemudian terkait dengan penjelasan-penjelasan para ulama fiqh yang berdasarkan pada hadits nabi tentang larangan menjual barang yang haram dan memanfaatkan hasil dari penjualannya.

Rasulullah saw bersabda

ْﻮَـﻗ ﻰَﻠَﻋ َم ﱠﺮَﺣ ا َذ ِا َﷲ ﱠنِا َو ﺎَﻬَـﻧ ﺎَﲦَا ا ﻮُﻠُﻛَا َو ﺎَﻫ ﻮُﻋ ﺎَﺒَـﻓ م ْﻮُﺤﱡﺸﻟا ُﻢِﻬﻴَﻠَﻋ َم ﱠﺮَﺣ َﷲ ﱠنِا

ْﻮُﻠُﻛَا ٍم

ُﻪَﻨََﲦ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ َمﱠﺮَﺣ ٍءﻰَﺷ

“sesungguhnya Allah mengharamkan lemak (bangkai) kepada mereka, namun kemudian mereka menjualnya dan memakan harga hasil penjualannya. Dan sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan kepada mereka harga/hasil penjualannya.5

5 Abu Dawudd Sulaiman bin Asy‘asy as-Sijistaniy, Sunan abu Dawud, Kitab al-Ijarah, bab. Fiy

(7)

[7] bersabda pada tahun penakhlukan Makkah di kota Makkah: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung. Ada yang bertanya: wahai Rasulullah bagaimana menurut pendapat Engkau tentang lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar lampu? Maka beliau menjawab: tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian beliau saw bersabda: semoga Allah membinasakan orang Yahudi, sungguh Allah ketika mengharamkan lemak bangkai, mereka cairkan kemudian mereka jual lalu memakan hasil jual belinya tersebut.6

Rasulullah telah menjelaskan dalam sabdanya tentang hukum halal dan haram yang sebenarnya telah dijelaskan oleh Allah. Sabda Nabi saw:

“sesungguhnya yang halal itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketauhi kebanyakan orang. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara yang diharamkan, sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang), yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya.

Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan: “dari Salman dia berkata: Rasulullah saw ditanya mengenai minyak, keju dan keledai hutan, lalu baginda saw bersabda: “halal ialah apa yang telah dihalalkan oleh Allah,

6 Abi Abdurrahman Ahmad bin Su’aib an Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubra, kitab al-Buyu’, bab

(8)

[8]

dan haram ialah apa yang telah diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan apa yang didiamkan oleh-kitab-Nya, maka ia adalah dari apa perkara yang dimaafkan untuk kamu”.

Selain hadits diatas, pertimbangan lain adalah dengan pendapat-pendapat ulama tentang masalah ini. Dalam literatur klasik ternyata tidak diketemukan pembahasan tentang rokok dan hukumnya. Pembahasan ini baru diketemukan dalam pembahasan-pembahasan kontemporer. Selanjutnya berdasarkan argumen bahwa tidak adanya nash yang jelas dan tegas mengenai larangan merokok (baik Al-Quran maupun Hadits) serta tidak adanya Ijma’ (kesepakatan) ulama terkait dengan hukum ini.

Sehingga rokok dihukumi MAKRUH bukan HARAM.7

c. Merokok dalam Pandangan ulama Muhammadiyah

Ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa hukum rokok itu haram. Dan merokok merupakan perbuatan yang khobaits’ berdasarkan surat Al-A’raf ayat 157.8

َﺚِﺋﺎَﺒَْﳋا ُﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ُمِّﺮَُﳛَو ِتﺎَﺒِّﻴﱠﻄﻟا ُﻢَُﳍ ﱡﻞُِﳛَو

Artinya :”...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” (QS. Al a’raf : 157)

Khoba’its dalam hal ini diartikan oleh ulama Muhammadiyah adalah sesuatu yang kotor atau menjijikkan. Dan rokok merupakan sesuatu yang kotor atau menjijikkan karena sebab yang ditimbulkan, maka rokok dianggap haram sesuai dengan ayat tersebut.

Adapun alasan dan dalil-dalil yang menjadi landasan Ulama Muhammadiyah melarang perbuatan merokok :

1. Merokok merupakan perbuatan yang menjatuhkan diri atau bunuh diri secara perlahan, karena berkenaan dengan dalil Qur’an Q.S Al-Baqarah ayat 195 dan Q.S an-Nisa ayat 29.

7 Wawancara langsung oleh Uztad Muhammad Azam (tokoh NU sekaligus Uztad di pondok

Pesantren Al-Fatah Kartasura) pada hari sabtu 10 Oktober 2015.

8Wawancara langsung oleh Bp. Muhammad Julijianto, S.Ag, M.Ag (tokoh Muhammadiyah

(9)

[9]

2. Merokok juga merupakan perbuatan yang membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain karena mengandung zat adiktif sebagaimana yang telah disepakati oleh para ahli medis dan para akedemisi dan oleh karena itu merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadits Nabi saw bahwa tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.

3. Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan walaupun tidak seketika melainkan beberapa waktu kemudian sehingga merokok termasuk kategori yang melemahkan sehingga bertentangan dengan hadits Nabi saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan.

4. Merokok dalam pembelanjaannya juga dilarang karena termasuk perbuatan pemborosan (Mubazir). Seperti yang termaktub dalam Q.S Al-A’raf ayat 26- 27.

5. Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (Maqasid Syariah) yaitu : (1) Perlindungan Agama, (2) Perlindungan Jiwa (3) Perlindungan Akal (4) Perlindungan Keluarga (5) Perlindungan Harta.

Fatwa-fatwa yang dikemukakan terebut sesuai dengan prinsip At-Tadrij (berangsur), At-Taisir (kemudahan), dan Adam al- haraj’ (tidak mempersulit).

d. Merokok dalam Pandangan MUI

Majelis Ulama Indonesia menyatakan merokok hukumnya haram bila di lakukan ditempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil. Sedangkan selebihnya ada yang dihukumi makruh dan haram. Mereka menghukumi makruh dan haram tergantung manfaat dan madharat yang ditimbulkan dari akibat merokok.

(10)

[10]

memiliki sopan santun dan bisa mengganggu pembacanya. Maka sebaiknya yang seperti ini ditinggalkan.

Sedangkan hukum makruh bisa berubah menjadi haram apabila madharat yang di peroleh atau ditimbulkan lebih besar. Seperti contoh ketika seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya dia gunakan untuk menafkahi keluarganya sedangkan apabila uang tersebut ia gunakan untuk membeli rokok maka keuangannya mengkhawatirkan.

KESIMPULAN

a. Sebab-sebab terjadinya perbedaan dikalangan ulama

Setelah kita lihat dari beberapa pendapat ulama-ulama tersebut dapat kita ambil kesimpulan, bahwa para ulama dalam istinbath hukum merokok mengalami beberapa perbedaan (ikhtilaf). Baik dari cara memahami suatau nash maupun dalam penggunaan nash itu sendiri.

Maka yang menjadi sebab perbedaan pendapat dari beberapa ulama di atas adalah yang pertama, tidak adanya nash yang sharih atau jelas dalam sebuah masalah (ﮫﻟ ﺎﺴﻤﻟا ﻲﻓ ﺺﻨﻟا دﻮﺟو مﺪﻋ). Merokok merupakan problem baru yang muncul dan tidak ada satupun nash yang menghukumi perbuatan tersebut. Namun, kalau dilihat secara kontekstual dari suatu ayat dan dikaitkan dengan furu’ (cabang) atau ‘illat suatu peristiwa yang sudah ada hukumnya, maka perbuatan merokok tersebut dapat dihukumi. Sebagaimana ulama-ulama NU dan Muhammadiyah, yang menggunakan dalil-dalil yang berupa al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun tidak secara tersurat menjelaskan hukum merokok namun mereka yakin ada hukum tersirat yang dapat dijadikan dasar untuk menghukumi perbuatan tersebut.

(11)

[11]

bertanya: jika kamu tidak menemukan dalam sunnah maupun kitab Allah? Ia menjawab : saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah menepuk pundakknya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah yang diridhai oleh Rasulullah. (HR. Abu Dawud).9

Berbeda dengan ulama-ulama MTA yang cenderung lebih tekstualis dalam menyikapi problem tersebut. Mereka berani menghukumi apabila ada nash yang secara tertulis mengatur hukum dari perbuatan tersebut. Sedangkan merokok merupakan problem baru yang muncul dan itupun sama sekali tidak diatur dalam al-Qur’an maupun sunnah. Maka mereka menganggap tidak ada dalil yang berupa nash yang menjadi dasar untuk menghukumi perbuatan tersebut.

Yang kedua adalah perbedaan memahami dan menafsirkan nash(هﺮﯿﺴﻔﺗ و ﺺﻨﻟا ﻢﮭﻓ ﻲﻓ ف ﻼﺘﺧﻻا) terutama yang berkaitan dengan makna “khaba’its”, apakah rokok termasuk di dalamnya atau tidak. Meskipun suatu dalil telah sepakati dan dinyatakan shahih namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar, yang disebabkan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikan suatu dalil tertentu. Juga dalam melakukan pemaduan dan pentarjihan antara dalil-dalil tersebut dengan dalil-dalil lain yang terkait.

Sebagaimana yang terjadi antara pendapat ulama-ulama NU dan Muhammadiyah serta fatwa MUI yang jika dilihat dari dalil-dalil yang digunakan hampir sama. Namun karena perbedaan dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikan suatu dalil, terutama tentang makna

khaba’its, menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pengambilan suatu hukum.

(12)

[12]

DAFTAR PUSTAKA

Alhafidz, Ahsin W, Fikih Kesehatan, AMZAH, Jakarta, 2010

Abu Dawudd Sulaiman bin Asy-‘asy as-Sijistaniy, Sunan abu Dawud, Kitab al Ijarah, bab. Fiy Tsaman al-Khamr wa al-Maytah, no hadits 3488, juz II Beirut : daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996

Abi Abdurrahman Ahmad bin Su’aib an Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubra, kitab al Buyu’, bab bay’ al Khindzir, No Hadits 6265, juz IV Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991

Mudzhar, M. Atho dkk, Fatwa MUI dalam perspektif hukum dan perundang undangan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Jakarta, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu.. peristiwa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri dengan menyebut alasan

Hubungan antara prinsipal dengan agen pada prinsipnya didasarkan pada suatu kesepakatan (consent), yaitu agen setuju untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi

1.000.000.000,00 bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

Oleh karena itu apabila dikaitkan dengan hierarki norma dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- undang No.12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka jelas

Akibat Suatu Nota Keberatan (Eksepsi) Eksepsi atau tangkisan sangat penting artinya bagi terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Terdakwa yang merasa bahwa apa yang

Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi,

Jika dikaitkan dengan sarana dan prassarana pendidikan, peristiwa dalam ayat tersebut adalah suatu indikator terjadinya suatu proses pembelajaran yang memanfaatkan media belajar berupa

Jenis perbuatan pidana pelanggaran dan kejahatan hak cipta fesyen serta ancaman hukumnya yang diatur dalam UUHC yaitu: Pertama, Pasal 113 ayat 3 menegaskan bahwa setiap orang yang