• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan K"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan:

Kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

Penulis:

Nurul Firmansyah Yance Arizona

Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar Padang

(2)

BAB I Pendahuluan

Di Indonesia, perjuangan pengakuan masyarakat adat acap terbentur dengan kebijakan negara yang tidak mengakui hubungan hukum masyarakat adat dengan tanah ulayatnya. Pengingkaran yang tersebar dalam berbagai hukum nasional, telah menjadi modus yang efektif untuk menumpuk penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya secara sentralistik di tangan negara. Dimulai dengan pelintiran terhadap “Hak Menguasai Negara”, berlanjut dengan pengabaian hak-hak tradisional, baik yang terkait dengan kekuasaan politik maupun kekuasaan atas wilayah. Tatanan politik lokal seperti nagari, marga, subak, kampung dan nama lainnya dirombak dan diseragamkan menjadi desa sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan terendah yang boleh diterapkan. Dalam suasana politik hukum pemerintahan yang seperti itu, kedudukan nagari di Sumatera Barat terdesak.

Era desentralisasi melalui UU No. 22/1999, yang memberi ruang untuk mengekspresikan karakteristik daerah, di Sumatera Barat disambut dengan pembentukan Perda No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yang kemudian diganti dengan Perda No. 2/2007. Walaupun dimaksudkan sebagai kritik terhadap model Pemerintahan Desa, kebijakan ini belum mampu merekonstruksi nagari dari kerusakan-kerusakan akibat pemberlakuan sistem pemerintahan desa. Terutama dalam hal tumpang tindih wilayah nagari yang adat dengan wilayah nagari yang administratif dan tumpang tindih pengelolaan ulayat nagari antara KAN dengan Pemerintahan Nagari, sebagai akibat dari ketidak-utuhan sistem pemerintahan nagari yang diterapkan.

Perda No. 9/2000 yang kemudian diganti dengan Perda No. 2/2007 menempatkan tanah ulayat sebagai kekayaan nagari, yang pengaturan lebih lanjut tentang pemanfaatannya dibentuk dalam Perda tersendiri. Perda yang dimaksudkan untuk mengatur tanah ulayat tersebut sudah dibahas sejak tahun 2001 dan baru berhasil ditetapkan pada bulan Maret 2008, yaitu Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (selanjutnya disebut Perda TUP). Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan pembahasan perda ini, menyiratkan adanya dinamika tersendiri yang menarik untuk disigi. Perda ini kemudian menjadi titik perjumpaan antara hukum adat dengan hukum nasional dibidang pertanahan, yang memungkinkan terjadinya integrasi atau penggabungan sebagian hukum negara dan hukum lokal, atau penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau juga bisa menimbulkan konflik karena antara hukum negara dan hukum lokal saling bertentangan.

Bagi pemerintah Sumatera Barat potensi tanah ulayat dipandang sebagai aset kekayaan nagari yang pengelolaannya belum maksimal. Ini kelihatan dari isi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menyebutkan:”Persoalan yang cukup mendasar berkenaan dengan gerak pembangunan nagari sangat ditentukan dengan pengelolaan aset nagari, berupa ulayat nagari. Hingga saat ini, masih belum jelas diketahui potensi ulayat dari 533 nagari yang ada di Propinsi Sumatera Barat karena luas tanah ulayat belum pernah secara akurat didata mengingat keterbatasan informasi tata batas yang dapat dipercaya, namun menurut prediksi Badan Pertanahan

Nasional Sumatera Barat, luas tanah ulayat lebih kurang seluas 2.760.800 Ha”.

(3)

Banyaknya tanah ulayat yang belum terdaftar tersebut mendorong Pemerintah Daerah Sumatera Barat untuk memberikan kepastian hukum atas tanah ulayat. Pemberian kepastian hukum dan penyelesaian konflik penguasaan tanah ulayat sepertinya merupakan concern pemerintah, yang coba direspon dengan melahirkan Perda tentang tanah ulayat. Hal ini terbaca dari perintah Perda No. 9/2000 tentang Pemerintahan Nagari yang merekomendasikan agar dibentuk suatu peraturan daerah tentang tanah ulayat. Demikian pula dengan Rekomendasi RPJM untuk Program Pengelolaan Pertanahan yang secara tegas merekomendasikan “Pembuatan peraturan daerah dan sertifikasi bagi perlindungan tanah ulayat”.

Kehadiran Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menghadirkan sejumlah tantangan terutama terkait dengan struktur hukum pertanahan nasional, kepentingan investasi dan konflik tanah ulayat yang sudah berlangsung lama di Sumatera Barat. Kajian ini bermaksud menyigi beberapa tantangan dalam pemberlakuan Perda No. 6/2008. Kajian ini bersifat deskriptif analitis agar dapat menggambarkan potensi dampak perda ini bagi masyarakat. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan melalui diskusi-diskusi kampung, wawancara, penelusuran dokumen dan konsultasi publik.

Sistematika kajian ini terdiri dari bagian pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum penguasaan tanah ulayat di Sumatera Barat dalam sistem hukum adat. Termasuk pertemuan antara hukum adat dengan hukum negara di Sumatera Barat yang diinstitusionalisasi dalam kebijakan daerah. Bagian Kedua menceritakan advokasi kebijakan Perda TUP oleh kalangan masyarakat sipil di Sumatera Barat. Pada bagian ini juga dibicarakan inisiatif dan tujuan dikeluarkannya Perda TUP oleh Pemda Sumatera Barat. Bagian ketiga berisi analisa tekstual terhadap substansi pengaturan tanah ulayat di dalam Perda. Beberapa hal yang dijelaskan meliputi tujuan, cakupan atau objek Perda TUP, jenis-jenis tanah ulayat yang diatur, pendaftaran tanah ulayat, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat, dan sengketa tanah ulayat. Bagian keempat berisi analisa kontekstual dalam pemberlakuan Perda TUP yang dilakukan dengan mengaitkannya pada program-program Pemerintah (RPJM) bidang lingkungan dan sumberdaya alam. Kemudian membahas kemungkinan penerapan konsep Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam proses pengambilan kebijakan serta aspek kelembagaan dan pendanaan yang direncanakan oleh Pemda dalam implementasi Perda TUP. Bagian Kelima berisi kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian.

Bab II

Jalan Panjang Menuju Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

A. 2001 -2003, Masa Inisiasi dan Penyusunan Rancangan

(4)

tersebut dilatari oleh belum adanya aturan pelaksana pasal 3 UUPA. Hadirnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat(selanjutnya Permenag No. 5/1999), serasa memberi landasan hukum untuk menyusun Perda tentang tanah ulayat pada tahun 2000.

Sesuai persyaratan yang diberikan oleh Permenag No. 5/1999, dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Hasil penelitian ini memberikan kecukupan alasan untuk melanjutkan kerja penyusunan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat (RPTU) yang rancangannya berhasil diselesaikan pada tahun 2001.

Bersamaan dengan penyusunan Ranperda Tanah Ulayat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) juga mengadakan penelitian di desa Tigo Jangko Kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini terutama bertujuan untuk mengetahui seberapa besar masyarakat menginginkan pendaftaran tanah ulayat. Hasil penelitian ini direspon dengan pembentukkan tim pembahasan perumusan dan sosialisasi tentang pengaturan pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Propinsi Sumatera Barat oleh Pemerintah propinsi.

B. 2003, Kemunculan Resistensi Masyarakat Sipil

Banyaknya sengketa hak ulayat, menyebabkab RPTU memperoleh perhatian serius dari NGO, akademisi, mahasiswa, organisasi rakyat dan tokoh masyarakat lainnya. Forum-forum diskusi kritis atas RPTU bergulir, yang pada gilirannya dapat mengorganisir sikap penolakan terhadap bahaya yang mengintai dibalik RPTU. Terutama bahaya yang disodorkan oleh pasal 11 yang menyatakan ”terhadap tanah hak ulayat yang telah diganti atas haknya menurut UUPA dan apabila masanya berakhir, maka tanah tersebut menjadi tanah yang langsung di kuasai oleh negara (tanah negara). Pasal tersebut menegaskan niatnya untuk menegarakan tanah-tanah ulayat, yang sebelumnya melalui proses kekerasan dan manipulasi, telah beralih menjadi salah satu hak menurut UUPA. Selain berlaku terhadap tanah ulayat yang sudah dibebani HGU, ketentuan ini juga akan mengalihkan tanah-tanah ulayat yang akan dibebani HGU menjadi tanah negara. Selain tidak memberikan solusi, rumusan pasal tersebut terasa sekali menentang arus tuntutan masyarakat adat di Sumatera Barat, yang pada waktu itu lantang menyuarakan pengembalian hak-hak ulayat yang menjadi konsesi-konsesi HGU dan hak-hak lainnya berdasarkan UUPA. Hal lain yang juga ditolak adalah isinya yang meneruskan dan memperdalam sektoralisasi kekayaan alam, karena hanya tidak mengaturannya hak ulayat yang utuh.

(5)

Kerja tim inti ini berlangsung intensif pada bulan Maret sampai dengan April 2003. Intensifitas gerakan ini tidak terlepas dari besarya dukungan pers dan respon masyarakat di daerah atas bahaya keberadaan RPTU bagi eksistensi hak ulayat. Beberapa pertemuan penting dilakukan. Diantaranya pertemuan Maninjau yang merekomendasikan bahwa

pengaturan ulayat seharus diatur oleh pemerintah kabupaten atau kota, bukan oleh provinsi, sedangkan penjabaran lebih teknis diatur di nagari dalam bentuk Peraturan Nagari (Pernag). Juga pertemuan di Genta Budaya yang menghasilkan pernyataan sikap bersama tentang penolakan keberadaan RPTU, karena berimplikasi pada hilangnya tanah ulayat.

Kebutuhan terhadap adanya sebuah koalisi yang lebih berbentuk, untuk mengoptimalkan pengorganisasian kelompok-kelompok penolak raperda melatari terbentuknya koalisisi PALAM pada bulan Juni 2003. Melalui PALAM, berhasil membangun sinerjitas kerja-kerja antar anggota PALAM dan dengan BP PALAM. Aksi-aksi penolakan RPTU semakin sering muncul baik melalui pernyataan-pernyataan tokoh di media massa maupun penolakan-penolakan masyarakat nagari dengan cara mengirimkan petisi kepada Pansus, seperti yang dilakukan oleh nagari-nagari di Solok dan pasaman. Meskipun bukan merupakan variabel tunggal, tekanan-tekanan tersebut ternyata dapat menghambat pembahasan RPTU sampai dengan diagendakannya pembahasan kembali pada pertengahan 2004, yang oleh PALAM disambut dengan aksi penolakan tanggal 7 Juli 2004 di kantor DPRD Sumatera Barat. Karena persiapan menghadapi pemilu 2004, sekitar bulan Agustus 2004, ketua Pansus RPTU menyatakan pembahasan dan pengesahan RPTU akan diteruskan oleh anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009. Draft kemudian dikembalikan kepada eksekutif.

C. 2005, Memperluas Wilayah dan Mandat PALAM

Sampai tahun 2007, eksekutif belum lagi menyampaikan kembali RPTU kepada DPRD. Ternyata untuk sementara waktu RPTU tidak lagi diprioritaskan. Sepanjang tahun 2005 – 2007, Pemda Sumatera Barat justru memproses perubahan Perda Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari, yang memperoleh momentum dengan keluarnya UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU 22 tahun 1999. Upaya perubahan ini muncul sejak diselesaikannya kajian pelaksanaan perda No. 9 tahun 2000 pada tahun 2004. Untuk persoalan hak ulayat kajian ini memperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan asset nagari (kekayaan nagari) belum dialihkan dari KAN kepada nagari sebagaimana diamanatkan oleh Perda No. 9 tahun 2000.

Wacana dan proses perubahan perda ini diperhatikan secara serius oleh PALAM. Hal ini berangkat dari refleksi dan kajian bahwa regulasi tentang pemerintahan nagari terkait erat dengan penguasaan tanah ulayat, sehingga penggantian perda No. 9/2000 bisa memberi pengaruh yang signifikan terhadap penguasaan dan pengelolaan hak ulayat. PALAM yang semula adalah Paga Alam Minangkabau, yang khusus untuk advokasi RPTU, disepakati menjadi Pagar Alam Sumatera Barat. Perubahan ini sebagai bentuk kesadaran bahwa yang hendak dibentengi adalah alam masyarakat adat di Sumatera Barat, yang tidak hanya berkultur Minagkabau.

(6)

berupa hak ulayat. Draft ini juga tidak sinergis dengan semangat perlindungan hak-hak ulayat.

Draft perda ini akhirnya disetujui dan selanjutnya ditetapkan oleh gubernur menjadi Perda No. 2 Tahun 2007. Analisis PALAM menyebutkan bahwa Perda ini:

1. Menyeragamkan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat bagi semua masyarakat hukum adat yang ada di Sumatera Barat. Sebuah kekeliruan besar, karena selain Minangkabau, di Sumatera Barat juga ada etnis Mentawai di wilayah kepulauan, yang sistem dan kesejarahan masyarakat hukum adatnya berbeda dengan masyarakat hukum adat Minangkabau di daratan Sumatera Barat. Penyeragaman ini merupakan pengingkaran dan diskriminasi terhadap masyarakat hukum adat Mentawai, karena tidak diberikannya ruang bagi ekspresi bentuk pemerintahan berdasarkan sisten sosial dan adat mereka, seperti yang diberikan kepada masyarakat hukum adat Minangkabau. 2. Mencoba memisahkan antara nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan

nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan. Pola ini mengikuti sistem desa berdasarkan UU No.5 Tahun 1979, yang oleh masyarakat Minangkabau justru ditentang.

3. Berusaha memperkuat posisi pemerintahan propinsi terhadap kabupaten dan kota. Akibatnya perda pemerintahan nagari sebagai payung untuk mengembalikan keutuhan pemerintahan nagari, berubah menjadi kebijakan yang teknis dan administratif.

D. 2007, Reinkarnasi RPTU

Setelah pengesahan perda No. 2/2007, Pemda Sumatera Barat mengajukan kembali RPTU yang tertunda sejak tahun 2004 ke DPRD, yang segera memulai pembahasannya pada pertengahan tahun 2007. RPTU yang diajukan ini telah merobah ketentuan pasal 11 pada rancangan tahun 2001, dimana tanah-tanah ulayat yang telah diganti dengan hak atas tanah oleh UUPA, setelah masanya berakhir, tidak lagi dikuasai langsung oleh negara, tetapi kembali kepada masyarakat hukum adat, yang Pengaturan dan pemanfaatan selanjutnya dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) bersama dengan pemerintahan Nagari.

Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya bertindak sebagai mediator.

Namun secara keseluruhan pengaturan RPTU ini tidak jauh berbeda dengan RPTU yang diajukan pada inisitif awal. Dari segi materi, RPTU tetap melakukan sektoralisasi hak ulayat dengan hanya mengatur soal tanah. Konsern utama RPTU adalah semangat pemanfaatan, yang notabene merupakan kepentingan investasi pemilik modal, sehingga tidak terlalu bersemangat untuk melindungan hak ulayat. RPTU ini juga tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat.

Pengajuan kembali RPTU oleh Pemda Sumatera Barat kembali membangkitkan PALAM. Rangkaian diskusi yang berlangsung, memutuskan agar PALAM mengajukan draft tandingan yang menekankan semangat pengukuhan dan perlindungan hak ulayat. Untuk kebutuhan tersebut, Neni Vesna Madjid, Nurul Firmansyah dan Rifai Lubis dibebani tugas untuk menyempurnakan naskah akademik yang telah terlebih dahulu diinisiasi oleh LBH Padang. Naskah akademik ini selesai disusun pada bulan Februari 2008, yang berisi 3 (tiga) hal pokok berikut:

(7)

ulayat yang seperti itu, peraturan yang diperlukan adalah peraturan daerah yang dapat menegaskan pengukuhan dan perlindungan hak ulayat. Bukan peraturan yang mengutamakan aspek pemanfaatan. Ketiga, analisis peraturan perundang-undangan, yang memberikan peluang sehingga tepat dijadikan sebagai landasan yuridis untuk membuat Perda Tentang Pengukuhan dan Perlindungan Hak Ulayat.

Rampungnya naskah akademik PALAM dilanjutkan dengan penyusunan naskah peraturan Ranperda tandingan usulan PALAM, yang selesai disusun pada bulan Maret 2008 oleh Neni Vesna Majid, Rifai Lubis dan Veri junaidi. Draft tandingan ini diserahkan kepada Pansus RPTU DPRD Propinsi Sumatera Barat dalam sebuah hearing pada tanggal 17 Maret 2008, yang dihadiri oleh anggota Pansus RPTU, Badan Pekerja dan Tim Perumus PALAM serta pengurus LKAAM Sumatera Barat. Draft tandingan PALAM berjudul Pengukuhan dan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat di Sumatera Barat.

Pada intinya draft RPPHU mengatur tentang pengukuhan dan perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat di Sumatera Barat. Pengukuhan dan perlindungan melalui perda ini terasa sekali sangat perlu karena keberadaaa masyarakat adat beserta hak ulayatnya yang hingga saat ini masih tetap hidup dan bertahan di Sumatera Barat, perlu dikukuhkan, dihormati dan dilindungi sesuai dengan pernyataan pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pernyataan pengukuhan dan perlindungan ini akan mengakhiri tarik ulur dan ketidakpastian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai perundang-undangan nasional, yang dalam banyak hal mengakibatkan terjadinya konflik hak ulayat, yang dapat bermuara pada instabilitas dan disintegrasi sosial.

Untuk memperkuat dan melindungi hak ulayat, draft RPPHU ini menawarkan pengukuhan dan perlindungan hak ulayat, melalui penetapan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam pengelolaan hak ulayat, pilihan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat, dan perlindungan eksistensi hak ulayat dari perbuatan-perbuatan hukum oleh negara dan atau pihak lain melalui persetujuan sukarela dari masyarakat adat. Dalam koteks perlindungan hak ulayat, draft RPPHU membebankan kewajiban kepada pemerintah daerah, untuk mengejawantahkan kewajiban negara terhadap perlindungan hak ulayat, sebagai bagian dari hak asasi manusia dan hak konstitusional masyarakat adat, seperti kewajiban untuk menfasilitasi penyelesaian sengketa ulayat yang melibatkan pihak diluar masyarakat adat, kewajiban merumuskan kebijakan dan program untuk mendukung pengelolaan ulayat oleh masyarakat adat, kewajiban melakukan konsultasi publik kepada masyarakat adat tentang program dan kebijakan yang terkait dengan hak ulayat. Juga tentang keharusan untuk melakukan persepakatan ulang atas hak-hak ulayat yang saat berlakunya perda, berada pada penguasaan pihak lain. Pernyataan bahwa hak-hak ulayat yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan dengan status/fungsi tertentu (seperti konservasi, lindung dan lain-lain) tetap diakui sebagai hak ulayat, yang fungsinya dapat ditetapkan sesuai dengan karakteristik ekologinya.

(8)

BAB III

Telaah Substansi Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

A. Tujuan Perda

Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumberdaya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannnya secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Pada penjelasan umum disebutkan selain untuk kepentingan masyarakat adat, Perda TUP juga hadir untuk menunjang pelaksanaan pembangunan yang berskala nasional maupun regional dan lokal. Dengan demikian, disamping berorientasi ke dalam masyarakat adat, juga berorientasi ke luar untuk membuka akses bagi program pembangunan dan investasi. Meskipun demikian Perda TUP bukan merupakan Perda yang terkait langsung dengan investasi atau dunia usaha.

(9)

B. Cakupan Tanah Ulayat dan Sumberdaya Alam

Perda TUP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Tanah Ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya, diperoleh secara turun-temurun yang merupakan hak masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Menyatakannya sebagai pusaka berarti tanah ulayat tidak hanya memiliki fungsi ekonomi sebagai alat produksi, tetapi juga sebagai sarana perekat kesatuan sosial masyarakat hukum adat secara geneologis-teritorial. Sebagai pusaka, tanah ulayat harus dirawat, dilindungi dan tidak boleh punah sebab tanah ulayat merupakan identitas masyarakat adat.

Objek utama dari pengaturan Perda TUP adalah tanah, sebagaimana dikupas agak panjang pada bagian penjelasan umum Perda. Meskipun demikian, di dalam beberapa ketentuan disebutkan bahwa cakupan Perda tersebut juga termasuk sumberdaya alam lainnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Meskipun menyatakan bahwa sungai, laut, danau, angkasa, tambang, hutan dan rumput sebagai objek sumberdaya alam yang diaturnya, Perda TUP tidak menyebutkan UU Sumberdaya Air, UU Pertambangan, UU Kehutanan, sebagai landasan hukum pembentukannya. Ketidaklengkapan dasar hukum tersebut menunjukkan dua hal: Pertama, secara sistematis, Perda TUP mewarisi sektoralisasi pengaturan sumberdaya alam yang dibuat pemerintah pusat. Sehingga Perda TUP hanya mengkonstruksi pelaksanaan rezim hukum pertanahan. Perda ini tidak berusaha mengkonstruksi hak masyarakat adat atas air, tambang dan hutan yang juga dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat berdasarkan UU Sumberdaya Air, UU Pertambahan dan UU Kehutanan. Dalam kacamata ilmu perundang-undangan, ketiadaan landasan yuridis dari UU Sumberdaya Air, UU Pertambangan dan UU Kehutanan mempersempit cakupan pengaturan Perda TUP hanya kepada tanah saja.

Kedua, sektoralisasi tidak sejalan dengan pandangan masyarakat Minangkabau yang dalam praktik kesehariannya menggunakan ungkapan tanah ulayat untuk menunjuk kepada sebidang tanah dan sumberdaya yang ada diatas dan didalamnya sebagai objek yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Minangkabau memandang tanah ulayat (ungkapan untuk menyebutkan hak ulayat) sebagai penguasaan oleh masyarakat adat atas sumberdaya secara holistik.

Selain mereduksi diri untuk mengatur sektor tanah saja, dijadikannya Permenag No. 5/1999 sebagai salah satu landasan yuridisnya, menjadikan Perda TUP tidak bisa menjawab dan menyelesaikan konflik tanah ulayat yang sudah berlangsung lama sebelum Permenag tersebut keluar. Pasal 3 Pemenag No. 5/1999 secara tegas membatasi keberlakuan Perda tentang hak ulayat masyarakat adat yang tidak berlaku bagi (a) tanah-tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria; dan (b) Tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

C. Jenis-jenis Tanah Ulayat

(10)

Berbeda dengan tipologi hak ulayat yang disampaikan Budi Harsono. Perda TUP membagi tanah ulayat di Sumatera Barat dalam empat jenis (Pasal 5 Perda TUP). Pertama, Tanah Ulayat Nagari yaitu tanah ulayat berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya, merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan Pemerintah Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya.Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai cadangan bagi masyarakat adat nagari, penguasaan serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama pemerintah nagari sesuai dengan hukum adat Minangkabau dan dapat dituangkan dalam bentuk peraturan nagari.

Sebagai cadangan, tanah ulayat nagari merupakan lahan yang diperuntukkan bagi perluasan pertanian dan perluasan nagari. Disamping itu, karena strukturnya yang berbentuk hutan, tanah ulayat nagari menjadi sumber pasokan air dan sebagai tempat masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti rotan. Dalam fungsinya sebagai cadangan, maka tanah ulayat nagari bukan merupakan penyangga utama bagi perekonomian nagari.

Perda TUP menetapkan kewenangan pengurusan (penguasaan) tanah ulayat berada pada KAN, dan Pemerintah Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur pemanfaatannya. Ketentuan ini potensial konflik dengan ketentuan dalam Perda Sumatera Barat No. 2/2007 tentang Pemerintahan Nagari yang menyatakan pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari dilaksanakan oleh Pemerintahan Nagari berdasarkan Peraturan Nagari, yang dalam proses pembuatannya telah dikonsultasikan dengan KAN. Potensi konflik kewenangan ini yang hendak dijembatani oleh ketentuan pasal 7 ayat (1) Perda TUP yang menyatakan Tanah ulayat nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN bersama Pemerintah Nagari sesuai dengan hukum adat Minangkabau dan dapat dituangkan dalam Peraturan Nagari.

Kedua, Tanah Ulayat Suku yaitu hak milik atas tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pengaturannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.Tanah ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan bagi anggota suku tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai dengan hukum adat Minangkabau.

Tanah ulayat suku sebagai tanah cadangan bagi kepentingan anggota suku, berarti tanah ulayat nagari bukanlah sebagai sandaran atau sasaran utama untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, baik bagi kepentingan anggota maupun dikerjasamakan dengan pihak lain. Sebagai cadangan, maka tanah ulayat suku baru dimanfaatkan jika ditemukan situasi-situasi yang mengharuskan tanah ulayat suku tersebut harus dimanfaatkan oleh anggota-anggota suku, dalam hal ini adalah kaum-kaum.

Ketiga, Tanah Ulayat Kaum yaitu Tanah Ulayat Kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaannya dan pemanfaatannya diatur oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum yang pengaturannya dilakukan oleh Mamak Kepala Waris sesuai dengan hukum adat Minangkabau.

(11)

sebagai lahan produksi, terutama pertanian bagi masyarakat suatu kaum. Penguasaan atas

tanah ulayat kaum adalah mamak kepala waris. Tanah ulayat kaum merupakan pusako

tinggi yang tidak boleh dipindahtangankan secara permanen. Satu-satunya transaksi yang boleh atas tanah ulayat kaum adalah Gadai untuk menghadapi 4 (empat) situasi yaitu: (a)

Rumah Gadang katirisan, yaitu membangun/memperbaiki rumah adat; (b) Maik tabujua tangah rumah, yaitu mayat terlantar di atas rumah; (c) Gadih gadang indak balaki, yaitu gadis yang sudah dewasa belum bersuami; (d) Mambangkik batang tarandam, yaitu, mengangkat kembali penghulu kaum pemegang sako.

Keempat, Tanah Ulayat Rajo yaitu Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah

berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo sesuai hukum adat Minangkabau.

Karakteristik keempat jenis tanah ulayat tersebut digambarkan dalam tabel di bawah:

Tabel Jenis Tanah Ulayat dalam Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan

Hak Milik Milik kolektif anggota

suatu suku

Hak Milik Milik kolektif anggota

suatu kaum.

Pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat sudah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Ada kecurigaan, pendaftaran tanah ulayat akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena sifat komunalitasnya beralih menjadi hak-hak individu. Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalnya pada tanah ganggam bauntuak dipandang sebagai proses individualisasi ta nah ulayat. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) adalah hak yang mandiri. Kemandirian hak ulayat tergambar dalam ungkapan “adat salingka nagari”. Sebagai hak yang mandiri, pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain, cukup didasarkan pada hukum adat.

(12)

32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan sertipikat “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Sertipikat, selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah, juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah, karena tersedianya data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertifikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman. Hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat menunjukkan sebagian besar (73,75% dari 400) orang setuju terhadap sertifikasi tanah ulayat.

Selain Sertifikasi, ditemukan bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten, pengakuan hak Masyarakat Baduy dilakukan melalui Perda No. 32/2001. Di Kabupaten Merangin, Jambi, dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk. Pilihan hukum pengakuan dalam bentuk sertifikat membenarkan anggapan Perda TUP lahir untuk kepentingan ekonomi, terutama untuk menciptakan pasar tanah sebagaimana didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Proyek Land Administration Project (LAP) BPN yang disponsori oleh Bank dunia dan AusAid merupakan salah satu contoh. Proyek ini mendorong deregulasi pertanahan yang bertujuan menciptakan pasar tanah, yaitu agar tanah (termasuk tanah ulayat), dapat dipertukarkan secara berkepastian hukum sesuai mekanisme pasar. Untuk tahap II proyek LAP ini akan mulai memasukkan objek tanah masyarakat adat dengan dukungan dana US$ 110 juta. Kondisi ini dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat, terlebih karena sertifikat dijadikan alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas bidang-bidang tanah. Akibatnya pengetahuan hukum masyarakat adat tentang tanah ulayat berkurang dan digantikan oleh dominasi hukum negara, yang interpretasinya tergantung pada pemerintah dan ahli hukum, yang jarang berkemauan memperkuat hak masyarakat.

Menurut PP No. 24/1997, hak ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah. Ketentuan inilah yang membuat Permenag No. 5/1999 menyarankan agar tanah ulayat didaftarkan sebagai hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini diikuti oleh Perda TUP yang menetapkan agar tanah ulayat didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut UUPA, yaitu:

1. Tanah Ulayat Nagari, didaftarkan dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama ninik mamak KAN. Di dalam sertifikat akan tercantum nama ninik mamak KAN dan pihak lain yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari dapat melampirkan.

2. Tanah Ulayat Suku, didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.

3. Tanah Ulayat Kaum, didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.

4. Tanah Ulayat Rajo, didaftarkan dengan status hak pakai dan hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.

5. Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan, yang dikerjakan terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah memenuhi “adat diisi limbago dituang.”

(13)

dimiliki berdasarkan asal usul, menjadi tanah-tanah negara yang pengusahaannnya dikuasakan kepada nagari sebagai bagian dari institusi pemerintahan. Jangka waktu HGU yang maksimal hanya 60 tahun, menyebabkan setelah masa tersebut lewat, ulayat nagari menjadi tanah negara. Pengusahaan berdasarkan HGU ini juga membebani nagari dalam hal penyetoran uang pada, penyampaian laporan tertulis setiap tahun. HGU juga dapat dibebani hak tanggungan yang dapat digugat oleh pihak lain

Selain dengan status HGU, tanah ulayat nagari juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Kewenangan pemegang hak pengelolaan terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada departemen, lembaga-lembaga pemerintahan negara, daerah otonom, serta badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan. Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA. Tetapi PP No. 40/1996 tidak menegaskan bahwa masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari dapat menjadi pemegang hak pakai.

Pendaftaran ulayat nagari sebagai hak pakai menyebabkan jangka waktu yang dimiliki oleh nagari untuk menggunakan tanah tersebut paling lama hanya 45 tahun. Memang ada ketentuan yang memungkinkan hak pakai untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu bagi kepentingan oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional serta badan keagamaan dan sosial. Belum bisa dipastikan apakah tanah ulayat nagari terkualifikasi sebagai keperluan tertentu. Sehingga juga belum dapat dipastikan apakah ulayat nagari yang terdaftar sebagai hak pakai, akan bisa dipergunakan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Pemegang hak pakai juga dibebani kewajiban untuk membeyarkan sejumlah uang kepada pemberi hak pakai. Kewajiban ini menjadi tidak tepat jika memandang tanah ulayat nagari sebagai hak asal usul dari kesatuan masyarakat hukum adat. Sebab akan kelompok yang membayar sejumlah uang kepada pihak lain, atas tanah yang pada mulanya adalah hak mereka.

Intinya, pendaftaran tanah ulayat dengan status menurut UUPA, memperlemah keberadaan tanah ulayat, karena bisa bermuara pada konversi hak-hak ulayat. Jika bermaksud memperkuat keberadaan tanah ulayat, maka mekanisme pendaftaran tanah ulayat di luar model pendaftaran yang diatur dalam PP No. 24/1999 perlu didorong. Sebuah mekanisme yang bisa mencegah pasar tanah dan mencerminkan penguatan hak ulayat.

D. Mekanisme Pemanfaatan Tanah Ulayat

(14)

1) Pemanfaatan oleh Anggota Masyarakat

Pasal 9 ayat (1) Perda TUP menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat dapat dilakukan atas sepengetahuan dan seizin penguasa ulayat yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan, dilakukan berdasarkan hukum adat, yang dapat berbeda-beda antar nagari.

Izin pemanfaatan tanah ulayat diberikan penguasa ulayat. Untuk ulayat nagari, izin diberikan oleh KAN. Untuk tanah ulayat kaum, izin tersebut bernama ganggam bauntuak, yang merupakan metode pembagian tanah milik kaum kepada anggota atau kelompok anggotanya (paruik/jurai), baik untuk pertanian (sawah dan ladang) maupun sebagai tempat tinggal. Pembagian ini bukan untuk dimiliki secara individu, tetapi hanya untuk dipakai dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidup para anggotanya. Ganggam bauntuak hanya diperuntukkan bagi si perempuan atau jurai, sesuai dengan sistem matrilineal. Laki-laki tidak berhak atas tanah ganggam bauntuak. Ninik mamak, Mamak Kepala Waris dan laki-laki lainnya, bertugas mengawasi penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut demi kelangsungan hidup saudara-saudara perempuan dan anak kemenakan dari saudara perempuan itu.

2) Pemanfaatan untuk Kepentingan Umum

Pasal 9 ayat (2) Perda TUP menyebutkan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara penyerahan tanah oleh penguasa dan pemilik ulayat berdasarkan kesepakatan anggota masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Belum ada pengertian yang final tentang frasa “sesuai dengan ketentuan yang berlaku.” Apakah ketentuan berdasarkan hukum adat atau berdasarkan hukum nasional yang secara khirarkis lebih tinggi dari Perda TUP. Bila merujuk pada ketentuan hukum nasional, mekanisme penyerahan tanah ulayat bagi kepentingan umum mengacu kepada Perpres No. 36/2005 yang diperbarui dengan Perpres No. 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Menurut perpres tersebut pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum, dilakukan melalui musyawarah antara pemegang hak dengan panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, untuk menyepakati penyerahan tanah dan jumlah ganti rugi. Jika musyawarah tidak memperoleh kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besaran ganti rugi dan menitipkan uang tersebut di Pengadilan Negeri setempat. Kedudukan Perpres yang lebih tinggi, dapat membuat norma kesepakatan yang diharuskan oleh perda, menjadi tidak bermakna apa-apa.

(15)

TUP, tidak cukup untuk melindungi dan memperkuat tanah ulayat.

3)Pemanfaatan untuk Kepentingan Investasi

Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi (Badan Hukum dan perorangan) dapat dilakukan melalui Perjanjian pengusahaan dan pengelolaan antara penguasa dan pemilik tanah ulayat dengan badan hukum atau perorangan dalam jangka waktu tertentu. Artinya Investor dapat memanfaatan tanah ulayat dengan mengikutsertakan penguasa tanah ulayat sebagai pemegang saham, atau bagi hasil atau dengan cara lain dalam waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Untuk ulayat nagari maka musyawarah mufakat dilakukan di KAN dan diketahui oleh pemerintah nagari. Perjanjian kerjasama tersebut baru dapat dilakukan setelah badan hukum atau perorangan yang memerlukan tanah ulayat, memperoleh Izin Lokasi guna kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah. Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris. Jika masa perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan berakhir, status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula. .

Ketentuan pemanfaatan tanah ulayat oleh investor di dalam Perda TUP tidak mempertimbangkan karakteristik dari jenis-jenis hak atas tanah ulayat yang sudah dibedakan sebelumnya. Aklibatnya tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, yang kedudukannya dalam Perda ini disebut sebagai cadangan bagi kepentingan masyarakat nagari atau anggota suku, tetap dapat dimasuki kepentingan investasi.

Penyusun Perda TUP juga tidak mempedulikan mengenai kesiapan masyarakat adat untuk bekerjasama dengan investor. Padahal kerjasama dengan investor tersebut pastilah banyak ranjau, yang mestinya diantisipasi lebih awal. Kerjasama dalam bentuk penyertaan saham misalnya, perlu kemampuan untuk memprediksi kecenderungan arus modal (capital flow), yang sangat mungkin bergerak cepat dan tidak terbatas ruang. Jika hak ulayat merupakan harta yang dipisahkan dari harta pemilik saham, maka hak ulayat yang menjadi saham masyarakat adat, bisa diperjualbelikan secara cepat dalam pasar saham. Demikian juga jika perusahaan bangkrut oleh kesalahan manajemen, saham masyarakat yang berupa hak ulayat akan menjadi bagian harta perusahaan yang harus dilepas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan. Pada kondisi demikian, masyarakat adat menjadi sangat dirugika, karena satu-satunya harta berharganya akan berpindah tangan. Padahal prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat adalah adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan

sando”. Artinya tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan. Karena

itu, tanah ulayat yang dimanfaatkan oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya, harus kembali kepada masyarakat.”Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan” adalah pepatah adat yang tepat menggambarkan keharusan itu.

Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah masa perjanjian kerjasama berakhir, merupakan tema sentral yang didorong dalam advokasi Ranperda TUP. Dorongan ini sebagai penolakan terhadap ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai

negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat serta penguasaan masyarakat terhadapnya.

(16)

menyebutkan kembali kepada pemilik ulayat, tetapi kembali kepada bentuk semula. Frasa “kembali ke bentuk semula” memberikan penafsiran yang jamak. Aapakah tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.

E. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

Perda TUP mendefinisikan Sengketa tanah ulayat sebagai perselisihan hukum atas tanah ulayat antara dua pihak yang bersengketa yaitu penguasa dan atau pemilik tanah ulayat dengan pihak lain.

Rumusan ini menyederhanakan para pihak yang terlibat dalam sengketa tanah ulayat, menjadi dua pihak saja. Padahal sengketa yang ada memperlihatkan banyak pihak yang terlibat, seperti investor, instansi pemerintah dan kelompok-kelompok lainnya.

Di Sumatera Barat, konflik tanah ulayat paling banyak terjadi pada tanah-tanah konsesi perkebunan. Hampir seluruh perkebunan berskala besar yang ada di daerah Sumatera Barat berkonflik dengan penduduk/komunitas tempatan (Benda-Beckmann dan Benda – Beckmann 2001, Biezeveld 2001, Nahirisa 2002, Afrizal dan Edi Indrizal 2002 dan Afrizal 2005 a). Sementara Konflik /sengketa tanah di Sumatera Barat dari 2004-2006 berjumlah 76 kasus dengan perincian sebagai berikut: Tahun 2004 sebanyak 25 kasus, Tahun 2005 sebanyak 25 kasus, Tahun 2006 sebanyak 26 kasus. Konflik baik yang internal maupun yang eksternal, marak terjadi sejak lumpuhnya penyelesaian sengketa secara adat akibat intervensi hukum formal dan intervensi kepentingan modal atas ulayat, yang celakanya selalu difasilitasi oleh pemerintah dan atau kebijakan pengelolaan sumberdaya alam.

Afrizal membagi konflik ulayat atas dua karakter konflik, yaitu konflik internal yang ruang lingkupnya pada lingkungan nagari dimana pihak-pihak yang terlibat adalah anggota masyarakat nagari dan konflik eksternal yang ruang lingkupnya pada lingkungan nagari tetapi melibatkan pihak luar masyarakat nagari (pemilik modal / perusahaan, institusi negara dan lain-lain). Konflik internal disebabkan oleh perubahan masyarakat dari yang bersifat kolektif menuju masyarakat individual, lemahnya institusi penyelesaian sengketa nagari untuk menyelesaikan sengketa melalui mekaisme hukum adat, dan konflik internal yang mempunyai hubungan dengan konflik eksternal antara masyarakat nagari dengan pemilik modal dan atau pemerintah. Contoh dari konflik ini bisa ditemui pada kasus hak ulayat yang melibatkan ninik mamak dalam penyerahan ulayat kepada perusahaan, yang kemudian melahirkan konflik eksternal. Sedangkan konflik eksternal bisa terjadi antara masyarakat nagari dengan aparatur negara, sebagai akibat dari sikap dan kebijakan yang tidak responsif dari pemerintah terhadap konflik antara masyarakat di nagari dengan perusahaan. Juga konflik antara masyarakat nagari dengan pebisnis skala besar baik karena tuntutan kompensasi dengan perusahaan, dimana perusahaan tersebut berkepentingan untuk akumulasi modalnya dari pengelolaan ulayat dan tuntutan nagari untuk mendapatkan manfaat lebih dari perusahaan.

(17)

sengketa tanah ulayat. Mestinya perda TUP menegaskan tentang kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi penguatan mekanisme adat serta memfasilitasi penyelesaian sengketa eksternal.

Bab IV

(18)

A. Program-program Pemerintah dan Implikasinya Terhadap Hak Ulayat

Kesatuan (ketidakterpisahan) antara masyarakat adat dengan ulayatnya merupakan postulat yang banyak dikembangkan dalam literatur hukum adat. Tidak mungkin ada ulayat tanpa ada masyarakat adat, begitu juga sebaliknya hanya masyarakat adatlah yang memiliki ulayat. Pandangan ini juga yang digunakan oleh penyusun perda TUP. Simaklah nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat terhadap penyampaian RPTU pada Sidang Paripurna DPRD di bawah ini:

“Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari

sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari

mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.”

Namun kesadaran akan eksistensi masyarakat adat yang tidak terpisahkan dengan hak ulayat, baru sebatas retorika teks kebijakan nasional dan daerah yang tidak konsisten. Sebab berbagai kebijakan pemerintah yang pro ekonomi liberal-kapitalistik, sembari mengeleminir hak-hak masyarakat adat juga terus diproduksi. Perlakuan yang demikian, tidak akan bisa mengurangi tekanan-tekanan terhadap keberadaan hak ulayat. Karena itu batu uji untuk melihat komitmen pemerintah terhadap perindungan hak ulayat seharusnya juga dilakukan dengan memeriksa rencana program-program pemerintah, yang akan berdampak bagi hak ulayat. Pembacaan atas program-program ini membantu untuk melihat kearah dan untuk kepentingan apa Perda TUP akan dilaksanakan. Bab ini berusaha mengulas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi Sumatera Barat tahun 2006-2010, terutama yang berhubungan dengan hak ulayat dan dan Perda TUP.

A.1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010 merupakan dokumen legal yang di formalkan melalui Peraturan Daerah No. 4 tahun 2007. Dalam hukum administrasi Negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan, yaitu suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, meskipun tidak semua rencana memiliki akibat hukum langsung bagi warga Negara. Sifat hukum rencana berada di antara peraturan perundangan-undangan, peraturan kebijakan, dan ketetapan.

(19)

prinsip-prinsip kemerataan ekonomi, kemitraan dan lingkungan hidup. Untuk itu, pembangunan ekonomi Sumatera Barat akan mempersiapkan beberapa hal, berupa pembangunan infrastruktur yang memadai dan menciptakan iklim usaha yang kondusif.

Karakteristik arah pembangunan ekonomi Sumatera Barat memang merupakan kondisi riil pembangunan ekonomi nasional saat ini. Menurut perhitungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 % pada tahun 2006 diperlukan total investasi sekitar Rp. 652,9 triliun. Total kebutuhan investasi ini hanya Rp. 101,6 triliun yang dapat disediakan dari anggaran pemerintah. Sisanya sekitar Rp. 551,3 triliun diharapkan berasal dari invesatsi swasta (domestic maupun asing). Angka ini memperlihatkan ketergantungan pertumbuhan ekonomi nasional pada modal swasta.

Kondisi diatas juga dialami Sumatera Barat. Krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Rp. 64,3 milyar pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi hanya Rp. 44,0 milyar pada Tahun 1998/1999, mengakibatkan terbatasnya dana pembangunan. Walaupun sejak tahun 2005 terjadi tren kenaikan PAD, tetap saja RPJM 2006-2010 memandang keterbatasan dana pemerintah untuk membangun, sehingga harus diisi dengan dana investasi nasional maupun asing. Karena itu strategi pembangunan ekonomi propinsi Sumatera Barat akan bergantung pada modal swasta asing dan domestik melalui investasi. Untuk itu perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif baik melalui regulasi maupun percepatan pembangunan infrastruktur untuk mempermudah arus investasi. Pembangunan ekonomi juga akan bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam yang pasti bersentuhan dengan persoalan hak ulayat, yang resistensi masyarakat coba direspons dengan pola kemitraan.

Upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif sering diawali dengan perbaikan kebijakan yang pro invesatasi. Perhatian pemerintah terhadap hal ini sejalan dengan rekomendasi pelbagai pihak. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dalam rekomendasinya berjudul “Revitalisasi Industri dan Investasi “ (2004) mengemukakan 5 (lima) permasalahan pokok yang dihadapi dunia usaha Indonesia, yaitu; perpajakan, kepastian dan penegakan hukum, ketenagakerjaan, infrastruktur fisik, dan otonomi daerah, terkait dengan perda-perda yang tidak kondusif bagi investasi. Walaupun Perda-perda yang memperoleh sorotan KADIN adalah perda-perda retribusi, untuk Sumatera Barat, jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan tanah ulayat mempunyai arti penting dan strategis untuk menciptakan iklim investasi.

A.1.1. Kepastian Hukum Atau Kepastian Investasi Atas Tanah Ulayat

RPJM 2006-2010 menaruh perhatian penting terhadap kepastian hukum kepemilikan tanah ulayat. Bab II, tentang gambaran umum kondisi daerah, pada point perekonomian daerah diulas tentang penataan ruang, pertanahan dan integrasi pembangunan antar kawasan. Beberapa hal yang dikemukanan sebagai masalah adalah;

1. Tanah-tanah di desa (nagari)/perkotaan yang masih belum banyak bersertifikat memperlemah status kepemilikan dan menghambat proses pembangunan yang membutuhkan kepastian kepemilikan.

2. Belum jelasnya batas antara tanah negara dengan tanah ulayat dan tanah milik.

3. Maraknya okupasi tanah negara, baik di kawasan hutan maupun tanah-tanah bekas erfpacht yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan terancamnya kepentingan negara atas tanah negara.

(20)

warga suku belum dilibatkan seluruhnya sehingga menghambat proses pembangunan.

Keempat point diatas menyiratkan persfektif pemerintah daerah dalam dua hal. Pertama adalah besarnya luasan tanah-tanah yang belum disertifikatkan (khususnya tanah ulayat) kontraproduktif terhadap kepastian hukum atas tanah sekaligus menghambat proses pembangunan. Kedua, Masyarakat adat dituding sebagai pihak yang menyemai konflik agraria dengan melakukan okupasi dan pelanggaran lainnya atas tanah negara dan tanah-tanah yang dikuasai oleh investor. Persfektif ini terang berlawanan dengan pengalaman nyata masyarakat adat, dimana pemerintah dan investor adalah pihak yang bersalah karena mengambil tanah-tanah ulayat mereka. Persfektif pemerintah daerah yang demikian memberi pengaruh kuat bagi pilihan program pengelolaan pertanahan untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah ulayat, melalui dorongan sertifikasi massal atas tanah ulayat dengan proses yang partisipatif dan transparan. Kelahiran perda TUP berkaitan erat dengan pelaksanaan program tersebut.

Bila di telaah secara cermat - sertifikasi tanah yang berkarakter individual tidaklah tepat bagi tanah-tanah ulayat yang berkarakter kolektif - sehingga sertifikasi tanah bukanlah solusi yang bisa menjawab konflik hak ulayat. Sertifikasi justru bisa menjadi penyebab utama konflik hak ulayat, karena sertifikasi tanah ulayat dapat mendorong konversi hak ulayat menjadi hak milik, terutama pada hak ganggam bauntuak. Sertifikasi tanah ulayat juga mendorong penyerahan hak ulayat kepada pihak lain melalui jual beli maupun agunan kepada lembaga perbankan. Sertifikasi akan mempercepat liberalisasi tanah ulayat dan menjebak nagari menjadi pendukung struktur ekonomi kapitalistik/neoliberalistik yang mengagungkan kepastian hukum hak-hak individual. Dengan sertifikasi tanah ulayat akan terintegrasi ke dalam karakter produksi kapitalisme, yang akan menggeser tanah ulayat sekedar komoditi dalam pusaran arus perdagangan bebas. Sertifikasi tanah ulayat hanya akan menyenangkan pelaku investasi, karena adanya tanah-tanah dalam jumlah besar untuk diusahakan dengan jaminan hukum yang kuat. Bagi petani, sertifikasi bisa menjadi awal kehidupan tanpa tanah, karena niat utama dari penciptaan pasar tanah di pedesaan (nagari) adalah, untuk membuat petani kecil (masyarakat adat) menjual lahan mereka dan keluar dari sektor pertanian.. Dengan posisi yang demikian, sertifikasi bukanlah alat yang tepat untuk menjamin hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat.

Fenomena konflik hak ulayat di nagari, ternyata tidak melulu pada tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, namun juga pada tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal. Penyebab konflik pada ranah ini adalah persinggungan antara kuasa modal yang didukung penuh oleh kebijakan dengan nilai kultural-kolektif pengelolaan ulayat oleh masyarakat nagari. Fenomena okupasi tanah negara oleh masyarakat dan konflik antara pemilik modal dengan masyarakat adat (nagari) yang disebutkan oleh RPJM, merupakan konsekuensi logis dari persinggungan tersebut, yang melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan pemilikan dan perolehan manfaat tanah ulayat. Fenomena ini memperlihatkan perlunya penyelesaian konflik, melalui program:

1. Program pendistribusian secara selektif tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan UUPA.

(21)

penting untuk diperhatikan. Pertama, subjek distribusi tanah adalah masyarakat adat/nagari yang kehilangan hak ulayat akibat okupasi di masa pemerintahan kolonial Belanda dan atau akibat ekspansi perkebunan besar. Kedua, objek tanah yang didistribusikan haruslah tanah-tanah yang berhubungan dengan tanah-tanah okupasi di masa pemerintahan kolonial Belanda dan atau akibat ekspansi perkebunan besar. Ketiga, dukungan perangkat hukum yang menghargai hak ulayat/hukum adat yang berlaku, sehingga program ini merupakan upaya penataan ulang penguasaan agraria (hak ulayat) antara masyarakat nagari dengan negara dan atau pemilik modal. Keempat, pendistribusian tanah bukan hanya pada konteks ”bagi-bagi tanah belaka” namun

didukung perangkat modal dari negara terhadap masyarakat dalam mengelola tanah ulayat.

2. Program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria.

Program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria sinergi dengan dukungan perangkat hukum dalam pendistribusian tanah seperti yang dijabarkan pada program pertama. Artinya dukungan hukum dalam penataan ulang atas hak (hak ulayat) diperkuat dengan perangkat penyelesaian sengketanya, yaitu program pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria dan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa agraria.

Dua kebutuhan ini tidak terwadahi oleh pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa didalam Perda TUP, yang hanya mengatur penyelesaian sengketa tanah ulayat secara terbatas pada konflik internal nagari dan atau antar nagari. Padahal konflik tanah ulayat jamak terjadi secara vertikal. Disinilah kelihatan ketidakmampuan Perda TUP menjawab permasalahan utama konflik hak ulayat yang terjadi di Sumatera Barat. Kepastian hukum atas tanah ulayat yang semestinya di dukung oleh perangkat penyelesaian sengketa, akhirnya terbias kepentingan investasi (modal) dan abai terhadap kepentingan masyarakat adat (nagari).

A.1.2. Pemanfaatan Tanah Ulayat.

Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa pembangunan ekonomi Sumatera Barat akan diintegrasi dengan ekonomi global, diatas topangan modal (swasta) yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam. Oleh sebab itulah, kepastian hukum atas kepemilikan tanah ulayat sangat diutamakan, meskipun hal itu dapat merubah sistem sosial - kolektif penguasaan tanah ulayat menjadi sistem individual. Kepastian hukum menjadi penting untuk menjamin tanah ulayat menjadi komoditi yang siap jual dalam arus perdagangan dunia.

Mendorong tanah ulayat ke dalam sistem ekonomi neo liberal/kapitalisme, merupakan keniscayaan bagi rezim pasar untuk melepaskan kepemilikan tanah-tanah dari petani. Sebab kapitalisme hanya dapat tercipta dengan melepaskan kepunyaan petani atas tanahnya. Oleh karena itu - kapitalisme - dimanapun senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni melepaskan petani tanah pertaniannya dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi komoditi / modal. Selanjutnya, Ben Fine menjabarkan lebih lanjut bagaimana mode of production kapitalisme mendorong pelepasan petani dari tanahnya, yaitu;

(22)

transformasi hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari tanahnya adalah sumber dari buruh upahan baik untuk tenaga kerja maupun

industri.”

Analisis diatas membantu memahami implikasi kebijakan dan program-program dalam RPJM terhadap keberadaan hak ulayat. RPJM 2006-2010 dan Perda TUP merupakan kesatuan paket untuk memperlancar kepastian pemanfaatan tanah ulayat bagi pasar/modal lokal dan global. Pemda sendiri telah memasang target investasi swasta sebesar sebesar 85%. Untuk mencapai target itu, RPJM menetapkan arah arah kebijakan peningkatan investasi dan pengembangan kerjasama regional antar daerah, dengan memperlancar arus modal dengan mempersiapkan perangkatnya, yaitu, kesiapan mesin birokrasi dan melahirkan kebijakan daerah dengan prinsip simplikasi, deregulasi, harmonisasi, kepastian hukum, serta efisiensi sehingga ramah terhadap modal, dan menggunakan pola kemitraan antara modal (asing/lokal) dengan masyarakat (UMKM) dalam berinvestasi dengan melibatkan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota sebagai fasilitator.

Hubungan program-program dalam RPJM 2006-2010 dengan perda TUP, terdiri dari dua aras besar, yaitu kepastian kepemilikan tanah ulayat dan perangkat untuk memperlancar pemanfaatan tanah ulayat dalam konteks investasi modal. Pembahasan berikut mengupas hubungan pola pemanfaatan tanah ulayat dalam Perda TUP dengan program-program RPJM 2006-2010.

A.1.2.1. Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh Anggota Masyarakat

Pemanfaatan oleh anggota masyarakat (adat/nagari) dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dari masing-masing nagari. Pemanfaatan oleh masyarakat nagari merupakan pergulatan antara sistem ekonomi tradisional yang berbasis pertanian yang hidup di nagari dengan sistem ekonomi kapitalistik/neoliberalistik. Perda TUP seolah-olah berdiri di antara dua aras tersebut, yakni membuka pasar bebas atas tanah melalui sertifikasi tanah-tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat nagari dan di sisi lain mengakui pola pemanfaatan berdasarkan hukum adat yang hidup di nagari.

(23)

peningkatan kesejahteraan petani dengan peningkatan intensif bagi kelompok tani/petani dan transmigrasi lokal.

Program-program di atas merupakan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat nagari. Program ini dapat memeratakan antara ekonomi pedesaan/nagari yang berbasis pertanian dan usaha mikro dengan ekonomi perkotaan yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan industri. Namun beberapa hal layak juga dikritisi dari program-program tersebut.

Pertama; Fasilitasi pemerintah daerah untuk peningkatan modal usaha mikro dan pertanian tidak hanya pada pemberian intensif modal dari pemerintah, namun juga di dorong untuk berhubungan dengan lembaga Keuangan Bank/non Bank. Kondisi ini rentan mengalihkan penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat, karena program pendaftaran/sertifikasi tanah ulayat, menciptakan tanah sebagai jaminan modal usaha. Ini dapat mendorong peningkatan dan percepatan peralihan tanah ulayat kepada pihak lain.

Kedua, pola kemitraan antara masyarakat nagari dengan perantau dalam program pengembangan nagari sebagai basis pembangunan melalui dorongan investasi, tidak secara tegas memperlihatkan perlindungan terhadap hak ulayat. Sebab pola kemitraan antara perantau dengan nagari dirancang mirip dengan kemitraan antara masyarakat nagari dengan investor. Hal ini terlihat dari point 7.7.3, RPJM 2006-2010 tentang peningkatan partisipasi masyarakat dan perantau dalam pembangunan, disebutkan: ”Meningkatkan pelibatan masyarakat dalam program-program pengembangan ekonomi yang lebih berkeadilan dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai pemilik/pemegang saham dalam usaha yang

memanfaatkan sumberdaya alam di nagari/wilayahnya”. Artinya sumber daya alam di nagari (hak ulayat) tetap dipandang sebagai komoditi investasi, yang dapat diperdagangkan melalui kepemilikan saham. Ini potensial melahirkan konflik kepentingan antara modal yang dibawa oleh perantau dengan kepentingan nagari atas hak ulayat.

A.1.2.2. Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Kepentingan Umum.

Secara sederhana pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan wujud pembangunan infrastruktur publik oleh pemerintah (pusat/daerah) untuk kepentingan publik. Pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum menurut Perda TUP sama dengan mekanisme pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdasarkan perpres 65/2005. Hal tersebut berkonsekuensi yuridis kepada penyerahan hak ulayat kepada pemerintah/negara bagi pelaksaanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Terlepas dari berbagai kontroversi yuridisnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum secara prinsip berfungsi untuk menyediakan infratruktur publik bagi kepentingan bersama. Namun bila RPJM 2006-2010 ditelaah lebih, pembangunan infrastruktur publik lebih diorientasikan sebagai upaya memperlancar arus modal bagi investasi di Sumatera Barat. Hal ini terlihat pada BAB VII tentang program pembangunan daerah, point 7.5 tentang Agenda mengembangkan infrastruktur yang mendorong percepatan pembangunan. Agenda tersebut terdiri dari dua hal besar, yaitu; peningkatan pemanfaatan sumber daya air dan peningkatan sarana dan prasarana trasnportasi.

(24)

masyarakat dengan pembangunan sarana irigasi. Dalam pemanfaatan air bagi sangat mungkin muncul sarat konflik pemanfaatan, karena perbedaan kepentingan antara air sebagai komoditi ekonomi dan air sebagai kebutuhan dasar dengan fungsi sosial bagi kepentingan kolektif masyarakat nagari. Salah satu contoh konflik tersebut adalah antara masyarakat Nagari Sungai Kamunyang di kabupaten Lima Puluh Kota dengan PDAM Kota Payakumbuh. Konflik pemanfaatan air tersebut merupakan persinggungan antara fungsi air secara sosial/kolektif yang diusung masyarakat nagari dengan fungsi air secara ekonomi yang diusung pemerintah dengan kebijakan sumber daya airnya. Air dianggap sebagai komoditi ekonomis yang layak di investasikan bagi kepentingan ekonomi dan alpa terhadap fungsi lain atas air, yaitu fungsi sosial dan kultural yang hidup di nagari.

Peningkatan sarana dan prasarana transportasi merupakan program strategis bagi peningkatan arus modal/investasi di Sumatera Barat. Peningkatan sarana dan prasarana transportasi melingkupi transportasi darat, laut, dan udara. Kepentingan utama investasi atas sarana dan prasarana transportasi yaitu menghubungkan sentra-sentra produksi komoditi ekspor di Sumatera Barat, seperti perkebunan besar, agribisnis, kehutanan, dan pertambangan yang berada di daerah daratan dan kepulauan mentawai, menuju pelabuhan yang representatif yaitu pelabuhan teluk bayur sebagai pelabuhan antar samudera terbesar di pantai barat sumatera. Hal ini kemudian beriringan dengan sarana transportasi udara yaitu Bandar Udara Minangkabau yang berfungsi sebagai pintu masuk arus orang dan modal dengan skala nasional maupun internasional.

Korelasi antara pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dengan program-program dalam RPJM 2006-2010, merupakan satu kesatuan penunjang arus investasi di Sumatera Barat. Dengan demikian pemanfaatan tanah bagi kepentingan umum sesungguhnya adalah pemnfaatan tanah ulayat untuk pembangunan sarana prasarana yang dapat melayani invstasi. Bukan untuk melayani kebutuhan masyarakat nagari-nagari

A.1.2.3. Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Investasi.

BAB VII RPJM 2006-2010 tentang Program Pembangunan Daerah bagian program peningkatan investasi dan realisasi investasi, beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah:

1. Penerbitan Peraturan Daerah yang mampu mendorong perkembangan dan peningkatan investasi di daerah;

2. Penyederhanaan prosedur pelayanan penanaman modal; 3. Pemberian insentif yang menarik bagi penanaman modal;

4. Pengkoordinasian perencanaan investasi antar daerah kabupaten / kota;

5. Penyiapan sarana dan prasarana daerah yang terkait untuk mendorong investasi; 6. Pengawasan (pemantauan, dan evaluasi) dan pengendalian pelaksanaan investasi baik

PMA maupun PMDN;

7. Pengembangan sistim informasi investasi baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota;

8. Pemantapan kelembagaan penanaman modal baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk dapat memperlancar dan memberikan informasi yang akurat; 9. Pengkajian kebijakan penanaman modal (PMA dan PMDN), agar peluang investasi

yang potensial dapat diserahkan pada penanam modal yang handal, bukan kepada penanam modal yang berspekulasi ( defector investment).

(25)

prosedur, pemantapan lembaga penanaman modal, dan lain-lain. Peraturan daerah yang pro investasi terlihat dalam Perda TUP, karena roh utama dari Perda TUP adalah menciptakan mekanisme investasi di atas tanah ulayat secara lebih pasti.

B. KEMUNGKINAN FPIC

Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara dalam pemenuhan HAM, ia meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya, terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar.

Free Prior Informed Consent semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit, yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi, sebagai perlindungan hak individual pasien. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara komulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut:

Free : adalah keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya persetujuan diberikan seseorang atau sekelompok orang yang tidak berada di bawah tekanan. Prior : adalah keharusan adanya ijin dari masyarakat sebelum proyek atau

kegiatan tertentu diijinkan pemerintah.

Informed : adalah informasi yang terbuka, seluas-luasnya dan berimbang mengenai proyek yang akan dijalankan terutama dampak baik dan dampak buruknya bagi masyarakat

Consent : adalah persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri

Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep yang asing karena konsep ini telah mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003).

Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2006, mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut:

Pasal 18 berbunyi:

Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.

Selanjutnya Pasal 19 berbuyi:

Gambar

Tabel Jenis Tanah Ulayat dalam Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

Referensi

Dokumen terkait

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

Permasalahan yang dimaksud yaitu mengenai harga baja dunia khususnya pada produk Baja Canai Panas (Hot Rolled Coil) yang fluktuatif sehingga diperlukan suatu

Istana Negara baru yang mempunyai nilai-nilai arsitektur asli Indonesia sebagai. identitas dan wajah Negara Indonesia harus menjadi perhatian segera bagi

Jika bayangan yang terbentuk oleh lensa cembung adalah maya, tegak, dan diperbesar 2 kali, sedangkan jarak benda adalah 4 cm di depan lensa maka focus lensa adalah.. Sebuah

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

- Pasien mengetahui perubahan aktual pada penampilan tubuh - Pasien akan megambarkan perubahan aktual pada fungsi tubuh - Pasien dapat memelihara hubungan soaial yang dekat

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Berdasar pada Berita Acara Pembuktian kualifikasi Nomor : 99/ULP-Pokja-II- JK/APBD/2014 tanggal 18 Maret 2014 Pekerjaan Penyusunan/Pengembanga Sistem Informasi