• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN KONSTITUSIONAL sengketa KEWENANGAN PEMER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN KONSTITUSIONAL sengketa KEWENANGAN PEMER"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

53 TINJAUAN KONSTITUSIONAL KEWENANGAN PEMERINTAH

DAERAH KABUPATEN BADUNG DALAM MENGELUARKAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN AKOMODASI

PARIWISATA

I Nyoman Ngurah Suwarnatha, S.H., LL.M.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar e-mail: ngurahsuwarnatha13@gmail.com

ABSTRACT

Badung regency government can do tourism accommodation development control policies, because based on the principle of decentralization, the area has the authority to make policies to regulate the affairs of local government it self and it is stated in Article 18 paragraph (2) and (6) of the 1945 Constitution. By taking control policy development tourism accommodation before passing legislation Badung regency new spatial plan, policy or decision of the government to control the development of tourism accommodation an oversight or control a priori to avoid mistakes or errors in the mapping area into an already crowded area with tourism accommodation

Keywords: Principle of Decentralization, Constitution, Tourism.

A. Pendahuluan

(2)

54 ketiga elemen utama, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial. Keseimbangan tersebut dicapai dengan:1

a) Menyeimbangkan pemanfaatan lingkungan dengan manfaat ekonomis dari kepariwisataan.

b) Menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya lingkungan dengan perubahan nilai sosial dan komunitas yang disebabkan oleh penggungaan sumberdaya lingkungan, dan

c) Menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan dampak pertumbuhan ekonomi pada nilai sosial dan komunitas.

Prinsip keseimbangan antara manfaat ekonomi, dampak pada kehidupan sosial budaya, dan dampak pada lingkungan dalam prinsip pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan ini juga sejalan dengan pilihan strategis pembangunan kepariwisataan2 di Bali, yaitu empat jalur strategi pengembangan (four-track strategies), yaitu pro poor (miskin), pro job (tenaga kerja), pro growth (pertumbuhan), dan pro environment (lingkungan). Dalam hal perekonomian, sektor pariwisata Bali mempunyai peran yang besar. Sektor pariwisata merupakan penyumpang terbesar ke-5 pada devisa nasional dan memberikan kontribusi cukup signifikan kepada Produk Domestik Bruto, penciptaan lapangan pekerjaan, upah dan gaji, dan pajak tak langsung.3

Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan untuk moratorium alias penghentian sementara pembangunan hotel di tiga daerah, yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar. Pemerintah Provinsi Bali menilai ditiga daerah itu terjadi over supply hotel. Kebijakan itu dituangkan dalam Surat Gubernur Bali Nomor 570/1665/BPM tentang Penghentian Sementara Pendaftaran Penanaman Modal untuk Bidang Usaha Jasa Akomodasi Pariwisata yang berlaku per 5 Januari 2011. Pembangunan hotel selanjutnya diarahkan ke Bali utara. Keputusan itu berdasarkan kajian yang menyebutkan

1 Ike Janita Dewi, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata yang

Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing), Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2011, hlm. 11.

2 Ibid.

(3)

55 pasokan kamar hotel di Bali mencapai 45.557 unit. Dari jumlah itu 85 persen diantaranya terkonsentrasi di kawasan Bali selatan, yakni Denpasar, Badung, dan Gianyar. Hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang menyebutkan jika ditambah villa dan pondok wisata, jumlah kamar yang tersedia di Bali hingga akhir tahun 2010 sudah mencapai 55.000 unit. Pada 2009, jumlahnya sebanyak 46.014 unit kamar.4

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung, menempatkan jumlah hotel terbanyak terdapat di Kecamatan Kuta dengan 81 buah hotel berbintang dan 258 hotel melati. Diposisi kedua ditempati oleh Kecamatan Kuta Selatan dengan 66 buah hotel berbintang dan 117 hotel melati, sedangkan diurutan ketiga adalah Kecamatan Kuta Utara dengan 1 buah hotel berbintang dan 261 hotel melati.5

Berdasarkan pada data jumlah hotel tersebut, pembangunan hotel selanjutnya diarahkan ke kawasan Bali utara dan barat. Surat Gubernur tersebut, sampai dengan saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Walikota dan Bupati, karena wewenang perijinan khususnya untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dikeluarkan di tingkat kabupaten dan kota.

Peraturan perundang-undangan dapat dijadikan suatu acuan dalam penyusunan regulasi yang berkaitan dengan pemberian izin, sehingga suatu aturan yang dibuat oleh pemerintah dapat bersifat memaksa dan memiliki sanksi sebagai konsekuensi, apabila peraturan yang dibuat tersebut tidak dipatuhi. Dalam melaksanakan proses pemberian izin, pihak aparatur dan pencari izin wajib untuk mentaati proses perizinan, sehingga terjadi ketaatan terhadap regulasi yang diberlakukan, dan apabila dilanggar maka izin yang telah dikeluarkan akan dicabut.

Pemerintah mempunyai otoritas untuk menerapkan suatu peraturan perundang-undangan, yang digunakan sebagai alat kontrol terhadap

4 Tempo, Tiga Daerah di Bali Stop Bangun Hotel,

http://www.tempo.co/read/news/2011/02/07/179311681/Tiga-Daerah-di-Bali-Stop-Bangun-Hotel, diakses tanggal 20 November 2012.

(4)

56 perilaku masyarakat. Peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum dapat dinyatakan berlaku dengan baik jika memenuhi tiga syarat, yakni:

pertama, secara yuridis, jika penentuan berlakunya peraturan

perundang-undangan dididasarkan pada kaidah hukum yang lebih tinggi. Kedua, secara sosiologis, peraturan perundang-undangan dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan) atau peraturan perundang-undangan berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Ketiga, secara filosofis, peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi. Jadi peraturan perundang-undangan mengenai kebijakan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata agar dapat berlaku dengan baik, maka peraturan tersebut harus dapat berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.

B. Pembahasan

Kewenangan pemerintah merupakan dasar utama bagi setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan. Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan pada setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik.6

Kebijakan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata bertujuan memperbaiki proses pemberian izin dan perencanaan penggunaan lahan yang mendukung target pembangunan ekonomi kabupaten Badung serta menghormati hak-hak masyarakat setempat.

6

(5)

57 1. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan

Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Konstitusi

Kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota.7

Menurut Liang Gie, otonomi daerah adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu leingkungan wilayah tertentu yang mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk. Sehingga otonomi daerah merupakan hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku.8 UUD 1945 setelah amandemen telah melahirkan konsep otonomi daerah, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.

Pengertian desentralisasi sebagai konsep mempunyai beberapa bentuk, di antaranya 9:

a. Dekonsentrasi, yaitu redistribusi tanggung jawab administratif dalam khirarki pemerintah pusat melalui pengalihan beban kerja dari pemerintah pusat ke pejabatnya sendiri di daerah.

b. Delegasi, yaitu pelimpahan pembuatan keputusan dan manajemen untuk kepentingan khusus di bawah tanggung jawab pemerintah pusat.

c. Devolusi, yaitu kemampuan unit pemerintah daerah yang mandiri, independen dan otonom, dimana pemerintah pusat melepaskan fungsi-fungsi tertentu serta pengawasannya.

7

Deddy Supriady Batakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2004, hlm. 50

8 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta:

Grasindo, 2007), hlm.30.

9 Edi Santoso dan et. al., Otonomi Daerah : Cappacity Building da n Penguatan Demokrasi

(6)

58

d. Transfer of function, yaitu sebagai kelanjutan dari devolusi,

pemerintah memberikan dan mentransfer fungsi dan tugas-tugasnya kepada masyarakat dan lembaga non pemerintah lainnya.

Berdasarkan ketentuan Undang Undang Dasar 1945, khususnya Pasal

18 ayat (2), kepada Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk mengatur dan

mengurus sendiri rumah tangganya menurut asas otonomi dan tugas

perbantuan.

Kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah sebagai bentuk pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan daerah-daerah otonom. Dengan demikian substansi otonomi daerah adalah kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai wujud asas desentralisasi dalam lingkup negara kesatuan.10

Secara konstitusional, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, pemerintah daerah memiliki hak untuk menetapkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lainnya dalam rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan-peraturan lain yang dimaksudkan dapat berupa peraturan Gubernur atau Bupati atau Walikota, dan keputusan Gubernur atau Bupati atau Walikota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintah Daerah yang memiliki hak otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur

(rules making) dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri. Mengatur merupakan perbuatan menciptakan norma hukum yang dituangkan dalam peraturan daerah. Pelimpahan wewenang dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah meliputi kewenangan di bidang pemerintahan. Fungsi pembentukan kebijakan (policy making

function) dilaksanakan oleh DPRD, sedangkan fungsi pelaksana kebijakan

(policy executing function) dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

Otonomi daerah memiliki makna, bahwa daerah dapat membuat perundang-undangan sendiri (peraturan daerah) serta menjalankan

(7)

59 pemerintahan sendiri. Rakyat dalam suatu daerah otonom memiliki hak mengatur dan menjalankan rumah tangga daerah itu sendiri. 11

Berdasarkan asas desentralisasi, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Prinsip pemberian hak Otonomi oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Kabupaten/Kota dalam konstitusi Indonesia adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta untuk menampung aspirasi dan keinginan masyarakat yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan daerah yang nantinya dapat langsung dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian akan menimbulkan kedekatan hubungan antara rakyat dengan pemerintah.

2. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Otonomi Daerah

Untuk melaksanakan konsep otonomi daerah, maka negara kesatuan RI dibagi atas beberapa daerah otonom, yaitu daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota. Di dalam daerah otonom tersebut mempunyai sistem pemerintahan, yang hanya terdiri dari badan eksekutif (Kepala Daerah) dan badan legislatif (DPRD). Sedangkan badan yudikatif tetap tersentral menjadi wewenang pemerintah pusat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Asas otonomi dan tugas pembantuan adalah pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh

(8)

60 pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah memiliki kewenangan menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Daya saing daerah adalah merupakan kombinasi antara faktor kondisi ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik daerah, sumber daya manusia, dan teknologi, yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain.

Urusan pemerintah adalah urusan pemerintahan yang mutlak menjadi

kewenangannya dan urusan bidang lainnya yaitu bagian-bagian urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah hanya berwenang atas beberapa urusan pemerintahan yang bukan termasuk urusan pemerintahan pusat. Di antara urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat adalah Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan fiskal nasional, dan Agama. Sehingga pemerintahan daerah hanya berwenang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang eksekutif dan legislatif di daerah.

(9)

61 dekonsentrasi. Sedangkan pemerintah kabupaten atau kota hanya melaksanakan kewenangan berdasarkan pada asas desentralisasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah, terdiri dari urusan wajib dan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten

merupakan urusan yang berskala kabupaten meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m.pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(10)

62 Urusan pemerintahan kabupaten yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan yang secara nyata

adalah urusan pemerintahan yang sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian,

perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

b. nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

d. mengembangkan kehidupan demokrasi; e. mewujudkan keadilan dan pemerataan; f. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; g. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

h. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; i. mengembangkan sistem jaminan sosial;

j. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; k. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; l. melestarikan lingkungan hidup;

m.mengelola administrasi kependudukan; n. melestarikan nilai sosial budaya;

o. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

(11)

63 Pembagian urusan ini menunjukkan bahwa pada UU No. 32 Tahun 2004, menganut paham General Competence atau open end arrangement. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) Ultra vires doctrine yaitu pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom dengan merinci sartu persatu. Daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa kewenangan dari kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom secara terperinci tersebut tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. 2) open end

arrangement atau General Competence yaitu daerah otonom boleh

menyelenggarakan semua urusan diluar yang dimiliki pemerintah pusat. Artinya pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri diluar kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat.12 Sebagaimana dikemukakan Hanif Nurcholis:13

“Cara penyerahan General Competence inilah yang dianut UU No. 32 Tahun 2004. Kewenangan pemerintah pusat adalah: Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.”

Menurut Rondinelli dan Cheema, urusan pemerintahan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bila dikaitkan dengan teori desentralisasi adalah14 “the transfer of planning, decision-making, or administrative autority from central government to its field organisation, local adminstrative units, semi autonomous and parastatal

organisation, local government, or non-governmant organisations”.

Berdasarkan teori ini, pemerintah daerahlah yang merencanakan secara mandiri apa yang hendak dilaksanakan terhadap urusan yang telah diserahkan.

12 Andi Kasmawati, Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam Hubungan

Kewenangan antartingkat Pemerintahan Negara Kesatuan, Jurnal Hukum, No. 4 Vol 17 Oktober 2010 (Yogyakarta: UII, 2010), hlm. 556.

13 Ibid.

(12)

64 3. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan

Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Penataan Ruang

Orientasi penataan ruang, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah dalam rangka mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (a). terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b). terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c). terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Pelaksanaan penataan ruang dilakukan melalui tiga kegiatan yakni,15 (i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii) pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang berjenjang dari atas ke bawah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW kabupaten serta kota. Sedangkan, rencana rinci tata ruang terdiri atas (i) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (ii) rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan (iii) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (4) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, hubungan antara rencana umum tata ruang dengan rencana rinci tata ruang adalah, rencana rinci tata ruang disusun sebagai perangkat operasional dari rencana umum tata ruang. Untuk rencana rinci rencana tata ruang kawasan strategis provinsi dan rencana rinci rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota akan disusun jika, pertama, rencana umum belum dapat dijadikan landasan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kedua,

15

(13)

65 rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. Sedangkan, rencana detail tata ruang dijadikan landasan pengaturan zonasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat ditinjau kembali. Hasil dari peninjauan kembali rencana tata ruang berupa rekomendasi tetap memberlakukan rencana tata ruang lama atau merevisi rencana tata ruang lama.16 Ketentuan inilah yang dapat dijadikan dasar atau payung hukum bagi pemerintah kabupaten Badung dalam melakukan revisi Perda RTRW Kabupaten Badung untuk meninjau kembali wilayah yang dapat atau masih dapat didirikan akomodasi pariwisata.

Ruang terbuka hijau dalam RTRW Kabupaten terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau dalam kota minimal 30% dari luas wilayah kota dan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20% dari keseluruhan wilayah kota.17 Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui (i) penetapan peraturan zonasi, (ii) perijinan, (iii) pemberian insentif dan disinsentif, serta (iv) pengenaan sanksi. Peraturan zonasi sendiri disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Ketentuan perijinan yang berkaitan dengan pengendalian pemanfaatan ruang dikeluarkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau dengan tidak melalui prosedur yang benar akan batal demi hukum. Di titik lain, ijin yang sebelumnya telah didapatkan, namun tidak berlaku lagi akibat perubahan RTRW akan mendapatkan ganti kerugian dari pemerintah pusat atau Pemda. Dalam pengawasan penataan ruang

16 Maria S. Sumardjono, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan,

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2009), hlm. 63.

(14)

66 dilakukan serangkaian tindakan yang terdiri atas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah serta Pemda menurut kewenangannya masing-masing. Di samping itu, peran serta masyarakat harus diintensifkan dalam pengawasan itu.18

Perlunya Kabupaten Badung untuk segera memiliki Perda RTRW untuk memperjelas pemetaan wilayah yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan kontrol dalam hal pertumbuhan sarana akomodasi pariwisata.

4. Kewenangan Pemerintah Daerah Mengendalikan Pembangunan Akomodasi Pariwisata ditinjau dari Aspek Kepariwisataan

Berdasarkan ketentuan UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia didasarkan pada asas yang sejalan dan sejiwa dengan etos dan prinsip Pembangunan Kepariwisataan yang berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, asas penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia adalah manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan. Selain itu, dimensi pembangunan kepariwisataan yang berbasis prinsip keberlanjutan juga tergambarkan dengan jelas pada Pasal 3 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan di mana tujuan kepariwisataan adalah untuk: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan mempererat persahabatan antar bangsa. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengenai melestarikan alam dan lingkungan, merupakan salah satu dasar yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam mengerem laju pertumbuhan sarana akomodasi pariwisata khususnya dalam hal pembangunan atau

(15)

67 pendirian hotel, karena jumlah hotel berbintang maupun non bintang di wilayah Kabupaten Badung khususnya Kuta dan Kuta Selatan sudah lebih dari cukup jika dibandingkan antara luas ketersedian lahan untuk pembangunan hotel dengan lahan ruang terbuka hijau yang dapat difungsikan sebagai penetral polusi udara dan resapan air hujan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi hak wisatawan, menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata, memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata, dan mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas. Dengan melihat ketentuan Pasal 23 UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pengaruh negatif pertumbuhan laju pembangunan akomodasi pariwisata, sehingga pemerintah dapat menekan dampak negatif dari investasi pembangunan akomodasi pariwisata bagi masyarakat sekitar wilayah tersebut dan dampak negatif dari persaingan para investor atau pemilik akomodasi pariwisata.

Ditinjau dari segi saat atau waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan, dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu kontrol apriori dan kontrol aposteriori. Kontrol apriori adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol aposteriori adalah pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah.19

Dengan mengambil kebijakan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata sebelum disahkannya Perda RTRW Kabupaten Badung yang baru, maka kebijakan atau keputusan pemerintah

19 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika,

(16)

68 untuk melakukan pengendalian pembangunan akomodasi pariwisata merupakan tindakan pengawasan atau kontrol apriori untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam memetakan wilayah yang menjadi kawasan yang sudah padat dengan akomodasi pariwisata.

Perizinan pada usaha kepariwisataan (izin teknis) bisa digunakan sebagai sarana untuk memastikan kepatuhan pada peraturan terutama yang berkaitan dengan isu perlindungan lingkungan hidup (dalam bentuk AMDAL), keamanan dan keselamatan. Perencanaan Peruntukkan Lahan dan Pengendalian Pembangunan yang diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) bisa menjadi alat pengendalian (berkaitan dengan penerapan daya dukung) dan penyebaran pembangunan destinasi wisata di destinasi/kawasan pariwisata yang akan dikembangkan.

(17)

69 C. Kesimpulan dan Saran

Prinsip pemberian hak Otonomi oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Kabupaten/Kota dalam Konstitusi Indonesia adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta untuk menampung aspirasi dan keinginan masyarakat yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan daerah yang nantinya dapat langsung dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

(18)

70 DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul, 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan

dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://badungkab.bps.go.id, diakses tanggal 20 November 2012.

Kasmawati, Andi, 2010, Implikasi Hukum Kebijakan Desentralisasi dalam

Hubungan Kewenangan antartingkat Pemerintahan Negara

Kesatuan, Jurnal Hukum, No. 4 Vol 17 Oktober 2010, Yogyakarta:

UII.

Mochtar, Akil, 2010, Kewenangan Pusat Dan Daerah Dalam Pembangunan

Daerah Di Era Otonomi, Disampaikan pada Seminar “Relations

between Governments at Central and Regional Level”, Pontianak:

Universitas Tanjungpura, 21 Juli 2010.

Nurcholis, Hanif, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi

Daerah, Jakarta: Grasindo.

S. Sumardjono, Maria, dkk., 2009, Final Report kajian Kritis

Undang-Undang Terkait Penataan Ruang & Sumber Daya Alam, Jakarta:

Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 – DANIDA.

S. Sumardjono, Maria, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional

Bidang Pertanahan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Santoso, Edi dan et. al., 2003, Otonomi Daerah : Cappacity Building dan

Penguatan Demokrasi Local, Semarang : Puskodak Undip.

Supriady Batakusumah, Deddy dan Solihin, Dadang, 2004, Otonomi

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta: PT. Gramedia

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Garis Dan Sudut Pada Siswa Kelas VII-A Di SMPN 06 Tulungagung Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011”

Skripsi ini membahas tentang Pengaruh Stereotip Dang Jolma oleh masyarakat terhadap Efektivitas Komunikasi Antarbudaya dengan etnis Nias di Kelurahan Pasir Bidang.. Tujuan

Semakin besar persepsi resiko semakin besar pula kemungkinan keterlibatan konsumen pada pembelian (Engel, et.al. Ketika persepsi resiko menjadi tinggi, ada motivasi apakah

Berdasarkan jenis pakannya jenis satwa burung paruh bengkok yang ditemukan pada lokasi pengamatan adalah jenis satwa burung pemakan buah dan biji, diantaranya Perkici Pelangi

Pratama menuturkan, aksi Haikal dan rekannya itu menjadi peringatan bagi dunia teknologi, informasi dan komunikasi di Tanah Air untuk makin memprioritaskan keamanan

penyederhanaan dengan pendekatan tematik-integratif dilatarbelakangi oleh beberapa permasalahan yang masih dijumpai pada Kurikulum 2006 (KTSP), antara lain: (1)

Kebudayaan. Buku Peserta didik Kelas III Tema 7 Perkembangan Teknologi Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku Penilaian

Bagian pencitraan terdiri dari modul antarmuka dan perangkat lunak akuisisi dalam komputer; Bagian ini mengolah sinyal keluaran bagian deteksi menjadi suatu citra obyek..