• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI SOSIOLOGI yang PIERRE BOURDIEU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI SOSIOLOGI yang PIERRE BOURDIEU"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI HABITUS PIERRE BOURDIEU

Pendahuluan

Perkembangan penting dalam teori sosiologi akhir akhir ini adalah yang terjadi di sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Meskipun tidak mengingkari teori-teori yang mendahuluinya, perkembangan yang dimulai pada sekitar tahun 1980-an dan masih berlangsung hingga sekarang tersebut, ditandai dengan semakin banyaknya minat terhadap isu pertautan mikro-makro1.

Di Eropa, terjadi perkembangan yang sejajar tetapi isu yang mereka minati bukan pertautan mikro-makro melainkan hubungan antara agensi dan struktur. Meskipun pertautan antara mikro-makro dan hubungan antara agensi-struktur tampaknya sama tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan2. Walapun agen pada umumnya mengacu pada level mikro tetapi agen juga bisa mengacu pada level makro atau kolektif yang bergerak. Seperti pendapat Burns yang melihat agen meliputi individu, kelompok yang terorganisir dan juga bangsa. Mikro memang sering mengacu kepada individu atau aktor yang kreatif maupun ‘pelaku’. Demikian juga dengan struktur, pada umumnya mengacu pada struktur-struktur sosial berskala besar tetapi struktur juga dapat berupa interaksi antara individu yang berada pada level mikro. Seperti pendapat Antony Giddens tentang sistem-sistem. Sistem-sistem disini menyiratkan kedua jenis struktur di atas yaitu « hubungan-hubungan yang direproduksi antara para aktor/individu atau antara kolektivitas ».

Salah satu teori sosiologi yang berkembang di Eropa, yang membahas pemaduan antara agen dan struktur adalah teori yang dilahirkan oleh Pierre Bourdieu yang dikenal dengan sebutan teori Habitus.

Berdasarkan konteks sosial dan politik yang melatarbelakanginya, teori Habitus yang dimunculkan oleh Pierre Bourdieu bukan disebabkan oleh perubahan sosial besar seperti yang telah dijelaskan di atas tetapi berdasarkan studi yang mendalam dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Bourdieu di daerah Kabylie dan Collo, Aljazair. Sebelumnya ia adalah seorang penganut strukturalisme tetapi ketika ia terlibat dalam studi etnografi terhadap komunitas-komunitas petani di kedua daerah tersebut di atas, Bourdieu melihat keterbatasan strukturalisme. Ia mulai menulis serta merumuskan teori dan metodologinya sendiri untuk mengatasi kesulitan dikotomi seperti individu dan masyarakat, kebebasan dan

1 Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, George Ritzer, 2012,

Pustaka Pelajar: Jakarta, hal. 852

(2)

tanggung jawab, kepentingan individu atau kelompok dan sistem, dan lain lain. Kemudian ia memasukkan dikotomi-dikotomi tersebut ke dalam satu kategori dikotomi epistemologi besar yaitu antara ‘subyektivisme’ dan ‘obyektivisme’3.

Subyektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu. Ia meliputi aliran-aliran pemikiran seperti fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut Volosinov ‘subjektivisme individualistik’). Di bidang sastra, cakupan ini meliputi semua teori idealistik dan esensialis yang berbasis ideologi kharismatik tentang penulis sebagai ‘pencipta’ atau creator.

Sedangkan Objektivisme, di sisi lain, berusaha menjelaskan dunia sosial dengan menempatkan pengalaman individu dan subyektivitas serta memfokuskan diri pada kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesaradan manusia. Sudut pandang ini bisa ditemukan di banyak teori sosial seperti semiology Saussurian, antropologi structural dan Marxisme Althusserian.

Baik subyektivisme maupun obyektivisme tidak mampu mendukung pemikiran Bourdieu, oleh sebab itu, ia kemudian mengagas sebuah konsep yang disebutnya « structuralisme constructiviste » atau « constructivisme structuraliste ». Konsep tersebut menunjukkan bahwa ia ingin melewati konsep-konsep dikotomi sosiologi, khususnya melawan strukturalisme yang menyatakan patuhnya individu terhadap aturan-aturan struktur dan melawan konstruktivisme yang menyatakan dunia sosial adalah hasil dari tindakan bebas para aktor.

Kata Kunci

Teori yang dikemukakan Pierre Bourdieu dimaksudkan untuk melewati batas-batas oposisi yang telah terstruktur dalam teori-teori ilmu sosial seperti subjectivisme dan

objectivisme, micro dan macro, constructivisme dan déterminisme serta structure dan

agency. Teori tersebut mempunyai tiga kata kunci yaitu Habitus (Habitus), Arena (Champ) dan Modal (Capital).

1. Habitus

Habitus terdiri dari sejumlah disposisi, skema tindakan atau persepsi bahwa individu telah menerimanya melalui pengalaman bermasyrakatnya. Melalui pengalaman tersebut, setiap individu secara perlahan-lahan menyatukan sejumlah cara berfikir, cara merasakan

3 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terjemahan, 2010, kreasi Wacana,

(3)

dan cara beraksi yang akan terlihat secara nyata dalam waktu lama. Bourdieu percaya bahwa disposisi-disposisi ini merupakan sumber praksis individu di masa yang akan datang.

Habitus terbentuk tidak secara tiba-tiba tetapi melalui proses panjang berupa pengalaman-pengalaman individu ketika berinteraksi dengan dunia sosial. Habitus dibangun melalui proses pendidikan yang oleh Bourdieu membaginya menjadi tiga hal yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sosial dan pendidikan sekolah. (Wempi, 2012) dan (Bédard, 2003).

Sesungguhnya Habitus akan menuntun individu untuk memproduksi kembali secara otomatis apa yang telah diterima sebelumnya. Habitus bukan merupakan kebiasaan yang dilakukan tanpa sengaja, melainkan dipikirkan atau diolah terlebih dahulu. Habitus bisa disamakan dengan grammar dalam bahasa. Berkat gammar yang dipelajari, individu dapat memproduksi kalimat-kalimat yang tak terbatas untuk menghadapi semua situasi, dengan tidak mengulangi kalimat yang sama secara terus menerus. Demikian halnya dalam habitus, disposisi-disposisi yang berupa skema persepsi dan tindakan akan membuat individu memproduksi sejumlah praksis baru yang telah beradaptasi dengan dunia sosial tempat individu tinggal.

Habitus adalah « structures structurées prédisposées à fonctionner comme structures structurantes » (susunan terstruktur yang cenderung digunakan agar berfungsi sebagai susunan yang tersusun). Maksudnya, habitus dikatakan structure structurée karena

habitus dihasilkan melalui proses sosialisasi individu. Selain itu, habitus juga dikatakan

structure structurante karena habitus merupakan penyusun struktur dan bisa melahirkan praksis baru yang tak terbatas.

Selama disposisi-disposisi ini membentuk suatu sistem, habitus merupakan alat pemersatu pemikiran dan tindakan setiap individu. Dan sebaliknya apabila setiap individu berasal dari kelompok sosial yang sama dan telah hidup dalam sosialisasi yang sama pula, maka habitus

juga bisa menjelaskan bagaimana persamaan cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak dari setiap individu yang mempunyai kelas sosial yang sama. Meskipun begitu tidak berarti bahwa disposisi-disposisi habitus tidak berubah/sama dari satu turunan ke turunan selanjutnya. Pergerakan sosial individu-individu dapat merubah habitus mereka, menyesuaikan dengan lingkungan dan keadaan tempat yang baru tetapi tidak akan merubah secara keseluruhan habitus mereka.

(4)

‘Bertahan lama’ pada seorang agen bahkan sampai disposisi yang disosialisasikan tidak lagi berlaku seperti kisah Don Quichotte (dicontohkan oleh Marx dan dikutip oleh Bourdieu).

Kedua Transposabilité de l’habitus, adalah sifat ‘dapat dialihpindahkan’ dalam arti disposisi-disposisi yang telah diterima melalui kegiatan sosial tertentu, misalnya dalam sebuah keluarga, mampu dialihpindahkan ke dalam dunia profesional. Akibat dari sifat ‘dapat dialihpindahkan’ ini maka akan terbentuk ‘lifestyle’ dan ‘lifestyle’ ini berbeda pada posisi kelas yang berbeda pula, demikian penjelasan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul La Distinction.

Dalam La Distinction, yang terutama berisi tentang struktur sosial, Bourdieu menggarisbawahi adanya ‘style de vie’ atau ‘lifestyle’ dan ‘lifestyle’ tersebut berdasarkan posisi kelas yang berbeda. Sebagai contoh terdapat hubungan antara praktik-praktik sosial (atau tingkah laku) para buruh. Misalnya hubungan antara makanan buruh berbanding sejajar dengan selera seninya. Bagi buruh makanan itu yang penting, mengenyangkan, sering berat dan berlemak, tanpa menghiraukan makna kesehatannya. Hal ini sama dengan selera seninya yang menyukai aliran realis dan tidak suka seni abstrak, yang nota bene susah dicerna. Bourdieu juga menemukan bahwa cara berpakaian para buruh tetap ada hubungannya dengan jenis makanan yang dikonsumsinya dan selera seninya. Mereka lebih memilih pakaian yang bermanfaat, tidak menghiraukan keindahannya. Lifestyle para buruh ini saling terkait dan selalu berhubungan dengan ‘manfaat’nya bukan ‘keindahan’nya. Menurut Bourdieu lifestyle para buruh ini dibentuk atau dibangun berdasarkan substansinya (atau kegunaannya tadi) bukan pada bentuknya (atau keindahan tadi).

Ketiga, sifat Générateur de l’habitus. Sifat ‘mampu menurunkan keturunan’ ini sebenarnya menjelaskan fungsi structure structurée dan fungsi structure structurante dari

habitus. Dalam fungsinya tersebut di atas, habitus sebenarnya mempunyai sifat khas seperti sumber yang tidak ada habisnya dalam memproduksi praksis. Melalui sejumlah disposisi yang terbatas, seorang agen mampu menciptakan banyak strategi, seperti cara grammar

dalam sebuah bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis, dengan seperangkat aturan

grammar yang terbatas, akan membuat pembicara menciptakan kalimat-kalimat yang tak terbatas, pada setiap beradaptasi dengan situasi.

(5)

pemain tenis yang telah faham dengan logika permainannya ; ia akan mengejar menuju bola yang dilempar oleh lawan mainnya tanpa memikirkan lagi gerakannya (reflex permainan). Demikian juga dengan setiap agen, ia akan bereaksi dengan cara yang sama dalam beradaptasi terhadap tuntutan-tututan dalam dunia sosial tempat ia hidup. Ia akan mengembangkan strategi-strategi yang benar berkat habitus-nya.

Seperti seorang pemain tenis yang berbakat, ia mendapat strateginya melalui pengalaman bermainnya (secara tidak sadar) dan melalui pelajaran-pelajaran yang diperolehnya (secara sadar). Strategi-strategi yang merupakan tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan tersebut berfungsi secara otomatis di dalam kesadarannya ketika ia berada di medan permainan. Demikian halnya dengan setiap agen, berdasarkan interaksi-interaksi saat ini dan berdasarkan disposisi-disposisi yang diterimanya dari dunia sosial pada masa lalu, setiap agen akan mempunyai strategi-strategi yang bertujuan lebih baik dan mendapat keuntungan. Strategi-strategi tersebut tidak benar-benar dipilih/disengaja dan bahkan mungkin akan lebih berfungsi dari strategi-strategi yang disengaja.

Dengan ‘sens pratique’ (naluri bertindak) ini Bourdieu mengkritik teori aktor rasional. Ia menolak gagasan yang mengatakan bahwa para aktor berstrategi dengan sangat sadar dan penuh kalkulasi dalam mengejar kepentingan. Bagi Bourdieu setiap agen akan bertindak dengan cara sebaliknya, dengan disposisi-disposisi dan ketrampilan yang telah ada dalam diri agen, memungkinkan setiap agen bertindak dengan cara ‘sens pratique’ dan tidak melalui reaksi yang penuh kesadaran. Tulis Bourdieu « l’habitus enferme la solution des paradoxes du sens objectif sans intention subjective : il est au principe de ces enchaînements de coups qui sont objectivement organisés comme des stratégies sans être le produit d’une véritable intention stratégique » atau « Habitus menawarkan solusi dari pertentangan antara obyektif dan subyektif (dalam ilmu sosial). Pada prinsipnya, habitus

merupakan rangkaian tindakan yang secara obyektif disusun sebagai strategi-strategi tanpa menghasilkan sebuah niatan berstrategi yang sesungguhnya».

Bourdieu memperluas kritiknya terhadap teori aktor rasional. Bagi Bourdieu kepentingan tidak hanya kepentingan materiil (seperti apa yang dipaparkan dalam teori actor rasional). Menurut keyakinannya, individu berfikir bahwa setiap kegiatan sosial itu penting dan harus dikejar. Jadi terdapat banyak kepentingan sebanyak arena sosial : setiap arena sosial menawarkan isu (hal yang diperebutkan) yang spesifik.

(6)

kekayaan. Bourdieu menyebut kepentingan ini sebagai ‘illusio’. Dengan kata ini, Bourdieu ingin menggarisbawahi bahwa semua kepentingan adalah sebuah kepercayaan, sebuah

illusio : untuk meyakinkan bahwa sebuah kepentingan memang layak untuk dikejar. Dengan sebutan illusio (untuk sebuah kepentingan) akan terlihat bahwa memang kepentingan tersebut layak untuk diperjuangkan.

Illusio diterima oleh seorang agen melalui sosialisasi. Agen percaya bahwa sebuah kepentingan diperlukan karena ia disosialisasikan bahwa hal tersebut penting. Kepentingan-kepentingan dan juga keyakinan-keyakinan ditanamakan kepada agen secara sosial dan divalidasi secara sosial pula.

2. Arena

Pierre Bourdieu menggambarkan masyarakat seperti sebuah arena (champ) yang tersusun saling berkaitan. Terdapat bermacam-macam arena: arena pendidikan, arena ekonomi, arena politik, arena seni, arena budaya, arena agama dll. Para agen, bisa aktor atau institusi, tidak bergerak dalam ruang kosong tetapi bergerak dalam arena. Arena merupakan situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh hubungan-hubungan sosial objektif. Arena digambarkan sebagai sebuah arena pertempuran atau arena perjuangan untuk merebut kekuasaan diantara kekuatan-kekuatan yang ada. Pertarungan yang terwujud bisa berupa mentransformasi/mengganti atau mempertahankan arena kekuasaan.

Dinamika arena didasarkan pada pertarungan perebutan posisi dalam arena. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya merupakan arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan struktur). Struktur arena untuk setiap saat tertentu ditentukan oleh hubungan-hubungan antara posisi-posisi para agen yang berada di dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis. Setiap perubahan posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena4.

(7)

adalah mempertahankan statusquo sedangkan bila agen berada kedudukan yang didominasi maka strategi yang dilakukan adalah usaha untuk menaikan kedudukan sosialnya. Strategi inilah yang membangun bentuk pertempuran dan menjadi orientasi arah penyelesaiannya.5

Bourdieu melalui teorinya mengajarkan kepada kita bahwa habitus tidak sepenuhnya ditentukan oleh struktur-struktur objektif tetapi juga ditentukan oleh tindakan subjektif agen. Agen memperoleh haknya untuk berkreasi melalui posisi-posisi yang terdapat dalam champ

atau arena. Maka situasi yang demikian memberi kesempatan kepada agen untuk menggunakan berbagai strategi. (Fashri, 2007)

Strategi berperan sebagai cara para pemain untuk meningkatkan dan atau mempertahankan posisi mereka dalam arena permainan. Usaha memperoleh pengakuan, kekuasaan, modal dan atau akses terhadap posisi-posisi bisa terwujud melalui strategi-strategi yang mereka lakukan. Bourdieu menyebutkan bahwa ada tujuh macam strategi-strategi yaitu strategi investasi keturunan (stratégie d’investissement biologique), strategi suksesif (stratégie successorale), strategi pendidikan (stratégie éducative), strategi investasi ekonomi (stratégie d’investissement économique), strategi investasi sosial (stratégie d’investissement social), strategi ikatan perkawinan (stratégies matrimoniales), strategi investasi simbolik (stratégie d’investissement symbolique) serta strategi khusus (stratégie de sociodicée) (Bourdieu, 1994). Haryatmoko (2003:15) menjelaskan bahwa konsep strategi Bourdieu tersebut sesungguhnya dipahami sebagai (a) strategi investasi ekonomi yang terkait dengan menambah serta mempertahankan modal ekonomi; (b) strategi investasi simbolik, mempertahankan dan meningkatkan pengakuan sosial yang didapat; (c) strategi investasi biologis, yakni kontrol pengaturan jumlah keturunan; (d) strategi pewarisan, terkait dengan modal ekonomi yang dipandang sebagai modal yang signifikan dalam arena kekuasaan; (e)

strategi edukatif, yakni praktik yang mengarah pada usaha menghasilkan pelaku sosial yang memiliki keahlian tertentu.

La trajectoire secara harafiah berarti jejak yang dilalui atau riwayat. Pierre Bourdieu membedakan trajectoire menjadi beberapa konsep yang berbeda ; trajectoire individuelle,

trajectoiresociale, trajectoirecollective6.

(8)

3. Modal

Untuk masuk dan ikut bermain dalam pertempuran adu kekuatan yang ada di arena, agen harus memiliki habitus yang sesuai untuk bisa beradaptasi. Agen harus memiliki pengetahuan, ketrampilan dan bakat yang tepat agar bisa berjuang dalam arena tersebut, dan supaya berhasil agen harus mempunyai modal serta memanfaatkannya sebesar mungkin. Pierre Bourdieu menggambarkan modal sebagai semua sumber daya sosial yang merupakan akumulasi yang memungkinkan individu untuk memperoleh manfaat. Dalam arena, agen akan menempatkan dirinya berdasarkan fungsi dan jumlah modal yang dimilikinya serta berdasarkan relatif kepentingan kapital tersebut. Para pelaku menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya kapital yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: “untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya.” (Haryatmoko: 2003 dan Fashri 2007:96-98)

Konsep kapital Bourdieu tidak sama persis dengan Karl Marx. Marxisme klasik melihat kapital hanya dari sisi ekonomi saja sedangkan Bourdieu memasukkan unsur budaya dan sosial. Kapital ekonomi memang masih menjadi kekuatan sentral dalam mendorong perbedaan kelas tetapi kapital budaya juga mempunyai peran besar dalam petempuran di arena. Bourdieu membedakan empat macam kapital yaitu:

Le capital économique atau modal ekonomi mengukur semua sumber daya ekonomi individu, termasuk pendapatan dan warisannya.

Le capital culturel atau modal budaya mengukur semua sumber daya budaya yang dapat menempatkan kedudukan seorang individu. Kapital ini terdiri dari tiga bentuk, pertama

(9)

Le capital social atau modal sosial mengukur semua sumber daya yang berkaitan dengan kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua relasi dan semua orang yang dikenal.

Le capital symbolique atau modal simbolik menunjukkan segala bentuk kapital (budaya, sosial atau ekonomi) yang mendapat pengakuan khusus dalam masyarakat.

Modal ekonomi dan modal budaya, bagi Bourdieu, adalah dua hal yang paling penting tetapi setiap modal meimliki kekhususan dalam setiap arena dan modal juga menentukan struktur arena serta menentukan hal yang dipertaruhkan dalam arena.

Modal budaya merupakan

semua sumber daya budaya yang dapat menentukan

kedudukan seorang individu dalam arena. Modal budaya bisa diperoleh individu melalui

bentukan dan internalisasi padanya sejak kecil terutama melalui ajaran orangtua dan pengaruh

lingkungan keluarganya, bisa diperoleh melalui pendidikan formal, non-formal atau warisan

keluarga dan bisa berupa materi yang berkaitan dengan seni. Bourdieu sendiri

menggolongkan modal budaya menjadi tiga dimensi yaitu

Capital culturel incorporé

(embodied) yang meliputi pengetahuan umum, ketrampilan, bakat turunan, nilai budaya,

agama, norma, dll;

Capital culturel objectivé

(objectified) yang meliputi kepemilikan

benda-benda budaya bernilai tinggi. Kepemilikan tersebut bisa diperoleh dengan cara membeli atau

mendapat warisan dan

Capital culturel institutionalisé

(institutionalized) yang meliputi gelar,

tingkat pendidikan, keahlian tertentu yang diperoleh melalui jenjang pendidikan. (Bourdieu,

1994)

Modal ekonomi adalah semua sumber daya ekonomi individu atau segala bentuk

kekayaan materi yang dimiliki oleh agen termasuk pendapatan, warisan, investasi atau

tabungan yang berwujud uang, giro, emas dan perhiasan, saham, tanah, rumah serta barang

mewah lain. Bisa juga berupa alat-alat produksi dan materi. Komponen modal ekonomi

bersifat nyata, kasat mata dan dapat dipegang. (Bourdieu, 1994)

Sedangkan modal sosial

mengukur semua sumber daya yang berkaitan dengan

kepemilikan jaringan sosial berkelanjutan dari semua relasi dan semua orang yang dikenal.

Jadi hakikat modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam masyarakat yang

mencerminkan hasil interaksi sosial dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga terjalin

pola kerjasama, menghasilkan jaringan dan pertukaran sosial (

network

social

), saling percaya

( trust

). Sedangkan nilai, norma dan peraturan yang mendasari hubungan sosial tersebut juga

termasuk dalam modal sosial. (Bourdieu, 1980)

Teori Ruang Sosial

(10)

mereproduksi susunan masyarakat bisa terjadi. Teori ini tidak bisa lepas dari konsep

habitus, modal dan arena yang telah dijelaskan pada point sebelumnya.

Logika terbentuknya susunan masyarakat.

Dalam La Distiction, Bourdieu menyebutkan bahwa teori ruang sosialnya berbeda dengan teori tradisional Karl Marx yang mengatakan bahwa struktur masyarakat tersusun berdasarkan sumber-sumber produksi ekonomi. Sumber produksi ekonomi adalah hal-hal yang berhubungan produksi yaitu mereka yang langsung menghasilkan barang produksi (buruh) dan mereka yang memiliki sarana produksi (kapitalis). Kapitalisme inilah yang menciptakan dua kelas sosial yaitu buruh dan kaum borjuis kapitalis. Kedua kelompok sosial ini berada dalam pertarungan dan kaum borjuis mengeksploatasi kaum buruh. Jadi produksi ekonomi telah membentuk masyarakat dengan menciptakan kelas-kelas sosial yang bertentangan.

Bourdieu tidak setuju dengan pendapat marxisme tersebut, ia setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Max Weber bahwa susunan masyarakat tidak hanya berdasarkan logika ekonomi. Bourdieu mengatakan bahwa dalam masyarakat modern, jumlah sumber budaya yang dimiliki oleh agen lebih memegang peran penting dalam posisi sosialnya, misalnya posisi sosial seorang individu ditentukan oleh ijasah yang ia miliki daripada oleh kekayaan yang ia warisi.

(11)

Diagram 1.

(12)

Penjelasan Diagram/Istilah yang ada dalam Diagram

(13)

sebelah kiri atas, kelompok sosial ini biasanya berprofesi sebagai dosen di Universitas, seorang insinyur, seorang artis sukses, dll. Capital Total + menunjukkan jumlah kedua modal tersebut paling banyak dan makin turun makin mendekati Capital Total – menunjukkan makin sedikit jumlah kedua modal tersebut dimiliki oleh individu.

Bourdieu menegaskan bahwa visi-nya tentang ruang sosial adalah relasional, maksudnya posisi masing-masing agen tidak tampak bila berdiri sendiri. Posisi itu akan tampak bila dibandingkan dengan jumlah modal yang dimiliki oleh agen lain. Modal ekonomi dan modal budaya merupakan hal paling penting dalam membentuk susunan masyarakat tetapi dua modal lainnya yaitu modal sosial dan modal simbolik akan menunjang posisi agen dalam menduduki tempat penting. Melalui teori tersebut di atas, dapat dipahami bagaimana susunan masyarakat bisa terbentuk.

Lifestyle dan dinamikanya.

Bagi Bourdieu lifestyle individu merupakan cerminan posisi sosial mereka. Bourdieu menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara cara hidup, selera seni, cara bertindak dan cita rasa (rasa suka dan tidak suka) seorang individu dengan posisi sosialnya dalam susunan hirarkis masyarakat. Habitus-lah yang menjadi mediasi dasar dari korelasi ini. Seorang individu pada posisi sosial tertentu akan memperoleh disposisi-disposisi budaya tertentu pula. Sebagai contoh, seorang anak buruh akan menerima disposisi-disposisi sebuah kehidupan dimana kebutuhan ekonomi merupakan hal yang utama, seperti kehidupan buruh iru sendiri; misalnya pandangannya terhadap makanan, bagi mereka yang penting mengenyangkan, tidak memperhatikan nilai gizi-nya ; pandangan terhadap seni, mereka lebih memahami aliran realis, yang dapat dinikmati dengan mudah; pandangan terhadap pakaian, mereka lebih memilih pakaian yang memberi manfaat, bukan karena nilai keindahan.

(14)

Selanjutnya Pierre Bourdieu mengatakan bahwa antar kelompok sosial dalam tatanan hirarkis masyarakat sebenarnya sedang dalam melakukan pertarungan simbolik. Individu dari kelompok yang lebih rendah berusaha meniru atau mengimitasi praktek-praktek budaya dari kelompok yang lebih tinggi untuk menaikkan mutu diri secara sosial dalam masyarakat. Selanjutnya individu dari kelompok yang lebih tinggi, yang peka terhadap tindakan imitasi ini, cenderung akan merubah praktek sosial budaya mereka. Mereka mencari praktek sosial budaya lain dan selalu mampu menciptakan perbedaan simbolik mereka. Pengungkapan dialektik ini yaitu tindakan imitasi dan usaha pencarian perbedaan, merupakan sumber dari perubahan praktek-praktek budaya. Tetapi pertentangan simbolik ini hanya membuat kelompok yang lebih rendah merugi sebab dengan melakukan imitasi berarti mereka mengakui adanya perbedaan (diantara mereka) tanpa bisa menciptakan budaya baru.

Sebagaimana dikatakan Bourdieu sebelumnya bahwa ruang sosial bersifat relasional. Perbedaan simbolik antara kelompok sosial dalam tatanan hirarkis masyarakat tidak akan tampak bila tidak ada pembedanya. Golf tidak akan dapat dibedakan jika tidak ada olahraga lain seperti sepakbola, sehingga orang bisa membedakannya. Meskipun perbedaan praktek sosial budaya berubah setiap waktu seiring dengan adopsi praktek sosial budaya oleh kelompok yang lebih rendah, tetapi perbedaan simbolik tersebut selalu ada pembedanya.

Mereproduksi susunan masyarakat

Bagi Bourdieu, perubahan susunan masyarakat dilakukan melalui perubahan hirarki sosial sekaligus melalui legitimasi/pengesahan dari perubahan itu sendiri. Menurutnya pendidikan memainkan peran penting dalam perubahan tatanan sosial di tengah masyarakat modern. Jadi Bourdieu mengembangkan sebuah teori pendidikan yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa:

1. Pendidikan dapat mereproduksi susunan masyarakat, dengan cara mendidik anak-anak kelas dominan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya yang pada waktunya nanti, memungkinkan mereka untuk dapat menempati kedudukan/posisi-posisi penting dalam masyarakat.

(15)

Dalam bukunya La reproduction, Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron berusaha keras untuk menunjukkan bahwa pendidikan membentuk sebuah «kekerasan simbolik yang kuat », yang berperan memberikan legitimasi/pengesahan sesuai dengan kekuatan asal dari hirarki sosial. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Bourdieu mengatakan bahwa pendidikan mentransfer pengetahuan yang dekat dengan kelas dominan. Jadi, anak-anak kelas dominan memiliki modal budaya yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah dengan mudah dan sebagai akibatnya, mereka bisa berhasil dengan lebih baik dalam pendidikan mereka. Bagi Bourdieu, hal itu memungkinkan adanya legitimasi mereproduksi susunan masyarakat. Penyebab keberhasilan sekolah dari kelas dominan memang tetap tersembunyi, sedangkan kenaikan mereka pada posisi sosial dominan, berkat tingkat pendidikannya, diakui karena ijazah yang dimilikinya. Sebagaimana yang Bourdieu catat, dengan menyembunyikan kenyataan bahwa anggota kelas dominan berhasil di sekolah mereka karena memiliki kedekatan antara budaya mereka dengan budaya pendidikan sehingga sekolah memungkinkan memberikan legitimasi atas mereproduksi susunan sosial yang mereka dapat.

Bagi Bourdieu, proses legitimasi dijaga melalui dua keyakinan yang mendasar. Pertama, sekolah dianggap netral dan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh sebagai sesuatu yang independen. Jadi sekolah tidak dipersepsikan sebagai penanaman sebuah perlindungan budaya yang menyerupai apa yang dimiliki oleh golongan bojuis – yang membuat kelas kaum borjuis diakui (selalu berada pada kelas dominan). Kedua, kegagalan atau keberhasilan sekolah seringkali dianggap sebagai « warisan » yang dikembalikan pada pembawaan/watak individu. Kegagalan sekolah bagi mereka yang mengalaminya, kemudian akan dipahami sebagai sebuah kegagalan pribadi, yang dikembalikan pada ketidakmampuannya sendiri (misalnya karena kurang pintar). Menurut Bourdieu, « ideologi warisan» ini memainkan peran yang menentukan dalam penerimaan oleh individu-individu sebagai takdir sekolah mereka dan takdir sosial yang diterimanya.

Teori tentang pendidikan ini dikembangkan dalam buku Bourdieu yang berjudul La Noblesse d’État yang diterbitkan pada 1989 dan bekerjasama dengan Monique de Saint-Martin. Bourdieu menonjolkan cengkraman yang semakin lama semakin kuat apa yang dinamakannya sebagai « mode perubahan yang terdiri dari unsur pendidikan » yang menghasilkan ijazah menjadi syarat mutlak untuk bisa memasuki perusahaan-perusahaan birokrasi modern, demikian juga bagi kaum borjuis industri yang telah berlangsung lama untuk mentransfer kedudukan sosialnya.

(16)

perusahaan, mereka juga menuntut anak-anaknya untuk memiliki ijazah bisnis agar dapat meneruskan memimpin perusahaan orang tuanya. Hal itu telah merubah sistem pendidikan secara mendalam, khususnya Grandes Écoles yg mengajarkan tentang kekuasaan. Bourdieu berusaha keras untuk menunjukkan bahwa Grandes Écoles tempat diajarkan terutama tentang kecakapan-kecakapan pendidikan tradisional, sekarang tersaingi oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi baru, yang hanya mengajarkan tentang kekuasaan.

Sebagai contoh, École Normale Supérieure (ENS) telah tergeser kedudukan dominannya dengan adanya École Normale d’Administration (ENA). Pada saat yang sama perguruan tinggi-perguruan tinggi yang bukan unggulan, misalnya European Business School, dengan persyaratan yang tidak terlalu ketat, bermunculan, yang fungsinya memberikan kemungkinan kepada anak-anak yang berasal dari kelas dominan untuk mendapatkan ijazah yang tidak bisa mereka dapatkan dari Grandes Écoles.

Kekerasan Simbolik

Menurut Bourdieu kekerasan selalu ada di dalam lingkaran kekuasaan, yang berarti bahwa kekerasan merupakan dasar dan hasil dari praktek kekuasaan. Ketika kelas dominan berusaha menguasai kelas yang tidak dominan maka akan terjadi kekerasan. Tetapi aksi dominasi kelas dominan ini sering diupayakan supaya tindakannya tidak mudah dikenali. Mekanisme kelas dominan dalam menguasai kelas yang tidak dominan dilakukan secara halus tetapi kontinyu dan pasti sehingga yang didominasi tidak terasa kalau sedang terdominasi atau tertindas. Bahkan kelas yang terdominasi tadi merasa memang sudah sepatutnya demikian. Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik merupakan penerapan dominasi sedemikian rupa sehingga praktik dominasi tersebut diakui secara salah (misrecognized) dan meskipun demikian ia diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Oleh sebab itu kekerasan simbolik yang mengambil bentuk sangat halus ini tidak akan mengundang resistensi karena ia sudah mendapat legitimasi sosial (Fashri, 2010:131).

(17)

perilaku-perilaku ini dari lingkungan keluarga mereka sehingga mereka tidak merasa kesulitan mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka yang juga mempunyai budaya yang sama. Sebaliknya anak-anak yang berasal dari kalangan bawah tidak mempelajarinya dari keluarga sehingga mereka kesulitan mengikuti pola-pola yang diharapkan oleh guru dan mereka tampak susah diatur yang berujung pada kegagalan studinya. Apabila ingin berhasil dalam pendidikan formal maka bersikap, bertindak dan berperilakulah seperti anak-anak dari kalangan atas.

(18)

Pengaruh Pemikiran atau Teori Sebelumnya

Seperti telah diketahui bersama bahwa tidak ada satupun teori sosial yang lahir tanpa pengaruh dari teori lain sebelumnya. Pengaruh teori sosial terhadap teori yang lahir sesudahnya dapat dilihat melalui dua jalan; pertama, mengikuti sebagian konsep (kemudian mengembangkannya) dari teori sebelumnya dan kedua, tidak sependapat dengan teori sosial sebelumnya.

Teori sosial Pierre Bourdieu merupakan sintesis dari para teoretisi klasik seperti Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber. Dari Weber, Bourdieu mengambil dimensi penting dari pengakuan/legitimasi simbolik semua dominasi dalam kehidupan sosial, seperti gagasan

tatanan sosial, yang dalam teori Bourdieu disebut sebagai des champs atau arena. Bourdieu mengambil konsep kapital dari Karl Marx, hanya saja Bourdieu memandangnya dari semua dimensi kegiatan sosial seperti budaya, politik dll, tidak hanya dalam dimensi ekonomi seperti teori yang dikemukakan Karl Marx. Dari Durkheim, Bourdieu mendapat teori deterministe dan melalui tangan Marcel Mauss serta Claude Levi-Strausse, ia kemudian menjadi penganut Strukturalisme.

Selain itu Ludwig Wittegenstein juga termasuk teoretisi yang menjadi sumber inspirasi bagi Bourdieu, terutama pemikirannya tentang sifat aturan-aturan yang diikuti oleh para agen sosial, dengan kata lain teori Bourdieu yang mengatakan bahwa agen sosial pada saatnya akan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, terinspirasi oleh teori yang dikemukakan oleh Wittegenstein.

Teoretisi lain yang sangat mempengaruhi pemikiran Bourdieu adalah Blaise Pascal. Kalimat Bourdieu dalam artikelnya yang berjudul Meditations Pascaliennes7, menunjukkan tentang hal ini : « J’avais pris l’habitude, depuis longtemps, lorsqu’on me posait la question, généralement mal intentionnée, de mes rapports avec Marx, de répondre qu’à tout prendre, et s’il fallait à tout prix s’affilier, je me dirais plutôt pascalien […] » atau « Sejak lama saya sudah terbiasa menjawab secara keseluruhan, ketika orang-orang menanyakan yang pada umumnya bermaksud tdk baik, kaitan saya dengan Karl Marx, jika harus bergabung, secara tegas, saya cenderung mengatakan bahwa saya adalah penganut paham Blaise Pascal […] »

(19)

Mengapa pikiran-pikiran Pierre Bourdieu (1930-2002) penting dan menarik dalam khasanah ilmu sosial? Setidaknya, ada dua hal yang membuat pikiran Bourdieu unik dan signifikan, terkait dengan upayanya mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, dan kebebasan-determinisme, yang kemudian disebutnya sebagai strukturalisme genetis, strukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis. 190 | KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206

Pertama, konsep-konsep kuncinya yaitu habitus, modal, dan field bisa digunakan untuk menyingkap dominasi yang diasumsikan selalu ada dalam masyarakat, dengan melacak kepemilikan atau akumulasi kepemilikan modal masing-masing anggota masyarakat. Pada titik ini, Bourdieu keluar dari tradisi Marxian dengan mendefinisikan model-model dominasi yang tidak hanya berdimensi ekonomi sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya, politik, gender, seni, dan sebagainya dalam beragam ranah. Bourdieu juga mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis (praktik kuasa dalam konteks simbolis) untuk

membedakan analisisnya dengan analisis Marxian klasik, di antaranya dengan menyodorkan konsep modal simbolik, modal kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Dalam kacamata Bourdieu, hubungan atau pemetaan kekuasaan di dalam masyarakat tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa konfigurasi yang berdasar kepemilikan dan komposisi modal-modal yang dimiliki.

Dengan kata lain, Bourdieu mengoreksi Marx yang dianggap terlalu memperhatikan hhubungan produksi ekonomi (mereduksi bidang sosial hanya pada ubungan-hubungan produksi ekonomi) dan mengabaikan ubungan-hubungan-ubungan-hubungan produksi budaya. Dalam pembagian kelas Bourdieu tidak sepenuhnya mengikuti Marx yang meletakkan basis analisisnya pada hubungan produksi ekonomi. Jika Marx membagi kelas ke dalam hubungan antagonis antara kelas pemilik modal/feodal dengan buruh/proletar, Bourdie membaginya ke dalam kelas dominan, borjuasi kecil, dan populer dengan merujuk pada kepemilikan atau konfigurasi kepemilikan atas empat jenis modal.

Kedua, perspektif yang khas seperti inilah yang kemudian membuat pikiran-pikiran Bourdieu bisa digunakan untuk menjelaskan beragam fenomena, atau tepatnya digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi (praktik kuasa) yang ada di dalam beragam ranah, mulai ranah politik, budaya, akademis, sastra, kesenian, jurnalistik dan sebagainya. Bahkan perspektif yang dikembangkan Bourdieu ini kemudian mampu menyingkap kepentingan-kepentingan dominatif di balik apa yang disebut ideologi bakat dan selera budaya.

(20)

fenomenologi (tampak pada konsep habitus sebagai skema kesadaran tindakan seorang agen), strukturalisme (sebagai paradigma maupun metode analisis), dan Marxisme (tampak pada kepekaan terhadap relasi kuasa dalam struktur ranah dan mewujud dalam konsepnya tentang dominasi serta kekerasan simbolik).

(21)

Biographie Pierre Bourdieu

Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di sebuah desa kecil yang bernama Denguin, di wilayah Pyerenia Atlantik, Prancis. Masa kecil dilewatkannya dalam kehidupan pedesaan yang sederhana. Bisa disebut, dia berasal dari keluarga yang kurang berpendidikan. Ayahnya tidak pernah menyelesaikan sekolah formal, meski ibunya masih bisa melanjutkan pendidikan formalnya sampai usia 16 tahun. (Grenfell: 2008)

Lulus dari sekolah dasar, Bourdieu melanjutkan pendidikan ke Pau, sebuah kota yang letaknya cukup jauh dari desanya. Di sini, dia mulai menunjukkan bakat akademiknya dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dia kemudian menempuh pendidikan di Louis-le-Grand, Paris, yang disebut-sebut sebagai “tempat pelatihan” untuk memasuki kampus elite di Paris yang bernama Ecole Normale Superieure (ENS). Pada tahun 1951, Bourdieu lulus tes ke ENS, dan memilih menekuni filsafat sampai lulus tahun 1951.

Di sinilah terjadi ketegangan dan traumatisme yang kemudian mempengaruhi warna gagasan Bourdieu. Gagasannya dipengaruhi trauma saat dia dicerabut dari asal-usulnya ketika dia memasuki Louis-le-Grand di Paris dan kemudian ENS di Paris. ENS adalah sekolah tinggi yang amat prestisius. Di kampus itu juga belajar tokoh-tokoh ilmu sosial seperti Sartre, Levinas, atau Foucoult.

Di ENS, rasa rendah diri mengelayuti hatinya karena merasa berasal dari daerah terpencil yang nyaris tak dikenal. Dunia yang bukan lingkungannya membuatnya gagap, terutama saat berhadapan dengan rekan-rekannya yang kebanyakan berasal dari kalangan borjuis. Mereka tampil cerdas, terpelajar, lincah dalam bicara. Mereka memiliki kelenturan dalam menggunakan bahasa-cerdik, baik dalam tulisan maupun tutur kata. Sementara bagi Bourdieu, bahasa-cerdik bukanlah bahasa ibu. Kendati berhasil dalam karir intelektual, tulisannya tidak memiliki alur penalaran yang mudah. Kalimat-kalimatnya banyak diwarnai parafrase, yang merupakan ungkapan tak percaya diri yang ingin menjelaskan segalanya supaya tidak disalahmengerti. Meski sudah sering diundang sebagai pembicara, tetap saja dia bukan orator yang fasih. (Haryatmoko: 2003)

Rasa rendah diri itulah yang sepertinya “membimbing” Bourdieu membentuk cara berpikirnya yang tajam membongkar dominasi dalam masyarakat, dan tidak hanya meletakkan basis analisisnya di atas hubungan produksi ekonomi melainkan juga budaya. Konsep-konsep khasnya seperti habitus, modal, dan ranah (yang kemudian digunakan untuk membongkar atau menyingkap dominasi di dalam beragam ranah) terlihat seperti cerminan kehidupan masa kecil dan mudanya yang diselubungi rasa rendah diri atau perasaan keterasingannya dari lingkungan.

(22)

des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), direktur pusat kajian sosiologi Eropa dan majalah Actes de la Rocherche en Sciences Sociales, editor di penerbit Le Sens Common. Pada masa-masa ini, dia menulis berbagai buku yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Dari Filsafat ke Sosiologi Kritis

Bourdieu mengalami peristiwa yang kemudian ikut mempengaruhi karir akademisnya dari menekuni filsafat menjadi sosiologi (kritis), yaitu keterpaksaannya mengikuti wajib militer dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan sosial-politik. Peristiwa itulah yang membuatnya kian tajam menyoal dominasi.

Pada 1956, saat masih mengajar di Moulins, dia mendapat panggilan wajib militer ke Aljazair. Pada tahun 1956 dia tiba di Aljazair sebagai serdadu dan filsuf, namun pulang ke Prancis pada tahun 1960 sebagai etnografer otodidak dan antropolog sosial. Kehadirannya sebagai serdadu yang juga filsuf di Aljazair membuatnya senantiasa berupaya menangkap realitas akibat pendudukan Prancis sebagai bagian dari refleksi teoritisnya (Jenkins: 1992). Saat tiba di Aljazair, Bourdieu melihat sejumlah kondisi sosial-politik yang melingkupi Aljazair di bawah kolonialisme Prancis. Pertama, terdapat ketegangan antara bangsa Barbers Arab, penduduk minoritas yang merupakan warga asli, dan ―pied noir” (warga Prancis yang menetap di sana). Kedua, dia menemukan adanya ketidakstabilan dan kegoyahan pemerintah (penguasa) yang saat itu dikuasai Fourth Republic. Ketiga, perasaan terluka yang dialami pasukan Prancis menyusul kekalahan perang di Indo-China pada bulan Mei 1954 (Robin: 1991).

Ketegangan antara orang Eropa dan penduduk Aljazair ini memberi pengaruh pada hasil karya Bourdieu, yang lalu diterbitkan dengan judul Sosiologie de l‘Agerie, yang ikut memposisikan dirinya dalam kelompok orang besar dalam ilmu sosial. Dengan

menggunakan strukturalisme Saussure dan Levi Strauss, Bourdieu memberi penafsiran terhadap bentuk rumah suku Kabyle dan menemukan oposisi binernya. Studi ini yang disebut-sebut sebagai awal Bourdieu meninggalkan dikotomi objektivis dan subjektivis (Jenkins: 1992). Dalam buku ini, Bourdieu terlihat meninggalkan perspektif filsafat menuju antropologi sosial. Perubahan yang terlihat dipengaruhi oleh keprihatinan mendasar Bourdieu terhadap lingkungan sosial dan hasratnya terhadap perubahan.

(23)

Prancis. Namun keterlibatannya tidak lama. Pada 1993, dia menerbitkan buku The Weight of the World yang mengungkapkan penderitaan sosial di Prancis yang diakibatkan kebijakan neoliberal yang diadopsi pemerintah sosialis di sana. Beruntun, dia menulis serangkaian buku dengan tema yang sama (Grenfell: 2008).

Pada periode 1990-an, Bourdieu menjelma menjadi figur publik atau intelektual yang berpengaruh. Seiring kian banyaknya karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ketertarikan kepada Bourdieu kian tumbuh di daratan Inggris Raya dan Amerika Serikat. Pada akhir 1980-an, dia telah menjelma menjadi salah satu ilmuwan sosial Prancis yang paling banyak dikutip di Amerika Serikat, bahkan mengalahkan nama besar seperti tokoh strukturalis Claude Levi-Strauss. Sumbangannya terhadap kajian antropologi, sosiologi bahasa, relasi budaya dan kelas sosial, dan sosiologi kebudayaan mendapat pengakuan luas. Karya-karyanya menjadi referensi standar kajian-kajian sosiologi kebudayaan. Tema-tema karyanya merentang luas dari etnografi masyarakat petani di Aljazair, analisis

sosiologis terhadap seniman dan penulis pada abad ke-19, pendidikan, bahasan, selara konsumen dan selera budaya, agama, sampai sains dalam masyakarat Prancis modern. Melalui karya-karyanya, Bourdieu mengukuhkan dirinya sebagai teoritisi sosial besar yang juga melakukan riset empiris (Swartz: 1997).

Dia kemudian juga muncul di radio dan televisi, sesuatu yang dia hindari sebelumnya, dan menjadi partisipan aktif dari kelompok-kelompok penekan. Pada fase ini, Bourdieu mulai menjadi aktivis politik. Beda dengan sejumlah intelektual Prancis pada masanya, Bourdieu bergabung dengan aktivis di luar kampus dan terlibat langsung dalam aksi protes atau pemogokan (Susen dan Turner: 2011).

Dia juga menyerukan intelektual mendukung pemogokan pekerja kerata api di Prancis pada 1995. Pada Maret 1996 dia bahkan menandatangani petisi pembangkangan sipil melawan hukum Prancis yang memperkeras legislasi imigrasi. Bourdieu juga membela kaum

tunawisma, pensiunan, kaum buruh, aktivis antirasisme, lesbian-gay, dan imigran. Saat bekas kampusnya diduduki para pengangguran pada 1998, Bourdieu memihak pendudukan tersebut. Dia juga melawan penghapusan subsidi atas nama kompetisi global dan pasar bebas. (Mutahir: 2011) Bourdieu dipandang telah menciptakan posisi baru dalam ranah intelektual: posisi intelektual yang mau terlibat dalam kerja emansipasi.

(24)

Pierre Bourdieu soutient en 1953, sous la direction d'Henri Gouhier, un mémoire sur les Animadversiones de Leibniz[réf. nécessaire]. En plus de son cursus, il suit aussi le séminaire d'Éric Weil à l'École pratique des hautes études sur la philosophie du droit de Hegel. Agrégé de philosophie en 1954, il s'inscrit auprès de Georges Canguilhem pour une thèse de

philosophie sur les structures temporelles de la vie affective, qu'il abandonne en 1957 afin de se consacrer à des études sociologiques de terrain.

Pada tahun 1953 Pierre Bourdieu mengerjakan skripsi/tesis, atas bimbingan Henri Gouhier, tentang Animadversiones Leibniz [r f. diperlukan]. Selain studinya, dia juga mengikuti seminar ErickWeil di l'École pratique des hautes études tentang filsafat hukum Hegel. Bergabung pada filososfie pada tahun 1954, ia mendaftarkan diri, atas persetujuan Georges Canguilhem, untuk sebuah tesis filosofie tentang struktur2 temporal dari kehidupan afektif, yang kemudian ia tinggalkan pada tahun 1957 dengan tujuan lebih berkonsentrasi pada studi bidang sosiologi.

Georges Canguilhem place son thésard à proximité de Paris, comme professeur au lycée de Moulins en 1954-1955. Mais Pierre Bourdieu doit remplir ses obligations militaires. Après avoir refusé de suivre la formation d’élève officier de réserve, il est d'abord muté à Versailles au service psychologique des armées. Cependant, il est trouvé en possession d'un numéro censuré de L’Express relatif à la question algérienne. Il aurait ainsi perdu son affectation pour raisons disciplinaires, et, rapidement embarqué avec des jeunes appelés en Algérie dans le cadre de la « pacification », il y accomplit l’essentiel du service militaire, qui dure deux ans.

Georges Canguilhem menempatkan Bourdieu di SMA Moulin untuk mengajar dari tahun 1954 sampai 1955. Tapi Pierre Bourdieu harus memenuhi wajib militernya. Setelah menolak (wajib militer) untuk mengikuti pelatihan d’élève officier de réserve , ia pindah ke Versailles pada pelayanan psikologi tentara. Pada saat itu ia ditemukan mempunyai nomer ……….. dan akhirnya dia wajib militer di Aljazair dalam bingkai « pengamanan/usaha menegakakan keamanan » di Aljazair., selama dua tahun. (1956-1957)

Il fait d'abord partie d'une petite section qui garde un dépôt d'essence. Puis, en raison de ses capacités rédactionnelles, il est affecté dans les services administratifs de la Résidence Générale, sous les ordres de Robert Lacoste. De 1958 à 1960, souhaitant poursuivre ses études sur l’Algérie, il prend un poste d’assistant à la Faculté des Lettres d’Alger.

Pertama, ia bertugas untuk menjaga sebuah pom bensin. Kemudian dengan alasan kemampuan nya dalam redaksional kemudian ia bertugas di pelayanan administratif di la Résidence Générale, dibawah pimpinan Robert Lacoste. Dari tahun 1958 sampai 1960, berharap bisa melanjutkan studi nya di Aljazair, ia mengambil posisi sebagai asisten di Fakultas Sastra Aljazair.

Cette période algérienne est décisive : c’est là, en effet, que se décide sa carrière de

sociologue. Délaissant les « grandeurs trompeuses de la philosophie », il conduit ainsi toute une série de travaux d’ethnologie en Algérie, qui aboutissent à l’écriture de plusieurs livres. Ses premières enquêtes le mènent dans les régions de Kabylie et de Collo, bastions

(25)

traditionnelle, et la politique de regroupement des populations par l’armée française. Après son retour en France, Bourdieu profite, jusqu’en 1964, des vacances scolaires pour collecter de nouvelles données sur l’Algérie urbaine et rurale de l’époque.

Periode Aljazair ini sangat penting : mulai saat itulah, pada kenyataannya , ia memutuskan karirnya sebagai seorang sosiolog . Meninggalkan "se-jumlah filsafat yg menyesatkan ", ia kemudian memimpin serangkaian kerja Ethnology di Aljazair, yang mengarahkannya untuk menulis beberapa buku . Angket pertamanya membawa dia ke daerah Kabylia dan Collo , kubu nasionalis di mana perang berkecamuk . Sosiologinya ttg Aljazair , sintesis

pengetahuan yang ada pada tiga departemen Perancis ini, diterbitkan dalam koleksi " Que sais-je ? " pada tahun 1958 . Setelah kemerdekaan Aljazair pada tahun 1963, ia

menerbitkan, Travail et travailleurs en Algérie, yaitu mempelajari penemuan upah buruh dan pembentukan proletariat perkotaan di Aljazair, bekerja sama dengan Alain Darbel , Jean - Paul Rivet dan Claude Seibel . Pada tahun 1964 , bekerja sama dengan teman Aljazair Abdelmalek Sayad, ia menerbitkan Le Déracinement. Krisis pertanian tradisional di Aljazair,yaitu ttg kehancuran pertanian dan masyarakat tradisional , dan politik populasi pengelompokan oleh tentara Perancis. Setelah kembali ke Prancis (th 1960) sampai 1964, Bourdieu mengambil manfaat liburan sekolah untuk mengumpulkan data baru pada

perkotaan dan pedesaan Aljazair pada saat itu .

Le terrain ethnologique de la Kabylie ne cessa, même après qu’il eut cessé de s’y rendre, de nourrir l’œuvre anthropologique de Pierre Bourdieu. Ses principaux travaux sur la théorie de l'action Esquisse d’une théorie de la pratique (1972) et Le Sens pratique (1980) naissent ainsi d’une réflexion anthropologique sur la société kabyle traditionnelle. De même, son travail sur les rapports de genre, La Domination masculine (1998), s'appuie sur une analyse des mécanismes de reproduction de la domination masculine dans la société traditionnelle kabyle.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Bourdieu, Pierre, 1979, La Distinction, Critique Sociale du Jugement, Les éditions de minuit, Paris

Bourdieu, Pierre, 2010, Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terjemahan, Kreasi Wacana, Bantul

Bourdieu, Pierre, Méditations Pascaliennes, Paris, Seuil, coll. « Liber », 1997, 316 p. (ISBN 2020320029) dalam http://fr.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu

Bertens, K. 1996, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Prancis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis Gerakan Sosial

Menurut Pierre Bourdieu, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003)

Ritzer George, 2012, Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Pustaka Pelajar: Jakarta

http://www.jesuismort.com/biographie_celebrite_chercher/biographie-pierre_bourdieu-2944-pour_imprimer.php

Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropnasi, Reflektivi Pemikiran Pierre

Bourdieu. Bantul Yogyakarta: Juxtapose

Wempi, Jefri Audi. 2012. Teori Produksi Kultural: Sebuah Kajian Pustaka. Exposure –

Journal of Advanced Communication, Vol.2, No.1, Februari.

Bédard, Melanie. 2003. La famille et l'école: entre le particulier et l'universel. Les conceptions

de Condorcet, Hegel, Durkheim, Parsons, et Bourdieu et Passeron. (Skripsi yang tidak

diterbitkan)

Diakses

Maret

17,

2016

http://theses.ulaval.ca/archimede/fichiers/21211/ch05.html

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan

Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

PIERRE BOURDIEU, SANG JURU DAMAI dalam KANAL. Vol. 2, No. 2, Maret 2014, Hal. 107-206

Nanang Krisdinanto

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian Hasil yang diharapkan Hasil Tes Halaman Butir Uji Menu Utama Tombol Belajar Menampilkan halaman Belajar √ Tombol Quis Menampilkan halaman Quis √

Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk

a) Aplikasi digitalisasi plat nomor ini dapat membaca dan mengenali segmen tertentu pada image sebagai plat nomor. b) Pada saat pemindaian, jarak mempengaruhi kemampuan untuk

Kitab-Kitab Takhrīj Setelah masa perkembangan sebagaimana tersebut di atas, kemudian para ulama banyak mentakhrīj hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab dan dalam

Stakeholder theory menyatakan bahwa manajemen organisasi diharapkan melakukan aktivitas yang dilakukan pemegang saham dan pemegang saham berhak untuk mengetahui

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama dua siklus dengan meng-gunakan Mind Map dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai keterampilan

Dalam paradigma inilah, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada tanggal 25 November 2008 menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara