• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK

(Jurnal)

Oleh : MAIZA PUTRI

1412011239

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK

Oleh

Maiza Putri, Nikmah Rosidah, Dona Raisa Monica ( maiza.p@yahoo.com)

Penegakan hukum pidana pada pelaku penelantaran anak harus ditegakkan, karena lemahnya penegakan hukum dan ringannya sanksi bagi pelaku penelantaran anak menjadi penyebab banyak terjadinya kasus penelantaran anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak danApakah Yang Menjadi Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penelantaran Anak.Penelitian: pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data: studi kepustakaan dan studi lapangan. Narasumber:Penyidik Unit PPA Polresta Bandar Lampung,Jaksa Cabjari Panjang,Akademisi Hukum Pidana Fakultas HukumUniversitas Lampung dan Aktivis LPA Lampung. Analisis data secara kualitatif.Hasil: Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Penelantaran Anak, aplikasi yaitu tahap penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan tahap eksekusi yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh aparat penegak hukum. Faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penelantaran anak adalah substansi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya, adapun faktor dominan adalah masyarakat dan budaya. Saran: Penegak hukum mampu menerapkan tahap formulasi dan aplikasi serta melaksanakan tahap eksekusi terhadap putusan hakim untuk mencegah penelantaran anak tidak terjadi. Masyarakat menjadi terbuka dan bekerjasama dengan petugas kepolisian untuk mencegah penelantaran anak dan budaya masyarakat yang menghormati jalannya penegakan hukum dengan membudayakan penyelesaian penelantaran anak melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system)

(3)

ABSTRACT

CRIMINAL LAW ENFORCEMENT TO ACTORS OF CHILDREN OF EDUCATION

By

Maiza Putri, Nikmah Rosidah, Dona Raisa Monica (maiza.p@yahoo.com)

Criminal law enforcement in child abusers should be upheld, because the weakness of law enforcement and the lightness of sanction for abuser child become the cause of many cases of neglect of child. The problems in this research are: How Criminal Law Enforcement Against Child Abandonment Perpetrators and What Are the Factors inhibiting Law Enforcement Against Child Abandonment Perpetrators. Research: a juridical normative and juridical empirical approach. Data: library studies and field studies. Resource Persons: Investigator Unit PPA Polresta Bandar Lampung, Cabjari Panjang Prosecutor, Criminal Law Academic Faculty of Law University of Lampung and LPA Activist Lampung. Data analysis is qualitative. Result: Enforcement of Criminal Law against Child Abandonment Abusers, the application is law enforcement stage by law enforcement officer and execution stage that is stage of criminal law enforcement concretely by law enforcement apparatus. Inhibiting factors of law enforcement against child abusers are the substance of law, law enforcement officers, facilities and infrastructure, society and culture, while the dominant factor is society and culture. Suggestion: Law enforcers are able to apply formulation and application stages as well as carry out the execution phase of the judge's decision to prevent child neglect from happening. Communities are open and cooperate with police officers to prevent neglect of children and the culture of the people who respect the course of law enforcement by cultivating the settlement of child neglect through the criminal justice system (criminal justice system)

(4)

I. PENDAHULUAN

Penelantaran anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan klaim atas keturunan dengan carailegal, hal ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor seperti faktor ekonomi dan sosial, serta penyakit mental. Seorang anak yang ditinggalkan atau dibuang oleh orang tuanya disebut dengan anak buangan.1

Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi, maupun sosial.Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan pakaian, makanan yang cukup, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).2

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta, dalam Konvensi Hak Anak terdapat 4 (empat) prinsip umum yang menjadi dasar dan acuan bagi para pihak khususnya negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan

1

http://id.m.wikipedia.org/penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017, jam 20.00 wib.

2

http://blogspot.com/pengertian-penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017, jam 20.05 wib.

melindungi hak-hak anak, prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Prinsip non-diskriminasi, prinsip ini mewajibkan negara agar semua anak yang berkonflik dengan hukum mendapatkan perlakuan yang sama;

2. Prinsip kepentingan terbaik anak, prinsip kepentingan terbaik secara sistematis dengan mempertimbangkan hak-hak anak dan kepentingan anak akan dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan badan-badan tersebut; 3. Prinsip asas keberlangsungan

hidup dan perkembangannya; 4. Prinsip penghargaan terhadap

anak.

Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1989, ada 10 (sepuluh) hak yang harus diberikan untuk anak kita, antara lain:

1. Hak untuk bermain;

2. Hak untuk mendapatkan

10. Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan.3

3

(5)

Kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial, sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan, dikatakan sebagai

precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dengan baik dan cermat dalam proses penegakan hukum.4

UU No. 35 Tahun 2014, mengatur mengenai larangan-larangan perbuatan yang tidak dapat dilakukan terhadap anak, baik secara fisik maupun psikis, yang diatur dalam Pasal 76 B berisi bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah

dan penelantaran”, adapun ancaman

hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 77 B, berisi bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Tindakan refresif dengan menjalankan sistem peradilan pidana atau criminal justice system, dengan melakukan penerimaan laporan dan/atau pengaduan, penyelidikan (pengumpulan alat bukti), penyidikan dan pelimpahan kepada penuntut umum (kejaksaan) agar dilakukan penuntutan di persidangan dan pemberian putusan oleh hakim.

4Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan

Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2.

Kasus penelantaran anak saat ini setiap tahun terus terjadi dan meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah belum menemukan langkah dan tindakan nyata yang mampu mencegah dan mengurangi angka penelantaran anak. Kasus penelantaran anak yang terjadi bisa menimpa siapapun, salah satunya adalah kasus penelantaran anak yang terjadi di Cianjur, dalam Dakwaan bernomor:PDM/119/0.2.18/EUH.2/2 014 tertanggal 4 November 2014, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Sonny Irawan Tarigan alias Muhammad Irawan berusia 32 (tiga puluh dua) tahun, dengan Pasal 77B UU no. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

(6)

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang memeriksa dan Memutus Perkara dengan Putusan bernomor: 333/Pid.B/2014/PN.Cjr, tertanggal 5 Februari 2015, menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak kejahatan dengan hukuman penjara selama 4 (empat) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan dan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.

Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Cianjur yang menuntut dan menyidangkan perkara ini, melakukan upaya hukum banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur yang memutus terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang menerima permohonan banding, kemudian memeriksa dan menyidangkan perkara ini pada intinya sependapat dengan Putusan Pengadilan Negeri Cianjur yang telah memeriksa perkara ini ditingkat pertama, kemudian dari dasar tersebut maka Majelis Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum.

Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Bandung memperbaiki Putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cianjur, adapun amar putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung adalah menyatakan terdakwa Sonny Irawan Tarigan alias Muhammad Irawan telah terbukti secara sah dan bersalah

melakukan tindak pidana “Dengan

sengaja melakukan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan

anak mengalami penderitaan mental

dan sosial”, menjatuhkan pidana

penjara selama 6 (enam) bulan terhadap terdakwa, menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah ditetapkan.6

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul

“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak”.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak?

2. Apakah Yang Menjadi Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penelantaran Anak ?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.Data dilakukan dengan prosedur studi

kepustakaan dan studi

lapangan.Narasumber penelitian ini adalahPenyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polresta Bandar Lampung,Jaksa pada Kantor Cabang Kejaksaan Negeri Panjang,Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas HukumUniversitas Lampung dan Aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

(7)

II. PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Pidana

Terhadap Pelaku

Penelantaran Anak

Teori Roscoe Pound dalam buku Romli A, Sosiological Jurisprudence

menyebutkan bahwa politik hukum pidana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kejahatan dalam penegakan hukum pidana yang rasional.

Penegakan hukum pidana yang rasional itu terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:

A. Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif;

B. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukumpidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang, dalam melaksanakan

tugas ini aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut juga tahap kebijakan yudikatif;

C. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana, dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang (legislatur) dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.7

Perkara penelantaran anak yang terjadi di Cianjur, penerapan tahap formulasi telah dijalankan dengan menerbitkan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penerapan tahap aplikasi telah dijalankan dengan penetapan tersangka oleh penyidik kepolisian menggunakan Pasal 77B UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 dan menjadi dasar tuntutan jaksa di persidangan kepada terdakwa serta majelis hakim PN Cianjur memutus terdakwa bersalah dengan hukuman 4 (empat) bulan penjara, yang dikuatkan oleh putusan majelis hakim PT Bandung dengan menambah hukuman menjadi 6 (enam) bulan penjara, saat ini tahap

(8)

eksekusi telah dilaksanakan karna jaksa penuntut umum maupun terdakwa tidak mengajukan upaya hukum tingkat kasasi, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht) dijalani oleh terdakwa/terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Cianjur.

Menurut Suswanto, menjelaskan bahwa fungsi kepolisian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuanPasal 2 menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Pasal 14 ayat

(1) huruf g, yakni “melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya”. Pasal 15 ayat (1) huruf a berisi bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang menerima laporan dan/atau pengaduan.8

Menurut Suswanto, Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak, menggunakan ketentuan KUHAP, pelaku penelantaran anak dilakukan oleh Orang tua baik ayah maupun ibunya, untuk itu dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh anggota kepolisian langkah pertama yang dilakukan adalah pengumpulan alat bukti, alat bukti yang utama adalah buku nikah orangtua, akta kelahiran anak, dan kartu keluarga serta

8

Hasil wawancara dengan Penyidik Unit PPA Polresta Bandar Lampung, BRIPKA Suswanto, 8 Agustus 2017.

keterangan lain dari kelurahan yang menguatkan hubungan kekeluargaan antara pelaku dan korban, selain itu penyelidikan ini juga akan meminta keterangan saksi-saksi fakta yang mengetahui mengenai peristiwa penelantaran anak yang menjadi aduan atau laporan, selanjutnya penyelidikan ini meminta keterangan terlapor dan/atau teradu untuk mengejar pengakuan dari terlapor dan teradu, apabila ada bukti permulaan yang cukup untuk seseorang bisa dikategorikan melanggar ketentuan pidana, maka proses penyelidikan bisa dilanjutkan ke penyidikan.9

Penanganan perkara penelantaran anak di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, untuk tahun 2017 belum menerima laporan dan/atau aduan, namun saat ini Unit PPA sedang melakukan penyelidikan kasus penelantaran anak yang dilaporkan pada tahun 2016 yang lalu, namun masih dalam tahapan penyelidikan dikarnakan anggota kepolisian yang menangani perkara pengaduan tersebut harus sesuai dengan prosedur penyelidikan untuk menentukan unsur tindak pidana agar pengaduan naik status menjadi penyidikan dan menetapkan tersangka, jika perkara penelantaran anak yang terjadi di Bandar Lampung dikaitkan dengan perkara yang terjadi di Kabupaten Cianjur maka didapatkan panjangnya proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan penuntutan membutuhkan waktu 2 (dua) tahun baru perkara bisa disidangkan.

9

(9)

Menurut Adi Perdana Hadi. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak selanjutnya adalah tahap pembuktian kejahatan pelaku dalam menelantarkan anak yang berada dalam tanggung jawabnya.

Menurut Arieyanto Wertha, selaku pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Lampung, penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak adalah harus menyesuaikan dengan Sistem Peradilan Pidana yang berlaku di Indonesia, serta Pelaksanaan amanat UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk menjerat dan memberi efek jera terhadap pelaku penelantaran anak. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Lampung, dalam hal ini merupakan lembaga yang melakukan kerja-kerja advokasi terhadap pemenuhan hak anak serta pendampingan hukum bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pelanggaran hukum.10

Menurut Erna Dewi, mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak, pada dasarnya pelaksanaan penegakan hukum pidana bersumber dari UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, sebagai dasar dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia atau Criminal Justice System, selanjutnya dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana melalui aspek UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

10

Hasil wawancara Pengurus LPA Provinsi Lampung, Arieyanto Wertha, 10 Agustus 2017.

B. Faktor Penghambat

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Faktor-faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum terhadap pelaku penelantaran anak, adalah sebagai berikut:

1. Faktor Masyarakat

Menurut Suswanto, faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi masyarakat, masyarakat cenderung tertutup dan sulit diajak berkoordinasi apalagi mau memberikan laporan dan/atau pengaduan penelantaran anak karena permasalahan ini terkait dengan faktor keluarga sehingga menyulitkan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti.11

Menurut Adi Perdana Hadi, senada dengan penyidik kepolisian, jaksa juga menyampaikan bahwa faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi masyarakat, saat ini pihak kejaksaan kesulitaan dalam menghadirkan saksi-saksi untuk pembuktian di persidangan terkait penelantaran anak juga sedikit perkaranya.12

Menurut Arieyanto Wertha, faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi masyarakat adalah kurangnya sosialisasi dan koordinasi antar instansi dalam memberikan

11

Hasil Wawancara Penyidik Unit PPA

Polresta Bandar Lampung, BRIPKA

Suswanto, 8 Agustus 2017.

12

(10)

penyuluhan kepada masyarakat mengenai kejahatan terhadap perempuan dan anak khususnya penelantaran anak yang memiliki dampak hukum bagi pelaku walaupun itu orangtuanya.13

Menurut Erna Dewi, senada dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi masyarakat adalah kurangnya sosialisasi dan koordinasi antar instansi dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai kejahatan terhadap perempuan dan anak khususnya penelantaran anak yang memiliki dampak hukum bagi pelaku walaupun itu orangtuanya.14

2. Faktor Budaya

Menurut Suswanto, faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi budaya, budaya saling menutupi didalam masyarakat sangat tinggi apalagi menyangkut urusan keluarga atau pribadi seseorang dikarnakan dapat memicu keributan apabila ikut campur, hal ini yang membuat orang malas untuk melaporkan kasus penelantaran anak kepihak yang berwajib.15

Menurut Adi Perdana Hadi, faktor penghambat dalam penegakan

13

Hasil Wawancara dengan Pengurus LPA Provinsi Lampung, Arieyanto Wertha (LPA), 10 Agustus 2017.

14

Hasil Wawancara dengan Akademisi FH Unila, Dr. Erna Dewi, SH, MH, 10 Agustus 2017.

15

Hasil Wawancara dengan Penyidik Unit PPA Polresta Bandar Lampung, BRIPKA Suswanto, 8 Agustus 2017.

hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi budaya, saat ini pihak kejaksaan telah berupaya berkoordinasi dengan pihak tokoh masyarakat, tokoh adat dan budaya, agar bersama-sama memberikan pemahaman bahwa penelantaran anak adalah kejahatan selain itu agar mudah pula meminta seseorang menjadi saksi di persidangan.16 Menurut Arieyanto Wertha, faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi budaya, LPA siap berkoordinasi dengan tokoh-tokoh yang ada dalam mensosialisasikan mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak walaupun itu keluarga sendiri.17

Menurut Erna Dewi, faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi budaya, menemui kendala karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dan kurangnya koordinasi antar instansi yang merangkul para tokoh adat dan budaya, serta petugas desa dan/atau kelurahan. Penilaian masyarakat mempengaruhi tindakan-tindakan Polisi, termasuk dalam hal penyidikan.

III. PENUTUP A. Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

16

Hasil Wawancara dengan Jaksa Cabjari Panjang, Adi Perdana Hadi, 9 Agustus 2017.

17

(11)

1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak, sesuai dengan tahap formulasi (KUHAP dan UU NO. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23

Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak), tahap aplikasi (pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum), di tingkatan kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan, penyidik harus mengikuti prosedur pemeriksan dan pengumpulan alat bukti serta proses penuntutan ditingkatan kejaksaan dan proses penjatuhan hukuman (putusan) oleh majelis hakim, dan Tahap Eksekusi (Pelaksanaan penetapan hakim atau putusan pengadilan oleh aparat penegak hukum), selain itu penegakan hukum pidana juga harus memberikan aspek penjeraan kepada pelaku dan bisa memberikan efek rehabilitasi atau perbaikan kepada korban agar bisa terlindungi.

2. Faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak yang dominan, adalah faktor masyarakat, masyarakat yang

masih mengganggap

permasalahan penelantaran anak sebagai hal yang biasa dan

bukan terkategori

pelanggaran/kejahatan pidana, masih banyaknya kasus penelantaran anak adalah hal yang biasa terjadi, apalagi jika permasalahan keluarga yang dijadikan alasan seperti faktor ekonomi, faktor budaya adalah budaya yang tertutup dan budaya

menyelesaikan permasalahan tanpa harus diselesaikan lewat Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Criminal Justice System)..

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah:

1. Penegak hukum mampu menerapkan peraturan perundang-undangan (tahap formulasi dan aplikasi) serta melaksanakan tahap eksekusi terhadap putusan hakim

untuk mencegah

penelantaran anak agar tidak terjadi dan untuk menegakkan hukum apabila terdapat kasus penelantaran anak agar memberi efek jera terhadap para pelaku.

2. Masyarakat menjadi terbuka dan bekerjasama dengan petugas kepolisian untuk mencegah penelantaran anak dan budaya masyarakat yang menghormati jalannya penegakan hukum dengan membudayakan penyelesaian penelantaran anak melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system).

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.

Reksodiputro, Mardjono, 1994,

Sistem Peradilan Pidana

Indonesia (Melihat

(12)

dan Pengabdian Hukum, Jakarta.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU.No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

http://id.m.wikipedia.org/penelantar an-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017, jam 20.00 wib.

http://blogspot.com/pengertian-penelantaran-anak/, dikutip pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2017, jam 20.05 wib.

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dalam instrumen hukum nasional Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang

Penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak melalui media facebook dilakukan dengan menerapkan sanksi pidana yang tegas sebagaimana diatur dalam

(2) Faktor-faktor yang menjadi penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tawuran pelajar SMA yang dilakukan oleh kepolisian terdiri dari 4 (empat) faktor yaitu faktor

Adapun permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dan

“ Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

Alhamdulillah, dengan semangat dan penuh perjuangan tugas akhir dengan judul “Analisis Yuridis Sosiologis Penegakan Hukum Terhadap Hak-Hak Anak Sebagai Korban Kekerasan

Hasil dari penelitian ini menunjuk bahwa Perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban penelantaran oleh orang tua berdasarkan hukum pidana Indonesia sebagai mana yang

Pada dasarnya penegakan hukum terhadap perlindungan anak akan terwujud dan ketentuannya akan berlaku efektif apabila substansi hukumnya sesuai dengan budaya