ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG
MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK.)
Oleh
Andrian Rizki Pratama
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E.Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A.Penegakan Hukum Pidana ... 15
B.Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19
C.Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 24
D.Pengertian Anak ... 31
E.Teori Faktor–faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 32
F. Teori Pemidanaan ... 35
III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 37
B.Sumber dan Jenis Data ... 38
C.Penentuan Narasumber ... 40
D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40
A. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung
Karang Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK tentang Tindak Pidana Pencurian
dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang ... 43
B.Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku Pencurian Dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang (Studi Putusan
Nomor 05/Pid/2014/PT.TK) ... 47
C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan
Matinya Orang ... 64
V PENUTUP
A. Simpulan ... 78
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan
teknologi, dan industrialisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha
adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu
menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak
kebingungan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang
internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai
dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari
norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri
dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku
anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya
lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan
perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, kerap kali terjadi tindak pidana di masyarakat. Dari
berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan
mengetahui adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anggota masyarakat.
dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh
anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai
perilaku jahat anak.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi
masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli
kriminologi, penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.
Ketentuan tindak pidana yang dilakukan anak atau disebut delikuensi anak
diartikan sebagai bentuk tindak pidana yang dilakukan anak dalam titel-titel
khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan.
Spesifikasi delikuensi anak menjadi masalah sosial dan sekaligus hukum yang
telah ada dan tumbuh bersama perkembangan dan peradaban masyarakat agama,
sosial, dan hukum. Di Indonesia masalah delikuensi anak belum begitu banyak
disoroti oleh sistem peradilan dan penegakan hukum pada masyarakat. Perilaku
jahat anak merupakan gejala sakit (pathologis) secara sosial pada anak-anak yang
disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan
kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian
tingkah-laku kriminal anak-anak. Perilaku anak-anak ini menunjukkan
tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.1
Pengaturan mengenai anak pertama kali hanya diatur dalam Pasal 45, Pasal 46,
Pasal 47 KUHP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dengan demikian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
1
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang isinya menyatakan: “Pada
saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Oleh karena itu,
ketentuan yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana harus
mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, yaitu : “ Anak adalah orang yang dalam perkara anak
nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin”.2
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak terbaru, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas), tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana. Akhir-akhir ini fenomena yang terjadi di
masyarakat menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak seringkali
terjadi sebagaimana diberitakan baik dalam media cetak maupun media elektronik
tentang berbagai peristiwa tindak pidana yang pelakunya adalah anak-anak.
Sebagai contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yaitu yang terjadi di
Kotabumi, anak yang melakukan pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan matinya orang pada tahun 2014 di Desa Padang Ratu Kecamatan
Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara. Kasus ini bermula ketika Terdakwa
nonton orgen tunggal bersama korban serta teman-teman lainnya, kemudian
2
Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila, 2013, hlm.
terdakwa minta diantarkan oleh korban ke dekat lokasi Koramil yang tidak jauh
dari tempat nonton tersebut dengan menggunakan motor milik korban jenis Honda
Absolute REVO warna hitam Nopol BE 8022 QE, diawal perjalanan semula yang
membawa motor adalah terdakwa sedangkan korban pada posisi dibonceng.
Sebelum sampai ditujuan tepatnya di Desa Padang Ratu Kecamatan Sungkai
Utara Kabupaten Lampung Utara terdakwa menghentikan laju motor karena
disana ada rumah bibi terdakwa yang bernama Sinar, kemudian terdakwa turun
dari motor sedangkan korban masih tetap di atas motor, terdakwa lalu masuk ke
rumah bibinya untuk meminjam sebuah golok dan kemudian mengasahnya
sebentar lalu terdakwa keluar rumah dan mengajak korban pergi lagi dengan
menyuruh korban untuk membawa motor dan terdakwa berganti posisi dengan
dibonceng oleh korban. Ketika di perjalanan terjadi percekcokan antara terdakwa
dan korban sesaat, setelah itu terdakwa mengeluarkan golok yang telah diselipkan
terdakwa dipinggangnya kemudian langsung membacokkannya ke arah kepala
korban dan korban pun terjatuh dari motor kemudian korban pun masih sempat
untuk berusaha berlari namun terdakwa kembali membacokkan goloknya
berkali-kali ke arah tangan dan tubuh korban sampai korban benar-benar terjatuh dan
terakhir terdakwa membacokkan goloknya ke arah leher korban hingga tewas.3
Atas Perbuatannya tersebut Terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah karena melanggar Pasal 365 ayat (3) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, melakukan tindak pidana Pencurian dengan kekerasan
mengakibatkan mati orang dan Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa
3
menyerahkan terdakwa tersebut kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan pelatihan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Kotabumi
dengan Putusan No. 400/Pid.B/Anak/2013/PN.KB dan pada tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan putusan No.05/Pid/2014/PT.TK
menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam)
tahun.
Berdasarakan putusan pengadilan di atas terlihat bahwa terdakwa dikenakan Pasal
365 ayat (3) Kitab Undang Hukum Pidana, dan diterapkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Putusan pidana penjara
selama 6 (enam) tahun tersebut masih dirasakan tergolong berat, pelaku juga
dikategorikan sebagai anak yang masih berumur 15 (lima belas) tahun dan baru
pertama kali melakukan tindak pidana tersebut yang diharapkan akan
memperbaiki dirinya dan berguna bagi masyarakat. Sementara belum
diterapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Terbaru dalam putusan perkara anak ini.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis penegakan
hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian
dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?
b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan permasalahan diatas perlu diingat ruang lingkup penelitian penulis
ini meliputi Substansi ilmu Hukum Pidana, dengan objek penelitian terkait
penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan matinya orang (Studi Putusan Nomor 05/Pid/2014/PT.TK.).
dengan lokasi penelitian dipilih di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung
Karang. Sedangkan data tahun penelitian ditentukan tahun 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka tujuan adanya penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian
b. Untuk mengetahui dan memahami faktor penghambat penegakan hukum pidana
terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
matinya orang.
2. KegunaanPenelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis :
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka
memberikan penjelasan mengenai penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dan faktor
penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan
kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
kepada rekan-rekan mahasiswa, para aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan,
hakim dan advokat serta masyarakat umum yang mengkaji terkait penegakan
hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan
untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti.4
Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara,
aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan,
landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5
a. Teori Penegakan Hukum Pidana
Pengertian penegakan hukum adalah:
1. Keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan
hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia
serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil
dan merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan
yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Keseluruhan kegiatan dari para aparat/pelaksana penegak hukum ke arah
tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketenteraman dan kepastian hukum sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, hlm.125.
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004,
hlm. 73.
6
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme
penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan
“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja
direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud
direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:
1. Tahap Formulsai yaitu tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;
2. Tahap Aplikasi yaitu pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan
3. Tahap Eksekusi yaitu pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang
berwenang.
Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”,
sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”.
Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga
tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan
dalam satu kebulatan sistem.7
b. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya
dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat,
sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan
kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan. Pada
proses tersebut hukum tidak mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat
hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu
7
masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide
atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan,
ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun
demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan
telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan
penyempurnaan. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan
dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan
keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam
penerapannya.
Faktor penghambat dan faktor pendukung dalam upaya penanggulangan tindak
pidana, maka teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan di
atas oleh Soerjono Soekanto yang pada hakekatnya sama meliputi:8
1. Faktor hukumnya itu sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hokum tersebut berlaku atau
ditetapkan
5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
8
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11,
Kelima faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lain sebagai esensi dari
penegakan hukum dan tolok ukur efektivitas penegakan hukum, yang dijelaskan
di depan.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian. Kerangka konseptual adalah kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai
arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.9
Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Penegakan Hukum Pidana adalah
Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme
penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan
“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja
direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud
direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:
1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;
2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan
3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.10
b. Pelaku adalah
Pelaku adalah sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP,
yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta
9
Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit., hlm.132.
10
melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.11
c. Tindak Pidana adalah
Tindak pidana adalah sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa
Pidana.12
d. Pencurian dengan mengakibatkan mati orang, Pasal 365 ayat 3 disebutkan jika
perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.13
e. Anak adalah
Anak menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Anak yang berkonflik
dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.”14
f. Putusan pengadilan adalah
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).
11
R.Soesilo, Op Cit., hlm. 72.
12
Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman,hlm. 23.
13
R soesilo, Op. Cit., hlm. 254.
14
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang
menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini penulisan menyusun terdiri dari 5
(lima) BAB, yaitu:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan
masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan
konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar
belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian
yang terdiri antara lain penegakan hukum, pidana, pengertian anak, teori
pemidanaan, teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana
dan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
yang berisi pendekatan masalah , sumber dan jenis data, penentuan narasumber,
prosedur pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan
penerapan kerangka teori dan dasar hukum. Uraiannya membahas jawaban
terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya
orang dilakukan oleh anak dan faktor penghambat penegakan hukum pidana
terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya
orang dilakukan oleh anak
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan simpulan hasil
pembahasan dari penelitian dan saran dari peneliti sehubungan dengan masalah
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan
globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum
selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan
oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan
yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian
tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem
peradilan pidana.1
Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi
pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat
terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan
kegiatan memilih nilai-nilai yangsesuai dengan keadaan dan situasi masa kini
dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-
1
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan
Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994,
undangan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap
Kebijakan Legislatif.
2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga
Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang.
Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh
pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap
yudikatif.
3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana
pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang
telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu
dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-
undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai
keadilan suatu daya guna.
Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga
kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi,
yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa
yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada
merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua
adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana,
dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum
pidana.2
Berdasarkan paparan diatas bahwa penegakan hukum pidana merupakan suatu
upaya yang diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan
pembentukan hukum tidak terlepas dari politik hukum pidana yang terdiri dari tiga
tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi
mengandung arti pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai
yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang,
kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Setelah terbentuknya suatu
perundang-undangan yang baik maka akan masuk ke dalam tahap aplikasi, yaitu tahap
penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat Kepolisian
sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan
serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum
harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna.3
Setelah itu tahap terakhir yaitu, tahap eksekusi artinya penegakan (pelaksanaan)
hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini
aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan
2
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 30.
3
pidana yang telah dibuat pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang
telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.
Faktor/komponen penegakan hukum pidana dalam hal ini dapat dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu:
1. Faktor Penegak Hukum
Faktor yang menunjukan pada adanya kelembagaan yang mempunyai
fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak di dalam suatu mekanisme. Adapun faktor-faktor
penegak hukum meliputi:
a. Badan pembentuk undang-undang atau lembaga Legislatif.
b. Aparat penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Penasihat Hukum, dan Pengadilan.
c. Aparat pelaksana pidana.
2. Faktor Nilai
Faktor nilai merupakan sumber dari segala aktifitas dalam penegakan hukum
pidana. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana,
demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan nilai
dalam penegakan hukum pidana yang baik.4
3. Faktor Substansi Hukum
Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus
merupakan dasar bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya
suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak
hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami
4Ibid,
oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik buruknya substansi hukum
pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan
dipahami oleh para penegak hukum.5
Penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara preventif dan represif, yaitu :
1. Non Penal
Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh
masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan
kepolisian.
2. Penal
Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat
pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif
oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum
represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang
secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam
kerangka penegakan hukum.6
B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
1. Istilah Tindak Pidana
Pada dasarnya semua istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda : „Strafbaar Feit’, sebagai berikut:7
Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,
a. Delik (delict).
b. Peristiwa pidana.
c. Perbuatan pidana.
d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
e. Hal yang diancam dengan hukum.
f. Perbuatan yang diancam dengan hukum
g. Tindak Pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai
sekarang).
Tindak Pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.
2. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Sudradjat Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah
yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan
alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai
istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam
kebanyakan peraturan perundang-undangan memakai istilah tindak pidana,
umpamanya di dalam peraturan-peraturan pidana khusus.8
Mengenai beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana
memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :
a. Pompe
Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:
8
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feityang oleh
Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu
melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena
perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah akibat yang diatur
oleh hukum.10
Utrecht, Hukum Pidana, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986, hlm. 252.
10Ibid
3. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)
bagian, yaitu:12
1) Tindak pidana materiil.
Pengertian tindak pidana materil adalah apabila tindak pidana yang dimaksud
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan wujud dari perbuatan itu.
2) Tindak pidana formil.
Pengertian tindak pidana formil yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,
dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan
oleh perbuatan itu.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Simons, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian
tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:13
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco,
hlm. 55-57.
13
5. Orang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka
sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistis, belum tentu karena
harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu, dapat dipidana atau tidak.
Aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam
merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Penganut pandangan/aliran dualistis
adalah H.B vos, WPJ. Pompe, dan Moeljatno.14
Sudarto merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);
dan
3. Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil).15
Sedangkan untuk dapat dipidana, maka orang yang melakukan tindak pidana
(yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawaban
pidana ini melekat pada orang/pelaku tindak pidana, menurut Moeljatno
C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
Pencurian (diefsal) diatur dalam BAB XXII dari Pasal 362 sampai dengan Pasal
367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana
pencurian terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif. Berikut merupakan
penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362-367 KUHP :
Pasal 362 KUHP :
”Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.Pencurian dalam bentuk
pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.
Pasal 363 KUHP :
“ (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :
ke-1 pencurian ternak;
ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempabumi, atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan
kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup
yang ada rumahnya, yang dilakukanoleh orang yang adanya di situ tidak
diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk
memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu. perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut
ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 364 KUHP :
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 ke-4, begitupun
perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang
yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian
ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam
puluh rupiah.”
Pasal 365 KUHP :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.”
(2) “ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta
api atau trem yang sedang berjalan;
Ke-2 ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
Ke-3 ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu;
ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
(4) (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan
luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3.
Pasal 366 KUHP :
“ Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal
362, Pasal 363 dan Pasal 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam
Pasal 35 no 1-4.”
Pasal 367 KUHP :
Bunyi Pasal : (1) “ Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam
bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan,
dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta
kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak
mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) “Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau
dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap
orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang
terkena kejahatan.
(3) “Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang
lain dari pada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas berlaku
juga bagi orang itu.
Unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal tersebut antara lain :
a. Unsur Objektif
1. Unsur Perbuatan Mengambil (wegnemen)
Adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa
pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah
laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot
yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan
yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan
mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke
dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat
dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa
benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Lamintang,
1979:79-80).
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan
syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat
untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.Sebagai ternyata dari
"perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia
kemudian melepaskannya karena diketahui".
2. Unsur Benda
Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan
keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal
362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda -
benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas
dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah
ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas.
Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai
dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan
secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.
Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah
sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang
tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah
atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.
3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja,
sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik
A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya.
Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya
kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan
sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Orang lain ini harus diartikan sebagai
bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap
benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara.Jadi benda yang dapat
menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda -
benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.
b. Unsur Subjektif
1. Maksud Untuk Memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud
(kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan
dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki.Dua unsur itu dapat dibedakan dan
tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu
harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang
menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak
mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak,
dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang
melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah
maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk
memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila
dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per buatan
mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin)
terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
2. Melawan hukum
pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan
mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain
(dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung
dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan
ke dalam unsur melawan hukum subjektif.
BAB XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
Pasal 338 :
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 339 :
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan
barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 340 :
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
D. Pengertian Anak
Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang
yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau
kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali.17 Berdasarkan
Undang-Undang Pengadilan Anak. Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang
dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang
selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan
mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologi seseorang telah
sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan
umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah anak. Pengaturan
batas usia anak dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain
sebagai berikut:18
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP tidak memberikan
rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak
dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan
usia 16 tahun.
17
LiLik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung:
CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 3-4.
18
2. KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), tidak secara eksplisit
mengatur batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 Ayat (5)
memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum
mencapai usia 17 tahun untuk mengahdiri sidang.
3. Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
E. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain :19
1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi
keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian
hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena
itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan
atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.
Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law
enforcement saja, akan tetapi jua peace maintenance, karena penyelengaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan
kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
19
Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh
hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga
masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan
peraturan dengan perilaku yang mendukung.
2. Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum
dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran
adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu
kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak
hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta
harus diaktualisasikan.
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.
4. Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan
semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.
Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya
penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru dapat dikatakan
mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya,
karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata
lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya
hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang
menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian
antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan
semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan
perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan
masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan
E. Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar
pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada
umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini
mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang
menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan
bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap
kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu
pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio
praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu
dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh
keadilan etis.20 Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant
menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori ini, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib
masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan
(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari
pemidanaan ialah prevensi umum dan prevensi khusus.
20
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
3. Teori Gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
a. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas tidak
boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat. Pendukung teori ini adalah Pompe.
b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana
itu ialah kesejahteraan umum.
c. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan
sama. Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan,
karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka
hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana
yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik
secara negatif maupun secara positif.21
21Ibid
III. METODE PENELITIAN
Metode artinya cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis). Metode
penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data
penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.1
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua
pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah.
Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang ada.2
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh
data primer yang digunakan dengan wawancara dengan narasumber yaitu petugas
1
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
2002, hlm. 126.
2
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo
yang berwenang dengan masalah yang akan diteliti untuk mendapatkan
fakta-fakta yang terjadi di lapangan atau lokasi penelitian.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan dari bahan kepustakaan.3
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari
sumber pertama.4 Dengan demikian data primer yang diperoleh langsung dari
obyek penelitian di lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian.
Penulis akan mengakaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil
wawancara narasumber, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam
perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan mengakibatkan mati orang
yang dilakukan oleh anak.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen,
arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,
konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang
berkaitan dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat
yang terdiri dari bahan hukum antara lain :
3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2007, hlm. 11.
4
a. Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang
berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat
untuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.5 Dalam penelitian ini
bahan hukum primer terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang No. 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
sebagiamana telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
5. Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang memberikan
keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak
langsung dari sumbernya atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak
lain.6 Dapat berupa PP dan Putusan Pengadilan.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misal
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005, hlm. 142.
6Ibid
kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan
penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku hukum.7
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang
diteliti.8 Narasumber ditentukan secara purposive yaitu penunjukan langsung
dengan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan dalam penelitian ini.9
Narasumber tersebut adalah:
1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang
2. Dosen Bagian Hukum Pidana FH Universitas Lampung : 2 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan dua cara
yaitu:
a. Studi Kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis
dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan,
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara
(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan
secara tertulis.
2. Prosedur Pengolahan Data
Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya
diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Identifikasi
Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
b. Editing
Editing yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah
data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila
ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang
lengkap akan diadakan penambahan.
c. Klasifikasi Data
Klasifikasi data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang
telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis.
d. Sistematika data
Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data ditentukan dan
E. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data
dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan
dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematik, kemudian diinterpretasikan
dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan
terang dalam pokok bahasan sehingga akhirnya akan menuju pada suatu
kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode deduktif yaitu
V. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam
penelitian, maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan
dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:
1. Penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan
yang mengakibatkan matinya orang dapat diketahui melihat teori penegakan
hukum pidana yaitu pada tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi yang menjadi
persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi atau Undang-Undang sebab
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat
dikatakan lebih mengedepankan yuridis formal dengan menonjolkan
penghukuman. Selain itu juga pengaturan mengenai penahanan yang
menempatkan anak di Rumah Tahanan dirasa kurang memberikan perlindungan
bagi anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini berbeda dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah
mengatur mengenai lembaga penempatan khusus anak, serta belum mengaturnya
keadilan restoratif dan diversi. Selain itu juga aparat penegak hukum yang kurang
2. Faktor Penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian
dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang yang paling dominan
adalah faktor penegak hukum yaitu sikap profesionalisme aparat penegak hukum
mulai dari kepolisian sampai pengadilan, sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing dalam sistem peradilan pidana terpadu yang kurang
memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak, selain
itu faktor undang-undang, dimana belum mengatur sepenuhnya mengenai hak-hak
anak, proses penahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan, serta penjatuhan
pidana yang masih mengedapankan bersifat penghukuman semata.
B. Saran
1. Aparat penegak hukum harus bersikap profesionlisme dalam menangani anak
sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
matinya orang dengan memperhatikan hak-hak anak baik dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
2. Asas, prinsip, konsep dan pemikiran yang termuat dalam Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus segera
diimplementasikan. Sosialisasi dan pendidikan terkait diversi harus dilakukan
kepada polisi, penyidik, jaksa, hakim, masyarakat dan pihak terkait agar upaya
perlindungan anak terutama anak pelaku tindak pidana dapat terlaksana. Selain
itu, pemerintah harus segera membangun fasilitas dan sarana sebagaimana
yang diamanatkan dalam RancanganUndang-Undang tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak agar anak (pelaku, korban atau saksi) mendapatkan pembinaan,
3. Penerapan pidana terhadap pelaku anak sebaiknya menjadi pilihan atau obat
terakhir (ultimum remedium) dan hakim hendaknya memandang terdakwa atau
pelaku yang masih dikategorikan sebagai anak yang perkembangan jiwa dan
masa depannya harus dipertimbangkan, bukan sebagai penjahat yang harus
dijatuhi pidana untuk menimbulkan efek jera. Hal-hal yang bersifat non- penal
harus pula diperhatikan. Meskipun harus dijatuhi penerapan hukum pidana
terhadap pelaku anak, penjatuhan pidana tersebut harus bertujuan
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Literatur :
Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
---. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Bassar , 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Group.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2005 Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju,
Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Nasir Djamil, M. 2013.Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA),Jakarta: Sinar Grafika.
---. 2008.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Prodjodikoro, Wiryono. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Shafrudin, 1998. Politik Hukum Pidana. B.Lampung: Universitas Lampung.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
---. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
---. Hukum Pidana I, 1990. Semarang: Yayasan Sudarto.
Soetodjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT refika Aditama.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Tim Redaksi. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Akasara.
Tim Redaksi. 2009. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.
Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.
Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung. Fokus Media.