• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG

MENGAKIBATKAN MATINYA ORANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Putusan Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK.)

Oleh

Andrian Rizki Pratama

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E.Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Penegakan Hukum Pidana ... 15

B.Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19

C.Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 24

D.Pengertian Anak ... 31

E.Teori Faktor–faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 32

F. Teori Pemidanaan ... 35

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 37

B.Sumber dan Jenis Data ... 38

C.Penentuan Narasumber ... 40

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

(3)

A. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung

Karang Nomor: 05/Pid/2014/PT.TK tentang Tindak Pidana Pencurian

dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang ... 43

B.Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku Pencurian Dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Matinya Orang (Studi Putusan

Nomor 05/Pid/2014/PT.TK) ... 47

C. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap anak pelaku Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkan

Matinya Orang ... 64

V PENUTUP

A. Simpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA

(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan

teknologi, dan industrialisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha

adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu

menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak

kebingungan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang

internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai

dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari

norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri

dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.

Pengaruh budaya di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku

anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya

lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan

perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak.

Beberapa waktu terakhir ini, kerap kali terjadi tindak pidana di masyarakat. Dari

berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan

mengetahui adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anggota masyarakat.

(5)

dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh

anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai

perilaku jahat anak.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam dasawarsa lalu, belum menjadi

masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, ahli

kriminologi, penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.

Ketentuan tindak pidana yang dilakukan anak atau disebut delikuensi anak

diartikan sebagai bentuk tindak pidana yang dilakukan anak dalam titel-titel

khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan.

Spesifikasi delikuensi anak menjadi masalah sosial dan sekaligus hukum yang

telah ada dan tumbuh bersama perkembangan dan peradaban masyarakat agama,

sosial, dan hukum. Di Indonesia masalah delikuensi anak belum begitu banyak

disoroti oleh sistem peradilan dan penegakan hukum pada masyarakat. Perilaku

jahat anak merupakan gejala sakit (pathologis) secara sosial pada anak-anak yang

disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan

kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian

tingkah-laku kriminal anak-anak. Perilaku anak-anak ini menunjukkan

tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.1

Pengaturan mengenai anak pertama kali hanya diatur dalam Pasal 45, Pasal 46,

Pasal 47 KUHP. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dengan demikian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh

1

(6)

Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang isinya menyatakan: “Pada

saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”. Oleh karena itu,

ketentuan yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana harus

mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, yaitu : “ Anak adalah orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin”.2

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak terbaru, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang

berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah

berumur 12 (dua belas), tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana. Akhir-akhir ini fenomena yang terjadi di

masyarakat menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak seringkali

terjadi sebagaimana diberitakan baik dalam media cetak maupun media elektronik

tentang berbagai peristiwa tindak pidana yang pelakunya adalah anak-anak.

Sebagai contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yaitu yang terjadi di

Kotabumi, anak yang melakukan pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan matinya orang pada tahun 2014 di Desa Padang Ratu Kecamatan

Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara. Kasus ini bermula ketika Terdakwa

nonton orgen tunggal bersama korban serta teman-teman lainnya, kemudian

2

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila, 2013, hlm.

(7)

terdakwa minta diantarkan oleh korban ke dekat lokasi Koramil yang tidak jauh

dari tempat nonton tersebut dengan menggunakan motor milik korban jenis Honda

Absolute REVO warna hitam Nopol BE 8022 QE, diawal perjalanan semula yang

membawa motor adalah terdakwa sedangkan korban pada posisi dibonceng.

Sebelum sampai ditujuan tepatnya di Desa Padang Ratu Kecamatan Sungkai

Utara Kabupaten Lampung Utara terdakwa menghentikan laju motor karena

disana ada rumah bibi terdakwa yang bernama Sinar, kemudian terdakwa turun

dari motor sedangkan korban masih tetap di atas motor, terdakwa lalu masuk ke

rumah bibinya untuk meminjam sebuah golok dan kemudian mengasahnya

sebentar lalu terdakwa keluar rumah dan mengajak korban pergi lagi dengan

menyuruh korban untuk membawa motor dan terdakwa berganti posisi dengan

dibonceng oleh korban. Ketika di perjalanan terjadi percekcokan antara terdakwa

dan korban sesaat, setelah itu terdakwa mengeluarkan golok yang telah diselipkan

terdakwa dipinggangnya kemudian langsung membacokkannya ke arah kepala

korban dan korban pun terjatuh dari motor kemudian korban pun masih sempat

untuk berusaha berlari namun terdakwa kembali membacokkan goloknya

berkali-kali ke arah tangan dan tubuh korban sampai korban benar-benar terjatuh dan

terakhir terdakwa membacokkan goloknya ke arah leher korban hingga tewas.3

Atas Perbuatannya tersebut Terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah karena melanggar Pasal 365 ayat (3) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, melakukan tindak pidana Pencurian dengan kekerasan

mengakibatkan mati orang dan Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa

3

(8)

menyerahkan terdakwa tersebut kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan pelatihan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Kotabumi

dengan Putusan No. 400/Pid.B/Anak/2013/PN.KB dan pada tingkat banding di

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan putusan No.05/Pid/2014/PT.TK

menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam)

tahun.

Berdasarakan putusan pengadilan di atas terlihat bahwa terdakwa dikenakan Pasal

365 ayat (3) Kitab Undang Hukum Pidana, dan diterapkannya

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Putusan pidana penjara

selama 6 (enam) tahun tersebut masih dirasakan tergolong berat, pelaku juga

dikategorikan sebagai anak yang masih berumur 15 (lima belas) tahun dan baru

pertama kali melakukan tindak pidana tersebut yang diharapkan akan

memperbaiki dirinya dan berguna bagi masyarakat. Sementara belum

diterapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak Terbaru dalam putusan perkara anak ini.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk

mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis penegakan

hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang

(9)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian

dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku

pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan diatas perlu diingat ruang lingkup penelitian penulis

ini meliputi Substansi ilmu Hukum Pidana, dengan objek penelitian terkait

penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan matinya orang (Studi Putusan Nomor 05/Pid/2014/PT.TK.).

dengan lokasi penelitian dipilih di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung

Karang. Sedangkan data tahun penelitian ditentukan tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka tujuan adanya penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian

(10)

b. Untuk mengetahui dan memahami faktor penghambat penegakan hukum pidana

terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan

matinya orang.

2. KegunaanPenelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan

praktis :

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka

memberikan penjelasan mengenai penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku

pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang dan faktor

penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan

kekerasan yang mengakibatkan matinya orang.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan secara praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

kepada rekan-rekan mahasiswa, para aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan,

hakim dan advokat serta masyarakat umum yang mengkaji terkait penegakan

hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan yang

(11)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan

untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang relevan oleh peneliti.4

Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara,

aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan,

landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

Pengertian penegakan hukum adalah:

1. Keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan

hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia

serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil

dan merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan

yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Keseluruhan kegiatan dari para aparat/pelaksana penegak hukum ke arah

tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban, ketenteraman dan kepastian hukum sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, hlm.125.

5

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004,

hlm. 73.

6

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

(12)

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme

penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja

direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud

direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Tahap Formulsai yaitu tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

2. Tahap Aplikasi yaitu pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap Eksekusi yaitu pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang

berwenang.

Tahap pertama sering juga disebut tahap pemberian pidana “in abstracto”,

sedangkan tahap kedua dan ketiga disebut tahap pemberian pidana“in Concreto”.

Dilihat dari suatu proses mekanisme penegakan hukum pidana, maka ketiga

tahapan itu diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan

dalam satu kebulatan sistem.7

b. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya

dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,

melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat,

sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan

kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan. Pada

proses tersebut hukum tidak mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat

hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu

7

(13)

masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide

atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan,

ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun

demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan

telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan

penyempurnaan. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan

dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan

keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam

penerapannya.

Faktor penghambat dan faktor pendukung dalam upaya penanggulangan tindak

pidana, maka teori yang digunakan adalah teori yang berkaitan dengan

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan di

atas oleh Soerjono Soekanto yang pada hakekatnya sama meliputi:8

1. Faktor hukumnya itu sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hokum tersebut berlaku atau

ditetapkan

5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

8

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11,

(14)

Kelima faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lain sebagai esensi dari

penegakan hukum dan tolok ukur efektivitas penegakan hukum, yang dijelaskan

di depan.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian. Kerangka konseptual adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai

arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.9

Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Penegakan Hukum Pidana adalah

Penegakan hukum pidana apabila dilihat sebagai bagian dari mekanisme

penegakan hukum (pidana), maka “pemidanaan” yang biasa juga diartikan

“pemberian pidana” tidak lain merupakan suatu proses kebijakan yang sengaja

direncanakan.Artinya pemberian pidana itu untuk benar-benar dapat terwujud

direncanakan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang; dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.10

b. Pelaku adalah

Pelaku adalah sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP,

yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta

9

Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit., hlm.132.

10

(15)

melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.11

c. Tindak Pidana adalah

Tindak pidana adalah sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa

Pidana.12

d. Pencurian dengan mengakibatkan mati orang, Pasal 365 ayat 3 disebutkan jika

perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama

lima belas tahun.13

e. Anak adalah

Anak menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.”14

f. Putusan pengadilan adalah

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP).

11

R.Soesilo, Op Cit., hlm. 72.

12

Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman,hlm. 23.

13

R soesilo, Op. Cit., hlm. 254.

14

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem

(16)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang

menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini penulisan menyusun terdiri dari 5

(lima) BAB, yaitu:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan

masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan

konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar

belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian

yang terdiri antara lain penegakan hukum, pidana, pengertian anak, teori

pemidanaan, teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana

dan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

yang berisi pendekatan masalah , sumber dan jenis data, penentuan narasumber,

prosedur pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan

penerapan kerangka teori dan dasar hukum. Uraiannya membahas jawaban

(17)

terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya

orang dilakukan oleh anak dan faktor penghambat penegakan hukum pidana

terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya

orang dilakukan oleh anak

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan simpulan hasil

pembahasan dari penelitian dan saran dari peneliti sehubungan dengan masalah

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin

kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan

globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum

selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan

oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan

yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian

tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem

peradilan pidana.1

Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi

pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat

terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan

kegiatan memilih nilai-nilai yangsesuai dengan keadaan dan situasi masa kini

dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-

1

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994,

(19)

undangan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam

arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap

Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum

pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga

Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan

perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang.

Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh

pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap

yudikatif.

3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret

oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana

pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah

ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang

telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu

dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-

undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai

keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga

kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi,

yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa

yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada

(20)

merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua

adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana,

dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum

pidana.2

Berdasarkan paparan diatas bahwa penegakan hukum pidana merupakan suatu

upaya yang diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan

pembentukan hukum tidak terlepas dari politik hukum pidana yang terdiri dari tiga

tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi

mengandung arti pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai

yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang,

kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Setelah terbentuknya suatu

perundang-undangan yang baik maka akan masuk ke dalam tahap aplikasi, yaitu tahap

penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat Kepolisian

sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan

serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh

pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum

harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna.3

Setelah itu tahap terakhir yaitu, tahap eksekusi artinya penegakan (pelaksanaan)

hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini

aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan

2

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum

Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 30.

3

(21)

pidana yang telah dibuat pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang

telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Faktor/komponen penegakan hukum pidana dalam hal ini dapat dibagi menjadi

tiga jenis, yaitu:

1. Faktor Penegak Hukum

Faktor yang menunjukan pada adanya kelembagaan yang mempunyai

fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak di dalam suatu mekanisme. Adapun faktor-faktor

penegak hukum meliputi:

a. Badan pembentuk undang-undang atau lembaga Legislatif.

b. Aparat penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,

Penasihat Hukum, dan Pengadilan.

c. Aparat pelaksana pidana.

2. Faktor Nilai

Faktor nilai merupakan sumber dari segala aktifitas dalam penegakan hukum

pidana. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana,

demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan nilai

dalam penegakan hukum pidana yang baik.4

3. Faktor Substansi Hukum

Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus

merupakan dasar bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya

suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak

hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami

4Ibid,

(22)

oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik buruknya substansi hukum

pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan

dipahami oleh para penegak hukum.5

Penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara preventif dan represif, yaitu :

1. Non Penal

Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh

masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan

kepolisian.

2. Penal

Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat

pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif

oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum

represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang

secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam

kerangka penegakan hukum.6

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Istilah Tindak Pidana

Pada dasarnya semua istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda : „Strafbaar Feit’, sebagai berikut:7

Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,

(23)

a. Delik (delict).

b. Peristiwa pidana.

c. Perbuatan pidana.

d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

e. Hal yang diancam dengan hukum.

f. Perbuatan yang diancam dengan hukum

g. Tindak Pidana (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk undang-undang sampai

sekarang).

Tindak Pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.

2. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Sudradjat Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah

yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan

alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai

istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam

kebanyakan peraturan perundang-undangan memakai istilah tindak pidana,

umpamanya di dalam peraturan-peraturan pidana khusus.8

Mengenai beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana

memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

a. Pompe

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

8

(24)

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk

mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feityang oleh

Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu

melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena

perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah akibat yang diatur

oleh hukum.10

Utrecht, Hukum Pidana, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986, hlm. 252.

10Ibid

(25)

3. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)

bagian, yaitu:12

1) Tindak pidana materiil.

Pengertian tindak pidana materil adalah apabila tindak pidana yang dimaksud

dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa

merumuskan wujud dari perbuatan itu.

2) Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formil yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,

dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan

oleh perbuatan itu.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Simons, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian

tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:13

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau

Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco,

hlm. 55-57.

13

(26)

5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka

sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistis, belum tentu karena

harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu, dapat dipidana atau tidak.

Aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara

perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam

merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Penganut pandangan/aliran dualistis

adalah H.B vos, WPJ. Pompe, dan Moeljatno.14

Sudarto merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);

dan

3. Bersifat melawan hukum ( ini merupakan syarat materiil).15

Sedangkan untuk dapat dipidana, maka orang yang melakukan tindak pidana

(yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawaban

pidana ini melekat pada orang/pelaku tindak pidana, menurut Moeljatno

(27)

C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan

Pencurian (diefsal) diatur dalam BAB XXII dari Pasal 362 sampai dengan Pasal

367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana

pencurian terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif. Berikut merupakan

penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362-367 KUHP :

Pasal 362 KUHP :

Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,

diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.Pencurian dalam bentuk

pokok ini mengadung unsur objektif dan subjektif.

Pasal 363 KUHP :

“ (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

ke-1 pencurian ternak;

ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempabumi, atau

gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan

kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup

yang ada rumahnya, yang dilakukanoleh orang yang adanya di situ tidak

diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk

(28)

memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu. perintah

palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut

ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 364 KUHP :

“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 ke-4, begitupun

perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam

sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang

yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian

ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam

puluh rupiah.”

Pasal 365 KUHP :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang

didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,

terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri

atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.”

(2) “ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :

ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta

api atau trem yang sedang berjalan;

Ke-2 ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

(29)

Ke-3 ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau

pakaian jabatan palsu;

ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.

(4) (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama

waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan

luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan

bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no.1 dan 3.

Pasal 366 KUHP :

“ Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yang diterangkan dalam Pasal

362, Pasal 363 dan Pasal 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam

Pasal 35 no 1-4.”

Pasal 367 KUHP :

Bunyi Pasal : (1) “ Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam

bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan,

dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta

kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak

mungkin diadakan tuntutan pidana.

(2) “Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau

(30)

dalam garis lurus, maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap

orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang

terkena kejahatan.

(3) “Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang

lain dari pada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas berlaku

juga bagi orang itu.

Unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal tersebut antara lain :

a. Unsur Objektif

1. Unsur Perbuatan Mengambil (wegnemen)

Adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa

pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah

laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot

yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan

yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan

mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke

dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat

dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa

benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Lamintang,

1979:79-80).

Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan

syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat

untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.Sebagai ternyata dari

(31)

"perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia

kemudian melepaskannya karena diketahui".

2. Unsur Benda

Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan

keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal

362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda -

benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas

dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah

ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas.

Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai

dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan

secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.

Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah

sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang

tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah

atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.

3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja,

sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik

A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya.

Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya

kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan

(32)

sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Orang lain ini harus diartikan sebagai

bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap

benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara.Jadi benda yang dapat

menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda -

benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

b. Unsur Subjektif

1. Maksud Untuk Memiliki

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud

(kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan

dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki.Dua unsur itu dapat dibedakan dan

tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu

harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang

menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak

mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak,

dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang

melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah

maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk

memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila

dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per buatan

mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin)

terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

2. Melawan hukum

(33)

pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan

mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain

(dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung

dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan

ke dalam unsur melawan hukum subjektif.

BAB XIX Kejahatan Terhadap Nyawa

Pasal 338 :

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339 :

Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana,

yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari

pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan

barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340 :

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama

(34)

D. Pengertian Anak

Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang

yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau

kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali.17 Berdasarkan

Undang-Undang Pengadilan Anak. Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang

dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 Ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan

mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologi seseorang telah

sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan

umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah anak. Pengaturan

batas usia anak dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain

sebagai berikut:18

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP tidak memberikan

rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak

dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan

usia 16 tahun.

17

LiLik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung:

CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 3-4.

18

(35)

2. KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), tidak secara eksplisit

mengatur batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 Ayat (5)

memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum

mencapai usia 17 tahun untuk mengahdiri sidang.

3. Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

E. Teori Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain :19

1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi

keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian

hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena

itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya

berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan

atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law

enforcement saja, akan tetapi jua peace maintenance, karena penyelengaraan

hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan

kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

19

(36)

Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh

hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan

yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga

masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan

peraturan dengan perilaku yang mendukung.

2. Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau

kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum

dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran

adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu

kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak

hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta

harus diaktualisasikan.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin

menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan

hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

(37)

hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum

masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan

semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya

penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru dapat dikatakan

mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya,

karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata

lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya

hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang

menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian

antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan

semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan

perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan

masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan

(38)

E. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar

pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada

umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini

mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang

menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan

bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap

kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu

pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio

praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu

dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh

keadilan etis.20 Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant

menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut teori ini, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata tertib

masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan

(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari

pemidanaan ialah prevensi umum dan prevensi khusus.

20

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana

(39)

3. Teori Gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas tidak

boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat. Pendukung teori ini adalah Pompe.

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang

beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana

itu ialah kesejahteraan umum.

c. Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan

sama. Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan,

karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka

hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana

yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik

secara negatif maupun secara positif.21

21Ibid

(40)

III. METODE PENELITIAN

Metode artinya cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis). Metode

penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data

penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan.1

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua

pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara

mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah.

Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka yang ada.2

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh

data primer yang digunakan dengan wawancara dengan narasumber yaitu petugas

1

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

2002, hlm. 126.

2

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo

(41)

yang berwenang dengan masalah yang akan diteliti untuk mendapatkan

fakta-fakta yang terjadi di lapangan atau lokasi penelitian.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sudut sumbernya, dibedakan antara data yang diperoleh

langsung dari masyarakat dan dari bahan kepustakaan.3

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer adalah Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari

sumber pertama.4 Dengan demikian data primer yang diperoleh langsung dari

obyek penelitian di lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian.

Penulis akan mengakaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil

wawancara narasumber, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam

perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan mengakibatkan mati orang

yang dilakukan oleh anak.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen,

arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis,

konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang

berkaitan dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat

yang terdiri dari bahan hukum antara lain :

3

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2007, hlm. 11.

4

(42)

a. Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang

berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat

untuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.5 Dalam penelitian ini

bahan hukum primer terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang No. 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

sebagiamana telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

5. Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang memberikan

keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak

langsung dari sumbernya atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak

lain.6 Dapat berupa PP dan Putusan Pengadilan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misal

5

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005, hlm. 142.

6Ibid

(43)

kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan

penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku hukum.7

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas objek yang

diteliti.8 Narasumber ditentukan secara purposive yaitu penunjukan langsung

dengan narasumber yang ditunjuk menguasai permasalahan dalam penelitian ini.9

Narasumber tersebut adalah:

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang

2. Dosen Bagian Hukum Pidana FH Universitas Lampung : 2 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan dua cara

yaitu:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis

dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,

mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan,

(44)

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan

secara tertulis.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya

diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Identifikasi

Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang diperlukan dalam

penelitian ini.

b. Editing

Editing yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah

data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila

ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang

lengkap akan diadakan penambahan.

c. Klasifikasi Data

Klasifikasi data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang

telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis.

d. Sistematika data

Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data ditentukan dan

(45)

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data

dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan

dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematik, kemudian diinterpretasikan

dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan

terang dalam pokok bahasan sehingga akhirnya akan menuju pada suatu

kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode deduktif yaitu

(46)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam

penelitian, maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan

dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan:

1. Penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian dengan kekerasan

yang mengakibatkan matinya orang dapat diketahui melihat teori penegakan

hukum pidana yaitu pada tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi yang menjadi

persoalan paling relevan yaitu pada tahap formulasi atau Undang-Undang sebab

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat

dikatakan lebih mengedepankan yuridis formal dengan menonjolkan

penghukuman. Selain itu juga pengaturan mengenai penahanan yang

menempatkan anak di Rumah Tahanan dirasa kurang memberikan perlindungan

bagi anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini berbeda dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah

mengatur mengenai lembaga penempatan khusus anak, serta belum mengaturnya

keadilan restoratif dan diversi. Selain itu juga aparat penegak hukum yang kurang

(47)

2. Faktor Penghambat penegakan hukum pidana terhadap anak pelaku pencurian

dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang yang paling dominan

adalah faktor penegak hukum yaitu sikap profesionalisme aparat penegak hukum

mulai dari kepolisian sampai pengadilan, sesuai dengan tugas dan tanggung

jawabnya masing-masing dalam sistem peradilan pidana terpadu yang kurang

memahami persoalan anak dengan mengikuti pendidikan pengadilan anak, selain

itu faktor undang-undang, dimana belum mengatur sepenuhnya mengenai hak-hak

anak, proses penahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan, serta penjatuhan

pidana yang masih mengedapankan bersifat penghukuman semata.

B. Saran

1. Aparat penegak hukum harus bersikap profesionlisme dalam menangani anak

sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan

matinya orang dengan memperhatikan hak-hak anak baik dalam proses

penyidikan, penuntutan, dan persidangan.

2. Asas, prinsip, konsep dan pemikiran yang termuat dalam Undang-Undang No.

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus segera

diimplementasikan. Sosialisasi dan pendidikan terkait diversi harus dilakukan

kepada polisi, penyidik, jaksa, hakim, masyarakat dan pihak terkait agar upaya

perlindungan anak terutama anak pelaku tindak pidana dapat terlaksana. Selain

itu, pemerintah harus segera membangun fasilitas dan sarana sebagaimana

yang diamanatkan dalam RancanganUndang-Undang tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak agar anak (pelaku, korban atau saksi) mendapatkan pembinaan,

(48)

3. Penerapan pidana terhadap pelaku anak sebaiknya menjadi pilihan atau obat

terakhir (ultimum remedium) dan hakim hendaknya memandang terdakwa atau

pelaku yang masih dikategorikan sebagai anak yang perkembangan jiwa dan

masa depannya harus dipertimbangkan, bukan sebagai penjahat yang harus

dijatuhi pidana untuk menimbulkan efek jera. Hal-hal yang bersifat non- penal

harus pula diperhatikan. Meskipun harus dijatuhi penerapan hukum pidana

terhadap pelaku anak, penjatuhan pidana tersebut harus bertujuan

(49)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur :

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Bassar , 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Group.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Lilik. 2005 Pengadilan Anak di Indonesia( Teori Praktek dan permasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju,

Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Nasir Djamil, M. 2013.Anak Bukan Untuk Dihukum catatan pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA),Jakarta: Sinar Grafika.

(50)

---. 2008.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.

Prodjodikoro, Wiryono. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi. Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Shafrudin, 1998. Politik Hukum Pidana. B.Lampung: Universitas Lampung.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

---. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, cetakan ke-11. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

---. Hukum Pidana I, 1990. Semarang: Yayasan Sudarto.

Soetodjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT refika Aditama.

(51)

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Tim Redaksi. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Akasara.

Tim Redaksi. 2009. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung. Fokus Media.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pemodelan sistem untuk simulasi pengelolaan hutan di PT Suka Jaya Makmur dengan menggunakan beberapa skenario pengelolaan

Bahwa Majelis Hakim (Judex Factie) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dengan tidak menerapkan Pasal 103 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo

But judgements of particular works of art are not based, or at any rate not in a similar way, on principles, and the relationship of what have often been called phenomenal properties

LAMPIRAN KOEFISIEN MANAJEMEN LABA. Variables

[r]

Arifin dkk, (2015) dengan judul Profil Pemecahan Masalah Matematika Siswa Ditinjau Dari Gaya Kognitif Dan Efikasi Diri Pada Siswa Kelas Viii Unggulan Smpn 1

Tujuan dari dilakukannya studi ini adalah untuk menganalisis dan menghitung jumlah medan magnet yang di hasilkan oleh saluran transmisi krian-gresik 500 kV dan

Penelitian Sutrisno tahun 2006 di RSUD Swadana Pare Kediri. Subyek penelitian adalah pasien pre operasi di RSUD Swadana Pare Kediri. Hasil penelitian membuktikan ada