• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN JARAK PELAYANAN KESEHATAN TERHA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN JARAK PELAYANAN KESEHATAN TERHA (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN JARAK PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP KEINGINAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL

Latar Belakang

Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang optimal (Depkes RI., 2003 dalam Manuaba, 2001).

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara

bersama- sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,

kelompok atau masyarakat (Levey dan Loomba, 1973). Pendistribusian pelayanan kesehatan

baik di desa maupun di kota harus di lakukan secara merata. Pelayanan kesehatan hendaknya

dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatakan derajat kesehatan masyarakatnya.

Puskesmas adalah penanggungjawab penyelenggara upaya kesehatan untuk tingkat pertama.

Puskesmas sebagai unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan merupakan

ujung tombak dalam pelayanan kesehatan dalam menunjang kebehasilan untuk mencapai visi

Indonesia sehat 2010. Keberhasilan ini sangat dipengaruhi oleh penataan dan pengelolaan

tenaga untuk melaksanakan kegiatan pokok puskesmas. Masyarakat dengan kondisi

geografik di pedesaan cenderung kurang mendapat perhatian dari pemerintah yang menaungi

daerah tersebut. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang

penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah diamanatkan

dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

(2)

jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak”. Salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang

diselenggarakan oleh pemerintah adalah puskesmas. Fasilitas pelayanan kesehatan ini

merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat dalam membina peran serta

masyarakat juga memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat.

Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan

kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan yang diberikan

puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang meliputi pelayanan: kuratif

(pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), dan

rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk,

tidak membedaan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan

sampai tutup usia.

Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Sebagai

penyelenggara pembangunan kesehatan, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan

upaya kesehatan per orangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang ditinjau dari Sistem

Kesehatan Nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (Depkes RI, 2009).

Pada saat ini Puskesmas telah didirikan hampir di seluruh pelosok tanah air. Untuk

menjangkau wilayah kerjanya puskesmas diperkuat dengan puskesmas pembantu, puskesmas

keliling dan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan, puskesmas dilengkapi

dengan fasilitas rawat inap (Depkes RI, 2009). Sekalipun telah banyak keberhasilan yang

dicapai oleh puskesmas dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun dalam

(3)

berfungsi maksimal. Masalah-masalah tersebut dapat memengaruhi pemanfaatan puskesmas

yang pada ujungnya berpengaruh pada status kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya

(Oleske, 2002). Hal ini terlihat antara lain pada tingkat pemanfaatan pelayanan KB di rumah

sakit pemerintah sebesar 3,2%, pemanfaatan puskesmas 12%, pemanfaatan pustu 4,5%,

poskesdes atau polindes 1,5%. Pencapaian terhadap target indikator SPM yang mengikuti

MDG’s antara lain cakupan terhadap kunjungan ibu hamil K4 sebesar 61,3% sementara

target SPM 95%, cakupan peserta KB aktif 53,9% sementar target SPM 70%, cakupan

persalinan yang ditolong tenaga kesehatan 82,3% sementara target nasional 90% dan

cakupan kunjungan neonatus 60,6% sementara target SPM 90% (Riskesdas 2010).

Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta

antara lain karena inefisiensi dan buruknya kualitas dalam sektor kesehatan, buruknya

kualitas infrastruktur dan banyaknya pusat kesehatan yang tidak memiliki perlengkapan yang

memadai, jumlah dokter yang tidak memadai di daerah terpencil dan tingginya

ketidakhadiran dokter di puskesmas, serta kurangnya pendidikan tenaga kerja kesehatan.

Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah pendapatan yang meningkat, pengetahuan

yang lebih baik akan pilihan pelayanan kesehatan dan meningkatnya ekspektasi terhadap

standar pelayanan (World Bank, 2008).

Untuk mengantisipasi hal itu, sebaiknya puskesmas mampu meningkatkan kualitas

pelayanan profesi (quality of care) dan kualitas pelayanan manajemen (quality of service)

karena mutu pelayanan yang baik akan memberikan kepuasan kepada pelanggan dan

pelanggan akan memanfaatkan ulang dan merekomendasikan pelayanan kesehatan tersebut

(4)

Beberapa pandangan yang berkembang di masyarakat terkait rendahnya jumlah

kunjungan masyarakat ke puskesmas ialah buruknya citra pelayanan di puskesmas, di

antaranya pegawai puskesmas yang tidak disiplin, kurang ramah, kurang profesional,

pengobatan yang tidak manjur, fasilitas gedung maupun peralatan medis dan non medis

kurang memadai di mana masyarakat harus dirujuk untuk melanjutkan pengobatan atau

pemeriksaan yang sebenarnya masih dapat dilakukan di puskesmas, atau untuk membeli

obat-obatan yang tidak tersedia di puskesmas padahal kondisi geografis di beberapa tempat

tidak mendukung akibat jauhnya jarak tempuh, tidak ada transportasi, jam buka puskesmas

yang terbatas dan lain-lain. Di samping itu petugas kesehatan juga melakukan praktik swasta

di luar jam kerja puskesmas yang memungkinkan persaingan terselubung dengan puskesmas,

yang berpengaruh terhadap angka kunjungan ke puskesmas (Muninjaya, 2004).

Dalam hal manajemen, puskesmas juga dinilai belum cukup mampu melaksanakan

fungsinya dengan baik. Kepala puskesmas yang pada umumnya dipimpin oleh dokter,

cenderung lebih berorientasi kepada pelayanan kesehatan kuratif. Sistem informasi

puskesmas belum mampu menunjang proses perencanaan strategis puskesmas misalnya

dalam hal kebutuhan jumlah dan latar belakang pendidikan sumber daya manusianya,

program-program kesehatan masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai kebutuhan

wilayahnya dan dengan fungsi promotif dan preventif puskesmas yang semakin terabaikan

dibandingkan dengan fungsi kuratifnya. Kemampuan pimpinan puskesmas dalam melakukan

advokasi terhadap lintas sektor di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten juga masih

sangat kurang, sehingga pembangunan berwawasan kesehatan masih disikapi secara pasif

oleh sektor di luar kesehatan karena adanya anggapan bahwa masalah pembangunan

(5)

Syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut

harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinamnbungan (continous).

Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit

ditemukan, serta keberadaannya dimasyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan. Syarat

pelayanan kesehatan yang baik lainnya adalah yang mudah dicapai (accessible) oleh

masyarakat. Pengertian ketercapaian yang di maksud disini terutama dari sudut lokasi.

Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan

distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu

terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah

pedesaan, bukan pelayanan kesehatan yang baik (Azwar,2010;45).

Factor aksesibilitas dikelompokkan dalam tiga kategori (Eryando, 2006) yaitu sebagai

berikut.

a. Aksesibilitas fisik. Akses fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan, atau

jaraknya terhadap pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari waktu Tfaktor a

mpuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan.

b. Aksesibilitas Ekonomi. Aksesibilitas ekonomi sisi pengguna dilihat dari kemampuan

finansial responden untuk mengakses pelayanan kesehatan.

c. Aksesibilitas Sosial. Aksesibilitas sosial adalah kondisi non-fisik dan finansial yang

mempengaruhi pengambilan keputusan untuk ke pelayanan kesehatan. Kebutuhan

Terhadap Pelayanan kesehatan Menurut (Littik, 2008) kebutuhan diukur sebagai gangguan

kesehatan atau kesakitan yang dikeluhkan sendiri oleh individu yang bersangkutan. Status

(6)

pemanfaatan ke pelayanan kesehatan (Culyer & Wagstaff, 1993). Kebutuhan terhadap

pelayanan kesehatan dapat diukur menggunakan penilaian kesehatan individu (Hoog,

2010).

Beberapa permasalahan penting dalam lima tahun terakhir di bidang kesehatan dan gizi

masyarakat, yaitu peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan;

perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat; peningkatan akses terhadap layanan kesehatan;

penanggulangan penyakit; pemenuhan tenaga kesehatan; penanggulangan bencana; dan

ketersediaan, keterjangkauan obat esensial, dan pengawasan terhadap obat dan makanan.

A. Peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan Kelompok

miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan

status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama

disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan

kendala biaya. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan

masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga,

persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin hanya mencapai 39,1 persen dibanding

dengan 82,3 persen pada penduduk kaya. Selain itu, penduduk miskin belum seluruhnya

terjangkau oleh sistem jaminan/asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk

sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,7 persen penduduk, yang sebagian besar di

antaranya adalah pegawai negeri dan penduduk mampu. Walaupun Undang-Undang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah ditetapkan, pengalaman di berbagai wilayah menunjukkan

bahwa keterjangkauan penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan belum cukup terjamin.

Meskipun pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin telah tersedia, belum semua penduduk

(7)

kesehatan akibat kendala biaya karena jarak dan transportasi. Permasalahan lainnya yang

berkaitan dengan distribusi kartu miskin adalah penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu

(SKTM) oleh orang yang tidak berhak dan ketiadaan obat dalam pelayanan kesehatan. Banyak

pihak yang mengharapkan bahwa Jamkesmas dapat menjadi cikal bakal asuransi kesehatan

nasional. Namun, banyak hal dari sistem dan pengelolaan Jamkesmas yang perlu disempurnakan.

B. Perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat Dalam tiga dekade terakhir, pembangunan

kesehatan telah berhasil meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan

dasar sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu

dan anak, meningkatkan status gizi masyarakat, dan memperpanjang harapan hidup rata-rata

penduduk. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Singapura,

Thailand, Malaysia dan Philipina, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih

tertinggal. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir pembangunan kesehatan menghadapi

tantangan yang besar dalam mempertahankan peningkatan status kesehatan masyarakat. Indikasi

ini terlihat, antara lain, dari adanya pelambatan penurunan angka kematian bayi dan angka

kematian ibu. Upaya perbaikan gizi telah berhasil memperbaiki keadaan gizi anak balita.

Namun, kekurangan gizi kronis yaitu stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi

badan menurut umur) pada anak balita masih terlihat cukup tinggi yaitu sebesar 36,8 persen

(Depkes, 2008). Indikator ini menunjukkan kekurangan gizi terjadi dalam jangka waktu yang

lebih panjang. Selain itu, disparitas status gizi pada anak balita antarprovinsi dan

antarkabupaten/kota masih cukup lebar. Masih terdapat 7 provinsi yang mempunyai rata-rata

prevalensi kekurangan gizi lebih dari 25 persen, dan 10 provinsi dengan rata-rata gizi buruk lebih

dari 8 persen. Bahkan, sepuluh kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi buruk mencapai 40

(8)

kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium dan

anemia gizi besi. Akhir-akhir ini muncul kecenderungan peningkatan permasalahan gizi lebih

yang ditandai oleh kegemukan dan obesitas.

C. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan Aksesibilitas masyarakat terhadap sarana

pelayanan kesehatan terus membaik dengan bertambahnya fasilitas kesehatan seperti puskesmas,

puskesmas pembantu, pos kesehatan desa (poskesdes), serta rumah sakit. Jumlah puskesmas

terus meningkat. Namun, sekitar 14 persen puskesmas berada dalam kondisi rusak. Peningkatan

jumlah fasilitas pelayanan kesehatan juga ditunjukkan dengan bertambahnya puskesmas

pembantu dan puskesmas keliling. Sementara itu, lebih dari 95 persen masyarakat dapat

menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu tempuh yang pendek. Demikian pula,

utilisasi fasilitas kesehatan meningkat pesat namun akses penduduk terhadap fasilitas belum

optimal sehingga masih terdapat sekitar 33,7 persen penduduk mengalami kendala jarak dan

biaya. Di pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang lebih padat, akses terhadap pelayanan

kesehatan relatif mudah karena permukiman penduduk lebih dekat dengan Puskemas dan

jaringannya. Namun, di kawasan Indonesia bagian timur, dengan jumlah penduduk kecil dan

bertempat tinggal tersebar dan menghadapi kendala geografis menyebabkan akses masyarakat

terhadap fasilitas kesehatan lebih rendah.

D. Penanggulangan penyakit Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah

penyakit menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria,

diare, dan penyakit kulit. Namun, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit

tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus, dan kanker.

Selain itu, Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue

(9)

penyakit zoonotik seperti flu burung (H5N1) dan flu babi (H1N1), muncul di Indonesia dan

menjadi masalah kesehatan yang meresahkan masyarakat. Penyakit flu burung pada unggas

dilaporkan pada bulan Agustus 2003, dan menyebar hampir keseluruh provinsi di Indonesia.

Pada bulan Juni tahun 2005, flu burung dilaporkan pertama kali menyerang manusia di

Tangerang- Banten dan menyebar ke beberapa provinsi. Pada tahun 2009, dunia dihadapkan pada

pandemi penyakit influenza type A baru (flu babi/virus H1N1) yang penyebarannya dimulai dari

Mexico dan saat ini kasusnya telah ditemukan di Indonesia. Dengan demikian, telah terjadi

transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan

(double burdens). Terjadinya beban ganda yang disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk,

serta perubahan struktur umur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia

produktif dan usia lanjut, akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan masyarakat di masa datang.

E. Pemenuhan tenaga kesehatan Tenaga kesehatan mengalami perbaikan walaupun tantangannya

cukup berat. Beberapa indikator ketenagaan kesehatan, antara lain, menunjukkan rasio jumlah

tenaga kesehatan untuk dokter umum 27 per 100.000 penduduk, dokter spesialis 8 per 100.000

penduduk, perawat 158 per 100.000 penduduk, dan bidan 44 per 100.000 penduduk. Dengan

mengacu pada jumlah dan rasio yang diharapkan tahun 2010 dalam Indonesia Sehat, walaupun

jumlah tenaga kesehatan terus bertambah masih terjadi kekurangan di semua jenis tenaga

kesehatan yang ada. Jumlah tenaga kesehatan masyarakat, seperti perencana dan manajemen

kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, gizi, promosi kesehatan, dan tenaga apoteker juga

mengalami kekurangan. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara,

jumlah dan rasio tenaga kesehatan Indonesia relatif rendah. Sebagai contoh, rasio dokter per

(10)

(70), bahkan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara dengan tingkat pendapatan

yang lebih rendah yaitu Vietnam (53). Untuk rasio bidan (44) masih lebih rendah dari rata-rata

Asia Tenggara yaitu 50 per 100.000 penduduk. Walaupun demikian, untuk rasio perawat di

Indonesia (158) lebih baik dari rata-rata di wilayah Asia Tenggara yaitu 62 per 100.000

penduduk.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dibutuhkan pembiayaaan kesehatan

yang cukup guna memenuhi hak mendasar masyarakat tersebut. Pembiayaan kesehatan di

Indonesia saat ini masih didominasi oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat sedangkan

pengeluaran pemerintah untuk kesehatan walaupun terus mengalami peningkatan namun

proporsinya masih berkisar 2,6–2,8% terhadap seluruh APBN yang berkontribusi yaitu sebesar

38% dari total pembiayaan kesehatan (SKN,2009). Masih tingginya pembiayaan kesehatan yang

berasal dari masyarakat tentunya akan menimbulkan beban pengeluaran rumah tangga bagi

masyarakat apabila menderita penyakit yang membutuhkan biaya yang besar dalam

perawatannya, sementara berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2008, penduduk

yang telah dicakup oleh jaminan pemeliharaan kesehatan sekitar 46,5% dari keseluruhan

penduduk yang sebagian besar dananya berasal dari bantuan sosial untuk program jaminan

kesehatan masyarakat miskin sebesar 76,4 juta jiwa atau 34,2% (SKN,2009). Rendahnya

pendanaan kesehatan dan cakupan asuransi kesehatan sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh

ketidak-tahuan dan ketidak-pedulian pemerintah dalam melindungi penduduknya dari proses

Referensi

Dokumen terkait

keberadaan Poliklinik Kesehatan Desa yang menjadi pusat kegiatan pemberian pelayanan kesehatan paripurna yang lebih dekat, relatif lebih murah dengan mutu yang

Berangkat dari adanya kendala penyediaan tangki septik di wilayah perkotaan dengan kondisi akses permukiman padat penduduk, USAID IUWASH PLUS mengembangkan opsi teknologi

Rendahnya nilai rasio ini juga menunjukkan bahwa akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan (dalam hal ini adalah puskesmas) di Luar Jawa masih lebih tinggi dari Pulau Jawa. Nilai

Hal ini menunjukan persoalan struktur akses yang bersifat relatif dan sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan

Hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kualitas pelayanan akses (keterjangkauan) dengan kepuasan pasien (ρ = 0,057), ada hubungan kualitas pelayanan kompetensi teknis dengan

10 Kondisi kesehjateraan penduduk relatif lebih baik yang dekat dengan jalan utama ………56.

Pustu. Akses pada fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas/Pustu menggambarkan akses balita ke pelayanan kesehatan dasar. Pada tabel ini kecenderungan akses balita

Penanganan sampah yang buruk sering terjadi pada suatu permukiman penduduk yang padat dan kumuh dengan tingkat pelayanan pengelolaan sampah yang rendah oleh