• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Terbuka Hijau Di Jakarta (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ruang Terbuka Hijau Di Jakarta (2)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS ADMINISTRASI LINGKUNGAN

PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA Disusun Oleh:

Ferdian Malik– 0906533902 DEPOK

APRIL 2012 ABSTRAK

Kebijakan pemerintah untuk menyediakan RTH bukanlah barang baru dan secara yuridis telah banyak peraturan yang mengatur masalah tersebut. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1998 tentang Penatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan misalnya, telah mengatur hal tersebut, namun belum secara eksplisit mengatur standar minimal bentuk dan ukuran RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang secara tegas menentukan bahwa proporsi RTH kota minimal 30 % dari luas wilayah. Sebelum undang-undang tersebut diberlakukan, sebenarnya sudah cukup banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengaturan RTH, termasuk peraturan daerah (Perda). Di DKI Jakarta trend penyempitan RTH dapat dilihat dari menurunnya kebijakan penyediaan RTH sebesar 27,6 % pada tahun 1965-1985 menjadi 13,94 % pada tahun 2000-2010. Realisasi pembangunan RTH (sementara) tahun 2002, tercatat 148,35 luas RTH 2002; hingga realisasi RTH (sementara tahun 2002) tercatat 7.394,98 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha); RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha) RTH Pertamanan (2.206,27 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha); dan RTH Kehutanan (524,52 ha). Hingga pemenuhan target RTH (RTRW 2010), selama 8 tahun rata-rata 268,72 ha/tahun.

Kata Kunci: Kebijakan pemerintah, RTH ( ruang terbuka hijau ), trend penyempitan RTH, RTH (RTRW 2010).

Pendahuluan

Fenomena yang terjadi selama tiga puluh tahun terakhir adalah adanya kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka publik secara signifikan, terutama ruang terbuka hijau (RTH). Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35 % pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 % pada saat ini. RTH yang ada banyak dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 %, saat ini memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia (http://www.penataanruang.net/taru/nspm, 19 Februari 2009).

Definisi RTH sendiri dalam pasal 1 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang adalah area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, dimana proporsi ruang terbuka hijau kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota, sedangkan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.

(2)

kemudian meningkat sebesar 345 ppm pada tahun 1984 dan diperkirakan akan mencapai 560 ppm pada pertengahan abad ini (Kantor Meneg KLH: 1990).

Masalah yang terjadi adalah bahwa penyediaan RTH jika dilihat dengan kaca mata ekonomi tidak akan mendatangkan keuntungan finansial, kecuali keuntungan ekologi yang bersifat jangka panjang dan tidak tampak. Hal ini tidak cukup menarik perhatian para ekonom, politisi dan komponen masyarakat lainnya untuk mengelolanya dengan baik. Oleh karena itu kesadaran akan hal ini lambat atau cepat harus ditumbuhkan pada kelompok masyarakat tersebut jika katastropi lingkungan yang lebih serius tidak ingin terjadi dimana-mana.

Daerah khusus Ibukota (DKI) Jakarta, seperti halnya kota-kota besar di negaranegara lain, dalam pertumbuhannya menghadapi dua fenomena yaitu menurunnya lingkungan fisik kritis perkotaan, dan masalah sosial seperti urbanisasi, tumbuh berkembangnya permukiman kumuh, lunturnya budaya asli serta gejala sosial lainnya.

Penduduk DKI Jakarta akhir tahun 2000 ± 11,2 juta jiwa pada siang hari dan ± 9,2 juta jiwa pada malam hari (Waryono, 2001), dan cenderung semakin meningkat seiring dan sejalan dengan tumbuh berkembangnya wilayah perkota-an. Kondisi ini nampaknya memacu terhadap luas kawasan kumuh yang kini tercatat 11.340 ha, atau (17,3% dari luas daratan DKI Jakarta).

Menurunnya daya dukung lingkungan hidup kota Jakarta, seperti laporan hasil penelusuran (Waryono, 2000), cenderung disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut;

(a). Jumlah kendaraan bermotor ± 6,3 juta buah, menyebabkan meningkatnya tingkat polusi udara. Pencemaran udara selama jangka waktu 3 tahun (1997-2000) seperti Karbon dioksida (Co2) dari 274,3 menjadi 307,0 mg/m2; kadar debu rata-rata dari 279,7 menjadi 461,0 mg/m2 ; Kadar timbal (Pb) dari rata-rata 261,6 meningkat menjadi 411 mg/m2; demikian halnya dengan kadar kebisingan dari rata-rata 38,9 dan kini meningkat menjadi 43,6 dB (BPLHD, 2000).

(b). Meningkatnya luas bangunan beton dan aspal ± 18.798,5 ha (28,7% luas daratan DKI Jakarta), hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan. Tingginya tingkat laju erosi (wilayah kikisan) ± 82,3 ton/ha/tahun dan meluasnya wilayah pengendapan, sebagai akibat hasil sedimentasi, yang memberikan pengaruh bahkan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman dan kawasan kumuh perkotaan ± 19.540 ha, atau 29,8% dari luas daratan DKI Jakarta (PPST, 2000). (c). Meningkatnya bangunan berdinding kaca ± 4.061 ha (6,2% dari luas daratan DKI Jakarta),

menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota; dari suhu udara rata-rata dari 28,3 menjadi 30,70C (BPLHD, 2000).

(d). Terdesaknya luasan kawasan hijau akibat lajunya pembangunan fisik wilayah baik untuk kepentingan permukiman, maupun pusat-pusat kegiatan kota, hingga menyebabkan tidak berfungsinya kawasan hijau, dan kawasan tandon air ± 5.765 ha, serta terganggunya habitat dan sangtuari satwa liar (Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1999).

(e). Lajunya pemanfaatan air tanah dangkal dan penerapan teknologi pancang bangunan tinggi,hingga menyebabkan terganggunya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis), serta menyusupnya intrusi air laut yang kini telah mencapai 7.210 ha atau 11% dari luas daratan DKI Jakarta (PPST, 1997).

LANDASAN TEORI

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 30 November 2005).

(3)

Umum Nomor: 05/Prt/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan sebesar 30 %. Perhitungan proporsi RTH untuk masing-masing jenis ruang terbuka dapat dilihat pada gambar 1.

Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga dan kebun bunga. Dilihat aspek fungsinya, RTH bisa saja berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar) maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari sisi aspek kepemilikan, RTH terdiri atas RTH publik dan RTH privat. Baik RTH publik maupun privat mempunyai beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis dan tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi, serta estetika/ arsitektural. Untuk RTH dengan fungsi sosial seperti tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain, maka RTH harus memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat.

Fungsi ekologis yang dimiliki komponen memperlihatkan bagaimana peranan komponen RTH terhadap daya tampung dan daya dukung lingkungan ekologis. Fungsi sosial yang dimiliki memperlihatkan bagaimana peranan komponen RTH terhadap daya tampung dan daya dukung lingkungan social. RTH merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Sebagai patokan, bila pada lahan seluas 1.600 meter persegi, yang terdapat 16 pohon berdiameter tajuk 10 m mampu menyuplai oksigen (O2) sebesar 14.000 liter per orang. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh nafas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Jika satu liter O2 hanya dihargai Rp 100, maka sebatang pohon menghemat biaya oksigen sebesar Rp 1.400.000 per hari, Rp 42 juta per bulan dan Rp 511 juta per tahun per orang (ibid).

Menelaah fungsi RTH di perkotaan khususnya, memperlihatkan bahwa RTH tidak hanya dapat berfungsi sebagai self purification bagi udara kota, tetapi juga menjadi supplier oksigen bagi makhluk hidup kota. Disamping itu RTH juga berperan dalam menjaga keseimbangan siklus hidrologi bagi kota yang bersangkutan. Sebagai perbandingan, satu hektar RTH mampu: menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk; menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari; menyimpan 900 m3 air tanah per tahun; mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu empat sampai delapan derajat Celsius, setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin udara berkapasitas 2.500 Kcal/20jam; meredam kebisingan 25-80 persen; mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen.

(4)

minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang berlokasi, berukuran dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka RTH publik harus berukuran sama atau lebih luas dari RTH luas minimal dan RTH privat merupakan RTH pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.

Menurut Lancashire Country: kebutuhan taman bagi warga kota dengan rasio ideal adalah 0,43 m2 per orang. Rasio ini dapat juga digunakan dalam menghitung kebutuhan luas lahan yang berfungsi sebagai RTH. Sedangkan secara aritmetik kebutuhan luas lahan minimum untuk RTH di perkotaan sebagaimana dinyatakan dalam UUPR Nomor 26 Tahun 2007, sebesar 30 % dari luas kota.

Penetapan luasan RTH Kawasan Perkotaan (RTHKP) ini ternyata juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan pada pasal 9. Disebutkan bahwa:

(1) Luas ideal RTHKP minimal 20 % dari luas kawasan perkotaan.

(2) Luas RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup RTHKP publik dan privat.

(3) Luas RTHKP publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/ kota yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.

(4) RTHKP privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya menjadi tanggung jawab pihak/ lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi.

Dengan demikian kota-kota yang telah menyiapkan kawasan RTH dengan luasan 20 % pun harus menyesuaikan diri dengan luasan yang baru (30 %) karena hirarki hukum peraturan yang mengaturnya lebih tinggi, yakni “undang-undang”. Namun demikian, kalaupun luasan 20 % tersebut dipenuhi, maka sebenarnya 70 % RTH dengan fungsi-fungsinya sudah terpenuhi.

Terdapat peraturan dan pustaka lain yang mengatur sub komponen RTH, yakni hutan kota. Hutan kota ini jika ditelaah lebih jauh maka dia lebih mewakili kedudukannya sebagai penjaga ekologi perkotaan. Secara ekosistem, hutan dan perkebunan mempunyai potensi dan fungsi ekologis menurunkan kadar CO2 atau rosot, sink pada saat melakukan aktivitas fotosintesis. Pohon dan tumbuh-tumbuhan menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen (Sabilal Fahri: 2004). Sebenarnya masih banyak pendapat tentang luas ruang terbuka hijau ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota. Bianpoen (1989) menyatakan dari sudut kesehatan seorang penduduk kota maksimal memerlukan ruang terbuka seluas 15 m2, kebutuhan normal 7 m2 dan minimal harus tersedia 3 m2. Pendapat lain dari Simond (1961) bahwa ruang terbuka yang dibutuhkan oleh 4.320 orang atau 1.200 keluarga adalah 3 are (30.000 m2). Laurie (1979) menyatakan ruang terbuka yang dibutuhkan oleh 40.000 orang adalah 1 are. Namun menurut Ecko (1964) penduduk yang berjumlah 100 sampai dengan 300 orang membutuhkan ruang terbuka hijau seluas 1 are.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984) menyatakan bahwa persentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50 % dari luas kota atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15 % dari luas kota.

Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang terbuka hijau akan dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus benar-benar diperhitungkan secara proporsional.

(5)

Pembahasan dan Analisis

Pada saat ini luas RTH publik di Provinsi DKI Jakarta kurang lebih telah mencapai 10% dari luas DKI Jakarta atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha. Selama lima tahun terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan RTH. RTH dalam RTRW 2010

Dengan jumlah penduduk 8,9 juta jiwa pada malam hari dan penduduk siang berkisar 10,2 juta pada siang hari dengan kepadatan 13.000-15.000 jiwa / km2 serta pertumbuhan penduduk sekitar 1.11%

per tahun, Jakarta membutuhkan RTH yang tidak saja berfungsi estetika dan edukatif tetapi juga sebagai sarana yang mempunyai fungsi sosial. Penting bagi Jakarta memiliki taman dan hutan kota yang dapat dijadikan tempat interaksi sosial dan tempat wisata murah bagi warganya, selain berfungsi estetika dan edukatif.

Bagi Jakarta, fungsi RTH juga sangat penting dilihat dari aspek perlindungannya. Jakarta dilalui oleh 13 sungai dan terdapat kurang lebih 44 waduk dan situ yang memerlukan perlindungan dari penyempitan akibat penggunaan tepiannya. Dalam kaitannya dengan ini, RTH dapat berfungsi untuk melindungi badan-badan air tersebut. Fungsi perlindungan ini juga diperlukan mengingat semakin berkurangnya cadangan air tanah di DKI Jakarta, dimana RTH dapat berfungsi sebagai kawasan resapan untuk air tanah tersebut.

Terakhir, dengan semakin tingginya pemanfaatan bahan bakar fosil, RTH dapat berfungsi sebagai penetralisir pencemaran udara di Jakarta. Pentingnya fungsi RTH untuk paru-paru kota dimaksudkan untuk mengantisipasi makin tingginya jumlah kendaraan bermotor saat ini yang telah berjumlah 5,7 juta unit dengan laju pertumbuhan 9.5% per tahun.

Kesadaran akan pentingnya fungsi RTH bagi Kota Jakarta tersebut dijabarkan dalam aturan daerah mengenai tata ruang yaitu Perda nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta atau dikenal dengan RTRW 2010. Dalam perda tersebut, RTH diistilahkan sebagai “kawasan hijau” yang dibagi ke dalam kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan dengan prosentase keseluruhan kedua kawasan tersebut hingga tahun 2010 ditetapkan sebanyak 13.94% dari luas keseluruhan DKI Jakarta (lihat gambar 1).

(6)

- Hutan Lindung dan Hutan Kota diarahkan pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu terutama pada zona inti dan pelindung, serta Hutan Angke Kapuk, Hutan Kamal Muara, dan Hutan Muara Angke.

- Hijau pengaman air diarahkan pada sempadan sungai dan sempadan situ atau danau - Hijau rekreasi/taman kota diarahkan pada beberapa spot di setiap wilayah Kota

- Kawasan pertanian diarahkan pada beberapa kawasan yang saat ini masih merupakan kawasan atau areal pertanian.

- Kawasan daerah resapan air diarahkan pada Kawasan Bagian Selatan Kota Jakarta yang dilakukan melalui pembatasan intensitas pembangunan fisik.

Jika klasifikasi tersebut disesuaikan dengan UU nomor 26/2007, maka terlihat bahwa sebagian besar arahan RTH di DKI Jakarta adalah RTH private (lihat gambar 1). Bagian terbesar kawasan hijau sebagaimana tercantum dalam RTRW 2010 adalah pada Bagian Selatan, yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, dimana dalam pemanfaatannya masih dimungkinkan untuk kegiatan lain tetapi dengan intensitas rendah (KDB bekisar 20%-40%). Hal ini yang sering menimbulkan kesalahpahaman yang berbutut pada tuduhan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengizinkan pembangunan pada kawasan RTH. Pembahasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih dalam pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Pada RTRW 2010 tersebut juga telah mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan tidak dapat dirubah fungsi dan peruntukannya terutama untuk Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi UU nomor 26/2007 adalah RTH publik). Dengan demikian, walaupun secara prosentase target RTH pada RTRW 2010 lebih rendah dari target RTH sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun 2007, tetapi dapat dikatakan bahwa telah ada komitmen untuk menjaga ketersedian RTH di Provinsi DKI Jakarta.

(7)

Evaluasi Pembangunan Kawasan Hijau A. RTH Eksis Tahun 2002

RTH DKI Jakarta tercatat 9.544,79 ha, realisasi tahun 2000 tercatat 7.246,63 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha). RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha); RTH Pertamanan (2.193,62 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha), dan RTH Kehutanan (388,82 ha). Kekurangan target atas dasar realisasi tahun 2000 tercatat 2.298,16 ha. Realisasi pembangunan RTH (sementara) tahun 2002, tercatat 148,35 ha, luas RTH 2002 hingga realisasi RTH (sementara tahun 2002) tercatat 7.394,98 ha, terdiri atas RTH Lindung (340,80 ha), RTH Budidaya Pertanian (3.656,91 ha), RTH Pertamanan (2.206,27 ha), RTH Pemakaman (666,48 ha); dan RTH Kehutanan (524,52 ha). Mencermati hasil perhitungan realisasi pembangunan kawasan hijau hingga tahun 2002; maka target RTH (RTRW 2010) seluas 9.544,79 - 7.394,98 = 2149,81 ha. Hingga kebutuhan areal selama 8 tahun rata-rata 268,72 ha/tahun.

Evaluasi Pembangunan Kawasan Hijau (RTH)

Evaluasi terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta, secara rinci dapat dirangkum sebagai berikut;

1. Kualitas jenis masih terbatas, hingga bentuk-bentuk RTH yang dibangun sulit dibedakan.

2. Kualitas bentuk kawasan hijau (Taman, Hutan kota dan hijau penyangga), masih belum memperlihatkan kriteria yang jelas atas makna masing-masing RTH terbangun.

3. Belum terciptanya koridor hijau yang mampu menghubungkan antar pulau-pulau habitat hijau, sebagai wahana wilayah jelajah satwa liar.

4. Belum tersosialisakannya pagar hidup sebagai pengaman kawasan hijau terbangun.

5. Pepohonan yang dibudidayakan tidak memenuhi persyaratan teknikultur (silvikultur), karena keterbatasan sistem perakarannya.

6. Pengembangan jenis pepohonan tidak didasarkan atas kesesuaian lahan dan jenis; dan kecenderungan untuk mengembangkan jenis-jenis introduksi.

7. Masih rendahnya sistem pemeliharaan yang praktis dan efisien. Mencermati hasil evaluasi terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau;

Alokasi Pembangunan Kawasan Hijau

Berdasarkan hasil perhitungan alokasi pembangunan kawasan hijau selama 8 tahun (2003 s/d 2010), kawasan dan pembangunan RTH yang harus dipenuhi seluas 2.149,98 ha, atau rata-rata (dibulatkan) 268,73 ha/tahun, dengan alokasi sebagai berikut:

1. RTH Kehutanan 65% (1.397,377 ha), atau rata-rata 174,67 ha/tahun yang dimplementasikan di bantaran sungai, penyangga situ-situ, dan habitat mangrove.

2. RTH Pertamanan 15% (322,47 ha), atau rata-rata 40,31 ha pembangunan taman termasuk penyediaan lahannya, dan dialokasikan pada jalur hijau jalan, tegangan tinggi dan jalur rel kereta api.

3. Sisanya 20% (429,96 ha), atau rata-rata 53,75 ha dialokasikan sebagai pengembangan RTH Fasos Fasum dan hijauan privat. Dalam implementasinya dibebankan kepada (a) kawasan industri, dan (b) pengembangan perumahan; dan minimal menyediakan areal seluas 1% dari luas kawasannya secara utuh (satu lokasi), sebagai wahana pembangunan kawasan hijau dan atau kawasan tandon air.

Dari pengalaman peyedian dan pemanfaatan RTH sampai saat ini terdapat berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi. Permasalahan dan kendala tersebut antara lain adalah:

- Masih adanya peruntukan RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal

(8)

- Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan taman, jalur-jalur hijau dan tanaman – tanaman penghijauan yang ada; misalnya dalam Pengembangan Taman Monas dan Taman Stadion Menteng;

- Terbatasnya Sumber Daya Pemerintah dan masih belum terselesaikannya permasalahan transportasi dan banjir di Jakarta yang membutuhkan anggaran biaya yang sangat besar

- Belum optimalnya sistem pendataan dan informasi mengenai RTH - Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam penataan RTH

- Masih terdapatnya mis-persepsi dan mis-informasi mengenai RTH yang mengakibatkan partisipasi masyarakat tidak optimal

- Kurang efektifnya penegakan hukum.

- Rendahnya pengendalian kewajiban penyediaan fasos fasum untuk RTH - Distribusi RTH yang kurang merata di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Khusus mengenai adanya RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal, dapat disampaikan bahwa anggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembedaan perlakukan terhadap pengusaha besar dan masyarakat kecil yang menempati RTH adalah tidak berdasar dan merupakan kesalahpahaman. Walaupun masih diperlukan upaya penyempurnaan, akan tetapi kebijakan yang ada adalah tegas yaitu tidak mengijinkan perorangan ataupun kelompok untuk memanfaatkan peruntukan kawasan hijau lindung dan hijau binaan untuk kegiatan lain ataupun mengalihfungsikan RTH, baik untuk kegiatan komersial seperti perumahan mewah, apartement, mall, SPBU, ataupun kegiatan informal dan ilegal lainnya.

Untuk beberapa kasus yang dituduhkan dapat disampaikan bahwa pembangunan pada “kawasan yang sepertinya adalah merupakan kawasan RTH” pada dasarnya adalah bukan merupakan kawasan RTH sepenuhnya, tetapi merupakan kawasan yang didominasi oleh RTH tetapi masih diberbolehkan dengan intensitas ruang yang kecil digunakan untuk kegiatan non RTH, seperti yang terjadi di Kawasan Senayan. Kawasan Senayan merupakan kawasan dengan intensitas ruang yang rendah, sehingga jika intensitas tersebut belum terlampaui masih dimungkinkan untuk pembangunan.

Untuk peruntukan RTH yang telah terlanjur beralih fungsi ataupun untuk sementara digunakan untuk kegiatan lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan upaya refungsionalisasi taman dengan memprioritaskan pembebasan dan pengembalian fungsi peruntukannya dari non RTH menjadi RTH. Salah satu bentuk program ini adalah melakukan refungsi SPBU yang beroperasi di jalur hijau/ruang terbuka hijau. Target untuk refungsi SBPU ini sebanyak 32 SPBU, dimana 4 SPBU telah direfungsikan sedangkan sisanya sedang dalam proses refungsionalisasi. Sementara itu, RTH yang digunakan untuk permukiman illegal, seperti disepanjang tepian air, jalur kereta api, dan kolong tol, pada saat ini terdapat kurang lebih 73.673 keluarga yang menempati kawasan tersebut. Upaya menguranginya antara lain dengan melakukan relokasi ke rumah susun sewa sederhana yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi penduduk ber-KTP DKI dan memulangkan ke kampung halamannya bagi yang bukan penduduk DKI Jakarta.

Untuk pedagang kaki lima yang menempati RTH maupun ruang terbuka non RTH di Provinsi DKI Jakarta jumlahnya cenderung menurun dimana pada tahun 2005 terdapat sebanyak kurang lebih 92.750 usaha kaki lima dengan tenaga kerja kurang lebih sebanyak 139.390 jiwa. Pedagang kaki lima yang menempati lokasi tidak resmi (illegal) telah berkurang dari 83.8% menjadi 78.4% dalam lima tahun ini. Pengurangan ini juga tampak dari berkurangnya usaha kaki lima yang menempati trotoar dan badan jalan yang berkurang dari 66.85% menjadi 59.7 % dalam lima tahun ini.

(9)

persen, dari Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2010, yang ditetapkan dalam Perda no. 6 tahun 1999 lalu. Saat ini luas RTH di DKI hanya 9,6 persen dari target 13,94 persen. Padahal dengan wilayah Jakarta yang mencapai 66.152 hektare, nilai impian RTH setinggi 13,94 persen tersebut adalah harga minimal bila ingin dikategorikankota sehat.

Pantai Indah Kapuk merupakan salah satu permukiman mewah yang terletak di Jakarta. Pada awalnya area ini merupakan rawa yang terletak di bagian utara Jakarta yang berfungsi sebagai daerah peresapan air. Bahkan di dalam area ini terdapat hutan konservasi yang seharusnya dilindungi, Margasatwa Muara Angke tempat kawasan hutan mangrove. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan bagian dari hutan Angke Kapuk yang total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian besar hutan Angke Kapuk sudah dikuasai PT Mandara Permai, pengembang yang membangun kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk.

Dari 1.154,88 hektar hutan yang ada di kawasan hutan Angke Kapuk, 827,18 hektar di antaranya diambil alih untuk permukiman, lapangan golf, tempat rekreasi dan olahraga, bangunan umum, olahraga air, cottage, hotel, dan kondominium. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi DKI, luas kawasan hutan yang dipertahankan tinggal 327,7 hektar, terdiri atas hutan lindung (44,76 hektar), hutan wisata (99,82 hektar), suaka margasatwa (25,02 hektar), kebun pembibitan (10,5 hektar), transmisi PLN (23,70 hektar), Cengkareng Drain (28,39 hektar), serta untuk keperluan jalan tol dan jalur hijau (95,50 hektar). Sebelum dikembangkan kawasan permukiman, Suaka Margasatwa Muara Angke juga tempat atau habitat satwa-satwa liar. Beberapa jenis satwa-satwa liar seperti burung kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), kuntul (Egretta spp), pecuk (Phalacrocorax spp), belibis (Dendrocygna spp), dan raja udang (Todirhampus spp). Di kawasan ini juga terdapat jenis burung endemik Pulau Jawa, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus). Selain dilindungi undang-undang, burung ini juga dilindungi oleh aturan internasional karena termasuk dalam kategori rentan. Banyak peneliti dari luar negeri datang ke kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk meneliti jenis burung tersebut. Selain itu juga banyak terdapat satwa lain seperti biawak (Varanus salvator) dan berbagai jenis ular seperti sanca (Python reticulatus) dan kobra (Naja sputatrix). Di tempat itu juga ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang saat ini jumlahnya lebih kurang 60 ekor, serta berang-berang (Aonix cinnerea).

Dalam pembangunan kawasan rumah elite PIK, Gubernur DKI setuju saja karena peningkatan nilai ekonomi kawasan itu lebih menggiurkan. Dalam bentuk rawa-rawa dan tambak nelayan, saat itu Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah) yang bisa ditarik hanya Rp 2.000/ha/tahun. Begitu menjadi perumahan, DKI bisa mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun. Kalau kawasan yang berubah fungsi 831,63 ha, maka dana yang dihimpun mendekati Rp 2 miliar setiap tahun. Tidak heran bila Gubernur segera mengeluarkan keputusan tanggal 15 Agustus 1984. Isinya menetapkan areal pengembangan hutan Angke-Kapuk. Gubernur merasa tidak melanggar RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota). Padahal, dalam master plan itu, jelas disebutkan kawasan itu hanyalah untuk hutan lindung dan hutan wisata, sekaligus mencegah banjir di bandara Soekarno-Hatta. Dengan pertimbangan tersebut, proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk dianggap dapat meningkatkan pendapatan daerah propinsi DKI Jakarta. Sehingga pemprov DKI Jakarta merasa sah-sah saja menyetujui proyek tersebut.

ANALISIS DAN KESIMPULAN

(10)

pada umumnya. Mau di bilang lingkungan penting tetapi tetap saja uang berbicara lebih. Hal ini terlihat pada pembangunan perumahan elite di kawsan pantai indah kapuk (PIK), kawasan pantai indah kapuk yang merupakan kawasan yang dilindungi karena merupakan kawasan mangrove besar yang menjadi habitat banyak flora dan fauna serta berfungsi sebagai daerah resapan dan pencegah abrasi laut. Dilihat dari sisi topografinya Pantai Indah Kapuk berada satu meter dibawah permukaan laut hal ini mengakibatkan apabila laut pasang maka yang akan terjadi adalah daerah ini akan tergenang bahkan terendam air laut. Ditambah lagi air yang ada tidak dapat digunakan untuk minum. Masalah banjir yang kini menjadi ancaman di ibukota turut menuai berbagai pernyataan dan pertanyaan tentang pembangunan proyek Pantai Indah Kapuk yang telah mengkonversi fungsi lahan yang tadinya sebagai tempat berkoloninya air menjadi tempat berkoloninya rumah-rumah mewah dengan berbagai fasilitas yang ada. Pihak pengembang menolak tudingan bahwa dengan dibangunnya kawasan Pantai Indah Kapuklah yang membuat Ibukota terutama wilayah Jakarta Utara dilanda Banjir. Pihak lain menyebutkan bahwa dengan adanya pembangunan di wilayah yang merupakan tempat resapan air menyebabkan Jakarta tidak mempunyai penyangga dari air laut. Vegetasi pesisir yang merupakan pelindung kini telah berubah fungsi menjadi gedung-gedung pencakar langit. Selain dampak pada manusia maka yang justru mengalami kerusakan akibat pembangunan pemukiman ini adalah ekosistem lingkungan yang mengalami ketimpangan. Contohnya kini akibat pantai-pantai dan fungsi hutan bakau dan mangrove yang telah berganti fungsi maka akibatnya ratusan burung migran dan burung air yang mendatangi wilayah pantai kini musnah akibatnya mata rantai kehidupan air dan lingkunagan hidup terputus dan mengalami ketidakseimbangan.

Oleh karena itu ruang terbuka hijau sangat penting adanya bukan hanya sebagai penyeimbang udara bersih melainkan tempat resapan air dan juga habitat flora dan fauna. Jikalau ruang terbuka hijau ini sangat minim bahkan di rusak dan di rubah menjadi kawasan komersil dan perumahan elite dengan segala fasilitas-fasilitas umum yang begitu mewah tetapi merusak lingkungan, apakah tetap dapat di banggakan?. Hal ini balik lagi pada kepedulian dan keinginan pemerintah daerah DKI Jakarta dalam menyediakan dan menjaga ruang terbuka hijau yang sudah ada demi kelangsungan kebaikan alam. Memang manfaat tidak dapat dirasakan langsung tetapi di masa akan datang baru terasa, tapi kerugian dari minim serta di rubahnya ruang terbuka hijau dapat di rasakan langsung seperti banjir dan punahnya flora dan fauna. Di bawah ini penulis mendapatkan sedikit masukan bagi pemerintah daerah DKI Jakarta dalam membangung ruang terbuka hijau.

Aspek Pemberdayaan Kemitraan DalamPembangunan Kawasan Hijau

(11)

dengan kesesuaian tapaknya, merupakan cara-cara yang harus ditempuh, karena keberhasilan pembangunan kawasan hijau kota di DKI Jakarta sangat ditentukan oleh strategi dan aplikasi penyelenggaraannya, termasuk pemrakarsa (stake holder).

nampaknya hal-hal yang perlu diperhatikan mencakup.

1. Penetapan kriteria baku jenis tanaman yang dikembangkan pada masing-masing wahana RTH (Taman, Hutan kota, hijau penyangga).

2. Pemantapan kriteria desain bentuk masing-masing bentuk RTH.

3. Pengembangan teknik budidaya penyiapan bahan tanaman (bibit) berkualitas berdasarkan kesesuaian tapak kawasan RTH.

4. Kriteria desain penunjang pemeliharaan (sarana air), dan pengaman taman (pagar hidup), 5. Efektifitas evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau.

DAFTAR PUSTAKA

URGENSI PEMULIHAN TARGET RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DALAM RTRW 2010 DKI JAKARTA *)

Oleh: Tarsoen Waryono **)

PERMASALAHAN KONVERSI LAHAN DI PANTAI INDAH KAPUK, DEPARTEMEN EKONOMI SUMBER DAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN 2007, ITB

EVALUASI PEMBANGUNAN WILAYAH PENGEMBANGAN SELATAN DKI JAKARTA SEBAGAI KAWASAN RESAPAN AIR

Oleh : Sutopo Purwo Nugroho*)

PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) MENURUT UU NO. 26/2007 TENTANG PENATAAN RUANG DAN FENOMENA KEBIJAKAN PENYEDIAAN RTH DI DAERAH Oleh : Aris Prihandono

Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

POLA PENATAAN ZONA, MASSA, DAN RUANG TERBUKAPADA PERUMAHAN WATERFRONT (Studi Kasus : Perumahan Pantai Indah Kapuk)

Hendra Rahman

Alumni Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan www.kompas.com

http://metro.vivanews.com/news/read/250331-jakarta-dan-problematika-kota-hijau

www.jakarta.go.id

IMPLIKASI UU NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERHADAP

PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI PROVINSI DKI JAKARTA

(12)
(13)

Referensi

Dokumen terkait

dilihat dari data hasil matering selama 1 tahun di tahun 2015, dimana data yang dihasilkan dari data 1 bulan dari januari sampai desember 2015, untuk nilai temperatur

Judul : Peningkatan profesionalisme guru melalui pelatihan english pronunciation dalam lagu

Rangkaian ini merupakan tingkat pertama dari rangkaian pengukur kapasitansi berbasis phase-sensitive demodulation (PSD), di mana vi adalah tegangan eksitasi dari DDS

Dari sisi pengeluaran, pada Triwulan II-2017, pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen konsumsi LNPRT yang tumbuh sebesar 7,41 persen, kemudian diikuti oleh

Saran dari penelitian pengembangan ini adalah (1) bagi guru maupun siswa supaya lebih teliti dalam menggunakan program kuis interaktif tipe fill in the

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa tingkat higiene pada aspek pengadaan dan pengelolaan bahan baku dangke masih rendah; tingkat higiene aspek proses