• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menelisik Ulang Community Facilitator Dr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menelisik Ulang Community Facilitator Dr"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

[CRITICAL REVIEW]

Menelisik Ulang

Community [Facilitators] Driven Development

Oleh: AB.Widyanta

Meski banyak kehebohan mengelilingi proyek seperti PPK (juga P2KP-pen) dan pembangunan berbasis komunitas secara lebih umum, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tentang apa yang ditangani dan tidak ditanganinya, tanpa juga melupakan struktur pendanaan program (berbasiskan hutang), menunjukkan bahwa ada alasan yang tepat untuk berfikir bahwa solusi kemiskinan justru akan ditemukan di lain tempat. (Toby Carroll, 2010)1

Pengantar

Tulisan ini adalah sebuah tinjauan kritis atas paper Aniruddha Dasgupta dan Victoria A. Beard yang berjudul Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture in Indonesia. Artikel Dasgupta dan Beard itu merupakan lesson learned dari implementasi cetak biru “Pembangunan Berkendali Masyarakat” (Community Driven Development, yang selanjutnya nanti disingkat CDD). Paparan lebih lanjut dialamatkan pada implementasi good governance (sebagaimana diintrodusir World Bank) dalam program bernama P2KP (Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan/Urban Poverty Program, UPP). Secara analitis, tulisan selanjutnya mengurai beberapa best practice (boleh jadi juga “sedikit” worst practice) di empat wilayah penelitian. Dasgupta dan Beard memerinci lebih lanjut berbagai aspek sosio-historis di masing-masing wilayah yang terpaut dengan munculnya kontrol elit (elit controlled)—yang dibedakan secara tegas dengan sandera elit (elit capture), munculnya tindakan kolektif warga di tingkat lokal—yang berpotensi untuk menghadang terjadinya sandera elit tersebut, dan munculnya tata kelola-mandiri demokratis (democratic self-governance).

Temuan riset yang cukup menarik dari Dasgupta dan Beard adalah bahwa proses desentralisasi dan demokratisasi di masing-masing wilayah itu memiliki korelasi yang non-linier (kompleks) dengan pelayanan bagi penerima manfaat (beneficiaries). Dalam konteks itu, studi kasus masyarakat di empat wilayah P2KP

1 Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan

Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm. 101.

[Critical Review] – AB. Widyanta 1

(2)

diposisikan sebagai teropong untuk menelisik sejauh mana kapasitas masyarakat pada tindakan kolektif mampu menghadang sandera elit. Sistematika tulisan terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama menjelaskan secara kritis perihal proposisi yang menginformasikan pemahaman kita atas CDD: desentralisasi, demokratisasi dan tindakan kolektif warga. Tiga proposisi itu diletakkan dalam bingkai historis pemerintahan otoritarian Suharto hingga masa reformasi. Bagian kedua menjelaskan rancangan dan implementasi proyek pengentasan kemiskinan kota. Bagian ketiga menjelaskan strategi riset dan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dan bagian keempat memapar hasil temuan studi kasus di empat wilayah—dengan nama samaran—yaitu Kelor, Tirta Kencana, Sekar Kamulyan dan Kisma Wasana.2

Patut diakui bahwa paparan Dasgupta dan Beard ini sangatlah memadai dalam takaran riset akademik. Kendati demikian, bukannya tanpa cacat cela. Kepiawaian akademiknya justru dengan serta merta ternegasikan sejak keduanya taken for granted atas paradigma CDD sebagai narasi besar tunggal tanpa cela. Karenanya, karakter tulisan hasil riset itu sangat mencirikan riset konfirmatif (evaluasi program) yang dilakukan oleh peneliti yang “telah berpihak”3 pada “program populis” ala Community Driven Development Bank Dunia, yang diinisiasi di tahun-tahun awal paska reformasi 1998. Bagaimanapun juga pertautan antara paradigma dan praksis CDD sebagai paket program “pseudo-bottom up” rekaan Post- Washington Consensus (PWC) yang diimplementasikan secara “seragam” di sejumlah kalangan masyarakat dunia ketiga adalah fakta “kecut” yang tak terpalingkan. Melalui pentautan dua titik bidik atas program CDD—yang sesungguhnya merupakan bentuk baru tata kelola pembangunan neoliberal—itulah tinjauan ini mengambil posisi kritisnya.

Tinjauan kritis ini lebih jauh akan tersistematisasi dalam tiga bagian berikut. Pertama, tulisan akan memapar sejumlah pokok gagasan dan pokok temuan riset Dasgupta dan Beard. Dua sub-bagian yang akan diurai adalah tantangan CDD dalam kancah dinamika reformasi di Indonesia dan P2KP sebagai corong sukses CDD. Kedua, tulisan akan mengambil posisi kritis dengan melontarkan gugatan mendasar atas paradigma CDD berikut impelentasinya. Pada bagian ini, penulis akan merujuk perspektif kritis Toby Carroll perihal sepak terjang Bank Dunia dalam pengimplementasian berbagai bentuk baru tata kelola pembangunan neoliberal (socio-institutional neoliberalism/SIN), diantaranya adalah Program Pengembangan Kecamatan dan Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan

(P2KP). Hasil wawancara penulis dengan “orang kunci” JRF-World Bank juga akan terpapar pada bagian ini sebagai penguat argumen. Ketiga, sejumlah pokok argumen kritis dan rekomendasi akan dipapar pada catatan penutup.

Tantangan CDD dalam Dinamika Reformasi

Inisiasi CDD dalam kompleksitas proses konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan jangkar kerangka konseptual yang memadai atas berbagai problem

2 Lihat penjelasan khusus dalam strategi riset dan data, terutama catatan kaki 6, hlm. 236.

3 Peran Dasgupta sebagai peneliti cum staf Bank Dunia adalah sebentuk bias “pemihakan” subyektif yang tak

terbantahkan lagi. Baca catatan kaki 6, hlm. 236.

(3)

desentralisasi, demokratisasi, dan tindakan kolektif sebagaimana yang akan diurai berikut. Bermula dari kepedulian untuk membantu kaum miskin perkotaan yang kian terpuruk paska krisis ekonomi dan kekacauan massa di akhir dekade 1990an, Bank Dunia mengintrodusir Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Indonesia. Program itu merupakan bagian dari cetak biru CDD yang merepresentasikan penggeseran mazhab pembangunanisme berikut dampak-dampak dari cacat bawaannya—top down, sentralistis, modernis, otoritarian—yang telah beroperasi selama lima dasar warsa. Pergeseran itu kian terkuatkan oleh pengarusutamaan argumen para praktisi dan akademisi tentang pembangunan berbasis komunitas dan pendekatan partisipatif—semisal Robert Chamber dan David Korten—yang mendasarkan pada tiga proposisi penting berikut: pertama, kemampuan desentralisasi bisa mereduksi inefisiensi pembangunan yang sentralistis, dan dikontrol negara; kedua, desentralisasi bisa mengalihkan lokus pembuatan keputusan dari bebadan pemerintah pusat dan lokal kepada komunitas, sehingga mendorong proses demokratisasi; dan ketiga, dari hasil capaian dua proposisi di atas, masyarakat bisa memiliki kapasitas yang kuat untuk melakukan tindakan kolektif..

Desentralisasi memungkinkan terjadinya good governance yang ditandai perbaikan seperti desain proyek yang tepat secara kontekstual, penentuan penerima manfaat, dan akuntabilitas bagi penduduk lokal. Negara mesti melepas kontrol agar muncul berbagai peluang sosial-politis bagi masyarakat sipil untuk mengorganisir dan menuntut terselenggaranya tata kelola yang lebih akuntabel dan transparan. Tepat pada pondasi desentralisasi, demokratisasi, dan tindakan kolektif itulah ekspektasi-ekspektasi CDD diletakkan (hlm.229-231).

Untuk konteks Indonesia, pada waktu P2KP berlangsung, desentralisasi itu terealisir sejak munculnya kebijakan otonomi daerah, yang termaktub dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menggantikan UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang otonomi daerah pada intinya memandatkan kepada pemerintah lokal untuk lebih fokus pada keberagaman, partisipasi, otonomi yang sejati, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Transisi demokrasi ternyata tak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Implementasi otonomi daerah—paska kejatuhan Soeharto dan pemilu 1999 itu— ternyata juga memperlebar ruang bermain bagi aktor-aktor politik predatoris di tingkat lokal. Berbagai kekuatan politik lama Orde Baru—seperti kelompok purnawiranan, preman, dan kroni/kerabat pejabat—masih saja bercokol dan tak kalah cekatan mengkonsolidasi kekuatan untuk menjadi bos atau elit di tingkat lokal. Semisal para pensiunan pejabat tinggi militer mengisi pos-pos kekuasaan di provinsi asalnya. Para preman juga muncul mendalangi berbagai tindakan kriminal, gerakan oposisi politik, dan turut mengurusi kampanye/pilkada. Politik dinasti pun turut ambil bagian. Tak jarang keluarga lurah/kepala desa menjadi aktor-aktor kuat dan dominan di tingkat lokal (hlm. 232).

Dalam situasi itu, tata kelola rawan sandera elit karena partisipan memasuki proses dengan posisi kekuasaan yang timpang, posisi sosial yang asimetris, akses

(4)

sumber daya ekonomi yang senjang, pengetahuan atas prosedur/protokoler politik yang njomplang, dan juga tingkat perbedaan melek baca yang juga timpang. Di lokal, muncul beragam tipe elit sosial, politik, maupun ekonomi berikut kantong sumberdaya kekuasaannya semisal: kepemilikan tanah, kekerabatan, garis keturunan, jabatan, afiliasi partai politik, capaian pendidikan, afiliasi keagamaan, kedudukan dalam masyarakat (hlm. 233).

Berbagai kajian akademis menengerai rancangan dan mekanisme kelembagaan bisa menghadang sandera elit itu. Supervisi dan penegakan aturan main bisa mewujudkan akuntabilitas internal. Sedangkan akuntabilitas ekternal bisa dicapai melalui mekanisme yang mengarah pada pencarian solusi dan tersalurkannya suara masyarakat sipil seperti: pemilu, kelembagaan resolusi konflik, penganggaran yang partisipatif. Singkatnya, sandera elit bisa dikenali dari sejauh mana frekuensi dan intensitas partisipasi elit dikomparasikan dengan non-elit, sejauh kapasitas elit untuk mengembangkan kepentingan khusus mereka sendiri, dan sejauh mana kekuatan mereka menyingkirkan partisipan dan isu-isu di luar dirinya. Ada sebuah keraguan bahwa tindakan kolektif bisa menghadang sandera elit. Menurut pendapat Mancur Olson misalnya, sangatlah jarang ada kelompok individu-individu yang benar-benar kooperatif dan terkoordinir. Anggota kelompok secara rasional akan maksimalkan kesejahteraan personal masing-masing. Mereka tidak akan bertindak untuk mewujudkan tujuan kelompok, kecuali jika ada kekuatan koersif atas mereka. Problemnya, tak ada insentif apapun bagi semua anggota untuk menanggung biaya tindakan kolektif kelompok, kecuali jika semua menyepakati adanya pihak lain yang menanggung seluruh biaya. Inilah yang oleh Olson disebut sebagai problem free-raider. Dalam kelompok kecil problem itu akan teredusir (hlm 233).

Perihal konseptualisasi problem free rider dan berbagai tingkat kesulitan yang terkait tindakan kolektif, Ostrom menawarkan opsi bahwa individu-individu bisa memiliki kelembagaan untuk mewujudkan kesepakatan mereka sendiri, lembaga dan sistem manajemennya, sehingga dari waktu ke waktu mereka mempunyai kapasitas untuk mengubah dan mengantisipasi berbagai hasil capaian yang tragis. Lebih jauh Ostrom menjelaskan, sejumlah kajian di berbagai konteks tentang CPRs bersekala kecil (small-scale Common Pool Resources) mengindikasikan bahwa suatu kelompok utama yang berada dalam situasi saling tergantung mampu mengorganisir dan mengelola diri mereka sendiri, guna mencapai keuntungan-keuntungan bersama yang berkesinambungan, kendati semuanya menghadapi godaan untuk menunggangi kelompok, melalaikan tugas, atau berbagai tindakan oportunistik lainnya. Karenanya, formula tindakan kolektif bisa ditinjau dari berbagai faktor yang mempengaruhinya seperti heterogenitas sosial-ekonomi, ukuran kelompok, adanya relasi-relasi non-linier, dan peran mediasi yang dimainkan oleh lembaga. Tindakan kolektif di tingkatan komunitas kian menarik tatkala relasi berbasis kepercayaan, pertukaran resiprokal, jejaring sosial, dan modal sosial turut mempengaruhi hasil capaian bersama (hlm 234).

(5)

P2KP: Corong Sukses CDD

Sebagai bentuk respon atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, P2KP diimplementasikan kali pertama pada tahun 1999, yang difokuskan di 59 kecamatan dan 1298 kelurahan di Yogyakarta dan Malang. Proyek diintrodusir oleh pemerintah pusat yang dikonsultasikan dengan pemerintah daerah. Dirancang sebagai proyek responsif krisis, maka pada tahap pertama proyek lebih ditekankan pada pengucuran dana kepada komunitas secara cepat dan efisien. Masing-masing kelurahan mendapatkan alokasi dana kira-kira 1 milyar rupiah dan untuk wilayah yang lebih kecil menerima 250 juta rupiah. Karena spiritnya adalah “berkendalikan komunitas” (community drivern), maka proyek pun diintrodusir kepada komunitas oleh para fasilitator independen, terlatih dan dibayar dari proyek, yang biasanya berasal dari wilayah setempat. Sebagai bagian dari proses pengenalan, para fasilitator pun dibekali pemahaman bahwa proyek mesti diimplementasikan melalui organisasi berbasis komunitas yang populer dengan sebutan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Bagaimanapun juga, terbentuknya BKM adalah prasyarat dasar dan utama bagi penerimaan dan pengelolaan dana proyek.

Kendati ada wilayah yang memilih melakukan penguatan organisasi yang telah ada, namun sebagian besar wilayah mendirikan BKM baru, yang proses diberi batas waktu antara 4-6 bulan, tergantung pada kapasitas organisasional masyarakat. BKM ini dikelola oleh para relawan yang secara ideal dipilih warga melalui proses demokratis deliberatif. Setiap BKM mesti memutuskan bagaimana dana proyek itu akan digunakan untuk pengentasan kemiskinan di wilayahnya, sesuai dengan tiga kategori programatik yang ditetapkan: pertama, penyediaan kredit mikro untuk pengusaha lokal; kedua, pembangunan infrastruktur publik; dan ketiga, perbaikan sumberdaya manusia melalui pelatihan. Terjumpai dari riset mayoritas BKM ternyata mengalokasikan sebagian besar dananya untuk program kredit mikro bagi warganya. Singkat kata, meminjam penegasan Dasgupta dan Beard, BKM sangatlah berarti bagi masyarakat karena ia merupakan lembaga yang independen dari negara, hingga mampu menciptakan ruang politik baru (hlm 235)

Sosialisasi proyek berlangsung di setiap kelurahan dalam cara yang kurang lebih sama. Terdapat hal-hal penting yang senantiasa ditekankan yaitu partisipasi publik, utamanya warga miskin. Ditekankan pula setiap orang memiliki hak suara yang sama, proses pemilihan kepemimpinan harus demokratis, pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menentukan alokasi sumberdaya. Selain itu ada mekanisme dan aturan khusus semisal: penetapan anggota peminjam dalam kelompok mikro kredit harus terdiri dari pengusaha lokal yang sukses dan para warga miskin; penggunaan bilik suara yang tertutup saat melakukan pemilihan pimpinan; pengumuman terbuka kepada publik yang mudah diakses dan dipahami oleh kalayak warga terkait segala informasi proyek. Terdapat juga “aturan main” yang ditentukan sendiri di setiap kelurahan, misalnya: kriteria kelayakan menjadi pimpinan yang akan dipilih, rincian tata aturan pemilihan, dan kriteria penilaian kelayakan pengajuan kredit (hlm.235- 236).

Berdasarkan temuan riset di empat kelurahan yaitu: Kelurahan Kelor, Kelurahan Tirta Kencana, Kelurahan Sekar Kamulyan, dan Kelurahan Kisma

(6)

Wasana, terjumpai suatu potret implementasi P2KP yang cukup kompleks. Berikut adalah paparan hasil riset di keempat kelurahaan tersebut (hlm. 237-244):

Kelurahan Seting Wilayah & Ekologi Status, Kelas & Penghidupan

(momong= melindungi, momot= mau

mendengarkan, momor = adil), sehingga elit warga lokal asli yang telah tinggal lama dan memegang peran

kepemimpinan menentukan atas

(7)

-Kegotongroyongan warga - Elit baru yang berbasis pada status sosio-ekonomi yang tinggi menguasai kapasitas masyarakat untuk melakukan tindakan kolektif dengan sandera elit. Dari catatan besar itu, terperinci dalam poin-poin berikut: pertama, tidak semua elit yang berkuasa itu korup. Karenanya, temuan riset memilah antara kontrol elit dan sandera elit. Elit-elit lokal berniat dan mampu menyumbangkan waktu dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi proyek berikut tata kelolanya di tingkat komunitas. Kedua, tata kelola komunitas yang demokratis tidak menghasilkan teralokasikannya sumber daya bagi masyarakat yang paling membutuhkan. Ketiga, keuntungan khusus dari tata kelola demokratis dan partisipasi yang lebih besar adalah terciptanya peluang dan ruang politik yang penting untuk menerobos jika terjadi sandera elit dan berbagai persoalan umum dalam CDD. Keempat, Di komunitas yang proyeknya didominasi oleh elit, tidaklah jelas apakah peluang tersedia bagi warga masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul.

Lebih lanjut, temuan riset mengilustrasikan dua bentuk tindakan kolektif: pertama, tindakan kolektif yang didasarkan pada kecilnya ukuran kelompok, homogenitas dan kedekatan relasi sosial ditunjukkan dalam kasus Kelor. Hal itu berkontribusi pada terbentuknya kerjasama dan konsensus, baik dalam menciptakan dan memenuhi pelayanan publik. Dalam karakter yang sama, tindakan kolektif di Sekar Kamulyan menunjukkan tingkat kesulitan komunitas saat terjadi sandera elit. Kedua, tindakan kolektif yang didasarkan pada heterogenitas, kekuasaan yang tersebar, dan proses sosial-politik yang dinamis ada dalam kasus Kisma Wasana. Tindakan sosial bentuk kedua ini potensial untuk meredefinisi relasi

(8)

kekuasaan, mendorong perubahan struktural dan membuat tata kelola dan pembangunan komunitas untuk menghadang terjadinya sandera elit.

Dalam kesimpulan, Dasgupta dan Beard memapar relasi signifikan antara empat faktor dan sandera elit: pertama, faktor desain proyek, termasuk terciptanya lembaga tatakelola masyarakat yang baru, pedoman umum untuk partisipasi basis yang luas, dengan suatu penekanan pada pelibatan non-elit, dan pentingnya menempatkan pembuatan keputusan secara demokratis dan transparan. Kedua, konteks masyarakat yang pernah ada dalam kaitannya dengan heterogenitas dan besar kecilnya kelompok, kohesi komunitas, hirarki sosial, dan relasi kekuasaan. Ketiga, kapasitas masyarakat untuk tindakan kolektif yang merujuk pada kemampuan untuk secara kooperatif melansir barang-barang dan layanan publik dan kapasitas untuk meredefenisis relasi kekuasaan dan menciptakan perubahan struktural. Keempat, konteks sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas termasuk krisis ekonomi, legislasi desentralisasi yang baru, gerakan-gerakan pro-demokrasi dan reformasi politik, dan meningkatnya sensitivitas terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme.

CDD =World Bank’s SIN

Patut diakui paparan hasil riset evaluatif P2KP di atas begitu memikat, menakjubkan, sekaligus menantang. Memikat, karena analisis sosio-historis masyarakat di keempat komunitas basis nampak sangat rinci dan menukik, yang tentunya itu berkorelasi pada tingginya kemafhuman tim peneliti atas isu-isu keindonesiaan. Menakjubkan, karena paparan menghidangkan potret cerah yang menumbuhkan harapan bahwa masyarakat basis di negeri ini mampu memperagakan proses konsolidasi demokrasi yang adekuat, di tengah keterpurukan kehidupan berbangsa oleh kepungan korupsi. Menantang, karena temuan riset membuat dahi berkerut tanda kita meragu atas ketersobekan antara kondisi faktual keindonesiaan dengan temuan riset itu. Dalam hal ini, kita pantas tertantang untuk menelisik lebih jauh segenap anasir keraguan itu. Berikut adalah beberapa tanda tanya itu.

Pertama, keragu-raguan yang paling merayah adalah ketika paparan Dasgupta dan Beard menyajikan implementasi P2KP—pengejawantahan dari Community Driven Development yang digagas Bank Dunia4—sebagai program yang terkesan sangat inklusif (tertandai oleh keterlibatan aktif multi pihak) dan nyaris tanpa cacat. Terkesankan pula di sana tak ada korupsi, sandera elit, dan penyelewengan proyek yang berdampak serius. Jika toh muncul masalah, paling sebatas kasus pengemplangan kredit kecil-kecilan oleh warga miskin. Muncul kesan yang sangat kuat bahwa semuanya nampak happy ending. Bahkan P2KP terargumenkan sebagai proyek bottom up ideal masa depan yang pantas menjadi leitmotive untuk penguatan

4Perbedaan antara Community Based Development dan Community Driven Development menurut paparan ADB (Asian

Development Bank), bahwa CBD merupakan terminologi payung dari CDD. Jika level partisipasi komunitas dalam kontinum CBD meliputi information sharing, consultation, collaboration, dan community empowerment, maka cakupan CDD hanya berada dalam interval collaboration dan community empowerment saja. Lihat ADB, Review of Community Driven

Development and Its Application to The Asaian Development Bank, 2006, hlm.6.

(9)

proses desentralisasi, demokratisasi, tata pemerintahan di tingkat basis, penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, hingga pengentasan kemiskinan yang adekuat.5 Dalam hal ini, P2KP dipercaya sebagai program bottom up yang berpotensi menjadi program garda depan untuk menebus keterseokan dan kekarut-marutan pemerintah Indonesia dalam melayani dan memenuhi hak-hak dasar warga negara. Dalam konteks ini, muncul sebuah gugatan mendasar. Lantas dimanakah letak makna “bottom up” ketika tali kekang terbesar (ide dan kontrol) program dikendalikan secara sentralistis-global oleh Bank Dunia yang senantiasa getol dengan pendekatan top down”?6 Kendati dalam konteks program yang berbeda— Rekompak-JRF7—bagan sederhana berikut bisa dipakai untuk menjelaskan “jalan

tol” penggelontoran dana (hutang) dalam P2KP (maupun PPK) di Indonesia:8

Hal yang paling mengguncang dari program Rekompak-JRF itu adalah plotting dananya. Dari besaran dana 1,7 juta USD, alokasi dana untuk masyarakat hanyalah 180.000 USD; untuk konsultan 520.000 USD; untuk pembangunan prasarana fisik (Community Settlement Plan) sebesar 1 juta USD.9

Kedua, dari alokasi dana itu kita bisa dengan gamblang melihat siapa sesungguhnya yang paling teruntungkan dari program tersebut. Jawabannya bukanlah mayoritas warga miskin, melainkan “rezim fasilitator” (para penegak rezim). Dalam hal ini, warga miskin semata-mata diposisikan sekadar sebagai klien/massa penerima manfaat yang patuh (obedient-massif beneficiaries). Bagaimanapun, proletarisasi warga miskin bekerja dengan sangat baik di sini. Sudah

5 Sejatinya P2KP ini adalah “adik program” dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang diinisiasi sejak

tahun Agustus 1998—dengan dana pinjaman dari Bank Dunia (IBRD nomor 4330)—dan berakhir pada tahun 2001. PPK sendiri merupakan kelanjutan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program P3DT (Program Pengembangan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), yang “terhenti” pada krisis ekonomi tahun1997. Lihat NMC & Sekretariat Nasional PPK, Program Pengembangan Kecamatan Laporan Tahunan Kedua 1999/2000, Jakarta: NMC; 2000, hlm.6.

6 Perlu digarisbawahi bahwa P2KP ini hanyalah salah satu versi dari sekian banyak versi pembangunan masyarakat

oleh Bank Dunia yang sesungguhnya diberlakukan juga sejumlah negara sedang berkembang seperti Filipina, Timor Timur, Afganistan, dll, yang menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “scaling up”, semacam peningkatan pesat jumlah program-program baru untuk mengurangi kemiskinan. Inilah proyek pembangunan masyarakat terbesar di Asia Tenggara oleh Bank Dunia. Baca Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm. 90.

7 Rekompak-JRF adalah program bantuan dana (hibah) dari sejumlah negara donor yang disalurkan melalui Bank

Dunia untuk merespon bencana Gempa Bumi Yogya-Jawa Tengah dan Pangandaran. Perbedaan program Rekompak-JRF dan PPK/P2KP terletak pada kategori dana: hibah dan hutang.

8 Pada dasarnya, program Rekompak-JRF mereplikasi model dan mekanisme dua program Bank Dunia yang telah

ada sebelumnya, yaitu PPK dan P2KP. Pembeda dari keduanya hanya terletak pada kategori dana hibah dan hutang. Pembaganan diperoleh dari penjelasan narasumber kunci di JRF (Java Reconstruction Fund). Wawancara penulis dengan WH, pada 4 juni 2011.

9 Paparan WH kepada penulis pada 4 juni 2011.

(10)

jatuh tertimpa tangga pula. Selain juga kelak turut memikul beban hutang, jatah mereka pun telah terjarah di tengah jalan. Relevan dengan itu, saat menelisik siapa yang paling teruntungkan oleh gelombang desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia, Vedi Hadiz pun tegas mengungkapkan:10

...Tidaklah sulit mengidentifikasi penerima manfaatnya. Pada umumnya, mereka adalah individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik adalah para keneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim.

Terkait dengan pertanyaan tentang siapa yang teruntungkan dari model program yang super mahal, untuk sebuah fokus yang mikro, semacam itu tentu saja menyisakan sebuah persoalan besar, yaitu perihal keberlanjutan program.

Ketiga, jika benar warga berpartisipasi aktif dan bahkan tergerak melakukan tindakan kolektif dalam P2KP itu, lantas partisipasi macam apa jika itu ternyata digerakkan dan dikontrol ketat oleh eksternalitas semacam itu? Akan pas menyebutnya sebagai partisipasi gadungan, yang jauh dari hakekat partisipasi murni. Partisipasi gadungan merujuk pada keterlibatan warga yang termobilisasi oleh berjibunnya gelontoran dana, kendati berasal dari hutang sekalipun. Dalam relasi asimetris semacam itu, sulit bagi warga untuk menampiknya. Sama sulitnya untuk tidak mengatakan bahwa P2KP telah menunggangi dan mengekspolitir partisipasi warga di tingkat basis. Adalah muslihat jika ada yang mendaku bahwa partisipasi masyarakat sipil tumbuh subur berkat P2KP. Terstimulasi dana sebesar Rp. 250 juta hingga Rp 1 milyar, warga pun terpaksa bergerak dan termobilisir untuk mendirikan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) berikut pilihan proyeknya hanya dalam tempo 4 hingga 6 bulan saja. Tenggat yang mepet berkonsekuensi pada kerja keras super ekstra bagi komunitas basis. Perlu kapasitas yang memadai untuk mengurus besarnya dana serta rumitnya mekanisme dan prosedur kelembagaan. Praktis, situasi itu telah secara dini memelantingkan mayoritas warga miskin dari kepengurusan/kepemimpinan BKM. Jika pun ada, boleh jadi sangatlah terbatas atau terpilih lantaran afirmasi (diskriminasi positif) berupa kuota. Maka tak heran jika riset Dasgupta dan Beard menjumpai mayoritas BKM dikontrol para elit lokal. Dalam gambaran semacam itu, lalu dimana letak/ruang “kendali masyarakat” ketika perangkat prosedural ketat itu telah lebih dulu “mencongok hidung” warga? Bukankah peran (rezim) fasilitator—dari Bank Dunia hingga fasilitator lokal—jauh lebih dominan dan menentukan ketimbang warga masyarakat basis?

Keempat, pendakuan yang tak kalah menggeramkan adalah pernyataan Dasgupta dan Beard yang menekankan bahwa BKM sebagai lembaga ujung tombak P2KP sangatlah bermakna bagi masyarakat karena ia merupakan lembaga yang independen dari negara, hingga mampu menciptakan ruang politik baru bagi

10 Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam

Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.100.

(11)

masyarakat. Lompatan proyek yang langsung menghunjam di komunitas basis— bermoduskan insentif dan lobi-lobi pemerintah pusat, berdalih penguatan desentralisasi, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat—tanpa menimbang aspek subsidiaritas di level pemerintah lokal adalah “kanibalisme kewenangan” yang niscaya menggerogoti tubuh nation-state yang berdaulat. Inilah potret paling gamblang “negara dalam negara”. Sampai-sampai negara berdaulat seperti Indonesia inipun tersusupi dan tertancapi faham “fundamentalisme pasar”. Alhasil “kewargaan pasar” pun mengantongi kedaulatan dalam wadah bernama BKM tersebut.11

Berpijak dari keempat catatan kritis atas P2KP itulah esensi sesungguhnya dari apa yang disebut Toby Carrol sebagai Neoliberalisme Kelembagaan-Sosial (Socio-Institusional Neoliberalism—SIN) Bank Dunia. Singkatnya, P2KP adalah pengejawantahan dari skenario besar Bank Dunia untuk mengimplementasikan SIN di tingkat akar rumput. Lebih jauh, Carroll menjelaskan sebagai berikut:12

SIN ini dikembangkan untuk menjawab krisis legitimasi yang menjangkiti bentuk-bentuk kebijakan pembangunan neoliberal awal. Tekanan pada kelembagaan ini difungsikan Bank Dunia untuk mengubah tiga kebijakan utama dalam Konsensus Washington—privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi—dengan menempatkan fokus pada “pengembangan industri” dalam matriks pentingnya kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks sebagai “tata kelola pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya memilah-milah peran lembaga sosial dan memanfaatkan saham “modal sosial” mereka.

Lebih jauh Carroll memaparkan, SIN sebagai sekuel linier dari PWC (Post Washington Consensus) memang akan mudah dipahami jika dilihat dari luar konteksnya (semacam PPK dan P2KP di Indonesia-pen). PPK (dan juga P2KP-pen) merupakan proyek pembangunan neoliberal yang berbeda meski tetap saja neoliberal, dan banyak hal dari apa yang berbeda dari program ini berasal dari pendekatannya untuk memperluas, institusi dan insfrastruktur pasar liberal secara “bottom up”.13

Epilog: Duc in altum!

Dari seluruh paparan di atas, kita bisa menarik pemahaman tentang temuan riset Dasgupta dan Beard dalam beberapa catatan kritis berikut: pertama, terlepas dari temuan risetnya yang menarik (terkait proses demokratisasi di akar rumput), namun vested-interest mereka (terutama Dasgupta yang merupakan staf Bank Dunia) justru telah membabar sekaligus membongkar kedoknya sendiri. Terjadi contradictio in terminis antara paradigma program yang sebenarnya “anarkis” dan temuan implementasi program yang mempesona. Maka, bukan hal aneh jika paparan hasil riset sesungguhnya telah terperangkap dalam “sandera peneliti” (researcher capture),

11Berdasarkan informasi dari narasumber kunci di District Management Consultant (DMC), awal pengimplementasian

BKM ini telah mengakibatkan berbagai kasus konflik struktural maupun horisontal di tingkatan desa. Pasalnya, kepala desa atau lurah merasa “ora diuwongke”, dipreteli otoritas dan kewenangan atas wilayah yang dipimpinnya. Di kemudian hari, kritik membuahkan perubahan aturan dimana kepala desa/lurah turut dilibatkan kendati minimal. Wawancara penulis dengan staf District Management Consultant, PA, pada 13 Juni 2011.

12 Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan

Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.86-87.

13 Toby Carrol, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal..., hlm. 100.

(12)

utamanya peneliti propagandis yang memang bertugas rangkap sebagai “misionaris” dari program-program Bank Dunia.

Kedua, sejauh penelusuran penulis sendiri, temuan fakta lapangan menunjukkan bahwa hal yang sesungguhnya terjadi bukannya Community Driven Development melainkan Community Facilitator Driven Development. Sterilisasi peran aktor yakni “fasilitator program” yang sangat dominan dalam Program Penanganan Kemiskinan Perkotaan/Urban Poverty Program sebagai representasi CDD adalah kebolongan besar tulisan Dasgupta dan Beard. Penyembunyian secara sengaja atas paradigma basis CDD adalah sebentuk khianat intelektual (peneliti) atas upaya mewujudkan keberdayaan dan kedaulatan masyarakat dunia ketiga dalam arti yang sesungguhnya.

Ketiga, semendalam apapun temuan riset itu terpapar, sejauh tak menyoal akar paradigma dari CDD itu sendiri, maka ia tak lebih dari “ke-mudharat-an” pengetahuan yang memang tak-liberatif. Terlebih lagi, penyembunyian secara sengaja atas paradigma basis CDD adalah sebentuk khianat intelektual (peneliti) atas segenap daya upaya mewujudkan keberdayaan dan kedaulatan masyarakat dalam arti yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, sikap awas, hati-hati, lagi jeli, dalam menelisik CDD adalah sebuah keutamaan guna mendapati berbagai dampak dan konsekuensi lanjut (jangka panjang) yang jauh lebih buruk bagi komunitas/masyarakat yang mengimplementasikannya.

Keempat, bagaimanapun juga, program penanggulangan kemiskinan bukanlah perkara gampang dan remeh. Butuh konsolidasi multi-pihak dalam relasi yang relatif setara untuk mewujudkan itu, dan tentu saja tanpa paradigma neoliberal itu. Secara hakiki, perlu rancangan program yang bertumpu pada segenap potensi bangsa sendiri, bukan dari hutang. Dengan demikian, bangsa ini bisa sungguh-sungguh mewujudkan penegakan martabat segenap warganya yang kesrakat. Dalam hal ini, penting untuk mempertimbangkan gagasan Ostrom tentang CPRs bersekala kecil (small-scale Common Pool Resources) di atas. Dalam keseluruhan maknanya, mungkin ada faedahnya juga bagi kita melakukan penelisikan ulang atas apa yang sesungguhnya beroperasi dalam P2KP ini. Terselip sebuah kekhawatiran: jangan-jangan kemiskinan itu memang telah ter-reproduksi sejak dari dalam pikiran kita sendiri, seperti yang terperagakannya komodifikasi kemiskinan dalam P2KP. Dalam suasana muram ini, seorang guru kehidupan yang bijak bestari pun bersesanti: Duc in altum! Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam! [abw-170611]

Referensi

Carroll, Toby. Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010 ---, The World Bank's Socio-institutional Neoliberalism: A Case Study From Indonesia

(Working Paper), diunduh pada 5 Juni 2011 dari www2.warwick.ac.uk/fac/soc/csgr/ events/workshops/.../carroll.pdf

ADB. 2006. Review of Community Driven Development and Its Application to The Asaian Development Bank.

NMC & Sekretariat Nasional PPK. 2000. Program Pengembangan Kecamatan Laporan Tahunan Kedua 1999/2000, Jakarta: NMC.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus ini juga dapat dilihat adanya kelemahan sistem pemeriksaan yang dianut oleh Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Desain Industri, yaitu tidak diwajibkannya

Kursus ini merangkumi asas proses reka bentuk seni bina landskap yang meliputi prinsip inventori dan analisis, penjanaan idea reka bentuk dan adaptasi idea pada satu ruang

Pengakuan dan pencatatan pada jurnal yang dilakukan B’right PLN Batam sudah sesuai dengan teori yang ada, tidak terdapat perbedaan pencatatan atas

Sehingga, pada kosakata yang memiliki suku kata lebih dari jumlah yang lazim digunakan akan diterapkan pemendekan sesuai dengan proses yang berlaku pada

Informasi dalam dokumen ini didasarkan pada pengetahuan terkini kamidan berlaku untuk produk yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dan keselamatan.Itu tidak mewakilimenjamin

5 Saya merasa, hubungan antara bawahan dengan atasan dapat meningkatkan lingkungan kerja yang lebih baik. 6 Saya dapat berhubungan baik dengan sesama rekan kerja saya

Danesi (2004: 120), menjelaskan bahwa secara khusus mereka menentang asumsi Grice bahwa seseorang akan mencoba mendahulukan interpretasi harfiah jika dia mendengar

Dalam hal terjadinya pembatalan perjanjian sanksi yang diberlakukan akibat terjadinya pembatalan sepihak atas pengikatan jual beli perumahan dapat berakses hukum