• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPER MANAJERIAL PERILAKU KONSUMEN DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PAPER MANAJERIAL PERILAKU KONSUMEN DAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU KONSUMEN

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Ekonomi Manajerial. Yang dibina oleh Bapak PROF. DR. MUHAMMAD ZILAL HAMZAH, MM

KELOMPOK 2 YUDHISTIRA PERMANA

(021120003) RIVELY RIANTA MURTI

(021120002)

.

FAKULTAS EKONOMI EKONOMI PEMBANGUNAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena bimbingan dan penyertaan-Nya, sehingga kelompok ini dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas yang diberikan Dosen pengajar. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna disebabkan karena terbatasnya

kemampuan pengetahuan baik teori maupun praktek. Dengan demikian kelompok ini mengahrapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan panulisan makalah ini.

Kiranya yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan pula agar karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Pembahasan BAB II PEMBAHASAN BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pemahaman akan perilaku konsumen adalah tugas penting bagi para pemasar. Para pemasar mencoba memahami perilaku pembelian konsumen agar mereka dapat menawarkan kepuasan yang lebih besar kepada konsumen. Tapi bagaimanapun juga ketidakpuasan konsumen sampai tingkat tertentu masih akan ada. Beberapa pemasar masih belum menerapkan konsep pemasaran sehingga mereka tidak berorientasi pada konsumen dan tidak memandang kepuasan konsumen sebagai tujuan utama. Lebih jauh lagi karena alat menganalisis perilaku konsumen tidak pasti, para pemasar kemungkinan tidak mampu menetapkan secara akurat apa sebenarnya yang dapat memuaskan para pembeli. Sekalipun para pemasar mengetahui faktor yang meningkatkan kepuasan konsumen, mereka belum tentu dapat memenuhi faktor tersebut.

Tak diragukan lagi, konsumen tergolong aset paling berharga bagi semua bisnis. Tanpa dukungan mereka, suatu bisnis tidak bisa eksis. Sebaliknya jika bisnis kita sukses memberikan pelayanan terbaik, konsumen tidak hanya membantu bisnis kita tumbuh. Lebih dari itu, mereka biasanya akan membuat rekomendasi untuk teman dan relasinya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Jelaskan mengenai definisi perilaku konsumen 2. Jelaskan hukum permintaan

3. Jelaskan tentang pendekatan perilaku konsumen

4. Jelaskan konsep elastisitas dan macam-macam besaran elastisitas 6. Jelaskan mengenai eksternalitas

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

PERILAKU KONSUMEN

Teori perilaku konsumen yaitu teori yang menerangkan perilaku pembeli-pembeli didalam

menggunakan dan membelanjakan pendapatan yang diperolehnya. Seorang konsumen yang rasional akan berusaha memaksimumkan kepuasan dalam menggunakan pendapatannya untuk membeli barang dan jasa. Untuk tujuan ini ia harus membuat pilihan-pilihan, yaitu menentukan jenis-jenis barang yang dibelinya dan jumlah yang akan dibelinya.

Analisis ekonomi yang menerangkan tingkah laku konsumen dalam membuat pilihan tersebut dibedakan kepada dua bentuk analisis :

a. Teori nilai guna atau utility

Kalau kepuasan itu semakin tinggi maka makin tinggi lah nilai guna nya atau utility nya. b. Analisis kepuasan sama

Suatu kurva yang menggambarkan gabungan barang-barang yang akan memberikan kepuasan yang sama besarnya.

Para ahli berpendapat mengenai definisi Perilaku Konsumen, sebagai berikut ; Gerald Zaldman dan Melanie Wallendorf (1979:6) menjelaskan bahwa :

“Consumer behavior are acts, process and social relationship exhibited by individuals, groups and organizations in the obtainment, use of, and consequent

experience with products, services and other resources”

Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses, dan hubungan social yang dilakukan individu, kelompok, dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan, dan sumber-sumber lainya.

Pengertian perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk (2000) adalah “Consumer behavior can be defined as the behavior that customer display in searching for, purchasing, using, evaluating, and disposing of products, services, and ideas they expect will satisfy they needs”. Pengertian tersebut berarti perilaku yang diperhatikan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat memuaskan konsumen untuk dapat memuaskan kebutuhannya dengan mengkonsumsi produk atau jasa yang ditawarkan.

Selain itu perilku konsumen menurut Loudon dan Della Bitta (1993) adalah: “Consumer behavior may be defined as the decision process and physical activity individuals engage in when evaluating, acquiring, using, or disposing of goods and services”. Dapat dijelaskan perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik individu-individu yang semuanya ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, menggunakan, atau mengabaikan barang-barang dan jasa-jasa.

(6)

How does a consumer decide that he/she needs a product? What

are the best sources of information to learn more about

alternative choices?

How are consumer attitudes toward products formed and/or

changed? What cues do consumers use to infer which products are superior to others?

Is acquiring a product a stressful or pleasant experience? What does the purchase say about the

consumer?

Does the product provide pleasure or perform its intended

function? How is the product eventually disposed of, and what

are the environmental consequences of this act?

How do situational factors, such as time pressure or store displays, afect the consumer’s

purchase decision?

What determines whether a consumer will be satisfed with a

product and whether he/she will buy it again? Does this person

tell others about his/her

Bagan 1. Beberapa masalah pada saat terjadinya proses pengkonsumsian (Solomon, 2007)

Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2001) Consumer behavior is the study of individuals, groups, or organizations and the processes they use to select, secure, use, and dispose of products, services, experiences, or ideas to satisfy needs and the impacts that these processes have on the consumer and society.

Perilaku konsumen adalah studi mengenai individu, kelompok atau organisasi dan proses dimana mereka menyeleksi, menggunakan dan membuang produk, layanan, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan dampak dari proses tersebut pada konsumen dan masyarakat

(7)

PENDEKATAN PERILAKU KONSUMEN

Teori tingkah laku konsumen dapat dibedakan dalam dua macam pendekatan : 1. Pendekatan Marginal Utiliti (Cardinal)

Manfaat atau kenikmatan yang diperoleh seorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan anggapan bahwa konsumen akan memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya,

diterangkan bagaimana seseorang akan menentukan konsumsinya ke atas berbagai jenis barang yang terdapat dipasar. Dalam pendekatan ini digunakan anggapan sebagai berikut:

Utility bisa diukur dengan uang.

Hukum Gossen (The Law of Diminishing Returns) berlaku yang menyatakan bahwa “Semakin banyak sesuatu barang dikonsumsi, maka tambahan kepuasan yang diperoleh dari setiap satuan tambahan yang dikonsumsi akan menurun”.

Konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan. 2. Pendekatan Indifference Curve (Ordinal)

Maanfaat atau kenikmatan yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi barang-barang tidak dikuantifiser. Tingkah laku seorang konsumen untuk memilih barang-barang yang akan

memaksimumkan kepuasannya ditunjukan dengan bantuan kurva kepuasan sama, yaitu kurva yang menggambarkan gabungan barang yang akan memberikan nilai guna (kepuasan) yang sama. Kepuasan Konsumen

Seorang konsumen akan mencapai kepuasan yang maximum apabila ia mencapai titik dimana garis anggaran pengeluaran menyinggung kurva kepuasan sama.

Anggapan dalam pendekatan ordinal sebagai berikut:

1. Konsumen mempunyai pola preferensi akan barang-barang tertentu. 2. Konsumen mempunyai sejumlah uang tertentu.

3. Konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan.

Ciri-ciri Indifference Curve sebagai berikut:

Turun dari kiri atas ke kanan bawah. Cembung ke arah origin. Indifference Curve yang satu dengan lainnya tidak pernah saling memotong. Indifference Curve yang terletak di sebelah kanan atas menunjukan tingkat keupasan yang lebih tinggi dan sebaliknya.

Sebuah grafik dari kurva indiference untuk seorang konsumen dihubungkan dengan tingkat

utilitas/kepuasan berbeda disebut dengan peta indiference. Titik kembalinya tingkat kepuasan yang berbeda setiap unitnya dihubungkan dengan kurva indiference yang berbeda satu sama lain. Sebuah kurva indiference menjabarkan sebuah himpunan preferensi pribadi dan bisa berbeda pada orang satu dan lainnya.

Kurva indiference biasanya dijelaskan menjadi :

(8)

2. Melengkung secara negatif. Sebagai Kuantitas yang dikonsumsi dari satu barang (x) meningkat, kepuasan total akan naik jika tidak di kompensasikan oleh sebuah penurunan dalam kuantitas yang dikonsumsi pada barang lain (y). Sama dengan kekenyangan, dimana lebih dari barang (atau keduanya) sama derajatnya di prefrensikan untuk tidak ditingkatkan, tidak diikutsertakan. (jika utilitas U=f(x, y), U, dalam dimensi ke tiga, tidak memiliki sebuah maksimum lokal untuk semua x dan y.)

3. lengkap, seperti semua titik dalam kurva indiferen dirangking sama besar dalam hal selera dan dirangking baik lebih atau kurang di sukai dibandingkan titik lainnya yang tidak ada dalam kurva. Jadi, dengan (2), tidak ada dua kurva yang akan bersilangan (selain non-satiasi akan dilanggar). 4. Transitif dengan hubungan ke titik dalam kurva indiference yang berbeda. Itu terjadi, jika tiap titik dalam I2 adalah selera (yang terbatas) pada tiap titik dalam I1, dan tiap titik dalam I3 dihubungkan ke tiap titik dalam I2, tiap titik dalam I3 dihubungkan ke tiap titik dalam I1. Sebuah lengkungan negatif dan transitifitas tidak dimasukan persilangan kurva indiference, karena garis lurus dari kedua sisi tersebut bersilangan akan memberi rangking prefrensi yang tidak satu sisi dan intransitif.

5. (secara terbatas) convex (dijatuhkan dari bawah). Dengan (2), preferensi convex menyebabkan sebuah pemunculan dari asal kurva indiference. Sebagai konsumen menurunkan konsumsi dari satu barang dalam unit suksesif, jumlah besar dari barang lainnya akan dibutuhkan untuk mempertahankan kepuasan tidak berubah, efek substitusi.

ASUMSI

Ambil a, b dan c menjadi kumpulan (vektor) dari barang, seperti kombinasi (x, y) diatas, dimana kemungkinan adanya perbedaan jumlah dari tiap barang dalam kumpulan yang berbeda. Asumsi pertama adalah kebutuhan untuk sebuah representasi yang dibuat dnegan baik dari selera stabil untuk para konsumen sebagai agen ekonomi, asumsi kedua disesuaikan.

Rasionalitas (dalam hubungannya dalam konteks matematik yang umum): Keterselesaian + transtifitas. Untuk rangking pemberian prefrensi, konsumen bisa memilih kumpulan yang terbaik antara a,b dan c dari terbawah ke tertinggi.

Kontinuitas: Ini berarti kamu bisa memilih untuk mengkonsumsi berapapun jumlah barang. Contohnya, saya bisa minum 11 mL soda, atau 12mL, atau 132 mL. Saya tidak dipaksa untuk meminum dua liter atau tidak sama sekali. Lihat juga fungsi kontinuitas dalam matematik.

Dari ciri yang tersisa diatas, seharusnya, ciri (5) (kofeksitas) telah dilanggar oleh munculnya kurva indiferen keluar dari asal konsumen tertentu dengan memberikan dorongan ke anggaran. Teori konsumen kemudian menyebabkan konsumsi kosong untuk satu dari dua barang, katakanlah barang Y, dalam ekuilibirium ke anggaran konsumen. Ini akan mencontohkan sebuah solusi pojok. Lebih jauh, penurunan dalam harga barang Y diatas jarak tertentu mungkin akan meninggalkan

jumlah/kuantitas yang diminta tidak akan berubah dari kosong (0) dan sesudahnya dimana penurunan harga selanjutnya mengganti semua pendapatan dan konsumsi jauh-jauh dari X dan Y. Rasio dari implikasi tersebut mensugestikan kenapa konfeksitas biasanya diasumsikan juga.

(9)

Permintaan (demand function) adalah : Jumlah suatu barang yang mau dan dapat dibeli oleh

konsumen pada pelbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain akan tetap sama ( Cateris Paribus)

Penawaran adalah : Jumlah dari suatu barang tertentu yang mau dijual pada berbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu (cateris paribus)

Kurva Garis Anggaran ( Budget Line Curve )

Garis Anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar. Misalnya garis anggaran dinotasikan sebagai BL, sedangkan harga sebagai P ( Px untuk X dan Py untuk Y ) dan jumlah barang yang dikonsumsi adalah Q ( Qx untuk X dan Qy untuk Y ), maka:

BL = Px.Qx + Py.Qy

Perubahan Harga Barang dan Pendapatan

(10)

tiga yang dibatasi kurva garis anggaran. Bila luas bidang segitiga makin luas,maka daya beli meningkat,begitu juga sebaliknya.

HUKUM PERMINTAAN

Kurve permintaan untuk pelbagai macam barang dan jasa tidak semuanya tepat sama. Bahkan kurve permintaan akan barang yang sama pun dapat berbeda menurut tempat dan waktu yang berbeda. Tetapi semua kurve permintaan menunjukkan satu ciri yang sama, yaitu arahnya yang turun dan kiri-atas ke kanan-bawah (downward sloping to the right). Bentuk kurve mi menunjukkan bahwa antara HARGA (P) dan JUMLAH YANG MAU DIBELI (Qd) terdapat suatu hubungan yang berbalikan: -Kalau harga naik, jumlah yang mau dibeli berkurang

-Kalau harga turun, jumlah yang mau dibeli bertambah

Gejala mi dikenal dengan nama Hukum Permintaan, yang dapat dirumuskan sbb.: Orang cenderung membeli lebih banyakpada harga rendah daripadapada harga tinggi. Disehut “hukum” karena merupakan gejala umum yang sulit dicari perkecualiannya.

Hal ini terjadi karenaHukum permintaan menunjuk pada fakta bahwa, kalau harga suatu barang/jasa naik, jumlah yang akan dibeli cenderung menjadi Iebih sedikit, sedang kalau harganya turun, jumlah yang mau dibeli oleh masyarakat akan lebih banyak. Sekarang kita her- tanya: mengapa terjadi demikian? Apa sebabnyajumlah yang mau dibeli berkurang bila harga barang itu naik, dan bertambah bila harganya turun? Pada dasarnya ada tiga alasan yang dapat menjelaskan gejala tsb.:

Pengaruh penghasilan (Income effect)

Kalau harga suatu barang naik, maka denganjumlah penghasilan uang yang sama orang terpaksa hanya dapat membeli barang lebih sedikit. Sebaliknyajika harga barang tu turun, dengan penghasilan yang sama orang dapat membeli lebih banyak dan barang ybs., (dan mungkinjuga dan barang-barang lain pula), sebab penghasilan realnya naik.

Misalnya datam contoh di atas: pada harga beras Rp 400-/kg, keluarga ybs. dapat membeli 50kg beras perbulan. Tetapi kalau harga beras naik menjadi Rp 500, 1kg, denganjumlah uang yang sama rncrcka hanya dapat membeli 40 kg beras per bulan.

Hal yang sama berlaku tidak hanya untuk permintaan individual tetapi juga untuk permintaan pasar. Kalau harga suatu barang naik (ceteris paribus), Iebih sedikit warga masyarakat yang mampu membelinya dengan penghasilan mereka. Sebaliknya jika harga barang tertentu turun (ceteris paribus), semakin banyak orang yang dulu tidak mampu membelinya sekarang akan dapat menjangkaunya, sehingga jumlah pembeli bertambah banyak. Hal mi disebut “income effect’: Pengarub substitusi (Substitution effect)

(11)

KONSEP ELASTISITAS

Elastisitas adalah ukuran derajad kepekaan jumlah permintaan terhadap peubahan salah satu faktor yang mempengaruhi. Jika elastisitas lebih besar dari satu maka disebut elastis, sedangkan elastisitas kurang dari satu maka disebut inelastis, dan jika elastisitas lebih sama dengan satu maka disebut elastisitas tunggal.

A. Harga

Atau bisa disebut juga dengan price elasricity (elastisitas harga) adalah persentase (%) perubahan kuantitas barang yang diminta sebagai akibat dari perubahan harga barang tersebut. Elastisitas harga ini penting bagi penjual, sebab ada hubungan antar perubahan harga dengan tingkat penjualan. Dalam menghitung koefisien elastisitas harga ada dua cara, yaitu: arc elasticity (elastisitas busur) dan point elasticity (elastisitas titik).

B. Silang

Atau bisa disebut sebagai cross elasticity (elastsitas silang) adalah persentase (%) perubahan jumlah yang diminta terhadap sesuatau barang sebagai akibat dari perubahan harga barang lain.

C. Pendapatan

Atau bisa disebut juga dengan income elasricity (elastisitas pendapatan) adalah persentase (%) perubahan kuantitas barang yang diminta sebagai akibat dari perubahan pendapatan riil. Macam-macam besaran elastisitas:

1. elastisitas permintaan.

2. elastisitas permintaan dan total penerimaan. 3. elastisitas penerimaan.

4. elastisitas silang. 5. elastisitas penawaran. 6. elastisitas fisika dasar

(12)

KESEIMBANGAN PASAR (Market Equilibrium)

Pasar (secara ekonomi)

Pertemuan antara potensial pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak (melalui

komunikasi) untuk mengeatasi conflict of interest antara konsumen dan produsen atau suatu lembaga yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran dengan jalan menyediakan saluran komunikasi antara potensial pembeli dan penjual.

Kebutuhan yang tak terbatas Persediaan yang terbatas

Scarcity (kelangkaan) ↓

Competition

(produsen >< produsen, konsumen >< konsumen, produsen >< konsumen) ↓

Conflict of interest (produsen >< konsumen) => Market Cooperation via exchange

Harga Pasar

Pada harga pasar terjadi pertemuan antara keinginan pembeli dan penjual di mana telah ada kesesuaian antara harga yang diinginkan pembeli dan penjual. Harga pasar merupakan harga yang terjadi pada saat tercapai keseimbangan pasar.

Keseimbangan Pasar

Keseimbangan pasar terjadi jika tidak ada excess demand dan excess supply di mana konsumen bersedia membeli pada saat produsen mau menjual pada jumlah dan harga yang sama (∑Qd = ∑Qs). Syarat-syarat Titik Keseimbangan Pasar

Titik keseimbangan pasar bagi barang dan jasa tertentu harus memenuhi syarat sebagai berikut: Hanya berlaku untuk nilai-nilai (p dan q) yang positif.

(13)

Jadi keseimbangan pasar hanya ada satu. Walaupun mungkin ada 2 titik potong antara Fungsi Permintaan dan Fungsi Penawaran (secara matematis) tetapi hanya ada satu titik potong antara Kurva Permintaan dan Kurva Penawaran, dengan kata lain hanya satu yang berlaku sebagai titik

keseimbangan pasar.

EKSTERNALITAS

Dalam suatu perekonomian moderen, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan

eksternalitas.Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun

yang merugikan.Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Sudgen and williams, 1990, Mishan 1990, Zilberman and marra, 1993). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara. Ada juga eksternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang

(pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah disekitar daerah tersebut.Dalam contoh diatas efek tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan Marginal Rate of Substitution (MRS) jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.

(14)

JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS A. JENIS-JENIS EKSTERNALITAS

Efisiensi alokasi sumber daya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini (Pearee dan Nash, 1991; Bohm, 1991) :

1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers)

2. Efek atau dampak samping kegiatan produksi terhadap konsumen (effects of producers on consumers)

3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)

4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)

1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain

Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika

kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up costs) oleh produsen hilir (downstream producers) yang

menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah-residu-produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau, atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.

2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen

(15)

konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang menghasilkan limbah (wasteproducts) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara.

3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain

Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.

4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen

Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan

air bersih.Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep eksternalitas dalam dua pengertian yang berbeda :

1. Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.

2. Eksternalitas yang tidak habis (an udeplatable externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.

Dari dua konsep eksternalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan

(16)

memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu berikut ini.

1. Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.

Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resources). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.

Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagain masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).

2. Sumber Daya Bersama

(17)

milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons).

TRAGEDI BARANG UMUM

Andaikanlah anda hidup di sebuah kota kecil di abad pertengahan. Dari sekian banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota itu, yang paling menonjol adalah pemeliharaan domba. Banyak keluarga di kota itu yang mengandalkan asap dapurnya, dari pemeliharaan domba yang mereka ambil bulunya ( wol ) untuk dijual sebagai bahan pakaian.

Domba-domba itu dilepas begitu saja di lahan rumput penggembalaan yang mengelilingi Kota Umum. Tidak ada yang memiliki lahan tersebut, bahkan lahan itu sudah dianggap milik bersama, sehingga setiap orang bisa melepas kawanan dombanya ke sana untuk memakan rumputnya. Selama ini kepemilikan bersama itu tidak menimbulkan masalah. Selama setiap orang bisa memperoleh sebidang lahan untuk menggembalakan dombanya, Kota Umum itu tidak bersifat bersaingan. Siapa saja bisa memanfaatkannya tanpa biaya. Pokoknya tidak ada masalah.

Lambat laun, seiring dengan waktu, jumlah penduduk dan jumlah domba di Kota Umum terus bertambah, sedangkan lahan penggembalaan tidak bertambah luas. Karena jumlah domba yang memakan rumputnya sedemikian banyak, pada akhirnya padang rumput itu kehilangan kemampuan dan kesempatan untuk memulihkan diri. Belum sempat rumput baru tumbuh, sudah ada banyak domba yang menunggunya, sehingga pada akhirnya padang rumput itu pun menjadi padang gersang. Tanpa rumput, tidak mungkin pemeliharaan domba secara masal berlangsung terus. Jumlah domba pun segera menyusut, dan pada gilirannya Industri wol di kota Umum juga ditutup. Banyak keluarga di kota itu yang kehilangan mata pencaharian.

Apa sesungguhnya yang menimbulkan tragedi itu ? Mengapa penduduk membiarkan populasi domba bertambah begitu cepat sehingga justru menghancurkan lahan penggembalaan Kota Umum ?

Jawabannya bersumber pada perbedaan antara insentif pribadi dan insentif sosial. Pencegahan padang rumput di Kota Umum berubah menjadi padang pasir hanya dapat terjadi jika semua pemilik domba bekerja sama mengupayakan hal itu secara kolektif. Hanya dengan kerja sama, para pemilik domba itu dapat mengatur keseluruhan populasi hewan ternaknya agar tidak melebih daya dukung padang. Rumput itu. Namun secara individual, masing-masing keluarga pemilik domba tidak memiliki insentif untuk memulai usaha mulia tersebut, karena mereka, secara individual hanya merupakan bagian dari seluruh penduduk pemilik domba. Disamping itu jika tidak diikuti oleh yang lain, kesadaran suatu keluarga untuk membatasi jumlah dombanya juga tidak akan ada gunanya.

(18)

Jika mau berpikir lebih panjang, penduduk Kota Umum sebenarnya bisa mencegah terjadinya tragedi itu. Mereka bisa berembug bersama untuk menentukan jumlah maksimal domba yang yang dapat dipelihara oleh setiap keluarga. Atau, mereka bisa menginternalisasikan eksternalitas itu, dengan cara mengenakan pajak kepemilikkan domba, atau menerbitkan dan melelang izin penggembalaan

terbatas. Artinya, penduduk kota di abad pertengahan itu bisa mngatasi masalah pemanfaatan padang rumput secara berlebihan, dengan cara seperti yang ditempuh masyarakat modern untuk memecahkan persoalan polusi.

Bahkan sebenarnya ada solusi yang lebih sederhana untuk Kota Umum. Mereka dapat membagi-bagi lahan penggembalaan itu kepada masing-masing keluarga. Setia keluarga mendapat sebidang

lahannya sendiri. Dengan cara ini, status padang rumput akan berubah dari sumber daya milik

bersama menjadi barang pribadi, sehingga masing-masing keluarga akan berusaha agar lahannya terus ditumbuhi rumput secara berkesinambungan. Para pendatang juga tidak akan ikut memelihara domba-domba baru, karena lahan penggembalaannya sudah habis terbagi. Dalam kenyataannya, hal inilah yang terjadi di Inggris pada abad ketujuhbelas.

Ada satu pelajaran penting yang terkandung dalam kisah Tragedi Barang Umum ini, yakni pada saat seseorang memanfaatkan suatu sumber daya milik bersama, pada saat itu pula ia mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa. Akibat adanya eksternalitas negatif, pemanfaatan setiap sumber daya milik bersama selalu cenderung berlebihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat menerapkan regulasi atau memberlakukan pajak. Atau, pemerintah bisa mengubah sumber daya milik bersama itu menjadi barang swasta.

Pelajaran dasar ini ternyata sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lampau. Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah mengutarakan masalah yang terkandung dalam sumber daya milik bersama : “Apa yang diperuntukkan bagi orang banyak, tidak akan dipelihara secara memadai, karena semua orang mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain”.

3. Ketidaksempurnaan Pasar

Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).

Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek kartel ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatknya harga yang lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya penignkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan, praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse-off).

4. Kegagalan Pemerintah

(19)

melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :

1. Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta

menguntungkan mereka

2. Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti menegnakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.

3. Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang emmpunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan atuan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagi contoh, Perusahaaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informal ini belum tentu menjadi revenue pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.

EKSTERNALITAS DAN INEFISIENSI PASAR

Pada bagian ini kita akan memakai perangkat-perangkat analisis yang menelaah bagaimana eksternalitas mempengaruhi kesejahteraan ekonomi. Analisis yang kita lakukan di sini akan

(20)
(21)

A. EKSTERNALITAS DALAM PRODUKSI

Perhatikanlah, bahwa dalam melangsungkan kegiatan produksinya, pabrik-pabrik aluminium itu menimbulkan polusi. Untuk setiap aluminium yang mereka produksi, sejumlah asap kotor yang mengotori atmosfer tersembur dari tanur pabrik-pabrik tersebut. Karena asap itu membahayakan kesehatan siapa saja yang menghirupnya, maka asap itu merupakan eksternalitas negatif dalam produksi aluminium. Bagaimana pengaruh eksternalitas negatif ini terhadap efisiensi hasil kerja pasar ?

Akibat adanya eksternalitas tersebut, biaya yang harus dipikul masyrakat yang bersangkutan secara keseluruhan dalam memproduksi aluminium lebih tinggi dari pada biaya yang dipikul oleh

produsennya. Biaya sosial (social sost) untuk setiap unit aluminium yang diproduksikan, mencakup biaya produksi yang dipikul produsen – biasa disebut “biaya pribadi” (private cost) – plus biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain yang ikut mengalami kerugian akibat polusi. Gambar 1-2

menunjukkan besarnya biaya sosial produksi aluminium. Kurva biaya sosial itu berada diatas kurva penawaran, karena di dalamnya tercakup pula biaya-biaya eksternal yang ditimpakan ke pundak masyarakat oleh para produsen aluminium. Nilai atas selisih atau jarak antara kedua kurva itulah yang mencerminkan biaya atau jumlah kerugian akibat polusi dari proses produksi aluminium.

Berapa banyak aluminium yang harus diproduksi (agar mencukupi kebutuhan aluminium, sekaligus tidak terlalu banyak menimbulkan polusi) ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si pejabat pemerintah yang serba kuasa. Si pejabat ini ingin memaksimalkan surplus total yang dimunculkan pasar- yakni nilai bagi konsumen aluminium dikurangi biaya produksi aluminium. Namun ia juga mengetahui bahwa biaya produksi aluminium juga mencakup biaya-biaya eksternal seperti halnya polusi.

(22)

pejabat memang harus mencapai tingkat produksi itu, karena jika produksi ternyata dibawah tingkat itu, maka nilai aluminium bagi konsumennya (diukur oleh ketinggian kurva permintaan) akan melampaui biaya sosial produksinya (diukur oleh ketinggian kurva biaya sosial). Seandainya saja hal ini benar-benar terjadi, maka toleransi terhadap kelebihan produksi seperti polusi itu akan lebih besar sehingga polusi akan cenderung meningkat atau bahkan tidak terkendali. Sebaliknya, jika produksi melebihi tingkat optimum tersebut, maka biaya sosial produksi aluminium akan melebihi nilainya bagi konsumen. Andaikan hal ini yang terjadi, maka permintaan akan melemah, dan harga akan turun sehingga biaya produksi aluminium menjadi terlalu berat bagi produsen.

Perhatikanlah bahwa kuantitas produksi aluminium pada kondisi ekuilibrium, yakni QPASAR lebih besar dari pada kuantitas produksi yang secara sosial optimum atau QOPTIMUM Ini merupakan inefisiensi, dan penyebabnya adalah kuantitas produksi dalam kondisi ekuilibrium pasar itu hanya mencerminkan biaya produksi pribadi (yang hanya ditanggung produsen). Dalam ekuilibrium pasar tersebut, nilai aluminium bagi konsumen marginal lebih rendah dari pada biaya sosial produksinya. Artinya, pada QPASAR kurva permintaan terletak dibawah biaya kurva sosial. Pada situasi ini, penurunan konsumsi dan produksi aluminium hingga dibawah tingkat ekuilibriumnya, justru akan menikkan kesejahteraan ekonomi total (baik bagi konsumen maupun produsen).

Lalu bagaimana tingkat produksi optimum itu bisa dicapai ? Salah satu caranya adalah dengan mengenakan pajak kepada para produsen, atas setiap ton aluminium yang mereka jual. Pajak ini akan menggeser kurva penawaran aluminium ke atas, sebanyak besaran pajaknya. Jika pajak itu sesuai dengan nilai kerugian akibat asap, maka posisi kurva penawaran itu akan bersesuaian dengan kurva biaya sosial. Maka akan tercipta ekuilibrium baru di pasar, di mana tingkat produksi yang dilakukan para produsen akan optimum secara sosial.

Pengenaan pajak yang tepat itu dikatakan mampu menciptakan internalisasi eksternalitas (internalizing an externality), karena pajak tersebut memberi para konsumen dan produsen suatu insentif untuk memperhitungkan dampak-dampak eksternal dari tindakan-tindakan mereka. Produsen akan terdorong untuk menghitung biaya penanggulangan polusi sebagai bagian dari biaya produksi, sebelum mereka memutuskan kuantitas aluminium yang akan mereka produksikan (artinya mereka juga berusaha membatasi polusi yang ditimbulkan oleh proses produksinya, karena mereka harus membayar pajak atas setiap polusi yang tidak dikendalikan.

(23)

Analisis atas eksternalitas positif tidak banyak berbeda dari analisis tentang eksternalitas negatif. Gambar 1-3 memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk memproduksi sebuah robot lebih kecil dari pda biaya pribadinya. Oleh karena itu, pemerintah tentu saja ingin lebih banyak memproduksi robot dibanding produsernya sendiri.Dalam kasus ini, pemerintah dapat membantu dengan melakukan internalisasi eksternalitas positif tersebut. Caranya misalnya dengan memberikan subsidi untuk setiap unit robot yang dibuat. Melalui subsidi ini, kurva penawaran akan terdorong ke bawah sebesar subsidi, dan pergeseran ini akan menaikkan ekuilibrium kuantitas produksi robot.Agar ekuilibrium pasar yang baru itu sama dengan titik optimum sosial, maka subsidinya harus diusahakan sama dengan nilai imbasan teknologi.

EKSTERNALITAS DALAM KOMSUMSI

Sejauh ini, eksternalitas yang telah kita bahas hanya eksternalitas yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Selain itu masih ada eksternalitas yang terkandung dalam kegiatan konsumsi. Konsumsi minuman beralkohol, misalnya, mengandung eksternalitas negatif jika si peminum lantas

(24)

Analisis terhadap eksternalitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang telah kita lakukan terhadap eksterlitas dalam produksi. Pada gambar 1-4, kurva permintaannya tidak lagi melambangkan nilai sosial dari suatu barang. Panel (a) memperlihatkan kasus eksternalitas negatif dalam konsumsi,

Misalnya, konsumsi minuman beralkohol. Dalam kasus ini, nilai sosialnya lebih kecil dari pada nilai pribadinya (private value, atau nilai minuman beralkohol bagi para peminum minuman beralkohol itu sendiri), dan kuantitas penawaran minuman beralkohol yang optimum secara lebih sosial lebih rendah dari pada kuantitas penawaran yang ada di pasar. Sedangkan panel (b) menunjukkan kasus

eksternalitas positif dalam konsumsi, misalnya konsumsi pendidikan. Dalam kasus ini, nilai sosial lebih besar dari pada nilai pribadi, dan kuantitas yang ooptimal secara sosial juga lebih besar dari pada kuantitas yang diinginkan pasar secara pribadi (yang diinginkan oleh produsennya saja).Dalam kasus tersebut, pemerintah juga dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut melalui internalisasi

eksternalitas. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah pada kasus eksterlitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang dapat dikerjakannya pada kasus eksterlitas dalam produksi. Untuk

menggerakkan ekuilibrium pasar mendekati titik optimum sosial, keberadaan eksterlitas negatif itu dapat ditekan melalui penerapan pajak, sedangkan untuk eksterlitas positif dapat diimbangi dengan pemberian subsidi. Hal ini sama persis seperti terjadi dalam kenyataannya. Di berbagai negara, pemerintah senantiasa mengenakan pajak terhadap berbagai jenis minuman beralkohol, dan pajaknya biasanya tergolong paling tinggi bila dibandingkan dengan pajak untuk barang-barang konsumsi lainnya. Demikian pula, pemerintah di semua negara selalu berusaha menyubsidi pendidikan melalui pengadaan sekolah negara berbiaya murah (atau bahkan bebas biaya ) dan

pemberian beasiswa.Dari berbagai contoh yang diutarakan diatas, kita dapat memetik beberapa kesimpulan umum. Yakni, keberadaan eksternalitas negatif dalam konsumsi maupun produksi, mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kualitas lebih banyak dari pada yang diinginkan secara sosial. Sebaliknya, keberadaan eksternalitas positif dalam konsumsi maupun produksi mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kuantitas lebih sedikit dibanding yang diinginkan secara sosial. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu campur tangan dengan melakukan internalisasi eksternalitas melalui pemberlakuan pajak terhadap barang-barang yang mengandung eksternaliatas negatif, serta memberikan subsidi bagi produksi barang-barang yang mengandung eksternalitas positif.

(25)

Kita telah menyimak bahwa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak nonpemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/ organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak nonpemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau “swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada bagian pembahasan berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh pribadi atau swasta (private solutions) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.

A. JENIS-JENIS SOLUSI SWASTA

Inefisiensi pasar akibat eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa diatasi dengan penegakan atau peningkatan standar moral, atau ancaman penerapan sanksi sosial. Coba renungkan, mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah sembarangan? Peraturan resmi yang mengatur tentang sampah memang ada, namun di banyak tempat, peraturan semacam itu tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. Kita tidak mau membuang sampah disembarang tempat juga bukan karena takut dengan peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita mengetahui atau menyadari bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih kanak-kanak, bahwa kita boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian membatasi perilaku dan tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan orang lain. Dalam bahasa ekonomi, ajaran agama itu meminta kita untuk melakukan internalisasi eksternalitas.

Contoh lain solusi swasta, adalah derma atau amal yang seringkali sengaja diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas. Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Organisasi ini mengandalkan

pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota. Hal ini sebagai contoh untuk eksternalitas negatif. Sedangkan untuk eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk yayasan yang menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa.

(26)

maksimal. Dalam kenyataannya, niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah, yang merupakan penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/ jenis usaha sekaligus.

Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah, penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan. Dalam contoh di atas, si petani apel dan si peternak lebah dapat membuat perjanjian kerja sama, agar masing-masing dapat memberikan eksternalitas positif yang optimal, sekaligus menghilangkan eksternalitas negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang terlalu sedikit). Dalam perjanjian itu bisa diatur, berapa banyak pohon yang harus ditanam si petani, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara si peternak. Jika biaya yang dipikul keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur siapa perlu membayar siapa, dan berapa banyak. Melalui kontrak seperti ini, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber darai eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama-sama lebih untung dibanding kalau keduanya

menjalankan usahanya sendiri-sendiri, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain. B. TEORAMA COASE

Sejauh mana solusi swasta tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas ? Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama perumusnya, yakni ekonom Ronald Coase-yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah eksternalitas yang ada diantara mereka, tanpa

menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.

Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut :

Di sebuah kota tinggal seseorang bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama Spot. Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane, tetangga Dick. Dick memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman. Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Jane. Haruskah Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot ?

Pertama-tama, kita perkirakan dahulu seperti apa pemecahan yang dalam secara sosial (untuk semua pihak). Ada dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Dick dengan memelihara Spot, dan berapa kerugian yang harus ditanggung Jane. Jika keuntungannya melebihi kerugiannya, maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan terus memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi gongongan. Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai keuntungannya, maka Dick harus menyingkirkan anjingnya.

(27)

menyingkirkan anjingnya. DICk akan terima tawaran itu, jika uang yang ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara Spot.

Melalui tawar-menawar, Dick dan Jane akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai, maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah eksternalitas yang mereka hadapi. Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Dick dari memelihara Spot adalah $500, sedangkan kerugian Jane bernilai $800. Dalam kasus ini, Jane dapat menawarkan imbalan sebanyak $600, dan Dick dengan senang hati akan menyingkirkan anjingnya. Kedua belah pihak akan lebih sejahtera dibanding sebelumnya, dan pemecahan efisien pun tercipta.

Namun ada pula kemungkinan Jane tidak dapat membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Dick lebih besar dari pada nilai kerugiannya. Misalkan saja, nilai keuntungan Dick dari memelihara Spot ternyata $1.000, sedangkan kerugian Jane akibat gonggongan Spot hanya $800. Jika ini kasusnya, maka tentu saja Dick akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari $1.000, padahal Jane tidak akan mau membayar lebih dari $800. Akibatnya, Dick akan tetap memelihara Spot. Ditinjau dari perhitungan untung-ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.

Semua uraian dalam contoh diatas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa mengganggu-gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Jane harus memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela. Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Jane, atau jika Jane secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketenteraman di rumahnya sendiri.

Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang efisien.

Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat Dick agar menyingkirkan anjingnya. Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane, namun hasil akhirnya tidak akan berubah. Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan sejumlah imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya. Andaikata nilai keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus memelihara Spot.

Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Dick dan Jane tetap berpeluang mencapai kesepakatan. Meskipun demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Jika Dick yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Janelah yang harus memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat. Sebaliknya, jika Jane yang mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan. Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah eksternalitas. Pada akhirnya, Dick hanya akan terus memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa : Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi

(28)

Logika teorema Coase memang meyakinkan, namun tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, kita tahu bahwa pelaku-pelaku ekonomi swasta/pribadi seringkali gagal memperoleh pemecahan yang efisien, atas suatu masalah yang bersumber dari eksternalitas. Teorema Coase ternyata hanya berlaku, jika pihak-pihak yang berkepentingan tidak dihadapkan pada kendala untuk mencapai dan melaksanakan kesepakatan. Itu berarti, peluang kesepakatan memang selalu terbuka, namun hal itu tidak selalu bisa diwujudkan.

Kesepakatan untuk mengatasi persoalan eksternalitas seringkali gagal dicapai, jika pihak-pihak yang terlibat diharuskan menanggung biaya-biaya transaksi. Yang disebut sebagai biaya-biaya transaksi (transaction costs) adalah berbagai bentuk biaya yang harus dibayar, ketika pihak-pihak yang berkepentingan itu tengah menjalani negoisasi atau tawar menawar. Dalam contoh kasus diatas, umpamakan saja Dick dan Jane berasal dari negara berbeda, sehingga bahasanyapun berbeda. Sekedar untuk bernegosiasi, keduanya harus menyewa penerjemah. Kalau sudah begitu, Dick dan Jane akan enggan melakukan negoisasi, apalagi jika biaya sewa penerjemahnya mahal. Dalam kenyataannya, perusahaan-perusahaan seringkali enggan melakukan negoisasi untuk mengatasi eksternalitas diantara mereka, karena mahalnya ongkos jasa pengacara yang menyusun agenda perundingan atau draft kerjasama.

Kesulitan juga muncul pada tahap pelaksanaan atas suatu kesepakatan. Perjanjian damai antara kedua belah pihak yang berperang, seringkali gugur begitu saja dan perang pun kembali pecah. Jadi, bukan saja bisa muncul pada tahap penyusunan kesepakatan, namun juga pada tahap pelaksanaannya. Salah satu sebabnya adalah, ada saja pihak yang meninginkan posisi lebih baik sekalipun kesepakatan sudah ditetapkan. Misalkan saja Dick memperoleh keuntungan senilai $500 dari pemeliharaan anjingnya, sedangkan biaya atau nilai kerugian Jane mencapai $800. Dengan imbalan $500, Dick sebenarnya sudah bisa menyingkirkan anjingnya. Namun ada kemungkinan ia akan berusaha memperoleh imbalan lebih banyak, katakanlah $750, dan Janes mungkin juga akan berusaha menekan jumlahnya, misalnya tidak lebih dari $550. Kesepakatan pun tertunda, dan selama itu pula, kondisi yang tidak efisien (gonggongan anjing) terus berlangsung.

Pencapaian kesepakatan akan semakin sulit, jika jumlah pihak yang terlibat atau berkepentingan lebih banyak. Ini dikarenakan koordinasi antara banyak pihak itu biasanya memakan biaya yang cukup besar. Sebagai contoh, ada sebuah pabrik yang mencemari sebuah danau didekatnya. Polusi ini sangat merugikan para nelayan yang mencari nafkah di danau tersebut. Menurut teorema Coase, jika

terjadinya polusi itu merupakan suatu kondisi yang tidak efisien, maka pemilik pabrik dan para nelayan akan terdorong merundingkan pemecahannya. Jika kita asumsikan bahwa pabrik itu punya hak legal untuk berpolusinya, solusinya bisa berupa pemberian ganti rugi kepada pabrik agar tidak berpolusi. Namun jika jumlah nelayannya banyak, dan masing-masing punya pendapat atau

perhitungan sendiri, maka biaya koordinasinya menjadi begitu mahal, sehingga kemungkinan besar negoisasi antara pabrik dan nelayan tidak dapat dilangsungkan.

Jika penyelesaian swasta gagal, maka pemerintah harus turun tangan. Lagipula, pemerintahan memang merupakan suatu institusi yang sengaja dibentuk, untuk bertindak mewakili kepentingan bersama. Dalam contoh kasus di atas, pemerintah dapat mewakili para nelayan, mengingat mereka sulit bertindak sendiri. Pada bagian pembahasan berikut, kita akan menelaah bagaimana pemerintah dapat mengupayakan pemecahan atas adanya masalah eksternalitas.

(29)

melakukan salah satu dari dua pilihan tindakan yang ada. Pilihan pertama adalah menerapkan kebijakan-kebijakan atau pendekatan komando dan kontrol (command-and-control policies), atau menerapkan kebijakan-kebijakan berdasarkan pendekatan pasar (market-base policies). Bagi para ekonom, pilihan kedua lebih baik, karena kebijakan berdasarkan pendekatan pasar akan mendorong para pembuat keputusan di pasar swasta, untuk secara sukarela memilih mengatasi masalahnya sendiri.A. REGULASIPemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagi contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari pada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.

Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi

merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bermotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus

menghitung segala untung ruginya secara cermat.DiAmerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA, Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.

Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam–macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit didapatkan.

B. PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI

(30)

Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara

keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni :

 Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.

 Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar $50.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.

Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin

penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih tidak beroperasi.Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik

mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.

Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka

perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus

mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong

menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.

(31)

sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.

IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN

Sekarang, mari kita andaikan EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dari pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya 100 ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi $5 juta, dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri?

Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu

perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang

memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan meberinya pendapatan Cuma-Cuma.

(32)

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka). Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.

Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi (artinya perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempurna (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.

(33)

masyarakat dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas, tanpa keterlibatan pemerintah. Menurut teorema Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa biaya), maka mereka akan dapat mencapai kesepakatan bersama, dan melaksanakannya bersama-sama pula

sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien. Namun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya tawar menawar itu. Salah satu diantaranya adalah terlalu banyak pihak yang berkepentingan.Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah

eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa meninggalkan pasar, yakni dengan secara langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi,. Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan melalui penerbitan izin polusi terbatas. Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan upaya internalisasi eksternalitas polusi. Dalam praktiknya, peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar, jika dapat diarahkan secara tepat, dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar.

Perdebatan Tentang Kebijakan Teknologi

Seberapa besar nilai imbasan teknologi itu, dan sejauh manan impili kasinya terhadap kebijakan poemerintah ? ini merupakan pertanyaan yang asngat penting karena dapat mempengaruhi perkembangan teknologi, dimana kemajuan teknologi itu seperti yang kita ketahui bersama merupakan motor pemecu standar hidup manusia dari generasi ke generasi. Namun pertanyaan itu juga rumit sehingga menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya di kalangan ekonom. Sebagian ekonom berpendapat bahwa imbasan teknologi itu sedemikian pentingnya sehingga

pemerintah harus mendukung industri-industri yang menciptakan imbasan teknologi terbesar. Sebagai contoh, seandainya industri mikroprosesos komputer (computer chips) mampu menciptakan imbasan teknologi yang lebih besar dari pada industri kripik kentang (potato chips), maka pemerintah harus mendukung industri yang pertama, misalnya saja dengan memberikan keringanan pajak. Interpensi pemerintah dalam perekonomian yang bertujuan mendukung industri-industri pengembangan teknologi, lazim disebut kebijakan teknologi (technology policy).

(34)

industri yang punya koneksi politik yang kuat, bukannya ke industri- industri yang menghasilkan eksternalitas positif terbesar.

Salah satu bentuk kebijakan teknologi yang paling banyak didukung oleh para ekonom adalah kebijakan perlindungan hak cipta. Hukum paten melindungi hak eksklusif para pencipta atau penemu untuk memanfaatkan sendiri penemuannya, selama jangka waktu tertentu (setelah itu penemuannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas). Disini hukum paten itu dapat dikatakan berfungsi melakukan internalisasai eksternalitas (positif). Dengan memberikan hak cipta (property rights) Kepada setiap perusahaan atas penemuan-penemuan barunya. Perusahaan lain atau siapa saja yang berminat untuk turut memanfaatkan penemuan baru itu harus meminta izin kepada penemunya, dan memebayar sejumlah royalti. Dengan cara ini, hukum paten memberikan insentif lebih besar kepada semua perusahaan, untuk mencurahkan lebih banyak dana dan perhatian untuk menemukan teknologi-teknologi baru yang bermanfaat.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

(35)

DAFTAR PUSTAKA

PENGANTAR TEORI MIKRO EKONOMI, Edisi Kedua, SADONO SUKIRNO

Peter dan Olson, 1996. Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. D. Sihombing (penerjemah). Consumen Behavior. Gelora Aksara Pratama. Jakarta.

buku Case Fair Prinsip-Prinsip Ekonomi Jilid 1 oleh Karl E. Case & Ray C. Fair

Tarumingkeng, Rudy C 2001. Introduction To Philosophy Of Science. IPB Graduate Program. CD ROM, Bogor.

Myles, Gareth D. 1997. Public Economics. University of Exeter. Cambridge University Press.

Pogue, Thomas F. and Sgontz L.G. 1978. Government And Economic Choice And Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company, Boston.Frank, Robert H. 1989. Microeconomics and Behavior, Forth Edition. Irwin Mc. Graw Hills, New York.Guritno M. 1991. Ekonomi Publik, Edis Ketiga. BPFE Yogyakarta.Yakin, Addinul. 1997. Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan. Akademika Presindo.

(36)

Gambar

Gambar 1-3 memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk

Referensi

Dokumen terkait

- Gudang penyimpanan bahan baku dan gudang penyimpanan stock barang jadi dengan areal terpisah dengan pabrik (di depan pabrik). Selain itu, lay out mesin telah diatur dan

= 833.. di atas bahwa diketahui bahwa skor total untuk variabel motivasi berprestasi pada Kedeputian Administrasi sebesar 2565, angka ini masuk dalam kategori Baik.. Variabel

Materi yang diberikan meliputi fasilitas, sarana dan cara penggunaannya serta pengenalan protap asuhan keperawatan dan SOP (Standar Operasional

Mengisi dan menandatangani Formulir Pemesanan Pembelian Obligasi Negara Ritel dari Departemen Keuangan, Formulir Pembelian Surat Berharga Negara, dan Formulir

Di dalam brand community, para anggota merasakan adanya hubungan yang penting dengan merek, namun mereka merasakan hubungan yang lebih kuat antara satu

variabel penjelas: ras (kulit putih, hitam, yang lain); tingkat kemiskinan, perokok atau tidak, peminum atau tidak, usia ibu (saat melahirkan), pendidikan ibu, pemeriksaan

Skripsi berjudul “Pengaruh Prestasi Belajar Kewirausahaan dan Praktek Kerja Industri Terhadap Minat Berwirausaha Siswa Kelas XII SMK Negeri 2 Lumajang Tahun 2012” telah

Saran yang perlu dilakukan dari penelitian ini yaitu identifikasi senyawa aktif dari ekstrak etanol daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme), kemangi (Ocimum sanctum L), dan