• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI

Dalam dokumen PAPER MANAJERIAL PERILAKU KONSUMEN DAN (Halaman 29-35)

Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/ swasta dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung diatas pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari suatu eksternalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigovian tax), mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).

Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara

keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni :

 Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.

 Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar $50.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.

Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin

penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih tidak beroperasi.Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik

mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.

Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka

perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus

mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong

menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.

Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum

sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.

IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN

Sekarang, mari kita andaikan EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dari pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya 100 ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi $5 juta, dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri?

Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu

perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang

memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan meberinya pendapatan Cuma-Cuma.

Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi awal tersebut.

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka). Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.

Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi (artinya perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempurna (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.

Dalam kedua kasus ini, terlepas dari posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dari itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.BAB VI. PENUTUPDalam beberapa kasus, para anggota

masyarakat dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas, tanpa keterlibatan pemerintah. Menurut teorema Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa biaya), maka mereka akan dapat mencapai kesepakatan bersama, dan melaksanakannya bersama-sama pula

sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien. Namun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya tawar menawar itu. Salah satu diantaranya adalah terlalu banyak pihak yang berkepentingan.Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah

eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa meninggalkan pasar, yakni dengan secara langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi,. Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan melalui penerbitan izin polusi terbatas. Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan upaya internalisasi eksternalitas polusi. Dalam praktiknya, peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar, jika dapat diarahkan secara tepat, dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar.

Perdebatan Tentang Kebijakan Teknologi

Seberapa besar nilai imbasan teknologi itu, dan sejauh manan impili kasinya terhadap kebijakan poemerintah ? ini merupakan pertanyaan yang asngat penting karena dapat mempengaruhi perkembangan teknologi, dimana kemajuan teknologi itu seperti yang kita ketahui bersama merupakan motor pemecu standar hidup manusia dari generasi ke generasi. Namun pertanyaan itu juga rumit sehingga menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya di kalangan ekonom. Sebagian ekonom berpendapat bahwa imbasan teknologi itu sedemikian pentingnya sehingga

pemerintah harus mendukung industri-industri yang menciptakan imbasan teknologi terbesar. Sebagai contoh, seandainya industri mikroprosesos komputer (computer chips) mampu menciptakan imbasan teknologi yang lebih besar dari pada industri kripik kentang (potato chips), maka pemerintah harus mendukung industri yang pertama, misalnya saja dengan memberikan keringanan pajak. Interpensi pemerintah dalam perekonomian yang bertujuan mendukung industri-industri pengembangan teknologi, lazim disebut kebijakan teknologi (technology policy).

Ada pula ekonom yang tidak terlalu terkesan dengan ide kebijakan teknologi. Mereka berpendapat bahwa kalaupun imbasan teknologi itu benar-benar ada, keberhasilan kebijakan teknologi masih mensyaratkan pemerintah mampu mengukur besar kecilnya imbasan teknologi itu diberbagai pasar secara akurat. Pengukuran inilah yang menjadi masalah, karena dalam prakteknya sangat sulit dilakukan. Padahal tanpa adanya pengukuran akurat yang akan melandasi industri-industri yang hendak diberi subsidi, pada akhirnya subsidi dari pemerintah itu hanya akan jatuh kesekelincir sektor

industri yang punya koneksi politik yang kuat, bukannya ke industri- industri yang menghasilkan eksternalitas positif terbesar.

Salah satu bentuk kebijakan teknologi yang paling banyak didukung oleh para ekonom adalah kebijakan perlindungan hak cipta. Hukum paten melindungi hak eksklusif para pencipta atau penemu untuk memanfaatkan sendiri penemuannya, selama jangka waktu tertentu (setelah itu penemuannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas). Disini hukum paten itu dapat dikatakan berfungsi melakukan internalisasai eksternalitas (positif). Dengan memberikan hak cipta (property rights) Kepada setiap perusahaan atas penemuan-penemuan barunya. Perusahaan lain atau siapa saja yang berminat untuk turut memanfaatkan penemuan baru itu harus meminta izin kepada penemunya, dan memebayar sejumlah royalti. Dengan cara ini, hukum paten memberikan insentif lebih besar kepada semua perusahaan, untuk mencurahkan lebih banyak dana dan perhatian untuk menemukan teknologi-teknologi baru yang bermanfaat.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Konsumen tergolong aset paling berharga bagi semua bisnis. Tanpa dukungan mereka, suatu bisnis tidak bisa eksis. Sebaliknya jika bisnis kita sukses memberikan pelayanan terbaik, konsumen tidak hanya membantu bisnis kita tumbuh. Lebih dari itu, mereka biasanya akan membuat rekomendasi untuk teman dan relasinya

Dalam dokumen PAPER MANAJERIAL PERILAKU KONSUMEN DAN (Halaman 29-35)

Dokumen terkait