• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN EFEKTIVITAS MERATIFIKASI STATUT YANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN EFEKTIVITAS MERATIFIKASI STATUT YANG"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Masalah ratifikasi adalah merupakan salah satu persoalan penting dan menarik untuk dibahas, oleh karena hal ini berkaitan dengan perjanjian internasional1.

Dikatakan penting karena perjanjian-perjanjian internasional itu adalah merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana yang diformulasikan dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional2. Apabila diartikan, dalam

Konvensi Wina tahun 1969 merumuskan bahwa,3

“Ratification. . . mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty”.

Dalam hal ini ratifikasi adalah merupakan suatu tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuan untuk diikat dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini penulis mengangkat judul “TINJAUAN EFEKTIVITAS MERATIFIKASI STATUTA INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (STATUTA ROMA) DALAM RELEVANSINYA TERHADAP PERADILAN PELANGGARAN HAM BERAT DI RANAH NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL”. Bahwa Indonesia belumlah meratifikasi Statuta International Criminal Court atau Statuta Roma ini, yang merupakan sebuah solusi terhadap kesinambungan kejahatan internasional tanpa hukuman (impunitas). Dalam hal ini, Indonesia merupakan negara yang kerap menyuarakan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah seyogyanya turut serta dalam meratifikasi Statuta Roma ini ditambah lagi Indonesia juga turut serta dalam perumusan Statuta Roma ini. Dalam makalah ini, penulis mencoba merumuskan betapa pentingnya meratifikasi Statuta Roma ini guna tegaknya HAM secara menyeluruh di Indonesia.

BAB II

1 Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional., Armico,Bandung, 1985. Hal. 103

2 Lihat pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional

(2)

PERMASALAHAN

2.1. Rumusan Masalah

1) Bagaimana konsepsi Hak Asasi Manusia dan apa kendala unversalitas Hak Asasi Manusia?

2) Bagaimana penerapan Hukum Internasional kedalam Hukum nasional serta bagaimana politik hukum dalam ratifikasi?

3) Bagaimana tinjauan mengenai Mahkamah Pidana International atau

International Criminal Court dengan berbagai keunggulannya?

2.2. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui mengenai konsepsi Hak Asasi Manusia dan apa kendala unversalitas Hak Asasi Manusia.

2. Untuk mengetahui mengenai penerapan Hukum Internasional kedalam Hukum nasional serta bagaimana politik hukum dalam ratifikasi

3. Untuk mengetahui mengenai tinjauan mengenai Mahkamah Pidana International atau International Criminal Court dengan berbagai keunggulannya.

.

(3)

ANALISA DAN PEMBAHASAN 3.1. KONSEPSI HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Secara historis, konsepsi HAM yang di pakai saat ini merupakan suatu hasil dari sharing idea dari umat manusia. The new encyclopedia Britannica,1992 membagi perkembangan HAM dalam beberapa tahap. Pertama, bahwa pengaruh Romawi, ius gentium begitu besar, khususnya dalam merumuskan hak hak dasar bagi warga negara. Kejayaan Jaman Renaissance yaitu sejak abad ke 13 hingga munculnya perdamaian Whestaphalia 1648 masih merupakan rangkaian romawi.

Ada tiga hal mendasar yang berkaitan dengan HAM sejagad4. Generasi pertama, hak sipil dan politik yang di dukung oleh 160 negara khususnya negara barat yang telah memainkan peranan pengting setelah perang dunia 2. Locke yang lebih menekankan ajarannnya pada hak hak kebebasan individual. Generasi kedua perkembangan HAM mengarah kepada cakupan yang lebih umum, tetapi menekankan hak hak asasi dalam aspek ekonomi, social dan kebudayaan. Generasi ketiga perkembangan HAM ditandai oleh adanya jaringan hak-hak bekerja sama atau solidaritas terutama dalam penanganan persoalan yang melibatkan banya negara. Hal ini terjadi terutama ketika suatu negara mengalami malapetaka dan bencana alam dan peperangan. Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa hak hak dasar kemanusiaan terumus dalam suatu Hukum Internasional ditentukan selain oleh perkembangan sejarah hukum dan pemikiran para filosofi, juga tidak lepas dari perubahan pemahaman mengenai perlindungan terhadap hak hak individu dan kolektif serta masalah-masalah yang berkaitan dengan perlindunga terhadap warisan budaya.

Di Indonesia sendiri, penerapan HAM sangatlah dijunjung. Hal ini terlihat dari Pembukaan UUN NRI 1945 yang menyatakan5 “Bahwa sesungguhnya

kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. . .”. Dalam hal ini, penegakan HAM di

4 Thontowi, Jawahir, SH, P.hd, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press,

Yogyakarta, 2002, hal. 2

(4)

Indonesia haruslah sesuai dengan nilai luruh bangsa Indonesia salah satunya adalah nilai kebersamaan. Konsekuensi dari nilai kebersamaan, jargon atas nama persatuan nasional dan stabilitas (national unity and stability) kekuasaan negara bisa mengurangi atau menekankan hak hak warga sipil6. Sebagaimana sering kali

ditemukan dalam pengalaman di Indonesia bahwa hak hak daar warga negara secara ideal di lindungi UU. Namun seiring dengan karakteristik HAM di asia, pemerintah Indonesia belum mampu sepenuhnya merealisasikan HAM sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional. Penggolongan HAM oleh Muladi kedalam empat pandangan menggambarkan situasi HAM di Indonesia. Pandangan pertama adalah mereka berpandangan universal absolute. Yang melihat HAM sebagai nilai nilai universal sebagaimana terumus di dalam UDHR. Mereka menolak perbedaan tradisi, budaya dan agama bisa membatasi berlakunya HAM Internasional. Pandangan ini melihat HAM Internasional bisa dijadikan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu negara itu telah mematuhi kesepakatan itu. Pandangan kedua berpendapat bahwa HAM itu universal relative. Artinya HAM tetap universal akan tetapi mengakui adanya pengecualian-pengecualian tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 Piagam HAM dunia. Ketiga mereka berpandangan partikularistik absolute. Mereka melihat bahwa ham sebagai persoalan masing-masing bangsa tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap dokumen-dokumen internasional. Pandangan keempat berpandangan bahwa HAM bersifat partikularistik relative. Artinya mereka memandang HAM disamping sebagai masalah yang universal juga merupakan masalah masing-masing negara7.

Indonesia menganut pandangan yang terakir dengan berusaha mencari titik dialogis dan ketiga pandangan sebelumnya. Mengapa Indonesia cenderung menerapkan pandangan yang terakhir tidak lain karena Indonesia memiliki suatu latar

6 Thontowi, Jawahir, SH, P.hd, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press,

Yogyakarta, 2002, hal. 10

(5)

belakang sejarah, social, budaya dn politik yang berbeda. Asas2 lokal nasional seperti kebersamaan dan nilai ideologis pancasila dan UUD 1945 harus tetap dipertimbangkan.

2.1.1 KENDALA UNIVERSALITAS HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Pengembangan dan perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia untuk semua orang diseluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi8.

Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya Perbedaan-perbedaan konsepsional dalam perumusan Hak-Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, juga terdapat kesukaran-kesukaran dibidang ekonomi dan sosial bagi banyak negara sehingga menjadi penghalang bagi pelaksanaan kategori tertentu Hak-Hak Asasi Manusia. Kesukaran lainnya lebih bersifat teknik terutama karena tidak meratanya ratifikasi dari konvensi-konvensi yang berlaku.

2.2 PENERAPAN HUKUM INTERNASIONAL KEDALAM HUKUM

NASIONAL

Kaum positivis telah mengemukakan pendapatnya bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsung dan ex proprio vigore diberlakukan didalam lingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun; untuk memberlakukannya, kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus (specific adoption) oleh, atau incorporasi khusus kedalam, hukum nasional.9

Menurut teori hukum positivis Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda. Secara struktural, sistem yang pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum nasional kecuali sistem yang disebut

8 Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2001:hal. 614.

9 JG, Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafka, Jakarta, 2001: Hal.

(6)

terakhir ini suatu sistem yang sepenuhnya logis, memperkenankan perangkat konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut.

Dalam hal tersebut oleh Triepel berusaha membuktikan bahwa Hukum Internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada Hukum Internasional10.

Pendapat beliau memperlihatkan bahwa hukum Internasional sudah seharusnya apabila sudah sesuai dengan asas keadilan internasional sudahlah sepatutnya penerapan pada suatu negara tersebut. Maka, Pengesahan-pengesahan Instrument-Instrumen Internasional Hak-Hak Asasi Manusia akan memperkuat dan mengembangkan perangkat-perangkat hukum pada tingkat nasional sebagai upaya untuk menjamin pemajuan dan perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia secara lebih baik.11

2.2.1. Politik Hukum

Tiada negara tanpa politik hukum12. Politik hukum menurut Bagir Manan, ada

yang bersifat tetap (permanen) ada yang bersifat temporer. Yang tetap berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu mejadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain13:

(1) Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia; (2) Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi pancasila dan UUD 1945; (3)Tidak

10 Kesumaatmadja, Muchtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

Alumni, Bandung, 2003:hal. 50

11 Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2001: hal. 624.

12 M. Aff Hasbullah, Politik Hukum Ratifksi Konvensi HAM di Indonesia, Unisda

Lamongan, Jatim, 2005:hal. 11

13 Bagir Manan, politik hukum otonomi sepanjang peraturan perundang-undangan

(7)

ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warganegara tertentu berdasarkan suku, rasa tau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa; (4)Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat; (5)Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai sub sistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat; (6)Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; (7)Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas hukum dan konstitusi.

Politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu kewaktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori hal-hal seperti penetuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan colonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.

2.3 MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL ATAU INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)

MPI merupakan suatu lembaga pengadilan internasional yang bersifat permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian intenasional dan merupakan pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional14. MPI atau ICC

merupakan suatu lembaga peradilan pidana pada tingkatan intrnasional yang sangat penting bagi eksistensi HAM dalam kehidupan masyarakat internasional kedepan. Sederhananya, MPI atau ICC, selanjutnya disebut Mahkamah, dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga peradilan pidana internasional yang bersifat permanen dan independen yang bertujuan untuk menjalankan dan mencapai peran, fungsi, dan tujuannya sesuai dengan Statuta Roma yang di sahkan pada tanggal 17 juli 1998.

14 lihat juga article 1 dari Rome Statute of the International Criminal Court di

(8)

Geoffrey Robertson QC memandang bahwa: Gagasan pengadilan pidana internasional sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1937 oleh LBB. Waktu itu, dibuat Konsep Rancangan Statute untuk mengadili para teroris internasional. Setelah pengadilan Nuremberg dan Tokyo digelar, PBB menyinggung sepintas mengenai dibentuknya suatu “Pengadilan Hukuman Internasional” dalam Konvensi Genosida 1948. Rancangan-rancangan statute kemudian dibuat beberapa tahun setelahnya oleh Komisi Hukum Internasional15.

2.3.1. SEBAB DIBUTUHKANNYA MPI 1. hukum yang lumpuh

Pada tataran internasional, jauh sebelum berdirinya Mahkamah sebagai lembaga resmi internasional, oleh negara-negara telah dibuat dan dihasilakan berbagai hukum yang berupa perjanjian multilateral dan kebiasaan-kebiasan yang ditujukan bagi perlindungan HAM dan pelarangan terhadap pelanggarannya. Semua fakta historisnya, jangankan penegakan secara objektif, keinginan dan kemampuan untuk menerapkan dan menegakkannya seringkali sangat tidak memadai dan layak untuk dipertanyakan. Masyarakat internasional pada umumnya selalu tidak mau dan atau secara keseluruhan tidak mampu untuk melakukan penegakan secara efektif dan objektif berbagai aturan-aturan Hukum Internasional yang telah ada dan disepakati. Atau setidak-tidaknya, di dalam praktiknya terdapat suatu keengganan berbasiskan kepentingan kepentingan nasional yang sangat pragmatis dikalangan komunitas internasional. Dengan demikian akibatnya bagi berbagai aturan-aturan di tataran internasional tersebut telah eksis suatu kelumpuhan hukum pada tataran internsional.

2. KESULITAN-KESULITAN POLITIS DAN LEGAL

Secara empiris bila ditelusuri dan dicermati dengan teliti dan baik, dapat dilihat bahwa sedari dulu telah terdapat kesulitan-kesulitan kompleks tertentu didalam lapangan politik dan hukum yang dialami oleh masyarakat 15 kejahatan terhadap kemanusiaan: perjuangan untuk mewujudkan keadilan

(9)

internasionaldalam mendirikan suatu lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen dan independen. Untuk lebih jelasnya mengenai kesulitan-kesulitan tadi, mari simak tulisan Roy S. Lee yang menyatakan bahwa ada dua alasan bersifat politis dan legal penyebab kebuntuan 50 tahun bagi majelis umum PBB dalam mendirikan mahkamah. Pertama, pokok persoalannya adalah realita penuntukan dan penegakan hukum (nasional) yang pada umumnya selalu sangat mengutamakan kedaulatan penguasa negara. Menurut sistem-sistem hukum dunia yang ada, pengadilan-pengadilan nasional memiliki yudisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan didalam wilayah mereka masing-masing, tanpa memandang siapapun pelakunya. Kemudian, hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan aturan-aturan hukum nasional mereka dan dilakukan oleh pengadilan mereka sendiri, kemudian para terpidana harus menjalani hukuman mereka di penjara negara yang bersangkutan. Yurisdiksi nasional ini telah berlaku dan dipraktikkan secara terus menerus di dalam semua situasi dan kondisi. Kedua, pokok persoalannya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana individu terhadap kejahatan-kejahatan paling serius, dan karenanya berkaitan sangat erat dengan orang-orang yang mungkin secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pembuatan atau pelaksanaan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tindakan-tindakan militer atau bersifat kemiliteran. Deparetemen-departemen penting pemerintah, termsuk pertahanan, kehakiman dan cabang-cabang eksekutif tersebut, karenanya memiliki kepentingan tertentu dalm hal ini, meskipun pandangan-pandangan dan perhatian-perhatian mereka mungkin sangat berbeda atau berlainan. Semua faktor-faktor ini telah membuat pokok permasalahan ini menjadi benar-benar kompleks dan sangat sensitive.16

Sementara Tujuan Institusional mahkamah ini adalah untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku-pelaku tindak kejahatan HAM dan kemudian memberikan andil bagi pencegahan terjadinya tindak-tindak kejahatan HAM tersebut serta menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya kadilan internasional. 16 Hasiolan, Erikson, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan

(10)

Kemudian tujuan selanjutnya adalah untuk menudukung pencapaian tujuan dan prinsip piagam PBB. Semuanya ini sesuai dengan penegasan-penegasan Pembukaan Statuta Roma17. Bila ditijau dari kedudukan MPI ini,sebagaiman Mahkamah

Internasional yang bermarkas di Den Haag, MPI juga bermarkas dikota yang sama . mengenai pengadaan kantor pusat ini dilakukan melalui mekanisme perjanjian dengan negara tuan rumah yang selanjutnya disahkna oleh Ketua Mahkamah atas nama Majelis tersebut. Mahkamah juga dapat bersidang disuatu tempat lain jika diperlukan, sebagaimana ditetapkan damlam statute ini dalam pasal 318.

2.3.2 STATUS HUKUM dan KEKUASAAN MAHKAMAH

Kepribadian hukum internasional (international legal personality) merupakan syarat paling utama yang harus melekat pada suatu Lembaga Internasional dan harus dimiliki untuk dapat dianggap dan disebut sebagai suatu organisasi internsional yang mandiri. Sebgaai pribadi hukum internsional yang mandiri, organisasi internsional dapat memiliki hak-jak maupun memikul kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional19.

Sedangkan yurisdiksinya, MPI memiliki yurisdiksi yang terbatas hanya pada kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan20. Mahkamah memiliki yurisdiksi berdasarkan statute Roma atas kejahatan genosida, kejahatan tehadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Mengenai hal ini, yang selanjutnya diatur dalam pasal 5 Statuta

17 Lihat bagian preamble dari Rome Statute of the International Criminal Court,

op.cit.

18 Lihat Rome Statute of the International Criminal Court, op.cit.

19 I wayan parthiana, Pengantar Hukum Internasional, bandung, Mandar

maju,1990,hal105

20 Hasiolan, Erikson, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan

(11)

Roma21. Dan mengenai sumber hukum yang dipakai, utamanya, MPI menggunakan

atau memakai Satuta Roma, (ketentuan mengenai) elemen-elemen kejahatan dan hukum acara dan pembuktian sebagai titik pangkal atau acuan pokok dalam menjalankan fungsi-fungsi dan perannya. Hai ini terdapat pada pasal 21 statuta Roma22. Prinsip-prinsip hukum pidana internasional dalam konteks Statuta Roma

1998. Ada 12 prinsip umum hukum pidana internasional yang ditegaskan di dalam traktat multilateral pendirian “ICC” atau MPI ini, yakni: (1) Nullum crimen sine lege, (2) Nulla poena sine lege, (3) Non-retroactivity ratione personae, (4) Individual criminal responsibility, (5) Exclusion of jurisdiction over persons under eighteen, (6) Irrelevance of official capacity, (7) Responsibility of commanders and other superior, (8) Non-applicability of statute of limitations, (9) Mental element, (10) Grunds for excluding criminal responsibility, (11) Mistake of fact or mistake of law, (12) Superior orders and prescription of law.

BAB IV PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

1. Secara historis, konsepsi HAM yang di pakai saat ini merupakan suatu hasil dari

sharing idea dari umat manusia. The new encyclopedia Britannica,1992 membagi perkembangan HAM dalam beberapa tahap. Yaitu kedalam tiga generasi. Dan oleh Muladi perkembangan HAM dibagi kedalam 4 bagian.

21 Lihat Rome Statute of the International Criminal Court, op.cit.

(12)

2. Kaum positivis telah mengemukakan pendapatnya bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsung dan ex proprio vigore diberlakukan didalam lingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun; untuk memberlakukannya, kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus (specific adoption) oleh, atau incorporasi khusus kedalam, hukum nasional. Menurut teori hukum positivis Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda.

3. MPI merupakan suatu lembaga pengadilan internasional yang bersifat permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian intenasional dan merupakan pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional. Sederhananya, MPI atau ICC, selanjutnya disebut Mahkamah, dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga peradilan pidana internasional yang bersifat permanen dan independen yang bertujuan untuk menjalankan dan mencapai peran, fungsi, dan tujuannya sesuai dengan Statuta Roma yang di sahkan pada tanggal 17 juli 1998. Dibutuhkannya MPI adalah sebab hukum yang lumpuh dan kesulitan-kesulitan politis yang legal.

4. MPI memiliki yurisdiksi yang terbatas hanya pada kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Mahkamah memiliki yurisdiksi berdasarkan statute Roma atas kejahatan genosida, kejahatan tehadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dan mengenai sumber hukum yang dipakai, utamanya, MPI menggunakan atau memakai Satuta Roma, (ketentuan mengenai) elemen-elemen kejahatan dan hukum acara dan pembuktian sebagai titik pangkal atau acuan pokok dalam menjalankan fungsi-fungsi dan perannya.

(13)

Untuk Indonesia yang menjungjung tinggi HAM sudah seyogyanya meratifikasi Statuta International Criminal Court (Statuta Roma) yang dapat mendorong tegaknya peradilan HAM di ranah nasional maupun internasional. Merupakan langkah awal yang baik bagi Indonesia dalam pelaksanaan RANHAM, namun kini terlihat tidak ada kemajuan sejak RANHAM didirikan dimasa Presiden Megawati. Maka, adalah hal yang sudah dinanti masyarakat Indonesia terhadap penindaklanjutan untuk meratifikasi Statuta Roma ini di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional., Armico,Bandung, 1985.

Thontowi, Jawahir, SH, P.hd, Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press, Yogyakarta, 2002.

Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2001.

JG, Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

(14)

M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifiksi Konvensi HAM di Indonesia, Unisda Lamongan, Jatim, 2005.

Bagir Manan, politik hukum otonomi sepanjang peraturan perundang-undangan pemerintah daerah, dalam martin hutabarat dkk. (ed.), Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, cetakan pertama, pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Hasiolan, Erikson, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor-Timur, Tatanusa, Jakarta,2006.

I wayan parthiana, Pengantar Hukum Internasional, bandung, Mandar maju,1990.

Goldstone, J.R and Ada M. Smith. International Judicial Institutions: The

Architecture of international justice at Hoe and Abroad. 2009. The CUNY Graduated Center: University Of Manchester, UK: New York, USA. Muladi:1996:halaman 113-120

kejahatan terhadap kemanusiaan: perjuangan untuk mewujudkan keadilan global, terjemahan, KOMNAS HAM, Jakarta, KOMNAS HAM, 2002.

Statuta Mahkamah Internasional Konvensi Wina 1969

UUD NRI Tahun 1945

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa bivariat menunjukkan kondisi lingkungan pemukiman yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang antara lain kondisi dinding dapur bukan tembok,

³%DKZD SHUOX GLDGDNDQ Undang-Undangtentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan sehingga khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa sekalipun pasien telah diberikan informasi secara memadai namun harus ada pendamping agar dapat membentuk dan mengambil keputusan

Pembiayaan Pengelolaan Drainase Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dibebankan kepada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Kota, Badan Usaha

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa pengetahuan dosen Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas seperti yang tergambar pada tabel 1 bahwa diantara

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan Bahasa Jurnalistik pada Intro feature di Surat Kabar Harian Pagi Riau Pos Edisi Januari s/d April 2013

Karakter kelapa ini menunjukkan potensi yang besar untuk dimanfaatkan dalam program pengembangan kelapa ke depan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui