• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI ISLAM DAN NEGARA MENURUT MUHAMMAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI ISLAM DAN NEGARA MENURUT MUHAMMAD"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI ISLAM DAN NEGARA

MENURUT MUHAMMAD SA’ID AL-ASYMAWI

1

A. Prawacana

Lahirnya penafsiran dan pemahaman yang beraneka ragam terhadap agama tidak bisa lepas dari tarik-menarik pendapat tentang posisi transedental wahyu al-Qur'an yang bersifat abadi, kekal dan salīh li kulli zamān wa makān. Namun bagi umat Islam, agama secara tradisional telah menjadi landasan serta pusat identitas, kesetiaan dan pengabdian terdalam. Karena itu, tidak mengherankan jika gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling signifikan dalam sejarah Islam kontemporer selalu menempatkan Islam sebagai kekuatan pendorong dan basis kohesi internal.

Pada level cita-cita kolektif, kuat tertancap keyakinan kalangan umat Islam tentang kesatuan agama dan negara. Pesona untuk Islamisasi Pemerintahan telah menjadi pesona yang menyala-nyala, karena Islam diyakini sebagai agama yang integral dan konprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tidak ada aspek dari keseharian umat Islam yang bisa lolos dari jangkauan agama. Obsesi demikian agaknya sulit untuk ditekan-tekan, mengingat Islam masih tetap merupakan kriteria paling tinggi untuk identitas dan loyalitas kelompok. Islam-lah yang membedakan antara diri sendiri dengan orang lain, antara saudara dengan orang asing, antara hitam dan putihnya suatu masalah.

Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya. Dua buah institusi ini merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat khususnya yang ada dalam wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat vital karena berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya, yang mana agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran (justifikasi) dalam setiap langkah kehidupan, baik itu interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber agama tersebut. Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai kewenangan dalam memaksakan setiap aturan yang dibuatnya pada masyarakat itu. Di sini bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan masyarakatnya (agama) tetapi bisa juga apa yang ditetapkan negara itu berlawanan atau tidak sejalan dengan agama tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh sebuah negara tersebut, yang kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara. Persinggungan antara agama dan negara menimbulkan suatu hubungan yang kadang-kadang saling menguntungkan dan bisa jadi saling mencurigai dan bahkan bisa juga saling menindas.

Secara garis besar para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik.2

1

Disampaikan dalam diskusi bersama Urang Sakaum ‘Surau Tuo’ Yogyakarta, Tanggal 1 April 2008

2

Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia

(2)

Pertama, Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan bahwa Agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Karena agama dan negara menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang menaati segala ketentuan dan peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat kepada agama, begitu juga sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama maka otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh penguasa tentu saja sangat potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini. Kepala negara merupakan “penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa saja dan menabukan perlawanan rakyat.

Kedua, Paradigma Simbiotik. Dalam paradigma ini agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang, sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.3

Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas negara dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu.4

Banyak upaya yang telah dilakukan para ulama dalam rangka pencarian konsep tentang relasi Islam dan negara, pada dasarnya mengandung dua maksud.5Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan, “Bagaimana bentuk negara Islam?“. Pendekatan ini bertolak dari suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?“. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar tentang etika dan moral.

Walaupun kedua maksud tersebut berbeda dalam teroritisasi pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik dalam upaya menemukan formulasi koherensi yang tepat antara keduanya. Dengan demikian, dalam proses pencarian konsep negara dan hubungannya dengan agama, para pemikir politik Islam berhadapan dengan dua tantangan yang saling tarik-menarik, yaitu tantangan realitas politik yang harus dijawab dan tantangan idealitas agama yang harus

3

Ibid., hlm. 24-26.

4

Ibid., hlm. 28.

5

(3)

dipahami.6 Dengan begitu, perbedaan konsepsi diantara mereka lebih banyak berada pada tataran metodologis, yang pada giliran berikutnya menentukan perbedaan substansi pemikiran.

Pada era kontemporer, anggapan para pemikir politik Islam mengenai pemerintahan, paling tidak mengerucut kedalam tiga kelompok. Pertama, Kelompok Konservatif, yang berasumsi bahwa Islam adalah entitas yang serba lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya tinggal mempraktekkan secara konsekuen dan bertanggungjawab, kapan dan dimanapun mereka berada. Sistem pemerintahan dan politik yang digariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan empat al-Khulafā’ ur-rasyidīn.

Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi kedalam dua aliran yakni tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dan tokoh sentral dari kalangan ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-Maududi adalah salah satu tokoh utamanya. Kedua, Kelompok Modernis. Kelompok ini memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara tokoh kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad As’ad. Ketiga, Kelompok Sekuler. Yang memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd ar-Raziq.7

Terlepas dari segala perbedaannya, ketiga kelompok ini sama-sama berusaha merespon tantangan sistem politik dan pemerintahan barat, seperti Nasionalisme, Demokrasi, Liberalisme dan sebagainya, serta nilai-nilai dasar yang melatarinya seperti persamaan, kebebasan, pluralisme dan sebagainya. Respons mereka bisa berupa penolakan total, penerimaan seratus persen atau penerimaan dengan penyesuaian disana-sini. Kelompok pertama (konservatif), misalnya, menolak sistem politik barat. Kelompok kedua (modernis) menerima secara selektif atau dengan penyesuaian tertentu. Sedang kelompok ketiga (sekuler) menerima dengan sepenuhnya.8

B. Tokoh dan Pemikirannya

Muhammad Sa’id al-’Asymāwī dilahirkan pada tahun 1932 (1351 H) di Mesir. Setelah menyelesaikan kuliahnya dari Pada 1978 dia menjabat hakim Mahkamah Mesir dan kemudian menjadi ketuanya. Kariernya terus melejit hingga menjadi Ketua Mahkamah Pidana dan Ketua Mahkamah Keamanan Negara, sebuah pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus subversif dan perlawanan terhadap negara. Jabatan yang terakhir kali dia pegang adalah

6

M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam“, dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 52.

7

Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afkar, No. 7, Th. 2000, hlm. 103.

8

(4)

anggota Kejaksaan Agung Mesir dan pensiun pada Juli 1993. Berikut adalah beberapa point penting yang menggambarkan pemikiran Asymawi :

Pertama, Menurut ‘Asymāwī baik al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW tidak memuat satu ayat pun atau hukum tentang pendirian negara atau pemerintahan. Hal ini adalah hal yang wajar, sebab pada dasarnya agama tertuju pada manusia dan pengangkatan harkatnya. Agama pada kodratnya melampaui wilayah geografis dan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan Islam yang benar, tegas ‘Asymāwī adalah sistem yang mementingkan manusia dan bukan sistem yang terpaku pada teks. Sistem yang muncul dan bersumber dari realitas masyarakat dan kehendak generasinya, dan berjalan di atas partisipasi setiap individu dalam tanggung jawab pemerintahan. Sistem yang mengikuti perkembangan dunia, mengadopsi prinsip agung kebebasan (hurriyah), keadilan (‘adalah), persamaan (musawah), dan konsen kepada kemanusiaan (humanistik), mengakomodir kaedah-kaedah pemerintahan dan administrasi paling bermutu, mengadopsi sistem pendidikan dan pengajaran paling bagus, dan menerapkan sistem pemerintahan dunia yang paling baik dan paling sesuai dengan kondisi lingkungan, tabiat masyarakat, dan kebenaran nilai-nilainya.

Kedua, ‘Asymāwī membagi bentuk pemerintahan dalam Islam menjadi dua yaitu: Pemerintahan Allah (hukūmah Allāh) dan Pemerintahan Manusia (hukūmah an-Nās).

Pemerintahan Allah adalah pemerintahan yang otoritas dan kekuasaannya hanya dimiliki oleh Allah SWT. Allah-lah penguasa tunggal (al-Hakim al-Wahid) bagi masyarakat, baik secara langsung, yakni dengan menetapkan hukum, maupun tidak langsung, yaitu melalui firman-Nya “umirtum” (kalian diperintahkan), melalui wahyu al-Qur’an, maupun wahyu dalam hadis Nabi. Ciri-cirinya adalah: (1) Allah yang memilih penguasa/pemimpin untuk pemerintahan-Nya dan senantiasa membimbing dan mengontrolnya dengan wahyu. (2) pemerintahan Allah adalah pemerintahan arbitrasi (hukūmah tahkīm), dan bukan pemerintahan hukum (hukūmah hukm).

(3) musyawarah (syurā) dalam pemerintahan Allah merupakan perbuatan yang disukai Nabi, namun bukan sebuah kewajiban/keharusan bagi Nabi, sebab Nabi memerintah dengan petunjuk Tuhan. (4) hak-hak penguasa dalam pemerintahan Allah tidak dapat diwarisi oleh siapapun. Sedang pemerintahan manusia adalah seluruh bentuk pemerintahan selain pemerintahan Allah. Pemerintahan manusia terbentuk oleh keadaan sosial, faktor-faktor ekonomi, dan kontestasi kekuatan yang ada di dunia. Pemerintahan manusia bisa berupa pemerintahan kaum bangsawan atau elit terdidik (aristokrasi), pemerintahan beberapa orang dari kelompok/golongan tertentu (oligarki), pemerintahan rakyat (demokrasi), pemerintahan agama (teokrasi), ataupun pemerintahan seorang tiran (dictatorship).

(5)

Keempat, ‘Asymāwī dapat digolongkan kepada kubu Modernis, dengan beberapa indikasi diantaranya:

1. Islam tidak pernah menentukan sistem pemerintahan yang definitif.

2. Islam hanya menyediakan metode (manhāj) atau jalan (at-tharīq) bagi bentuk pemerintahan, ia senantiasa berproses untuk mengarahkan manusia pada kemajuan, spirit

(rūh) yang selalu menghasilkan aturan-aturan baru dan interpretasi-interpretasi modern yang progresif, serta gerakan (harakah) yang terus membawa manusia pada orientasi yang benar dan mulia.

3. Sistem pemerintahan itu haruslah sistem yang bersumber dari kehendak jaman, berjalan atas partisipasi setiap individu-individu, terus mengadopsi sistem-sistem/tata aturan terbaik dan menghormati kemanusiaan.

4. Pembedaan yang tegas antara Pemerintahan Allah (hukūmah Allāh) dan Pemerintahan Manusia (hukūmah an-Nās).

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, menurut hemat penulis, wilayah studi Islam dan Negara masih sangatlah luas karena masih banyaknya problem yang terdapat di kedua ranah tersebut. Selain itu karena umat Islam adalah umat pilihan (khalifah fil ard’) harus bisa memposisikan sebagai pemersatu umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai derajat yang mulia di sisi-Nya. Oleh karenanya dalam studi terhadap relasi Islam dan Negara tidak boleh dilakukan dengan asal dan tidak menyeluruh, tanpa melihat kepada sisi historisitas-nya. Terlebih apabila kita dihadapkan kepada konteks kekinian

(postmodernisme) yang tanpa batas.

Referensi

Dokumen terkait

Jika cairan yang terdiri dari dua bahan volatil dipanaskan, uap yang dihasilkan akan mengandung konsentrasi yang tinggi dari bahan yang memiliki titik didih lebih rendah

Program KJS dalam penentuan kelompok sasaran menggunakan administrative targeting yang mendasarkan pada karakteristik tertentu (characteristic administrative

Hassen go hyaku shi juu roku man kyuu hyaku hachi juu nana db. Hassen go hyaku shichi juu roku man kyuu hyaku juu

Nilai ROE yang menurun pada tahun 2014 dari tahun 2013 yang diikuti dengan nilai ROE yang sama pada tahun 2015 menunjukkan bahwa PT.TOTL tidak mampu menghasilkan laba bersih

Pada hasil penelitian didapatkan kadar hs-CRP secara signifikan lebih tinggi (p=0,02)pada kelompok pasien PP baik dengan demensia maupun tanpa demensia dibanding kelompok kontrol

Seluruh dosen Program Studi IPAI, yang telah memberikan bantuan serta arahan. selama penulis menempuh pendidikan

Penganalisaan penulisan meliputi kapasitas daya dukung dan kemampuan pondasi dalam memikul beban struktur, serta besarnya settlement yang terjadi sebagai pengaruh dari

Penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta, khususnya hak cipta karya sinematografi, belum secara jelas diatur, hal ini disebabkan budaya hukum masyarakat Indonesia yang