• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marhaenisme Sebagai Marxisme Ala Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Marhaenisme Sebagai Marxisme Ala Indones"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MARHAENISME SEBAGAI MARXISME ALA INDONESIA1 Oleh: Pandu Yuhsina Adaba2

Pengantar

Kategori Marhaen diajukan oleh Bung Karno tahun 1923, tercatat di DBR (Djilid 1) melalui chapter marhaen dan proletar, kemudian diulangi lagi dalam pidato Lahirnya Pancasila3. Secara sederhana Marhaen adalah kaum melaratnya Indonesia.4 Hal ini kemudian dianggap kontradiktif dengan model analisa kelas bebasis kepemilikan alat produksi seperti yang sering digunakan oleh analisis Marxian. Kenapa kontradiktif? Karena dalam kategori Marhaen tercakup unsur-unsur pemilik faktor produksi dalam jumlah kecil seperti tani, nelayan, tukang becak, tukang sayur, dan lain-lain. Pemisahan kelas berdasarkan analisis Marxian adalah dengan melihat kepemilikan faktor produksi, sementara Marhaen seolah tidak setegas itu dalam mendikotomi elemen penyusun masyarakat. Maka jika dilihat dari sudut pandang ini, pemikiran Bung Karno (yang dalam beberapa tulisannya mengakui dirinya adalah seorang pengagum pemikiran Karl Marx) seolah mengandung kontradiksi:

1. Marhaenisme adalah marxisme (salah satu poin penting marxisme adalah analisa kepemilikan faktor produksi) yang diterapkan dalam sikon Indonesia

2. Marhaen bisa punya alat produksi, tapi proletar (yang tidak punya alat produksi) termasuk marhaen.

Dari dua poin diatas kemudian banyak orang yang bingung soal bagaimana pandangan marhaenis terhadap kepemilikan faktor produksi? Pertanyaan ini menjadi hantu yang bergentayangan menteror para pengkhotbah marhaenisme. Tentu masih dibutuhkan serangkaian upaya untuk menemukan jawaban valid atas pertanyaan ini.

Di sisi lain, ada kesalahan yang cukup mengkhawatirkan. Seringkali pemikiran Bung Karno direduksi sebatas pada slogan/jargon nasionalisme, padahal sebenarnya marhaenisme bukan sekedar soal nasionalisme. Pandangan sempit seperti ini berpotensi menimbulkan kesalahan chauvinistik: pembelaan membabi buta terhadap segala sesuatu yang berbau “nasional” termasuk kapitalis nasional maupun komprador dari kalangan pribumi. Seringkali kesalahan chauvinistik seperti ini berakhir pada slogan kosong semacam “NKRI Harga Mati”5 yang jika ditarik ke level landasan maupun definisi

1

Disusun sebagai Materi Diklat Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) GMNI Komisariat Fisipol UGM tahun 2013.

2 Kader GMNI Komisariat Fisipol UGM angkatan 2006. Kepala Biro Penguatan Kader GMNI Komisariat

Fisipol Perode 2007-2008. Pendiri penerbitan pers mandiri sayap organisasi GMNI Komisariat Fisipol UGM “PRIBOEMI”. Pegiat Penelitian Sosial.

3 Soekarno (1945), Lahirnya Pantjasila, Pidato di Sidang BPUPKI Tanggal 1 Juni 1945. Arsip pribadi RM

AB Kusuma yang dimuat dalam: AB Kusuma (2010), Lahirnya UUD 1945, Jakarta, Fakultas Hukum UI.

4 Soekarno (1964), Marhaen dan Proletar dalam: Di Bawah Bendera Revolusi (Djilid 1), Jakarta, Panitya

Pembina Jiwa Revolusi. Hal 253.

5 Saya secara pribadi memandang bahwa slogan “NKRI harga mati” ini adalah justru yang dikhawatirkan

(2)

operasionalnya ternyata tidak ditemukan jawaban yang jelas. Resiko lain dari pandangan sempit ini adalah potensi munculnya sikap xenophobia yaitu sikap anti terhadap segala sesuatu yang berbau “asing” secara membabi-buta.

Kontradiksi seperti ditunjukkan tersebut seringkali berujung tuduhan bahwa marhaenisme adalah pandangan yang kontradiktif, jargonistik, dan inkonsisten sehingga dengan sendirinya menjadi tidak relevan untuk diperjuangkan lagi. Jawaban tentang hal ini? seringkali kita sebagai marhaenis gagal merumuskan jawaban, dan menurut saya ini disebabkan oleh beberapa hal:

1. Menganggap pikiran Soekarno adalah dogma yang harus ditelan mentah-mentah serta tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Kesalahan ini menyebakan adanya kesalahan kedua yaitu:

2. Kegagalan kita memberikan tafsir kreatif terhadap pemikiran Soekarno tersebut membuat pemahaman kita atas marhaenisme menjadi statis sehingga marhaenisme menjadi tidak up to date lagi ketika berhadapan dengan perubahan jaman.

Dari poin ke 2 itu maka kita harus menafsirkan ajaran Soekarno secara kreatif sehingga benalu dogmatis (pada poin 1) otomatis menjadi batal. Tafsiran yang kreatif ini tentu bukan tafsiran yang asal aneh, namun harus didasari oleh perenungan mendalam maupun pemahaman-pemahaman baru yang muncul seiring perjalanan jaman yang tentunya diikuti pula dengan beberapa perubahan sosial. Kita harus mengkontekskan kembali pemikiran-pemikiran Soekarno ini ke dalam realitas jaman yang terus berubah.

Kita akan memulai paparan ini dengan berupaya menjawab pertanyaan: Perjalanan pemikiran seperti apa yang dialami Soekarno sehingga menghasilkan pemikiran model marhaenisme ini? Untuk menjawab hal itu (dimana ini merupakan dialog antara marxis dan marhaenis) kita perlu menengok terlebih dahulu pokok-pokok pikiran Marx sebagai pendahuluan. Tentu uraiannya akan tidak menangkap keseluruhan pemikiran Karl Marx melainkan hanya beberapa poin saja yang kemudian terkait dengan sikon yang melandasi lahirnya pemikiran Marhaenisme. Hal ini perlu untuk memudahkan kita memahami sistematika berpikir Marxian dengan model Materialisme Dialektik Historis (MDH).

Tentang Materialisme

Pandangan Materialisme ini BUKANLAH seperti yang sering kita dengar saat ini mengenai “sikap yang mementingkan mengejar materi” atau dalam istilah gaulnya

(3)

Pandangan Materialis adalah pandangan yang menyatakan bahwa kenyataan yang nyata adalah materi itu sendiri, bukan sekedar pantulan inderawi dari otak manusia. Dalam hal ini pandangan materialisme memang berlawanan dengan pandangan idealisme. Apa itu pandangan idealisme? Pandangan idealisme menganggap kenyatan hanya merupakan pantulan/citra yang berhasil ditangkap oleh otak manusia lewat proses penginderaanya. Ringkasnya, kenyataan adalah kesadaran manusia itu sendiri. maka kemudian muncul istilah “aku berpikir maka aku ada”. Kenyataan dalam pandangan idealis adalah kenyataan subjektif – psikologis.6

Sebagai lawan dari Idealisme, Materialisme berkeyakinan bahwa yang senyatanya ada adalah materi itu sendiri. Materi bisa ada tanpa ada pengetahuan manusia tentangnya. Sebagai ilustrasi misalnya sebuah ponsel bisa tetap ada tanpa ada manusia yang melihatnya. Contoh lain misalnya, gravitasi tetap ada walaupun pengetahuan manusia tentangnya tidak ada (hukum gravitasi baru bisa ditemukan sejak Isaac Newton merumuskannya). Kenyataan dalam pandangan materialis adalah kenyataan objektif – fisikalis.7

Perbedaan ontologis antara idealisme dan materialisme itu merupakan distingsi yang sangat penting yang kemudian turun ke level ilmu pengetahuan sektoral lainnya termasuk ilmu sosial seperti sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi dan politik. Salah satu contohnya adalah perbedaan dalam memandang kesejahteraan. Bagi kalangan idealis, kesejahteraan itu letaknya di dalam kesadaran manusia, sehingga dimungkinkan orang yang secara matematis-ekonomis sangat miskin (dalam artian punya nilai kesejahteraan sangat minim) namun merasa sejahtera karena pikirannya menyatakan demikian. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, namun kurang lengkap.8 Materialisme yang melengkapinya: bahwa untuk timbul sebuah kesadaran harus ada manusia yang sadar. Syarat minimal dari adanya manusia yang sadar itu (yaitu cukup kebutuhan ekonominya untuk mempertahankan hidupnya) harus dipenuhi dulu sebelum timbul kesadaran darinya. Mengenai perbedaan ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut saat kita membahas soal basis-bangunan atas.

Soal Basis – Suprastruktur9

Basis adalah prakondisi yang memungkinkan adanya suprastruktur. Dalam uraian sebelumnya kita sudah membahas bahwa untuk timbul sebuah kesadaran, syarat yang harus dipenuhi adalah adanya objek yang sadar yaitu manusia itu sendiri. Dalam

6 Martin Suryajaya (2012), Marxisme Sebagai Ilmu, Makalah disampaikan dalam diskusi di PMB LIPI,

Jakarta. (tidak diterbitkan). Hal 7.

7 Martin Suryajaya (2013), Asal Usul Kekayaan, Yogyakarta, Resist Book. Hal 168-170.

8 Martin Suryajaya memperlihatkan distingsi ini dengan analogi Teori Heliosentris: dalam pandangan mata

subjek pengamat terlihat bahwa matahari mengelilingi bumi, padahal kenyataan objektifnya justru sebaliknya. Disitulah letak keterbatasan pendekatan idealisme yang mengandalkan kesadaran subjektif psikologis. Ibid hal: 158 (Asal Usul Kekayaan).

9 Pemahaman saya mengenai relasi basis suprastruktur ini banyak saya ambil dari tulisan-tulisan (Asal Usul Kekayaan dan Marxisme Sebagai Ilmu) maupun diskusi dengan Martin Suryajaya. Untuk itu saya sangat berterimakasih kepada Martin. Sebagai pembanding, saya gunakan tulisan Romo Magnis dalam: Franz Magnis Suseno (1999), Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,

(4)

preposisi itu maka didapati bahwa manusia yang sadar menjadi basis dari adanya kesadaran tentang sesuatu:

1. Adanya obyek yang sadar yaitu manusia. (prakondisi)

2. Adanya kesadaran yang timbul. (dimungkinkan karena adanya prakondisi)

Logika sederhana itulah yang mendasari pemikiran Karl Marx mengenai basis-suprastruktur. Untuk memberi pemahaman sedikit lebih detail mengenai dasar berpikir yang kemudian melandasi pemikiran tentang basis-bangunan atas akan saya gunakan sebuah ilustrasi tentang segelas kopi.10

1. Segelas kopi adalah realitas ekonomis (bisa diperjual-belikan, hasil dari proses produksi)

2. Segelas kopi adalah realitas kimia (tersusun dari senyawa senyawa hidrogen-oksigen dan senyawa lain)

3. Segelas kopi adalah realitas biologi (kopi adalah bagian dari tanaman sebagai makhluk hidup)

4. Segelas kopi sebagai realitas fisika (ada struktur atomik di dalam butir-butir kopi) 5. Dan lain lain.

Dari poin poin yang diajukan terlihat bahwa dalam segelas kopi itu terkandung banyak kenyataan tak beraturan yang menyusunnya. Pemikiran tentang basis-bangunan atas merapikan berbagai kenyataan tak beraturan itu menjadi sebuah susunan yang logis:

1. Segelas kopi adalah realitas fisika (atomik) yang menjadi prakondisi bagi:

2. Adanya segelas kopi sebagai realitas kima (persenyawaan antar atom) yang menjadi prakondisi bagi:

3. Adanya segelas kopi sebagai realitas biologi (organisme tanaman yang tersusun dari berbagai sel-sel yang didalamnya adalah persenyawaan) yang menjadi prakondisi bagi:

4. Segelas kopi sebagai realitas ekonomis (barang dagangan yang berasal dari tanaman tertentu)

Dari relasi itu terlihat, realitas fisika segelas kopi menjadi basis bagi realitas segelas kopi sebagai entitas kimia, biologi, dan ekonominya. Stratifikasi kenyataan seperti inilah yang menjadi dasar berpikir Karl Marx dalam merumuskan pemikiran tentang basis-suprastruktur. Ada prakondisi yang menjadi syarat bagi adanya sesuatu. Stratifikasi kenyataan itu ketika diterapkan dalam menganalisa masyarakat kemudian menemukan fenomena:

1. Adanya sistem ekonomi masyarakat (adanya proses produksi, distribusi, sirkulasi, konsumsi).

2. Adanya sistem politik masyarakat (pemilu, kekuasaan, demokrasi, diktator, dll) 3. Adanya sistem kebudayaan masyarakat (seni, arsitektur, sastra, iptek, agama, dll)

10 Analogi segelas kopi saya pinjam dari Martin Suryajaya ketika menjelaskana mengenai stratifikasi

(5)

4. Dll.

Dari berbagai fenomena kemasyarakatan tersebut kemudian Marx melihat bahwa keberadaan sistem ekonomi masyarakatlah yang menjadi prakondisi bagi adanya sistem kemasyarakatan yang lain (politik-dan kebudayaan). Mengapa demikian? Sebab adanya (produksi-distribusi-sisrkulasi-konsumsi) adalah syarat masyarakat untuk tetap hidup. Ketika masyarakat tetap hidup maka adanya ekspresi politik dan kebudayaan menjadi dimungkinkan. Tidak mungkin ada sistem politik dan kebudayaan dari kumpulan mayat-mayat. Tanpa adanya masyarakat yang hidup maka tidak mungkin ada politik dan kebudayaan. Marx menyebut sistem ekonomi masyarakat ini sebagai basis dan sistem yang ada atas prakondisi itu (politik-kebudayaan) sebagai suprastruktur.

Seperti apa relasi basis dengan suprastruktur? Apakah basis yang mempengaruhi suprastruktur atau sebaliknya? Pertanyaan ini seringkali menimbulkan perdebatan lingkaran setan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa meskipun basis menentukan keberadaan suprastruktur, namun suprastruktur kemudian dapat menentukan basis. Misalnya:

1. kebijakan pertanian soal impor komoditas pangan (politik) membuat petani-petani rugi sehingga menjadi miskin (ekonomi).

2. Namun disisi lain kegagalan petani miskin memproduksi komoditas pangan (ekonomi) menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor komoditas pangan (politik).

Alternatif jawaban terhadap pertanyaan tentang relasi ini adalah bahwa keduanya saling mempengaruhi namun sifatnya yang berbeda.11 Relasi basis dengan suprastruktur adalah relasi absolut, sedangkan relasi suprastruktur terhadap basis adalah relasi relatif. Perlu dicatat juga bahwa relasi antara basis dengan suprastruktur tidaklah selalu berupa relasi saling menentukan melainkan relasi kondisi-prakondisi.

Di sisi lain juga timbul pertanyaan yang muncul berdasarkan fakta-fakta empirik: mengapa perubahan basis tidak selalu ekuivalien dengan perubahan struktur? Misalnya adalah kegagalan petani di sebuah negara untuk memproduksi komoditas pangan ternyata tidak berujung kepada kebijakan impor karena pemimpin pemerintahannya membenci kebijakan impor? Analisa dengan skema basis-suprastruktur yang diterapkan untuk melihat sebuah fenomena tertentu adalah valid sejauh faktor-faktor yang lain dianggap konstan (dalam kajian ekonomi dikenal istilah ceteris paribus), sehingga analisa dengan skema itu merupakan analisa sistem tertutup.12 Fenomena yang dianalisa ditutup dalam sistem yang memuat kategorisasi tertentu. Pengisolasian antar elemen dalam sebuah fenomena sosial itu sebenarnya merupakan metode umum dalam riset-riset sosial dan bahkan dalam ilmu-ilmu alam.13

11 Aidit mengungkapkan jawaban tentang hal ini dengan konsep “peranan aktif daripada ide”. Lihat: DN

Aidit (1964), Tentang Marxisme.. ibid. Hal 31.

12 Martin Suryajaya, Marxisme Sebagai Ilmu.... ibid.

13 Mengenai model riset yang menggunakan metode ini misalny dijumpai dalam gagasan yang diajukan

(6)

Tentang Dialektika

Pengertian sederhana dari Dialektika adalah cara berpikir tiga tahap yaitu dari tesis – antitesis – sintesis. Model berpikir seperti ini merupakan sumbangan filsafat dari seorang tokoh bernama GWF Hegel yang merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam pikiran-pikiran Karl Marx. Menurut Hegel, perkembangan suatu hal itu ditentukan oleh kontradiksi intern dalam hal itu. kontradiksi itu ketika mencapai titik klimaksnya akan menghasilkan suatu lompatan (sprong) kepada kualitas baru atas hal itu. Proses dialektika ini memandang dunia sebagai satu kesatuan organik. Gejala-gejala yang ada didalamnya memuat kesalinghubungan sebagai suatu badan kesatuan. Selain terjadi dalam gejala semesta, dialektika juga terjadi di dalam akal manusia.14 Ilustrasi dari dialektika misalnya seperti ini:

1. Pulau adalah tanah (tesis)

2. Pulau bukan hanya tanah. Dipinggir pulau ada air (antitesis) 3. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (sintesis).

Proses Dialektika berhenti setelah mencapai tahap sintesis? Tidak, sintesis itu akan menjadi tesis baru yang akan menemui antitesisnya lagi sehingga tercipta sintesis baru. Demikian proses itu terus berulang hingga mencapai apa yang dinamakan dengan

“kebenaran absolut”. Ilustrasi dari hal itu misalnya bisa kita lihat:

1. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (tesis baru yang berasal dari sintesis) 2. Tanah yang dikelilingi air belum tentu pulau, misalnya tanah yang ada di kolam

kecil. (antitesis)

3. Pulau adalah tanah luas yang dikelilingi air lautan (sintesis yang akan menjadi tesis baru)

Demikianlah ilustrasi sederhana itu untuk menjelaskan mengenai contoh dialektika. Metode dialektika ini sebenarnya mirip dengan beberapa pandangan tradisional semacam

“panta rhei”, cokro manggilingan dan berbagai istilah lokal yang pada intinya memandang “ proses perkembangan suatu hal adalah gerak daripada kontradiksi internal dalam hal itu”.

Pandangan Tentang Sejarah15

Pandangan Sejarah Marx adalah hasil aplikasi dari metode Materialisme-Dialektis untuk menganalisa perkembangan sejarah. Untuk masuk ke dalam bahasan ini tentu harus diingat kembali apa itu materialisme dan apa itu dialektika.

Materialisme memandang bahwa kenyataan itu berada di objek bukan di subjek. Maka sejarah tidak terjadi dalam otak atau kesadaran manusia melainkan terjadi secara objektif. Epos-epos sejarah yang ditulis oleh subjek-subjek itu bisa jadi benar atau bisa jadi salah, namun itu hanyalah bagian dari sejarah objektif yang senyatanya terjadi. Apa konskuensi

14 DN Aidit (1964), Tentang Marxisme, Jakarta, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham. Hal 26.

15 Pemahaman tentang bagian ini banyak didapat dari buku DN Aidit (1964), Tentang Marxisme... ibid. hal

(7)

dari pandangan ini? Pandangan ini memandang sejarah bukan sekedar perjalanan cerita orang-orang besar (penguasa-pahlawan) yang saling berebut kekuasaan secara silih berganti. Sejarah bagi materialisme juga mencakup sejarah mengenai orang-orang yang tak tertulis di dalam sejarah bahkan lebih jauh: sejarah juga mencakup apapun (orang dan bukan orang misalnya benda-benda mati) dalam lintasan sejarah itu.

Jika sejarah dominan diwarnai oleh cerita mengenai tokoh-tokoh besar (raja-pahlawan-superhero-pendekar sakti dll) yang dengan konsepnya atau pemikirannya berhasil membuat cerita sejarah, Marx menunjukkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Sejarah adalah sebenarnya soal kelas-kelas pekerja yang berjalan bersama tokoh-tokoh besar itu dalam lintasan waktu. Seorang raja mengarungi lintasan waktu sejarah bersama lebih dari seribu pengikutnya. Uniknya raja inilah justru yang jadi cerita sejarah sementara seribu lebih pengikutnya tidak.

Yang ingin ditunjukkan oleh pendekatan materialisme adalah bukan selalu menyalahkan epos-epos sejarah soal tokoh-tokoh besar (meskipun epos-epos itu seringkali memuat cerita-cerita misktik yang tak masuk akal). Yang ingin ditunjukan sebenarnya adalah bahwa sejarah mengenai raja-raja maupun penguasa-penguasa adalah hanya sebagian (atau sebagian kecil) dari sejarah yang terjadi sebenarnya. Sejarah tokoh besar bisa jadi (hanya) merupakan kenyataan yang berhasil ditangkap oleh keterbatasan subjektif si pengamat (dimungkinkan karena pengamat/penulis terfokus pada tokoh-tokoh besar yang ditulisnya).

Ketika pandangan materialis ini dilengkapi pisau analisa dialektis untuk membaca sejarah maka konskuenasinya adalah: perkembangan sejarah suatu masyarakat merupakan perkembangan kontradiksi internalnya masyarakat tersebut. Ada gerak dialektis dalam perkembangan sejarah masyarakat. Lantas apa yang berkontradiksi dalam sebuah masyarakat itu?

Dimuka telah dibahas mengenai pemikiran basis-suprastruktur yang memperlihatkan bahwa sistem ekonomi masyarakat adalah basis sedangkan suprastruktur adalah sistem politik dan kebudayaan sehingga untuk melihat gerak dialektis sejarah masyarakat haruslah kita lihat gerak dialektis dalam sistem ekonominya. Pembacaan dengan cara inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Materialisme-Dialektika-Historis (MDH).

(8)

Soal Tingkat Perkembangan Masyarakat dan Proses Produksi yang Menjadi Basisnya.

Melalui penerapan MDH, Marx menemukan bahwa pembeda kelas dalam sistem ekonomi ada di ranah produksi yaitu: kepemilikannya atas faktor produksi. Melalui pembeda itu marx membuat kategorisasi antara kelas pemilik faktor produksi dengan kelas yang tidak memiliki faktor produksi. Mengapa ranah produksi menjadi unit analisa signifikan? Karena produksi adalah proses yang menjadi prakondisi bagi kegiatan ekonomi sesudahnya (lihat kembali uraian dimuka tentang logika stratifikasi kenyataan). tanpa adanya ranah produksi maka tidak mungkin ada ranah distribusi-sirkulasi-konsumsi. Melalui MDH, Marx mencoba membuat analisa sejarah mengenai tingkat perkembangan masyarakat berdasarkan kepemilikan atas faktor produksi16.

 Masyarakat Komune Primitif : Belum ada Pembagian kerja yang dominan atar anggota masyarakat. Kegiatan produksi terutama diarahkan untuk mendapat “nilai pakai”. Kepemilikan bersama atas faktor produksi (seperti alat alat berburu hewan) maupun hasil produksi. Masyarakat masih bersifat nomaden (belum menetap) karena sumber kesejahteraan (terutama makanan) tersedia melimpah di alam sehingga tinggal mencari saja (tidak perlu memproduksi). Corak ekonomi subsisten yaitu produksi dan distribusi hanya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Apakah dalam tingkat masyarakat seperti ini belum ada penindasan? Tentu saja ada: pemimpin-pemimpin dari komune-komune itu (biasanya adalah orang yang secara fisik paling kuat) seringkali hanya mendapat jatah makanan dari anggota-anggotanya (padahal dia menjadi pemimpin karena fisiknya yang kuat sehingga bisa bertarung dengan hewan-hewan buruan). Pada perkembangannya, gesekan antar komune adalah gesekan yang didasari perebutan lahan perburuan makanan. Selain itu, tak jarang juga ada kontradiksi dalam internal komune yaitu antara pemimpin dengan anggota dimana anggota yang tertindas ingin menjadi pemimpin untuk hidup lebih enak dan mendapat penghormatan lebih.

 Masyarakat Feodal : tingkatan ini adalah perkembangan dari masyarakat komune primitif. Perkembangan penegetahuan manusia soal bercocok tanam dan ilmu peternakan membuat mereka tidak lagi harus bergantung pada makanan yang yang disediakan oleh alam. Ini kemudian berimbas juga kepada corak produksinya. Masyarakat tidak lagi hidup nomaden namun mulai tinggal secara menetap di sebidang tanah tertentu. Dalam perkembangan ini, kepemilikan atas tanah sebagai faktor produksi menjadi penting. Muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu: tuan tanah dan penyakap/petani. Tuan tanah tidak perlu mengerjakan tanahnya sendiri karena dia cukup memungut sewa tanah dan meminta upeti dari para petani. Dalam konsep kerajaan, posisi raja adalah pemilik tanah yang menerima upeti dari para bawahannya (para punggawa, adipati, senopati dll) yang sebenarnya merupakan hasil dari kerja para petani yang tinggal di wilayah kekuasaanya.

(9)

 Masyarakat Kapitalis : berkembangnya sistem perdagangan memunculkan kelas baru yang menjadi dominan dalam sistem ekonomi yaitu pemodal. Di dalam sistem kapitalis, kelas dalam produksi adalah pemodal dan pekerja. Dengan modal yang dia punya, pemodal membeli tenaga kerja untuk memproduksi barang. Jika dalam sistem feodal para petani masih punya hubungan langsung dengan barang yang diproduksinya, maka dalam sistem kapitalis pekerja terpisah sama sekali dari barang yang telah diproduksinya. Barang itu otomatis menjadi milik pemodal yang telah membeli tenaga kerjanya. Apabila pekerja ingin memiliki barang yang diproduksinya, maka dia harus membelinya pada pemodal. Jika pada masa feodal sumber pendapatan petani adalah produksinya sendiri (yang sebagian harus diberikan kepada tuan tanah), maka dalam sistem kapitalis seumber penghidupan pekerja adalah upah dari pemodal. Dalam skema feodalisme proses produksi masih didominasi oleh penciptaan/penambahan nilai pakai suatu barang, sedangkan dalam sistem kapitalis proses produksi terutama dilakukan untuk penciptaan/penambahan nilai tukar.

Kontradiksi Dalam Masyarakat Kapitalis17

Dalam bagian ini kita akan membahas mengenai beberapa poin dalam masyarakat kapitalis yang perlu kita kenali. Tentu tidak semua poin diajukan disini karena aspek aspek yang dibahas sebenarnya sangatlah luas. Yang akan dibahas disini hanyalah poin-poin pentingnya saja. Sebagai awalan kita akan membahas mengenai ekonomi barang dagangan.

Ekonomi barang dagangan:

Seperti diterangkan dimuka bahwa ciri dari ekonomi kapitalis adalah adanya jual beli sebagai proses pertukaran paling dominan dalam kehidupan masyarakat. Ciri ini bukan berarti bahwa dalam sistem masyarakat selain kapitalisme tidak ada perdagangan. Dalam feodalisme misalnya, pertukaran barang dagangan sudah ada namun belum menjadi sesuatu yang dominan. Pertukaran dengan cara barter, gift dan bahkan rampasan masih banyak dijumpai. Lain halnya dengan kapitalisme dimana proses jual beli adalah bentuk paling lazim dari pertukaran kebutuhan dalam masyarakat.

Produksi Nilai Tukar

Dalam setiap barang dagangan terkandung 2 nilai sekaligus yaitu nilai pakai dan nilai tukar. Pada sistem ekonomi sebelumnya (komune primitif dan feodalisme) proses produksi terutama adalah dalam rangka memproduksi nilai pakai. Ini berbeda dengan masyarakat kapitalis dimana kerja terutama dicurahkan untuk memproduksi nilai tukar. Produksi dalam sistem kapitalis adalah untuk mencari keuntungan bukan memenuhi kebutuhan.

Pertukaran antar nilai pakai

Apa yang terjadi dalam perdagangan adalah pertukaran nilai pakai. Artinya pertukaran itu terjadi antara nilai pakai yang berbeda. Jika nilai pakai yang dipertukarkan sama, maka tidak perlu ada pertukaran. Contohnya dalah pertukaran pisau dengan pisau. Uang dalam hal ini sebenarnya hanyalah

(10)

merupakan perantara dari pertukaran nilai pakai tersebut. Dalam kasus lanjutannya, ketika uang itu sendiri sudah menjadi barang dagangan(seperti dalam kasus perdagangan antar mata uang), maka logika pertukaran itu sendiri menjadi semakin absurd.

Dari poin tersebut dimuka maka timbul pertanyaan: apa indikator untuk menentukan nilai suatu barang dalam perdagangan? Menurut logika stratifikasi kenyataan seperti pernah diterangkan sebelumnya, terlihat bahwa nilai pakai adalah prakondisi bagi adanya nilai tukar. Keberadaan nilai tukar hanyalah pantulan saja dari keberadaan nilai pakai sehingga nilai tukar itu sendiri tidak bisa jadi basis pengukuran dalam pertukaran. Di sisi lain, pertukaran terjadi antar nilai pakai yang berbeda sehingga tidak dapat dihitung berapa nilai perbandingan nilai pakai sepatu (sebagai alas kaki) dengan nilai pakai topi (sebagai penutup kepala).

Marx kemudian menemukan basis keseukuran dalam proses pertukaran antar nilai pakai dalam “kerja kemasyarakatan yang dicurahkan untuk memproduksinya”. Teori nilai kerja ini berakar jauh sampai pemikiran Aristoteles mengenai basis keseukuran dalam proses pertukaran. Sebelum Marx, sudah ada beberapa orang yang mencoba menganalisa mengenai teori nilai kerja ini (misalnya Adam Smith, David Ricardo, William Petty). Kerja kemsyarakatan bukanlah kerja sosial dalam pengertian awam (kerja bakti, menggalang sumbangan untuk korban bencana, aksi donor darah dll). Kerja kemasyarakatan yang dimaksud oleh Marx adalah kerja yang dicurahkan untuk memproduksi suatu barang dibandingkan dengan kerja keseluruhan masyarakat. Kerja kemasyarakatan tidak mempertimbangkan bentuk kerja kongkrit yang dilakukan (misalnya menjahit, menanam, mengukir, dsb) tapi memandang itu dalam substansinya saja yaitu “kerja”. Oleh karena itu, kerja kemasyarakatan bisa diistilahkan sebagai “kerja abstrak”.

Kerja abstrak adalah pembentuk nilai suatu barang. Karena kerja abstrak tidak mempertimbangkan bentuk kerja kongkritnya, maka yang diukur adalah lama waktu yang dicurahkan untuk memproduksi suatu barang itu. Semakin lama waktu kerja abstrak yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang, semakin tinggi nilai barang tersebut. Apakah ini berarti semakin malas seorang pekerja memproduksi suatu barang akan semakin menghasilkan nilai yang tinggi? Jawabannya adalah bukan. Waktu kerja abstrak yang dimaksud adalah optimal rata-rata masyarakat dan dengan rata rata teknologi yang digunakan maupun intensitas yang dicurahkan. Pendek kata: kerja sosial bukan dihitung secara individual tapi secara sosial.

Laba dalam Kapitalisme

(11)

 1 ekor ayam = 3 bungkus rokok = 2 potong kaos oblong.

 4 bungkus rokok = 3 piring siomay = 1 buah buku

Dalam analogi tesebut tampak sangat sederhana, namun di dalam prakteknya menjadi sangat rumit karena melibatkan berbagai barang dan berbagai keperluan, tentunya melibatkan berbagai orang pula. Oleh karena itu secara alamiah mulai muncul apa yang dinamakan dengan alat tukar yang pada perkembangannya sampai pada bentuknya yang paling maju yaitu “uang”. Uang pada mulanya hanya berfungsi sebagai alat tukar dalam skema pertukaran :

 Barang A  uang  Barang B

 Barang B  uang  Barang C

Dalam skema pertukaran tersebut, uang hanya digunakan sebagai perantara kebutuhan produsen barang A terhadap barang B. Demikian pula terlihat bahwa uang hanyalah perantara kebutuhan produsen barang B terhadap barang C. Pendek kata dalam pertukaran model ini uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Sifat pertukaran dalam perdagangan semacam ini adalah “untuk memenuhi kebutuhan”.

Dalam skema kapitalisme, maka model pertukaran sebelumnya menjadi terbalik karena funsi uang bukan sebagai alat tukar saja melainkan sebagai alat penumpuk kekayaan. Pertukaran dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan “untuk mencari keuntungan”. Dalam titik ekstrimya, uang menjadi barang dagangan itu sendiri. maka akan terlihat analogi sederhana sebagai berikut:

 Uang x  Barang  Uang y (uang x + laba)

Jumlah uang dalam perdagangan model ini tentu bebeda antara uang x dengan uang y. Uang y tentu lebih banyak dari uang x karena sudah bertambah dengan laba. Jika uang y lebih kecil dari uang x maka pedagang bisa dikatakan rugi. Sedangkan jika uang x sama dengan uang y maka pedagang tidak mendapat apa-apa. Pedagang bertindak sebagi pemodal, dan hanya dialah yang bisa mendapat keuntungan dari skema seperti ini. Kenapa demikian? Karena dalam kapitalisme, pekerja terpisah sama sekali dari produk yang dibuatnya sekaligus dari alat produksi yang digunakanya. Alat produksi dan produk itu dimiliki oleh kapitalis sedangkan pekerja sudah dibeli tenaga kerjanya dengan “upah”. Inilah yang kemudian disebut dengan “Alienasi”.

Darimana uang itu berasal? Ekonom-ekonom kapital menyatakan bahwa pertambahan itu ada dari selisih antara ongkos produksi dan harga jual. Maka ongkos produksi + Laba = harga jual. Benarkan demikian? Marx punya jawaban lain mengenai hal ini yang akan coba diilustrasikan lewat analogi berikut ini:

(12)

 Untuk membuat 1 unit barang A diperlukan waktu 1 jam, sementara pabrik beroperasi selama 8 jam sehingga jumlah barang yang dibuat dalam sehari adalah 8 unit barang A. Artinya pendapatan yang didapat oleh pemodal dari penjualan 8 barang A dalam sehari adalah 8 x 3 = 24.

 Maka dapat kita lihat bahwa ongkos produksi yang sebenarnya ditanggung oleh pemodal dalam sehari hanyalah tenaga kerja sebanyak 8 dan bahan mentah sebanyak 8 sehingga total jumlahya adalah 8 + 8 = 16.

 Maka sebenarnya dengan bekerja selama 6 jam saja sudah tercipta 6 unit barang A yang artinya harga jualnya 6 x 3 = 18. Artinya pemodal sudah untung sebanyak 18 – 16 = 2

 Faktanya setelah 6 jam bekerja dan menghasilkan laba sebesar 2 kepada kapitalis, buruh masih harus bekerja lagi selama 2 jam karena pabrik beroperasi selama 8 jam, jadi kapitalis masih mendapat tambahan laba lagi sebesar 2 unit barang A x 3 = 6. Total dalam sehari kapitalis mendapat keuntungan 8.

Dari persamaan tersebut bisa dilihat bahwa laba kapitalis bukanlah sekedar selisih antara harga produksi dengan harga jual. Laba itu dimungkinkan karena ada kelebihan jam kerja yang diberikan buruh namun keuntungannya diambil oleh kapitalis. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena kerja buruh sudah dibeli oleh kapitalis bukan berdasarkan nilai barang yang akan diciptakannya melainkan berdasarkan jamnya. Pekerja tidak pernah mendapat bagian dari laba atas penjualan barang yang diciptakannya karena dia sudah dibeli dengan upah.

Persamaan matematis seperti ini oleh Marx disebut sebagai teori “Nilai Lebih”. Seorang kapitalis untuk mendapatkan keuntungan harus membelanjakan uangnya untuk membeli dagangan yang apabila digunakan dapat memberikan pertambahan nilai dari barang dagangan itu sendiri dan barang lain. Satu-satunya barang yang punya sifat khas seperti itu adalah tenaga kerja. Nilai lebih dari tenaga kerja inilah yang menjadi keuntungan bagi kapitalis.

Pola perdagangan dengan skema kapitalisme ini mempunyai konskuensi. Kekayaan akan semakin terkonsentrasi kepada segelintir kapitalis, sementara pekerja mendapat penghasilan yang konstan atau bahkan berkurang jika dihadapkan pada kecenderungan kenaikan harga. Di sisi lain, kenaikan harga adalah kebutuhan tak terelakkan dari kapitalis untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan serta menghadapi persaingan dengan perusahaan lain. Kenyataan ini tentu tak dapat dilepaskan dari fakta bahwa keuntungan bagi sebagian orang berarti kerugian bagi sebagian yang lain.

(13)

Imperialisme Sebagai Perkembangan Tertinggi Kapitalisme18

Apa itu imperialisme? Imperialisme adalah tingkat kematangan yang tinggi dari kapitalisme yang beroperasi. Terdapat perbedaan pandangan mengenai hal ini:

1. Imperialisme muncul sebagai nafsu dari negara industri maju untuk menguasai perekonomian negara yang industrinya terbelakang. Pandangan ini meskipun memandang negatif terdap imperialisme namun lebih dekat ke tradisi pemikiran idealis yaitu memandang imperialisasi dilandasi oleh nafsu subjektif negara industri maju.

2. Imperialisme adalah konskuensi tak terhindarkan akibat “ruang hidup” kapitalisme di negara maju sudah terlalu sempit sehingga perlu mencari ekosistem baru untuk mepertahankan hidupnya. Imperialisme bukan sekedar nafsu menjajah negara industri maju ke negari agraris.19 Pandangan ini lebih dekat ke tradisi materialis yaitu memandang imperialisme adalah produk suatu hubungan produksi pada tahap tertentu.

Dari dua pendapat tersebut, pandangan kedua lebih mampu menjelaskan gejala yang bernama “imperialisme” karena disitulah kita bisa menganalisanya lebih dari sekedar nafsu, tapi sebuah implikasi dari sebuah proses.20 Imperialisme adalah kapitalisme sekarat yang mencari ruang hidup baru untuk mempertahankan hidup. Kenapa kapitalisme bisa sekarat? Sebab kapitalisme mempunyai kontradiksi tak terdamaikan dalam dirinya sendiri yaitu kontradiksi antar kelas antara buruh dan kapitalis. Jika kontradiksi ini terus berlanjut, maka akan tercipta suatu kondisi dimana konflik antara buruh dan majikan menemui titik klimaksnya terjadi menjadi suatu revolusi. Untuk menghindari titik klimaks inilah, maka kontradiksi dari operasi kapital yang sudah jenuh di suatu tempat harus dipindahkan ke tempat lain yang masih memungkinkan.

Titik jenuh kapitalisme adalah karena sifat inheren dalam sistem itu sendiri dimana modal akan semakin terkonsentrasi ke segelintir kapitalis. Dalam kondisi ini, maka akan terjadi apa yang disebut surplus kapital. Surplus kapital ini tidak bisa tidak, harus diputar kembali dalam proses produksi untuk meningkatkan laba (dalam rangka menjaga kelangsungan hidup perusahaan sekaligus menghadapi persaingan dengan kapitalis lain). Kapitalis-kapitalis di negara industri maju kemudian harus mencari ruang baru untuk memutar surplus kapital ini di negeri-negeri yang masih terbelakang.

18 Bagian tulisan ini dirangkum dari beberapa tulisan yaitu: Lihat Bab VIII dari VI Lenin (2011),

Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme, tulisan terjemahan Ted Sprague yang diunduh penulis dari website marxis.org pada bulan Mei 2011. Lihat juga: Ken Budha Kusumandaru (2004), Memperkenalkan Konsep Lenin Tentang Imperialisme dalam: Jurnal Demokrasi Vol 2 No 3 Mei 2004, Yogyakarta, Forum LSM DIY. Hal 3-25.

19

VI Lenin, Imperialisme, Tahapan... ibid.

20 Ini gagasan yang kemudian dilanjutkan oleh Bung Karno ketika melakukan analisa mengenai

(14)

Pada titik inilah kita dapat membaca bahwa proses tejadinya kolonialisasi bukanlah sekedar didorong oleh nafsu negeri maju untuk menjajah negeri terbelakang, bukan pula didorong oleh motivasi “pemberadaban” ala gold-glory-gospel. Kolonialisme adalah imperialisme itu sendiri dimana bukan sekedar tentara kolonial menyerbu negeri jajahan namun lebih dari itu: sistem dan investasi dari kapitalisme itulah yang berpindah ke negeri jajahan.

Marhaen Muncul Sebagai Produk Imperialisme Belanda di Indonesia

Marhaen adalah orang melaratnya Indonesia sebagai akibat imperialisme. Maka untuk masuk ke bahasan mengenai marhaen, kita harus membedah imperilaisme di Indonesia. Imperialisme yang masuk ke Indonesia adalah imperialisme Belanda. Untuk melihat seperti apa imperialisme Belanda, kita harus melihat kapitalisme yang melahirkannya, yaitu kapitalisme Belanda. Menurut Bung Karno: corak imperialisme ditentukan oleh corak kapitalisme yang melahirkannya. Sebagai negara dengan wilayah yang relatif kecil serta miskin sumber daya alam, kapitalisme Belanda adalah kapitalisme yang mencari bahan baku bagi industrinya. Mengapa demikian? Sebab wilayah Belanda yang kecil itu tidak memungkinkan tersedianya bahan baku industri secara optimal bagi proses produksinya. Karena sifat kapitalismenya yang mencari bahan baku itu, maka kepentingan imperialisme Belanda di Indonesia adalah ketersediaan bahan baku dengan harga murah.21

Ketika imperialisme Belanda mulai masuk ke wilayah nusantara, dia berjumpa dengan tradisi tradisi pra-kapitalis baik itu masyarakat feodal maupun masyarakat pra-feodal. Kecenderungan di barat (eropa) kepentingan kapitalis dan penguasa feodal itu berseberangan, namun ternyata hal itu tidak terjadi di Indonesia. Feodalisme justru mempunyai kepentingan yang sebangun dengan kapitalisme, sehingga jika di Eropa datangnya kapitalisme mengakhiri feodalisme, di Indonesia justru feodalisme dihidupi oleh imperialsme.22 Mungkin perbedaan kecenderungan ini terasa janggal. Maka untuk melihat itu kita perlu untuk menengok penjelasan Prof. JH Boeke. Pertama tama kita perlu melihat bagaimana feodalisme itu hidup di Indonesia saat awal kapitalisme datang.23

Pada masa feodalisme, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di unit-unit ekonomi mandiri bernama “desa”.24 Corak produksinya terutama bersifat subsisten yaitu menghasilkan nilai pakai (bahan makanan untuk dimakan), bukan nilai jual. Pertukaran masih sangat sedikit, dan apabila terjadi surplus, masyarakat lebih memilih menyimpannya di lumbung sebagai cadangan makanan apabila datang masa paceklik.25

21 Soekarno (1964), Swadhesi dan Massa Aksi... ibid. 22 DN Aidit (1964),

Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Jakarta, Yayasan Pembaruan. Hal 9.

23 Pada bagian ini saya terinspirasi oleh teori Boeke tentang “Ekonomi Dialistik”. Selengkapnya lihat: JH

Boeke (1983) Masyarakat Pra-kapitalis Asia, Jakarta, Sinar Harapan. Hal 15.

24 Dede Mulyanto (2011), Antropologi Marx, Bandung, Ultimus. Hal 67-75.

25 Bahkan di masa sekarangpun kita masih dapat menjumpai sisa-sisa masyarakat dengan corak produksi

(15)

Arus barang produksi dari desa ke kota terutama berstatus sebagai upeti kepada penguasa-penguasa feodal yaitu raja dan bangsawan-bangsawan. Kota-kota terutama bersifat administratif dan sangat minim terjadi proses produksi. Perdagangan di kota terutama terjadi antara para penguasa feodal dengan orang-orang asing. Orang-orang desa yang bekerja di kota biasanya hanya bersifat kerja sampingan saja. Perkerjaan utamanya adalah bertani. Kerja di kota hanya bersifat mencari tambahan penghasilan dan secara periodik (apabila musim tanam selesai – sesuai periode masa tanam tertentu).

Lalu dimanakah letak perbedaan kepentingan tuan tanah – kapitalis di Eropa dan di Indonesia? kita akan lihat lewat poin-poin berikut ini. Pertama kita akan melihat apa yang terjadi di belahan dunia barat (Eropa)

1. Di Eropa Karakter kapital yang menyedot banyak tenaga kerja dari pedesaan (agraris) ke arah perkotaan (industri) membuat kepentingan kapitalis dan para tuan tanah menjadi berseberangan karena:

2. Dengan tersedotnya tenaga kerja pedesaan ke perkotaan, maka desa menjadi kekurangan tenaga kerja sehingga para tuan tanah harus mengupah tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Semakin berkurang tenaga kerja di pedesaan, semakin tinggi upah yang harus dibayar tuan tanah kepada pekerja. Ini tentu merugikan para tuan tanah.

3. Di sisi lain, para kapitalis industri akan semakin berusaha menyedot banyak tenaga kerja ke kota industrial karena kepentingian mereka jelas: Dengan semakin banyaknya tenaga kerja di perkotaan, maka harga tenaga kerja (upah) akan semakin murah.

Ketiga poin tadi menjelaskan latar belakang konflik antara para tuan tanah dan para kapitalis di Eropa. Di Indonesia hal itu tidak terjadi karena:

1. Kepentingan Belanda mencari bahan baku bisa didapat dari para tuan tanah dan bangsawan feodal. Mereka tinggal membeli saja komoditas yang sudah disediakan oleh para tuan tanah dengan harga murah karena:

2. Para tuan tanah dan bangsawan feodal mendapatkan komoditas yang akan dijualnya kepada Belanda secara gratis yaitu upeti dari rakyat yang menyewa tanah darinya.

3. Para pekerja industri perkotaan (yang mulai tumbuh namun minim) justru menguntungkan para tuan tanah karena mereka berasal dari petani pedesaan yang hanya mencari tambahan penghasilan pada periode tertentu. Tambahan penghasilan bagi petani berarti tambahan kemampuan membayar sewa tanah kepada tuan tanah. Kondisi ini bisa dimanfaatkan para tuan tanah untuk menaikkan harga sewa tanah.

(16)

Dalam kondisi imperialisme yang seperti ini, maka yang muncul bukanlah kelas proletar melainkan para petani yang dimanfaatkan oleh tuan tanah dan kapitalis. Apakah di Indonesia tidak tumbuh kelas proletar? Tentu saja tumbuh, namun sangat terbatas. Pada fase awal VOC, Kepentingan VOC terutama mencari bahan baku yaitu komoditas pertanian. Hal ini menyebabkan VOC tidak membuatnya perlu mendirikkan pabrik-pabrik besar di Indonesia sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan kelas pekerja. Kelas yang tertindas dalam sistem imperialisme seperti ini sebagian besar adalah kaum tani. Maka dari itulah Bung Karno mengasosiasikan marhaen sebagai sosok petani yang ditemuinya di Cigereleng.

Seperti apa Bung Karno menganalisa imperialisme Belanda di Indonesia? Pengetahuan akan ini menjadi penting agar kita dapat mengikuti alur pikiran Soekarno yang kemudian melahirkan pemikiran tentang marhaen. Dalam artikelnya “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia (1932), Bung Karno mencoba membuat distingsi antara Imperialisme Inggris di India dengan Imperialisme Belanda di Indonesia.26

Imperialisme Inggris di India lahir dari kapitalisme pasca revolusi industri yang menyebabkan adanya surplus produksi di negara asalnya (Inggris) sehingga mereka harus membuat barang-barang itu laku agar sirkulasi keuangan tidak macet. Dari karakter itu kita dapat melihat bahwa sifat Imperialisme inggris adalah “menjual hasil produksi”. Untuk itu, koloni-koloni Inggris, harus dibuat mempunyai daya beli namun juga tidak boleh mempunyai kekuatan produksi yang terlalu kuat (karena akan mengancam dominasi perdagangan barang hasil produksi Inggris).

Imperialisme Inggris disebut banci oleh Bung Karno karena sifatnya yang ambivalen:

menghambat tumbuh berkembangnya produsen pribumi, namun tidak membunuhnya sama sekali (karena dengan mematikan produsen dalam pribumi, maka daya beli masyarakat India akan hilang). Dalam kasus ini, perlawanan menggunakan strategi Swadhesi yang dilancarkan oleh Mahatma Gandhi (semacam gerakan boikot produk asing) menjadi signifikan dilakukan karena akan menghantam kepentingan utama Imperialis.

Berbeda dengan Imperialisme Inggris, Imperialisme Belanda lahir dari Kapitalisme yang berbeda. Imperialisme Belanda tidak lahir akibat surplus produksi yang timbul karena revolusi industri. Sebaliknya imperialisme Belanda justru mencari hasil-hasil produksi agraris dari negeri jajahanya (tentunya dengan harga yang semurah-murahnya). Imperialisme Belanda adalah Imperialisme kolot. Dia lahir dari negeri yang tidak mempunyai syarat cukup baik bagi timbulnya industri (miskin sumber daya alam sebagai bahan baku maupun sebagai bahan bakar). Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan industri bumiputera bukan hanya dihambat, namun kalau perlu dimatikan. Kenapa? Agar bumiputera tak punya pilihan selain menjual hasil hasil agrarianya dengan harga berapapun.

26 Analisa Soekarno terhadap imperialisme di Indonesia sertidaknya bisa di baca di 3 tulisan: Swadhesi dan

Massa Aksi di Indonesia (Suluh Indonesia Muda 1923), Mencapai Indonesia Merdeka (1933), dan dalam pidatonya yang terkenal ssebagai pembelaanya di persidangan Landraad Bandung: Soekarno (2010),

(17)

Bagaimana dengan Situasi Saat Ini?

Di muka telah diuraikan tentang latar belakang yang menjadi setting dari lahirnya konsepsi marhaen. Dari uraian itu, terlihat bahwa imperialisme saat itu menghasilkan pandangan Bung Karno tentang marhaen. Lantas bagaimana dengan saat ini? Kita harus melihat perkembangan situasi imperialisme di Indonesia untuk dapat melakukan analisa yang tepat. Ini penting untuk menakar anasir-anasir kontemporer, memetakan peluang dan tantangan. Tanpa mengenali karakter jaman kita terjebak dogma mati. Jika sudah teerjatuh sebatas sebagai dogma, Marhaenisme menjadi tidak up to date lagi menghadapi jaman yang sudah berkembang pesat.

Tulisan Bung Karno “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” dibuat tahun 1932. Kini setelah sekitar lebih dari 170 tahun sejak tulisan itu dibuat, kondisi objektif di Indonesia berubah. Imperialisme yang bercokol bukan sekedar mencari bahan baku. Indonesia adalah pasar potensial dari produk-produk kapitalisme yang membludak itu.. Dengan mata telanjangpun kita bisa melihat betapa membanjirnya barang-barang import di negeri ini. Pertanda bahwa daya beli masyarakat di Indonesia mulai kuat. Kelas menengah di Indonesia sudah mulai tumbuh. Di sisi lain, investor-investor berkepentingan dengan ketersediaan tenaga kerja murah bagi pabrik-pabriknya di Indonesia. Selain itu produksi dalam negeri juga sudah mulai ada. Secara sederhana kita dapat melihat bahwa kepentingan imperialis di Indonesia sekarang masih sama dengan yang pernah dikatakan Aidit27:

1. Ketersediaan bahan baku dengan harga murah 2. Ketersediaan Tenaga Kerja Murah

3. Ketersediaan pasar potensial 4. Tempat penanaman modal

Perkembangan jaman membuat modus imperialisme pun berubah, tidak melulu menggunakan senjata namun menggunakan cara-cara halus (meskipun dalam kasus-kasus ekstrim perang tetap tak terhindarkan). Sekarang mari kita lihat sekilas setting kontemporer yang kondisinya antara lain:

1. Sistem ekonomi nasional semakin terintegrasi dengan sitem kapitalisme internasional

2. Peran negara semakin melemah berhadapan dengan korporasi internasional wacana perdagangan bebas dan globalisasi.

3. Muncul dan semakin aktifnya gerakan gera

4. kan buruh (menuntut kenaikan UMP, bukan merebut kepemilikan alat produksi) 5. Maraknya sengketa agraria (bukan hanya dari kelompok-kelompok tani namun

juga kelompok adat)

(18)

Dewasa ini kita juga menyaksikan apa yang disebut dengan “Gelombang Demokratisasi Ketiga” (Samuel Huntington). Saya sendiri sering menganggap ada kesebangunan antara gelombang demokrasi ini dengan gelombang konsentrasi modal mencari ruang investasi baru. Konskuensinya, rezim rezim yang menghalangi investasi betatapun demokratisnya akan “didemokratiskan” termasuk dengan cara kekerasan, kalau perlu digulingkan ( seperti yang menimpa Muammar Khadaffy di Libya, Saddam Hussein di Irak, Mullah Omar di Afghanistan, Basser Assad di Suriah). Sementara sebaliknya, rezim-rezim apapun yang mendukung operasi investasi ini betapapun diktatornya, akan didukung dan dicitrakan demokratis.

Bagaimanapun, rezim yang demokratis menurut imperialis adalah rezim yang melayani kepentingan modal. Rezim seperti ini disebut “Komprador”. Berikut ini tugas yang menonjol dari rezim komprador:

1. Menjalankan kebijakan menjaga kestabilan makroekonomi 2. Menyediakan infrastruktur yang mendukung beroperasinya modal 3. menjaga stabilitas politik untuk kenyamanan bisnis para pemodal.

Di dalam sebuah rezim komprador, Kepentingan rezim adalah kepentingan modal yang dominan di wilayah itu (bisa dilihat mengenai Impor komoditas tani, kebijakan mobil murah, UU PMA, MP3EI, UU Pengadaan Tanah). Para tokoh politik adalah tokoh kartel bisinis yang berkepentingan terhadap stabilitas politik di wilayah itu terkait dengan keamanan investasinya. Rezim komprador hidup dari rente atas investasi yang masuk ke wilayah dimana rezim itu beroperasi. Logika rente ini berbanding lurus dengan terjadinya korupsi karena pola pengambilan sumber dayanya sama. Sekarang marilah kita coba lihat contoh beberapa tokoh politik kita saat ini yang tak lain adalah juga tokoh kartel bisnis:28

 Hatta Radjasa (Menko Ekonomi dan Ketua PAN) juga seorang pengusaha dan juga termasuk jaringan ex Medco

 Arifin Panigoro (Bekas Menteri Jaman Presiden Megawati): pengusaha dari Grup Medco.

 Purnomo Yusgiantoro (Menteri Pertahanan) sekaligus pengusaha PT Resources Development Consultant.

 MS. Kaban (Mantan Menteri Kehutanan) sekaligus pengusaha PT Resources Development Consultant.

 Surya Paloh (Ketua Partai Nasdem) yang juga pengusaha berbagai sektor (media, tambang)

 Abu Rizal Bakrie (Menko Kesra dan Ketua Partai Golkar) sekaligus pengusaha Bakrie Grup yang punya berbagai sektor bisnis.

 Dan masih banyak sekali contoh yang lain.

Dalam setting jaman seperti ini, perjuangan lewat “Jalur Demokratis” sangat sulit sebab alat-alat kelengkapan rezim seperti: Birokrasi, Militer, Ormas/LSM – (agama – seni –

28 Data ini saya pinjam dari: GJ Aditjontro (2006), Dari Kolonialisme ke Neokolonialisme, Materi

(19)

adat), Partai Politik, Media massa, Institusi pendidikan, dan lain-lains udah dikuasai/didominasi kaum pemodal dan menghasilkan tindakan-tindakan yang melanggengkan sistem.maka dari itu, perebutan kekuasaan dengan sasaran utama kepempimpinan nasional menjadi tidak berdampak terlalu signikan karena sistem pendukungnya sudah terkontaminasi begitu parah. Jika kita menggunakan analogi sebuah kran, jalur maupun suplai sudah “kotor”, jadi outputnya akan sama saja karena pipa maupun filternya sudah disetting menghasilkan keluaran yang “buruk”.

Maka paparan singkat ini saya akhiri dengan sebuah pertanyaan yang harus kita cari jawabannya bersama: apa yang harus dilakukan marhaenis dalam setting jaman seperti ini?

Sumber:

AB Kusuma (2010), Lahirnya UUD 1945, Jakarta, Fakultas Hukum UI.

Soekarno (1964), Di Bawah Bendera Revolusi (Djilid 1), Jakarta, Panitya Pembina Jiwa Revolusi.

Soekarno (2010). Indonesia Menggugat, Jakarta, Yayasan Bung Karno

Martin Suryajaya (2012), Marxisme Sebagai Ilmu, Makalah disampaikan dalam diskusi di PMB LIPI, Jakarta. (tidak diterbitkan).

Martin Suryajaya (2013), Asal Usul Kekayaan, Yogyakarta, Resist Book.

Franz Magnis Suseno (1999), Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Walter Wallace (1990), Metode Logika Ilmu Sosial, Jakarta, Bumi Aksara.

DN Aidit (1964), Tentang Marxisme, Jakarta, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.

DN Aidit (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Jakarta, Yayasan Pembaruan.

Dede Mulyanto (2011), Antropologi Marx, Bandung, Ultimus

JH Boeke (1983) Masyarakat Pra-kapitalis Asia, Jakarta, Sinar Harapan.

VI Lenin (2011), Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme, diunduh penulis dari website marxis.org

GJ Aditjontro (2006), Dari Kolonialisme ke Neokolonialisme, Materi Kaderisasi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Tidak diterbitkan.

Jurnal Demokrasi Vol 2 No 3 Mei 2004, Yogyakarta, Forum LSM DIY.

Referensi

Dokumen terkait

Sekarang ini teknologi jaringan dan teknologi internet dalam dunia komputer telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan telah mengubah fungsi dari penggunaan

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kepuasan Kerja dan

1 White board spidol , Pengeras Suara, Laptop, LCD dan multi media class equip ment Tes : Tes Lisan Tes Tulis Tugas mandiri Non tes : Sikap dan prilaku selama diskusi

The View of the Members of Accountancy Profession on Ethical Behavior and the Effect of Tax Payers on Displaying Ethical Behavior: A Qualitative and Quantitative

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) makna yang terdapat di dalam lirik lagu hiphop Jawa sebagian besar mengandung makna-makna religius, menggambarkan kehidupan

Dari hasil penelitian dan bahasan dapat disimpulkan bahwa seorang lansia tidak merasa bahagia baik pada masa lalu, kini dan masa depannya.. Lansia lainya merasa bahagia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan yaitu, literasi sains dan rasa ingin tahu siswa pada materi ekosistem yang diajarkan di SMA