• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BERDIRINYA PONDOK PESANTREN AL-FATAH BANJARNEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II BERDIRINYA PONDOK PESANTREN AL-FATAH BANJARNEGARA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BERDIRINYA PONDOK PESANTREN AL-FATAH

BANJARNEGARA

A. Gambaran Umum Desa Parakancanggah Kecamatan Banjarnegara 1.1 Struktur pemerintah kepala desa Parakancanggah

Struktur pemerintahan di dalam lembaga pemerintahan desa

merupakan suatu kesatuan yang sangat penting yang saling berpengaruh satu sama lain. Dalam struktur tersebut, Kepala Desa memegang peran yang penting untuk menentukan kelangsungan dan kemajuan masyarakat desanya. Kepemimpinan kepala desa ini, berada di bawah pengawasan dari Badan Pemasyarakatan Desa (BPD). Sebelum tahun 2015, struktur pemerintahan desa Parakancanggah tidak jauh berbeda dengan tahun sekarang, karena tidak ditemukannya data pada tahun 1990, maka penulis langsung mengacu pada struktur pemerintahan tahun 2015. Sehingga struktur pemerintahan di Desa Parakancanggah adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Struktur Pemerintahan Desa Parakancanggah

Nama Pengurus Jabatan

Sugeng Waluyo Kepala Desa

Moh. Albar, SH Sekretaris Desa

Puryoto Staf Umum (Pembantu SEKDES)

Mudji Burrochman Staf Umum (Pembantu SEKDES)

Warno Staf Umum (Pembantu SEKDES)

Hery Purnomo, SE Kasi Pemerintahan

Sigit Mulyanto Kasi Pemerintahan

(2)

Triutami Kasi Pembangunan

Supartin Kasi Pembangunan

Misbandi Kasi Kemasyarakatan

Achmad Sunarto Kasi Kemasyarakatan

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.

1.2 Letak Geografis dan Batas Wilayah Desa Parakancanggah

Bila dilihat dari keadaan geografis, jarak Desa Parakancanggah dari pusat pemerintahan kecamatan 3 Km, jarak dari pusat pemerintahan kota 2 Km, jarak dari kota kabupaten 2 Km, dan jarak dari ibukota provinsi 167 Km. Wilayah Desa Parakancanggah secara administratif dibatasi oleh :

Sebelah Utara : Kelurahan Kenteng, Kecamatan Madukara Sebelah Selatan : Desa Ampelsari, Desa Sokaraja

Sebelah Barat : Kelurahan Semarang, Kelurahan Krandegan Sebelah Timur : Kelurahan Sokanandi

Seiring perkembangan zaman, bangunan bertambah sehingga mengurahi luas tanah, terutama perkembangan jumlah penduduk sehingga lahan yang kosong kemudian berganti menjadi lahan penduduk.

Pada masa sekarang luas wilayah Desa Parakancanggah adalah 43,793 Ha/m2 yang merupakan daerah pertanian, dan sebagian besar tanah pertanian yang ada adalah berupa tanah persawahan. Untuk tanah pekarangan / bangunan seluas 47,508 Ha/m2 . Kemudian tanah tegalan / kebun seluas 62,100 Ha/m2 dan untuk tanah lain-lain seluas 40,001

(3)

Ha/m2 Secara umum kualifikasi tanah Desa Parakancanggah, terbagi atas empat jenis penggunaannya, selengkapnya adalah sebagaimana tersebut dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2

Kualifikasi Tanah dan Penggunaan di Desa Parakancanggah Pada Bulan November 2015

No Tanah Luas (Ha/m2 ) Presentase

(%)

1. Persawahan 43,793 Ha/ m2 22,6 %

2. Pekarangan /

bangunan

47,508 Ha/m2 24,5 %

3. Tegalan / kebun 62,100 Ha/ m2 32,1 %

4. Lain-lain 40,001 Ha/ m2 20,6 %

Jumlah 193,402 Ha/ m2 98,1 %

Sumber: Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.

Berdasarkan tabel di atas, menyatakan bahwa luas tanah di Desa Parakancanggah sebagian besar digunakan untuk pekarangan atau bangunan yang mencapai 47,508 Ha/m2.

1.3 Keadaan Sosial Desa Parakancanggah

1. Demografis

Keberhasilan suatu wilayah bisa ditentukan dengan faktor jumlah penduduk, di mana jumlah penduduk seimbang dengan luas wilayah maka pembangunan desa tersebut akan maju. Begitu pula sebaliknya, jika jumlah penduduk tidak seimbang dengan luas

(4)

wilayah desa maka, proses pembangunan dan perkembangan suatu desa juga akan terlambat. Jumlah penduduk di desa Parakancanggah dari tahun 1990 sampai tahun 2015 terus bertambah, hal itu di pengaruhi oleh semakin banyaknya pendatang baru dan lahirnya keluarga baru. Namun pada tahun 1990 tidak di peroleh data terkait jumlah penduduk, tetapi pada 2015 diperoleh data jumlah penduduk dari hasil penelitian terhitung sejumlah 8.396 jiwa. Dengan perincian jumlah penduduk laki-laki 4.224, jumlah penduduk perempuan 4.171 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 2.235 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel penduduk dalam jenis kelamin dan kelompok umur berikut :

Tabel 3

Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Desa Parakancanggah November 2015

No Jenis kelamin Jumlah Persentase (%)

1. Perempuan 4.171 jiwa 49,6 %

2. Laki-laki 4.224 jiwa 50,3 %

Jumlah 8.395 jiwa 99,9 %

Sumber: Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Desa Parakancanggah Dalam Kelompok Umur November 2015

No Umur Jumlah Persentase

(%)

1. 0-15 tahun 2.206 26,2 %

(5)

3. 65 ke-atas 322 3,8 %

Jumlah 8.395 98,1 %

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015.

Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk tiap-tiap kelompok umur kebanyakan dari mereka adalah usia dewasa dan lansia. Kedua kelompok umur tersebut mempunyai jumlah yang cukup banyak, dan tidak ada keseimbangan antara keduanya dengan angka usia ketergantungan, yaitu pada kelompok usia 65 keatas (terendah). Berarti pula bahwa keadaan penduduk desa tersebut termasuk dalam penduduk usia anak-anak dan dewasa. Dari data penduduk dan luas wilayah Desa Parakancanggah maka, dapat disimpulkan bahwa Desa Parakancanggah termasuk daerah yang tidak padat penduduk.

2. Mata Pencaharian

Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, penduduk desa Parakancanggah mempunyai bermacam-macam mata pencaharian, baik mata pencaharian pokok maupun mata pencaharian sampingan / musiman. Penduduk Desa Parakancanggah mempunyai bermacam-macam mata pencaharian untuk menopang kehidupan sehari-hari diantaranya adalah pedagang, pegawai swasta, petani dan lain-lain. Sebelum tahun 2015 mata pencaharian penduduk desa Parakancanggah dominan pertanian, namun seiring perkembangan zaman, mata pencaharian masyarakat beralih ke perdagangan. Seperti pada tahun 2015 mayoritas penduduk desa Parakancanggah bekerja dalam bidang

(6)

perdagangan. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada daftar tabel di bawah ini :

Tabel 5

Jenis Mata Pencaharian Desa Parakancanggah pada bulan November 2015

No Mata Pencaharian Jumlah tenaga kerja

1. Karyawan (PNS, ABRI, Guru,

Swasta) 1185 2. Wiraswasta 428 3. Pedagang 1057 4. Tani/Pekebun/Peternak 230 5. Pertukangan 74 6. Buruh Tani 37 7. Pensiunan 157 8. Nelayan 5 9. Pemulung 2 10. Jasa 90 11. Tabib 1 12. Seniman 2 Jumlah 3268

Sumber : Arsip Kantor Desa Parakancanggah tahun 2015

Dari data tabel tersebut di atas, diketahui bahwa mata pencaharian penduduk Desa Parakancanggah sebagian besar adalah karyawan, dengan presentase karyawan 36,2%, wiraswasta 13,1%, pedagang

(7)

32,3%, tani 7%, pertukangan 2,2%, buruh tani 1,1%, pensiunan 4,8%, nelayan 0,2%, pemulung 0,1%, jasa 2,8%, tabib 0,03%, seniman 0,1%. Sehingga keadaan ekonomi masyarakat Desa Parakancanggah dengan kehidupan yang sederhana namun mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka yaitu sandang, pangan dan papan.

3. Penganut Agama

Agama merupakan suatu kepercayaan yang dianut oleh setiap individu manusia yang di dalam suatu agama terdapat aturan-aturan dan pedoman hidup untuk menjalankan aktivitas dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di Indonesia terdapat enam agama dan kepercayaan yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Hindu dan Konghuchu.

Dalam agama yang di anut, di Desa Parakancanggah sejak tahun 1990 sampai 2015 mayoritas memeluk agama Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel :

Tabel 6

Jumlah penganut agama di Desa Parakancanggah pada bulan November 2015

No Agama Jumlah Persentase (%)

1. Islam 8.307 98,9 %

2. Kristen 75 0,8 %

3. Katholik 9 0,1 %

4. Hindu 4 0,0 %

(8)

6. Konghuchu 0 0 %

Jumlah 8.395 98,1 %

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015. Berdasarkan tabel di atas jumlah penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 8.307 jiwa, agama Kristen 75, Katholik 9 jiwa, agama Hindu 4 jiwa, agama Budha 0 jiwa, dan Konghuchu 0 jiwa. Banyaknya penganut agama Islam tidak terlepas dari keberadaan pondok pesantren Al-Fatah di desa Parakancanggah. Semakin besar masyarakat memeluk agama Islam maka sarana penunjang peribadatan juga semakin bertambah dan berkembang di dalam suatu desa. Begitu juga yang terjadi di desa Parakancanggah yang mempunyai jumlah sarana peribadatan yang cukup baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 7

Prasarana Keagamaan yang dimiliki di Desa Parakancanggah

No Prasarana Jumlah 1. Mushola 29 2. Masjid 5 3. Gereja 1 4. Pesantren 1 Jumlah 36

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015

Dilihat dari segi penganut agama dan jumlah sarana ibadah yang dan cukup memadai. Jumlah masjid yang di desa Parakancanggah

(9)

berjumlah 5 buah dan mushola 29 buah, jumlah gereja 1 buah, pesantren 1 buah sehingga jumlah sarana peribadatan semuanya adalah 36. Berdasarkan pernyataan informan tempat ibadah ini selalu penuh pada sholat wajib dan juga hari jumat. Hal ini dibuktikan dengan dengan jumlah sarana dan prasarana peribadatan dan jumlah penduduk yang ada sudah imbang.

Di samping itu juga adanya pembinaan bagi para mubaligh muda, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama desa Parakancanggah dilakukan secara rutin melalui pendidikan formal maupun non formal. Yaitu berupa penanaman moral keagamaan disetiap sekolah-sekolah pesantren maupun non pesantren.

4. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Keadaan pendidikan di Desa Parakancanggah sangat baik masyarakat Desa Parakancanggah sangat sadar akan pentingnya pendidikan hal ini dibuktikan dengan cukup banyak yang tamatan SMP, SMA, dan melanjutkan hingga Sarjana. Berikut ini data masyarakat Desa Parakancanggah menurut tingkat pendidikannya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

(10)

Tabel 8

Data Kependudukan dilihat dari tingkat pendidikannya pada bulan November 2015

No Pendidikan Jumlah

1. Taman kanak-kanak 2381 orang

2. SD 1886 orang 3. SMP 1397 orang 4. SMA 1856 orang 5. Akademi D1-D3 213 orang 6. Sarjana 421 orang 7. Pascasarjana 31 orang

8. Tidak tamat 210 orang

Jumlah 8395 orang

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah 2015

Untuk menunjang taraf pendidikan yang lebih baik maka, sehingga di Desa Parakancanggah mempunyai beberapa sarana dan prasarana pendidikan. Sarana yang dimiliki oleh desa Parakancanggah dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 9

Sarana Prasarana Pendidikan di Desa Parakancanggah

No Pendidikan Jumlah

1. PAUD 4

2. TK 3

3. SD 6

(11)

5. SMU 2

6. Perguruan tinggi 1

Jumlah 18

Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.

Berdasarkan dari jumlah sarana pendidikan yang tersedia maka, kebanyakan dari masyarakat sekitar sudah dapat tertampung atau memperoleh pendidikan dengan baik, tidak putus sekolah dan kebanyakan dari mereka mengenyam pendidikan, bahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi (sarjana).

B. Berdirinya Pondok Pesantren Al-Fatah 1. Letak Pondok Pesantren Al-Fatah

Pondok pesantren Al-Fatah desa Parakancanggah, Kecamatan Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara, terletak di sebelah timur kota Banjarnegara, yakni di Kelurahan Parakancanggah. Berdiri di atas tanah seluas 5 ha, Pondok Pesantren ini terlerletak 112 km dari kota Purwokerto. Jarak dari pusat pemerintahan ke kecamatan 1 Km. Letak yang menghadap ke timur dan dikelilingi oleh rumah penduduk menjadikan ponpes Al-Fatah memiliki letak yang yang strategis, di samping keamanannya yang terjamin, juga letaknya tidak terlalu jauh dengan jalan raya sehingga mudah untuk dijangkau oleh masyarakat yang ingin menimba ilmu di pondok pesantren Al-Fatah ini. Demikian juga dilihat dari keadaan alamnya yang nyaman dengan kelihatan

(12)

suasana yang menghijau oleh suburnya tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya, dan suasana yang tenang tidak terlalu dekat dengan jalan raya dan tidak berdekatan dengan pusat keramaian desa sehingga lokasi yang demikian itu baik untuk berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran.

2. Latar Belakang Didirikannya Pondok Pesantren Al-Fatah

Sebelum membahas masalah didirikannya Pondok Pesantren Al-Fatah Desa Parakancanggah Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara ada beberapa hal yang melatar belakangi proses pembentukan hingga proses berdirinya pondok pesantren tersebut dilihat dari berbagai segi yaitu historis, motivasi, ekonomi dan sosial. a. Latar Belakang Historis

Pondok pesantren Al-Fatah terletak di Desa Parakancanggah. Pondok ini awal berdirinya adalah sebuah Mushola di daerah Kebon Sawo di pinggir jalan, dan pada saat itu tempat tersebut juga sering dilewati para penjajah sehingga kemudian pindah ke Parakancanggah sebelum dibangun Mushola sebagai tempat mengaji yang didirikan oleh KH. Abdul Fatah. Kemudian mushola tersebut dimanfaatkan sebagai pusat penyiaran agama Islam dan lambat laun jama'ahnya semakin banyak. KH. Abdul Fatah pada tahun 1901 berinisiatif untuk mendirikan pondok pesantren dan juga madrasah sebagai sarana untuk lebih memperdalam ilmu agama Islam dan diberi nama Pondok Pesantren Al-Fatah (Wawancara, Wildan, 3-5-2016).

(13)

Pondok pesantren Al-Fatah sejak didirikannya telah mengalami tiga zaman yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan zaman Republik Indonesia. Sejak awal berdirinya di Desa Parakancanggah, pondok pesantren ini sudah mengembangkan dakwah Islam Ahlussunnah dengan menitik beratkan pada kajian kitab kuning sistem salaf guna mencetak generasi yang tafaqquh fiddin serta pengembangan aqidah dan tasawuf : Toriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah. Pada saat itu santrinya juga masih sedikit tetapi berkat ketekunan dan ketabahan kyai dalam mengasuh ponpes serta santrinya dalam menimba ilmu di ponpes tersebut, para santrinya semakin bertambah bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Banjarnegara. Hal tersebut menjadikan langkah awal K.H. Abdul Fatah semakin bersemangat dalam menyiarkan agama Islam melalui Pondok Pesantren Al-Fatah, / yang semakin lama semakin dikenal oleh masyarakat umum dan banyak santri yang menimba ilmu di pondok pesantren tersebut (Wawancara KH. Yahya, 18-4-2016).

b. Latar Belakang Motivasi

Dilihat dari latar belakang motivasi, pada pondok pesantren Al-Fatah didirikan atas dasar dorongan dari diri pribadi K.H. Abdul Al-Fatah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam di daerah yang dipandang belum dapat melaksanakan ajaran Islam dalam hal ini masih kurang benar pemahaman keislamannya. Motivasi yang mendasari pendirian pondok pesantren Al-Fatah ini, adalah adanya dorongan keluarga,

(14)

kemudian K.H. Abdul Fatah diberikan tanah oleh orangtuanya kemudian tanah tersebut digunakan untuk mendirikan masjid sebagai pusat penyebaran agama Islam (Wawancara Hasan, 18-4-2016).

Dari situlah kemudian K.H. Abdul Fatah memanfaatkan masjid tersebut sebagai media penyebaran dan pengajian agama Islam. Dengan model dakwah yang halus, kegiatan pengajian itupun akhirnya mendapat sambutan yang hangat dari para penduduk sekitar Desa Parakancanggah. Karena berasal dari lingkungan keluarga pondok pesantren, maka timbul niat K.H. Abdul Fatah untuk membanguan sebuah asrama sebagai pemondokan bagi para santri yang khususnya berasal dari luar Desa Parakancanggah. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang agama Islam K.H. Abdul Fatah mendirikan pondok pesantren, sehingga berdirilah Pondok Pesantren Al-Fatah. (Wawancara KH. Yahya, 18-4-2016).

c. Latar Belakang Sosial-Ekonomi

Setelah dijelaskan mengenai pondok pesantren Al-Fatah yang berada di daerah pedesaan berdekatan dengan pusat perkotaan dan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani serta mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan latar belakang dari masyarakat Parakancanggah yang masih belum sepenuhnya mengerti tentang Islam hanya sebatas tahu melalui keluarganya yang terdahulu sehingga muncul keinginan yang kuat dari pihak pengurus yayasan pondok agar

(15)

perlu adanya pembelajaran dan pemahaman keislaman melalui kajian Islam berlandaskan hadist-hadist.

Dari hal itu maka, pihak yayasan mendirikan pondok pesantren, dimana para petani dan pedagang maupun profesi lainnya juga bisa ikut andil dalam pembangunan pondok pesantren. Dengan adanya pondok pesantren di daerah Parakancanggah taraf kehidupan sosialnya juga ikut terangkat dengan mulai dikenalnya dengan daerah yang syarat akan nilai-nilai keislamannya jadi masyarakat luar yang mengenali desa Parakancanggah pasti tahu bahwa mereka tinggal dilingkungan santri lingkungan yang agamis. (Wawancara Wildan , 18-4-2016).

3. Proses Berdirinya Pondok Pesantren Al-Fatah

Asal-usul berdirinya pesantren di Indonesia, belum diketahui pasti, kendati demikian dapat diketahui bahwa pada abad ke-15 Sunan Ampel telah membangun lembaga pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan sebutan pesantren. Pada abad ke 15 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik pada tahun 1417 (Mahfudz, 1999 : 174). Kemudian pondok pesantren tersebut diikuti pula oleh pondok pesantren Al-Fatah, adalah salah satu pondok pesantren tertua dari sekian banyak pondok pesantren yang ada di daerah Banjarnegara.

(16)

1. Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah dari Tahun 1901-1990. Periode I (1901-1941), kepemimpinan pondok pesantren dipegang langsung oleh pendiri pondok pesantren yaitu KH. Abdul Fatah, yang telah merintis pondok pesantren sejak tahun 1901. Pada periode ini pondok pesantren hanya memiliki 30 santri, gaya kepemimpinannya identik dengan sikap karismatik KH. Abdul Fatah yang selalu mengutamakan pembelajaran menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Pada saat kepemimpinannya sarana prasarana yang dimiliki pondok nampaknya belum sepenuhnya sempurna layaknya sebuah pondok pesantren pada umumnya, yaitu hanya ada bangunan mushola dan tempat pondok saja. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)

Jika santri ingin mengaji mereka menggunakan mushola sebagai sarananya. Hal ini terjadi disebabkan karena selain kesibukan kyai sebagai pengajar tunggal beliau pun masih harus melaksanakan kewajiban sebagai kepala rumah tangga yang harus melaksanakan kewajiban. Sehingga praktis periode awal ini baik mushola maupun pondok pesantren yang berdiri sangat sederhana dan jauh dari layaknya sebuah pondok. Hingga akhirnya beliau wafat pada tahun 1941 dan kepemimpinannya digantikan oleh putra menantunya yaitu KH. Hasan Fatah. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)

Periode II (1941-1990). Sepeninggal KH. Abdul Fatah kepemimpinan pondok pesantren digantikan oleh putranya yaitu KH. Hasan Fatah. Beliau dipercayai sebagai pemimpin untuk menggantikan

(17)

posisi KH. Abdul Fatah karena kemahiran dalam tafsir Al-Quran. Pada periode ini sistem yang digunakan masih sama dengan sistem yang diterapkan oleh KH. Abdul Fatah namun jumlah santri hanya 27 sempat berkurang karena pada saat itu sedang proses kemerdekaan Indonesia , dan juga berdampak pada pondok pesantren Al-Fatah, tetapi setelah itu jumlah santri juga bertambah menjadi 50 santri. Dan sarana prasarana mengalami kemajuan bangunannya tidak hanya mushola dan pondok saja namun dengan bertambahnya ruang pengajian bagi santri dan juga masing" ruangan terpisah antara santriwati dan santriwan. Sama halnya

dengan KH. Abdul Fatah sepeninggal KH. Hasan Fatah

kepemimpinannya pun digantikan oleh putranya. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)

Periode III (1990-2013), Sepeninggal KH. Hasan Fatah kepemimpinan pondok pesantren digantikan oleh putranya yaitu KH. Hasyim Hasan beliau adalah putra pertama dari 7 bersaudara yang merupakan putra dari KH. Hasan Fatah. KH Hasyim Hasan dipercayai sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi KH. Hasan Fatah . Pada periode ini perlahan-lahan bangunan pondok pesantren mulai ditata dengan membangun dua asrama putra dan asrama putri serta membangun masjid yang lebih baik lagi. Setelah KH. Hasih Hasan wafat kemudian kepemimpinan di gantikan oleh KH. Muhammad Najib hingga sekarang , dalam periode ini juga mengalami perkembangan seperti bertambahnya jumlah santri dan perbaikan-perbaikan gedung ,

(18)

seperti mengecat ulang asrama putri. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)

Pada periode 1901-1941 sistem pengajaran di pondok pesantren Al-Fatah menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Sistem pengajian sorogan merupakan proses belajar membaca dan menghafal Al-Quran secara individual oleh para santri. Mereka membawa kitab kuning kehadapan Kyai, kemudian santri itu disuruh membaca isi dari kitab tersebut dan tidak terlepas dari pengawasan kyai. Apabila sudah baik dan benar dalam penghafalan Al-Quran, kemudian kyai memberikan penjelasan mengenai keterangan terjemahan serta tafsir agar santri lebih tahu lagi apa isi dan makna yang terkandung dalam kitab kuning yang dibacanya. Metode tersebut digunakan oleh KH. Abdul Fatah pada awal pendirian pondok pesantren cara ini dilakukan agar Kyai dapat mengenal karakter dan kemampuan yang dimiliki para santrinya, sehingga dengan metode ini santri lebih leluasa menanyakan apa yang belum mereka pahami secara langsung. (Wawancara Atabik Hasan Makruf, 3-5-2016).

2. Sistem Pengajaran

Sedangkan sistem pengajaran bandongan dilakukan untuk mengukur tingkat kemampuan santri, sehingga Kyai dapat mengelompokkan masing-masing santrinya berdasarkan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh santrinya tersebut. Sistem bandongan merupakan pengajaran yang dilakukan oleh kyai dengan cara seorang

(19)

Kyai membacakan kitab kuning dengan dikelilingi oleh para santri kemudian para santri juga dengan membawa kitab yang sama mereka mendengarkan dan menyimak apa yang dibacakan oleh Kyai kemudian santri mencatat keterangan dari tiap lembar kitab yang dibacakan oleh Kyai pada suatu kertas / buku tertentu yang khusus digunakan untuk proses pembelajaran. Sistem bandongan ini lebih menekankan pada peranan dari seorang kyai. (Wawancara, Wildan, 3-5-2016).

Seiring perkembangan zaman metode sorogan dan bandongan ini mulai di tambah dengan metode klasikal / madrasah. Latar belakangnya karena pada saat itu juga santrinya sudah mulai bertambah. Dengan menerapkan sistem madrasah pada pengajarannya dituntut tidak hanya didapat dalam pondok pesantren saja akan tetapi santri bisa mendapatkan pengetahuan umum di luar dari pengetahuan keislaman. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya program pendidikan madrasah sekarang setara dengan MTS dan MA. Kemudian dibangun juga MI sebagai sarana tambahan dalam pondok pesantren. Dari hal itu, maka sistem penyebarannya lama-kelamaan akhirnya mengalami perkembangan oleh masyarakat sekitar dari masa ke masa begitu pula dengan jumlah para santrinya. (Wawancara, Wildan, 3-5-2016).

(20)

C. Keberadaan Pondok Pesantren Al-Fatah pada masa Penjajahan hingga Kemerdekaan

1. Masa Penjajahan Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda perkembangan pondok pesantren mengalami pasang surut. Hal ini tidak terlepas dari adanya kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang dirasa cukup menghalangi perkembangan pondok pesantren (Dhofier, 1985 : 38). Di antara kebijakan-kebijakan tersebut antara lain :

a. Pada tahun 1882 pemerintah Hindia-Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren.

b. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapat izin dari pemerintah setempat.

c. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. d. Akhirnya, pada tahun1932 diberlakukan peraturan dikeluarkan

yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier, 1985 : 41).

Akibat dari penjajahan pemerintah kolonial Belanda kondisi pondok dan madrasah mengalami kemunduran tak banyak santri yang mondok dan bersekolah di pondok pesantren Al-Fatah faktor

(21)

penyebabnya adalah pemerintah kolonial Belanda membuka sekolah-sekolah umum secara besar-besaran dengan kurikulum yang menarik dan jaminan lapanganan kerja yang menggiurkan setelah mereka lulus. Agar tidak oleh adanya persaingan tidak sehat ini, pengelola pondok dan madrasah membentuk Tim Penyusun Rencana / Program Pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat Madrasah agar bisa sejajar dengan HIS dalam mata pelajaran umum dengan bahasa pengantranya adalah bahasa Belanda. Rencana itupun akhirnya tersusun dengan rancangan biaya yang diperlukan sebanyak 10.000 gulden. Dana sebanyak itu direncanakan untuk pembiayaan sarana dan prasarana Madrasah dan proposal ini semula akan diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda.

Namun, rencana tersebut gagal untuk direalisasikan karena pada tahun 1926 PKI sedang gencar-gencarnya melaksanakan aksi pembangkangan dan pemberontakan. Sekalipun aksi PKI ini, hanya berjalan selama satu hingga dua hari akan tetapi dampak dari peristiwa tersebut sangat luar biasa dirasakan oleh masyarakat Desa Parakancanggah khususnya umat Islam. Dan akhirnya hal tersebut membuat pemerintah Belanda bersikap keras terhadap seluruh organisasi-organisasi pergerakan, termasuk pada syarekat Islam. (Wawancara Atabik Hasan Makruf, 3-5-2016).

(22)

2. Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan jepang di Indonesia saat itu, pondok pesantren Al-fatah di asuh oleh KH. Hasan Fatah. Setelah menduduki Indonesia pada tahun 1942, Pemerintah Jepang sebenarnya lebih banyak memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan seluas -luasnya. Bahkan Jepang mulai menghapus bahasa pengantar Belanda yang masih di pakai di sekolah-sekolah umum dan digantikan dengan bahasa Indonesia. Selain itu Jepang juga memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah haji tanpa adanya batasan kuota. Tidak hanya itu saja Jepang pun mendirikan sebuah partai politik khusus bagi umat Islam bernama Masyumi. Akan tetapi dari semua itu hanyalah taktik dan cara Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia dengan banyaknya rakyat Indonesia yang bersedia bersekolah, maka makin mudah Jepang untuk melakukan penyebarluasan kampanye yang diinginkan Jepang melalui Sekolah dan Madrasah.

Dampak yang dirasakan oleh Pondok Pesantren Al-Fatah itu sendiri, pimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah sudah mengalami pergantian kepemimpinan atau sudah generasi kedua yaitu masa kepemipinan KH. Hasan Fatah. Otomatis cara berfikir serta meyikapi suatu permasalahan yang ada sudah agak berbeda, tetapi hal itu juga tidak jauh beda dengan masa kepemimpinan KH. Abdul Fatah. (Wawancara KH. Yahya Hanafi, 3-5-2016).

(23)

Setelah Jepang masuk ke Indonesia khususnya Desa Parakancanggah kondisi pondok semakin sepi serta santri pun mengalami penurunan. Keadaan ini, pada masa penjajahan Jepang berlangsung hingga peristiwa 17 Agustus 1945.

3. Masa Kemerdekaan

Banyak para mantan maupun murid pesantren Al-Fatah yang ikut serta bergabung dalam laskar pejuang Sabilillah dan Hisbullah,. Salah satu dari mereka adalah KH. Ridho Fatah merupakan tokoh penggerak bagi murid-murid yang ingin bergabung dalam laskar pejuang Sabilillah dan Hisbullah. Maka, dengan bermodal senjata rampasan pelucutan senjata Jepang, maka ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa dari mereka harus gugur saat menghadapi tentara sekutu dan Belanda, yang berisikeras melarang senjata-senjata Jepang jatuh ke tangan rakyat Indonesia.(Wawancara Atabik Hasan Makruf, 3-5-2016).

Pendidikan pesantren di Indonesia menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada

(24)

pendidikan pesantren menurun dibanding dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Yunus, Muhammad 1995 : 411).

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa tengah, kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditanggakp oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudh Abdurrahman (Kyai Sumolangu).

Pada saat itu Pondok Pesantren Al-Fatah juga ikut serta dalam pemberontakan tersebut yaitu KH. Hasan Fatah ikut bergabung dalam AUI yang berlokasi di Somalayu, Kebumen. Waktu itu AUI sudah melakukan pemberontakan kepada Belanda. Beliau menjadi prajurit di AUI selama satu tahun. Berada pada waktu itu masyarakat Indonesia memberontak Belanda yang bersenjata bambu runcing, sedangkan beliau menggunakan tasbih. Pada waktu itu, Belanda kesulitan mencari desa Somalayu. Sehingga keadaan pondok tidak memungkinkan,

(25)

sehingga santri diungsikan ke daerah wonosobo. setelah keadaan pondok mulai aman kemudian santri balik lagi ke Parakancanggah untuk menimba ilmu agama. (Arsip Pondok Pesantren tahun 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Selain penulis mendapatkan pengetahuan dan pengalaman di bidang industri pertelevisian seperti, bagaimana cara seorang reporter mencari berita, melakukan wawancara

teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat kecemasan pasien skala. Jumlah responden berdasarkan umur di Klinik Ngudi

Jenis telur cacing yang ditemukan dan hasil identifikasi pada feses sapi yang digembalakan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Tamangapa Makassar dengan

Skripsi yang berjudul, “ Keanekaragaman dan Kelimpahan Echinodermata di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar ”, yang disusun oleh Tiara Puspitasari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan aktivitas siswa kelas VIIIE SMP Negeri 1 Jogonalan selama pembelajaran matematika dengan penerapan

Penguburan tradisional di wilayah Kalimantan Utara pada umumnya terdiri dari dua kelompok besar, yaitu tradisi penguburan dengan menggunakan wadah kubur yang terbuat

Perkebunan Nusantara VII Unit Way Berulu telah melakukan kegiatan yang sesuai dengan Ekonomi Islam yang di dasari dengan Prinsip Ekonomi Islam yaitu Prinsip Keadilan dan

Penggunaan bahasa Indonesia mentrrtiukkan kepercayaan diri pemakainya, dari tabel di atas menyatakan juga sebagian besar responden menyetujuinya, yaitu 60% setuju,