ANALISIS DAMPAK IMPLEMENTASI PSAK 50 DAN 55
(REVISI 2006) ATAS IMPAIRMENT KREDIT TERHADAP
INDUSTRI PERBANKAN
Widodo
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Depok, 16424
ABSTRACT
The aim of this research was to analyze the impact implementation of PSAK 55 and 55 (revised 2006) of impairment loan in banking industry. PSAK 50 and 55 (revised 2006) is a accounting standard that governs recognition, measurement, presentation, and dislosure of financial instruments, including loan. This study was conducted with qualitative methods, descriptive design and do library research obtained secundery data and another object.
This research took ten samples banking industry that listed on Bursa Efek Indonesia (BEI) in 2010 and 2011. The results of this study indicates that allowance for impairment loans smaller after implementation PSAK 50 and 55 (revised 2006). The impact is decreasing operating expenses and increasing earnings in banking industry.
Keywords: PSAK 50 and 55, CKPN, allowance for impairment loans PENDAHULUAN
Dalam perekonomian nasional, bank memiliki peran sebagai lembaga intermediasi dalam penyaluran kredit. Peran tersebut ditunjukan oleh fungsi utama perbankan,yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit. Kredit yang disalurkan kembali kepada masyarakat ini akan diputar kembali untuk kegiatan konsumtif maupun kegiatan produktif sehingga kegiatan perekonomian dapat berlangsung.
Dalam laporan posisi keuangan, kredit dicatat sebagai aset, dan jumlahnya sangat signifikan, bisa mencapai 50% atau bahkan lebih dari total aset suatu bank. Penyaluran suatu kredit mengandung risiko bahwa kredit tersebut tidak akan tertagih. Dengan kata lain,debitur mengalami gagal bayar (default) dalam memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, bank harus membentuk cadangan kerugian kredit agar laporan keuangan memperlihatkan kondisi yang sesungguhnya (representative faithfulness).
Terkait hal tersebut, bank memerlukan standar akuntansi yang mengatur instrumen keuangan, karena sebagian besar komponen aset dan kewajiban perbankan adalah instrumen keuangan. Salah satu instrumen keuangan tersebut adalah kredit, yang digolongkan sebagai loan and receivables, yang tercatat sebagai aset dalam jumlah yang sangat signifikan.
Dalam rangka menyelaraskan standar akuntansi keuangan khususnya untuk perbankan Indonesia serta sejalan dengan upaya peningkatan market discipline, Bank Indonesia berinisiatif melakukan kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk menyusun standar akuntansi keuangan yang mengadopsi IAS 39 dan IAS 32. Standar akuntansi tersebut adalah PSAK 50 revisi 2006 yang diadopsi dari IAS 39 yang mengatur tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan serta PSAK 55 revisi 2006 yang diadopsi dari IAS 32 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan.
Dampak terbesar dari PASK 50 dan 55 (revisi 2006) ini adalah mengenai cadangan kerugian penurunan nilai kredit (CKPN), dimana dalam menentukan besarnya penyisihan kerugian kredit berdasarkan bukti obyektif adanya penurunan nilai serta probability of default berdasarkan data kerugian historis. Sebelum diimplementasikan PSAK tersebut, penyisihan kerugian kredit ditentukan berdasarkan ketentuan dari Bank Indonesia (BI) dan ekspetasi kerugian (expectation loss), yang disebut Pemebentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP). Hal ini banyak dimanfaatkan bank untuk mempercantik laporan keuangannya dan melakukan rekayasa laporan keuangan untuk tujuan tertentu.
Setelah adanya implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) ini, diharpakan bank tidak akan bisa memupuk cadangan kerugian kreditnya secara besar-besaran untuk berbagai macam tujuan. PSAK yang diimplementasikan pada 1 Januari 2010 ini berperan sebagai sebagai prudential regulation, yaitu untuk mendorong proses harmonisasi penyusunan laporan keuangan dan disiplin pasar bagi perbankan. Penerapan kedua standar akuntansi tersebut secara tepat dan konsisten juga dapat mendorong bank untuk menyusun laporan keuangan secara lebih wajar dan informatif serta sesuai standar internasional sehingga akan lebih siap dalam menghadapi era globalisasi sehingga lebih berguna bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan.
Alasan dipilihnya industri perbankan sebagai sampel dalam penelitian ini karena perbankan merupakan entitas yang sebagian komponen aset dan kewajibannya terdiri dari instrumen keuangan, terutama kredit yang digolongkan sebagai pinjaman yang diberikan dan piutang. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui metode perhitungan penurunan penurunan nilai kredi sebelum dan sesudah implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006), perbedaan jumlah penyisihan kerugian kredit sebelum dan sesudah implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006), serta bagaimana dampak implementasi PSAK 50 dan 55 atas penurunan nilai kredit terhadap industri perbankan.
TINJAUAN PUSTAKA
PSAK 50 dan 55: Pengakuan dan Pengukuran serta Penyajian dan Pengungkapan Instrumen Keuangan
PSAK 50 merupakan suatu pernyataan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS 32 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan suatu entitas, sedangkan PSAK 55 adalah suatu pernyataan standar akuntansi keuangan yang diadopsi dari IAS 39 yang mengatur tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Penerbitan PSAK oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan ini diharapkan dapat menciptakan proses harmonisasi penyusunan laporan keuangan serta mendorong disiplin pasar.
Klasifikasi Instrumen Keuangan
Instrumen keuangan dapat digolongkan menjadi empat kategori, yakni: 1) nilai wajar melalui laporan laba rugi (fair value through profit or loss), dengan kriteria diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan, ditetapkan pada saat pengakuan awal; 2) dimiliki hingga jatuh tempo (held to maturity) dengan kriteria non derivatif, pembayaran tetap/telah ditentukan, jatuh tempo telah ditetapkan, serta entitas memiliki intensi positif dan kemampuan untuk memiliki hingga jatuh tempo; 3) pinjaman yang diberikan dan piutang (loan and receivables) dengan kriteria non derivatif, pembayaran tetap/telah ditentukan, dan tidak memiliki kuotasi pasar aktif; 4) tersedia untuk dijual (available for sale) dengan kriteria
ditetapkan sebagai tersedia untuk dijual, serta tidak diklasifikasikan sebagai nilai wajar melalui laporan laba rugi, dimiliki hingga jatuh tempo, serta pinjaman yang diberikan dan piutang.
Penurunan Nilai (Impairment)
Penurunan nilai adalah suatu kondisi dimana terdapat bukti objektif terjadinya peristiwa yang merugikan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah pengakuan awal kredit tersebut, dan peristiwa yang merugikan tersebut berdampak pada estimasi arus kas masa datang atas aset keuangan atau kelompok aset keuang yang dapat diestimasi secara andal. Cadangan kerugian penurunan nilai kredit adalah penyisihan yang dibentuk apabila nilai tercatat kredit setelah penurunan nilai kurang dari nilai tercatat awal. Nilai tercatat kredit adalah nilai kredit neto pada tanggal pelaporan setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, 2008)
Kerugian penurunan nilai terjadi ketika kelompok aset keuangan diturunkan nilainya. Apabila terjadi bukti objektif penurunan nilai tersebut akibat dari satu atau lebih peristiwa setelah pengakuan awal dan peristiwa yang merugikan tersebut berdampak pada arus kas masa depan maka perusahaan dapat mengakui penurunan nilai pada kelompok aset keuangannya.
Kriteria Evaluasi Penurunan Nilai
Nilai kredit yang akan diturunkan nilainya dapat dilakukan secara individual maupun kolektif. Penurunan nilai secara individual dilakukan terhadap kredit yang secara individual signifikan dan terdapat bukti obyektif penurunan nilai. Sedangkan penurunan nilai kredit secara kolektif dilakukan terhadap kredit yang tidak dievaluasi secara individual serta kredit yang signifikan secara individual namun tidak terdapat bukti obyektif penurunan nilai.
Teknik Evaluasi Penurunan Nilai
Bank dapat menggunakan berbagai teknik untuk mengevaluasi penurunan nilai, baik secara individual maupun kolektif. Dalam memilih dan menggunakan teknik evaluasi penurunan nilai, bank perlu mempertimbangkan analisa biaya dan
manfaat (cost and benefit) serta ketersediaan informasi dan data historis. Untuk penurunan nilai secara individual, teknik yang dapat digunakan adalah discounted
cash flow, fair value of collateral, serta observable market price. Sedangkan
untuk penurunan nilai secara kolektif, teknikyang dapat digunakan antara lain adalah model statistik analisis dengan metode roll rate analysis dan migration
outstanding analysis untuk menghitung probability of default.
Pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Dalam menetapkan jumlah cadangan kerugian penurunan nilai yang akan dibentuk, bank harus memperhatikan bahwa cadangan kerugian penurunan nilai dibentuk berdasarkan selisih antara nilai tercatat kredit dan nilai kini dari estimasi arus kas masa datang yang didiskontokan dengan menggunakan suku bunga efektif, tidak diperbolehkan membentuk cadangan kerugian penurunan nilai melebihi jumlah yang dapat dikaitkan pada kredit individual atau kelompok kredit kolektif dan didukung dengan bukti obyektif penurunan nilai,serta cadangan kerugian penurunan nilai dibentuk sesuai dengan mata uang denominasi kredit yang diberikan (PAPI, 2008, p. 199).
Periode Evaluasi Penurunan Nilai
Ketika melakukan evaluasi atas penurunan nilai, diperlukan periode waktu tertentu. Periode waktu atas evaluasi penurunan nilai harus dilakukan setiap akhir bulan atau paling lambat setiap akhir triwulan, bank wajib mengevaluasi apakah terdapat bukti obyektif bahwa kredit atau kelompok kredit mengalami penurunan nilai. Ketika bank melakukan evaluasi setiap akhir triwulan, namun terdapat bukti obyektif terjadinya penurunan nilai sebelum tanggal evaluasi berikutnya, maka bank wajib mengestimasi kembali arus kas masa datang dan cadangan kerugian penurunan nilai untuk kredit tersebut (PAPI, 2008, p. 186).
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi literatur, yaitu pengumpulan data dari sumber sekunder dengan mengambil beberapa sampel kemudian setiap sampel
diteliti, kemudian dilakukan analisis secara deskriptif. Kesimpulan yang diambil hanya berlaku untuk sampel yang diteliti tersebut. Sampel ini menjadi tolak ukur dalam melihat dampak implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) pada penurunan nilai kredit terhadap industri perbankan. Sampel penelitian diambil dari industri perbankan karena kredit adalah komponen aset yang jumlahnya sangat signifikan sehingga isu mengenai tidak tertagihnya kredit yang disalurkan tersebut menjadi risiko utama kegiatan operasional perbankan.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang sudah langsung tersedia dari sumbernya. Data sekunder utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan bank yang dijadikan sampel, baik laporan posisi keuangan maupun laporan laba rugi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan sampel, baik untuk data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Data yang bersifat kuantitatif antara lain adalah jumlah kredit berdasarkan kualitasnya, jumlah cadangan penyisihan kerugian kredit yang dibentuk pada tahun berjalan, dan total aset industri perbankan yang dijadikan sampel. Sedangkan data kualitatif berupa keterangan-keterangan non angka yang tertulis dalam catatan atas laporan keuangan, misalnya metode perhitungan penyisihan kredit sebelum dan sesudah diterapkanya PSAK 50 dan 55 revisi 2006 serta kriteria yang digunakan dalam menentukan penyisihan kredit secara individual dan kolektif.
Metode Pengambilan Sampel
Data utama dalam penelitian ini adalah laporan keuangan dan laporan tahunan dari perusahaan industri perbankan yang terdiri dari informasi kualitatif maupun kuantitatif. Data ini diunduh dari situs bank yang bersangkutan dan situs Bursa Efek Indonesia. Informasi lain yang dapat digunakan adalah data yang tersedia pada buku cetak dan buku elektronik yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi. Setiap data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini akan dituliskan semuanya dalam daftar referensi.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan industri perbankan yang telah diaudit dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode laporan keuangan yang dijadikan sampel adalah 31 Desember 2010 dan 2011 untuk menganalisis perbedaan penyisihan kredit yang dibentuk sebelum dan sesudah diimplementasikannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006, serta melakukan analisis dampak implementasi PSAK tersebut terhadap industri perbankan.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini diharapkan dapat mewakili populasi industri perbankan karena sampel merupakan perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang wajib menyusun laporan keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat sepuluh industri perbankan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Sepuluh bank bank tersebut adalah sebagai berikut. No Nama Bank Kode Emiten Tanggal terdaftar di BEI
1 PT Bank Mandiri Tbk BMRI 14 Juli 2003
2 PT Bank CIMB Niaga Tbk BNGA 31 Mei 2000
3 PT Bank Danamon Indonesia Tbk BDMN 8 Desember 1989
4 PT Bank Mega Tbk MEGA 29 Agustus 1997
5 PT Bank OCBC NISP Tbk NISP 20 Oktober 1994
6 PT Bank Ekonomi Raharja Tbk BAEK 8 Januari 2008
7 PT Bank PAN Indonesia Tbk PNBN 29 Desember 1982
8 PT Bank Permata Tbk BNLI 15 Januari 1990
9 PT Bank International Indonesia Tbk BNII 21 November 1989
10 PT Bank Bumi Arta BNBA 31 Desember 2009
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dilakukan adalah tinjauan pustaka (libarary research) dan website. Tinjauan pustaka adalah membaca literatur-literatur serta berbagai bahan pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Bagi data yang bersifat kuantitatif, pengumpulan data dilakukan untuk periode akhir tahun, yakni 31 Desember 2010, dan 2011.
Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis menggunakan sumber data sekunder, yaitu data yang sudah dipulikasikan melalui situs online bank terkait yang dijadikan sampel serta situs Bursa Efek Indonesia. Data tersebut berupa laporan keuangan yang telah diaudit serta informasi tambahan lain dari bank yang dijadikan sampel setelah diterapkannya PSAK 50 dan 55 (revisi 2006), yaitu laporan keuangan periode 31 Desember 2010 dan 2011.
Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bersifat menjelaskan (explanatory research) dengan pendekatan studi literatur. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini menggambarkan sampel yang dijadikan objek penelitian.
Analisis data dilakukan dengan pendekatan komparatif terhadap laporan keuangan bank yang dijadikan sampel, yakni menghitung besarnya penyisihan kredit (PPAP) sebelum diimplementasikannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006 untuk sampel laporan keuangan periode 31 Desember 2010 dan 2011. Jumlah penyisihan kredit (CKPN) setelah diimplementasikannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006 telah diungkapkan dalam laporan keuangan bank yang dijadikan sampel, sehingga dari perbedaan jumlah PPAP dan CKPN tersebut penulis dapat melakukan analisis dampak implementasi PSAK 50 dan 55 revisi 2006 terhadap industri perbankan.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Nilai Kredit
Berikut ini adalah persentase kredit terhadap total aset masing-masing bankyang dijadikan sampel untuk periode 31 Desember 2010 dan 2011.
Nama Bank % Kredit Terhadap Total Aset
Nama Bank % Kredit
Terhadap Total Aset Bank Mandiri 2010 2011 51.70% 54.18%
Bank Ekonomi Raharja 2010 2011 52.77% 57.62% Bank Mega 2010 2011 45.76% 50.73% Bank International Indonesia 2010 2011 64.76% 64.99% Bank Danamon 2010 2011 61.98% 60.21% Bank Permata 2010 2011 69.71% 67.31% Bank OCBC NISP 2010 2011 61.66% 67.76%
Bank PAN Indonesia 2010 2011 51.09% 55.37% Bank CIMB Niaga 2010 2011 69.86% 71.69%
Bank Bumi Arta 2010
2011
43.37% 54.33%
Berdasarkan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa kredit merupakan komponen terbesar dari total aset suatu bank, bahkan lebih dari 50%, kecuali untuk Bank Mega dan Bank Bumi Arta pada tahun 2010. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai kredit sangat berpengaruh terhadap nilai aset bank. Adanya isu mengenai penurunan nilai kredit juga akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan aset industri perbankan.
Kredit tersebut merupakan sumber utama pendapatan bank dalam bentuk pendapatan bunga sebagai pendapatan utama bank, sehingga timbulnya kredit bermasalah, misalnya kredit macet dapat mengurangi profitabilitas bank. Oleh karena itu, penyisihan kerugian kredit yang dibentuk bank harus cukup untuk menutupi segala kemungkinan tidak tertagihnya kredit tersebut agar laporan keuangan memperlihatkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya (representative faithfulness).
Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai perbedaan jumlah penyisihan kredit sebelum dan sesudah diterapakannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006 terhadap sepuluh sampel bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sepuluh bank tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Danamon, Bank PAN Indonesia, Bank Bank Bumi Arta, Bank OCBC NISP, Bank Permata, Bank Ekonomi Raharja, Bank International Indoenesia, serta Bank CIMB Niaga. Setiap bank tersebut telah melaporkan besarnya CKPN yang dibentuk untuk setiap periode berjalan, yakni periode yang berakhir pada 31 Desember 2010 dan 2011. Analisis akan ditekankan terhadap dampak dari perbedaan penyisihan kerugian kredit yang dibentuk akibat diimplementasikannya PSAK 50 dan 55 (revisi 2006).
Nama Bank PPAP CKPN Nama
Bank PPAP CKPN Bank Mandiri 2010 2011 7.444.614 9.297.024 2.054.079 3.407.728 Bank Permata 2010 2011 1.601.645 1.692.534 220.030 396.355 Bank Danamon 2010 2011 2.309.380 2.614.345 1.454.956 1.679.091 Bank Mega 2011 549.607 283.476 Bank OCBC NISP 2010 2011 862.047 870.321 195.777 216.375 Bank Ekonomi Raharja 2011 190.176 29.324 Bank International Indonesia 2010 2011 1.585.389 1.791.627 1.121.271 905.701 Bank PAN Indonesia 2011 3.065.481 912.235 Bank CIMB Niaga 2010 2011 3.309.884 4.030.594 1.225.695 881.514 Bank Bumi Arta 2011 33.404 10.178
Jumlah PPAP pada tabel diatas dihitung dengan mengalikan setiap kategori kualitas kredit dengan kolektibilitas yang telah ditetntukan oleh Bank Indonesia, yakni 1% untuk kategori lancar, 5% untuk kategori dalam perhatian khusus, 15% untuk kategori kurang lancar, 50% untuk kategori diragukan, serta
100% untuk kategori macet. Contoh perhitungan tersebut adalah sebagai berikut, yakni PPAP Bank Mandiri.
Kategori Saldo (a) Kol (b) PPAP (a x b) Lancar 31 Desember 2010 31 Desember 2011 221.253.619 291.405.150 1% 2.212.536 2.914.052 Dalam Perhatian Khusus
31 Desember 2010 31 Desember 2011 16.783.249 12.729.911 5% 839.162 636.496 Kurang Lancar 31 Desember 2010 31 Desember 2011 1.424.264 926.767 15% 213.640 139.015 Diragukan 31 Desember 2010 31 Desember 2011 773.152 848.034 50% 386.576 424.017 Macet 31 Desember 2010 31 Desember 2011 3.792.700 5.183.444 100% 3.792.700 5.183.444 Total 2010 2011 244.026.984 311.093.306 7.444.614 9.297.024 PPAP untuk semua sampel lain dihitung dengan menngunakan dengan cara yang sama. Terdapat empat bank dimana PPAP dihitung hanya untuk tahun 2011, yakni Bank Mega, Bank Ekonomi Raharja, Bank PAN Indonesia, serta Bank Bumi Arta. Alasannya adalah keempat bank tersebut mengimplementasikan PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) pada 1 Januari 2011, sedangkan keenam bank lain telah mengimplementasikan PSAK tersebut pada 1 Januari 2010.
Berdasarkan tabel tersebut, kita dapat melihat bahwa penyisihan kerugian kredit setelah diiimplementasikan PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) lebih kecil daripada sebelum implementasi PSAK tersebut. Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) ini dihitung secara individual maupun kolektif. Perhitungan CKPN secara individual dilakukan dengan metode discounted cash flow ketika terdapat bukti obyektif penurunan nilai, sedangkan perhitungan secara kolektif dilakukan dengan menghitung probability of default melalui metode roll rate analysis dan migration outstanding analysis. Kerugian penurunan nilai kredit yang dicatat pada amortized costs diukur sebesar selisih dari nilai tercatat kredit dengan present
value estimasi arus kas masa datang yang didiskontokan menggunakan suku bunga efektif awal kredit tersebut
Jurnal sebelum diterapkannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006:
Pembentukan Penyisihan Aktiva 7.444.614
Cadangan Pembentukan Penyisihan Aktiva 7.444.614
Pembentukan Penyisihan Aktiva 9.297.024
Cadangan Pembentukan Penyisihan Aktiva 9.297.024
Jurnal setelah diterapkannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006:
Kerugian Penurunan Nilai Kredit 2.054.079
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai 2.054.079
Kerugian Penurunan Nilai Kredit 3.407.728
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai 3.407.728
Saldo akhir CKPN/PPAP disajikan dalam laporan posisi keuangan sebagai pos pengurang kredit yang tercatat pada tanggal laporan keuangan, sedangkan beban kerugian penurunan nilai kredit disajikan sebagai beban operasional pada laporan laba rugi. Dampak dari perbedaan tersebut adalah menurunnya beban operasional pada laporan laba rugi sebesar selisih dari PPAP yang lebih besar daripada CKPN, yakni Rp5.390.535 untuk tahun 2010 serta Rp5.889.296 untuk tahun 2011 untuk Bank Mandiri, demikian juga dengan bank lainnya.
Analisis Dampak Implementasi PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006)
Dari perhitungan dan analisis yang telah dilakukan terhadap sepuluh sampel tersebut, dapat dilihat bahwa penyisihan kerugian kredit (CKPN) setelah implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) lebih kecil daripada PPAP. PPAP dihitung dengan menggunakan kolektibilitas yang telah ditentukan oleh BI, sedangkan CKPN dihitung berdasarkan bukti obyektif bahwa terjadi penurunan nilai dan probability of default yang didapatkan dari data kerugian historis yang
pernah dialami bank dengan menggunakan statistical model analysis method, yaitu roll rates analysis method dan migration analysis method.
Kerugian penurunan nilai kredit ini dibebankan pada laporan laba rugi, sehingga CKPN yang lebih kecil daripada PPAP ini akan berdampak turunnya beban operasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, penyisihan cadangan kerugian kredit yang dibentuk oleh bank dapat dikurangkan (deductible expenses) dalam menghitung laba fiskal (taxable income), sehingga menurunnya beban operasional akibat CKPN yang lebih kecil daripada PPAP ini akan menaikan laba industri perbankan.
Hal lain yang dapat dicermati adalah implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) ini dapat mengurangi kemungkinan dilakukannya manajemen laba atau rekayasa laporan keuangan, terutama terkait dengan kredit. Karena cadangan kerugian penurunan nilai ini dapat dikurangkan untuk menghitung laba fiskal, maka manajemen tidak akan bisa mengatur jumlah cadangan kerugian kreditnya karena harus terdapat bukti obyektif dan data kerugian historis dalam menghitung penyisihan kerugian kredit tersebut..
Hal penting yang patut dicermati dalam hal ini adalah laporan keuangan akan lebih memperlihatkan keadaan yang sesungguhnya (faithfull representation) karena dalam menentukan kerugian penurunan nilai kredit, harus terdapat bukti obyektif dan data kerugian historis sehingga penyisihan yang dibentuk cukup untuk menutupi kemungkinan kerugian tidak tertagihnya kredit sehingga penyisihan kerugian kredit tersebut disesuaikan dengan kondisi ekonomi debitur.
Dalam menetukan CKPN, bank harus memeriksa debitur satu demi satu, terutama debitur dengan pinjaman signifikan untuk menentukan bukti obyektif penurunan nilai. Dengan adanya pemeriksaan debitur tersebut, pengendalian kredit akan lebih terarah karena apabila terjadi penurunan nilai, bank dapat mencari solusi agar debitur tidak merugikan bank. Akibatnya, risiko kerugian kredit yang akan dialami oleh bank dapat berkurang.
Dalam PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) ini, pengukuran instrumen keuangan mendekati fair value dan present value sehingga laporan keuangan yang
dihasilkan bank akan menggambarkan kondisi yang sesungguhnya (representative faithfulness) sehingga semakin tinggi kepercayaan nasabah dan investor terhadap bank karena kondisi bank terlihat lebih sehat dan transparan. Bank dapat memperoleh kredit yang berkualitas lebih baik dan lebih banyak untuk disalurkan kepada masyarakat, serta mendapatkan tambahan modal untuk melakukan ekspansi usaha.
Apabila kredit yang disalurkan ke masyarakat lebih banyak, maka akan meningkatkan kegiatan perekonomian karena dengan kredit tersebut perusahaan dapat melakukan ekspansi dan sektor rumah tangga dapat melakukan kegiatan konsumsi maupun investasi. Akan lebih baik apabila kredit yang disalurkan tersebut sebagian besar adalah kredit investasi daripada kredit konsumsi. Alasannya adalah kredit konsumsi digunakan hanya untuk kepentingan individu/rumah tangga, sedangkan kredit investasi digunakan untuk kegiatan produktif sehingga banyak pihak dapat merasakan dampak penggunaan kredit tersebut (multiplier effefct). Dengan demikian, peran perbankan dalam menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, karena konsumsi dan investasi merupakan komponen pendapatan nasional (gross domestic bruto).
PENUTUP Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga perumusan masalah. Pertanyaan pertama adalah bagaimanakah perhitungan penyisihan kerugian kredit sebelum dan sesudah diimplementasikannya PSAK 50 dan 55 revisi 2006. Dari penelitian ini, sebelum implementasi PSAK 50 dan 55 revisi 2006, penyisihan kerugian kredit dihitung dengan menggunakan tingkat kolektibilitas yang telah ditentukan oleh BI, sedangkan setelah implementasi PSAK tersebut dihitung berdasarkan bukti obyektif bahwa terjadi penurunan nilai dan probability of default yang didapatkan dari data kerugian historis yang pernah dialami bank dengan menggunakan statistical model analysis method, yaitu roll rates analysis method dan migration analysis method.
Pertanyaan penelitian kedua adalah apakah terdapat perbedaan jumlah penyisihan kerugian kredit sebelumdan sesudah diimplementasikannya PSAK 50
dan 55 revisi 2006. Dari hasil perhitungan PPAP, diketahui bahwa CKPN yang dibentuk oleh bank lebih kecil daripada PPAP tersebut. Laporan keuangan yang dihasilkan akan lebih memperlihatkan keadaan yang sebenarnya (representative faithfulness), karena dalam menghitung CKPN harus terdapat bukti obyektif serta data kerugian historis kredit terkait.
Pertanyaan ketiga adalah apakah dampak implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) terhadap industri perbankan. Menurut peraturan perpajakan, penyisihan kerugian kredit yang dicadangkan oleh bank dapat dikurangkan (deductible expenses) dalam menghitung laba fiskal (taxable income). Akibatnya adalah implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) yang mengakibatkan penyisihan kerugian kredit yang lebih kecil sebelum implementasi PSAK tersebut berdampak menurunkan beban operasional dan selanjutnya meningkatkan laba industri perbankan.
Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis setelah melakukan penelitian ini kepada pihak-pihak terkait antara lain untuk penelitian berikutnya, perbankan, dan Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Untuk penelitian berikutnya, dapat dilakukan penelitian yang bersifat kuantitatif dengan metode regresi untuk mengetahui dampak implementasi PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) secara makro ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi. Karena PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) ini diimplementasikan pada 1 Januari 2010, diharapkan pada beberapa tahun mendatang tersedia data yang diperlukan dari industri perbankan untuk mengetahui dampak
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, karena perbankan merupakan salah satu sektor keuangan yang menunjang pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Berdasarkan PSAK 50 dan 55 (revisi 2006), berdasarkan bukti obyektif bahwa terjadi penurunan nilai dan probability of default berdasarkan data kerugian historis. Dari data tersebut, bank dapat melakukan analisis terhadap kelompok debitur yang mengalami kerugian, sehingga bank dapat melakukan tindakan penyaluran kredit yang lebih selektif terhadap kelompok debitur
berdasarkan karakteritik data historis sehingga risiko kerugian kredit yang akan dialami oleh bank dapat berkurang.
Dalam PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) tidak dipaparkan tentang metode penurunan nilai secara kolektif yang dapat digunakan oleh suatu entitas. Oleh karena itu, kepada DSAK selaku pihak yang berwenang dalam menyusun standar akuntansi di Indonesia sekiranya bersedia memberikan contoh metode perhitungan penurunan nilai secara kolektif untuk setiap industri, sehingga setiap industri memiliki panduan yang jelas dalam menghitung penurunan nilai secara kolektif tersebut.
DAFTAR REFERENSI
Annisa, Rizka., Febrina, Natasya., & Rusli, Christofer. (2010). Penerapan Penurunan Nilai Instrumen Keuangan Berdasarkan PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006) dan Perubahan yang Harus Dilakukan oleh Perusahaan. Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar, Volume 15, No.1 Bank Indonesia. (2005). Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Jakarta: Pencipta
Baker E. Richard., Lembke C. Valdean., King E. Thomas., & Jeffrey G. Cynthia. (2009). Advanced Financial Accounting 8th Edition. McGraw Hill.
Bastian., Indra., & Suhardjono. (2006). Akuntansi Perbankan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Budisantoso, Totok., & Triandaru, Sigit. (2006). Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat.
Hariyani, Iswi. (2010). Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Jakarta: Kompas Gramedia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2009). Standar Akuntansi Keuangan PSAK 50 (Revisi 2006). Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan. Jakarta: Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2009). Standar Akuntansi Keuangan PSAK 55 (Revisi 2006). Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan. Jakarta: Salemba Empat.
Godfrey, Jayne., Hodgson, Allan., Holmes, Scott., & Tarca, Ann. (2006). Accounting Theory. John Wiley & Sons Australia, Ltd.
Jusuf, Jopie. (2010). Analisis Kredit Untuk Account Officer. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kasmir. (2011). Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.
Kementerian Keuangan. (2009). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya. Jakarta: Pencipta Kieso E. Donald., Weygandt J. Jerry., & Warfield D. Terry. (2010). Intermediate
Accounting Volume 1: IFRS Edition. John Wiley & Sons.
Kieso E. Donald., Weygandt J. Jerry., & Warfield D. Terry. (2010). Intermediate Accounting Volume 2: IFRS Edition. John Wiley & Sons.
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rindjin, Ketut. (2000). Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Secarian, Muhammad Evan., Kiswara, Endang. (2012). Evaluasi Penerapan PSAK 55 (Mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran) Pada Penurunan Nilai dan Tidak Tertagihnya Aset Keuangan, Perlakuan Akuntansi, dan Nilai Perusahaan (Studi Kasus Pada PT ABC Ventura). Diponegoro
Journal of Accounting, Vol 1, Nomor 2, Halaman 1-14
Tim Penyusun Booklet Perbankan Indonesia. (2011). Booklet Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Tim Penyusun Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). (2008). Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) (Revisi 2008). Jakarta: Bank Indonesia.
Tohir, Noel Chabannel. (2012). Panduan Lengkap Menjadi Account Officer. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.