• Tidak ada hasil yang ditemukan

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial. Waktu : 23 Juli 1 Agustus 2008 Lokasi : Medan Sumatra Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial. Waktu : 23 Juli 1 Agustus 2008 Lokasi : Medan Sumatra Utara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Site Report Tim (IV) Kegiatan Sosial Waktu : 23 Juli – 1 Agustus 2008 Lokasi : Medan – Sumatra Utara

A. Ringkasan Hasil Sangat Sementara

Masyarakat Kelurahan Belawan 1, Kecamatan Medan Kabupaten Belawan Kota Medan sebagian besar mempunyai mata pencaharian yang sama yakni sebagai nelayan,

namun pekerjaan nelayan tersebut terbagi menjadi dua yakni nelayan kecil dan buruh nelayan. Nelayan kecil mereka yang mempunyai peralatan sederhana menjaring ikan ditepi pantai untuk dijual. Sebaliknya, yang disebut buruh nelayan mereka yang menangkap ikan dengan peralatan besar (kapal dan Jaring) yang dimiliki pegusaha kapal/juragan/tokek yang rata-rata keturuanan Tionghoa (china).Mereka menganggap dengan bekerja sebagai buruh nelayan lebih menguntungkan (tidak memikirkan dana operasional dan mereka lebih suka digaji sebesar 30.000-50.000 sehari) dibandingkan dengan menangkap sendiri dengan kapal dan jaring seadanya yang hanya menghasilkan tangkapan ikan yang sedikit, jika dijual hanya mendapat uang 10.000-20.000.

Tempat tinggal masyarakat Kelurahan Belawan 1 terkelompok dalam lorong-lorong (gang) yang berisi puluhan sampai ratusan rumah panggung, kondisi tersebut beradaptasi dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan. Rata-rata satu keluarga mempunyai minimal 5 anggota keluarga (Bapak-Ibu dengan tiga anak), ada yang masih tinggal di kelurahan tersebut ada pula yang menjadi migrant ke kota lain.

Program P2KP di kelurahan belawan 1 telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun tersebut BKM kelurahan Belawan 1 yang berlokasi di lorong pemancar lingkungan 29 gudang arang cukup mendapat simpati dari masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu tahun 2007 BKM Belawan 1 mendapat respon positif untuk melanjutkan kegiatan program PNPM. Khusus untuk kegiatan social setidaknya BKM kelurahan Belawan 1 merancang dan melaksanakan dua kegiatan sosial di tahun anggaran tersebut.Kegiatan sosial tersebut adalah rehabilitasi rumah tidak layak huni dan pelatihan komputer.

Sedangkan Kelurahan Sukaraja, kecamatan Medan Maimun berlokasi di tengah kota Medan, sebagaian besar masayarakatnya bermata pencaharian sebagai pegadangan dan pengusaha, meskipun dari tepi jalan besar terlibat bangunan rumah toko dan permukiman mewah, namun di bagian belakang dari pertokoan tersebut terhampar perumahan yang padat. Kebanyakan dihuni oleh masyarakat miskin kota.Rata-rata mereka bermata pencaharian sebagai buruh dan pekerja kasar.

Di kelurahan Sukaraja masyarakatnya cukup bervariasi etnisitasnya.Sebagian besar adalah etnis melayu dan batak, mereka menempati permukiman yang padat di bantaran sungai maupun di lorong-lorong.Sedangkan mereka yang menempati di pertokoan dan permukiman di jalan utama adalah mereka dari etnis tionghoa.Dari hasil observasi masyarakat etnis tionghoa dalam kesehariannya lebih suka menggunakan

(2)

bahasa mandarin (hokkian dan fujing) daripada mengunakan bahasa Indonesia.Bahkan beberapa diantaranya masih berstatus Non-WNI.Fenomena ini secara tidak langsung memberi batas interaksi di kelurahan tersebut.

Kegiatan sosial mulai di inisiasi sejak tahun 2006, setidaknya ada dua kegiatan sosial yang dirancang dan dilakukan di kelurahan ini, yakni : Santunan kepada janda miskin dan Pelatihan tata boga (memasak). Kegiatan sosial ini dibiayai dengan anggaran tahun 2007. Meskipun kemudian pencairan dana BKM sempat terhenti karena alasan yang tidak jelas.

Pertanyaan Penelitian.

Pertanyaan Penelitian 1: Bagaimana Pola Kegiatan Sosial yang diprakarsasi dan dilaksanakan oleh BKM?

Kegiatan Sosial sosial di Belawan 1, Pada tahun 2007 berupa santunan untuk lanjut usia

dan anak yatim piatu. Bantuan kepada lanjut usia diprioritaskan bagi janda lanjut usia yang anaknya tidak mampu menyantuni. Bantuan diterima penerima manfaat tidak dalam bentuk uang tunai melainkan diwujudkan sebagai sembako yang terdiri beras, gula, minyak yang diperkirakan dapat dikonsumsi selama satu bulan. Sedangkan pada tahun 2008, kegiatan sosial terbagi menjadi dua, pertama adalah rehabilitasi rumah tidak layak huni.Asal usul kegiatan ini memang diprakarsai oleh BKM, artinya diusulkan oleh pengurus BKM sendiri.Alasannya mereka sangat sederhana yakni banyaknya warga miskin yang tidak mampu memperbaiki rumahnya yang sudah rusak dimakan usia dan erosi air laut di kelurahan belawan 1. Dalam perencanaannya pengurus akan mengidentikasi berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh pengurus kampung. Dalam pelaksanaannya hasil pemetaan tersebut tidak semuanya di beri karena sempat terjadi salah tafsir siapa penerima bantuan.Kemudian pengurus BKM berinisitif untuk melakukan identifikasi sendiri. Proses selanjutnya si empunya rumah tidak terlibat dalam perbaikan rumahnya. Artinya hanya menunggu perbaikan sampai jadi.Pengurusan material dan sebagainya semua diurus oleh pengurus BKM yang ditunjuk.Bahkan tukang dan pengelolaan kebutuhan bahan bangunan juga di kelola oleh BKM.Adapun pengeluaran pembangunan rumah tersebut rata-rata 5 sampai 10 juta tergantung jerusakannya.Rata-rata kerusakan terjadi di atap, dinding, dan saka rumah.Karena masih menggunakan kayu sebagai bahan dasar utama maka pengeluaran kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak huni tersebut cukup besar. Dengan demikian Bantuan untuk rumah tidak layak huni juga tidak diwujudkan sebagai uang tunai, melainkan bahan bangunan dan upah tukang. Panitia mengidentifikasi kebutuhan bahan bangunan untuk pemugaran, kemudian membelanjakannya sekaligus memanggil tukang untuk mengerjakan. Setiap rumah biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 5.000.000,-. Rumah yang mendapat bantuan berjumlah tiga, berasal dari lingkungan 5, 28 dan 29. Kegiatan kedua, adalah pelatihan komputer.Kelurahan belawan 1, kecamatan medan belawan, kegiatan ini dilakukan di sebuah rental komputer bernama MCT di sekitar kelurahan belawan 1.Rekruitmen kegiatan ini hanya ditawarkan pada saat pertemuan BKM, sehingga hanya kalangan

(3)

Peserta kursus sebanyak 20 orang, dengan lama kursus 3 bulan 15 kali pertemuan setiap bulan. Beaya keseluruhan sebesar Rp 12.000.000,-. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa lembaga penyelenggara kursus baru pertama kali menyelenggarakan kursus, bahkan terkesan lembaga itu didirikan untuk merespon peserta kursus yang dibiayai BKM tersebut.

Kegiatan sosial di kelurahan Sukaraja, baru melaksanakan program kegiatan sosial

dalam satu tahun anggaran, yaitu pada tahun 2007. Kegiatan sosial dikelola langsung oleh BKM Mitra Sejahtera yang juga berkantor di kantor kelurahan. Meskipun komposisi laki-laki dan perempuan hampir merata dalam kepengurusan, namun pengurus perempuan terkesan lebih aktif dibandingkan pengurus laki-laki BKM.ini terlihat dari pilihan kegiatan sosial yang dilakukan, yakni santunan bagi janda miskin dan pelatihan tata boga. Kegiatan sosial santuan janda miskin diberikan dalam bentu bantuan beras sebanyak 30 kg.jika diuangkan sebanyak 100.000. dalam banyak wawancara terungkap bantuan ini memang menolong janda miskin, namun hanya bersifat sementara. Rata-rata penerima manfaat menghabiskan bantuan beras tersebut selama 2-2.5 bulan. Artinya rata-rata konsumsi beras mereka per hari sekitar 0.5 kg sampai 1 kg untuk 2 sampai 4 anggota keluarga. Adapun kriteria penerima manfaat hanya mereka yang janda miskin, total penerima manfaat adalah 30 orang, meskipun sebagian dari janda tersebut mempunyai pekerjaan sambilan. Atau masih ditanggung oleh anak-anaknya. Fakta ini memperlihatkan bahwa proses identifikasi penerima manfaat terlihat belum direncanakan dengan baik. Hasil wawancara juga terungkap bahwa beberapa penerima manfaat kenal dekat dengan pengurus BKM, bahkan beberapa mengakui di mobilisasi oleh pengurus BKM.

Kegiatan sosial tata boga, kegiatan ini diprakasai oleh pengurus BKM, dalam prakteknya kegiatan ini lebih kurang seperti demo memasak dan membuat kue.Pengurus BKM mendatangkan warga yang dinilai pandai memasak, bahkan beberapa diantaranya pengurus sendiri.Pernah kegiatan ini mendatangkan ahli kue berkebangsaan India untuk melatih beberapa kue modern.Respon penerima manfaat sangat senang karena mendapat pengetahuan memasak dan membuat kue.Namun, pelatihan tata boga yang diberikan masih belum memberi inspirasi usaha peserta pelatihan.Bahkan dari hasil wawancara sebagian besar mereka yang terdaftar sebagai penerima manfaat jarang memasak karena sulit meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai atau buruh yang terikat aturan. Begitu juga untuk pembuatan kue (pizza, brownies dll), semua materi pembuatan kue yang diberikan berbahan baku mahal, setidaknya mereka harus menyiapkna uang tidak kurang dari Rp 30. 000 sampai Rp 45.000 utk membuat kue tersebut. Dengan kata lain, mereka merasa tidak sanggup mencoba karena tidak mempunyai peralatan memasak dan membuat kue yang memadai, sehingga tidak segera mencoba membuat kue di rumah apalagi menjualnya.

Pertanyaan 2: Prospek keberlanjutan pelayanan sosial sebagai prakarsa awal menuju the social safety net.

(4)

Kedua kegiatan sosial di Kelurahan Belawan 1 (rehabilitasi rumah tidak layak

huni dan pelatihan komputer), masih belum bisa dikategorikan sebagai kegiatan yang diprakarsai untuk menuju jaring pengaman sosial.Mengapa demikian, setidaknya ada empat alasan.Kegiatan sosial rehabilitasi rumah tidak layak huni.Pertama, orientasi jangka pendek. Perbaikan rumah bersifat memperbaiki rumah, ketahanan kayu diperkirakanhanya sampai 6 tahun,penerima manfaat harus menyiapkan dana untuk memperbaiki lagi. Kedua, Skala kegiatan bersifat individual, pada kegiatan rehabilitasi ini penerima manfaat adalah orang miskin yang tidak mampu memperbaiki rumah. Artinya penerima manfaat adalah mereka yang tidak produktif atau tidak mempnyai pekerjaan karena usia lanjut. Di satu sisi memang orang miskin menjadi sasaran, namun beban memperbaiki rumah sebenarnya bukan tanggungjawab sosial karena sifatnya yang personal.Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. terlihat belum ada mekanisme kontrol yang jelas terhadap hasil kegiatan, hal ini terlihat ketika rehabilitasi rumah tidak mempertimbangkan pada kebijakan pemerintah kota (terkait dengan RTRW, standarisasi rumah tertentu dll). Keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur, hal ini terjadi karena kegiatan rehabilitasi tersebut partisipasi didominasi pengurus BKM, oleh karenanya masyarakat menganggap tidak perlu terlibat karena mereka tidak mempunyai celah untuk untuk terlibat. Sedangkan kegiatan pelatihan komputer, kegiatan ini telah diikuti oleh 10 orang,terbagi dalam 2 shift sore dan malam. Jika merujuk pada empat aspek tersebut di atas,kegiatan sosial ini mengindikasikan.Pertama, orientasi jangka pendek, mereka yang terlibat dalam kegiatan ini tidak mempunyai komputer, materi yang diberikan sangat dasar.Kalaupun ada tujuan untuk mencari kerja juga tidakjelas kebutuhan dari perusahaannya, Kedua, skala kegiatan bersifat individual, dari semua perseta pelatihan ini semuanya mempunyai hungungan dengan pengurus BKM, artinya : proses rekuitmen yang obyektif tidak terjadi. Karena proses rekruitmen belum obyektif, karena tidak didasrkan pada kebutuhan masyarakat maka maka terjadi kasus dari lima peserta shift malam 2 diantaranya sering tidak masuk mengikuti pelatihan dengan alasan yang tidak jelas. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas.Indikasi awalnya terlihat dari tidak adanya perencanaan pelatihan tersebut (siapa sasaran, keseuaian materi dengan pasar kerja, bagaimana kelanjutannya dll).Keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur, kegiatan ini diikuti oleh mereka yang berpendidikan SMA/SMK, untuk masyarakat kelurahan belawan kriteria tersebut hanya merujuk golongan muda berpendidikan dan sangat terbatas jumlahnya. Jika program ini mendorong pengentasan kemiskinan bisa dipastikan masyarakat miskin yang tidak berpendidikan tidak akanterentaskan. Program kursus sebenarnya diharapkan memiliki dampak berkelanjutan. Oleh karena penerima manfaat memiliki ketrampilan baru yang dapat meningkatkan kapasitasnya utuk mencari nafkah. Walaupun demikian, ternyata KSM, UPS dan BKM sebagai penyelenggara kegiatan belum memikirkan tindak lanjut pasca kursus. Dengan demikian apa yang diperoleh penerima manfaat sekedar tambahnya pengetahuan dan ketrampilan yang tidak pernah dapat digunakan. Barangkali hal ini dapat dikatakan merupakan salah satu kelemahan dari pilihan penyelenggaraan kursus sebagai program kegiatan sosial. Ternyata supaya dampak kursus terutama bagi penerima manfaat dapat berkelanjutan dibutuhkan adanya tindak lanjut berupa peluang untuk memanfaatkan ketrampilan hasil kursus. Ibaratnya walaupun sudah diberi kail apabila tidak terdapat kolam atau sungai yang dapat digunakan untuk memancing

(5)

perlunya pilihan program memperhatikan paling tidak dua hal. Pertama pemahaman dan identifikasi permintaan masyarakat yang lebih makro terhadap tenaga kerja dengan ketrampilan yang diperoleh melalui kursus. Kedua, perlunya dilihat keterkaitan pilihan program tersebut dengan kondisi makro termasuk kebijakan yang lebih makro.

Kegiatan sosial Santunan janda miskin di Kelurahan Sukaraja masih jauh

dari harapan menuju social safety net, hal ini teridentifikasi dari, Pertama, kegiatan tersebut berorientasi jangka pendek. Bantuan hanya akan habis tidak lebih dari 2 bulan. Bantuan tesebut tidak cukup menstimulasi produktifitas penerima manfaat yang notabene janda miskin. Kedua, Skala kegiatan bersifat kelompok, pada kegiatan santunan ini sasaran penerima manfaat hanya janda miskin, meskipun jumlahnya sekitar 30 orang, kegiatan ini belum mencakup kelompok rentan yang lainnya. Kelompok rentan dalam usia produktif justru tidak terbantu. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. Santunan untuk janda miskin ini sangat terlihat sebagai charity, seperti diakui oleh fasilitator kelurahan dalam diskusi kelompok sifat kegiatan tersebut “sumbangan”, karena sifat kegiatan tersebut maka tidak ada hasil yang diharapkan. Artinya, bantuan tersebut digunakan untuk menolong kelompok janda miskin di kelurahan tersebut.Keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur.Untuk kegiatan santunan ini, patisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit diukur.Hal ini terjadi karena mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan di putuskan oleh pengurus BKM.pada kegiatan ini partisipasi dari masyarakat etnis tionghoa lebih pasif, karena dianggap sudah mampu dibandingkan dengan masyarakat pribumi.

Kegiatan sosial pelatihan tata boga, tidak jauh berbeda dengan kegiatan sosial santunan janda miskin, kegiatan ini juga dinilai masih jauh dari harapan menjadi jaring pengaman sosial.Pertama, kegiatan tersebut berorientasi jangka pendek.Bantuan hanya digunakan untuk pengelolaan pelatihan yang dilakukan 10 kali tersebut.Jadi peserta tidak mendapat stimulasi untuk mempraktekkan hasil pelatihannya.Kedua, Skala kegiatan bersifat kelompok tertentu. Peserta pelatihan termasuk pengurus dan orang sekitar kantor kelurahan. Artinya tidak ada mekanisme rekruitment yang jelas untuk pelatihan ini. Bahkan dari hasil wawancara juga terungkap peserta pelatihan ini beberapa diantaranya para janda miskin, sehingga kesan sangat kuat bahwa pelatihan ini hanya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, Mekanisme kontrol output yang tidak jelas. Pelatihan tata boga dilakukan selama 2 bulan, harapan dari kegiatan ini adalah menstimulasi masyarakat untuk mempunyai ketrampilan memasak dan membuat kue.Namun sayang banyak penerima manfaat mengaku bahwa mereka jarang memasak apalagi membuat kue.Keempat, partisipasi dan keterlibatan masyarakat sulit di ukur.Karena kegiatan pelatihan ini tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat, maka keteribatan dan partisipasi masyarakat tidak besar.Secara formal dan fisik mereka hadir dalam pelatihan tersebut namun mereka bukan orang-orang yang tepat untuk diajak berusaha di bidang kuliner.Dari10 kali pertemuan terbagi 4 kali membuat kue dan 6 kali memasak.Dari 15 orang yang terdaftar sebagai peserta pelatihan hanya 10 orang saja yang aktif mengikuti.

(6)

Pertanyaan 3: Pilihan dukungan masyarakat (faktor dukungan internal dan eksternal) untuk mendukung kegiatan jangka panjang dan berkelanjutan.

Secara kasat mata masyarakat Belawan 1 lebih mudah diorganisir, mengingat karakter homogen masyarakat dengan mata pencaharian yang sama yakni sebagai nelayan, sehingga kesamaan kebutuhan sebenarnya bisa diukur dan dimaknai sebagai dukungan internal. Dari kondisi tersebut lebih mudah bagi faskel untuk memobilisasi kegiatan sosial. Di sisi lain, dukungan juga muncul dari aktifis BKM yang hampir semuanya berlatar belakang sebagai nelayan, artinya pengurus BKM bisa menjiwai kebutuhan dan bentuk kegiatan sosial yang tepat bagi masyarakatnya. Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok dengan penerima manfaat, Sebenarnya ada harapan dari masyarakat terhadap komunitas pengusaha di wilayah tersebut, mengingat banyak nelayan menggantungkan hidupnya dengan bekerja dengan pengusaha tersebut.Namun, hubungan pengusaha dan nelayan hanya dianggap sebagai hubungan buruh dan majikan, sehingga masih belum menjadi dukungan eksternal bagi kegiatan sosial masyarakat. Kondisi masyarakat yang majemuk dan karakter masyarakat migran sebagai pekerja keras di Kelurahan Sukaraja sebenarnya merupakan dukungan internal kuat bagi kegiatan sosial masyarakat kelurahan sukaraja. Terutama etos kerja yang tinggi dari masyarakat pekerja tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi kegiatan sosial yang terencana dan terukur lebih baik. Tentu saja dengan komposisi masyarakat pekerja akses informasi usaha dan peluang-peluang usaha menjadi terbuka lebar. Kelurahan Sukaraja sebenarnya diuntungkan dengan kedekatannya dengan pusat pertokoan dan bisnis di kota Medan, namunkedekatan lokasi ini tidak dimanfaatkan sebagai dukungan eksternal kegiatan sosial yang ada. Perlu dipikirkan kembali penentuan jenis kegiatan sosial mengingat persoalan masyarakat sebenarnya lebih karena tidak dapat mengakses kegiatan ekonomi dan bisnis. Hal lain, yang dinilai dapat menstimulasi kegiatan sosial yang berkelanjutan adalah mobilitas masyarakat di kelurahan sukaraja cukup tinggi. Sebagiknya kegiatan sosial dapat eradaptasi dengan kondisi masyarakat yang ada.Dalam wawancara dan diskusi kelompok, salah satu kelebihan kelurahan sukaraja adalah komunitas pengusaha atau wiraswasta yang kebanyakan etnis tionghoa.Artinya diperlukan kegiatan yang bisa menjembatani keterbatasan interaksi antara masyarakat pribumi dengan kempok masyarakat tionghoa.

Dalam kasus kegiatan sosial santunan beras, bisa dikembangkan ke arah santunan pada mereka yang berusia produkti dan bekerja namun mempunyai beban keluarga yang banyak, sehingga sisa pendapatannya untuk beras bisa di tabung atau digunakan untuk usaha lainnya. Begitu pula untuk kegiatan pelatihan, peserta diharapkan benar-benar mereka yang ingin berusaha, sehingga persoalan pengetahuan memasak dan membuat kue bukan lagi menjadi penghambat.

Pertanyaan Penelitian 4: Terkait dengan hambatan (yang diduga dan obyektif)dalam penggunaan pilihan dukungan yang tersedia.

(7)

Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok di Kelurahan Belawan hambatan internal terlihat ketika belum terbukanya informasi kegiatan sosial, informasi hanya sebatas pada saat kelompok masyarakat yangdiundang oleh BKM. Artinya hanya pengurus dan anggota BKM yang tahu persis semua informasi dan cara mengakses program bantuan tersebut.Hal ini mengingat terjadinya persaingan diantara tokoh masyarakat.Hal ini wajar mengingat terbatasnya akses mereka terhadap peluang mendapatkan pendapatan di luar pekerjaannya sebagai nelayan sangat kecil. Belum lagi persoalan faskel yang selalu berganti dan ada mitos bahwa memfasilitasi masyarakat nelayan lebih sulit daripada memfasilitasi masyarakat kota medan yang lain. Kemudian ada anggapan bahwa faskel yang ditempatkan di wilayah tersebut adalah faskel buangan atau sedang dihukum.Kondisi tersebut semakin memperjelas pengelolaan faskel tidak didasarkan pada aturan main yang jelas. Adapun hambatan eksternal muncul karena kondisi geografis, yakni terjadinya air pasang di perkampungan nelayan, sehingga kegiatan sosial perbaikan rumah pelaksanaan tertunda, karena menunggu air surut. Selain itu, untuk kelurahan Belawan I masyarakatnya boleh dikatakan terbelah dalam dua bagian dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat timpang. Lapisan masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi lebih baik pada umumnya berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Sebetulnya lapisan masyarakat ini dapat ditempatkan sebagai potensi pendukung program kegiatan sosial, sehingga sumber dananya tidak semata mengharapkan dari BLM. Walaupun demikian, potensi tersebut tidak teraktualisasi karena partisipasi masyarakat kaya dalam kegiatan sosial masih sangat kurang. Potensi lain adalah program program yang sejenis yang dilakukan baik oleh dinas dinas pemerintah maupun oleh swasta melalui CSR. Untuk potensi inipun belum teraktualisasi karena usaha untuk membangun jaringan dengan institusi pemerintah dan swasta belum dilakukan. Dari jalur yang lain sebetulnya kerja sama dan sinergi dengan berbagai stakeholder tersebut juga dimungkinkan dengan diterapkannya pendekatan perencanaan dari bawah melalui musrenbang. Dari informasi yang diperoleh, ternyata usaha mengintegrasikan atau mencari sinergi program sosial BKM melalui musrenbang ini belum dilakukan. Di samping itu juga harus diakui bahwa dalam pelaksanaan perencanaan dari bawah melalui musrenbang tersebut belum banyak program usulan dari bawah yang diakomodasi dan menetas menjadi program pemerintah daerah. Dalam diskusi dengan KMW diperoleh informasi bahwa di kota Medan perencanaan dari bawah melalui musrenbang diharapkan dapat mengakomodasi dan mengkoordinasikan tiga sumber program : perencanaan dinas dinas pemerintah, aspirasi dari bawah dan realisasi janji politik kepala daerah. Dalam kenyataannya usulan dari bawah masih selalu ditempatkan sebagai prioritas terakhir.

Sedangkan di Kelurahan Sukaraja hambatan internal terbesar adalah seringnya berganti faskel menjadikan komunikasi dengan masyarakat dan BKM menjadi terhambat.Selain itu, tuntutan kerja proyek lebih banyak daripada tuntutan masyarakat, sehingga faskel lebih mendahulukan kelengkapan laporan proyek daripada mendampingi masyarakat, sehingga pengawalan substansi pemberdayaan terkesan di lepas dan apa adanya. Kasus lain adalah keterlambatan pencairan dana juga menjadi persoalan besar bagi pengurus BKM dan masyarakat dalam rangka melaksankan kegiatan sosial, sehingga muncul saling curiga antara masyarakat dengan pengurus BKM dan pengurus BKM dengan faskel. Bahkan dalam perkembangan kasus ini sempat menjadi konsumsi politik lokal di Kota Medan. Hambatan eksternal adalah segregasi yang tidak terlihat

(8)

antara masyarakat pribumi dangan masyarakat tionghoa.Gejala segregasi sudah terlihat ketika perencanaan kegiatan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat tionghoa dianggap tidak mau terlibat karena merasa tidak mempunyai kepentingan dalam kegiatan tersebut.Sebaliknya masyarakat pribumi juga menjaga jarak.Padahal keduanya menyimpan kekuatan kerjasama yang besar.

Pertanyaan Penelitian 5 : Jenis perubahan rancangan program (termasuk pengembangan prosedur-prosedur standar dan kebijakan.

Sebenarnya di tingkat KMW upaya pengembangan program dengan berorientasi pada keberlanjutan sudah direkomendasikan melalui program peningkatan kapasitas penerima manfaat, juga dapat diharapkan dari dana program sosial yang tidak sekali habis, misalnya diwujudkan dalam bentuk dana bergulir. Dana program sosial dikelola pada tingka KSM dan dimanfaatka oleh warga miskin secara bergilir. Walaupun demikian di kedua kelurahan yang dijadikan sebagai sasaran penelitian bentuk program tersebut tidak diselenggarakan.

Gambaran Informan

1. TL KMW Sumatra Utara 2. TA di KMW Sumatra Utara 3. Korkot Medan.

4. Faskel di Belawan dan Sukaraja untuk memperoleh gambaran secara detail sasaran dan mengetahui peran mereka dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat. Peneliti melakukan kegiatan Focus Group Discussion kepada mereka. 5. Pemerintah Kelurahan Belawan dan Sukaraja untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi lokasi sasaran dan bagaimana peran pemerintah kelurahan dalam hubungannya dengan BKM dan pelaksanakan program PNPM.

6. BKM di dua kelurahan untuk memperoleh gambaran program BKM khususnya kegiatan Unit Pengelola Sosial.

7. KSM/Panitia di dua kelurahan untuk memperoleh data proses pelaksanaan kegiatan sosial BKM.

8. Masyarakat penerima manfaat program tersebut di Belawan dan Sukaraja.

9. UPS di Kelurahan Panorama dan PasarMelintang untuk memperoleh data proses pelaksanaan kegiatan sosial BKM.

10. PJOK Kecamatan untuk memperoleh data mengenai peran PJOK dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan sosial di kedua kelurahan tersebut.

11. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Medan. Interview mengenai kebijakan pemerintah daerah dalam proses pengembangan program PNPM.

B. Kejadian dan hambatan tak terduga

1. KMW yang bertugas adalah kordinator KMW yang baru menjabat, pemindahan ini tidak merujuk pada indikasi penilaian yang jelas, sehingga jawaban pengurus KMW masih bersifat umum. Dengan kata lain, tidak banyak informasi yang dapat

(9)

yang lama, namun tidak cukup membantu karena lebih bercerita tentang keberhasilan proyek Medan. Meskipun sudah diarahkan kepertanyaan yang tersusun.

2. Kordinasi antara Korkot dan KMW dan Pemerintah Kota, terkesan formalitas proyek. Hal ini terlihat bahwa perencanaan kegiatan PNPM tidak bisa diintegrasikan dengan perencanaan pemkot.Selain itu, kordinasididasarkan pada “rasa” dan “suka-tidak suka persoanal” KMW, Korkot, TKPKD dan ditambah persoalan PJOK tidak menguasai kondisi lapangan.

3. Masyarakat Kelurahan sukaraja adalah masyarakat pekerja, sehingga pelaksanaan wawancara dilakukan sore, begitu juga diskusi kelompok harus disesuaikan dengan waktu senggang masyarakat yang sangat bervariasi. Jika wawancara dilakukan sore dan malam hari waktunya akan sangat sempit. Oleh sebab itu, diperlukan modifikasi wawancara untuk menangkap realitas yang sesungguhnya.

4. Beberapa dokumen BKM pemetaan sosialtidak ada dll.

5. Faskel sukaraja terkesan tidak dihormati oleh pengurus BKM, hanya untuk membuat janji dengan pengurus BKM terkesan sangat berat dan menjadi beban dan terkesan saling melempar tanggungjawab. Setelah ketemu faskel meninggalkan begitu saja.

C. Komentar Lain

1. Faskel terkesan di lepas, terlihat belum ada mekanisme kontrol kinerja yang jelas. Persoalan yang ada lebih merujuk pada persoalan teknis-administratif proyek. 2. Ada kecenderungan Pengurus BKM mengkondisikan penerima manfaat. 3. Ada kecenderungan KMW dan Korkot hanya mengawal kelengkapan administrasi proyek, dalam beberapa hal terkesan menutupi kondisi sebenarnya. Dan melihat realitas lapangan yang terpola sebagai sebuah kasus.

4. Selama penelitian lapangan, belum tampak indikasi ke arah keberlanjutan program. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa masyarakat maupun pengelola kegiatan mulai KSM, UPS, dan BKM masih selalu mengharapkan turunnya dana dari atas sebagai penggerak kegiatan. Seolah olah kegiatan tidak dapat dijalankan apabila tidak ada kucuran BLM. Di samping itu juga belum tampak adanya usaha untuk membangun jaringan dengan stakeholder lain baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Padahal apabila jaringan telah dapat dibangun paling tidak dapat membantu terslenggaranya keberlanjutan program. Beberapa faktor yang diidentifikasi menyebabkan kurangnya prospek keberlanjutan program tersebut antara lain dari faktor: kesesuaian pendekatan administrasi dengan kebutuhan orientasi program secara ideal, fasilitator, relawan, masyarakat sendiri dan lembaga penyelenggara mulai KSM, UPS sampai BKM. 5. Pendekatan yang digunakan dalam program PNPM semestinya mengutamakan

pendekatan proses. Hal ini disebabkan oleh karena tumbuhnya BKM menjadi lembaga yang mandiri hanya mungkin terwujud melalui proses belajar sosial

(10)

sehingga terjadi proses institusionalisasi. BKM dalam jangka panjang bukan sekedar sebuah organisasi, melainkan organization that are institution. Dalam kenyataannya pendekatan proses ini ternyata tidak didukung oleh sistem administrasi dalam pelaksanaannya. Program ini harus mengikuti sistem administrasi reguler yang berorientasi target. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun masyarakat terikat oleh target waktu yang ketat. Kondisi seperti itu tidak memberikan iklim yang kondusif bagi pendekatan proses, sehingga program programnya dimunculkan sekedar untuk merespon turunnya BLM dengan sekedar mengikuti persyaratan proyek. Oleh sebab itu yang tampak adalah bagaimana mengikuti prosedur yang sudah ditentukan tanpa memperhatikan substansinya. Sistem administrasi yang tidak kondusif tersebut, juga diperparah oleh adanya rotasi fasilitator yang relatif cepat. Fasilitator yang baru berhasil menjalin hubungan yang mapan dengan masyarakat segera diganti oleh fasilitator yang baru sehingga harus mulai lagi dengan penyesuaian baru. Padahal, dalam pendekatan proses yang bersifat bottom up dan mengutamakan partisipasi masyarakat perlu dibangun saling percaya antara masyarakat dengan fasilitator. Di samping itu juga dibutuhkan kemampuan empati dari fasilitator dengan kehidupan dan persoalan aktual masyarakatnya. Kesemuanya itu membutuhkan proses, yang dibangun melalui interaksi yang intensif dan kontinyu antara masyarakat dan fasilitator. Di dalam interaksi tersebut terdapat proses saling belajar di antara kedua belah pihak. Dari informasi yang diberikan KMW, hal ini merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan. Persoalannya dimulai dari banyaknya fasilitator yang karena berbagai pertimbangan mengundurkan diri. Dengan demikian posnya tersebut harus segera diisi, dan untuk itu perlu merotasi fasilitator dari daerah lain.

6. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, belum tampak indikasi yang kuat bahwa BKM akan menjadi lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaan program secara melembaga. Mekanisme tersebut belum terinstitusionalisasi dalam wadah BKM sesuai namanya sebagai badan keswadayaan masyarakat. Dengan demikian belum ada jaminan bahwa mekanisme dan kegiatan yang selama ini berlangsung akan tetap berjalan apabila BLM dihentikan.

Referensi

Dokumen terkait

yang mana dapat dilihat dari interaksi keseharian ketika proses pembelajaran berlangsung dimana mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa yang sangat aktif

Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kemudian yang menjadi sampel

bahwa pengaturan mengenai retribusi daerah telah diatur juga dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, karena itu

Dalam suatu survei yang telah dilakukan terhadap seratus karyawan yang baru, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana karyawan yang baru bergabung dengan

Hasil analisis menunjukkan bahwa satu dari sepuluh remaja wanita terse- but pernah melahirkan dan atau sedang hamil saat survei dilakukan; sebe- sar 95,2% dari remaja yang sudah

Siswa mampu mendemonstrasikan tata cara shalat berjamaah dengan benarG.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan, secara umum tingkat kemiskinan masih relatif tinggi. Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase jumlah

3.Bagi wanita yang bermahramkan adik – beradik lelaki - Salinan kad pengenalan adik-beradik lelaki tersebut dan salinan sijil lahir kedua-dua) (COP JPN & WISMA PUTRA).