• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEKELUARGAAN DAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM

2.1 Hukum Kekeluargaan Menurut Hukum Islam

Menurut Hazairin, hukum menentukan bentuk masyarakat. Hukum perkawinan dan hukum kewarisan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Bentuk kekeluargaan berpokok pangkal kepada cara menarik garis keturunan. Pada prinsipnya di Indonesia dikenal tiga macam cara menarik garis keturunan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan bilateral.16 Sistem patrilineal, yaitu cara menarik garis keturunan ke atas melalui pihak laki-laki atau kerabat ayah secara patrilineal, sistem matrilineal yaitu cara menarik garis keturunan ke atas hanya melalui pihak perempuan atau kerabat ibu secara matrilineal, dan sistem kekeluargaan bilateral atau parental yaitu cara menarik garis keturunan baik dari pihak ayah maupun pihak Ibu.

Untuk mempertahankan bentuk masyarakat yang patrilineal ataupun matrilineal adalah dengan melaksanakan bentuk perkawinan yang exogami, sedangkan pada masyarakat bilateral tidak dikenal larangan bentuk perkawinan yang indogami maupun exogami. Demikian pula bentuk perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, hal tersebut dapat dilihat pada larangan perkawinan menurut surah an-Nisaa ayat 23 dan pada perkawinan yang dilakukan puteri Rasululah,

16

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadits, Cet. 5, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 1981), hal. 11.

(2)

Fatimah az-Zahra binti Muhammad dengan kemenakan laki-laki beliau, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah Rasulullah, bernama Ali bin Abi Talib.17

Bentuk perkawinan indogami maupun exogami yang dapat dilakukan oleh seorang muslim (muslimah) berdasarkan surah an-Nisaa ayat 23 serta sunnah Rasulullah menunjukan bahwa bentuk masyarakat yang dikehendaki Islam adalah masyarakat bilateral.18 Selain itu, ayat-ayat kewarisan dalam al-Quran juga menunjukkan dengan jelas bahwa sistem kewarisan yang dikehendaki oleh Islam adalah sistem kewarisan bilateral, sehingga dengan demikian dapat dilihat bahwa sistem kewarisan Islam menghendaki sistem masyarakat bilateral. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisaa ayat 7, ayat 11, ayat 12, ayat 33, dan ayat 176, serta hadist-hadist Rasulullah.19

2.2 Hukum Perkawinan Islam

Keluarga sebagai unit terkecil dari suatu lingkungan masyarakat memainkan peranan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat dan negara. Suatu keluarga harus dibangun atas dasar yang kokoh agar dapat menciptakan masyarakat yang kokoh pula.

Agama Islam memberi perhatian yang besar pada pembentukan dan pembinaan suatu keluarga. Dalam agama Islam, perkawinan ditetapkan sebagai satu-satunya dasar utama dalam pembentukan suatu keluarga. Untuk lebih memahami pentingnya perkawinan dalam Islam, terlebih dahulu harus dipahami beberapa hal mengenai perkawinan yang antara lain: pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, asas-asas perkawinan, tujuan perkawinan, hukum melakukan perkawinan, larangan melakukan perkawinan, dan rukun serta syarat melakukan perkawinan. Ketujuh hal tersebut akan diuraikan berikut ini.

17

Neng Djubaedah; Sulaikin Lubis; dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005), hal. 68.

18

Ibid.

19

(3)

2.2.1 Pengertian Perkawinan

Nikah menurut bahasa berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)20. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, nikah dinyatakan sebagai salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi21.

Ada berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam mengenai definisi perkawinan, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Definisi tersebut antara lain:

a. Menurut ulama Mazhab Syafi’I, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah atau yang semakna dengan itu22.

b. Menurut ulama Mahzab Hanafi, nikah adalah akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syarak23.

c. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Selain itu, Sajuti Thalib juga berpendapat bahwa perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu pertama, segi agama merupakan suatu segi yang sangat penting bahwa perkawinan sebagai suatu lembaga suci, kedua, segi sosial bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga berkedudukan yang lebih dihargai, dan

20

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2, cet.9, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), hal. 689.

21

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1329.

22

Ibid.

23

(4)

yang ketiga, segi hukum, yaitu perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (mitsaaqaan ghaliizhaan)24.

d. Menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa25.

e. Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.26

f. Menurut Pasal 2 Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai Hukum Islam.27

2.2.2 Dasar Hukum Perkawinan Islam

Hukum Islam bersumber pada al-Quran, Sunnah Rasul, dan Ijtihad Ulil-Amri. Al-Quran memuat aqidah, syari’ah, dan akhlak, yang meliputi bidang ibadah dalam pengertian vertikal (hablummina-Allah) dan muamalah dalam pengertian horizontal (hablum-minan-nas) yang isinya sangat menyeluruh dan

24

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal 47-48.

25

Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, ps. 1.

26

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit.., ps. 2.

27

Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang

(5)

komprehensif, salah satunya adalah mengenai perkawinan. Ayat-ayat al-Quran yang mengatur hukum perkawinan terdapat dalam:28

a. Surah an-Nisaa ayat 1, ayat 3, ayat 4, ayat 6, ayat 19, ayat 20, ayat 21, ayat 22, ayat 23, ayat 24, ayat 25, ayat 32, ayat 34, ayat 35, ayat 127, ayat 128, ayat 129;

b. Surah al-Baqarah ayat 221, ayat 228, ayat 229, ayat 230, ayat 231, ayat 232, ayat 233, ayat 234, ayat 235, ayat 236, ayat 237, ayat 240, ayat 241, ayat 242; c. Surah al-Hijr ayat 72;

d. Surah Taha ayat 40;

e. Surah an-Nur ayat 3, ayat 6, ayat 7, ayat 8, ayat 9, ayat 26, ayat 32, ayat 33; f. Surah ar-Rum ayat 21;

g. Surah al-Ahzab ayat 4, ayat 5, ayat 37, ayat 38, ayat 49, ayat 50, ayat 51, ayat 52, ayat 55;

h. Surah at-Talaq ayat ayat 1, ayat 2, ayat 4, ayat 6, ayat 7; i. Surah at-Tahrim ayat 1, ayat 6, ayat 10, ayat 11;

j. Surah al-Maidah ayat 5.

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 1 dan ayat 3:29

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silahturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q. An-Nisaa: 1)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.

28

Neng Djubaedah, Op. cit., hal. 14.

29

Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia,

(6)

Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.an-Nisaa: 3).

Dalam Hukum Islam, Al-Quran adalah sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, dan sunnah Rasulullah merupakan sumber hukum yang kedua. Al-Quran memerintahkan orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasulullah (an-Nisaa ayat 59), menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai tauladan yang baik (al-Ahzab ayat 21), dan memiliki akhlak yang mulia (al-Qalam ayat 4). Allah menilai seorang muslim yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (an-Nisaa ayat 80), dan Allah menilai seseorang tidak beriman apabila ia tidak menerima keputusan Rasulullah (an-Nisaa ayat 65).

Beberapa Sunnah dan Hadits Rasul tentang perkawinan antara lain: 1. Hadits riwayat Jama’ah ahli hadits: Sabda Rasulullah SAW,

“Hai pemuda-pemuda, barangsiapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.”30

2. Hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi: Dari jabir, “Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama.”31

30

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), cet. ke-25, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1992), hal. 348-349.

31

(7)

3. Hadits riwayat Hakim dan Abu Dawud: Dari ‘Aisyah, “Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.”32

4. Hadits riwayat Muslim: Dari ‘Amru Ibnu Ash, “Dunia itu harta benda, dan sebaik-baik harta benda dunia adalah perempuan yang saleh.”33

5. Hadits riwayat Baihaqi:

“Janganlah kamu mengawini perempuan itu karena ingin melihat kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri, dan janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong, tetapi kawinilah mereka dengan dasar agama, dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama.”34

6. Hadits riwayat Muslim: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan; sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan mereka dengan kalimat Allah.”35

2.2.3 Asas – asas Hukum Perkawinan Islam

Ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi hukum perdata, berlaku beberapa asas-asas Hukum Islam dalam lapangan hukum perdata, yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang. Asas-asas tersebut antara lain:36

32 Ibid., hal. 349. 33 Ibid. 34 Ibid., hal. 351. 35 Ibid., hal 355-356. 36

(8)

a. Asas kesukarelaan

Asas ini merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan harus terdapat antara kedua calon suami-isteri.

b. Asas persetujuan

Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas kesukarelaan. Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan antara kedua calon suami-isteri dalam melangsungkan perkawinan.

c. Asas kebebasan memilih pasangan

Asas ini disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, mengenai seorang gadis yang menghadap Rasulullah yang menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya dan Nabi menegaskan bahwa gadis tersebut dapat meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. d. Asas kemitraan suami-isteri

Asas kemitraan suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 3437 dan surah al-Baqarah ayat 18738. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda, seperti suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.

e. Asas untuk selama-lamanya

Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (surah ar-Rum ayat 21).

f. Asas monogami terbuka

37

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 34: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagaian dari harta meraka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka… .” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya.

38

Terjemahan surah al-Baqarah ayat 187:”... mereka itu (istri-isteri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka ...” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya.

(9)

Asas ini menyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi isterinya (surah an-Nisaa ayat 3).

2.2.4 Tujuan Perkawinan

Dalam pandangan Islam, tujuan perkawinan antara lain adalah agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir batin dan saling cinta mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran, surah ar-Rum ayat 21. Pasal 3 KHI meyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.39 Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.40

2.2.5 Hukum Melakukan Perkawinan

Menurut pendapat sebagian ulama, asal hukum melakukan perkawinan jika di hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah kebolehan atau ibahah atau halal, sebagaimana ditegaskan dalam surah an-Nisaa ayat 1, ayat 3, ayat 2441, dan hadits Rasul sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim:

Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukan mata dan lebih memelihara faraj/kehormatan dan barang siapa yang belum sanggup maka berpuasa itu melemahkan syahwat42.

39

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit., ps. 3.

40

Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit., ps. 1.

41

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 24: “ …Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina...” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran

dan Terjemahannya.

42

(10)

Namun menurut Sajuti Thalib, hukum melakukan pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram berdasarkan kepada ‘illahnya. Perubahan itu terjadi apabila:43

a. Hukumnya berubah menjadi sunnah.

Dengan ‘illah: seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan perkawinan. Apabila dia kawin dia mendapat pahala dan apabila dia tidak atau belum kawin, dia tidak mendapat dosa dan juga tidak mendapat pahala.

b. Hukumnya berubah menjadi wajib.

Dengan ‘illah: seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga apabila dia tidak kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin. Apabila dia tidak kawin dia akan mendapat dosa dan apabila dia kawin dia mendapat pahala.

c. Hukumnya berubah menjadi makruh.

Dengan ‘illah: seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Apabila dia kawin dia tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. Sedangkan apabila dia tidak kawin dengan pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut maka dia akan mendapat pahala.

d. Hukumnya berubah menjadi haram.

Dengan ‘illah: apabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiayanya dan memperolok-olokannya maka haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan tersebut sebagaimana ditegaskan

43

(11)

dalam surah an-Nisaa ayat 24 dan ayat 2544 serta dalam surah al-Baqarah ayat 23145. Apabila dia tetap melakukan perkawinan untuk maksud terlarang tersebut, maka dia berdosa walaupun perkawinan tersebut tetap sah selama telah memenuhi rukun dan syarat yang telah digariskan. Sedangkan apabila dia tidak jadi melakukan perkawinan tersebut maka dia akan mendapatkan pahala.

2.2.6 Larangan Melakukan Perkawinan

Pada dasarnya seorang laki-laki Islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja, namun demikian ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan diperhatikan antara lain tidak menikah dengan orang yang dilarang menurut al-Quran, sunnah, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Larangan-larangan itu dengan tegas dinyatakan antara lain dalam ayat-ayat al-Quran pada surah al-Baqarah ayat-ayat 221 dan surah an-Nisaa ayat-ayat 23, maupun dalam peraturan perundang-undangan seperti diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun larangan-larangan tersebut adalah46 :

a. Larangan perkawinan karena perbedaan agama.

KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 40 huruf c, bahwa seorang laki-laki dilarang menikah dengan wanita yang bukan beragama Islam. Pasal 44 KHI menentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

44

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 25: “ Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki...” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan

Terjemahannya.

45

Terjemahan surah al-Baqarah ayat 231: “ Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka...” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan

Terjemahannya.

46

(12)

b. Larangan perkawinan karena hubungan darah

Larangan ini tercantum dalam surah an-Nisaa ayat 2347. KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (1) yang isinya menentukan bahwa, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, yaitu: (i) dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, (ii) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, (iii) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.48

Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan darah diatur dalam Pasal 8 huruf (a) dan (b) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang (a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas, (b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping.49

c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan

Larangan ini juga tercantum dalam surah an-Nisaa ayat 23. KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (3) yang isinya menentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian sesusuan, yaitu: (i) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, (ii) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah, (iii) dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah, (iv)

47

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 23: ”Diharamkan atas kamu (mengawini) Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu, anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang talah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu, dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau...” (Q.S. IV: 23) Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan

Terjemahannya.

48

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit., ps. 39

49

(13)

dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesuan ke atas, (v) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.50

Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan sesusuan diatur dalam Pasal 8 huruf (d) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.51

d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda

Larangan ini juga tercantum dalam surah an-Nisaa ayat 2352. KHI mengatur larangan ini dalam Pasal 39 ayat (2) yang isinya menentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian kerabat semenda, yaitu: (i) dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya, (ii) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya, (iii) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al-dukhul, (iv) dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 53

Dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan karena hubungan semenda diatur dalam Pasal 8 huruf (c) yang isinya menyatakan perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.54

e. Larangan perkawinan karena zina.

Larangan perkawinan karena zina diatur dalam Q.S. an-Nur (24):3. Dalam surah ini ditentukan bahwa orang-orang mukmin dilarang menikah dengan orang yang berzina. Orang-orang yang berzina hanya dapat menikah dengan orang-orang yang berzina juga. Menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Maliki, anak hasil zina dapat dinikahi oleh ayah genetisnya.

50

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit.

51

Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, loc. cit.

52

Lihat catatan kaki hal. 20.

53

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. loc. cit.

54

(14)

f. Larangan perkawinan karena Li’an.

Li’an adalah tuduhan suami bahwa istrinya berbuat zina dengan orang lain atau pengingkaran suami terhadap kehamilan istrinya sebagai buah pergaulan dengan istrinya itu.55 KHI mengatur mengenai li’an pada Pasal 126. Pasal 43 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa seorang pria dilarang menikah dengan bekas istrinya yang dili’an. Akibat dari li’an adalah antara suami dan istri yang melakukan li’an tersebut tidak boleh menikah kembali untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (Pasal 125 jo. Pasal 162 KHI).56

g. Larangan perkawinan karena mempunyai empat orang istri.

Hukum perkawinan Islam menganut asas monogami terbuka. Hal ini dapat dilihat dalam surah an-Nisaa ayat 3.57 KHI mengatur mengenai pembatasan jumlah istri dalam Pasal 42 yang menentukan bahwa seorang laki-laki dilarang untuk menikah dengan wanita lain apabila ia sedang mempunyai empat orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan dengannya atau masih dalam masa iddah. Ketentuan ini dipertegas lagi dengan Pasal 55 yang menetapkan seseorang bila ingin beristri lebih dari satu pada waktu bersamaan hanya boleh 4 (empat) orang.

h. Larangan perkawinan karena talak Ba’in Kubra.

Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.58 Apabila terjadi talak ba’in kubra, maka antara suami istri tersebut tidak boleh rujuk lagi dan tidak boleh nikah kembali kecuali bekas istri telah menikah dengan laki-laki lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul (telah melakukan hubungan suami istri) serta masa iddahnya telah habis (al-Baqarah ayat 230). KHI mengatur ketentuan ini dalam Pasal 43 jo. Pasal 120 KHI.

55

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1009.

56

Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., ps. 125.

57

Lihat hal. 14.

58

(15)

i. Larangan perkawinan dengan perempuan yang masih dalam masa Iddah. Iddah adalah masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami isteri bersangkutan.59 Ketentuan mengenai iddah terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 228 dan ayat 234, serta surah at-Thalaq ayat 1 dan ayat 4. Mengenai larangan menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah, KHI mengaturnya dalam Pasal 40 huruf (b)60 dan Pasal 151.61

j. Larangan perkawinan karena sedang melaksanakan ibadah haji.

Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasul riwayat Muslim dari Usman r.a, dinyatakan bahwa “Tidak boleh menikah orang yang sedang dalam keadaan ihram, demikian juga tidak boleh menikahkan”.62 KHI mengatur hal ini dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2).

k. Larangan perkawinan poliandri.

Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.63 Dalam surah an-Nisaa ayat 24 sangat tegas dinyatakan larangan menikahi wanita yang sedang bersuami. Hal ini dilarang dengan tujuan untuk menjaga kemurnian turunan dan kepastian hukum seorang anak.64 KHI mengatur masalah ini dalam Pasal 40 huruf (a).65

59

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 637.

60

Pasal 40 huruf (b) KHI: ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.” Lihat Kompilasi

Hukum Islam. Ps. 40.

61

Pasal 151 KHI: ”Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.” Lihat Kompilasi Hukum Islam. Ps. 151.

62

Neng Djubaedah, Op. cit., hal. 92.

63

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, loc. cit., hal. 779.

64

Thalib, Op. cit., hal. 61.

65

(16)

2.2.7 Rukun dan Syarat Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.66

Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan sehingga apabila salah satu rukun nikah tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut batal demi hukum. Kompilasi Hukum Islam mengatur rukun perkawinan pada Pasal 14, bahwa untuk melakukan perkawinan harus terdapat: 67

a. Calon suami b. Calon Isteri c. Wali nikah

Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh (Pasal 20 ayat 1).

KHI membagi wali nikah menjadi 2 (dua), yaitu:68 i. Wali nasab

Menurut Pasal 21 KHI, wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita, yaitu:69

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;

66

Neng Djubaedah, Op. cit., hal. 62.

67

Kompilasi Hukum Islam, loc. cit., Ps. 14.

68

Ibid., Ps. 20 ayat 2.

69

(17)

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

ii. Wali hakim

Wali hakim adalah pengusa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama.70 Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut (Pasal 23 KHI).71

d. Dua orang saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 24). Yang dapat ditunjuk untuk menjadi seorang saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli (Pasal 25). Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan (Pasal 26).

e. Ijab dan Kabul

Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh wali pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami atau wakilnya. Qabul yaitu penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami istri yang dilakukan pihak laki-laki72. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi atau wakilnya (Pasal 29 ayat 1). Pelaksanaan penegasan qabul harus diucapkan pihak

70

Thalib, Op. cit., hal. 65.

71

Kompilasi Hukum Islam, Op. cit., Ps. 23.

72

(18)

laki langsung sesudah ucapan penegasan ijab pihak perempuan, tidak boleh mempunyai antara waktu yang lama (Pasal 27).

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, oleh karena itu bagi umat Islam ketentuan yang berlaku adalah hukum perkawinan Islam. Syarat sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan ini adalah :

a. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6);

b. Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 7);

c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang diijinkan (Pasal 9);

d. Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu)tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2);

e. Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah seperti tercantum dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

Berdasarkan pasal-pasal dalam KHI, syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai agar perkawinan dinyatakan sah adalah73: a. Dilakukan menurut Hukum Islam (Pasal 4);

b. Kedua calon mempelai harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan, yaitu harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan berusia 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 15 ayat 1). Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan (Pasal 15 ayat 2); c. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat 1).

Bentuk persetujuan ini dapat berupa pernyataan yang tegas dan nyata dengan tulisan, lisan maupun isyarat. Namun boleh juga berupa diamnya calon mempelai dalam arti tidak ada penolakan yang tegas (Pasal 16 ayat 2);

73

(19)

d. Di antara kedua mempelai tidak terdapat halangan perkawinan sebagaiman diatur dalam al-Quran (Pasal 18);

2.2.8 Kewajiban-kewajiban Lain Yang Berkaitan Dengan Akad Nikah

Selain rukun dan syarat perkawinan yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi namun tidak termasuk rukun dan syarat perkawinan, melainkan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan berkaitan dengan akad nikah yang apabila tidak terpenuhi tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan itu. Adapun kewajiban-kewajiban itu ialah:

1. Pencatatan Perkawinan

Perkawinan harus dicatat dan dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 5 jo. Pasal 6 KHI). Menurut pendapat Neng Djubaedah, pencatatan perkawinan bukan merupakan rukun dan juga bukan merupakan syarat perkawinan, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia terhadap negaranya. Beliau berpendapat bahwa apabila kewajiban ini tidak dipenuhi maka tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, karena kewajiban ini bukan merupakan syarat yang dapat dibatalkan oleh pihak-pihak tertentu, tetapi dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan mengatur ketentuan pidana terhadap para pihak yang tidak mencatatkan perkawinan. Pasal 141 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat dikenakan pidana denda tiga juta rupiah atau hukuman kurungan paling lama tiga bulan.

2. Mahar

Mahar, menurut Pasal 1 huruf d KHI, adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.74 Mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang mana jumlah, bentuk,

74

(20)

dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.75 Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.76

Menurut pendapat Neng Djubaedah, mahar juga bukan merupakan rukun dan juga bukan merupakan syarat yang perkawinannya dapat dibatalkan. Mahar merupakan kewajiban suami dan hak pribadi isteri. Belum dibayarnya mahar oleh suami bukan merupakan alasan untuk dibatalkannya perkawinan, tetapi jika terjadi perceraian, maka mahar yang belum dibayar dapat dituntut oleh isteri. Jumlah mahar yang dapat dituntut tergantung kepada kondisi hubungan suami isteri dalam perkawinan, qabla ad-dukhul atau ba’da ad-dukhul.

2.3 Hukum Kewarisan Islam

Dalam surah an-Nisaa ayat 7 ditentukan bahwa, bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan juga ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya. Hal ini menandakan bahwa sistem hukum kewarisan dalam hukum Islam adalah bilateral.

Kemudian dalam surah an-Nisaa ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 juga lebih memperjelas bahwa hukum kewarisan Islam menghendaki masyarakat bilateral, melalui ketentuan hukum kewarisan bagi anak laki-laki dan anak perempuan pewaris beserta keturunannya, ibu pewaris, ayah pewaris, dan suami atau istri yang berkedudukan sebagai ahli waris dari istrinya atau suaminya. Demikian pula saudara-saudara pewaris, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik saudara kandung, saudara seayah, maupun saudara seibu dapat berkedudukan sebagai ahli waris.77

75 Ibid., Ps. 30. 76 Ibid., Ps. 34 ayat 1. 77 Ibid., hal. 84.

(21)

Hukum Kewarisan Islam mengandung lima asas, yaitu: 78 1. Asas ijbari

Asas ini mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari Hukum Kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepada dirinya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah.

2. Asas bilateral

Asas ini mengandung arti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surah an-Nisaa ayat 7, ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.

3. Asas individual

Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.

4. Asas keadilan yang berimbang

Asas ini mengandung arti bahwa dalam hal kewarisan harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.

5. Asas akibat kematian.

Asas ini mengandung arti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang.

Neng Djubaedah dalam tesisnya yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pandeglang, Banten,” menambahkan satu asas dalam asas-asas Hukum Kewarisan Islam, yaitu asas-asas personalitas keislaman.79 Asas ini mengandung arti bahwa antara pewaris dan ahli waris dalam kewarisan Islam

78

Ali, Op. cit., hal. 128-130.

79

Neng Djubaedah, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Pandeglang,

(22)

harus beragama Islam. Beliau mendasarkan pendapatnya pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 171 KHI.

2.4 Kedudukan Ayah, Ibu, dan Anak dalam Hukum Kekeluargaan Islam

Bentuk kekeluargaan dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh sistem garis keturunan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Keluarga inti menurut ajaran Islam terdiri dari suami, istri, anak (keturunan), orang tua suami dan atau orang tua isteri. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu di dalam perkawinan dan kewarisan yang menimbulkan wewenang, hak, dan kewajiban.

2.4.1 Kedudukan Ayah dalam Hukum Perkawinan Islam

Dalam suatu perkawinan, ayah berkedudukan sebagai seorang kepala keluarga sekaligus sebagai seorang suami bagi istrinya. Sebagai seorang suami, ayah memiliki kewajiban untuk menjaga sekaligus memelihara istrinya dan berkewajiban untuk mendidik dan mengurus kepentingan anak-anaknya (Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan). Ayah wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan). Apabila suami memiliki istri lebih dari seorang, maka hendaklah ia berlaku adil terhadap para istrinya (surah an-Nisaa ayat 3). Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 55 KHI yang menyebutkan bahwa syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.80

Pasal 80 KHI menyebutkan bahwa suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.81

80

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2, (Jakarta : Fokus Media, 2007), Ps. 55.

81

(23)

2.4.2 Kedudukan Ayah dalam Hukum Kewarisan Islam

Dalam hukum kewarisan, ayah sebagai pewaris yang meninggalkan harta warisan dibagikan kepada anak-anaknya, orang tuanya, dan istri atau jandanya. Bagi anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan, akan menerima harta peninggalannya (surah an-Nisaa ayat 11). Ayah memiliki dua kemungkinan dalam mewaris. Ayah dapat berkedudukan sebagai dzul faraa-idh atau dzul qarabat. Ayah berkedudukan sebagai dzul faraa-idh, yaitu ahli waris tertentu yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan tertentu, apabila dirinya mewaris bersama-sama dengan anak pewaris (surah an-Nisaa ayat 11). Ayah berkedudukan sebagai dzul qarabat, yaitu ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya atau mendapat bagian yang terbuka (sisa), apabila dirinya tidak mewaris bersama-sama anak pewaris meskipun ada ahli waris lainnya yang sama-sama mewaris bersamanya (surah an-Nisaa ayat 11).

2.4.3 Kedudukan Ibu dalam Hukum Perkawinan Islam

Menurut Islam, yang disebut dengan “ibu” adalah perempuan yang melahirkan anaknya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surah ar-Ruum ayat 4 tanpa melihat perkawinan resmi atau tidak. Seorang ibu dalam ajaran Islam ditempatkan dalam kedudukan yang mulia. Hal ini diumpamakan oleh Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan bahwa “Surga itu ada di telapak kaki ibu”.82

Dalam suatu keluarga, ibu atau seorang istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan jo. Pasal 79 ayat (1) KHI). Berdasarkan surah an-Nisaa ayat 34, seorang istri memiliki kewajiban untuk menjaga diri serta memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada83.

82

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 6, Op. cit., hal. 1921.

83

Terjemahan surah an-Nisaa ayat 34: “ ...wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka… .” Lihat Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Quran dan Terjemahannya.

(24)

Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Hal yang serupa juga diungkapkan dalam surah al-Baqarah ayat 228, bahwa “...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...” dan Pasal 79 ayat (2) KHI84. Kewajiban utama seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam (Pasal 83 ayat (1) KHI). Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya (Pasal 83 ayat (2) KHI).

2.4.4 Kedudukan Ibu dalam Hukum Kewarisan Islam

Dalam hukum kewarisan, ibu berkedudukan sebagai ahli waris dzul faraa-idh dari anaknya (pewaris) yaitu memperoleh 1/3 bagian harta peninggalan apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau kalalah (surah an-Nisaa ayat 11). Apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak pewaris atau terdapat saudara dari pewaris, maka kedudukan ibu akan memperoleh 1/6 bagian harta peninggalan sebagai dzul faraa-idh (surah an-Nisaa ayat 11). Adanya ayah sebagai ahli waris bersama ibu tidak mempengaruhi perolehan dan kedudukan ibu menurut ajaran Hukum Kewarisan Islam.85 Ibu sebagai pewaris yang meninggalkan harta warisan dibagikan kepada anak-anaknya, orang tuanya (surah an-Nisaa ayat 11), dan kepada suaminya (surah an-Nisaa ayat 12).

2.4.5 Kedudukan Anak dalam Hukum Perkawinan Islam

Anak adalah orang yang lahir dari rahim seorang ibu, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, sebagai hasil dari percampuran benih antara dua

84

Pasal 79 ayat 2 KHI: “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masarakat.” Lihat Kompilasi Hukum Islam, Ps. 79.

85

(25)

lawan jenis.86 Islam sangat memperhatikan kedudukan anak, hal ini terlihat dengan banyaknya ayat dalam al-Quran serta beberapa hadits yang membahas masalah anak, di antaranya adalah surah an-Nahl ayat 72, surah Asy-Syura ayat 49 dan ayat 50, surah al-Kahfi ayat 46, dan surah an-Nisaa ayat 9 dan ayat 11.

Anak merupakan titipan atau amanat Allah kepada orang tua. Menurut pandangan Islam, anak adalah ciptaan Allah, seperti firman Allah dalam surah al-Hajj ayat 5, yaitu anak yang dilahirkan oleh sepasang suami istri (surah an-Nisaa ayat 1). Anak merupakan perhiasan dunia (surah al-Kahfi ayat 46) dan manusia diberikan rasa cinta kepada anak-anaknya (surah al-Imran ayat 14). Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan (surah an-Najm ayat 45 dan surah al-An’aam ayat 140) untuk bersatu dalam perkawinan. Dari perkawinan ini akan dilahirkan anak laki-laki dan atau anak perempuan (surah an-Nisaa ayat 9 dan ayat 11).87

Anak yang lahir dari hasil hubungan perkawinan yang sah adalah anak sah, sedangkan anak yang lahir dari hubungan tidak sah atau perzinaan oleh masyarakat lazim disebut sebagai anak zina atau menurut Neng Djubaedah, lebih sesuai apabila menyebutnya dengan anak hasil zina. Menurut fukaha, perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak sebagai salah satu keturunan harus melengkapi 4 (empat) syarat kumulatif, yakni hamilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang mungkin dan sebagai akibat perkawinan yang sah, istri melahirkan anaknya sedikitnya setelah enam bulan dari tanggal dilangsungkannya akad nikah, istri melahirkan anaknya dalam waktu yang kurang dari masa hamil yang terpanjang dihitung dari tanggal perpisahnnya dengan suaminya, dan suami tidak mengingkari hubungan anak tersebut dengan dirinya.88

UU Perkawinan menjelaskan tentang kedudukan anak pada Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 yang dapat disimpulkan bahwa: 89

86

Dahlan, Jil. 1, loc. cit., hal. 112.

87

Neng Djubaedah, loc. cit., hal. 175-176.

88

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 4, Op. cit., hal. 112.

89

(26)

1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).

2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).

3. Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44).

Selain UU Perkawinan, KHI juga mengatur mengenai kedudukan anak dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 106. Kedudukan anak dalam KHI dapat dijabarkan sebagai berikut:90

1. Anak yang sah adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Pasal 99).

2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100).

3. Suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an dan mengajukan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama (Pasal 101-102).

Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan menetapkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.91 Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh isteri tersebut adalah anak yang sah.92

Dalam al-Quran, orang tua wajib memelihara, mengasuh, mendidik dan menjaga, melindungi anak menurut kadar kemampuannya (surah al-Baqarah

90

Ibid,. hal. 176-177.

91

Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama

Bidang Perkawinan, Ps. 91.

92

(27)

ayat 233). Kewajiban orang tua merupakan hak bagi anak. Menurut Wahdah Az-Zuhaili, ada 5 macam hak anak terhadap orangtuanya, yaitu hak nasab, hak radla, hak hadlanah, hak walayah, dan hak nafkah.93 Sedangkan menurut Abdur Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:94

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan. 2. Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan, dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya.

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

UU Perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak dalam Pasal 45 dan Pasal 48. Pasal 45 UU Perkawinan menetapkan bahwa kewajiban orang tua adalah memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 48 UU Perkawinan menetapkan bahwa orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 47 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menguraikan secara jelas tentang kewajiban orang tua terhadap anak, namun hanya tersirat bahwa kewajiban orang tua terhadap anak antara lain:

93

Neng Djubaedah, loc. cit., hal. 178.

94

(28)

1. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya (Pasal 77 ayat 3);

2. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya (Pasal 81 ayat 1);

3. Memelihara anak hingga batas usia anak mampu berdiri sendiri atau dewasa (21 tahun) sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 98 ayat 1);

4. Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan (Pasal 98 ayat 2);

5. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya (Pasal 104 ayat 1);

6. Dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. (Pasal 105);

7. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi (Pasal 106).

8. Dalam hal terjadi perceraian, ayah wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 149 huruf d KHI); 9. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah (Pasal 156 KHI):

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

(29)

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah

dari ayahatau ibunya;

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

2.4.6 Kedudukan Anak dalam Hukum Kewarisan Islam

Dalam hukum kewarisan, anak merupakan ahli waris pertama yang disebut dalam al-Quran. Pada surah an-Nisaa ayat 7 disebut anak laki-laki dan anak perempuan mewarisi harta peninggalan ibu. Kemudian dalam surah an-Nisaa ayat 11 diuraikan lagi dengan tiga garis hukum mengenai pembagian warisan, yaitu untuk anak laki-laki dan anak perempuan yang bergabung, untuk anak perempuan saja yang lebih dari seorang, dan untuk anak perempuan saja yang tunggal.95

95

(30)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG BAYI TABUNG DENGAN

MENGGUNAKAN RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)

3.1. Teknologi Pembuahan Dalam Tabung

Teknologi pembuahan dalam tabung adalah suatu rekayasa teknologi reproduksi untuk menolong pasangan suami istri yang tidak subur atau infertil. Melalui teknologi ini, pembuahan bukan berlangsung secara alami, melainkan terjadi didalam tabung dengan mempertemukan sel sperma dan sel telur dari pasangan suami istri di laboratorium. Untuk dapat memahami secara tepat dan benar mengenai bayi tabung, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa pengertian yang berkaitan dengan kehamilan, yaitu mengenai ovulasi96, konsepsi97, dan nidasi98. Dalam kaitannya dengan fertilisasi in vitro, pengetahuan tentang saat terjadinya ovulasi sangat penting karena dengan pengetahuan tersebut, tenaga medis akan mengambil sel telur yang sudah matang untuk dibuahi dengan sel sperma di dalam tabung petri99. Apabila pada saat terjadi ovulasi wanita itu

96

Ovulasi adalah pengeluaran qosit (sel telur) masak dari ovarium. Ovarium adalah indung telur, alat kelamin dalam yang membentuk sel telur pada wanita.

97

Konsepsi adalah terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tuba fallopi (secara alami) atau didalam tabung petri (secara buatan yang dilakukan oleh dokter).

98

Nidasi adalah implantasi (penanaman) ovum yang sudah dibuahi ke dalam

endometrium (selaput lendir rahim).

99

Tabung petri adalah tempat untuk mempertemukan sel telur dengan sel sperma agar terjadi pembuahan atau konsepsi.

(31)

melakukan hubungan senggama, maka kemungkinan besar akan terjadi konsepsi, yaitu peristiwa penyatuan antara gamate100 laki-laki dan gamate perempuan.

Secara alamiah dan normal, konsepsi terjadi di dalam tuba-faloppi101. Penyatuan antara gamate laki-laki dan gamate perempuan akan membentuk suatu organisme baru yang disebut dengan zygote102. Zygote ini akan didorong oleh bulu-bulu halus didalam tuba-faloppi ke arah rahim yang berlangsung selama 3-5 hari. Sesampainya dipermukaan rahim, zygote yang sudah berubah menjadi blastula103 akan melekat dan bersarang di dalam lendir rahim. Blastula ini akan mendapat makanan dari darah ibunya melalui plasenta104 untuk dikeluarkan dari tubuh ibunya melalui ginjalnya. Proses ini akan berlangsung terus selama embrio itu berada di dalam rahim hingga ia dilahirkan.

3.1.1 Dasar Hukum Konsepsi dalam Islam

Konsepsi atau proses reproduksi manusia telah diuraikan secara jelas dengan firman Allah dalam al-Quran. Ayat-ayat al-Quran yang menggambarkan konsepsi atau reproduksi manusia antara lain105:

1. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. (surah al-Zumar ayat 6)

2. Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan. (surah al-Qiyaamah ayat 37-39)

100

Gamate adalah sel-sel kelamin laki-laki (spermatozoa), dan sel-sel kelamin wanita (sel telur atau ovum).

101

Tuba fallopi adalah saluran yang menghubungkan rahim dengan daerah ovarium dalam sistem reproduksi manusia.

102

Zygote adalah hasil penyatuan antara spermatozoa dan sel telur, ia belum membelah diri, ia baru merupakan satu sel.

103

Blastula adalah struktur sferis hasil pembelahan zygote.

104

Plasenta adalah ari-ari yang menghubungkan badan ibu dengan bayi di dalam

kandungan.

105

Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia,

(32)

3. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. (surah ‘Abasa ayat 19)

4. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya dengan perintah dan larangan, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (surah al-Insaan ayat 2) 5. Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan

perempuan dari air mani, apabila dipancarkan. (surah al-Najm ayat 45-46) 6. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),

maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi… . (surah al-Hajj ayat 5)

7. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (surah al-Mu’minuun ayat 13)

8. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang paling Baik. (surah al-mu’minuun ayat 14)

9. Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. (surah al-Mursalaat ayat 20-23)

Hadits Nabi yang menggambarkan fase-fase perkembangan embrio telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

“Dari Abu Abrirahman Abdullah bin Mas’ud berkata: Telah menceritakan kepada kami Rasulullah SAW dialah orang yang benar dan dibenarkan: Sesungguhnya seorang manusia kejadiannya

(33)

dikumpulkan dalam rahim ibunya selam 40 hari, kemudian ia menjadi sesuatu yang menggantung (‘alaqah) selama itu juga, kemudian ia menjadi segumpal daging, selama itu juga, kemudian dikirim kepadanya Malaikat, lalu ditiupkan padanya roh.”106

Ayat dan hadits di atas menjelaskan tentang periode perkembangan janin yang terbagi sebagai berikut107:

1. Periode Nutfah/Sperma (Blastokist)

AL-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan nutfah adalah air mani (sperma), yaitu air suci yang jumlahnya sedikit. Air mani adalah sperma pria ketika bertemu dengan air (sel telur) wanita. Karena perpaduan itu, Allah menciptakan janin yang siap menerima proses fertilisasi (pembuahan)108. Nutfah, disamping dapat diartikan sebagai setitik dari mani juga dapat diartikan sebagai hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma yang disebut zygote. Hal ini penting untuk diperhatikan karena pada ayat lain kata nutfah dapat diartikan sebagai hasil penyatuan antara sel telur dan sperma, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surah al-Hajj ayat 5.

2. Periode ‘Alaqah/Darah (Murola)

Al-Quran menunjukkan bahwa setelah periode nutfah maka akan terjadi ‘alaqah (sesuatu yang bergantung) yang menunjukkan perkembangan lebih lanjut dari nutfah.109 Nutfah disini diartikan sebagai hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma yang disebut dengan zygote atau blastula. Nutfah disini bukan diartikan sebagai sel sperma karena sel sperma tidak mungkin dapat berkembang menjadi ‘alaqah tanpa harus ada penyatuan dengan sel telur terlebih dahulu.

106

Muhammad Darrudin, Reproduksi Bayi Tabung ditinjau dari Hukum Kedokteran,

Hukum Perdata, Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), hal. 26.

107

Dr. Adil Yusuf al-Izazy, Fiqh Kehamilan (Panduan Hukum Islam Seputar Kehamilan,

Janin, Aborsi, dan Perawatan Bayi) [Fathul Karîm fi Ahkâmil Hâmil wal Janîn], diterjemahkan

oleh H. R. Taufiqurrochman (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2008), hal. 18.

108

Ibid.

109

(34)

Kejadian bersarangnya blastula ke dalam lendir rahim dilukiskan oleh al-Quran dengan kata ‘alaqah yang artinya nutfah yang menggelantung atau melekat. Hal ini dapat dijumpai dalam surat al-Qiyamah ayat 37-38.

Ibnu Qayim berpendapat, bahwa ‘alaqah adalah sepotong darah berwarna hitam dan hanya selama 40 hari saja. Menurut Ibnu Hajar, ‘alaqah ialah darah kental dan tebal. Dinamakan demikian karena bentuknya lunak, lembab, dan selalu terikat dengan alirannya110.

3. Periode Mudhghah (Embrio)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat, bahwa mudhghah adalah segumpal daging (embrio). Disebut demikian karena ukurannya sebesar daging yang dikunyah.111

Pada periode ini dimulai proses penciptaan manusia sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 5. Evolusi perkembangan embrio diungkapkan di dalam al-Quran surah al-Mu’minun ayat 14 yang artinya:112

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang paling Baik.”

Fase-fase itulah yang dimaksudkan oleh surah Nuh ayat 14 yang artinya: “Dia (Tuhan) menjadikan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.”113

4. Periode Tulang dan Daging

Periode tulang dan daging didasarkan pada firman Allah (artinya): “Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu

110

Yusuf al-Izazy, loc. cit.

111

Ibid., hal. 19.

112

Kementerian urusan agama Islam, Wakaf, Da’wah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia,

Al-Quran dan Terjemahannya, Saudi Arabia : 1990

113

(35)

Kami bungkus dengan daging” (surah al-Mukminun ayat 14). Kedua periode ini masih termasuk bagian dari periode embrio (mudhghah). Ibnu Qayyim berkata: “Fase ini merupakan fase ditentukannya anggota tubuh, bentuk, postur, dan sifat-sifatnya”114.

5. Periode Pemberian Ruh

Periode pemberian ruh terjadi setelah 120 hari sejak permulaan hamil. Periode ini adalah fase-fase yang dimaksud di dalam firman Allah (artinya): “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang yang paling baik” (surah al-Mukminun ayat 14).

Dari uraian ayat-ayat al-Quran tentang reproduksi manusia tersebut, tidak ada satu ayat pun yang mengatakan bahwa terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma hanya terjadi di tuba fallopii. Dengan kata lain pembuahan sel telur oleh sel sperma dapat dilakukan tanpa adanya hubungan senggama antara laki-laki dengan seorang perempuan, melainkan dengan cara fertilisasi in-vitro (In-Vitro Fertilization). Cara ini digunakan untuk menolong pasangan suami isteri infertil yang tidak dapat memperoleh keturunan secara alamiah.

3.1.2 Sejarah Singkat Bayi Tabung

Percobaan-percobaan pembuahan in-vitro sudah dimulai sejak tahun 1959 oleh seorang ilmuwan Italia bernama Daniel Petrucci. Percobaan-percobaan sejenis dilakukan lagi pada bulan Desember 1970 oleh Robert G. Edward dan Ruth E. Fuwler dari Universitas Cambridge.115

Metode ini mencatat keberhasilan luar biasa dan menggemparkan dunia dengan lahirnya Louise Brown di Inggris pada tahun 1978, yang dianggap sebagai bayi tabung murni yang pertama di dunia.116 Pada teknik in vitro yang melahirkan Louise Brown, pertama-tama dilakukan perangsangan indung telur sang istri dengan obat khusus untuk menumbuhkan lebih dari satu sel telur.

114

Ibid.

115

Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), cet. 1, (Jakarta: IND-HILL.CO, 1989), hal. 180.

116

(36)

Perangsangan berlangsung 5 - 6 minggu sampai sel telur dianggap cukup matang dan sudah saatnya "dipanen". Selanjutnya, folikel atau gelembung sel telur diambil tanpa operasi, melainkan dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal (melalui vagina).117

Sementara semua sel telur yang berhasil diangkat dieramkan dalam inkubator, air mani suami dikeluarkan dengan cara masturbasi (onani), dibersihkan, kemudian diambil sekitar 50.000 - 100.000 sperma. Sperma itu ditebarkan di sekitar sel telur dalam sebuah wadah khusus. Sel telur yang terbuahi normal, ditandai dengan adanya dua sel inti, segera membelah menjadi embrio. Sampai dengan hari ketiga, maksimal empat embrio yang sudah berkembang ditanamkan ke rahim istri. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan hormon Beta-HCG dan urine untuk meyakinkan bahwa kehamilan memang terjadi.118

Semenjak lahirnya Louise Brown, pelaksanaan metode bayi tabung atau pembuahan in-vitro semakin populer di dunia. Berbagai negara di dunia melakukan program bayi tabung dengan tujuan yang berbeda-beda, di antaranya Australia dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, program fertilisasi in-vitro dimulai pada Eastern Virginia Medical School di Nurfolk, dan bayi tabung yang pertama lahir pada bulan Desember 1981.119

Di Indonesia, Metode pembuahan in-vitro (IVF) pertama kali diterapkan pada tahun 1987 di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, dengan tujuan untuk menolong pasangan suami isteri yang tidak mungkin mempunyai keturunan karena istrinya mengalami kerusakan kedua saluran telur yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Teknik yang kini disebut IVF konvensional itu berhasil melahirkan bayi tabung pertama di Indonesia, Nugroho Karyanto, pada 2 Mei 1988 dari pasangan suami isteri Markus dan Chai Ai Lian.

117

Nanny Selamihardja, “ “Menembak” 1 Sel Telur dengan 1 Sel Sperma,” <http://www. indomedia.com/intisari/1998/oktober/tembak.htm>, 27 Juni 2008.

118

Ibid.

119

(37)

3.1.3 Tujuan Program Bayi Tabung

Awalnya, program fertilisasi in-vitro (In-Vitro Fertilization) bertujuan untuk menolong pasangan suami isteri yang tidak mungkin mempunyai keturunan secara alamiah yang dikarenakan sang isteri mengalami kerusakan pada tuba fallopi yang tidak dapat diperbaiki lagi. Dalam perkembangan selanjutnya, metode ini sangat baik dan efektif sekali digunakan untuk menolong pasangan suami isteri dengan berbagai kelainan dan penyakit lainnya yang menyebabkan mereka secara alamiah tidak dapat hamil.

Otto Soemarwoto dalam bukunya “Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global”, dengan tambahan dan keterangan dari Drs. Muhammad Djumhana, S.H., menyatakan bahwa bayi tabung pada satu pihak merupakan hikmah. Ia dapat membantu pasangan suami isteri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak.120 Menurut Dokter Sudradji Sumapradja, penerapan teknologi fertilisasi in-vitro bukan hanya bertujuan untuk memperoleh keturunan saja, melainkan juga dapat digunakan untuk memberikan kesempatan bagi para ilmuwan mempelajari hal ikhwal reproduksi manusia yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi pengembangan kontrasepsi baru, diagnosa preinplantasi, dan terapi gen untuk menanggulangi sedini mungkin kelainan kongenital (keturunan).121

3.1.4 Syarat-syarat Mengikuti Program Bayi Tabung

Program fertilisasi in-vitro, seakan telah menjadi tren tersendiri dikalangan masyarakat, terutama bagi pasangan yang sudah sangat lama mendambakan kehadiran tangis bayi. Sayangnya, tidak semua pasangan suami isteri dapat mengikuti program ini.

120

Sthefanny Avonina, “Perkembangan Bioteknologi Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) Ditinjau Dari Hukum Perdata Indonesia,” <http://www.lkht.net>, 9 Maret 2008.

121

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu karena sejak awal mendesain, area sudut siku-siku di bagian depan lahan memang sudah direncanakan untuk dikosongkan dari bangunan yang beratap, agar

Koleksi Perpustakaan Universitas

Tujuan dari peneliatian adalah mendeskripsikan pola komunikasi antara guru dengan siswa dan antar siswa pada kelompok ekstrakurikuler tari di SMP N 1

Pembuatan sudetan dari saluran drainase yang bermasalah menuju ke drainase yang lebih besar atau saluran drainase primer (sungai) terdekat yaitu Jalan DI.

Pengaruh Temperatur Annealing Terhadap Struktur, Sifat listrik dan Sifat Optik Film Tipis Zinck Oxide Doping Alumunium (ZnO:Al) Dengan Metode DC Magneton

Berdasarkan tabel 6.didapatkan data bahwa rata-rata nyeri haid sesudah dilakukan kompres panas secara berturut- turut adalah 1,27 dengan nilai terendah 1 dan tertinggi 2.

Sumber pemanis alami (inulin) tersebut dapat berasal dari umbi dahlia (Dahlia variabilis Willd) dengan bantuan khamir (yeast) inulinolitik.. Inulin

yang dihadapi oleh kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi akademik untuk meningkatkan kompetensi profesional guru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif