• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGUNAKAN RAHIM IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)

3.3. Ijtihad Mengenai Penitipan Janin

Masalah penitipan janin yang merupakan perkembangan dari penemuan teknologi reproduksi bayi tabung, tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadits secara detail. Ajaran-ajaran dalam al-Quran tidak bersifat rinci, melainkan bersifat prinsipil dan fundamental, sedangkan masalah penitipan janin bersifat implementatif dari prinsi-prinsip yang terdapat dalam ajaran al-Quran, oleh sebab itu menjadi objek ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai suatu putusan syarak (Hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW142.

Hasil ijtihad para pakar Hukum Islam mengenai perbuatan penitipan janin, pada intinya terbagi dua macam, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa penitipan janin adalah haram atau dilarang, dan pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan penitipan janin adalah halal atau dibolehkan. Berikut ini akan diuraikan ijtihad para pakar sebagai berikut:

3.3.1 Penitipan Janin adalah Haram

Menurut Husein Yusuf, perbuatan penitipan janin pada ibu pengganti tidak dapat dibenarkan karena perbuatan tersebut berakibat sama dengan perbuatan zina yang sangat dilarang oleh Hukum Islam.143 Dalam mengemukakan pendapatnya ini, Husein Yusuf menggunakan hadits Nabi : “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan (sperma) ke

142

Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 2, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 669.

143

Husein Yusuf, “Bayi Tabung Ditinjau dari Syariat Islam”, (Makalah disampaikan pada Seminar Bayi Tabung dan Permasalahannya, FK UGM, 20 Maret 1990), dikutip oleh Mohammad Daruddin, Reproduksi Bayi Tabung Ditinjau dari Hukum Kedokteran, Hukum Perdata, Hukum

dalam ladang (rahim) orang lain.”144 Husein Yusuf mengatakan bahwa tindakan mengimplantasikan embrio ke dalam rahim wanita lain telah merusak hukum perkawinan, khususnya dalam hal sahnya anak.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Abdul Qadim Zallum. Menurut Abdul Qadim Zallum, bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother) hukumnya adalah haram. Proses tersebut tidak dibenarkan oleh hukum Islam sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab yang telah ditentukan dalam ajaran Islam. Proses penitipan janin mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir145, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

Konsekuensi dari pendapat ini adalah jika terjadi kasus bayi tabung yang melibatkan rahim wanita lain, maka anak yang lahir bukan anak sah dari pasangan suami isteri penghamil dan bukan pula anak sah dari pasangan suami isteri pemilik embrio. Oleh karena itu, ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu penghamil (ibu pengganti) maupun dengan pasangan suami isteri pemilik embrio (penyewa rahim).146

Menurut Sajuti Thalib, Hukum Islam tidak membenarkan implantasi embrio milik pasangan suami isteri ke dalam rahim wanita lain yang bukan isterinya, termasuk didalamnya diimplantasikan ke dalam rahim isteri kedua, ketiga, keempat.147 Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh ketua Majelis Fatwa Mathla’ul Anwar, H. Abdul Wahid Sahari. Beliau berpendapat bahwa

144

Ibid.

145

Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud (hukuman yang bentuk dan jumlahnya telah ditentukan oleh syarak) dan kaffarah (denda), baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi. (lihat Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi

Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 5, hal. 1771)

146

Darrudin, Op. cit., hal. 114.

147

perbuatan mengimplantasikan embrio ke dalam rahim wanita lain yang bukan isterinya, apapun alasannya adalah haram, karena perbuatan tersebut dapat disamakan dengan perbuatan zina dan sangat dilarang oleh Hukum Islam. Termasuk didalamnya mengimplantasikan embrio ke dalam rahim isteri kedua, ketiga, keempat. Sebagai akibat hukum dari perbuatan tersebut, status hukum anak yang lahir dari perbuatan tersebut adalah anak tidak sah dan nasab atau hubungan perdatanya hanya dengan ibu yang melahirkan dan keluarga si ibu tersebut.148 Lebih lanjut, beliau berpendapat bahwa perbuatan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya hubungan antar keluarga, hubungan kemanusian, dan hubungan antara ibu dan anak.

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa perbuatan penitipan janin adalah terlarang menurut syara’ dan fikih.149 Walaupun tidak terdapat percampuran nasab (sel telur dibuahi dengan sperma suaminya sendiri), namun perbuatan ini merusak makna keibuan karena yang namanya ibu adalah yang melahirkan. Yusuf Qardhawi melandaskan alasannya tersebut pada ayat Quran surah al-Mujaadilah ayat 2 yang menentukan: “…tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka….” Menurut Yusuf Qardhawi, hakikat keibuan terletak pada kerelaan seorang ibu untuk bersusah payah, berletih lelah sejak mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat untuk anaknya sebagai perwujudan dari kasih sayang ibu.

Menurut para ulama mazhab Imamiyah (syiah), perbuatan inseminasi buatan adalah haram dan tidak patut dilakukan oleh seorang muslim.150

3.3.2 Penitipan Janin adalah Halal

Menurut Ali Akbar, penitipan janin pada ibu pengganti dibolehkan apabila terjadi kelebihan embrio hasil pembuahan dalam tabung dan ibunya tidak

148

Berdasarkan wawancara pribadi penulis dengan H. Abdul Wahid Sahari pada tanggal 17 Maret 2008.

149

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jil. 1, cet. V, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 718.

150

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I,

dapat menghamilkannya karena rahim ibunya mengalami gangguan. Pendapat Ali Akbar ini dikutip oleh Mohammad Daruddin sebagai berikut:

… bahwa kelebihan embrio hasil pembuahan secara in vitro itu diperbolehkan untuk diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bukan isterinya, karena rahim ibunya mengalami gangguan sehingga tidak dapat menghamilkannya, dengan alasan tindakan ini termasuk tindakan darurat.151

Tindakan darurat yang dimaksud menurut pendapat Ali Akbar adalah untuk menyelamatkan sisa embrio yang tidak mungkin ditanamkan pada rahim ibunya, karena secara normal rahim ibu hanya dapat mengandung satu atau dua embrio saja.152 Lebih lanjut, Ali Akbar berpendapat bahwa fungsi rahim disini hanya sebagai tempat untuk membesarkan dan memberi makan embrio. Dengan alasan ini, Ali Akbar mengqiyaskan fungsi embrio tersebut sama dengan seorang bayi menyusu pada ibu susuan. Menyusukan anak kepada wanita lain dibenarkan oleh Hukum Islam sekalipun diupahkan dengan membayar kepada wanita itu secara ma’ruf sebagaimana firman Allah di dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 228.

Pendapat Ali Akbar dikutip oleh Mohammad Daruddin sebagai berikut:

“Untuk memperkuat pendapatnya itu dokter Ali Akbar mengemukakan alasan dengan mengqiyaskan sistem embrio mendapat energi dari ibu penghamil sama dengan seorang bayi menyusui pada ibu susuan, karena fungsi rahim tempat membesarkan embrio itu hanya memberi makan yaitu sumber energi yang terdiri dari ikatan kimia asam amino sebagai protein, glucosa sebagai zat arang (karbohidrat) dan asam

151

Ali akbar, Etika Kodekteran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1988), dikutip oleh dikutip oleh Mohammad Daruddin, Reproduksi Bayi Tabung Ditinjau dari Hukum

Kedokteran, Hukum Perdata, Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), hal. 114.

152

lemak sebagai lemak, disamping O2 yang diserap melalui uterus (rahim).”153

Konsekuensi dari ijtihad Ali Akbar tersebut adalah status hukum anak yang lahir, secara biologis genetika mempunyai kedudukan sebagai anak sah pasangan suami isteri yang mempunyai benih, karena itu di antara mereka mempunyai hubungan nasab, hubungan waris mewaris dan bagi anak perempuan mempunyai hak perwalian dari orang tuanya dalam akad nikah nanti. Anak tersebut juga mempunyai kedudukan sebagai anak susuan bagi wanita yang mengandung dan melahirkannya.154

Mohammad Daruddin lebih condong dengan pendapat yang membolehkan penitipan janin ini, dengan maksud untuk menyelamatkan kelebihan embrio yang tidak dimungkinkan diimplantasikan ke dalam rahim ibunya dari tindakan pemusnahan.155 Mohammad Darrudin juga mengungkapkan bahwa mengharamkan surrogate mother dengan alasan bahwa perbuatan tersebut sama dengan zina adalah tidak tepat, karena embrio yang diimplantasikan pada rahim ibu pengganti itu pada hakekatnya bukanlah sperma. Embrio tersebut adalah merupakan suatu organisme baru, yang akan tumbuh menjadi janin. Hal tersebut diungkapkan oleh Mohammad Darrudin sebagai berikut:

“Untuk mengharamkan surrogate mother itu tidak tepat, karena embrio yang akan diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain itu pada hakekatnya bukan sperma sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits yang dijadikan landasan mengharamkan surrogate mother tersebut di muka, tetapi embrio itu sudah merupakan suatu organisme baru hasil penyatuan antara sel sperma dan sel telur, bila embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim dapat tumbuh menjadi janin, sedang sperma bila ditanamkan ke dalam rahim tidak akan tumbuh menjadi janin apabila sel sperma itu belum membuahi sel telur di dalam tuba fallopi. Dan embrio itu mempunyai kemampuan untuk membelah diri 153 Ibid. hal. 114-116. 154 Ibid., hal. 116. 155 Ibid., hal. 116-117.

dari satu sel menjadi dua sel, dua sel menjadi empat sel dan seterusnya secara diferensial, sedang sel sperma tidak mempunyai kemampuan untuk membelah diri seperti itu.”156

3.3.3 Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Terhadap permasalahan perbuatan transfer embrio atau penitipan janin pada ibu pengganti, MUI telah mengeluarkan suatu keputusan berdasarkan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia se-Indonesia ke-II pada tanggal 26 Mei 2006, di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesia ke-II Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, salah satu keputusannya, membahas mengenai ketentuan hukum transfer embrio ke rahim titipan. Keputusan tersebut menetapkan bahwa:

1. Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri yang ditempatkan pada rahim wanita lain hukumnya tidak boleh (haram); 2. Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri

yang ditempatkan pada rahim isteri yang lain hukumnya tidak boleh (haram); 3. Transfer embrio hasil inseminasi buatan antara sperma suami dan ovum isteri

yang ditempatkan pada rahim wanita lain yang disebabkan suami dan/atau isteri tidak menghendaki kehamilan hukumnya haram;

4. Status anak yang dilahirkan dari hasil yang diharamkan pada point 1, 2, dan 3 di atas adalah anak laqith157.

Dokumen terkait