1
PERANCANGAN DAN SIMULASI SISTEM ANTENA GPR YANG ADAPTIF
TERHADAP FOOTPRINT DENGAN METODE FDTD
Swardiman Esron W Nainggolan (13204214/ Teknik Telekomunikasi) Program Studi Teknik Elektro
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung
Abstrak - Footprint antena merupakan salah satu
parameter yang penting untuk mendapatkan hasil deteksi yang baik dalam survei (GPR). Pada aplikasi
GPR, pencitraan radar menjadi lebih baik ketika bentuk dan ukuran footprint sebanding dengan target.
Dengan pertimbangan tersebut, ini kami mengusulkan suatu sistem antena GPR yang adaptif
terhadap footprint. Sistem antena yang diusulkan berjumlah 9 buah (konfigurasi 3 x 3) antena
rolled-dipole dengan pembebanan resistif. Pemilihan
elemen antena yang aktif akan menentukan footprint yang dihasilkan. Dari hasil simulasi didapatkan bahwa susunan antena akan adaptif ketika jarak antar
feedpoint antena pada arah vertikal maupun
horizontal berjarak setengah dari panjang gelombang (λ/2).
Kata kunci : antena GPR, footprint, FDTD, antena adaptif.
I. Pendahuluan
GPR merupakan device yang berguna untuk proses pendeteksian objek yang terkubur di bawah permukaan tanah hingga kedalaman tertentu tanpa perlu dilakukan penggalian tanah. Dengan GPR, berbagai kegiatan atau penelitian untuk mengetahui informasi tentang keadaan di bawah permukaan tanah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
Dalam sistem GPR antena memainkan peran yang sangat penting, karena performansi umum dari GPR yang menggunakan impuls radar sangat ditentukan oleh kemampuan antena untuk meradiasikan impuls ke tanah dengan tingkat loss dan distorsi yang seminimal mungkin. Ini berarti bahwa impuls antena GPR harus mampu meminimalkan late-time ringing. Pembebanan resistif digunakan untuk mengatasi refleksi internal tersebut [1].
Footprint didefinisikan sebagai daerah (bidang)
horizontal yang discan antena GPR pada kedalaman tertentu. Untuk mendapatkan hasil penggambaran yang optimal, bentuk dan ukuran footprint harus sebanding dengan target. Jika footprint terlalu besar dibandingkan dengan objek, maka ground clutter
juga ikut meningkat. Ground clutter merupakan benda-benda di luar objek pada daerah yang discan antena GPR, yang ikut memantulkan sinyal dari transmitter sehingga dapat mengaburkan penggambaran dari objek. Sebaliknya jika footprint terlalu kecil dibandingkan objek, maka objek akan sulit untuk dideteksi. Umumnya suatu antena memiliki footprint tertentu. Dengan kata lain satu antena akan optimal untuk mendeteksi objek dengan bentuk dan ukuran tertentu saja. Pada kenyataannya, bentuk dan ukuran objek tidak selalu sama. Untuk itu pada aplikasi GPR diperlukan sistem antena yang
footprint nya dapat diubah-ubah (adaptif).
Untuk menganalisa footprint dan kinerja antena, digunakan pemodelan numerik dengan metode
finite-difference time-domain (FDTD) dengan
menggunakan software FDTD3D. Pemilihan metode ini dengan pertimbangan bahwa untuk melihat
footprint antena perlu diukur nilai puncak-ke-puncak
dari bentuk gelombang yang ditransmisikan dalam domain waktu sehingga hasil simulasi yang di dapat langsung dapat di proses untuk melihat footprintnya tanpa perlu dilakukannya transformasi. Keuntungan lain penggunaan FDTD diantaranya : FDTD bekerja efektif pada sistem yang menggunakan pulsa monocycle sebagai sumber eksitasi, kemudian FDTD memungkinkan pengguna untuk mendefinisikan sifat material pada semua titik di dalam domain simulasi, sehingga antena yang di desain lebih nyata atau realistis [2].
II. Desain Sistem Antena
Antena GPR yang diusulkan yaitu antena
rolled-dipole dengan pembebanan resistif. Penggunaan
dipole tak lain adalah karena dipole merupakan merupakan antena yang sering digunakan untuk aplikasi GPR terutama karena kesederhanaannya [3]. Permasalahan utama antena dipole untuk aplikasi ini adalah sifat dasarnya yang narowband, padahal untuk aplikasi GPR dibutuhkan antena dengan karakteristik ultra wideband. Untuk mengatasi hal ini pada lengan antena dilakukan pembebanan resistif (sebut saja lengan ini lengan beban) dengan profil Wu-King untuk mengurangi late-Time ringing akibat multiple
2
reflection antara ujung antena dan feedpoint. Untuk
mengurangi dimensi panjang dari antena, maka lengan beban di gulung melingkar (rolled) ke bagian atas lengan yang tidak dilakukan pembebanan resistif hingga membentuk seperti spiral seperti yang terlihat pada gambar 3.1 [4]. Garis putus-putus menggambarkan lengan beban, sedangkan celah yang memisahkan garis merupakan tempat pembebanan resistif dengan menyisipkan elemen lumped resistor sesuai dengan profil Wu-King. Dengan menggulung antena, dimensi panjang antena dapat berkurang dengan faktor pengurangan sekitar 4. Sehingga dari sisi ruang, jelas antena yang dirancang menjadi lebih efisien. Dari [5] diketahui bahwa jarak antara
feedpoint dengan resistor pertama dipilih sejauh
/(
c r)
c
f
ε
dimanac
merupakan kecepatancahaya,
f
c merupakan frekuensi tengah pulsa, danr
ε
merupakan permitivitas relatif substrat, agar radiasi dari resistor pertama saling menguatkan dengan radiasi dari feedpoint pada arah broadside antena.
Gambar 3.1 Geometri antena rolled-dipole
Selanjutnya dibuat 9 buah antena yang identik dengan susunan dan penomoran seperti pada gambar 3.2. Ide dasar dari penelitian ini ialah konfigurasi pengaktifan elemen antena yang berbeda akan menghasilkan footprint yang berbeda. Yang diinginkan ialah semakin banyak elemen antena yang aktif, semakin besar juga footprint yang dihasilkan kemudian footprint juga menyatu (tidak pecah). Namun perlu diteliti jarak antar feedpoint antena pada arah vertikal maupun horizontal agar sistem antena yang dirancang benar-benar adaptif terhadap
footprint.
Y
X Z (Z positif mendekati pembaca)
1 2 3
4 5 6
7 8 9
Jarak antar feed point horizontal (x)
Jarak antar feed point vertikal (z)
Gambar 3.2 Susunan antena yang diusulkan
III. Hasil Simulasi
• Footprint untuk beberapa konfigurasi pencatuan antena dengan jarak antar feedpoint horizontal (x) = 45 cm , dan jarak antar feedpoint vertikal (z) = 40cm.
Gambar 3.3 Footprint (dalam dB) ketika antena
nomor 2,5,8 dicatu
Gambar 3.4 Footprint (dalam dB) ketika semua antena dicatu
3
• Footprint untuk beberapa konfigurasi pencatuanantena dengan jarak antar feedpoint horizontal (x) = 45cm , dan jarak antar feedpoint vertikal (z) = 15cm.
Gambar 3.5 Footprint (dalam dB) ketika hanya
antena nomor 5 yang dicatu.
Gambar 3.6 Footprint (dalam dB) ketika hanya
antena nomor 2,5,8 yang dicatu.
Gambar 3.7 Footprint (dalam dB) ketika seluruh
antena dicatu.
• Footprint untuk beberapa konfigurasi pencatuan antena dengan jarak antar feedpoint horizontal (x) = 25cm , dan jarak antar feedpoint vertikal (z) = 25cm.
Gambar 3.8 Footprint (dalam dB) ketika hanya
antena nomor 5 yang dicatu.
Gambar 3.9 Footprint (dalam dB) ketika hanya
antena nomor 2,5,8 yang dicatu.
Gambar 3.10 Footprint (dalam dB) ketika hanya
4
Gambar 3.11 Footprint (dalam dB) ketika seluruh
antena dicatu.
IV. Analisis
Susunan pertama dengan jarak antar feedpoint vertikal 40 cm dan jarak antar feedpoint horizontal 45 cm. Dari gambar 3.3 dapat dilihat bahwa footprint yang dihasilkan akan pecah (tidak menyatu). Hal ini disebabkan karena jarak antar feedpoint vertikal yang terlalu jauh sehingga ketiga antena tersebut (antena 2,5,8 pada gambar 3.11a ) membentuk footprintnya masing-masing. Tentu saja hal ini tidak diingingkan dalam aplikasi GPR, karena dapat menimbulkan kesalahan dalam interpretasi target. Demikian juga ketika semua elemen antena aktif, footprint untuk konfigurasi tersebut (gambar 3.4) juga pecah (tidak menyatu). Hal ini juga disebabkan karena jarak antar
feedpoint vertikal dan jarak antar feedpoint horizontal
yang terlalu jauh sehingga setiap elemen antena yang aktif membentuk footprintnya masing - masing. Dengan demikian susunan tersebut tidak efektif karena footprintnya yang pecah (tidak menyatu), sehingga perlu dicari susunan lain yang footprint nya memenuhi dua syarat yaitu footprint tidak pecah dan adaptif (dengan kata lain semakin banyak elemen antena yang diaktifkan makin besar juga footprint). Dari susunan pertama dapat disimpulkan bahwa jarak antar feedpoint nya terlalu jauh (antar feedpoint vertikal maupun antar feedpoint horizontal) untuk itu untuk susunan berikutnya jarak antar feedpoint vertikal diperkecil menjadi 15 cm, sedangkan jarak antar feedpoint horizontal dibuat tetap 45 cm. Dari gambar 3.5 dan 3.6 dapat dilihat bahwa susunan antena tersebut telah memenuhi syarat pertama yaitu
footprint tidak pecah (telah menyatu) tetapi susunan
antena masih belum memenuhi syarat kedua yaitu adaptif. Hal ini dapat dijelaskan dari gambar 3.14 dan 3.15, dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa
semakin banyak elemen antena yang aktif, footprint yang dibentuk akan semakin kecil. Tentunya hal ini tidak diinginkan. Footprint ketika seluruh elemen antena diaktifkan ditunjukkan oleh gambar 3.7. Dari gambar tersebut jelas dilihat bahwa footprint untuk susunan antena tersebut masih pecah. Sama seperti susunan yang pertama, hal tersebut dikarenakan jarak antar feedpoint horizontal yang terlalu jauh sehingga ketiga antena dalam satu kolom yang sama membuat
footprintnya masing-masing, tentunya footprint yang
seperti ini tidak diinginkan. Perbedaannya dengan susunan yang pertama yaitu pada susunan ini antena pada kolom yang sama footprintnya telah menyatu (berbeda dengan susunanan pertama dimana footprint pada kolom yang sama masih belum menyatu) walaupun sifat adaptif masih belum tercapai, untuk itu perlu dicari lagi susunan lain yang memenuhi kedua syarat di atas.
Dari hasil simulasi kedua susunan diatas dapat dianalisis sebagai berikut : dari susunan pertama dapat disimpulkan bahwa jarak antar feedpoint harus lebih kecil dari 40 cm untuk mendapatkan bentuk
footprint yang tidak pecah, kemudian dari susunan
kedua dapat disimpulkan bahwa jarak antar feedpoint harus lebih besar dari 15 cm agar susunan antena yang dirancang adaptif terhadap footprint atau dengan kata lain semakin banyak elemen antena yang aktif semakin besar juga footprint yang dibentuk. Untuk itu kami mencoba jarak antar feedpoint horizontal maupun vertikal antena sejauh 25 cm. Hasil simulasi untuk beberapa konfigurasi pencatuan ditunjukkan mulai dari gambar 3.8 hingga gambar 3.11. Dari gambar 3.8 dan gambar 3.9 dapat dilihat 2 hal penting : pertama, semakin banyak elemen antena yang aktif footprint yang dibentuk kemudian akan semakin besar, kemudian kedua footprint tidak pecah (sudah menyatu). Dari kedua konfigurasi pencatuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan jarak antar
feedpoint vertikal sejauh 25 cm, persyaratan untuk
merancang susunan antena yang adaptif terhadap
footprint telah dipenuhi. Kedua konfigurasi tersebut
hanya untuk mengecek jarak antar feedpoint vertikal antena, selanjutnya perlu diketahui juga jarak antar
feedpoint horizontal antena dengan mengaktifkan
elemen yang bersebelahan. Dari gambar 3.10 dapat dilihat bahwa footprint yang dibentuk tidak pecah dan ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan
footprint ketika elemen antena nomor 5 saja yang
diaktifkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan jarak antar feedpoint horizontal sejauh 25 cm, persyaratan untuk merancang susunan antena yang adaptif terhadap footprint telah dipenuhi. Untuk memastikan dapat dilihat pada gambar 3.11. Pada gambar tersebut jelas terlihat bahwa tidak ada
5
semakin besar seiring dengan semakin banyaknya elemen antena yang aktif. Dengan demikian susunan antena yang dirancang telah berhasil diadaptasi terhadap footprint, karena dengan semakinbanyaknya elemen antena yang aktif semakin besar juga ukuran dari footprintnya dan footprint yang dibentuk juga tidak ada yang pecah.
Untuk lebih melihat keadaptifan sistem antena yang dirancang dapat dilihat pada tabel 3.1 yang menunjukkan panjang maksimum footprint pada bidang yang terletak 15 cm dibawah susunan antena pada arah x dan y.
Tabel 3.1 Ukuran footprint pada arah x dan y (dalam
cm) untuk beberapa konfigurasi pencatuan dengan jarak antar feedpoint vertikal dan feedpoint
horizontal=25 cm. Elemen 3 aktif Elemen 2, 5, 8 aktif Elemen 4, 5, 6 aktif Seluruh elemen aktif Level
(dB) X Y X Y x Y x y
‐3 10 42 12 60 54 56 68 46
‐6 22 62 30 95 62 75 76 100
‐10 37 82 45 116 84 96 96 132
V. Kesimpulan dan Rekomendasi.
Dari keseluruhan simulasi di atas diketahui bahwa skenario susunan antena yang adaptif terhadap
footprint akan berhasil ketika jarak antar feedpoint
horizontal maupun antar feedpoint vertikal antena sejauh 25 cm atau setengah dari panjang gelombang (λ/2). Kinerja susunan antena yang diusulkan juga telah memenuhi standar untuk dilakukan pendeteksian. Dari simulasi diketahui bahwa level ringing untuk setiap konfigurasi pada titik pengamatan yang diletakkan 15 cm pada arah broadside antena lebih kecil dari -40 dB (1%). Maka pembebanan resistif dengan profil Wu-King yang diaplikasikan di sepanjang lengan beban berhasil dalam menekan ringing. Level kopling antar antena yang berdekatan juga telah di bawah -40 dB (data bentuk gelombang untuk melihat level ringing dan level kopling tidak ditampilkan pada ringkasan ini karena hal tersebut bukanlah fokus dari penelitian ini).
Rekomendasi yang kami sampaikan yang sekiranya dapat membantu dalam pengembangan lanjutan susunan antena GPR yang adaptif terhadap footprint supaya menjadi lebih baik ke depannya diantaranya: Perlu dicari lagi penyusunan antena yang paling optimum dengan aplikasi yang diinginkan sebelum
meralisasikannya. Dalam artian dengan pemilihan elemen antena yang aktif, dapat diatur ukuran dan bentuk footprint sesai dengan aplikasi yang dibutuhkan.
Geometri dan profil pembebanan resistif yang optimum perlu diselidiki lebih lanjut untuk meningkatkan performansi dari antena GPR yang diusulkan, kemudian untuk pendefinisian geometri antena yang terlalu banyak, penggunaan software FDTD3D kurang efisien diantaranya : waktu simulasinya yang akan semakin lama, spesifikasi komputer yang dibutuhkan harus lebih canggih, dan pendefinisian geometri antena pada file input yang akan semakin rumit.
Referensi
[1].
A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L. P. Ligthart,Adaptive Antenna for Ground Penetrating Radar , Delft University of Technology, The
Netherlands.
[2].
D.J.Daniels, Ground Penetrating Radar 2ndedition, The Institution of Electrical
Engineers, London, United Kingdom.
[3].
TP.Montoya, G.S.Smith,”A study of pulseradiation from several broad-band loaded monopoles”,IEE Trans. Antennas Propagat., vol.44,no.8, pp.1172-1182, Aug.1996-a.
[4].
A.A.Lestari,D.Yulian,A.B.Sukmono,E.Bharata, A.G.Yarovoy, and L.P.Ligthart,
Rolled Dipole Antenna for Low-resolution GPR, Progress In Electromagnetics Research Symposium 2007, Beijing, China.
[5].
A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L.P. Ligthart, “RC loaded bow-tie antenna for improvedpulse radiation,” IEEE Trans. An-tennas Propagat., vol. 52, no. 10, pp. 2555-2563,