• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT JEPANG. Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT JEPANG. Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT JEPANG

Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan kumpulan kelompok yang memiliki budaya, dan kebudayaan. Budaya dan kebudayaaan akan berbeda menurut faham yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Masyarakat Jepang merupakan salah satu masyarakat yang memiliki kebudayaan yang unik diantara masyarakat di dunia saat ini. Berikut akan dipaparkan tentang masyarakat Jepang secara umum.

2.1 KELUARGA JEPANG

Keluarga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah 2 orang seisi rumah yg menjadi tanggungan; batih 3 kaum; sanak saudara; kaum kerabat 4 satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.

Dewasa ini setiap keluarga Jepang memiliki nama keluarga masing-masing. Namun dahulu kala nama keluarga sebernarnya tidak pernah ada di Jepang. Mulai tanggal 13 februari 1875 pemerintahan Meiji melakukan program westernisasi. Dari program ini semua warga diwajibkan mendaftar dengan menggunakan sebuah nama keluarga. Program ini diberlakukan secara umum, terlepas dari status sosial, resmi atau tidak resmi, sah atau tidak, setiap penduduk wajib memiliki nama keluarga masing-masing. Dibandingkan dengan negara asia

(2)

lainnya sekarang Jepang adalah negara yang sangat kaya dengan nama keluarga. Berdasarkan dari data statistik saat ini Jepang memiliki lebih dari 100.000 buah nama keluarga. Ada lima nama keluarga Jepang yang paling umum yaitu: Sato, Suzuki, Takahashi, Tanaka dan Watanabe.

Untuk nama keluarga Sato kanji “sa” adalah pembacaan alternatif “suke” yang berarti gelar birokrasi, sementara kanji “to” adalah wisteria “fuji” yang menunjukkan klen bersejarah Fujiwara yaitu kekuatan dibalik tahta seluruh periode Heian (784-1185). Dewasa ini terdapat dua juta warga dengan nama keluarga Sato. Nama ini paling banyak ditemukan di timur Jepang dengan tiga pengucualian Hiroshima, Takushima dan Oita prefektur.

Untuk nama keluarga Suzuki saat ini terdapat 1,8 juta warga yang memiliki nama keluarga Suzuki yang tersebar diseluruh Jepang.

Nama keluarga Takahashi artinya adalah “jembatan tinggi”. Walau sekarang jembatan jenis ini sudah sangat langka, tapi di zaman kuno sangat penting dan bersejarah. Nama keluarga Takahashi terdapat hampir diseluruh wilayah Jepang mulai dari utara sampai ke selatan.

Sedangkan untuk keluarga Tanaka yang berarti “di tengah-tengah sawah” sejarah nama ini adalah sebuah keluarga yang memiliki sawah yang sangat luas dengan sebuah rumah yang terdapat di tengah sawah, yang secara alami ingin menunjukkan kemakmuran.

Dan nama keluarga Watanabe awalnya adalah nama tempat yang berada di Osaka yang dihuni oleh keterunan kaisar saga abad ke-8. Saat ini terdapat 1,4 juta

(3)

warga yang memiliki nama keluarga Watanabe dari seluruh Jepang. (http://asgar.or.id/info-jepang/nama-keluarga-yang-paling-umum-di-jepang/)

2.1.1 Kazoku

Manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah kelompok yang disebut dengan istilah keluarga. Keluarga adalah lembaga sosial yang berkembang dalam masyarakat. (J. Goode dalam Hasibuan 2001: 5)

Menurut Marioka Kiyomi dalam Hasibuan (2001: 2) kazoku dapat diartikan kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak adik dan orang tua anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian, kazoku atau keluarga adalah kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak dengan hubungan suami istri sebagai dasar pembentukannya. Akan tetapi tidak berarti bila suatu kelompok yang hanya terdiri dari ayah dan anak atau ibu dan anak tidak dapat disebut kazoku.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan kazoku dinilai kurang lengkap, antara lain adalah faktor muitoteki betsuri, yaitu perpisahan yang disebabkan kematian dan itoteki betsuri yaitu perpisahan disebabkan perceraian yang direncanakan.

Disamping faktor tersebut terdapat pula faktor bekkyo yaitu perpisahan dalam arti pisah tempat tinggal. Antara suami dan istri, dan iki yaitu pergi meninggalkan rumah. Perceraian (rikon) dan bekkyo biasanya terjadi karena

(4)

adanya ketidak cocokan antara suami dan istri, sedangkan iki terjadi karena kemiskinan atau kekurangan biaya hidup, tapi bisa juga karena pekerjaan yang mengharuskan seseorang meninggalkan rumah dan pindah ke kota lain. Hubungan antar individu dalam kazoku didasarkan kasih sayang sebagai kerabat dekat dan kebersamaan dalam kehidupan menimbulkan rasa kesatuan untuk mempertahankan kazokunya. (Hasibuan 2001: 6)

Dengan adanya keutuhan kazoku, diharapkan tujuan untuk mencapai kesejahteraan dapat terlaksana. Untuk itu kazoku berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya proses sosialisasi anak, alat untuk menstabilkan moril dan materi anggotanya, serta pemenuhan kebutuhan seksual (Morioka dalam Hasibuan 2001: 6)

Hasibuan (2001 : 7-9) menyebutkan kazoku adalah kelompok sosial yang ada dalam setiap masyarakat memiliki bentuk yang beragam. Pembagian bentuk kazoku ditentukan oleh beberapa faktor, pertama yaitu faktor hubungan antar individu dalam kazoku, faktor kedua ialah ada tidaknya wewenang dalam kazoku. Sedangkan faktor ketiga ditentukan oleh besar kecilnya kelompok dalam komunitas. Pembagian bentuk kazoku ini tidak mudah, karena perbedaan batasan, ruang lingkup dan istilah yang digunakan untuk menyebutkannya berbeda disetiap masyarakat. Kazoku terbagi atas:

a. Daikazoku

Daikazoku atau keluarga besar adalah kazoku yang anggotanya tidak hanya terdiri dari suami dan istri serta anak-anak saja. Tetapi juga terdiri dari orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti orang tua dan

(5)

bokeisha yaitu saudara kandung sampai dengan kemanakan, sehingga bentuk kazoku ini dapat disebut juga dengan istilah bokei kazoku. Bentuk kazoku seperti ini banyak terdapat di daerah pertanian., karena untuk mengolah lahan pertanian dibutuhkan tenaga kerja yang cukup, oleh karena itu jumlah anggota keluarga tetap dipertahankan. Disamping itu apabila seorang anggota dari kazoku meninggalkan kelompoknya maka ia berhak menerima pembagian harta kekayaan kazoku yang berupa lahan pertanian.

b. Shokazoku

Shokazoku yaitu keluarga kecil anggotanya terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Kazoku seperti ini terbentuk dengan terjadinya perkawinan. Pasangan suami istri baru akan menjadi unit kazoku yang berdiri sendiri terpisah dari orang tuanya. Proses ini akan berlangsung dari generasi ke generasi. Dewasa ini bentuk kazoku seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat manapun, terutama di negara-negara maju. Industrialisasi telah menyebabkan sebagian dari masyarakat menjadi orang upahan yang menjalankan industri. Mereka tidak lagi berperan sebagai produsen bahan kehidupan seperti halnya masyarakat tani, melainkan berkembang mengarah pada pembentukan kazoku kecil. Kecenderungan ini menyebabkan sulitnya mempertahankan daikazoku atau keluarga besar .

(6)

Jenis- jenis kazoku adalah:

a. Keluarga batih (nuclear family)

b. Keluarga poligami (polygamous family) c. Keluarga luas (extended family)

2.1.2 Ie

Corak struktur masyarakat Jepang terkandung dalam konsep Ie, yaitu suatu satuan keluarga yang luas yang juga bercorak korporasi karena kegiatan utamanya bisnis. Dalam Ie ayah merupakan kacho (kepala rumah tangga) yang memegang kekuasaaan, chonan (anak laki-laki pertama) merupakan pewaris utama dan penerus Ie (Nakane dalam Lawanda 2004: 2). Sedangkan saudara-saudara sekandung harus keluar dari Ie nya dan menjadi yosonamono (orang luar). Keberadaan Ie disakralkan melalui serangkaian matsuri karena keberadaan Ie merupakan kepanjangan dari kehidupan abadi leluhur dunia gaib dari Ie. Adapun hubungan antara leluhur dengan Ie diantarai oleh matsuri. Dengan demikian, sebuah Ie disamping dapat dilihat sebagai sebuah satuan korporasi bisnis dapat juga dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan sakral karena adanya leluhur dalam kehidupan Ie yang diaktifkan melalui serangkaian matsuri.

Menurut Ito dalam Situmorang (2006: 25) Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat akar pada masyarakat Jepang. Oleh karena itu Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang, dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri.

(7)

Ie adalah keluarga luas, di dalamnya ada satu atau lebih pasangan perkawinan. Sebagai kepala keluarga Ie dilanjutkan dari generasi orang tua kepada generasi anak. Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara keluarga Ie dengan keluarga Kazoku adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut (Situmorang 2006: 23)

Ie sebagai satuan keluarga luas Jepang bukan hanya sekedar sistem kekerabatan pada hubungan darah saja melainkan juga sebagai sebuah korporasi yang memiliki fungsi ekonomi, fungsi politik, fungsi budaya dan fungsi sosial. selain itu menurut Kaga Noboru dalam Oktolanda (2005: 29) mengatakan fungsi Ie adalah untuk melestarikan silsilah, peralatan atau harta Ie, dan kuburan. Keluarga Ie juga merupakan mekanisme kontrol dan pedoman hidup orang Jepang yang kebenaran dan kesakralannya diyakini berasal dari leluhur untuk memberi rahmat dan kesejahteraan hidup. Penggolongan yang terdapat dalam Ie, konsep-konsep dan teori di dalamnya, menekankan kehidupan yang berjenjang dan menekankan pentingnya kesesuaian dalam hubungan-hubungan berdasarkan hubungan timbal balik diantara manusia, dan manusia dengan gaib, kekuatan gaib dengan dunia gaib beserta alam sekitar (Lawanda 2004: 34)

Ie sebagai suatu yang utama menjadi pedoman bagi kehidupan, ditentukan oleh dan diwariskan dari leluhur yang dianggap sakral dan memiliki sanksi gaib. Prinsip utama dalam Ie adalah oon dan hoon (kewajiban tukar-menukar) yang

(8)

berlangsung di seluruh aspek kehidupan masyarakat Jepang, baik dalam kehidupan antara sesama manusia di alam nyata maupun dengan kehidupan di dunia gaib. Prinsip timbal balik yang berarti pembayaran kembali atas segala sesuatu yang telah diterima dari pihak lain menghasilkan kegiatan balas membalas memberikan berupa barang ataupun jasa dan pujian.

Menurut Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006: 24) Ie adalah kelompok kerja sama dalam mengelola kehidupan. Ariga tidak menyetujui apabila Ie dikatakan ikatan kelompok sedarah, karena pekerja di dalam Ie pun merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darahpun dimungkinkan menjadi anggota keluarga. Sebaliknya, orang yang dilahirkan di dalam keluarga, tetapi karena berbagai penyebab dapat menjadi orang luar.

Karena Ie adalah kelompok usaha kehidupan, maka orang yang tidak mempunyai hubungan darah dapat menjadi anggota kelompok. Diantara anggota kelompok yang mempunyai hubungan darahpun dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a. Chakukei seiin merupakan anggota keluarga yang bakal menjadi generasi penerus Ie. Chakusei seiin adalah anak laki-laki tertua di dalam keluarga tersebut. Tugas chakukei seiin adalah penanggung jawab pengeluaran serta pendapatan Ie, pengurusan kamidana, penanggung jawab dalam penyembahan leluhur dan juga penyatuan seluruh anggota keluarga Ie untuk melanjutkan kehidupan Ie tersebut.

b. Boukei seiin adalah anggota keluarga yang berfungsi sebagai pekerja tetapi tidak mempunyai hak untuk penerus Ie. Anggota keluarga boukei seiin

(9)

adalah anak laki-laki kedua atau ketiga dan juga para pekerja di dalam keluarga Ie tersebut. Boukei seiin mendapat pekerjaan atas pemberian Kacho (kepala keluarga) untuk melakukan pekerjaan penyembahan leluhur, mengurus keuangan keluarga Ie dan lainnya (Ariga dalam Situmorang 2006: 27)

Terjadinya keluarga Ie adalah karena apabila orang tua dalam keluarga sudah meninggal, maka dibuatlah kuburan keluarga dan juga dibuat altar pemujaan di rumah. Dalam kepercayaan tradisional Jepang roh orang tua tersebut harus mendapat pemujaan dan persembahan-persembahan atau sesajen hingga 33 tahun menurut kepercayaan yang dipengaruhi budha dan 49 tahun menurut kepercayaaan shinto, agar roh tidak menjadi muenbotoke.

Oleh karena itu untuk menjamin tanggung jawab penyembahan roh leluhur, maka harta Ie tidak dapat dibagi-bagi. Keluarga sistem Ie merupakan keluarga yang terdiri minimal dua generasi dan kemudian akan berlanjut terus menerus. Anggota Ie adalah seluruh anak-anak yang masih hidup di dalam Ie termasuk orang-orang yang bekerja di dalam Ie. Apabila kepala keluarga (shuto) meninggal maka akan digantikan oleh kepala keluarga yang baru itu adalah anak laki-laki yang tertua, tetapi apabila keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki maka dapat juga suami anak perempuan tertua diangkat menjadi kepala keluarga (kacho) dengan cara mokuyoshi (pengangkatan menjadi marga istri). Kemudian apabila keluarga tersebut tidak memiliki keturunan, maka kepala keluarga dapat diangkat dari pekerja (hokonin). Hal inilah yang membuktikan bahwa persyaratan untuk menjadi kepala keluarga Ie tidak mengutamakan keturunan hubungan darah, tetapi adalah mengutamakan kesinambungan keluarga Ie tersebut untuk dapat

(10)

menjamin kesinambungan keluarga Ie tersebut untuk dapat menjamin kesinambungan pemujaan leluhur Ie.

Kemudian ciri khas Ie yang lainnya adalah bahwa kekuasaan kepala keluarga dilanjutkan oleh seorang anak laki-laki. Dalam Ie, kepala keluarga adalah seseorang yang memiliki hak untuk membuat keputusan karena ia yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk meneruskan nama keluarga. Chonan (anak laki-laki) mendapat hak istimewa dalam nama kepemilikan material dan menghubungkn dengan leluhur. Chonan yang mengelola Ie Honke (utama) mendistribusikan kapital simbolik dan material Ie kepada Bunke (cabang) berdasarkan hubungan obligasi (on), pengabdian, dan kesetiaan. Bunke terdiri dari Ie saudara sekandung chonan atau juga yang diangkat menjadi kacho yang tidak sedarah yang diakui obligasi dan setia terhadap Ie tersebut. Bunke menjadi pemeliharaan keseimbangan dalam distribusi kekuasaan. Kesadaran untuk menjaga dan meneruskan kehormatan, nama baik dan kepemilikan material diturunkan oleh leluhur sebagai cikal bakal dari semua kapital dari suatu Ie (Lawanda 2004: 22). Keyakinan pada leluhur sebagai sumber rahmat menjaga keberadaan Ie. Keyakinan ini membentuk satu karakter kebudayaan Jepang, yaitu sosen suhai (pemujaan leluhur). Ie merupakan tempat roh para leluhur dianalogikan seperti jinja, tempat berdiam para dewa.

Pelanjutan di dalam Ie adalah memperjelas pelanjuta hubungan leluhur dengan keturunan. Persyaratan pelanjutan di dalam Ie ada dua hal yaitu yang bersifat material dan yang bersifat spiritual. Yang bersifat spiritual adalah adanya pemujaan leluhur di dalam Ie, dan yang bersifat material adalah adanya pelanjutan harta benda (Ito dalam Situmorang 2006: 26)

(11)

Sehingga pada waktu melanjutkan Ie tidak ada pembagian warisan. Di dalam Ie ada pelanjutan garis keluarga yang bersifat monolateral, harta dan simbol-simbol Ie tidak dibagi-bagi oleh anak, tetapi penggolongannya diteruskan oleh generasi penerus. Karena dalam Ie hal yang paling penting adalah pelanjutan pemujaan leluhur Ie. Satu lagi yang penting dari keluarga Ie adalah (Ie seido) yang merupkan kesinambungan keluarga. Objek dari kesinambungan tersebut adalah hubungan darah yaitu (hubungan orang tua dan anak, hubungan abang adik) hubungan tempat tinggal (rumah dan perkarangan), hubungan ekonomi (produksi, konsumsi, usaha dan harta)

Simbol-simbol keluarga sistem Ie:

a. Nama keluarga Ie b. Tradisi keluarga Ie

c. Peraturan-peraturan keluarga Ie d. Ajaran-ajaran di dalam Ie

Simbol-simbol Ie diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, atau dari zaman dahulu hingga sekarang dan masa yang akan datang. Simbol Ie sekarang masih kelihatan pada kuburan-kuburan Jepang. Simbol Ie pada kuburan Jepang misalnya adalah Kamon (lambang Ie) dan Kamyo (nama Ie) yang ditulis pada batu nisan kuburan Jepang.

Sifat keagamaan Ie menurut Marioka Kyomi dalam Situmorang (2006: 31)

(12)

b. Adalah kelompok yang mempercayai bahwa anggota keluarga sekarang harus mengembangkan pekerjaan yang sudah dilakukan pendahulunya di dalam Ie

c. Adalah kelompok dimana anggotanya sebagian besar adalah anggota seumur hidup

d. Adalah kelompok yang menyadari suatu sisi yang penting adalah perasaan senasib

e. Keseluruhan kelompok tersebut mempunyai sifat religius.

Sistem Ie di Jepang ada berlapis-lapis, yaitu mulai dari keluarga sebagai rumah tangga, keluarga sebagai wilayah, keluarga sebagai sebuah perusahaan, dan keluarga sebagai satu negara. Marioka dalam Oktolanda (2005: 31) mengatakan karena adanya lapisan-lapisan sistem Ie ini maka untuk setiap lapisan ada tempat penyembahan. Dalam keluarga ada tempat penyembahan leluhur keluarga, di dalam sebuah desa ada tempat penyembahan untuk leluhur desa, dan untuk satu bangsa ada tempat penyembahan leluhur bangsa. Oleh karena itu dikatakan bahwa agama Jepang adalah agama penyembahan leluhur.

2.2 Reinkarnasi di Jepang

Reinkarnasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berati penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yg telah mati. Reinkarnasi berasal dari bahasa latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula", merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat

(13)

ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.

Seperti yang diketahui bahwa orang Jepang mempercayai bahwa bayi-bayi yang baru lahir merupakan reinkarnasi dari kakek atau leluhur mereka, dari itu mereka berpendapat jika bayi-bayi meninggal maka sebenarnya leluhur merekalah yang meninggal untuk kesekian kalinya, sehingga sangat berhubungan dengan taatnya mereka memberikan sesajen dan penyembahan untuk Ojizo.

Terdapat dua aliran utama yaitu pertama, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran agung (Nirvana) atau menyatu dengan Tuhan (moksha).

Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran di kehidupan sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, filsafat reinkarnasi mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam filsafat Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya.

(14)

Dalam agama Buddha dipercayai bahwa adanya suatu proses kelahiran kembali. Semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus menerus mengalami tumimbal lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesucian Arahat. Alam kelahiran ditentukan oleh karma makhluk tersebut, bila ia baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang artinya karma pada detik kematiannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya ia akan terlahir di alam yang menderitakan, sehingga segala sesuatu tergantung dari karma

masing-masing. (http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi)

2.2.1 Proses Reinkarnasi

Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke surga atau ke neraka.

Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan surga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa

(15)

bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.

2.2.2 Akhir Proses reinkarnasi

Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi)

Menurut Situmorang (2009: 45) Roh manusia pada waktu berada di dunia dan pada waktu berada di dunia kematian dipercaya mengalami proses perubahan (tsuka). Perubahan tersebut dapat dibagi dua yaitu perubahan dari masa kelahiran hingga mati dan dari kematian sampai menjadi leluhur (sorei).

Proses tersebut merupakan perubahan dari kondisi kekotoran kepada kondisi kesucian. Dalam proses pendewasaan dan dalam proses menjadi sosen dilakukan banyak acara-acara setiap melakukan tahapan. Yang termasuk kekotoran dalam pandangan Jepang adalah darah dan mayat. Oleh karena itu bayi yang baru lahir karena dianggap baru bersentuhan dengan darah ibu yang

(16)

melahirkan dianggap dalam kondisi kotor, sedangkan roh yang baru mati dianggap kotor karena baru keluar dari tubuh. Kondisi kekotoran ini mengakibatkan roh seseorang dianggap dalam keadaan labil dan berbahaya. Sehingga diperlukan upacara-upacara dan doa-doa untuk penyucian.

Menurut pandangan Jepang umumnya kekotoran dibagi dua yaitu akafuju dan shirofuju. Tetapi di Okinawa terdapat tiga yaitu akafuju berarti darah, shirofuju berarti kelahiran dan kurofuju yang berarti kematian (Ikegami dalam Situmorang 2009: 46)

Sesuatu benda yang bersentuhan dengan yang kotor (tercemar) maka akan ikut tercemar juga, sebab itu apabila ada benda-benda suci maka harus dijauhkan dari yang tercemar.

Menurut Sasaki dalam Situmorang (2009: 46) dalam kepercayaan masyarakat Jepang yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Sehingga ibu yang sedang melahirkan juga termasuk dalam kondisi tercemar karena mengeluarkan darah. Namun seiring waktu bayi yang dianggap kotor kini tumbuh dan mengenal masyarakat luas maka didakan girei atau acara selamatan, artinya ketika seseorang beralih dari suatu usia tertentu ke usia lain maka kekotorannya dianggap sudah menipis sehingga diadakan acara selamatan.

Setelah menikah masih ada lagi upacara bagi pribadi, tetapi bukan upacara pendewasaan atau untuk menenangkan roh melainkan upacara menjauhkan dari musibah, seperti upacara selamatan bagi laki-laki umur 42 tahun dan upacara selamatan bagi perempuan umur 33 tahun. Bagi laki-laki umur 42 tahun disebut dengan shini (mati) karena itu dianggap usia yang berbahaya, sedangkan wanita umur 33 tahun disebut sanzan yang berarti mati melahirkan, maka diusahakan

(17)

tidak melahirkan di umur 33 tahun. Tujuan upacara-upacara tersebut dilakukan untuk menjauhkan dari musibah.

Upacara-upacara selamatan lainnya adalah bagi mereka yang berusia 66 tahun (kankrekiiwai), 70 tahun (kokiiwai), 77 tahun (kijuuiwai), 80 tahun (sotsujuu), 88 tahun (beijuuiwai), dan 99 tahun (hakujuuiwai). Upacara tersebut ditujukan untuk mengutarakan rasa terima kasih dari anak-anak kepada orang tuanya. Di mana status orang tuanya yang sebelumnya adalah merupakan kepala keluarga yang kemudian berubah menjadi penasehat di dalam keluarga.

Upacara untuk kehamilan disebut obiiwai yang bertujuan agar bayi lahir dalam keadaan selamat. Dalam kehidupan orang Jepang dari lahir hingga mati, mengikuti beberapa acara yang memiliki tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah acara untuk proses pendewasaan dan acara kedewasaan, juga acara setelah mati yaitu acara proses menjadi sorei dan acara untuk sorei itu sendiri. Manusia dalam perpindahan dari satu tahap ketahap lainnya memiliki tempat khusus, misalnya pada waktu lahir masuk ke sanya atau rumah bersalin kemudian pada waktu menikah masuk ke konshukuya atau rumah perkawinan dan kemudian pada saat meninggal masuk ke moya atau rumah untuk orang meninggal lalu pada tahap menjadi dewa masuk ke shinshi (Tsuboi dalam Situmorang 2009: 46-48)

Manusia dari lahir hingga mati, atau dari waktu mati hingga tomurai age mengalami reinkarnasi, dan setiap reinkarnasi tersebut memiliki tempat khusus setiap tempat-tempat tersebut merupakan batas antara dunia kotor dan dunia suci, dan juga merupakan tempat meninggalkan suatu tahap dan memasuki tahap lainnya dalam hidup.

(18)

Tahapan untuk menjadi hotoke adalah acara kematian, acara ke 7 hari, acara ke 49 hari, acara 100 hari, acara isshuki (1 tahun), sankaiki (ke 3 tahun), nanakaiki (ke 7 tahun), juusankaiki (ke13 tahun), juunanakaiki (ke 17 tahun), nijuusankaiki (ke 23 tahun), dan sanjusankaiki (ke 33 tahun) (Tsuboi dalam Situmorang 2009: 49)

Setelah menjadi sonsen, tidak perlu lagi diadakan upacara khusus, karena roh tersebut sudah masuk kedalam senzodaidai (kelompok nenk moyang). Roh tersebut dianggap pergi ke gunung dan dari sanalah mereka mengawasi anak dan cucunya. Kemudian di waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, dan roh leluhur tersebut dipercaya datang berkunjung ke rumah anak cucunya.

Senzo (roh nenek moyang) adalah ubusunagami (dewa daerah). Roh dalam kondisi ini berada dalam keadaan suci dan kondisi tenang. Kemudian dalam kondisi ini dipercaya roh akan lahir kembali sebagai roh anak cucunya. Oleh sebab itu di Jepang jika anak yang baru lahir sering kali diberi nama yang sama dengan nama kakeknya. Namun terkadang masyarakat tradisional Jepang juga memilih nama untuk anak melalui orang yang terhormat seperti pendeta budha dan shinto, memilih nama dengan cara omikuji (kertas digulung) dari kuil shinto, atau dengan mencocokkan nama dengan situasi sewaktu anak dilahirkan.

2.3 Penyembahan Roh Leluhur di Jepang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyembahan berarti 1 proses, cara, perbuatan menyembah; 2 pemujaan, sedangkan roh berarti 1 sesuatu (unsur)

(19)

yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa.

Roh manusia pada saat berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia kematian dipercaya mengalami proses perubahan (tsuka). Tsoboi Yobumi mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat dibagi dua yaitu perubahan dari masa kelahiran hingga mati dan dari kematian sampai ke sorei atau leluhur. (Situmorang 2006: 44)

Pandangan roh orang Jepang dipengaruhi kepercayaan Shinto dan Buddha. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan dunia sana (dunia setelah mati). Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhurnya. Dan pada waktu meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai (generasi leluhur) (Situmorang 2009: 41)

Menurut Lawanda (2004: 23) esensi hubungan interaksi orang Jepang ada dua sistem keyakinan, yaitu berdasarkan ikatan darah sebagai ikatan komunitas yang dekat dan tanpa hubungan darah, diadopsi oleh individu atau pilihan kelompok yang bersifat kompleks, berlapis-lapis dan sinkretik. Pola keyakinan berdasarkan pada kekerabatan agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada shinto dan bercampur dengan berbagai agama, seperti konfusianisme, buddisme dan taoisme.

Pemujaan leluhur ini menurut Bellah adalah merupakan religi keluarga yang sangat umum di Jepang. Di mana setiap keluarga memiliki dua objek pemujaan yaitu altar shinto dan budha. Upacara singkat akan selalu dilakukan diwaktu pagi dan juga sore hari dengan cara menghidupkan lampu dan

(20)

mempersembahkan sejumlah makanan. Hal ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya. (Motori Norinaga dalam Bellah 1985: 110)

Pemujaan leluhur merupakan serangkaian ritual yang dilakukan dengan cara memberikan persembahan berupa barang (sesajen) atau doa sebagai wujud dari penghormatan para keturunan kepada leluhur. Pemujaan leluhur ini dilakukan karena pengaruh ajaran budha mengenai faham reinkarnasi, tujuannya supaya kelak roh orang yang meninggal tersebut ketika lahir kembali akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan pengaruh dari ajaran shinto yang mempercayai bahwa arwah orang yang telah meninggal dapat memenuhi keinginan ataupun kebutuhan serta menjaga para keturunannya, dalam hal ini apabila penyembahan-penyembahan dilakukan, sebaliknya apabila penyembahan-penyembahan-penyembahan-penyembahan tidak dilakukan maka arwah tersebut akan menjadi roh gentayangan yang berpotensi mendatangkan bahaya dan mengganggu keturunannya.

Pemujaan menurut shinto terdiri dari tiga macam, yaitu penghormatan, sesajen, dan doa. Sebelum melakukan hal tersebut setiap orang harus membersihkan diri, terdiri dari:

a. Harai (pengusir roh jahat) yang dilakukan oleh pendeta

b. Misogi (pembersihan diri) yang dilakukan dengan air atau garam

c. Imi (pantangan) dilakukan oleh pendeta, karena merupakan usaha untuk menghindarkan kekotoran, antaranya dengan jalan berpantang

(21)

Stratifikasi masyarakat Jepang terbentuk atas klen, desa, dozoku dan Ie. Setiap kelompok masyarakat memiliki leluhur pertama. Leluhur pertama dianggap sebagai pencipta dan leluhur selanjutnya selalu dipuja karena menjadi sumber kehidupan dan rahmat dari penerus setiap kelompok. Leluhur dipuja melalui keyakinan yang berasal dari pengaruh budha, bahwa setiap orang yang meninggal akan menjadi dewa setelah 33 tahun kematian (Yanagita, Hori dalam Lawanda 2004: 23)

Penyembahan-penyembahan dalam pemujaan leluhur selama 33 tahun atau 49 tahun adalah suatu usaha yang membutuhkan kesinambungan orang yang melaksanakan penyembahan tersebut. Maka yang bertanggung jawab atas kesinambungan pemujaan leluhur tersebut adalah Ie. Ariga dalam Situmorang (2006: 33) mengatakan bahwa butsudan dan kamidana di dalam rumah berfungsi sebagai acara pemujaan yang terikat dengan Ie, ini mempunyai tanggung jawab pemujaan leluhur oleh kepala keluarga. Ito Kenji mengatakan, Ie adalah tempat tingal roh nenek moyang, kalau dikatakan orang-orang kembali kembali ke Ie berarti adalah meminta perlindungan pada leluhur. Kemudian kepala keluarga dalam memimpin Ie adalah merupakan kewajiban kepada leluhur, atau anggota keluarga mengikuti kepala keluarga berarti mengkuti, melayani roh leluhur. (Situmorang 2006: 34)

Begitu pula dengan roh anak-anak, roh anak yang meninggal tetap disembah di dalam rumah-rumah orang Jepang yang memiliki anak atau bayi yang meninggal. Dan diperlakukan tidak jauh berdebda dengan orang dewasa yang meninggal.

(22)

Tentang hubungan Ie dan pemujaan leluhur yang tidak dapat dipisahkan, dijelaskan oleh Aoyama adalah, pemujaan leluhur sangat melekat dengan sistem Ie, keberadaan Ie dan Ihai adalah sama. Pemikiran seperti ini ada sejak zaman Edo. Jikalau Ie tetap eksisten, maka penyembahan leluhur bisa tetap berjala. Sebaliknya Ie hancur maka penyembahan leluhur akan berhenti, oleh karena itu roh leluhur akan menjadi muenbotoke (roh gentayangan) dan apabila roh leluhur menjadi muenbotoke maka di percaya nasib Ie akan semakin hancur. Oleh karena itu disini kelihatan hubungan fungsional antara orang hidup dan orang mati di dalam keluarga sistem Ie. (Situmorang 2006: 32)

Secara umum, masyarakat Jepang percaya bahwa dunia ini terdiri dari dua dimensi, yaitu: dunia gaib dan dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia tempat manusia hidup, sedangkan dunia gaib adalah dunia tempat manusia melanjutkan kehidupan sesudah mati. Dunia gaib ini disebut dengan alam roh. Sesuai dengan eksistensinya yang hanya berhubungan dengan manusia yang telah mati, maka alam roh ini dianggap sebagai alam yang suci, alam yang secara spritual lebih tinggi dari alam dunia nyata.

Alam gaib dihuni oleh berbagai jenis makhluk. Akan tetapi secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua jenis; kami (dewa), dan roh leluhur. Manusia yang meninggal dunia, akan melalui proses penyucian yang panjang di alam gaib sebelum nantinya ia menghadap dan menjadi salah satu dari dewa itu sendiri. Jadi, orang yang meninggal sebenarnya merupakan orang yang sedang melakukan perjalanan untuk menuju sebuah tempat yang tinggi, tempat menuju kesempurnaan untuk menjadi kami (dewa) nenek moyang. Kaga (1992: 6) menegaskan, karena inilah pada zaman dahulu, kuburan Jepang itu sering juga

(23)

disebut dengan istilah yama, yang mengandung makna tempat yang tinggi dan suci.

Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan tentang alasan yang membuat masyarakat Jepang begitu kaya akan upacara-upacara yang mengatas namakan pemujaan terhadap roh leluhurnya. Di samping tentunya untuk membantu perjalanan anggota keluarga tersebut menuju tempat yang tinggi, tentunya juga merupakan suatu keuntungan jika seandainya anggota keluarga sukses melakukan perjalan menuju kesempurnaan menjadi kami tersebut. Roh leluhur yang sukses menjadi kami dipercaya akan memberikan keberuntungan terhadap anak-cucunya di kemudian hari. Sedangkan roh yang tersesat karena tidak dituntun melalui upacara-upacara oleh keluarganya natinya bisa mendatangkan kesialan terhadap anak-cucunya tersebut. Oleh karena itu, jika seorang anggota keluarga mati, maka pihak keluarga akan melakukan beberapa prosesi ritual sebagai berikut; a) pra pemakaman tanah, b) pasca pemakaman tanah.

a. Pra Pemakaman Tanah

Setelah proses kremasi dilakukan. Abu jenazah akan disemayamkan di rumah keluarga selama 49 hari. Selama itu, setiap hari ke tujuh selama tujuh kali diadakan upacara pemujaan terhadap roh anggota keluarga yang baru meninggal tersebut serta roh leluhur. Waktu tujuh hari ke tujuh dan dilaksanakan sebanyak tujuh kali tersebut dipercaya sebagai waktu kunjungan roh nenek moyang sebelum jenazah baru dikuburkan. Untuk menyambut itulah, makanya upacara pemujaan

(24)

dilaksanakan. Setelah sampai 49 hari, abu jenazah tersebut kemudian dikuburkan ke dalam pemakaman keluarga.

b. Pasca Pemakaman Tanah

Setelah abu jenazah disemayamkan dan dibekali dengan beberapa kali ritual roh, abu jenazah disemayamkan di makam keluarga. Akan tetapi, bukan berarti prosesi atau upacara yang mesti dilakukan pihak keluarga yang tinggal telah berakhir. Dalam keluarga yang menganut sistem tradisional, harus membuat altar pemujaan roh di rumah, dan melanjutkan ritual pemujaan roh di rumah. Waktu-waktu upacaranya adalah hari ke-100, setahun, tiga tahun, terakhir 33 tahun. Upacara pada tahun ke-33 adalah upacara pamungkas. Setelah upacara tersebut, roh yang meninggal dipercaya sudah berada di tempat yang suci dan menjadi kami. Tinggal pihak anak-cucu menunggu berkah dan perlindungan yang akan turun dari kami tersebut. (http://hendrizalman.blogspot.com/2011/10/arti-kematian-dan-pemakaman-bagi.html)

2.4 Pandangan Kematian Anak – Anak di Jepang

Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Kehadirannya yang selalu dinanti, tidak hanya menambah “gelar” kedua orang tua, dari yang semula hanya sebagai suami dan istri bagi pasangannya, menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Anak menjadi aset berharga, tumpuan harapan di dunia dan akhir masa, juga merupakan sebab diangkatnya kedudukan kedua orang tua ke derajat yang lebih mulia. Maka akan sangat menderitanya orang tua apabila anak yang mereka cintai dan sayangi meninggal lebih dulu mendahului mereka. Sehingga setelah

(25)

anak tidak ada lagi di dunia, berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar arwah anak mereka bahagia di alamnya dan tidak merasa dilupakan oleh orang tua dan keluarganya.

Ojizo adalah perantara bagi orang tua yang merasa rindu dan ingin mendoakan anak mereka agar bahagia dan selamat di dunia bawah. Ojizo disembah dengan membawa makanan dan mengganti pakaiannya jika kotor, Ojizo diperlakukan selayaknya anak mereka.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mati berarti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi. Mati berarti terpisahnya antara ruh dan nyawa.

Menurut Maeda, dalam pemikiran masyarakat tradisional Jepang, kematian adalah sesuatu yang menular, oleh karena itu mayat harus segera dijauhkan dari pandangan mata. Kemudian perkembangan pikiran, dalam kematian ada pemisah antara roh dan raga, sehingga ada ketakutan terhadap roh. Karena rasa takut atau rasa cinta terhadap keluarga yang meningal maka diadakanlah sederetan upacara bagi bagi orang mati. Rasa takut yang disebut diatas berkaitan dengan pemikiran masyarakat Jepang yang menganggap bahwa roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya.

Menurut Inouguchi, dalam Situmorang (2009: 50) pada Jepang zaman dahulu kala, tidak jelas batas antara mati dan hidup. Dalam tubuh setiap orang memiliki minimal satu roh, jika roh tersebut keluar dari tubuh seseorang disebut dengan kondisi hanshi (pingsan). Kemudian apabila selamanya roh pergi, hal tersebut dinyatakan mati.

(26)

Melihat pemikiran di atas, batas antara hidup dan mati dalam pemikiran Jepang adalah apakah roh ada di dalam tubuh atau tidak. Oleh karena itu masyarakat tradisional Jepang mengenal acara tamayobai. Tamayobai adalah suatu acara untuk memanggil roh orang yang mati tersebut untuk kembali lagi ke dalam jasad. Kemudian apabila acara tamayobai sudah dilakukan maka seseorang tersebut diputuskan sudah meninggal. Cara melakukan acara tamayobai dimasing-masing daerah di Jepang berbeda-beda. Misalnya dengan dengan membuat makanan disamping mayat lalu memanggil orang tersebut kembali. Tetapi ada juga yang memanggil roh tersebut ke sumur atau ke atap rumah.

Acara tamayobai disebut juga mogari. Jadi acara mogari adalah suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah bahwa manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum pergi terlalu jauh masih bisa dipanggil kembali. Oleh karena itu setelah dilakukan upacara mogari, apabila roh tidak dapat dipanggil kembali maka diputuskanlah seseorang itu telah meninggal.

Setelah seseorang dinyatakan sudah meningal dengan acara mogari atau tamayobai, maka keluarga akan memberitahukan kepada sanak keluarga yang lain. Pemberitahuan ini disebut dengan shirase. Shirase biasanya diilakukan oleh dua orang. Tetapi jikalau harus dilakukan sendirian, maka biasanya orang tersebut membawa boneka, jika di dalam keluarga yang sedang diberitahu kabar kematian tersebut ada yang usianya sama dengan yang meninggal maka orang tersebut membuat mimifutagi yang berarti menutup telinga dengan tutup periuk.

(27)

Menurut Mogami dalam Situmorang dalam pandangan orang Jepang bahwa roh ada di dalam tulang-belulang. Oleh karena itu persembahan-persembahan diarahkan kepada tulang belulang dan pergi ke Ihai yaitu sebuah papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut . Zaman dahulu kala di Jepang di kenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan kotor yang berisi tulang belulang yang biasa dibawa ke gunung, sedangkan yang satunya adalah kuburan yang suci sebagai tempat pemberian sesajen. Biasanya kuburan yang kedua ini berada di pinggir desa.

Rak penyembahan roh leluhur di rumah di sebut dengan kamidana atau butsudan. Pada altar resebut di letakan Ihai. Sehingga ke sanalah ditujukan sesajen di dalam penyembahan yang ada di rumah. Penyembahan ini disebut dengan kuyo, kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun menurut budhis atau 49 tahun menurut shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan muenbotoke, muenbotoke adalah roh yang tidak diberi sesajen oleh keluarga.

2.5 Ojizo dan Penyembahan Realita

Menurut Setiadi (2007: 179) manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan segala potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positif maupun negatif.

(28)

Van Gennep dalam Damayanti (2009: 17) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa individu dari suatu status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap:

1. Pemisahaan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status.

2. Peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan.

3. Penggabungan, ia resmi ditempatkan dalam suatu tempat, kelompok atau status baru.

Dari tahapan-tahapan tersebut kita melihat bahwa sesuatu yang penting adalah status seseorang dalam masyarakat, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual tersebut adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperkenalkan status seseorang dalam hubungan sosial masyarakat.

Meski terlihat sebagai negara kota yang metropolitan, di mana teknologi yang mutakhir dan industri berkembang sangat pesat, Jepang masih sangat taat menjalani ritual-ritual dan tradisi dalam penghormatan praktek kuno.

Mungkin salah satu pemandangan paling umum dan mendominasi di Jepang adalah patung yang ada di pinggir jalan, dan patung-patung berukuran kecil disekitar kuil, yaitu patung bayi yang berwajah Buddha yang sering terlihat mengenakan celemek anak bewarna merah, dan rajutan topi wol. Patung-patung yang mulia menggambarkan salah satu dewa yang paling dicintai dan populer di Jepang dialah Ojizo Sama.

(29)

Menurut penjalasan masyarakat Jepang, dahulu kala Ojizo terinspirasi oleh sosok Ksitigarbha, yaitu seorang biarawan yang bertekad pada dirinya untuk bertanggung jawab bagi mereka di "enam dunia" (alam dewa, alam manusia, alam binatang, alam jin, alam setan kelaparan, dan alam neraka) antara kematian dan pencerahan. Berbekal kemampuan yang dapat membuka gerbang neraka dan permata untuk menerangi kegelapan, Ksitigarbha menolak untuk pergi sampai ranah neraka dikosongkan dari orang-orang yang menderita.

Setiap kebudayaan memiliki gambaran yang berbeda dan dongeng untuk menjelaskan asal Ksitigarbha, beberapa percaya dia menjadi seorang biarawan fana yang mencapai keabadian karena pencarian abadi untuk membantu orang lain, sementara beberapa mempercayai bahwa Ksitigarbha adalah benar-benar seorang wanita, yang berdoa untuk menyelamatkan ibunya dari neraka, tapi setelah ia dibawa ke neraka dan diberitahu bahwa ibunya telah diselamatkan, ia terkejut melihat begitu banyaknya manusia dalam neraka dan mendapat siksaan. Lalu yang ia bersumpah untuk menyelamatkan mereka.

Patung Ojizo sangat banyak dijumpai di seluruh Jepang, dewasa ini eksistensi penyembahan-penyembahan untuk patung Ojizo pun masih banyak dilakukan sebagian besar masyarakat Jepang. Ukuran dan bentuknya pun berbeda-beda ada yang besar, sedang dan kecil. Tapi pada umumnya tetap terlihat seperti anak kecil dengan baju dan topi yang beragam. Dan kebanyakan dari mereka yang mendatangi dan menyembah Ojizo adalah pasangan suami istri yang masih baru berumah tangga. (http://www.axiommagazine.jp/2012/06/27/ojizo-sama/)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan serta dapat menambah informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, BAN-PT melakukan akreditasi bagi semua program studi dari semua institusi perguruan tinggi di seluruh

Air limbah Rumah Sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi : limbah domestik cair (limbah buangan kamar

Rerata konsumsi pakan dalam BK (KBK), konsumsi protein (KPK), pertambahan berat badan harian (PBBH), konversi pakan dan efisiensi penggunaan protein ransum

Kadar aspal optimum yang digunakan adalah 6.00% pada campuran Laston Lapis Antara dengan nilai stabilitas marshall sisa yaitu 96.87 % yang telah memenuhi syarat

Atas kewenangan yang dimiliki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memiliki wewenang khusus yang tertuang dalam Pasal 26 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Angka kejadian reaksi lokal kemerahan paling tinggi diketahui pada pengamatan satu hari setelah pemberian imunisasi sebesar 867 (21,79%) dengan mayoritas kategori ringan

Berdasarkan pendapat di atas, upaya yang harus dilakukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar IPA adalah: (1) mengkondisikan situasi belajar IPA menjadi kegiatan