• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci : ketahanan pangan rumahtangga, agroekosistem Key words : household food security, agro-ecosystem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci : ketahanan pangan rumahtangga, agroekosistem Key words : household food security, agro-ecosystem"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI MENURUT TIPE AGROEKOSISTEM DI KECAMATAN JEROWARU KABUPATEN LOMBOK TIMUR

FOOD SECURITY OF FARMER HOUSEHOLDS ACCORDING TO TYPES OF AGROECOSYSTEM IN JEROWARU DISTRICT, EAST LOMBOK REGENCY

Ridwan

Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK

Wilayah Kecamatan Jerowaru dapat dikelompokkan ke dalam dua daerah menurut karakteristik agroekosistem-nya: (1) daerah dengan agroekosistem tipe-1, yaitu daerah pertanian lahan kering dengan ekosistem ladang yang sangat kurang produktif, dan (2) daerah dengan agroekosistem tipe-2, yaitu daerah pertanian yang didominasi oleh ekosistem sawah beririgasi setengah teknis yang relatif produktif. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji keragaan ketahanan pangan rumahtangga petani menurut tipe agroekosistem tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pemongkong dan Desa Sukaraja, Kecamatan Jerowaru. Penetapan desa Pemongkong adalah atas dasar bahwa desa ini merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Jerowaru yang memenuhi kriteria daerah dengan agroekosistem tipe-1, sedangkan penetapan Desa Sukaraja adalah sebagai representasi dari daerah dengan agroekosistem tipe-2. Dari masing-masing desa diambil 50 rumahtangga sampel secara quota random sampling, sehingga seluruhnya berjumlah 100 rumahtangga. Setelah data terkumpul, kemudian ditabulasi, diolah dan dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan analisis tabel silang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat ketahanan pangan rumahtangga petani relatif berbeda menurut tipe agroekosistem-nya. Rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 cenderung lebih tahan pangan dibandingkan dengan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1. Tercatat bahwa 32% rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 tergolong rawan pangan, sementara hanya 3% rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 yang tergolong rawan pangan.

ABSTRACT

The district of Jerowaru, East Lombok can be classified into two region types according to its agro-ecosystem: (1) type-1 agro-ecosystem, i.e., dryland agriculture with shifting cultivation ecosystem that is very unproductive; and (2) type-2 agro-ecosystem, i.e., agriculture dominated by wet cropping ecosystem, semi technical irrigated and productive land. This paper aims at studying the performance of food security of farmer households according to those agro-ecosystem.

This study was conducted in the villages of Pemongkong and Sukaraja, the district of Jerowaru. Pemongkong was selected for meeting criteria of type-1 agro-ecosystem, while Sukaraja was representing type-2 agro-ecosystem. The number of samples was quoted for 50 households for each village so that there was 100 households in total. Collected data were analysed by using descriptive analysis and cross-table analysis.

The research found that food security of farmer households were differentiated by its agro-ecosystem. The households in type-2 agro-ecosystem tended to be securer than households in the type-1. There were 32% farmer households with food unsecure in the type-1 and only 3% in the type-2.

_____________________

Kata kunci : ketahanan pangan rumahtangga, agroekosistem Key words : household food security, agro-ecosystem

PENDAHULUAN

Secara administratif, Kecamatan Jerowaru merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Lombok Timur, Propinsi NTB. Wilayah Kecamatan Jerowaru bertipe agraris, yang antara lain ditandai oleh sebagian besar

wilayahnya (80%) merupakan daerah pertanian. Kecamatan Jerowaru terdiri atas empat desa, yaitu: Desa Jerowaru, Desa Sukaraja, Desa Batunampar, dan Desa Pemongkong. Secara agroekosistem, keempat desa ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori menurut

(2)

karakteristik agroekosistem-nya. Desa Pemongkong merupakan daerah pertanian lahan kering dengan ekosistem ladang yang sangat kurang produktif dan dalam penelitian ini disebut daerah dengan agroekosistem tipe-1, sedangkan tiga desa lainnya semuanya merupakan daerah pertanian yang didominasi oleh ekosistem sawah ber irigasi setengah teknis yang relatif produktif, dan dalam penelitian ini disebut daerah dengan agroekosistem tipe-2.

Perbedaan karakteristik agroekosistem tersebut berimplikasi terhadap perbedaan pola dan sistem usahatani yang dilakukan petani di masing-masing daerah. Di desa Pemongkong yang merupakan daerah dengan agroekosistem tipe-1 jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman semusim dan tanaman tahunan. Tanaman semusim diusahakan petani pada setiap musim hujan. Jenis tanaman semusim yang diusahakan antara lain: jagung, palawija, dan sayur-sayuran, baik ditanam secara monokultur atau campuran. Teknologi budidaya yang diterapkan relatif sederhana. Umumnya petani tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan. Akibatnya produktivitas usahatani di daerah ini sangat rendah. Di samping itu, keberhasilan usahatani sangat bergantung kepada lama serta curah hujan pada musim hujan tahun bersangkutan. Kondisi yang biasanya terjadi ialah lama dan jumlah curah hujan setiap tahunnya kurang mencukupi. Hal ini merupakan faktor lain penyebab produktivitas usahatani di daerah ini menjadi sangat rendah, bahkan tidak jarang menyebabkan terjadinya gagal panen. Adapun jenis tanaman tahunan yang diusahakan petani setempat antara lain seperti: srikaya, jarak, dan kates. Hasil dari tanaman yang diusahakan, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan, dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani beserta keluarganya, terutama kebutuhan pangan.

Berbeda halnya dengan petani di Desa Pemongkong bahwa petani di tiga desa lainnya di Kecamatan Jerowaru, yang merupakan daerah dengan agroekosistem tipe-2, selalu menanam padi pada musim hujan dan menanam tembakau setelah panen padi, khususnya bila masih ada persediaan air di sawah, di embung atau bila diperkirakan masih ada sisa hujan pada tahun bersangkutan. Kegiatan menanam padi di tiga desa ini dilakukan hanya sekali dalam setahun yaitu pada musim hujan. Teknologi budidaya yang diterapkan oleh petani sudah cukup maju, sehingga produktivitas usahatani relatif tinggi yakni rata-rata 5,2 ton gabah kering panen per hektar (BPS Lombok Timur, 2008).

Adanya perbedaan pola usahatani yang diikuti oleh perbedaan produktivitasnya pada

kedua desa dengan karakteristik agroekosistem yang berbeda tersebut berimplikasi terhadap terjadinya perbedaan pola penyediaan pangan di tingkat rumahtangga, dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap perbedaan pola konsumsi pangan dan derajat ketahanan pangan rumahtangga petani yang bermukim di kedua daerah dengan tipe agroekosistem yang berbeda tersebut, sehingga dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga diperlukan pola kebijakan yang berbeda pula. Oleh karena itu tulisan ini diberi judul “Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani menurut Tipe Agroekosistem di Kecamatan Jerowaru”, dengan tujuan untuk mengkaji keragaan ketahanan pangan rumahtangga petani menurut tipe agroekosistem-nya di Kecamatan Jerowaru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, yaitu di desa Pemongkong dan desa Sukaraja. Penetapan desa Pemongkong sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive atas dasar bahwa desa ini merupakan satu-satunya desa di kecamatan Jerowaru yang memenuhi kriteria sebagai daerah dengan agroekosistem tipe-1. Sedangkan penetapan desa Sukaraja sebagai representasi dari desa-desa lainnya pada kategori daerah dengan agroekosistem tipe-2 dilakukan secara random sampling. Sebagai unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Dari masing-masing desa terpilih diambil 50 rumahtangga petani sampel secara quota random sampling, sehingga seluruhnya berjumlah 100 rumahtangga. Sebagai responden adalah ibu rumahtangga, karena mereka dinilai memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai hal terkait dengan permasalahan penyediaan dan konsumsi pangan pada rumahtangga bersangkutan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan sebagai instrumen pengumpul data digunakan daftar pertanyaan yang telah disusun dan disiapkan sebelumnya.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi:

1) Jenis serta jumlah pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Data ini dikumpulkan dengan menggunakan metode recall (Suhardjo, 1996). Recall konsumsi pangan dilakukan untuk waktu tiga hari sebelum hari - H pengumpulan data dilakukan.

2) Jumlah pangan beras tersedia di tingkat rumahtangga, diukur menurut kecukupan ketersediaan untuk jangka waktu tertentu

(3)

3) Jumlah konsumsi energi per unit ekuivalen orang dewasa, diukur berdasarkan proporsinya terhadap kecukupan energi, dinilai dalam satuan persen ( % )

4) Pangsa pengeluaran untuk pangan, diukur berdasarkan proporsinya terhadap total pengeluaran, dinilai dalam satuan persen (%).

Setelah data terkumpul, kemudian dita-bulasi, diolah dan dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan analisis tabel silang. Dengan adanya perbedaan cara penyediaan pangan, terutama pangan pokok beras pada rumahtangga petani di dua daerah yang berbeda karakteristik agroekosistem-nya tersebut, maka dalam menentukan ketahanan pangan rumah-tangga petani digunakan indikator yang berbeda pula. Penyediaan pangan pokok beras pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 dilakukan dengan cara membeli di pasar, sedangkan pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 dilakukan dengan cara menyimpan gabah hasil panen untuk keperluan konsumsi selama satu tahun ke depan.

Untuk menentukan derajat ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 dilakukan dengan mengukur indikator kecukupan konsumsi energi, sebagai proksi peubah gizi, dan pangsa pengeluaran untuk pangan, sebagai proksi peubah ekonomi. Besarnya cutting point untuk kecukupan konsumsi energi adalah 80% dari anjuran untuk per unit ekuivalen dewasa (2700 Kal/kap/hr) yaitu sama dengan 2160 Kal/kap/hr, sedangkan cutting point untuk pangsa pengeluaran pangan ditetapkan sebesar 60% dari total pengeluaran rumahtangga (Handewi et al., 2000). Mengingat sebagian besar (>80%) energi bagi penduduk NTB disumbangkan oleh pangan pokok beras (Almatsier, 2003) maka pendekatan yang digunakan dalam perhitungan nilai konsumsi energi dalam penelitian ini adalah energi yang disumbangkan oleh pangan beras yang dikonsumsi, serta mengacu kepada ketentuan bahwa dalam setiap 100 gr beras terkandung energi sebesar 360 Kalori (Sediaoetama, 2000).

Model yang digunakan untuk menentukan derajat ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 adalah model yang dikembangkan oleh Jonhsson dan Toole (1991) (dalam Maxwell at al., 2000).

Dalam hal ini, rumahtangga petani dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan, dan rawan pangan*) dengan kriteria

masing-masing seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori dan Kriteria Ketahanan Pangan Rumahtangga Model Jonhsson dan Toole (1991)

Pangsa pengeluaran pangan Konsumsi energi

per unit

ekui-valen dewasa RENDAH

(<60% penge-luaran total) TINGGI (>60% penge-luaran total) CUKUP (>80% kecukupan energi)

Tahan pangan Rentan pangan

KURANG (<80% kecukupan energi)

Kurang pangan Rawan pangan

Keterangan:

Rumahtangga yang tergolong tahan pangan adalah rumahtangga dengan derajat ketahanan pangan paling tinggi, sementara rumahtangga yang tergolong rawan pangan adalah rumahtangga dengan derajat ketahanan pangan paling rendah.

Selanjutnya, untuk menentukan ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 dilakukan dengan mengukur indikator kecukupan ketersediaan pangan beras untuk jangka waktu tertentu, dan ada atau tidak-adanya konsumsi pangan sumber protein hewani dalam kurun waktu tiga hari terakhir. Cutting point waktu kecukupan ketersediaan pangan beras dalam penelitian ini ditetapkan 365 hari (Raharto, 1999). Model yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang dimodifikasi. Dalam hal ini, rumahtangga petani juga dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan, dan rawan pangan*) dengan kriteria masing-masing seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

*) Urutan penulisan kategori menunjuk kepada urutan

(4)

Tabel 2. Kategori dan Kriteria Ketahanan Pangan Rumahtangga Model Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Konsumsi pangan sumber protein hewani dalam kurun

waktu tiga hari terakhir Kecukupan

ketersediaan pangan beras di tingkat

rumahtangga ADA TIDA ADA Cukup untuk

waktu > 365 hr Tahan pangan Rentan pangan Cukup untuk

waktu 180 hr - <365 hr

Rentan

pangan Kurang pangan Cukup untuk

waktu <180 hr Kurang pangan

Rawan pangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam penelitian ini rumahtangga petani, baik rumahtangga di daerah dengan agroekosistem tipe-1 maupun agroekosistem tipe-2, dikelompokkan ke dalam empat kategori menurut derajat ketahanan pangannya, yaitu rumahtangga: (1) tahan pangan, (2) rentan pangan, (3) kurang pangan, dan (4) rawan pangan. Namun karena indikator yang digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 berbeda dengan di daerah dengan agroekosistem tipe-2, maka pembahasan tentang ketahanan pangan rumahtangga petani dalam tulisan ini dilakukan secara terpisah, dimulai dengan pembahasan tentang keragaan ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1, yang dilanjutkan

dengan pembahasan tentang keragaan ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2, dan diakhiri dengan pembahasan tentang ketahanan pangan rumahtangga petani secara agregat.

Keragaan Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 sebagian besar belum memenuhi kecukupan konsumsi yang dianjurkan (>80% kecukupan energi untuk per unit ekuivalen orang dewasa), sebagaimana tampak pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (72%) rumahtangga petani belum memenuhi kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan, dimana rata-rata konsumsi riil energi pada rumahtangga dengan kategori ini hanya mencapai 1.754 Kal/kap/hr setara dengan 0,48 kg/kap/hr atau 65% dari jumlah yang dianjurkan. Relatif rendahnya konsumsi energi pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 ini sebagai akibat masih kurangnya jumlah konsumsi pangan sumber energi penduduk setempat, yang dalam penelitian ini perhitungan didasarkan atas jumlah konsumsi pangan beras, karena beras merupakan pangan sumber energi utama. Kurangnya konsumsi beras ini disebabkan kurangnya kemampuan rumahtangga untuk menyediakan pangan beras yang cukup di tingkat rumah-tangga, meskipun sebagian besar pengeluaran rumahtangga dialokasikan untuk pangan, dan terutama untuk pangan beras. Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Rata-rata Konsumsi Energi di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-1

Jumlah rumahtangga Rata-rata konsumsi riil

energi (Kal/kap/hr) Kategori kecukupan konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa KK Persentase (%) 2.315 > 80 % kecukupan energi 14 28,0

1.754 < 80 % kecukupan energi 36 72,0

(5)

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran untuk Pangan dan Non Pangan pada Rumahtangga Petani di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-1

Rata-rata pengeluaran per hari Jenis pengeluaran Rp Persentase (%) Pangan 12.875 91,7 Non pangan 1.164 8,3 Total 14.039 100,0

Tabel 4 menunjukkan bahwa pnegeluaran rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk non pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumahtangga yang dialokasikan untuk pangan beras adalah Rp. 11.565 atau hampir 90% dari total pengeluaran, sedangkan 10% sisanya dialokasikan untuk pangan non beras, dan terutama adalah untuk bumbu-bumbuan. Harga beras di daerah ini dalam satu tahun biasanya mengalami fluktuasi. Pada waktu panen padi harga per kg beras mencapai Rp. 4.500, sementara di luar musim panen harganya mencapai Rp. 5.500 per kg atau harga rata-rata Rp. 5.000 per kg. Dengan mengacu kepada harga rata-rata ini maka jumlah pangan beras yang dapat disediakan oleh rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 rata-rata adalah 2,3 kg per hari, sementara jumlah kebutuhan mencapai rata-rata 3,5 kg per hari untuk anggota keluarga berjumlah 5 orang dengan frekuensi makan 3 kali sehari (menurut hasil penelitian: rata-rata jumlah anggota keluarga 4,8 orang).

Dalam kondisi dimana sebagian besar rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 mengalokasikan sebagian besar pengeluarannya untuk pangan terdapat sejumlah kecil rumahtangga yang mengalokasikan < 60% pengeluarannya untuk pangan, seperti ditunjukkan oleh Tabel 5.

Rumahtangga dengan alokasi pengeluaran untuk pangan yang relatif rendah menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut memiliki kemampuan yang relatif tinggi dalam menyediakan pangan. Pada prinsipnya, makin rendah pangsa pengeluaran untuk pangan berarti makin tinggi kemampuan rumahtangga untuk menyediakan pangan. Dengan menetapkan cutting point sebesar 60% maka data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya 14% rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1

memiliki kemampuan yang relatif tinggi dalam menyediakan pangan, sedangkan sebagian besar rumahtangga justeru memiliki kemampuan yang relatif rendah dalam menyediakan pangan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa relatif tingginya kemampuan sebagian kecil rumah-tangga tersebut untuk menyediakan pangan disebabkan karena rumahtangga tersebut di samping mengelola usahatani ladang/tegalan juga memiliki usaha ternak yang sudah relatif berkembang yang ditandai oleh jumlah ternak yang dimiliki setiap rumahtangga tersebut relatif banyak. Jenis ternak yang diusahakan adalah ternak ayam dan/atau ternak kambing. Penting dikemukakan di sini bahwa Desa Pemongkong memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan ternak, khususnya ternak kambing, terutama karena didukung oleh relatif tersedianya makanan ternak sepanjang tahun di lingkungan tempat tinggal petani. Hasil usaha ternak ini memiliki kontribusi yang relatif besar dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga petani, baik kebutuhan pangan maupun non pangan.

Tabel 5. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Pangsa Pengeluaran untuk Pangan di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-1

Jumlah rumahtangga Pangsa pengeluaran

untuk pangan KK Persentase (%) <60% dari total pengeluaran 7 14,0 >60% dari total pengeluaran 43 86,0 Total 50 100,0

Rendahnya kemampuan rumahtangga untuk menyediakan pangan akan berimplikasi terhadap rendahnya ketahanan pangan rumahtangga tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 tergolong tahan pangan, seperti ditunjukkan oleh Tabel 6.

Dalam penelitian ini rumahtangga yang tergolong tahan pangan adalah rumahtangga dengan kecukupan konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa > 80% dan pangsa pengeluaran untuk pangan < 60% dari total pengeluaran. Kendati secara kuantitas, jumlah konsumsi energi pada rumahtangga tahan pangan tersebut sudah memenuhi kriteria kecukupan, namun dari sisi kualitas, pangan yang dikonsumsi masih sangat rendah. Kualitas

(6)

pangan itu sendiri ditentukan oleh ada tidaknya konsumsi pangan sumber protein, terutama protein hewani (Khumaidi, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan energi penduduk setempat, termasuk pada rumahtangga yang tergolong tahan pangan, sebagian besar (rata-rata 89%) disumbangkan oleh pangan sumber karbohidrat, khususnya beras, dan jarang sekali adanya konsumsi protein. Hal ini tidak semata-mata karena daya jangkau (aksesibilitas) dan daya beli pangan yang rendah, melainkan juga karena pemahaman serta kesadaran tentang pentingnya konsumsi pangan bernilai gizi tinggi masih sangat kurang. Oleh karena itu, berbagai upaya edukasi guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat setempat tentang pentingnya konsumsi pangan bernilai gizi tinggi bagi kehidupan manusia perlu lebih diintensifkan.

Tabel 6. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Ketahanan Pangan di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-1 Jumlah rumahtangga Derajat ketahanan pangan KK Persentase ( % ) Tahan Pangan 3 6,0 Rentan Pangan 11 22,0 Kurang Pangan 4 8,0 Rawan Pangan 32 64,0 Total 50 100,0

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 tergolong rawan pangan, yang ditandai oleh jumlah konsumsi energi yang masih rendah dan pangsa pengeluaran untuk pangan yang tinggi. Hal ini terjadi karena rendahnya kemampuan rumahtangga tersebut untuk menyediakan pangan sumber energi, khususnya beras, di samping karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pangan beras sebagai pangan pokok. Padahal, daerah ini cukup potensial untuk pengembangan berbagai tanaman pangan sumber karbohidrat alternatif, seperti jagung dan ubi kayu yang hasilnya dapat dikonsumsi sebagai pangan alternatif pengganti beras atau dicampur dengan beras. Namun karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pangan beras sehingga motivasi untuk menanam jenis tanaman seperti jagung dan ubi relatif rebdah. Umumnya responden menyatakan bahwa karena masyarakat setempat sudah sangat terbiasa

mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok sehingga posisinya sangat sulit tergantikan oleh pangan sumber karbohidrat lainnya, termasuk jagung dan ubi, terlebih kedua jenis pangan ini dinilai “kurang enak” dan kurang dapat “mengenyangkan” dibandingkan dengan pangan beras. Untuk itu maka salah satu upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah perlu adanya sentuhan teknologi pangan yang dapat menyebabkan pangan yang sebelumnya kurang disukai menjadi lebih disukai.

Keragaan Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-2

Untuk menentukan derajat ketahanan pangan rumahtangga petani di Desa Sukaraja, sebagai representasi dari desa-desa yang notabene merupakan daerah dengan agroekosistem tipe-2 di Kecamatan Jerowaru, digunakan indikator kecukupan ketersediaan pangan beras untuk jangka waktu tertentu, dan ada-tidaknya konsumsi pangan sumber protein hewani dalam kurun waktu tiga hari terakhir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 memiliki ketersediaan pangan beras yang cukup untuk waktu satu tahun atau lebih. Artinya, rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 umumnya mampu mencukupi kebutuhan pangan beras untuk waktu satu tahun atau lebih. Distribusi rumahtangga menurut kecukupan ketersediaan pangan beras di daerah dengan agroekosistem tipe-2 ditunjukkan oleh Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kecukupan Ketersediaan Pangan Beras untuk Jangka Waktu teretentu di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-2

Jumlah rumahtangga Kecukupan

keterse-diaan pangan beras KK Persentase (%) Cukup untuk waktu

>365 hari

40 80,0

Cukup untuk waktu

180 hari - <365 hari 6 12,0 Cukup untuk waktu

<180 hari 4 8,0

Total 50 100,0

Ketersediaan pangan beras pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 berasal dari kegiatan

(7)

menanam padi yang dilakukan sekali dalam setahun dan beras yang dibeli dari hasil pembayaran komoditi tanaman lain, khususnya tembakau, yang ditanam setelah panen padi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penyediaan pangan beras pada rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 dilakukan dengan menyimpan gabah hasil panen yang digiling secara bertahap sesuai menurut kebutuhan konsumsi untuk jangka waktu tertentu. Bila gabah dari hasil panen ini dinilai tidak akan mencukupi kebutuhan konsumsi selama satu tahun ke depan maka rumahtangga petani akan menambah persediaan pangan beras dengan cara membeli beras menggunakan hasil pembayaran komoditi tanaman tembakau atau hasil pembayaran sewa lahan sawah kepada petani lain untuk menanam tembakau setelah panen padi.

Dari hasil wawancara dengan sejumlah informan setempat diperoleh informasi bahwa lahan sawah yang ada di daerah dengan agroekosistem tipe-2 ini umumnya ditanami tembakau setelah panen padi, karena sampai dengan saat penelitian ini dilakukan tanaman tembakau dinilai satu-satunya tanaman yang dapat diandalkan untuk meningkatkan penda-patan dan kesejahteraan petani, bahkan 40% petani responden menilai bahwa usahatani tembakau justeru merupakan usahatani utama, sementara usahatani padi dinilai sebagai usahatani yang menempati posisi ke-2 setelah usahatani tembakau. Hal ini mengindikasikan adanya gejala pergeseran persepsi tentang nilai usahatani di kalangan masyarakat tani di daerah ini. Sebagai implikasinya, keluarga tani di daerah ini lebih fokus dalam mengelola usahatani tembakau dibandingkan usahatani padi. Implikasi lain dari kondisi ini adalah nilai lahan sawah mengalami peningkatan secara drastis. Sebagai gambaran, misalnya harga sewa lahan sawah saat ini mencapai Rp. 10 juta per hektar per tahun, setara dengan 5 ton gabah (harga gabah pada musim panen rata-rata Rp. 2 juta per ton). Dengan demikian maka petani yang memiliki lahan sawah seluas satu hektar misalnya, bila hanya menginginkan gabah 5 ton setahun tidak perlu “repot-repot” menanam padi sendiri, cukup dengan hanya menyewakan lahan sawah miliknya itu kepada orang lain maka petani tersebut dengan mudah akan memiliki gabah 5 ton. Sementara, menanam padi sendiri, di samping adanya konsekuensi biaya yang relatif besar juga resiko gagal panen akibat faktor alam bisa saja terjadi.

Meskipun umumnya rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 ini mampu mencukupi kebutuhan pangan, namun secara

kualitas, pangan yang dikonsumsi masih belum memenuhi kualitas yang dianjurkan. Hal ini ditunjukkan oleh masih sangat kurangnya konsumsi pangan sumber protein hewani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian besar (82%) rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 tidak ada konsumsi protein hewani, paling tidak dalam waktu tiga hari terakhir sebelum hari-H penelitian ini dilakukan, seperti ditunjukkan oleh Tabel 8. Tabel 8. Distribusi Rumahtangga Petani menurut

Ada-tidaknya Konsumsi Protein Hewani dalam Waktu Tiga Hari Terakhir di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-2

Jumlah rumahtangga Ada-tidaknya

konsum-si protein hewani dalam waktu tiga hari

terakhir KK Persentase (%) Ada konsumsi protein 9 18,0 Tidak ada konsumsi 41 82,0

Total 50 100,0

Kurangnya konsumsi pangan sumber protein hewani pada rumahtangga petani, paling tidak karena dua alasan mendasar. Pertama, karena masih sangat kurangnya kesadaran warga masyarakat tani setempat tentang pentingnya makna konsumsi pangan yang bernilai gizi tinggi. Motivasi konsumsi pangan terutama adalah untuk menghilangkan rasa lapar alias makan agar kenyang. Dalam pada itu, makan nasi dianggap cara yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan ini, sedangkan jenis lauk-pauk yang dikonsumsi sebagai penyerta makanan nasi tidak akan pernah menjadi persoalan. Kedua, harga pangan sumber protein hewani dinilai sangat mahal, jauh lebih mahal dari pangan beras, sehingga meskipun uang ada, daripada membeli satu kg daging yang harganya mencapai Rp. 60.000,- per kg lebih baik uang tersebut dipakai untuk membeli beras yang harganya hanya Rp. 5.000,- per kg.

Walaupun rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 umumnya memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangan beras namun kurangnya konsumsi pangan sumber protein hewani menyebabkan relatif kecilnya jumlah rumahtangga yang tergolong tahan pangan, seperti ditunjukkan oleh Tabel 9.

Demikian juga kondisi rentan pangan yang terjadi pada sebagian besar rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2, seperti

(8)

ditunjukkan oleh Tabel 9, adalah karena pada sebagian besar (34 dari 36 rumahtangga atau 94%) rumahtangga yang tergolong rentan pangan tersebut tidak ada konsumsi protein hewani walaupun konsumsi pangan beras mencukupi, sedangkan 6% sisanya adalah rumahtangga di mana konsumsi pangan beras kurang mencukupi tapi ada konsumsi protein hewani dalam waktu tiga hari terakhir sebelum hari-H penelitian ini dilakukan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa keluarga tani di daerah ini berpotensi untuk mengalami masalah kurang gizi, khususnya kurang protein, dengan segala akibat yang ditimbulkannya, terutama pada kelompok high-risk, yaitu (Syarief, 1996): bayi dan balita, ibu hamil serta ibu menyusui. Untuk mengetahui seberapa jauh masalah kurang gizi, khususnya kurang protein, telah terjadi pada keluarga tani terutama pada kelompok high-risk, di daerah ini perlu adanya penelitian lanjutan. Tabel 9. Distribusi Rumahtangga Petani menurut

Ketahanan Pangan di Daerah dengan Agroekosistem Tipe-2 Jumlah rumahtangga Derajat ketahanan pangan KK Persentase (%) Tahan Pangan 6 12,0 Rentan Pangan 36 72,0 Kurang Pangan 5 10,0 Rawan Pangan 3 6,0 Total 50 100,0

Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kecamatan Jerowaru

Pengelompokan rumahtangga petani menurut kategori ketahanan pangannya di Kecamatan Jerowaru merupakan pengelom-pokan rumahtangga hasil agregasi pada kategori yang sama dari Desa Pemongkong yang dalam

penelitian ini ditetapkan sebagai daerah dengan agroekosistem tipe-1 dan Desa Sukaraja sebagai representasi dari daerah dengan agroekosistem tipe-2. Distribusi rumahtangga menurut derajat ketahanan pangannya di Kecamatan Jerowau ditunjukkan oleh Tabel 10.

Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga petani yang tergolong tahan pangan di Kecamatan Jerowaru relatif kecil. Jumlah rumahtangga tahan pangan lebih banyak terdapat di Desa Sukaraja dibandingkan dengan di Desa Pemongkong. Di sisi lain, Tabel 10 juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumah-tangga tergolong rentan pangan dan rawan pangan. Tampak bahwa jumlah rumahtangga yang tergolong rentan pangan di desa Sukaraja jauh lebih banyak (lebih tiga kali lipat) dibandingkan dengan yang ada di Desa Pemongkong. Sebaliknya, jumlah rumahtangga yang tergolong rawan pangan justeru jauh lebih banyak terdapat di Desa Pemongkong (hampir 10 kali lipat) dibandingkan dengan yang terdapat di Desa Sukraja. Fenomena ini mengindikasikan bahwa rumahtangga petani di Desa Sukaraja cenderung lebih tahan pangan dibandingkan dengan rumahtangga petani di Desa Pemongkong. Dari hasil analisis yang mendalam disimpulkan bahwa perbedaan ini terjadi lebih sebagai akibat dari kondisi agroekosistem yang berbeda pada kedua desa tersebut. Seperti telah dikemukakan bahwa wilayah desa Pemongkong merupakan daerah lahan kering dengan karakteristik agroekosistem yang didominasi oleh ekosistem ladang yang sangat kurang produktif, sementara Desa Sukaraja memiliki karakteristik agroekosistem yang didominasi oleh ekosistem sawah yang umumnya beririgasi setengah teknis yang relatif produktif. Oleh karena itu, berbagai kebijakan menyangkut upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah-tangga sebaiknya lebih diprioritaskan untuk Desa Pemongkong sebelum desa-desa lainnya yang ada di Kecamatan Jerowaru.

Tabel 10. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Derajat Ketahanan Pangan dan Dirinci menurut Desa Sampel di Kecamatan Jerowaru

Desa Pemongkong Desa Sukaraja Kec. Jerowaru Derajat ketahanan pangan

rumahtangga KK % KK % KK %

Tahan Pangan 3 3,0 6 6,0 9 9,0

Rentan Pangan 11 11,0 36 36,0 47 47,0

Kurang Pangan 4 4,0 5 5,0 9 9,0

(9)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Derajat ketahanan pangan rumahtangga petani di Kecamatan Jerowaru relatif berbeda menurut tipe agroekosistem-nya. Rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 cenderung lebih tahan pangan dibandingkan dengan rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1. Tercatat bahwa 32% rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-1 tergolong rawan pangan, sementara hanya 3% saja rumahtangga petani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 yang tergolong rawan pangan.

2. Beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat tani di Kecamatan Jerowaru, baik di daerah dengan agroekosistem tipe-1 maupun di daerah dengan agroekosistem tipe-2. Oleh karena masyarakat tani setempat memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pangan beras sehingga posisinya sulit tergantikan oleh pangan-pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung dan ubi.

3. Konsumsi pangan sumber protein hewani oleh masyarakat tani di Kecamatan Jerowaru masih sangat kurang, baik di daerah dengan agroekosistem tipe-1 maupun di daerah dengan agroekosistem tipe-2. Hal ini tidak semata-mata hanya disebabkan oleh daya beli pangan yang rendah melainkan juga karena pemahaman serta kesadaran untuk mengkonsumsi pangan bernilai gizi tinggi masih sangat kurang.

4. Keberadaan usaha ternak ayam dan/atau ternak kambing yang dikelola oleh sebagian rumahtangga petani sebagai usaha sampingan di daerah dengan agroekosistem tipe-1 dapat meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga petani tersebut. Demikian pula keberadaan usahatani tembakau yang dilakukan oleh petani setelah panen padi di daerah dengan agroekosistem tipe-2 sangat berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan rumah-tangga petani.

5. Ada indikasi terjadinya gejala pergeseran persepsi di kalangan masyarakat tani di daerah dengan agroekosistem tipe-2 dengan segala implikasinya. Bila dahulu usahatani

tembakau yang dilakukan setelah panen padi dinilai sebagai usahatani sampingan, maka kini justeru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu bahwa usahatani tembakau cenderung dinilai sebagai usahatani pokok, sementara usahatani padi dinilai sebagai usahatani sampingan.

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik, disarankan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan berbagai upaya edukasi guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tani di Kecamatan Jerowaru tentang pentingnya konsumsi pangan bernilai gizi tinggi bagi setiap individu.

2. Untuk meningkatkan preferensi masyarakat tani di Kecamatan Jerowaru terhadap pangan sumber karbohidrat selain beras, seperti jagung dan ubi, perlu adanya sentuhan teknologi pangan yang murah-meriah sehingga menyebabkan pangan berbasis jagung dan ubi yang sebelumnya kurang disukai menjadi lebih disukai. 3. Oleh karena keberadaan usaha ternak ayam

dan/atau ternak kambing yang dikelola oleh sebagian rumahtangga petani sebagai usaha sampingan di daerah dengan agroekosistem tipe-1 dan usahatani tembakau yang dilakukan oleh petani setelah panen padi di daerah dengan agroekosistem tipe-2 sangat berperan dalam meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga petani, maka kedua jenis usahatani tersebut perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.

4. Mengingat wilayah desa Pemongkong merupakan daerah lahan kering dengan karakteristik agroekosistem yang didomi-nasi oleh ekosistem ladang yang sangat kurang produktif dan wilayah Desa Sukaraja yang memiliki karakteristik agroekosistem yang didominasi oleh ekosistem sawah yang umumnya beririgasi setengah teknis yang relatif produktif, maka berbagai kebijakan menyangkut upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah-tangga petani, untuk sementara, sebaiknya lebih difokuskan untuk Desa Pemongkong. 5. Untuk mengetahui dampak kurangnya

konsumsi pangan sumber protein pada rumahtangga petani di Kecamatan Jerowaru, terutama pada kelompok high-risk, perlu adanya penelitian lanjutan.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S., 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Lombok Timur, 2008. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka. Handewi, Mewa, A., Purwantini, T.B., 2003.

Distribusi Propinsi di Indonesia menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumahtangga. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Khumaidi, M., 1994. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. PT. BPK Gunung Mulia. Kerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi IPB.

Maxwell, D., Levin C., Klemeseu, M.A., Rull, M., Morris, S., and Aliadeke, C., 2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana, IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for Medical Research and World Health

Organization. Research Report No. 112. washington, D.C.

Raharto, 1999. Ketahanan Pangan Rumahtangga di Perdesaan, Konsep dan Ukuran. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Jakarta. Sediaoetama, A.D., 2000. Ilmu Gizi untuk

Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian Rakyat. Jakarta.

Suhardjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumahtangga Dalam Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumahtangga. Departemen Pertanian-UNICEF.

Syarief, H., 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian IPB. Tanggal 6 September 1997.

Gambar

Tabel 1. Kategori dan Kriteria Ketahanan  Pangan Rumahtangga Model  Jonhsson dan Toole (1991)
Tabel 2. Kategori dan Kriteria Ketahanan  Pangan Rumahtangga Model Pusat  Penelitian Kependudukan LIPI
Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran untuk Pangan  dan Non Pangan pada  Rumahtangga  Petani di Daerah dengan Agroekosistem  Tipe-1
Tabel 6. Distribusi Rumahtangga Petani menurut  Ketahanan Pangan di Daerah dengan  Agroekosistem Tipe-1  Jumlah rumahtangga Derajat ketahanan  pangan  KK  Persentase ( % ) Tahan Pangan   3     6,0  Rentan Pangan  11   22,0  Kurang Pangan   4    8,0  Rawan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian pada 57 responden tentang hubungan kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana melalui pengujian data dengan menggunakan uji

2. Sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup adalah terjadinya keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Jika manusia menggunakan SDA yang ada secara berlebihan maka

1. Uji hipotesis pertama dengan menggunakan analisis paired sampel t-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara trading volume activity

Oleh karena itu, pihak manajemen Perusahaan Konveksi Goldman Kudus dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawannya perlu memperhatikan masalah yang

Sumber pengendapan sedimen di muara umumnya berasal dari lahan tanah di daerah hulu yang telah menyerap 210 Pb unsupported dengan partikel penyusun tanah yang

Bismillahirrohmanirrohim, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

Peserta didik dalam kelompoknya dengan bimbingan guru melakukan pencarian/pengumpulan data dengan referensi buku-buku/sumber lain yang relevan dan dengan browshing

Dengan menggunakan kriteria taraf keberhasilan tindakan, dapat diketahui rata-rata aktivitas siswa dalam pelaksanaan tindakan pada pertemuan 1 berada dalam