OMPU I :
Kajian Ulang Atas Pemakaian Gelar Ephorus HKBP
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister
Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma
Oleh :
ANDREO FERNANDEZ
NIM : 146322012
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ILMU RELIGI DAN BUDAYA
YOGYAKARTA
vi
ABSTRAK
Di dalam Protestantisme, perjuangan gerakan reformasi yang paling terlihat adalah egaliterianisme yang dikembangkan Martin Luther. Hal ini diperlihatkan dengan adanya kesetaraan dalam relasi kuasa, baik dalam hubungan antara sesama kaum imam maupun juga dalam hubungan kaum imam dengan jemaat awam. Namun di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) adanya pemakaian gelar Ompu i kepada pemimpin tertinggi HKBP, Ephorus, mengindikasikan yang berbeda. Fenomenanya adalah bentuk pengkultusan dalam memandang seorang Ephorus yang menyebabkan kepada ketimpangan relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut.
Di dalam suatu organisasi, hal ini akan berdampak kepada suatu organisasi yang tidak sehat, yang dapat memanipulasi wewenang kedudukan pimpinan atau mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Adanya fenomena ini mengindikasikan bahwa gelar Ompu i bukanlah sebatas gelar atau panggilan bagi pemimpin HKBP, melainkan menjadi suatu wacana kepemimpinan yang memiliki dampak bagi hubungan pemimpin dan pengikut.
Dalam studi ini ini maka saya akan menganalisa wacana kepemimpinan Ompu i yang digunakan oleh Ephorus HKBP untuk melihat pengetahuan dari wacana ini, sehingga menimbulkan ketimpangan relasi kuasa. Dengan menggunakan analisa wacana Michel Foucault maka kajian ini akan menggali kepada suatu diskontinuitas historis sebagai bentuk reproduksi kekuasaan, di mana permulaan wacana ini berawal dari misi badan zending RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) yang melakukan pekabaran Injil di Tanah Batak yang kemudian mereproduksi kekuasaan Raja Singamangaraja XII. Sehingga sebagai suatu keakuratan data maka saya menggunakan arsip, Surat Kuliling Immanuel, untuk melihat konstruk yang dilakukan RMG dalam menciptakan kekuasaan sebagai representasi dari suatu karya di zaman tersebut.
Beberapa hal yang terkait dalam menganalisa wacana tersebut dengan melihat pembentukan wacana berdasarkan aturan-aturan dan praktik-praktiknya melalui pembentukan objek-objek terkait, konsep-konsepnya, unsur modalitas, serta strateginya.
vii
ABSTRACT
In Protestantism, the most visible reform movement from Marthin Luther is egalitarianism. That was demonstrated in the equality of power relations, either in the relationship among the priests or in the relation of the priest to the church’s member. But HKBP (Huria Kristen Batak Protestant) showing a different power relation because there is Ompu i’s title which is giving to Ehporus as the Top Leader of HKBP. The phenomenon is a form of cultism to the figure of Ephorus which produce the imbalance of power relations between leaders and followers.
In organization system, it will impact to an organization which is not healthy, that can be manipulate or become abuse of power used by the authority of leadership. This phenomenon indicates that the title of Ompu i is not only a title but becomes a discourse of leadership that has implications for the relationship of leaders and followers.
In this study, I will analyze the discourse of leadership Ompu i Ephorus HKBP to see the knowledge of this discourse, that brought to the causing imbalance of power relations. By using a discourse analysis, Michel Foucault, this study will explore the discontinuity historically as a reproduction of power, where the beginning of this discourse started from the missions of RMG (Rhenish Missionary Society) who do evangelism in Batak land and then reproduce the power of King Singamangaraja XII. So for the accuracy of data, I’m using archives, Surat Kuliling Immanuel, to see the construction which is made by RMG had created authority (power) as a representation of a work in that era.
Some things which are involved in analysed in this discourse: by looking at the formation of discourse based on the rules and practices through the establishment of related objects, concepts, elements of modalities and strategies.
viii
Kata Pengantar
Suatu kesempatan berharga yang penulis rasakan ketika dalam suatu
kesempatan waktu, yakni penulisan tesis, saya memilih untuk mengkaji ulang
wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus dalam masyarakat Batak yang notabene
sangat dekat dan ramah dengan saya. Awalnya, wacana ini hanyalah kegelisahan
saya yang melihat dan merasakan secara langsung besarnya pengaruh yang
ditimbulkan oleh Ompu i Ephorus HKBP tanpa berusaha ingin mengkaji dan
menyelidiki lebih dalam. Mungkin bagi saya awalnya dan beberapa kalangan
Pendeta wacana ini cukup hanyalah berada di dalam “brangkas” tanpa perlu dibuka.
Atau bahkan bagi yang merasa tidak tergugah, maka wacana ini tersusun rapi yang
hanya sekedar penggunaan adat dan budaya masyarakat Batak. Namun demikian
seiring perubahan waktu, tidak ada suatu kebanggaan dari saya, selain ketergugahan
dalam membaca Michel Foucault untuk mengkaji wacana ini; melihat data-data
kolonial dengan mengkajinya dari bawah; melihat objek-objek, konsep-konsep,
strategi dan modalitas terkait dalam pembentukan wacana.
Saya percaya bahwa selesainya kajian ini kiranya dapat berguna dan
membantu bagi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) secara khusus dan
gereja-gereja pada umumnya untuk menoleh kebelakang, melihat yang lampau dan
ix
sebenarnya, pertama, di lingkup gereja sendiri masih ada yang wacana-wacana
yang justru menimbulkan ketimpangan dalam relasi kuasa, sehingga disadari atau
tidak, wacana tersebut telah membawa sikap superior dan inferior. Kedua, sebagai
sumbangan ataupun saran agar gereja mau memikirkan ulang misiologinya yang
tidak menimbulkan sikap arogansi atau superioritas dalam diri gereja. Kedua saran
ini sebagai suatu kritik yang membangun agar gereja selalu membaharui dirinya,
seperti yang Martin Luther katakan sebagai: “Ecclesia Semper Reformanda.”
Bagi saya selesainya karya ilmiah ini merupakan suatu karunia dari Allah
Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus yang selalu setia mendampingi dan
memberikan berkatnya kepada saya. Ia jugalah yang telah memberikan semangat
kepada penulis melalui senyuman, tawa, canda, doa, tangis melalui kehadiran
anak-anak yang saya cintai, yakni Cinta Aveshemma Rajagukguk dan Cordelia vin
Alyosha Rajagukguk, serta isteri tersayang yang selalu mendukung dan
memberikan semangat kepada saya, Pdt. Lidya Theresia Butarbutar.
Banyak pergumulan saya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, namun
semuanya dapat terselesaikan karena campur tangan Tuhan yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis melalui dosen-dosen IRB, sehingga tak lupa hanya
seuntaian kata terima kasih yang dapat saya berikan kepada mereka, yakni: Dr.
Katrin Bandel dan Dr. Budi Susanto, S.J. yang telah membaca dan menjadi
pembimbing pertama dan kedua. Demikian juga Dr. St. Sunardi yang mengenalkan
x
digunakan oleh Michel Foucault. Tak ketinggalan juga kepada Prof. Dr.
Supratiknya, Dr. Budi Subanar, S.J., Dr. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. Tri Subagya,
Dr. Ita Yulianto yang telah memberikan masukan-masukan berharga.
Selain dilingkungan dosen-dosen IRB maka ada juga para ahli dan dosen
yang membantu penulis dalam memberikan masukan yang berharga, yakni Dr. Uli
Kozok yang membantu penulis melihat lebih jauh mengenai RMG dan juga kajian
misionaris linguistic. Demikian juga Manguji Nababan yang membantu dalam
melihat Sastra Batak, serta menjadi bank arsip dari tesis ini. Tanpanya, mungkin
tiada arsip yang didapatkan. Dan juga Monang Naipospos yang membantu dalam
melihat agama Parmalim. Tanpa mereka semua maka penulis akan mengalami
kesusahan dalam penyusunan tesis ini. Maka dari itu penulis mengucapkan
terimakasih banyak kepada mereka semua.
Tuhan juga memberikan teman-teman seangkatan kepada saya yang selalu
memberikan masukan, semangat, hiburan, dalam menyelesaikan tesis ini, yakni
IRB angkatan 2014, khususnya kepada Heri, Nucholis, Ajay, Ben, Riston, Linda,
Abet, Franz, Pinto, Wisnu dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan namanya
satu persatu. Sejajar dengan itu juga dilingkungan rumah/kos, penulis banyak
terima kasih kepada Bung Yan yang juga memberikan masukan berharga. Tidak
ada yang bisa saya berikan selain hanya doa dan ucapan terima kasih kepada mereka
xi
Akhir kata, kajian ilmiah ini saya persembahkan kepada orang tua saya, Drs.
Marhujogo Rajagukguk dan HNE Hutabarat yang telah meninggalkan jejak kepada
saya. Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada kaum intelektual,
khususnya yang membahas mengenai budaya Batak, sehingga dapat memperkaya
kajian-kajian mengenai budaya Batak. Terima Kasih. Tuhan memberkati.
xii
Daftar Isi
LEMBAR JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tema 10
C. Rumusan Masalah 10
D. Tujuan Penelitian 11
E. Pentingnya Penelitian 11
F. Tinjauan Pustaka 12
xiii
H. Metode Pengumpulan Data 27
I. Skema Penulisan 28
BAB II MERAJUT GAGASAN OMPU I
A. Pandangan Umum 32
B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat 39
C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja 44
D. Raja Singamangaraja dan Sahala Kepemimpinan 72
E. Kesimpulan 77
BAB III WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
A. Kesatuan Badan Zending dan Kolonialisme 81
B. Kolonialisme dan Misi Pengadaban 97
C. Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan 119
D. Kesimpulan 141
BAB IV ANALISA WACANA: ATURAN DAN PRAKTIK
KEPEMIMPINAN OMPU I
A. Identifikasi Arsip 145
B. Pengetahuan dalam Wacana Kepemimpinan Ompu i 150
C. Praktik Wacana Ompu i: Sejarah “Kelam” Pekabaran Injil
di Tanah Batak (Perang Toba I) 176
D. Kesimpulan 179
BAB V PENUTUP: RELASI KUASA DALAM WACANA
xiv
LAMPIRAN 201
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam tradisi Kekristenan (baca: Protestan) terdapat 3 (tiga) sistem
organisasi gereja sejak reformasi abad pertengahan, yakni Konggregasional,
Episkopal dan Presbiterial Sinodal.1 Sistem Konggregasional menekankan pada
konggregasi atau perkumpulan jemaat-jemaat sebagai sistem organisasi gereja.
Sistem Episkopal merupakan sistem organisasi yang bersifat hirarki atau top-down
yang menaungi gereja-gereja dan konggregasi, sedangkan Presbiterial Sinodal
merupakan kebalikan dari sistem Episkopal yang juga menekankan sistem
organisasi namun berbasis kepada jemaat atau bottom-up.
HKBP atau Huria Kristen Batak Protestan menggunakan sistem Episkopal
dengan menempatkan Ephorus2 sebagai pemimpin tertinggi. Kedudukan Ephorus
berada di depan (primus inter pares) dari pimpinan lainnya (Sekretaris Jenderal,
Kepala Departemen Koinonia, Marturia dan Diakonia), serta di atas konggregasi
(baca: distrik) dan jemaat. Menurut Aturan Peratuan HKBP 2002, Ephorus
1 Dalam Protestantisme, ketiga bentuk organisasi ini haruslah dipahami dalam bentuk
pemahaman gereja lokal sebagai pengorganisir wilayahnya, sesuatu yang sangat berbeda dengan
pemahaman Katolik. (lih. Christopher Ocker, “Ecclesiology and The Religious Controversy of The
Sixteenth Century” dalam Gerard Mannion, cs. (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church (New York: Routledge, 2008), hl. 74-75
2 Istilah Ephorus berawal dari ”Overseer”, yang berarti: ”pengawas.” Pada awalnya
Ompu i |2
memiliki kuasa yang sangat besar di dalam sistem organisasi Episkopal yang
digunakan oleh HKBP.3 Itu artinya, Jabatan Ephorus menaungi 30 distrik dan 3.533
jemaat HKBP yang terdiri 743 Ressort4, 15 Persiapan Ressort dan 3.275 jemaat,
109 Persiapan Jemaat (Parmingguon) dan 150 Pos Pelayanan yang menyebar di
seluruh dunia termasuk wilayah luar negeri, yakni Amerika Serikat (California,
New York, Colorado, dan Fontana).5
Namun dari sistem organisasi yang digunakan oleh HKBP, saya melihat,
ada yang menarik dari jabatan Ephorus HKBP, yakni penyebutan Ephorus sebagai
Ompu i. Penyebutan ini sering diucapkan oleh jemaat ataupun para kaum imam di
HKBP, walaupun para kaum imam cenderung lebih dominan menggunakannya.
Penyebutan ini tidak tercantum di dalam Aturan Peratuan HKBP, bahkan di dalam
eklesiologi (ilmu tentang gereja) tidak ada satu gelar atau jabatan gerejawi untuk
istilah Ompu i.
Saya melihat bahwa penyebutan ini bukanlah suatu panggilan yang bersifat
sapaan sehari-hari, melainkan menjadi sapaan resmi, mengingat sapaan tersebut
turut ditampilkan di media-media HKBP. Misalnya saja situs resmi HKBP yang
menampilkan sapaan tersebut.6 Demikian juga dengan Majalah Surat Parsaoran
(SP) Immanuel milik HKBP yang menampilkan sapaan tersebut: “…Menurut
penuturan Ompu i Ephorus, ada keunikan dari bapak rendah hati ini dalam
3 Bentuk kuasa Ephorus dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, misalnya: pemutasian para
kaum imam dari tingkat jemaat hingga distrik, rapat-rapat penting di HKBP, dll.
4 Distrik adalah Kumpulan dari Ressort, sedangkan Ressort adalah kumpulan dari berbagai
jemaat, Pos Pelayanan, Parmingguon.
5 Berdasarkan Almanak HKBP 2017.
6 Lih.
Ompu i |3
mendidik anak-anaknya untuk tetap rendah hati…”7 Dari contoh-contoh tersebut
sangat jelas bahwa para kaum imam (Pendeta, Guru Huria, Bibelvrouw dan
Diakones) atau pengerja di HKBP sendiri secara sengaja dan sepakat menggunakan
sapaan Ompu i ini. Hal ini menandakan bentuk pengkondisian terhadap jemaat
perihal menciptakan proyeksi yang sama dalam memandang Ephorus HKBP.
Namun selain dari media-media milik HKBP, beberapa media lokal di
Sumatera Utara turut juga menampilkan sebutan Ephorus ini. Salah satunya adalah
harian Suara Indonesia Baru (SIB) yang merupakan media sekuler untuk konsumsi
publik milik Keluarga Besar almarhum Jend. (Purn) M. Panggabean: “Dalam
khotbahnya Ompu i Ephorus HKBP mengatakan…”8 Dan masih ada lagi beberapa media publik yang menyebut Ephorus sebagai Ompu i. Namun yang pasti gelar ini
bagi masyarakat Batak pada umumnya dan jemaat HKBP secara khusus adalah
sesuatu yang common sense.
Di HKBP, pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus menambah kuasa
dalam jabatan Ephorus HKBP. Jurang hirarki semakin tampak melebihi kapasitas
dari sistem organisasi. Hal ini terlihat dari pola perilaku para pengikut kepada
Ephorus HKBP. Dari pengalaman saya, paling tidak hal ini sangat terasa dalam
beberapa hubungan atau relasi kuasa, yakni pertama, hubungan antara Ephorus
dengan para kaum imam (Pendeta, Bibelvrouw, Guru Huria dan Diakones) dan
kedua hubungan Ephorus dengan jemaat atau kaum awam. 9
7 Surat Parsaoran Immanuel HKBP edisi No. 9 September 2015 Tahun ke-125, hl. 21. 8 Di ambil dari http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=23590. Di akses pada 24
Oktober 2015.
9 Dari pengalaman saya, bentuk perilaku pengikut kepada Ompu i Ephorus misalnya
Ompu i |4
Penggunaan gelar ini menurut saya melebihi kapasitas dari seorang
pemimpin gereja, terlebih bila disandingkan dengan tradisi Protestantisme yang
mengedepankan egaliterianisme dan bukan dalam mengkultuskan sesosok manusia,
bahkan Ephorus sekalipun.10 Apa yang saya alami, juga dirasakan Prihatiar Kristy
Sari yang merupakan salah seorang warga jemaat HKBP. Bahkan ia secara
terang-terangan menyebutkan di laman grup Facebook Ruas Ni HKBP Masihaholongan,
salah satu media komunikasi yang membahas tentang HKBP, bahwa penyambutan
kedatangan Ompu i Ephorus HKBP melebihi penyambutan Yesus Kristus. (gambar
1).11
Gambar 1
Contoh lainnya diluar dari konteks HKBP adalah terlihat dengan adanya sikap para pengikut untuk berlomba-lomba mengundang Ompu i Ephorus untuk memimpin atau sekedar hadir dalam acara atau kegiatan tertentu, misalnya, acara ulang tahun perusahaan, perkumpulan marga, pesta pernikahan, dsb. Contoh lainnya yang saya jumpai adalah keantusiasan masyarakat atau polisi dalam melambaikan tangan ketika mobil Ephorus melintasi jalan di sepanjang jalan Tarutung-Medan. Gaung akan kuasa Ompu i sangatlah terasa di wilayah Sumatera Utara, khususnya bagi masyarakat Batak.
10 Peristiwa Reformasi di tubuh Katolik yang dilakukan oleh Martin Luther ditandai dengan
munculnya egaliterianisme dalam Kekristenan dengan mengkritik otoritas gereja diberbagai bidang, misalnya bentuk desentralisasi penafsiran biblis dengan menjadikan gerakan demokratisasi religious, dsb.
11 Status ini merupakan komentar balasan atas status yang diberikan oleh Antoni Simbolon
[image:18.595.88.509.245.583.2]Ompu i |5
Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP adalah bentuk
pengkultusan kepada sosok pemimpin (hierophany), di mana hal ini menandakan
ada kapasitas yang lebih dari seorang pemimpin gereja atau jabatan gerejawi,
sehingga pengkultusan tersebut mempengaruhi pola kepemimpinan di HKBP,
yakni dengan menjadikan pengikut yang selalu setia dengan pemimpinnya, seperti
halnya yang digambarkan oleh Prihatiar Kristy Sari.12
Memang bentuk pengkultusan bagi sesosok pimpinan adalah selayaknya
ideologi yang digunakan oleh HKBP dalam menyapa para pengikut seperti yang
dijelaskan Althusser mengenai sifat ideologi sebagai interpelasi.13 Artinya, ketika
HKBP menggunakan gelar tersebut, maka ideologi tersebut menyapa para
pengikutnya, sehingga memberikan suatu kepatuhan yang tidak dapat
dipertanyakan lagi oleh para pengikutnya. Karena ideologi tersebut menggunakan
bahasa Batak-Toba maka efek yang ditimbulkannya tidak sekedar pada organisasi
di tingkat elite belaka melainkan menjadi embedded di dalamnya dan
mempengaruhi hubungan pemimpin hingga kepada pengikutnya atau jemaat yang
juga orang Batak.
Kepatuhan ini, tanpa disadari, dapat menimbulkan efek negatif bagi para
pengikut atau juga bagi HKBP sendiri berupa penindasan dan manipulasi kepada
para pengikut, atau dengan kata lain, berpotensi akan penyalahgunaan wewenang
12 Selain Prihatiar Kristy Sari sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang
melihat gelar Ompu i tersebut sebagai bentuk pengkultusan, baik yang saya dengar atau pun yang saya lihat. Bahkan hal ini tidak hanya berlaku kepada jemaat atau kaum awam, melainkan juga para kaum imam pun, seperti yang saya lihat, telah mengkultuskan Ompu i Ephorus melalui sikap dan tingkahlakunya kepada pemimpin.
13Louis Althusser, “Ideology and Ideological State Apparatuses” dalam Slavoj Zizek (ed.),
Ompu i |6
(abuse of power). Hal ini juga seperti yang diutarakan Edgar H. Schein, seorang
ahli manajemen organisasi:
“When one brings culture to the level of the organization and even down to groups within the organization, one can see clearly how culture is created, embedded, evolved, and ultimately manipulated, and, at the same time, how culture constrains, stabilizes, and provides structure and meaning to the group members. These dynamic processes of culture creation and management are the essence of leadership and make one realize that leadership and culture are two sides of the same coin.”14
Dengan dampak tersebut, maka gelar ini tidak sekedar panggilan melainkan
sebuah konsep yang memiliki maknanya tersendiri. Bahkan ditengah-tengah jemaat
HKBP, gelar tersebut menimbulkan polemik. Seperti yang saya jumpai, baik di
kehidupan sehari-hari dan juga di media sosial, cukup banyak jemaat HKBP yang
menanyakan dan menolak gelar tersebut, sehingga dari sini timbullah pertanyaan:
dari manakah gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP ini sebenarnya berasal?
Pengetahuan apa yang membuat pengikut sendiri menjadi patuh atau, sebaliknya,
menolak gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP? Pertanyaan-pertanyaan ini berusaha
untuk melihat mundur kebelakang tentang bagaimana kuasa dari gelar Ompu i dapat
hadir di HKBP. Pemikiran Michel Foucault dapat membantu menelusuri hadirnya
kuasa dari gelar Ompu i bagi Ephorus HKBP tersebut.
Menurut Michel Foucault setiap kuasa (power) dapat hadir melalui wacana
atau discourse.15 Artinya, ada suatu ketidaksadaran yang mempengaruhi perilaku
pengikut dalam bentuk reka-bayang. Ompu i adalah common sense yang hadir
dalam bentuk wacana kepemimpinan bagi masyarakat Batak. Ketika studi ini ingin
14 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (San Fransisco: Jossey-Bass,
2004), hl. 1
Ompu i |7
melihat ke belakang dalam membongkar (analisis) wacana Ompu i yang digunakan
oleh HKBP, maka legitimasi-legitimasi yang hadir dalam wacana tersebut dalam
mempengaruhi para pengikut perlu dipertanyakan. Pemikiran Foucault ini
sangatlah berbeda dengan Althusser. Althusser melihat kuasa berasal dari “atas”,
sedangkan Foucault melihat kuasa dari “bawah” yakni dengan mencoba melihat
relasi kuasa yang membentuk pengetahuan (episteme) sehingga pengetahuan itu
melahirkan kuasa kembali.16 Artinya, ketika HKBP menggunakan gelar Ompu i
maka perlu untuk melihat kebelakang bagaimana gelar tersebut muncul dan
didapatkan sehingga dapat mempengaruhi para pengikut.
Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP merupakan warisan tradisi
yang telah dipakai semenjak Ephorus pertama HKBP, yakni Dr. I.L. Nommensen17
yang merupakan salah seorang misionaris dari badan zending RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) asal Jerman. Buku karya Jonathan T. Nommensen18 yang
berisi tentang pengalaman Nommensen saat menyebarkan Injil di Tanah Batak
seolah mengesahkan pemakaian gelar ini dengan memberikan judul pada cover
bukunya sebagai Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Bahkan dalam buku
16Sara Mills melihat kuasa Foucault dari “bawah ke atas” untuk mendeskripsikan relasi
kuasa. Bagi Sara Mills Foucault sangat berbeda dengan Alhutser yang justru sebaliknya melihat kuasa dari atas ke bawah, dimana Negara (state) menindas individu-individu. Lih. Ibid., hl. 34.
17 Pemanggilan Ompu i kepada Nommensen merupakan pemberian dari para pengikut. TB
Simatupang melihat pemanggilan ini dilakukan secara spontan karena tidak ada lagi penyebutan yang lain. Lih. Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36.
18 Dalam buku ini dicatat mengenai seorang tamu yang memanggil Nommensen dengan
Ompu i |8
tersebut dikatakan bahwa Nommensen diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat
Batak.19
Menurut Bonar Sidjabat, istilah ompu i ini sendiri sebenarnya sangat umum
digunakan di daerah Tapanuli Selatan kepada orang-orang yang usia lanjut dan
dianggap dapat dituakan. Namun menurutnya, istilah Ompu i ini sangat berbeda
dengan gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen. Sidjabat membedakan
gelar Ompu i yang digunakan Nommensen dengan huruf “O” besar untuk Ompu i
yang berbeda dengan ompu i dengan huruf “o” kecil.20
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memiliki keistimewaan
tersendiri. Ia menjadi orang non-pribumi, sekaligus orang Kristen pertama yang
menerima gelar Ompu i dari masyarakat Batak (pengikut).21 HKBP yang hanya
melanjutkan tongkat estafet dari pemakaian gelar tersebut membuat setiap Ephorus
terpilih secara otomatis turut juga disapa sebagai Ompu i.22 Paling tidak, semenjak
HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861, HKBP telah memiliki empat belas Ephorus,
yang semuanya disapa sebagai Ompu i.23 Memang tidak ada yang tahu mengenai
19 Ibid., hl. 192.
20 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
431.
21 Dari pengalaman saya, banyak saya jumpai di media sosial maupun di pergaulan
sehari-hari ketidaksetujuan terhadap HKBP yang menggunakan atau melanjutkan tradisi gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP dengan maksud bahwa gelar tersebut cukuplah hanya pada Dr. I.L Nommensen.
22 Pemakaian gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP tidak lepas dari klaim (pengakuan)
HKBP atas sejarah lahirnya HKBP yang bermula dari pekerjaan zending RMG di Tanah Batak, yakni 7 Oktober 1861. Penentuan tanggal lahir tersebut menandakan adanya kesinambungan antara zaman misionaris hingga kemandirian HKBP pada 1940 ketika Pdt Kasianus Sirait menjabat sebagai Ephorus pribumi pertama. Lih. Dr. J. Sihombing, Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestant (Medan: Philemon & Liberty), hl. 18.
23 Sesuai dengan Almanak HKBP yang diterbitkan oleh Kantor Pusat HKBP bahwa
(1974-Ompu i |9
kapan dan apa maksud dari pemberian gelar tersebut kepada Nommensen. Namun
demikian gelar tersebut justru menimbulkan relasi kuasa dalam hubungan
pemimpin dan pengikut yang berdampak hingga saat ini melalui gelar Ompu i yang
digunakan oleh Ephorus.
Dalam studi ini, saya akan melihat bagaimana pembentukan wacana Ompu
i Ephorus HKBP tercipta dengan meneliti pada masa misionaris atau ketika
Nommensen pertama kali mendapatkan gelar tersebut, atau dengan kata lain,
bagaimana kuasa direproduksi, sehingga Nommensen memperoleh gelar Ompu i
yang sebelumnya gelar tersebut merupakan produk budaya Batak Toba? Hal ini
juga sekaligus menjadi batasan penelitian saya, yakni pada masa Nommensen
mengabarkan Injil di Tanah Batak atau sebelum tahun 1918.
Memang relasi kuasa antara pemimpin dan pengikut, atau hubungan Ephorus dengan pengikut memiliki sejarah yang panjang, baik ketika di dalam hubungannya dengan politik nasional atau masalah internal di tubuh HKBP sendiri, misalnya perpecahan gereja, pemisahan gereja, dsb, sebagai suatu reproduksi kekuasaan dalam setiap periode tertentu, tetapi dalam penelitian ini saya tidak bermaksud untuk membahas secara historis kronologis. Dengan metode genealogis, maka saya memfokuskan kepada periode awal mula terbentuknya wacana Ompu i Ephorus HKBP, yakni pada masa Nommensen, sehingga gelar Ompu i dapat dikenakan kepada Ephorus HKBP. Dengan demikian penelitian ini ingin melihat struktur-struktur pembentukan wacana di dalam
Ompu i |10
aturan dan praktik-praktik tentang bagaimana pengetahuan tersebut tercipta
(genealogis) yang memunculkan ketimpangan relasi kuasa i dalam gelar Ompu i
Ephorus. 24
B.
Tema
Tema dalam studi ini adalah relasi kuasa atas gelar Ompu i di dalam jabatan
kepemimpinan Ephorus HKBP yang turut mempengaruhi dan membentuk pola
ketimpangan dalam hubungan pemimpin dan pengikut.
C.
Rumusan Masalah
Pertanyaan-pertanyaan tentang studi ini, yakni
1.
Bagaimana genealogi wacana kepemimpinan Ompu i Ephorus HKBP?2. Pengetahuan apa yang ada di dalam gelar Ompu i Ephorus HKBP, sehingga
mengakibatkan pengkultusan?
3. Relasi kuasa macam apa yang hadir lewat gelar Ompu i Ephorus HKBP?
24 Dalam melihat relasi kuasa, maka Michel Foucault tidak melihat relasi kuasa dibentuk
Ompu i |11
D.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini akan bertujuan untuk:
1. Melihat dan mendeskripsikan bagaimana pembentukan kuasa dalam gelar
Ompu i Ephorus HKBP pada masa Nommensen dengan memenggunakan
genealogi.
2. Menguraikan bagaimana reproduksi kekuasaan di dalam terbentuknya gelar
Ompu i Ephorus HKBP dengan melihat strategi dan mekanisme kuasa yang
dilakukan oleh badan zending RMG.
3. Melihat bagaimana relasi kuasa yang ada di dalam gelar Ompu i bagi
Ephorus HKBP pada masa kini.
E.
Pentingnya Penelitian
Bagi saya yang mengkaji studi ini maka pentingnya penelitian ini untuk:
1. Memberikan sumbangsih pemikiran atau diskursus atas sosok pemimpin
yang dianggap ideal bagi masyarakat batak melalui penggalian (baca:
genealogi) akan kuasa Ompu i.
2. Memberikan sumbangsih pemikiran kepada HKBP tentang relasi kuasa dari
gelar Ompu i serta implikasi dari pemakaian gelar Ompu i bagi Ephorus.
3. Memberikan wacana baru atas pemakaian teori genealogi Michel Foucault
Ompu i |12
F.
Tinjauan Pustaka
Sangat banyak buku-buku yang membahas tentang sejarah Batak. Namun
saya melihat tidak ada yang secara spesifik membahas tentang suatu konsep dalam
melihat permasalahan di sejarah Batak. Dalam studi ini saya berfokus pada konsep
tentang Ompu i sebagai suatu kuasa kepemimpinan dalam masyarakat Batak, yakni
dalam hubungan pemimpin dan pengikut, sehingga dalam melihat tema dalam
buku-buku, maka saya merasa perlu untuk memilah-milah pustaka dalam menentukan
bagian-bagian yang saya anggap perlu. Ada beberapa pokok yang perlu
mendapatkan perhatian dalam bagian tersebut, diantaranya:
Pertama, tentang gelar Ompu i sendiri sebagai gambaran umum tentang
kuasa dalam doktrin religiositas masyarakat Batak tradisional dan yang dikenakan
oleh Singamangaraja.25 Pada bagian ini, saya melihat bahwa buku Pemerintahan
(Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba karya Ulber Silalahi
(2014) menjadi buku pegangan saya dalam melihat sistem kesatuan dalam
masyarakat Batak tradisional. Dalam buku tersebut Silalahi berusaha melihat
bagaimana kondisi masyarakat di tanah Batak sebelum adanya Singamangaraja. Ia
melihat bahwa masyarakat tanah Batak dipimpin oleh Raja dengan sistem bius.
Sistem ini dapat disebut sebagai sistem kerajaan masyarakat. Misalnya Kerajaan
bius Toba yang berarti suatu kerajaan atau sekelompok manusia yang memiliki
sebidang tanah di Toba, bius Silindung, bius Patane Bolon dan bius Samosir.
25 Dalam bagian ini saya hanya mengambil pemahaman umum mengenai kuasa
Ompu i |13
Munculnya Singamangaraja mengganti sistem pemerintahan bius dimana raja-raja
bius menjadi wakil dari Singamangaraja. Kekuasaan Singamangaraja terlihat dalam
penguasaan wilayah dengan mengganti sistem raja bius menjadi Raja Naopat (yang
empat) untuk menjangkau wilayah dari bius tersebut. Silalahi juga melihat bahwa
dalam menjalankan sistem pemerintahan tersebut maka Raja Singamangaraja
bersama dengan Raja Naopat beserta raja huta saling bekerjasama di setiap wilayah
bius. Penguasaan terhadap raja-raja bius ini semakin menampakkan kekuasaan Raja
Singamangaraja.
Berbeda dengan Silalahi, karya Sitor Situmorang yang juga menjadi
pegangan bagi saya, menampilkan sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII
hingga XX dengan lebih melihat dari sumber internal, yakni berasal dari
cerita-cerita leluhur Situmorang atau keluarganya. Dalam bukunya yang berjudul Toba
Na Sae, Sitor mencoba menggali lebih dalam sistem lembaga yang menaungi
bius-bius, yakni bius Bangkara di mana Singamangaraja menjadi Rajanya. Ada
keistimewaan dari bius Bangkara di mana Sitor menyebutnya sebagai bius
paguyuban yang memiliki otonomi penuh berbeda dengan bius-bius lainnya.
Dikatakan demikian dikarenakan bius Bangkara memiliki Dewan Bius (sebanyak 6
orang) yang didampingi Organisasi Parbaringin (penyelenggara kalender
pertanian).26 Sistem ini yang diangkat oleh Sitor sebagai suatu lembaga politik
dalam sistem masyarakat Batak. Mitos-mitos yang berkembang dalam sejarah
tentang kehadiran Singamangaraja diangkat untuk menguatkan lembaga tersebut
26 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Pada Abad XIII-XX
Ompu i |14
dalam menaungi bius-bius yang lain. Mulai dari silsilah atau asal usul Raja Batak
hingga tondi sahala atau kharisma yang dimiliki Singamangaraja.
Dalam kaitannya dengan sistem lembaga ini, Sitor mencoba menjelaskan
lembaga tersebut bukan hanya sebagai mengatur sistem sosial dan politik belaka
tetapi juga sistem agama tradisional dalam masyarakat Batak. Tampaknya Sitor
sangat konsisten dalam melihat sistem lembaga ini mengalami pasang surut di
dalam perjalanan sejarahnya, serta selalu menyorot sistem lembaga tersebut di
dalam hubungan atau mempertahankan wilayah geografisnya dari pihak asing.
Paling tidak buku Sitor ini memandang sejarah dalam sudut pandang dari kacamata
pribumi. Namun bagi saya kelemahan buku ini adalah pertama, ketika Sitor sendiri
tidak memberikan perbandingan dari sudut pandang luar. Ketika sejarah yang
dihadirkan pada lingkup lembaga sosial, yakni bius Bangkara maka kecenderungan
yang terjadi Sitor terjebak dalam etnografis yang bercerita dari kesaksiannya tanpa
mencoba membandingkan data-data sejarah yang lain. Kedua yang menjadi sorotan
saya adalah dalam buku tersebut tidak dilengkapi referensi kutipan sumber. Hal ini
menandakan bahwa di dalam bukunya, Sitor banyak menyorot dari lingkup marga
Situmorang, yang adalah merupakan garis keturunan marganya. Dan sesuatu yang
sangat disayangkan pula bahwa Sitor tidak menyertakan sumber itu berasal
walaupun sumber tersebut merupakan cerita yang bersifat turun temurun. Namun
bagi saya buku ini dapat menjadi sumber pembanding dalam melihat
sumber-sumber lainnya.
Kedua adalah peralihan kekuasaan dari Singamangaraja XII ke Nommensen
Ompu i |15
antara Nommensen dengan Singamangaraja XII. Namun wacana tersebut berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dalam sudut pandang historisnya dengan
mengabaikan data-data yang dianggap sebagai kebenaran yang valid. Dengan
banyaknya wacana tersebut maka saya merasa perlu lebih selektif dalam melihat
buku-buku tersebut.
Untuk bagian ini saya melihat buku Telah Kudengar dari Ayahku:
Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (1978), karangan Lothar
Schreiner, seorang pendeta, dapat digunakan untuk melihat strategi yang diterapkan
RMG dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak. Pada masa Raja
Singamangaraja XII telah muncul ketidakpercayaan masyarakat Batak kepada Raja
Singamangaraja XII sehingga wilayah kekuasaannya tampak semakin samar,
terlebih di wilayah Silindung akibat dari perang Padri (1820-an). Dan hal ini
semakin diperjelas setelah masuknya misionaris ke wilayah Silindung seturut
dengan banyaknya masyarakat Batak di Silindung yang masuk ke agama Kristen.
Buku, Lothar Schreiner ini sangat mencermati dan bersikap netral dalam melihat
dasar-dasar pertama Kekristenan di lembah Silindung, di sebelah selatan danau
Toba pada tahun 1861-1881.27 Misalkan saja dalam buku ini diterangkan
bagaimana RMG sendiri menggunakan sistem struktur sosial masyarakat yang
berdasarkan Dalihan Na Tolu dalam mendirikan gereja-gereja, yang diikuti dengan
pendekatan terhadap raja-raja Batak.
27 Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen
Ompu i |16
Selain Schreiner, maka saya juga menaruh harapan besar kepada buku Uli
Kozok, seorang peneliti budaya, bahasa dan sastra Batak, yang saya anggap
memiliki data-data yang akurat. Uli Kozok dalam bukunya Utusan Damai Di
Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba (2010) mengkaji wacana
tersebut dengan data-data yang saya anggap valid, yakni data dari badan misi RMG
Jerman tanpa mengabaikan data-data lokal, yang berasal dari tanah Batak sendiri.
Dari data-data tersebut maka buku Uli Kozok ini lebih menyorot peran zending
RMG di dalam menjalankan misinya di masyarakat Batak. Mulai dari latar
belakang badan zending RMG dan juga situasi politik yang mempengaruhi RMG
di Jerman serta praktek zending di tanah Batak. Yang menarik dari buku Uli Kozok
ini, Nommensen yang dianggap rasul oleh orang Batak justru condong kepada
pihak Belanda dalam membantu penangkapan Singamangaraja XII. Bukti-bukti
kongkret mengenai hal ini dibuktikan mulai dari surat Nommensen kepada Pihak
Belanda untuk menangkap Singamangaraja XII hingga alasan logis dalam
membantu pihak Belanda, misal berupa gaji bulanan Nommensen dan misionaris
lainnya, dsb.
Uli Kozok sendiri dalam bukunya juga mengkritik buku Dr. W.B. Sidjabat,
Ahu Si Singamangaraja, yang dianggapnya mendamaikan kedua tokoh sentral di
sejarah Tanah Batak, yakni Dr. I. L Nommensen dan Raja Si Singamangaraja XII
tanpa ada konflik kepentingan. Namun demikian menarik melihat dan
membandingkan kedua buku tersebut yang pada dasarnya, menurut penilaian saya,
memiliki keakuratan dalam data-data walaupun berbeda kepentingan. Buku
Ompu i |17
Singamangaraja melekat dan mengakar di tanah Batak. Walaupun di bagian
tertentu, yakni dalam hubungannya dengan Nommensen, saya tidak
menggunakannya dengan alasan adanya “pendamaian” antara Nommensen dengan
Raja Singamangaraja XII yang justru bertentangan dengan temuan atau analisis dari
Uli Kozok.
G.
Kerangka Teori
Untuk menjawab studi ini maka saya akan memakai teori Michel Foucault
sebagai analisis wacana untuk melihat wacana kepemimpinan Ompu i yang
dikenakan oleh Ephorus HKBP. Buku-buku Michel Foucault seperti misalnya The
Archaeology of Knowledge (1969), The History of Sexuality I (1976), atau
kumpulan tulisan dan hasil wawancaranya menjadi sumber utama saya dalam
menjabarkan teori Foucault. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
saya juga menggunakan pandangan orang lain dalam melihat teori Michel Foucault
ini, dalam hal ini, saya mengedepankan pandangan Norman Fairclough yang telah
mendefinisikan dan menjabarkan secara rinci mengenai teori pembentukan wacana
Michel Foucault dalam bukunya yang berjudul Discourse and Social Change (1992).
Dalam teorinya ini Foucault telah memberikan sumbangsih yang cukup
besar bagi ilmu-ilmu sosial dalam melihat wacana sosial. Sasarannya adalah untuk
melihat adanya ketidakadilan, ketimpangan, penindasan ataupun masalah sosial
lainnya. Di sini saya akan mencoba memaparkan teori Foucault yang berhubungan
Ompu i |18
Kuasa (Power)
Saya akan memulainya dari pemikiran Michel Foucault tentang power atau
kuasa. Kuasa menurut Foucault sangat berbeda dengan Althusser yang melihat
kuasa seperti layaknya institusi yang berusaha mengintimidasi manusia. Ia juga
menolak pandangan Freud tentang sifat kuasa yang merepresi sehingga seolah-olah
tidak ada anggapan akan individu-individu yang menolak. Bagi Foucault, institusi
tersebut hanyalah kumpulan manusia. Foucault memandang bahwa kuasa itu adalah
pengetahuan, sedangkan individu-individu manusia adalah kendaraan kuasa itu
sendiri. Untuk memahami pengertian kuasa dalam Foucault maka ada baiknya
memahami dua poin berikut ini, yakni: Pertama, kuasa dikonseptualisasikan
sebagai rantai atau jaringan/relasi bahwa sistem relasi tersebut berhubungan ke
seluruh masyarakat. Kedua, individu tidak dilihat hanya sebagai penerima kuasa
melainkan sebagai “tempat” di mana kekuasaan juga dapat ditolak.28 Dari
pengertian ini maka peran individu tidak selalu menjadi objek bagi kuasa itu sendiri
tetapi turut berperan dalam menentukan pilihan, sehingga menurut Foucault
kekuasaan tidak lain hanyalah sebuah strategi yang dapat terjadi di mana-mana
yang di dalamnya memiliki sistem, regulasi, aturan, dsb, sedangkan relasi kuasa
adalah efek dari strategi tersebut. Paling tidak Foucault dalam bukunya The History
of Sexuality melihat bahwa kuasa haruslah dimengerti sebagai berikut ini:
“... power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the
Ompu i |19 contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony."29
Dari penjelasan di atas tampak bahwa Foucault melihat kuasa dibangun dari
setiap relasi dan setiap pertistiwa. Penjelasan Foucault ini perlu dilihat sebagai
sesuatu yang terus menerus dilakukan dan bukan untuk dicapai. Ia mengacu kepada
istilah Kuasa (Power) dengan huruf K(P) besar. Hal ini untuk menggambarkan
kekuatan utama dalam semua hubungan dalam masyarakat dan bukan dalam
pengertian Althusser tentang RSA (Repressive State Aparatus), melainkan pada
ISA (Ideology State Aparatus) misalnya: Gereja, Keluarga dan Sistem
Pendidikan.30 Dalam hal ini Foucault selalu memposisikan pandangan tentang
kuasa sebagai sesuatu yang berbeda dengan Althusser, yakni kuasa dalam relasi
bottom-up.
Lebih jelas tentang kuasa yang ia maksud maka di dalam bukunya The
History of Sexuality, ia memberikan beberapa pengertian tentang kuasa:31
1. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang didapat, diraih, atau dibagikan melainkan
kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
2. Relasi kekuasaan bukanlah dalam posisi eksterior tetapi dalam bentuk
imanen. Relasi kekuasaan bukanlah relasi superstruktur yang sifatnya
memiliki larangan atau memproduksi larangan.
29 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage
Books, 1990), hl. 92-93.
30 Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault membedakan represi dengan larangan
hukum. Represi menurutnya memberikan pengaruh pada ketaksadaran sesuatu hal yang berbeda dengan larangan hukum. Hal ini juga yang membedakan dengan pandangan Althusser.
Ompu i |20
3. Kuasa datang dari bawah sehingga tidak ada lagi distingsi binary atau
oposisi antara aturan dan yang diatur.
4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
5. Di mana ada kekuasaan, di situ ada resistensi. Resistensi tidak berada di
luar relasi kekuasaan itu, tetapi selalu berada di dalam kekuasaan.
Pengetahuan
Untuk semakin memperjelas konsep kuasa menurut Foucault maka
alangkah baiknya juga menjelaskan mengenai konsep “pengetahuan”. Pemahaman
relasi kuasa seperti yang dijelaskan sebelumnya berujung kepada menghasilkan
pengetahuan.32 Pengetahuan seperti yang dimaksud oleh Foucault bukanlah hanya
sebatas pada ide atau gagasan pemikiran melainkan lebih dari pada itu menyangkut
juga aturan atau larangan yang merupakan hasil dari relasi kuasa tersebut. Dan
pengetahuan inilah yang kemudian hadir di dalam wacana atau discourse. Misalkan
saja mengenai pengetahuan maka sistem-sistem pengetahuan inilah yang nantinya
mengkondisikan wacana tentang siapa yang disebut sebagai orang gila atau orang
sakit. Intinya, keterkaitan antara wacana dengan pengetahuan adalah ketika wacana
sendiri menjadi objek pengetahuan.
Foucault tidak memungkiri bahwa pengetahuan juga dihasilkan oleh relasi
kuasa dalam bentuk kekuasaan. Adanya perebutan kekuasaan dalam bentuk
kelompok, suku, lembaga negara, dsb turut mempengaruhi dan menghasilkan
pengetahuan. Misalnya, seperti yang dikatakan Foucault bahwa di negara-negara
Ompu i |21
Barat, informasi yang dihasilkan tentang perempuan akan membuat kita banyak
menemukan buku-buku tentang perempuan di perpustakaan dari pada tentang
laki-laki. Pada wilayah ini maka kuasa menurut Foucault hanyalah masalah produksi
dan reproduksi. Adanya wacana-wacana diktator atau otoriter disebabkan oleh
adanya relasi kuasa yang timpang. Demikian juga sebaliknya, adanya wacana
egaliter merupakan hasil perenungan bersama dalam bangunan relasi kuasa. Maka
dari itu Foucault menawarkan bahwa untuk melihat kekuasaan yang berkembang
pada saat ini maka Foucault menawarkan bukanlah mencari sumber dari mana
kuasa itu berasal melainkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi.
Mengenai pembentukan wacana itu sendiri, Norman Fairclough dengan
jelas membahasakan dan mendefinisikan bahwa pembentukan wacana dalam
pemikiran Foucault ini terdiri dari aturan pembentukannya, di mana
aturan-aturan tersebut adalah pertama, the formation of objects (pembentukan
objek-objek). Objek yang dimaksudkan di sini adalah objek pengetahuan. Pembentukan
objek-objek ini menekankan kepada entitas di mana kedisiplinan dan ilmu
pengetahun memiliki peranannya. Keberkaitan dengan wacana maka Foucault
membahasakannya sebagai yang bersifat konstitutif; sebagai suatu kontribusi,
reproduksi, transformasi atas objek tersebut. Kedua adalah the formation of
enunciative modalities (pembentukan modalitas dan posisi subjek). Pembentukan
ini berkaitan dengan praktik-praktik sosial, di mana kertekaitannya menentukan
posisi subjek dalam hal karakteristik, aktivitas, pernyataan ataupun tutur kata dalam
lingkungan sosial. Pembentukan ini akan menentukan otoritas dari subjek tersebut.
Ompu i |22
seorang dokter ketika berbicara mengenai hukum. Ketiga adalah the formation of
concepts (pembentukan konsep). Pembentukan ini dimaksudkan untuk melihat
bagaimana “the field of statement” diasosiasikan dengan wacana tersebut, di mana
konsep-konsepnya yang dilihat dan diartikulasikan itu diorganisir. “The field of
statement” ketika berkaitan dengan pembentukan wacana maka memiliki banyak
dimensi. Hal ini bisa memunculkan keterkaitan antara teks-teks atau
wacana-wacana yang ada. Misalnya wacana-wacana kegilaan selalu berkaitan dengan rumah sakit,
penjara, dsb. Elemen-elemen inilah yang menjadi suatu konsep dari kegilaan
tersebut. Keempat adalah the formation of strategies (pembentukan strategi).
Pembentukan strategi dipahami ketika tema-tema atau teori-teori tidak terealisasi
sepenuhnya, maka strategi sangat menentukan akan tercapainya suatu tema, teori
atau masalah apa pun. Pembentukan ini selalu dikombinasikan oleh unsur-unsur
interdiskursif dan nondiskusif (material, dsb).33 Keempat aturan ini dapat dikatakan
menandakan reproduksi kekuasaan dalam bentuk wacana.
Lebih dalam lagi, Foucault mencoba mengembangkan teorinya tentang
pengetahuan dengan melihat ke sejarah masa lalu yang ia katakan sebagai
discontinuity atau sejarah yang terputus-putus. Ketika tidak ada hubungan vertikal
dalam melihat persoalan kuasa maka akan memunculkan suatu persoalan tentang
pencarian akan sejarah dalam menemukan suatu rezim pengetahuan atau episteme.
Discontinuity dalam sejarah akan selalu memunculkan peristiwa, institusi, ide atau
33 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.
Ompu i |23
praktek yang terpecah-pecah.34 Setiap pengetahuan yang muncul akan selalu
berbeda-beda. Hal inilah yang disebut discontinuity akan suatu peristiwa sejarah
yang tidak memiliki hubungan dalam rentangan waktu. Episteme dalam tataran
diskursus menjadi suatu rezim, di mana akan membentuk suatu legitimasi walaupun
di dalam objek tertentu tidak dapat diwakili di dalam diskursus-diskursus. Foucault
melihat hal ini dalam meneliti tentang orang gila yang menjadi objek dari
pengetahuan, sehingga di dalam Archeology of Knowledge, Foucault berusaha
untuk mendefinisikan yang pada dasarnya sangat berbeda dengan ilmu sejarah
lainnya.35
Genealogi
Ketika dalam Archeology of Knowledge, Foucault menempatkan
investigasinya dalam tataran wacana atau discourse dalam melihat discontinuity dan
perbedaan, maka Foucault juga mengembangkan investigasi sebagai model
perspektif dalam bentuk genealogi kekuasaan. Dalam Foucault, Genealogi
merupakan kelanjutan dari Arkeologi. Genealogi memposisikan dirinya dalam
pencarian “asal usul”. Berangkat dari pemikiran Nietzsche tentang asal usul
(Ursprung) maka genealogi Foucault berangkat dari 3 (tiga) domain, yakni:36
1. Sejarah ontologi dari diri kita sendiri dalam hubungannya dengan
kebenaran melalui diri kita yang merupakan subjek pengetahuan.
34 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hl. 119-120.
Ompu i |24
2. Sejarah ontologi dari diri kita dalam relasi dengan kuasa melalui diri kita
yang merupakan subjek yang bertindak diatas lainnya.
3. Sejarah ontologi dalam relasi dengan etika melalui diri kita sebagai agen
moral.
Dari ketiga domain ini maka genealogi sendiri lebih ditujukan kepada tubuh
indvidu/subyek. Namun demikian genealogi sebagai suatu metode investigasi juga
mengarah secara spesifik kepada agenda sosial dan politik. Di dalam genealogi
maka terdapat dua pendekatan di dalam investigasi, yakni pertama, pendekatan
sejarah untuk menginvestigasi suatu konsep, misalnya kemiskinan, dsb. Kedua,
juga untuk menginvestigasi fenomena sejarah yang dibentuk pada masa kini.37
Genealogi sebagai suatu metode investigasi individu akan membawa bentuk
kuasa yang bersifat sentralistis atau memusatkan. Dengan kegelisahannya yang
berangkat dari pengalaman penelitiannya tentang kegilaan, kematian, kejahatan,
seksualitas dan teknologi kekuasaan, maka ia pun berusaha melihat perspektif
dalam transformasi yang lain dengan menyorot tentang “identitas diri”. Dalam
konsepnya ini, individu dilihat melalui asal usulnya sebagai modalitas dalam bentuk
kekuasaan. Paling tidak, Foucault dalam memandang genealogi sebagai suatu
metode menggunakan teknik-teknik sebagai suatu mekanisme pembentukan
subjek, di mana inti dari teknik tersebut, yakni teknik produksi, signifikasi, dan
teknik dominasi.38 Ketiga teknik ini berada di dalam kehidupan sosial masyarakat
37 Paula Saukko, Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical and
New Methodological Approaches (London: Sage Publications, 2003), hl. 133.
38 Ketiga 3 teknik ini, ia dasarkan pada, yakni, pertama, teknik di mana seseorang akan
Ompu i |25
yang dapat diamati di dalam bentuk disciplinary power sebagai suatu pengawasan
atau yang ia gambarkan sebagai panopticism untuk menghasilkan pendisiplinan
tubuh, pengorganisiran, dsb. melalui lembaga-lembaga, misalnya sekolah, rumah
sakit, penjara, dsb.39
Dengan metode genealogi maka paling tidak penelitian yang hendak dicapai
yakni: pertama, genealogi memandang bahwa segala sesuatu merupakan konstruk
sejarah. Dari sini maka genealogi berusaha membuka ruang untuk berpikir dengan
perbedaan. Kedua, genealogi berusaha mendukung untuk kemungkinan adanya
masalah-masalah, kontradiksi politik ataupun adanya rezim sosial.40
Setelah menjabarkan teori Michel Foucault tentang kuasa, pengetahuan,
arkeologi pengetahuan dan genealogi maka saya melihat bahwa teori Foucault ini
dapat membongkar konstruk yang melekat dalam studi ini. Dalam genealogi maka
metode investigasi ini akan melihat bahwa kasus Ompu i Ephorus HKBP yang
merupakan peristiwa masa kini haruslah dilihat ke belakang dan merupakan hasil
dari konstruk sejarah di dalam pengetahuan. Sebagai keuntungan, genealogi tidak
hanya menelusuri sejarah tetapi membantu melihat kekinian sebagai suatu
konstruksi pengetahuan. Paling tidak pengetahuan tersebut bukanlah sekedar
ide-ide atau pemikiran-pemikiran melainkan di dalamnya terdapat juga aturan-aturan
atau larangan-larangan yang tidak terlihat (dibalik simbolik) yang mempengaruhi
ketidaksadaran. Gelar Ompu i yang menjadi studi ini merupakan konstruk historis
tujuan tertentu. Michel Foucault, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures at Dartmouth (Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993), hl. 203
Ompu i |26
sehingga menjadi pengkultusan, atau dengan kata lain adanya ketimpangan dalam
relasi pemimpin dan pengikut. Dalam genealogi maka investigasi akan selalu
menyorot kepada sumber aslinya, sehingga genealogi akan mereduksi kepada gelar
Ompu i yang dikonstruk oleh para missionaris sebagai yang pertama kali
mendapatkan gelar ini, sekaligus menjadi objek dan batasan penelitian dari studi
ini. Foucault tidak menampik akan adanya reproduksi wacana atau dapat dikatakan
perebutan kekuasaan, namun bagi Foucault hal ini dapat dilakukan dengan sikap
menyeluruh dan tidak hanya berdasarkan pada struktur birokrasi saja, mengingat
kuasa menurutnya bersifat desentralisasi.
Genealogi akan membantu dalam memetakan dan memformasikan dari
mana dan bagaimana kuasa itu tercipta di dalam periode sejarah tertentu. Dengan
memandang discontinuity atau ketidak-terhubungan di setiap masa, maka
reproduksi di dalam genealogi bukanlah sesuatu yang diberikan dan sifatnya statis.
Artinya, gelar Ompu i yang ada di Nommensen adalah suatu reproduksi dari wacana
kepemimpinan dalam pemahaman masyarakat Batak Toba tradisional yang sifatnya
tidak statis, namun telah dikonstruksi dalam suatu relasi kuasa. Tentunya empat
aturan-aturan pembentukan wacana yang didefinisikan Fairclough di atas, yakni
aturan-aturan the formation of objects (pembentukan objek), the formation of
enunciative modalities (pembentukan modalitas), the formation of concepts
(pembentukan konsep-konsep) dan the formation of strategies (pembentukan
Ompu i |27
H.
Metode Pengumpulan Data
Dalam mendukung studi ini, saya mengunakan metode genealogi Michel
Foucault dalam melihat dan menganalisis wacana Ompu i, sehingga hal-hal yang
penting dalam pengumpulan data tersebut berupa:
1. Arsip. Metode genealogi selalu mengandalkan arsip dalam metode
penelitiannya. Dengan prinsip ini maka saya akan mencari data-data arsip,
folklor, majalah ataupun surat kabar untuk menunjang penelitian, dan juga
yang lebih penting, adalah menjadikan arsip sebagai analisa dalam studi ini
untuk melihat wacana Ompu i. Dalam menggunakan data arsip ini maka
saya memilahnya menjadi dua bagian, yakni data primer dan sekunder.
Untuk data sekunder maka arsip yang saya gunakan adalah arsip BRMG
(Bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft) tahun 1878 yang merupakan
laporan Nommensen kepada Kantor Pusat RMG atas keikutsertaannya
dalam misi Perang Toba I. Memang arsip ini telah dibahas oleh Uli Kozok
dalam bukunya Utusan Damai Di Kemelut Perang, dan saya menggunakan
arsip yang ada di buku tersebut, yakni yang merupakan versi terjemahan
yang dilakukan oleh Uli Kozok. Hal ini didasarkan atas keterbatasan saya
dalam berbahasa Jerman. Sedangkan untuk data primernya, maka saya
menggunakan media cetak Surat Kuliling Immanuel. Data ini saya gunakan
dengan melihat secara fungsional yang berdasarkan topik-topik terkait
antara tahun 1890-1918 pada masa Nommensen menjadi Ephorus pertama
HKBP. Data ini menjadi penting dan utama dalam penelitian ini, karena
Ompu i |28
Toba dan bersinggungan langsung dengan masyarakat Batak, sehingga
karya dari RMG dalam mereproduksi kekuasaan dalam wacana
kepemimpinan masyarakat Batak dapat terlihat. Kedua data arsip ini akan
saling melengkapi dalam metode genealogi yang saya gunakan, walaupun
saya akan mengedepankan Surat Kuliling Immanuel sebagai analisis data.
2. Observasi dan Wawancara. Metode ini saya gunakan hanya untuk
melengkapi studi ini. Saya mengakui bahwa posisi saya sebagai orang
dalam, selaku Pendeta di HKBP, menjadi kekurangan saya di dalam
mengambil jarak terhadap fenomena yang saya angkat. Namun demikian
kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan metode ilmiah yang
saya gunakan. Untuk metode observasi, maka saya akan mengamati
bagaimana hubungan pemimpin dengan pengikut pada masa Ompu i
Ephorus HKBP dengan para pendeta dan juga jemaat, serta
fenomena-fenomena yang hadir sebagai suatu pengetahuan tentang Ompu i.
Sedangkan untuk wawancara beberapa hal yang saya anggap penting adalah
mewawancarai pihak Parmalim (agama tradisional Batak Toba), ahli adat
dan budaya Batak untuk memaknai hukum-hukum dan falsafah dalam
budaya Batak sebagai legitimasi atas kedudukan gelar Ompu i.
I.
Skema Penulisan
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini saya akan menjelaskan tentang kegelisahan dan
pergumulan saya yang dituangkan dalam latar belakang. Paparan dan deskripsi dari
Ompu i |29
persoalan dalam studi ini. Dalam bab ini juga akan dibahas teori sebagai acuan
dalam menjawab persoalan tersebut. Selain itu dalam bab ini juga terdapat kajian
pustaka untuk menyorot studi-studi yang memiliki kedekatan topik yang sama.
Kemudian yang tidak kalah penting juga adalah mendeskripsikan motode
pengumpulan data yang saya gunakan dalam melakukan penelitian. Hal ini perlu
sebagai bentuk kekongkretan dalam karya ilmiah bahwa studi ini bukanlah sesuatu
yang bersifat absurd. Dan terakhir adalah daftar isi.
Bab II Merajut Gagasan Ompu i. Dalam bab ini saya akan melihat munculnya
gelar Ompu i; baik mengenai arti dan istilah, serta kedudukannya bagi masyarakat
Batak Toba tradisional. Hal ini akan membawa kepada pemahaman bagaimana
Ompu i sendiri dipahami oleh masyarakat Batak, baik dalam pengertian
sosial-politis maupun religi. Mitos-mitos, hukum, dan falsafah Batak yang berkembang di
masyarakat Batak pada waktu itu menjadi legitimasi atas kedudukan Ompu i di
tengah-tengah masyarakat Batak Toba tradisional dengan keyakinan akan adanya
kedaulatan penuh atas adat dan budaya bangsa Batak.
Bab III Wacana Kolonial dalam Reproduksi Kekuasaan. Dalam bab ini, maka
akan dibahas masuknya zending RMG serta konteks yang melatarbelakangi badan
zending dalam mengabarkan Injil di tanah Batak. Melalui konstruk peradaban
secara menyeluruh, kekuasaanpun direbut yang memunculkan dan melegitimasi
gelar Ompu i kepada Nommensen. Melalui studi genealogi maka arsip dan
dokumen-dokumen menjadi data penelitian dalam studi ini yang justru ingin
Ompu i |30
pemakaian gelar Ompu i Nommensen, sehingga relasi ini yang menjadi
pengetahuan kepada pemakaian gelar Ompu i Ephorus HKBP.
Bab IV Analisis. Bab ini menjadi ruang untuk analisa atas data yang digunakan
pada bab sebelumnya, khususnya untuk data Surat Kuliling Immanuel sebagai
media yang digunakan RMG dalam mengkonstruk masyarakat Batak. Dengan
menggunakan teori kuasa Michel Foucault, maka saya akan mencoba menganalisis
wacana gelar Ompu i kepada Ephorus HKBP yang memiliki kepentingan.
Bab V Kesimpulan. Akhirnya dalam bab terakhir ini saya akan berusaha
menyimpulkan keseluruhan bab yang telah diangkat sebelumnya, yakni melalui
dengan pembahasan secara singkat, serta membahas relasi kuasa yang terjadi dari
Ompu i |31
BAB II
MERAJUT GAGASAN OMPU I
Jauh sebelum masuknya Kekristenan di Tanah Batak, gelar Ompu telah
digunakan oleh masyarakat Batak Toba. Masuknya kolonial Belanda ke
wilayah-wilayah nusantara memberikan dampak yang sangat besar di segala aspek,
termasuk juga dalam aspek kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Batak Toba
sendiri. Tak ayal bahwa wacana kepemimpinan ini pun yang digunakan oleh
Ephorus HKBP merupakan wacana yang berasal dari kolonialisme itu sendiri.
Dengan kata lain - disadari atau tidak - wacana ini merupakan suatu reproduksi atas
adat dan budaya Batak Toba tradisional sehingga dapat dikenakan kepada
Nommensen yang merupakan seorang Misionaris. Dengan adanya pengaruh
kolonialisme, maka tak heran banyak terjadi pergeseran makna dari adat dan
budaya Batak Toba tradisional.
Wacana kepemimpinan Ompu i dalam tradisi Batak Toba tradisional
memiliki makna yang utuh ketika wacana ini memiliki kedaulatannya dalam aspek
religi, adat dan budaya, sehingga untuk menelusuri wacana ini perlu melihat
pengaruh-pengaruh yang dimunculkan oleh kolonialisme, dan kemudian
Ompu i |32
A.
Pandangan Umum
Di dalam kamus Batak Toba Indonesia karya J. Warneck istilah
ompu/ompung dapat diartikan sebagai nenek dan kakek, yang memiliki penurunan
kata berupa ompung yang berarti panggilan untuk nenek dan daompung panggilan
untuk kakek yang tentunya berkaitan dengan Dalihan Na Tolu. Pengertian ini juga
termasuk kepada sapaan untuk leluhur. Warneck mengartikan Ompu sebagai
pemilik (nampuna), yang empunya, yang memiliki. Pengertian ini dapat berupa
keturunan, wilayah, dsb. Namun sedikit berbeda dengan Warneck, dalam Kamus
Batak Indonesia versi Batakpedia, Ompu i dapat juga diartikan sebagai pemujaan
terhadap nenek moyang.1 Perbedaan ini dapat dimaklumi terjadi mengingat J.
Warneck merupakan salah seorang misionaris yang diutus ke tanah Batak, sehingga
menghindarkan terjadinya sinkretisme dalam kosakatanya. Dari
pengertian-pengertian tersebut, maka istilah ompu memiliki pengertian-pengertian yang luas dari sisi
tujuan dan objeknya.
Ada beberapa pemakaian gelar ompu yang lumrah didapati di dalam
masyarakat Batak Toba, yakni: pertama, yang paling sering digunakan, adalah
untuk penyebutan leluhur tertentu. Biasanya gelar ini digunakan di depan nama
orang untuk menyebut silsilah nenek moyang tertentu dalam memperjelas silsilah
dari suatu persatuan marga. Penyebutan ini diwakili oleh galur keturunan yang
berasal dari satu nenek moyang bersama, dari empat generasi ke belakang atau juga
dari galur keturunan yang sudah 12 sundut (generasi tuanya), sehingga sebagai satu
Ompu i |33
kesatuan kolektif sering disebut sebagai saompu (satu ompu).2 Misalnya Ompu
Sohuturon yang berarti sapaan dari keturunan Sohuturon dalam galur keturunan
Rajagukguk. Jikalau contoh tersebut diterapkan ke dalam pengertian yang diberikan
oleh J. Warneck maka Ompu Sohuturon adalah pemilik keturunan Sohuturon.
Demikian juga di marga-marga lainnya yang sering juga di dapati gelar ompu dalam
penyebutannya.
Kedua, selain menunjuk kepada leluhur dengan galur keturunan, maka
gelar ini juga digunakan kepada sesuatu yang dihormati yang bukan hanya dalam
bentuk manusia, yaitu kepada dewa/tuhan dan hewan tertentu. Untuk sapaan kepada
dewa/tuhan maka masyarakat Batak sering menyebutnya sebagai Ompu Debata
Mula Jadi Na Bolon. Penyebutan ini termasuk sebagai bentuk penghargaan yang
paling tinggi atas segalanya. Selain kepada dewa/tuhan, maka istilah ompu juga
dikenakan kepada hewan. Dalam tradisi lisan nenek moyang masyarakat Batak
sapaan ini dikenakan kepada harimau (babiat). Seperti yang dikisahkan ketika
masyarakat melihat jejak harimau maka jejak tersebut sering dikatakan sebagai
bogas ni ompu i (jejak ompu i).3 Masyarakat Batak meyakini harimau sebagai
binatang ditakuti yang memiliki roh keberanian dan penguasa, sehingga masyarakat
Batak sangat menyegani hewan ini dan menyebutnya dengan sangat hormat.
Namun mengingat binatang ini sudah sangat langka ditambah masuknya agama
semit maka lambat laun pemanggilan ini semakin berkurang.
2 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
hl. 23.
Ompu i |34
Ketiga, gelar ompu i digunakan kepada raja, baik dari tingkat huta hingga
bius. Misalnya Ompu Hatobung yang merupakan raja dari Bius Pansurnapitu, dsb.
Bagi masyarakat Batak, raja mendapatkan tempat kehormatan, sehingga setiap yang
dilakukan raja selalu diikuti oleh masyarakatnya, dikarenakan raja sebagai sumber
atau pelaksana adat dan budaya yang harus diikuti oleh pengikutnya. Hal ini terlihat
dari umpasa (pantun) yang menerangkan posisi penting raja yang harus dijunjung
tinggi dan diikuti.
Ompu raja di Jolo, Martungkot Sialagundi
Pinungka ni ompunta parjolo, Siihuthonon ni na di pudi
Terjemahannya
Ompu raja di depan, Bertongkatkan Pohon Sialagundi Dibuka pertama oleh Ompu kita, akan diikuti dibelakang
Namun dari raja-raja bius yang menggunakan gelar ompu i, maka raja yang
paling terkenal yang mendapat gelar tersebut adalah Singamangaraja.4 Hal ini
terlihat dari lagu “Tampollong Ma Disi” (Ansideng Ansinonding) yang dinyanyikan
masyarakat sekitar pemukiman Singamangaraja di Bangkara pasca terbunuhnya
Raja Singamangaraja XII5, dan juga masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang
menyebut Singamangaraja dengan sebutan Ompu i.
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Singamangaraja sangatlah berbeda
dengan raja pada umumnya atau seperti yang dikatakan Sidjabat dengan
4 Raja Singamangaraja adalah raja yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di wilayah
Toba, melainkan hingga Sumatera