• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X SMK Negeri 2 Depok.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X SMK Negeri 2 Depok."

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X. Subjek penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 2 Depok yang berjumlah 57 siswa. Penelitian ini diawali dengan analisis kebutuhan siswa dengan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah produk berupa pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia.

Produk ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu 1) observasi dan pengumpulan data di lapangan, 2) membuat desain produk, 3) penilaian desain produk oleh ahli, 4) melakukan uji coba produk di lapangan. Uji coba produk dilakukan untuk mendapatkan masukan dan saran terhadap produk pengembangan, dan 5) revisi produk.

(2)

ix

ABSTRACT

Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Development of Learning Material on the Politeness of Using Indonesian Language for Grade X Students of SMK Negeri 2 Depok. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

This research reviewed the development of learning material on the politeness of using Indonesian language for grade X students. The research subjects were 57 students of SMK Negeri 2 Depok. This research began with a need analysis of the students by using questionnaire, observation, and interview. The objective of this research was to develop a product in the form of the development of learning material on the politeness of using Indonesian language.

The product was developed through several stages: 1) observation and data gathering in the field, 2) making the product design, 3) assessment of the product design by expert, 4) conducting trial of the product in the field. The trial of the product was conducted to obtain feedback and suggestions for product development, and 5) revision of the product.

(3)

i

PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN KESANTUNAN

BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS X

SMK NEGERI 2 DEPOK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh

Oleh:

Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti

101224051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

Motto

Jangan pernah menyesal dengan keputusan

yang telah kau ambil, sebenarnya tak ada

keputusan yang baik atau buruk. Tinggal

bagaimana manusia itu membuat pilihan

tersebut menjadi baik atau buruk.

(Anonim)

Perjuangkanlah hal yang menurutmu

membahagiakan karena bahagiamu

ditentukan oleh dirimu sendiri

bukan orang lain.

(7)

v

Persembahan

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Orang tua tersayang Hadi Suharso dan Suryatijah

Terimakasih atas semua yang kalian berikan, walaupun semua tak pernah sesuai dengan apa yang sewajarnya tapi saya tetap bangga

dengan kalian.

Iwan Risnanto

Yang penuh sabar, setia, sayang, dan pengertian menemani saya selama ini dan sampai selamanya.

Alfadeo Rizky Anthony Faith

Malaikat kecilku yang selalu memberikan motivasi dengan tingkahnya yang pintar, lucu, menggemaskan, dan terkadang

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 September 2015 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Dwi Rahmawati Hanung Puguh Wijayanti Nomor Mahasiswa : 101224051

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGEMBANGAN MATERI PEMBELAJARAN KESANTUNAN

BERBAHASA INDONESIA BAGI SISWA KELAS X

SMK NEGERI 2 DEPOK

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta,

Pada tanggal : 21 September 2015 Yang menyatakan,

(10)

viii

ABSTRAK

Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa kelas X. Subjek penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 2 Depok yang berjumlah 57 siswa. Penelitian ini diawali dengan analisis kebutuhan siswa dengan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah produk berupa pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia.

Produk ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu 1) observasi dan pengumpulan data di lapangan, 2) membuat desain produk, 3) penilaian desain produk oleh ahli, 4) melakukan uji coba produk di lapangan. Uji coba produk dilakukan untuk mendapatkan masukan dan saran terhadap produk pengembangan, dan 5) revisi produk.

Penilaian ahli merupakan cara untuk mengetahui kualitas dari hasil pengembangan materi ini. Penilaian yang digunakan meliputi aspek 1) ketepatan pilihan kata, 2) keefektifan kalimat dalam media, 3) penggunaan bahasa yang mudah dipahami, 4) kejelasan petunjuk dalam setiap kegiatan, 5) kesesuaian materi dengan kompetensi dan indikator, 6) kemenarikan urutan materi sehingga mudah untuk dipahami, 7) kemenarikan ilustrasi media, 8) kemenarikan komposisi huruf, tata letak dan warna dalam media, 9) kebermanfaatan media, dan 10) variasi model latihan. Nilai pada poin 4, 9, dan 10 mendapat nilai „baik

(11)

ix

ABSTRACT

Wijayanti, Dwi Rahmawati Hanung Puguh. 2015. Development of Learning Material on the Politeness of Using Indonesian Language for Grade X Students of SMK Negeri 2 Depok. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

This research reviewed the development of learning material on the politeness of using Indonesian language for grade X students. The research subjects were 57 students of SMK Negeri 2 Depok. This research began with a need analysis of the students by using questionnaire, observation, and interview. The objective of this research was to develop a product in the form of the development of learning material on the politeness of using Indonesian language.

The product was developed through several stages: 1) observation and data gathering in the field, 2) making the product design, 3) assessment of the product design by expert, 4) conducting trial of the product in the field. The trial of the product was conducted to obtain feedback and suggestions for product development, and 5) revision of the product.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah dan berkat-Nya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul “Pengembangan Materi Pembelajaran Kesantunan Berbahasa Indonesia Bagi Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Depok”, ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dan memberi dorongan serta dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Bahasa Sastra Indonesia.

3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama yang dengan sabar dan bijaksana membimbing, menuntun, dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar dan bijaksana membimbing, menuntun, dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Robertus Marsidiq karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar memberikan pelayanan dan membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan kuliah di PBSI sampai dengan menyelesaikan skripsi ini. 6. Ayahku tercinta Hadi Suharso dan Ibuku tersayang Suryatijah yang penuh

kasih sayang mendukungku, menuntunku dengan penuh perhatian, serta selalu mendoakan dan memfasilitasi penulis.

7. Iwan Risnanto dan Alfa Deo Rizky Anthony Faith yang menyemangati, menginspirasi dan selalu mendoakan penulis.

(13)

xi

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pengabdi pendidikan dan semua pemerhati pendidikan, terutama bagi penulis sendiri. Selamat membaca, memahami, dan mengkritisi.

Yogyakarta, 21 September 2015 Penulis,

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR ISI MODUL………... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

1.5Batasan Istilah ... 5

1.6Sistematika Penulisan ... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

2.1Penelitian yang Relevan ... 7

2.2Landasan Teori ... 9

2.2.1 Pragmatik ... 9

2.2.2 Teori Tindak Tutur ... 10

2.2.3 Prinsip Kesantunan ... 12

2.2.4 Etika Berbahasa dalam Kegiatan Bertutur ... 13

(15)

xiii

2.2.6 Penentu Kesantunan ... 15

2.2.7 Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia ... 16

2.2.8 Kurikulum 2013 ... 21

2.2.9 Materi Pembelajaran………. 25

2.2.10 Tipe-tipe Materi ... 26

2.2.11 Unsur-unsur Pembelajaran ……… 27

2.2.12 Kerangka Berpikir……… 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33

3.1Jenis Penelitian ... 33

3.2Sumber Data ... 33

3.3Data Penelitian ... 33

3.4Metode Pengumpulan Data ... 33

3.5Instrumen Penelitian... 34

3.6Teknik Analisis Data ... 34

3.7Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) ………... 35

3.8Prosedur Pembuatan Produk………. 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ... 42

4.1Deskripsi Data ... 42

4.2Analisis Data ... 44

4.2.1 Analisis Data Kuesioner ... 44

4.2.2 Analisis Data Wawancara ... 56

4.2.3 Analisis Data Observasi ... 57

4.3Pembahasan ... 58

BAB V PENUTUP……… 66

5.1Kesimpulan ... 66

5.2Implementasi ... 67

5.3Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(16)

xiv

DAFTAR ISI MODUL

Halaman Muka

Kata Pengantar………. i

Petunjuk Penggunaan Modul……… ii

Daftar Isi………... iii

BAB I……… 1

A. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar……… 1

B. Berbahasa Indonesia yang Santun………. 2

BAB II……….. 4

BAB III………. 6

BAB IV……….... 8

BAB V………. 10

BAB VI……… 13

(17)

xv

DAFTAR BAGAN

(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun ... 45

Tabel 4.2 Penggunaan Bahasa dalam Pergaulan ... 47

Tabel 4.3 Penggunaan Maksim Kerendahan Hati ... 50

Tabel 4.4 Penggunaan Maksim Kebijaksanaan ... 51

Tabel 4.5 Penggunaan Maksim Kemurahan Hati ... 53

Tabel 4.6 Penggunaan Maksim Kesetujuan ... 54

(19)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam masyarakat yang paling utama. Dengan bahasa orang dapat menyampaikan pesan kepada orang lain. Tarigan (1994:2) menyatakan keterampilan berbahasa terdapat empat aspek, yaitu berbicara, membaca, menulis, dan mendengarkan.

(20)

Ragam bahasa tulis maupun lisan tentu tidak akan lepas dari aspek kesantunan. Dalam aspek ini kesantunan sangat diperhatikan karena berpengaruh terhadap interaksi sosial penutur dan lawan tutur. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila bahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Cara berbahasa yang baik sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (penutur dan mitra tutur) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena hal tersebut bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu. 2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu. 3. Kapan giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.

4. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara. 5. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

(21)

maksim pelaksanaan. Austin (dalam Nababan,1987), menyatakan ujaran terbagi menjadi dua jenis yaitu: ujaran konstantif dan ujaran performatif. Sedangkan, Searle (dalam Rahardi,2005), membagi tuturan menjadi lima macam yaitu: asertif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif.

Berbahasa yang baik adalah ketika kita dapat berbahasa dengan baik dan benar. Berbicara yang baik dapat terlihat ketika mitra tutur dapat mengerti secara jelas apa yang kita bicarakan, dan tentunya tidak membuat mitra tutur menjadi rendah diri. Disini kesantunan menjadi perlu dalam sebuah tuturan dengan mitra tutur. Dewasa ini perilaku berbahasa yang baik belum terdapat pedoman pasti. Namun, cara berbahasa yang baik sudah tersosialisasikan secara luas di kalangan masyarakat. Dengan pembelajaran kesantunan berbahasa yang dikolaborasikan dengan pelajaran Bahasa Indonesia di dalam kelas dapat meningkatkan kesantunan berbahasa siswa di sekolah. Di dalam sebuah pembelajaran di kelas, terkadang ada siswa yang berbicara atau bertanya kurang santun terhadap gurunya (biasanya guru tersebut yang tidak disukai siswa). Sehingga terkesan murid kurang menghargai guru yang sedang mengajar di kelas tersebut. Sehingga, materi kesantunan yang ada perlu dikembangkan dan ditingkatkan di sekolah yang nantinya dapat digunakan tidak hanya di lingkungan sekolah, namun dapat digunakan di lingkungan masyarakat.

(22)

tentu membutuhkan keterampilan berbahasa yang memadai untuk terjun di dunia kerja (sosial). Kesantunan berbahasa tentu sangat diperlukan untuk membuat orang lain (atasan atau sesama karyawan) senang dan tidak merasa rendah diri ketika sedang terlibat percakapan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian pengembangan ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuannya adalah ingin mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak. 1. Bagi guru bahasa Indonesia, sebagai bahan untuk memperoleh informasi

tentang pengaruh kesantunan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencapai tujuan komunikasi yang diinginkan dalam kegiatan pembelajaran.

2. Bagi mahasiswa dan calon guru bahasa Indonesia, sebagai bahan pertimbangan dan renungan dalam melakukan komunikasi di dalam kelas, sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan secara lancar dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan

(23)

tingkat kesantunan, agar penelitian yang hendak dikaji memiliki ciri dan kekhasan tertentu.

4. Bagi siswa, sebagai upaya peningkatan kemampuan berbahasa santun yang selama ini terabaikan, dan meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajaran di kelas.

5. Bagi peneliti, sebagai salah satu bagian dari syarat penyelesaian perkuliahan dan tugas akhir.

1.5Batasan Istilah

Pembahasan dalam penelitian ini hanya mencakup beberapa hal saja. Oleh karena itu, penulis mencantumkan batasan istilah yang dipakai supaya pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar dan meluas sehingga mudah dimengerti para pembaca.

1. Pengembangan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pengembangan berarti proses atau cara perbuatan mengembangkan. Pengembangan bahasa ditujukan untuk meningkatkan kualitas bahasa agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan komunikasi dalam masyarakat.

2. Kesantunan

(24)

3. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran merupakan materi minimal yang dipersiapkan untuk para pengajar dalam menyampaikan pembelajaran kepada peserta didik (Anitah:2010:1).

1.6 Sistematika Penulisan

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian yang Relevan

Ada empat penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang pertama dilakukan oleh M.T. Oktaviani Pratiwi pada tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Elit Politik Dalam Tayangan di Metro TV: Today’s Dialogue dan SaveOur Nations”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tuturan yang tidak santun, bentuk tuturan yang santun, indikator tuturan yang santun, dan kaidah kesantunan berbahasa. Skripsi ini juga mendeskripsikan tentang kesantunan berbahasa yang digunakan oleh elit politik. Hasilnya peneliti menemukan bahwa sebagian tuturan elite politik belum menggunakan bahasa yang santun. Penutur melakukan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah kesantunan berbahasa. Pelanggaran yang paling menonjol adalah pelanggaran konsep muka positif.

(26)

Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Yohanes Supriyantono pada tahun 2011 dalm skripsinya yang berjudul Kesantunan Menyuruh, menolak, dan Menerima Suruhan Dalam Bahasa Indonesia Antara Guru Dan Murid Di SMP Sanjaya Girimulyo. Skripsi ini mempunyai tujuan untuk menemukan jawaban terhadap masalah bagaimanakah kesantunan menyuruh, menerima, dan menolak antara guru dan murid dalam bahasa Indonesia. Hasilnya peneliti menemukan bahwa kesantunan berbahasa Indonesia dalam bentuk kalimat imperatif dapat diwujudkan dengan penanda kesantunan mari, ayo, tolong, sebaiknya, silakan, dimohon, diminta, dan diharap. Kesantunan berbahasa Indonesia dalam bentuk kalimat interogatif ditandai oleh penggunaan modalitas, kata tanya, dan kata negative tidak. Kesantunan berbahasa Indonesia dalam kalimat deklaratif ditandai oleh pernyataan keadaan tertentu, kebutuhan bagi penutur, pernyataan senang penutur, dan kalimat definitif.

(27)

tuturan interogatif. Hasil kedua peneliti menemukan lima penyimpangan maksim yang terjadi dalam tuturan imperatif yang dituturkan guru SMP Negeri 1 Pringsurat yaitu maksim kemurahan hati, maksim kebijaksanaan, maksim cara, maksim pemufakatan, dan maksim penghargaan.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada spesifikasinya. Peneliti mengambil tema, pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia pada siswa SMK.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pragmatik

Leech (dalam Nababan, 1987) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Bila dikaitkan dengan semantik, studi semantik bersifat komplementer yang berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya. Levinson (dalam Nababan, 1987) menyatakan bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Sementara Parker (dalam Wijana, 1996) menyatakan “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of languange use to communicate”.

(28)

disebabkan oleh konteks yang digunakan. Konteks yang dimaksud adalah ihwal siapa yang mengatakan, kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan mengutarakan kalimat.

2.2.2Teori Tindak Tutur

Austin (dalam Nababan, 1987) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. Yule (2006) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan.

Ada dua jenis ujaran menurut Austin (dalam Nababan, 1987), yaitu ujaran konstatif dan performatif. Ujaran konstantif ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin, ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah, contoh: “Kamu terlihat bahagia”.

(29)

perbuatan si penutur, contoh: “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah”. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang.

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut.

a. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

b. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).

c. Ekspresif (Expressives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).

(30)

e. Deklarasi (Declarations), yakni bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

2.2.3 Prinsip Kesantunan

Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan mitra tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983). Tuturan yang santun menurut Leech, ditandai oleh adanya enam maksim yang menyertainya sebagai berikut.

a. Maksim kebijaksanaan

Maksim ini menggariskan bahwa setiap pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

b. Maksim penerimaan

Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan hendaknya memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

c. Maksim kemurahan hati

Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.

d. Maksim kerendahan hati

(31)

e. Maksim kesetujuan

Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan diantara mereka, dan meminimalkan ketidaksetujuan diantara mereka.

f. Maksim simpati

Maksim ini mengharuskan setiap penutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

Teori Leech (1983) menyebutkan ada enam maksim kesantunan. Namun pada penelitian dan pembuatan materi ajar peneliti meyebutkan lima maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan hati, maksim kerendahan hati, dan maksim kesetujuan.

2.2.4 Etika Berbahasa dalam Kegiatan Bertutur

Kesantunan berbahasa erat kitannya dengan substansi bahasanya, sedangkan etika berbahasa selalu erat kaitannya dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur. Geertz (dalam Chaer, 2010) mengatakan bahwa sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.

(32)

dengan lawan tutur, kapan kita harus diam dan mendengarkan tuturan mitra tutur, dan bagaimana kualitas suara dan gerak fisik kita ketika berbicara.

2.2.5 Kesantunan dalam Berbahasa Indonesia

Secara singkat ada beberapa kaidah yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan tuturan kita agar terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita, diantaranya sebagai berikut.

a. Formalitas, artinya ketika bertutur dengan mitra tutur kita hendaknya jangan memaksa atau jangan angkuh.

b. Ketidaktegasan, artinya kita harus membuat tuturan yang sedemikian rupa agar lawan tutur kita dapat menemukan pilihan (option).

c. Kesamaan atau kesekawanan, artinya kita harus bertindak seolah-olah kita dan mitra tutur kita menjadi sama atau mitra tutur menjadi senang.

(33)

bukan hanya sekedar untuk mengefektifkan maksud pemakaian bahasa, melainkan juga memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur.

2.2.6 Penentu Kesantunan

Seperti diungkapkan oleh Pranowo (2009), kesantunan berbahasa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut.

a. Faktor Penentu Kesantunan

Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, aspek pilihan kata, dan aspek struktur kalimat.

Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis yaitu pilihan kata (diksi) yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.

Ketika seseorang berkomunikasi tidak hanya memperhatikan faktor kebahasaan, namun juga faktor non kebahasaan yang diantaranya adalah sikap penutur terhadap mitra tutur, pranata sosial budaya masyarakat, topik yang dibicarakan, dan konteks yang menjadi bahan tuturan.

b. Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi

(34)

diinginkan atau diharapkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami apa yang dimaksud oleh penutur, (f) ketika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melakukan kesalahan atau melanggar kode etik.

c. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan

Faktor yang menentukan santun atau tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan adalah faktor yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun nonverbal.

d. Faktor Nonkebahasaan sebagai Penentu Kesantunan

Faktor nonkebahasaan yang ikut menentukan kesantunan berbahasa yaitu topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Konteks situasi komunikasi adalah segala keadaan yang melingkupi teradinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya.

2.2.7 Indikator Kesantunan Berbahasa Indonesia

Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa si penutur itu santun atau tidak. Penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun nonkebahasaan. Berikut indikator kesantunan menurut beberapa ahli, yaitu:

a. Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)

(35)

diakronimkan dengan istilah SPEAKING. Masing-masing huruf dalam akronim merupakan inisial dari istilah berikut.

1. (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.

2. (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi. 3. (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam

komunikasi.

4. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa tulis atau bahasa lisan.

5. (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. 6. (I) Instrument sesuatu yang mendukung maksud.

7. (N) Norms (norma) mengacu pada pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.

8. (G) Genres (ragam / register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan. b. Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)

Grice menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.

1. Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan.

2. Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal–hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.

(36)

4. Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

5. Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.

c. Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)

Leech memandang prinsip kesantunan merupakan “piranti” untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Tuturan dianggap santun jika ditandai dengan hal-hal berikut.

1. Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan).

2. Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan).

3. Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian). 4. Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati).

5. Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan).

6. Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati).

7. Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak–banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan).

(37)

1. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan diri penutur, maka semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut.

2. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Semakin memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak maka semakin santunlah tuturan tersebut.

3. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, menunjuk pada langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan bersifat tidak langsung, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.

4. Authority scale atau skala keotoritasan, menunjuk pada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak status sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial antara keduanya, akan cenderung berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

(38)

dekat jarak sosial diantara keduanya,tuturan yang digunakan akan cenderung kurang santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin jauh jarak sosial antara keduanya maka cenderung semakin santunlah tuturan tersebut.

d. Indikator Kesantunan Menurut Pranowo (2005)

Indikator lain diungkapkan oleh Pranowo, bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut:

1. Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa).

2. Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu rasa). 3. Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang

berkenan di hati (empan papan).

4. Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (rendah hati).

5. Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat).

6. Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa salira).

Selain itu, indikator diatas juga dapat dilihat melalui pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata yang dapat mencerminkanrasa santun, misalnya:

1.Gunakan kata „tolong‟ untuk meminta bantuan orang lain.

(39)

3. Gunakan kata „maaf‟ untuk tuturan yang diperkirakan menyinggung perasaan

orang lain.

4. Gunakan kata „beliau‟ untuk menyebut orang ketiga yang lebih dihormati.

5. Gunakan kata „Anda‟ untuk menyebut orang lain yang belun dikenal.

2.2.8 Kurikulum 2013 (SMK)

Kurikulum dikembangkan dan diterapkan secara periodik setiap tahunnya, ini berbanding lurus dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang pesat. Dalam penyusunan kurikulum tersebut sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan nasional, melainkan harus dikembangkan dalam konteks internasional.

Terdapat beberapa karakteristik kebaruan kurikulum 2013 diantaranya sebagai berikut.

a. Cara pandang kurikulum 2013 berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Pada kurikulum 2013 mempunyai orientasi pada siswa, fokus pembelajaran terdapat pada siswa bukan pada guru.

b. Menggunakan pendekatan ilmiah (scientific) yang menekankan pada lima langkah, yaitu mengamati, menanya, menalar / mengumpulkan informasi, mencoba/eksperimen, dan komunikasi (lisan/tulis).

c. Kurikulum 2013 juga memperkenalkan Kompetensi Inti yang terbagi menjadi empat, yaitu.

c.1. KI 1 berisi tentang sikap religius c.2. KI 2 berisi tentang sikap sosial

(40)

c.4. KI 4 berisi tentang keterampilan

d. Penilaian kurikulum 2013 dilakukan untuk seluruh KI. KI 1 dan KI 2 dinilai menggunakan non tes (observasi, angket, dan skala sikap). Penilaian dengan tes biasanya digunakan untuk KI 3. Sedangkan, untuk KI 4 bisa menggunakan penilaian dalam bentuk tes maupun non tes (unjuk kerja, proyek, dan portofolio).

e. Tugas guru dalam kurikulum 2013 disamping sebagai fasilitator juga menyusun RPP sedangkan silabus tidak disusun oleh guru tetapi disediakan oleh pemerintah.

Pada kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik, langkah-langkah pendekatan tersebut adalah:

1. Mengamati (observing)

Pada proses mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik menjadi senang dan tertantang, mudah pelaksanaannya. Hal lain manfaat dari proses ini adalah untuk pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.

2. Menanya (questioning)

(41)

didik, pada saat itu ia mendorong muridnya untuk menjadi pembelajar yang baik.

3. Menalar (associating)

Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi. Artinya, pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukkannya menjadi penggalan memori.

4. Mencoba (experimenting)

Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata, peserta didik harus mencoba terutama untuk mater yang sesuai, mata pelajaran IPA misalnya. Kegiatan pembelajaran dengan metode eksperimen dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu (a) persiapan, (b) pelaksanaan, (c) tindak lanjut.

5. Membentuk jejaring (networking)

Jejaring pembelajaran disebut juga pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran dimana kewenangan guru lebih bersifat direktif, sebaliknya peserta didiklah yang harus lebih aktif.

(42)
(43)

2.2.9 Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari peserta didik. Secara khusus, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan sikap atau nilai. Materi pembelajaran atau pokok-pokok materi perlu dirinci atau diuraikan kemudian diurutkan. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam merinci atau menguraikan materi pembelajaran adalah menentukan jenis materi pembelajaran. Isi mata ajar memberikan informasi yang diperlukan dalam pokok bahasan. Pada gilirannya, informasi menumbuhkan pengetahuan yang merupakan tata hubungan antara rincian fakta.

Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya kompetensi inti dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.

Materi pembelajaran dipilih seoptimal mungkin untuk membantu peserta didik dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pemilihan materi pembelajaran adalah jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan (adequacy). 1.Relevansi atau kesesuaian.

(44)

2.Konsistensi atau keajegan.

Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik ada dua macam, maka materi yang harus diajarkan juga harus meliputi dua macam.

3. Adequacy atau kecukupan.

Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum.

2.2.10 Tipe-tipe Materi

Tipe-tipe materi pembelajaran dapat diklasifikasi sebagai berikut. 1. Fakta

Fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi nama, objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainya.

2. Konsep

(45)

3.Prinsip

Prinsip dapat berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting, meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat.

4. Prosedur

Prosedur merupakan langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem.

5. Sikap atau Nilai

Sikap merupakan hasil dari proses belajar aspek sikap, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar, dan bekerja.

2.2.11 Unsur-unsur Pembelajaran

(46)

Beberapa tips yang diberikan oleh Kaufeldt berkaitan dengan ke-6 unsur pembelajaran tersebut adalah:

1. Lingkungan Fisik

a. Pertimbangkanlah bagaimana dampak-dampak yang akan muncul oleh adanya rangsangan lingkungan terhadap otak dan tubuh (fisik) siswa.

b. Buatlah pengubahan tempat duduk dalam ruang kelas anda agar dapat mengakomodasi pilihan-pilihan yang diinginkan oleh siswa.

c. Guru juga mengkaji kemungkinan-kemungkinan penggunaan tempat belajar (sumber belajar) lainnya selain dalam ruang kelas.

2. Lingkungan Sosial

a. Kepada semua siswa, guru harus dapat memantapkan perasaan memiliki dan diikutsertakan dalam kelompok-kelompok belajar.

b. Buatlah pengaturan terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran dimulai dalam kaitan pembentukan pasangan diskusi atau kelompok-kelompok belajar. Ini dpat membantu mengurangi kemungkinan stres pada siswa dn tentu saja lebih menghemat waktu.

c. Guru harus mampu mengenali kelompok-kelompok belajar yang terbentuk secara natural di dalam kelas. Ini penting karena dapat membantu guru mengajar ulang atau mengelompokkan siswa-siswa berdasarkan minat mereka.

3. Penyajian oleh Guru

(47)

b. Buatlah koneksi antara konsep dan keterampilan baru dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehingga membuat pembelajaran mereka menjadi kontekstual.

c. Buatlah proses-proses pembelajaran dan penemuan dengan sebuah proyek, percobaan, eksperimen, atau pemanfaatan IT.

4. Konten atau Materi Pembelajaran

a. Selalu menekankan arti konten, relevansi, dan manfaatnya sehingga siswa tertantang dan termotivasi untuk belajar.

b. Buatlah siswa menjadi terpikat dengan materi ajar. Caranya dengan mengajarkan suatu wilayah spesifik secara lebih mendalam.

c. Usahakan mengatur agar pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum itu cocok dan dapat memberi akomodasi kepada seluruh siswa dalam berbagai tingkatan dan kesiapan siswa yang berbeda-beda.

5. Proses Pembelajaran

a. Dalam proses pembelajaran, masukkan beragam kegiatan dan refleksi agar terbangun ingatan jangka panjang.

b. Susunlah secara harmonis peluang-peluang untuk pilihan dengan menggunakan berbagai tingkat kemampuan siswa sehingga mereka berkesempatan untuk sukses.

(48)

a. Rancanglah urutan-urutan proyek sehingga memungkinkan siswa untuk mengaplikasikan pemahamannya melaluipencapaian-pencapaian nyata. b. Berikan tugas-tugas, atau pertanyaan-pertanyaan pada level yang lebih

tinggi (higher order thinking) dalam taksonomi Bloom.

c. Rancanglah beragam produk dan tes bagi siswa untuk menunjukkan seberapa dalam pemahaman mereka akan suatu konten pembelajaran.

2.2.12 Kerangka Berpikir

Pragmatik

Kesantunan Kurikulum

Pengembangan materi pembelajaran kesantunan

[image:48.595.102.500.264.574.2]

Modul kesantunan

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji tentang pemakaian bahasa antara unsur bahasa itu sendiri dan pemakai bahasa.

(49)

Leech (1993), adalah sebuah tuturan dikatakan santun apabila memenuhi enam maksim yang termasuk dalam prinsip kesantunan. Maksim tersebut adalah kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hasil, kesetujuan, dan kesimpatian. Menurut Brown dan Levinson (1978), kesantunan itu berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar semua yang dilakukan, dimilikinya diakui oleh orang lain sebagai hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai. Sebaliknya, muka negatif mengacu pada citra diri seseorang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Grice (1975), berpendapat kesantunan akan tercapai jika memenuhi empat maksim. Maksim tersebut adalah maksim kualitas, kuantitas, relevansi, dan pelaksanaan. Sedangkan Pranowo (2005), berpendapat bahwa kesantunan dapat dicapai ketika memperhatikan hal-hal berikut : (1) angon rasa, (2) adu rasa, (3) empan papan, (4) sifat rendah hati, (5) sikap hormat, dan (6) tepa selira (Abdul Chaer, 2010:45).

Dari berbagai pengertian kesantunan bahasa yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kesantunan adalah sebuah tuturan yang tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan pada lawan tutur, dan lawan tutur menjadi senang dan memenuhi maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

(50)

teknologi yang pesat. Sehingga diharapkan penggunaan kurikulum dapat membantu proses belajar siswa dengan lebih baik.

Dari teori kesantunan yang telah ada dan kurikulum sebagai panduan pembelajaran maka disusunlah sebuah pengembangan pembelajaran kesantunan bahasa Indonesia bagi siswa. Sehingga dapat terwujud pembelajaran yang lebih baik dan santun, dan tercipta lingkungan komunikasi yang baik antara guru dan murid.

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan pembelajaran (Learning Development Research). Penelitian ini ingin mengembangkan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK, sehingga tuturan yang terjadi di dalam kelas pada saat kegiatan belajar mengajar dapat santun.

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer, peneliti mengumpulkan data secara langsung dari sumber datanya. Subjek uji coba dari penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta, yang diwakili oleh kelas XII Teknik Pertambangan-A, yang berjumlah 29 siswa dan kelas XII Teknik Otomasi Industri, yang berjumlah 28 siswa, SMK Negeri 2 Depok, Yogyakarta.

3.3Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi.

3.4Metode Pengumpulan Data

(52)

berkaitan dengan proses belajar mengajar), (2) analisis kebutuhan siswa, dan (3) wawancara dengan siswa dan guru.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan teknik wawancara dan angket. Analisis kebutuhan materi pembelajaran kesantunan. Peneliti membuat rambu-rambu wawancara dan observasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Instrumen tersebut dapat dilihat pada lembar lampiran.

3.6Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada kajian analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis dengan rincian dan menjelaskan secara runtut keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Langkah teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Tahap tabulasi data

Kegiatan pengolahan data diawali dengan tabulasi data dalam suatu tabel induk.

b. Tahap identifikasi

Peneliti melakukan identifikasi terhadap data yang telah terkumpul. c. Tahap interpretasi

Pemaknaan temuan – temuan dalam penelitian. d. Tahap deskripsi

(53)

3.7 Metode Penelitian Dan Pengembangan (Research and Development)

Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiono,2010:408). Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas. Penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk tertentu untuk bidang pendidikan dan sosial masih rendah.

Menurut ahli lain penelitian pengembangan adalah penelitian yang bertujuan untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (Punaji,2010:196). Pengembangan dalam pengertian secara umum berarti pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolusi), dan perubahan secara bertahap. Selain itu, menurut Nana (2005) penelitian dan pengembangan adalah sebuah proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan.

(54)

3.7.1 Potensi dan Masalah

Penelitian dapat berangkat dari adanya potensi atau masalah. Potensi adalah segala sesuatu yang bila didayagunakan akan memiliki nilai tambah. Sedangkan, masalah adalah penyimpangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Kenakalan remaja adalah salah satu contoh masalah dewasa ini. Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa ketidaksantunan atau ketidaksopanan antara guru dan murid. Sehingga potensi untuk memasukkan kesantunan berbahasa Indonesia dalam pembelajaran sangat perlu untuk dilakukan.

3.7.2 Pengumpulan Data

Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara faktual dan terkini, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.

3.7.3 Desain Produk

Produk yang dihasilkan dalam penelitian dan pengembangan bermacam-macam. Dalam dunia pendidikan, produk yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pendidikan. Produk pendidikan misalnya buku ajar, modul, metode mengajar, kurikulum, dan lainnya.

3.7.4 Validasi Desain

(55)

beberapa pakar atau tenaga ahli yang sudah berpengalaman untuk menilai produk baru yang dirancang tersebut.

3.7.5 Revisi Desain

Setelah desain produk divalidasi melalui diskusi dengan pakar dan para ahli, maka akan diketahui kelemahannya. Dari kelemahan tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan cara memperbaiki desain oleh peneliti itu sendiri.

3.7.6 Uji Coba Produk

Dalam bidang pendidikan desain produk bisa langsung diuji coba setelah divalidasi dan direvisi. Pengujian dilakukan untuk mendapatkn informasi apakah metode baru tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode mengajar yang lama.

3.7.7 Revisi Produk

Desain metode belajar perlu direvisi agar kreatifitas murid dalam belajar meningkat. Setelah direvisi, maka perlu diuji coba pada kelas yang lebih luas. Setelah diperbaiki maka dapat diproduksi masal, atau digunakan pada lembaga pendidikan yang lebih luas.

3.7.8 Uji Coba Pemakaian Produk

Setelah pengujian terhadap produk berhasil, maka produk baru tersebut dapat diterapkan dalam lingkup lembaga yang lebih luas.

3.7.9 Revisi Produk

(56)
[image:56.595.99.511.124.596.2]

Gambar 3.1 Prosedur Pengembangan Produk

3.8 Prosedur Pembuatan Produk

Pengembangan materi pembelajaran kesantunan berbahasa Indonesia didasarkan pada teori Sugiono (2010). Berdasarkan hasil analisis data di atas, peneliti mengembangkan produk dengan tahapan sebagai berikut.

a. Melakukan observasi dan mengumpulkan data terhadap masalah

ketidaksantunan di sekolah.

Pada tahap ini peneliti melakukan observasi terhadap masalah kesantunan siswa di SMKN 2 Depok. Peneliti menggunakan teknik observasi kelas, kuesioner, dan wawancara sebagai instrumennya. Teknik observasi kelas digunakan peneliti untuk mengetahui sejauh mana interaksi kesantunan bahasa antara guru dan siswa, maupun siswa dan siswa yang terjalin selama proses belajar mengajar berlangsung.

Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan angket kuesioner kepada seluruh siswa. Siswa diharapkan menjawab beberapa pertanyaan dengan mengisi

Pengumpulan data atau informasi

Desain produk

Validasi desain Revisi desain

Uji coba produk

Revisi produk Uji coba

pemakaian produk

Revisi produk Potensi dan

(57)

kolom yang tersedia dengan jawaban yang sejujurnya, mengenai kesantunan bahasa yang mereka kuasai dan mereka pergunakan dalam percakapan sehari-hari, baik dikelas maupun dilingkungan sekolah.

Langkah yang terakhir adalah wawancara dengan siswa dan guru. Langkah ini digunakan sebagai umpan balik dari langkah sebelumnya. Pada langkah wawancara ini peneliti melakukan cross check beberapa pertanyaan dari kuesioner bagaimana pendapat siswa dan guru mengenai kesantunan bahasa yang mereka ketahui.

b. Membuat desain produk yang akan dihasilkan (modul).

Berdasarkan langkah di atas, pada tahap ini peneliti membuat modul pembelajaran kesantunan berbahasa untuk siswa.

c. Penilaian desain produk (modul).

Pada tahap penilaian ini, modul dinilai oleh seorang ahli dibidangnya. Penilaian dilakuakan untuk mengetahui layak atau tidaknya modul tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kesantunan berbahasa siswa.

d. Revisi desain

Bila modul belum layak dan belum memenuhi kriteria yang semestinya, maka dilakukan revisi.

e. Melakukan uji coba produk (modul).

(58)

f. Revisi Produk

Dari hasil uji coba lapangan tersebut diperoleh saran dan masukan agar modul yang dihasilkan nantinya dapat lebih baik. Setelah mendapat saran dan masukan, dilakukan revisi produk.

g. Produk Akhir

(59)
[image:59.595.100.498.116.568.2]

Gambar 3.2 Bagan Pengembangan Modul Kesantunan Siswa Pengambilan data

menggunakan analisis kebutuhan

Desain materi yang akan dipergunakan

Penilaian oleh para ahli

Revisi produk

Uji coba lapangan

Revisi produk

Produk akhir

Konsultasi dengan para ahli

Observasi kelas Kuesioner Wawancara

(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

4.1 Deskripsi Data

Penelitian ini digunakan untuk mengembangkan materi kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian sebelumnya yang membahas tentang kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK. Pengembangan kesantunan berbahasa Indonesia bagi siswa SMK dirasa perlu karena akhir-akhir ini sering sekali terjadi tawuran antar pelajar atau bahkan antar sekolah, yang mungkin penyebabnya adalah sebuah celotehan atau gurauan antar siswa.

Data diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 23-24 Januari 2015. Data dalam penelitian ini berjumlah 57 untuk kuesioner, 4 untuk wawancara, dan 2 untuk observasi. Ini terbagi atas siswa kelas XII Teknik Pertambangan-A berjumlah 29 siswa, dan siswa kelas XII Teknik Otomasi Industri berjumlah 28 siswa. Peneliti menggunakan metode observasi, analisis kebutuhan siswa, dan angket.

(61)

serta bahasa daerah dalam berinteraksi dengan sesama teman di kelas maupun diluar kelas. Lebih dari 50% siswa dengan sengaja maupun tidak menyinggung perasaan dan mencela barang maupun orang lain. Sebagian besar dari siswa bahkan bisa dikatakan semunya telah menggunakan bahasa Indonesia dengan frasa atau kata yang beraura santun diantaranya tolong, maaf, dan terimakasih. Namun, kata „beliau‟ dan „Anda‟ masih belum digunakan untuk menyebut orang

lain yang lebih dihormati. Siswa lebih cenderung berbicara secara langsung pada pokok permasalahan dibandingkan dengan berbicara secara panjang lebar. Kurang dari 50% siswa lebih suka berbicara secara langsung daripada berbicara lanjang lebar, sedangkan kurang dari 50% siswa yang lain masih suka berbicara secara tidak langsung.

Data kedua berupa wawancara dengan guru dan siswa yang terdiri dari tiga pertanyaan. Data ini digunakan sebagai umpan balik (cross check) dari pertanyaan kuesioner yang diajukan kepada siswa. Sehingga diperoleh data yang akurat tentang permasalahan yang sedang diteliti. Hasilnya siswa sebenarnya mengetahui bahwa berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari itu sangat penting dilakukan dan bahasa merupakan sebuah identitas dari orang tersebut. Semakin santun bahasa yang digunakan, akan semakin dihargailah orang tersebut.

(62)

bahasa yang kurang santun terhadap guru dan sesama siswa yang lain. Ketika siswa berbicara dengan sesama teman, dan menegur teman yang salah, dengan kata yang tidak santun seperti “goblok (bodoh)”, ada pula yang menyoraki teman

yang mendapat nilai jelek, tak sedikit pula yang memenggal atau memotong kalimat teman atau guru yang sedang menjelaskan sesuatu.

4.2 Analisis Data

4.2.1 Analisis Data Kuesioner

Dewasa ini penggunaan bahasa yang santun cenderung kurang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dalam lingkungan pendidikan/sekolah. Siswa lebih cenderung mengikuti tren bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta santun. Bahasa yang tidak santun dapat berakibat lunturnya kepedulian antar sesama, bahkan akibat buruknya dapat menjadi sumber permusuhan dan perselisihan. Dari hasil angket, peneliti mengelompokkan hasilnya kedalam beberapa kolom sebagai berikut.

1. Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun

(63)
[image:63.595.102.503.141.563.2]

Tabel 4.1 Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun

No Pertanyaan Ya Tidak Sering

Kadang-kadang 1. Apakah Anda selalu

menggunakan kata „tolong‟ untuk

meminta bantuan pada orang lain?

32 - 11 14

2. Apakah Anda selalu

menggunakan frasa „terima kasih‟

sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain?

41 - 10 6

3. Apakah Anda selalu

menggunakan kata „maaf‟ketika

tuturanmu menyinggung perasaan orang lain?

35 1 9 12

4. Apakah Anda selalu

menggunakan kata „beliau‟ untuk

menyebut orang ketiga yang lebih dihormati?

16 14 2 25

5. Apakah Anda selalu

menggunakan kata „Anda‟ untuk

menyebut orang lain yang belum dikenal?

13 20 6 18

Dapat dilihat dari hasil kuesioner di atas, pada penggunaan kata yang beraura santun. Terdapat 14 siswa (56%) yang menjawab kadang-kadang ketika menggunakan kata „tolong‟ ketika mereka meminta bantuan pada orang lain.

Jumlah ini masih lebih banyak dibanding dengan jawaban sering sebanyak 11 siswa (19%). Dari sini dapat kita katakan bahwa ada beberapa siswa yang masih belum menggunakan kata „tolong‟ untuk meminta bantuan pada orang lain. Ketika

menginginkan bantuan dari orang lain seharusnya menggunakan kata “tolong”.

(64)

Saat menerima bantuan dari orang lain kata “terima kasih” dapat mewakili

atas jasa yang telah orang lain lakukan. Dengan demikian, mereka akan merasa dihargai atas apa yang dilakukan. Jika dilihat dari hasil kuesioner tersebut lebih dari (50%), atau sebanyak 41 siswa sudah melakukan hal tersebut.

Setiap individu pasti pernah melakukan kesalahan, setiap kali bersalah kita pasti langsung meminta maaf agar kesalahan kita dapat diampuni dan tidak menimbulkan dendam. Namun tidak semua orang dapat melakukan hal tersebut. Ini dibuktikan dari hasil kuesioner terdapat 1 siswa yang tidak menggunakan kata

„maaf‟ ketika melakukan kesalahan. Siswa yang menjawab kadan-kadang

sebanyak 12 orang (21%). Artinya, ada beberapa siswa yang dengan sengaja berbuat salah dan enggan untuk meminta maaf. Hal tersebut tentu bukan cerminan berbahasa Indonesia yang santun. Jika kondisi seperti ini masih dilakukan, ditakutkan dapat menimbulkan tawuran antar pelajar, kekacauan, dan kesalahpahaman.

Begitupun dengan penggunaan kata sapaan „beliau‟ dan „Anda‟. Sebanyak 14

siswa (25%) tidak menggunakan kata tersebut untuk menyebut orang ke-3 yang lebih dihormati. Jumlah ini mempunyai selisih sedikit dengan siswa yang menggunakan kata sapaan tersebut untuk menyebut orang ke-3 yang lebih dihormati, yakni 16 siswa (28%). Artinya, siswa masih cenderung menggunakan kata „dia‟ untuk menyebut orang ke-3.

Kata „Anda‟ rupanya belum cukup banyak digunakan untuk menyapa orang

(65)

penggunaan kata „beliau‟, masih banyak siswa yang menggunakan sebutan

„kamu‟ ketika berbicara dengan orang yang belum dikenal. Tidak salah karena kata „kamu‟ juga digunakan dalam bahasa Indonesia, namun alangkah lebih baik dan lebih santun menggunakan kata „Anda‟.

2. Penggunaan Bahasa dalam Pergaulan

[image:65.595.105.509.260.714.2]

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua siswa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan di sekolah maupun di rumah. Sebagian dari mereka banyak menggunakan bahasa daerah dan bahasa gaul sebagai bahasa keseharian mereka. Ini dikarenakan mereka mendapat B1 (bahasa ibu) adalah bahasa daerah bukan bahasa Indonesia. Data dapat dilihat pada deskripsi berikut.

Tabel 4.2 Penggunaan Bahasa dalam Pergaulan

No Pertanyaan Ya Tidak Sering

Kadang-kadang 1. Apakah Anda menggunakan bahasa

Indonesia dalam percakapan sehari-hari?

6 6 9 36

2. Apakah Anda berbicara menggunakan bahasa gaul terhadap teman di kelas maupun di luar kelas?

4 21 6 25

3. Apakah Anda berbicara menggunakan bahasa gaul terhadap guru di kelas maupun di luar kelas?

- 55 - 2

4. Apakah Anda berbicara menggunakan campuran antara bahasa gaul dan bahasa Indonesia terhadap teman di kelas maupun di luar kelas?

9 19 7 22

5. Apakah Anda berbicara menggunakan campuran antara bahasa gaul dan bahasa Indonesia terhadap guru di kelas

maupun di luar kelas?

(66)

Berdasarkan hasil kuesioner yang diujicobakan pada siswa didapatkan hasil sebagai berikut. Dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari siswa menjawab ya sebanyak 6 orang, dan 9 orang menjawab sering. Namun, sebanyak 6 orang menjawab tidak dan 36 orang menjawab kadang-kadang. Ini menunjukkan bahwa siswa tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Selain penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, ternyata masih ada siswa yang menggunakan bahasa gaul (bahasa anak muda zaman sekarang). Sebanyak 4 orang masih mnggunakan dalam percakapan sehari-hari, 25 orang menjawab kadang-kadang, siswa menjawab sering sebanak 6 orang dan jawaban tidak sebanyak 21 orang.

Ketika siswa ditanya apakah mereka menggunakan campuran bahasa gaul dan bahasa Indonesia dalam percakapan antar teman, siswa menjawab tidak sebanyak 19 orang. Siswa menjawab ya sebanyak 9 orang, sering 7 orang, dan 22 orang menjawab kadang-kadang. Artinya, masih banyak siswa yang belum menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta santun dalam percakapan sehari-hari.

(67)

sering mengikuti perkembangan mode atau tren berbahasa masa kini. Siswa cenderung menggunakan bahasa gaul.

Meskipun begitu, siswa cukup tahu bahwa berbicara dengan guru tentu tidak santun jika menggunakan bahasa gaulatau bahasa lain selain bahasa Indonesia. Ini terbukti 55 orang menjawab tidak ketika ditanya apakah menggunakan bahasa gaul dengan guru di kelas maupun di luar kelas. Selain itu, 49 siswa menjawab tidak ketika ditanya apakah menggunakan campuran bahasa gaul dan bahasa Indonesia dalam kelas maupun di luar kelas. Dari data tersebut dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa sebagian besar siswa masih menganut paham lama ketika berbicara dengan lawan tutur. Berbicara santun hanya kepada orang yang umurnya lebih tua. Sebenarnya berbicara santun tidak hanya dilakukan atau dipraktikkan kepada orang yang umurnya lebih tua saja. Pada saat sekarang ini, berbicara kepada orang yang lebih muda pun seharusnya menggunakan bahasa yang santun.

3. Penggunaan Maksim Kerendahan Hati

(68)
[image:68.595.98.510.140.565.2]

Tabel 4.3 Penggunaan Maksim Kerendahan Hati

No Pertanyaan Ya Tidak Sering

Kadang-kadang 1. Ketika berbicara apakah pernah

menempatkan posisi diri lebih tinggi dari orang lain?

2 33 1 21

2. Ketika berbicara apakah pernah memuji diri sendiri atau

membanggakan diri sendiri pada orang lain?

3 28 - 26

Teori kesantunan yang banyak dipakai oleh beberapa orang adalah teori kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983). Dalam karya ilmiah ini penulis mencantumkan lima (5) diantaranya adalah maksim kerendahan hati, maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim penerimaan. Maksim kerendahan hati menurut Leech (1983) adalah maksim yang menuntut setiap peserta tuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Dari data kuesioner yang berkaitan dengan maksim kerendahan hati, ketika siswa ditanya apakah pernah menempatkan diri lebih tinggu dari orang lain, siswa menjawab tidak sebanyak 33 orang. 21 orang menjawab kadang-kadang, 2 orang menjawab ya, dan 1 orang menjawab sering. Artinya, banyak siswa yang telah mempraktikkan maksim ini dalam percakapan sehari-hari. Namun, masih terdapat beberapa orang yang memang dengan sengaja dan memiliki alasan tertentu menempatkan dirinya lebih unggul dan lebih baik dibandingkan oran lain.

(69)

orang menjawab ya, dan 26 orang menjawab kadang-kadang. Dari data tersebut, siswa yang senang membanggakan diri sendiri cenderung sedikit. Sesungguhnya membanggakan diri sendiri dan tidakan memuji diri sendiri di depan orang lain jika dilakukan pada batasan yang wajar merupakan hal yang baik. Dalam kasus ini, tindakan yang dilakukan sudah mel

Gambar

Tabel 4.1 Penggunaan Bahasa yang Beraura Santun .................................     45
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Prosedur Pengembangan Produk
Gambar 3.2 Bagan Pengembangan Modul Kesantunan Siswa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan era sebelumnya, dimana negara berperan sentral dalam tatanan sosial melalui aparatus yang menyimpang, maka di era reformasi civil society menjadi kuat melalui

213 (KB) oleh pemerintah ibu yang melahirkan lebih dari 5x tidak ditemui lagi, hal ini sangat bagus sekali karena dapat mengurangi resiko terjadinya ibu

terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Metode observasi yang dilakukan adalah observasi semi. partisipan, di mana peneliti melakukan observasi ketika

dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang menghasilkan bentuk persamaan fungsi produksi sebagai berikut: LN_Output= 7,366LN_MD 0,039 LN_TK 0,560 LN_BB

Pasal 4 Kepala Desa dan Perangkat Desa diberiikan penghasilan tetap setiap bulan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Desa setelah mendapat persetujuan dari BPD dan

Namun, sampai saat ini di sekolah tersebut dalam pengolahan data akademik masih menggunakan metode atau cara manual, dimana semua data (data siswa, data guru,

tipe investigasi kelompok pada materi keanekaragaman makhluk hidup ?.. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Olahraga Dan Kesehatan. © Adhnan widieana 2014 Universitas