PENGATURAN TINDAK PIDANA YANG MENGHAMBAT PROSES
PERADILAN (CONTEMPT OF COURT) DALAM SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA
ABSTRAK
Perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan manusia. Demikian
juga perkembangan sosial mempengaruhi perkembangan kejahatan. Adapun Salah satunya, yaitu perbuatan yang dianggap merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan terhadap peradilan. Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court. Rancangan Undang-Undang KUHP, di dalam perumusannya mencoba menerapkan kebijakan kriminalisasi perbuatan Contempt of Court. Istilah Contempt of Court dikenal dalam sistem Common Law, di mana dalam Rancangan KUHP Indonesia istilah tersebut diterjemahkan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan. Tulisan ini membahas apakah tindakan Contempt of Court perlu dikriminalisasi.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif merupakan suatu penelitian bersifat deduktif. Bahan-bahan hukum yang digunakan antara lain bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer terdiri dari penjelasan undang, Rancangan undang-undang KUHP dan literatur-literatur, kajian akademis, tesis-tesis. Metode pendekatan yuridis normatif bertujuan untuk mengetahui pengertian Contempt of Court dan
mengkaji kriminalisasi terhadap tindakan Contempt of Court, serta urgensitas
Contempt of Court dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penulis menyimpulkan bahwa pengertian tindakan Contempt of Court adalah
segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat menghilangkan sifat sakral dari suatu peradilan dan merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan
badan peradilan. Dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat dikriminalisasi
sehingga perlu diatur dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana indonesia. Dalam penegakkan hukumnya harus berdasarkan asas legalitas sehingga perlu adanya pengesahan undang-undang. Tetapi, sebelum dilakukannya pengesahan maka harus ada pembenahan dalam pasal karena tidak semua pasal dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana tersebut dapat dikriminalisasi.
REGULATIONS FOR THE CRIMINAL ACT OF OBSTRUCTING THE COURSE OF JUSTICE (CONTEMPT OF COURT) IN THE INDONESIAN
CRIMINAL LAW SYSTEM
ABSTRACT
Social developments may affect the various patterns of human action. By the same token, social growth may well have an impact on the development of crime. It so happens that one of these criminal acts consists of certain behavior that disparages and undermines the authority, dignity and honor of the judicature. This form of crime is generally referred to as Contempt of Court. The parliamentary draft for the Criminal Code (KUHP) attempts to apply the policy of criminalization in its formulization of the criminal act known as Contempt of Court. The legal term Contempt of Court has been known in the Common Law system, where the term is interpreted (in the draft or Parliamentary Bill for the Indonesian Criminal Code mentioned above) as a criminal offense against the legal process or in broader terms, the actual course of justice. This research study discusses the issue of whether the criminal act defined as Contempt of Court is in need of criminalization or not.
The method used consists of the juridical-normative research method. This particular method can be classified as a deductive form of research. Among others, the legal sources and materials used include primary legal sources consisting of legislative regulations, while the secondary ones comprise library materials that contain information in primary references made up of clarifications of laws and ordinances, drafts (bills) for laws that fall under the Criminal Code, and various sources from the available literature, academic studies and theses on the subject. The juridical-normative approach aims to establish the correct interpretation of Contempt of Court and investigates its criminalization in order to determine the degree of its urgency in the draft or Parliamentary Bill for the Indonesian Penal Code. Upholding the law must be based on the principle of legality, so there is an obvious need for legalization of the laws involved. However, before this step is to be taken, the related sections (legal articles) dealing with this particular issue must be adjusted and improved, for as a matter of fact, not all sections in the proposal mentioned above can be subjected to criminalization.
Halaman Judul ………... i
Halaman Pernyataan Keaslian ……… ii
Halaman Persetujuan Skripsi ……… iii
Halaman Pengesahan Pembimbing ………... iv
Halaman Persetujuan Panitia Sidang ………. v
Abstrak ……….. vi
Abstract ………. vii
Kata Pengantar ……….. viii
Daftar Isi ……… x
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang ……….. 1
B. Identifikasi Masalah ………. 13
C. Tujuan Penelitian ……….. 13
D. Kegunaan ……….. 13
E. Kerangka Pemikiran ……….. 14
F. Metode Penelitian ……….. 17
G. Sistematika Penulisan ……… 20
BAB II SISTEM HUKUM PIDANA DAN PERADILAN PIDANA INDONESIA ………. 22 A. Pengertian & Asas Hukum Pidana ……….. 22
B. Sifat Publik dari Hukum Pidana, Tujuan Hukum Pidana dan Peradilan Pidana Indonesia ………. 29 C. Tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit ……….. 37
D. Jenis-Jenis Perbuatan Pidana ………. 40
E. Pembaharuan Hukum Pidana Materil Indonesia (KUHP)……….. 43 BAB III CONTEMPT OF COURT DAN PERKEMBANGANNYA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA ………. 49 A. Sejarah dan Pengertian Contempt of Court ……….. 49
B. Jenis dan Bentuk Contempt of Court ……… 53
C. Perkembangan Pengaturan Contempt of Court dalam
Sistem Hukum Indonesia ……….
65
BAB IV PENGATURAN TINDAK PIDANA YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT
OF COURT) DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA ………...……
BAB V PENUTUP ………. 101
A. Kesimpulan ……… 101
B. Saran ………. 103
DAFTAR PUSTAKA ……… 104
DATA PRIBADI
Nama : MAGDALENA ZEBUA
Alamat : Jalan Surya Sumantri No. 68 A
Nomor Telepon : 081370675076
Email : zebuamagda@gmail.com
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat,Tanggal Kelahiran : Gunungsitoli, 05 Desember 1990
Agama : Kristen Protestan
RIWAYAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Jenjang Pendidikan :
2010 - sekarang Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung
2005 - 2008 SMA N 3 Plus Ya’ahowu Gunungsitoli,Nias
2002 - 2005 SMP N 3 Gunungsitoli,Nias
1996 - 2002 SD N 05 Gunungsitoli, Nias
Pendidikan Non Formal / Training – Seminar/Perlombaan
1. Seminar Ketatanegaraan Dalam Konstitusi yang diselenggarakan oleh: Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha, Jumat-Sabtu, 29-30 April 2011.
2. Seminar Nasional Problematika Hukum Dalam Implementasi Bisnis Dan
Investasi (perspektif Multidimensi), yang diselenggarakan pada 24 November
4. Lomba Debat Internal “Piala Dekan” Fakultas Hukum Universitas Kristen
Maranatha Tahun 2012.
5. Seminar Pendidikan Profesi Hukum “Implikasi Profesi Hukum Terhadap
Pembangunan Bangsa”, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung 17,14,dan 31 Maret 2012.
6. Seminar Nasional “Penegakkan Hukum dan Upaya Pencegahan Terhadap
Kejahatan Perbankan”, yang diselenggarakan senat mahasiswa sekolah tinggi
hukum bandung, 16 juni 2011.
7. Seminat nasional Call For Paper, “Problematika Hukum dalam Implementasi
Bisnis dan Investasi, yang diselenggarakan fakultas hukum universitas Kristen
maranatha, 24 November 2011.
8. Seminar “Go Green with Information Technology” yang diselenggarakan
Fakultas Teknologi Informasi, 17 maret 2009.
PENGALAMAN ORGANISASI
2011- sekarang Tim Debat Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha
2011 – 2012 Bagian Aspirasi Mahasiswa di Badan Perwakilan Mahasiswa
Fakultas hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun
2011-2012
2011 – 2012 Asisten Laboratorium Hukum Universitas Kristen Maranatha
2008-sekarang PMK IT
Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.
A. Latar Belakang
Berdasarkan fungsinya, kaidah hukum dibedakan menjadi kaidah hukum
materil dan kaidah hukum formil. Pengertian kaidah hukum materil adalah
kaidah hukum yang mengatur tentang isi hubungan antar manusia atau yang
menetapkan perbuatan atau perilaku apa yang diharuskan atau dilarang atau
diperbolehkan, termasuk akibat-akibat hukum dan ancaman-ancaman sanksi
bagi pelanggarnya.
Kaidah hukum materil disebut juga sebagai hukum substantif. Kaidah
hukum formil adalah kaidah hukum yang mengatur tata cara yang harus
ditempuh dalam mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materil,
khususnya upaya penyelesaian perselisihan melalui pengadilan. Hukum formil
disebut juga sebagai hukum prosedural atau hukum acara.
Kaidah hukum materil dan kaidah hukum formil sangat erat
hubungannya. Kaidah hukum materil menggantungkan peran atau fungsinya
kepada hukum formil. Hukum materil dapat berfungsi dengan baik apabila
hukum formil mampu secara baik untuk melaksanakan fungsinya dalam
sebagai hukum yang baik apabila hukum materil dapat dipertahankan dan
dijalankan sebaik-baiknya.
Dalam lingkup hukum pidana dikenal hukum pidana materil dan hukum
pidana formil. Antara hukum pidana materil dan hukum pidana formil
hubungannya sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Hukum pidana formil
tidak mungkin ada tanpa adanya hukum pidana materil, sebaliknya hukum
pidana materil akan kehilangan maknanya tanpa keberadaan hukum pidana
formil.
Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan
yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,
aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat dipidana dan ketentuan
mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum pidana yang
mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat perlengkapannya
melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.1
Perkembangan kondisi sosial mempengaruhi perkembangan substansi
hukum dalam sumber hukum formil (perundang-undangan). Sumber hukum
materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi
atau pandangan keagaamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan
internasional, keadaan geografis.2
1
Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. Yogyakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 52. 2
Menurut Saut P. Panjaitan, sumber hukum materil yaitu faktor-faktor
atau kenyataan-kenyataan yang turut menentukan isi dari hukum. Isi hukum
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor idiil dan faktor sosial masyarakat.
Faktor idiil adalah faktor yang berdasarkan kepada cita masyarakat akan
keadilan. Sedangkan faktor sosial masyarakat tercemin dalam bentuk struktur
ekonomi, kebiasaan-kebiasaan, tata hukum negara lain, agama dan kesusilaan
dan kesadaran hukum.3
Jenis-jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, terdapat
dalam substansi hukum materil. Secara teoritis terdapat beberapa jenis
perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan-perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak
dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan. Pelanggaran (wetdelichten) adalah perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik.4
3
Saut P. Panjaitan. Dasar-dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian, dan Sistematika). Universitas Sriwijaya, Palembang , 1998, hlm. 145-146.
4
Perkembangan dan perubahan sosial suatu masyarakat merupakan suatu
hal yang normal, justru dikatakan tidak normal jika tidak terjadi perubahan.
Demikian juga dengan hukum yang digunakan oleh suatu bangsa merupakan
cerminan dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Hukum
sebagai tatanan kehidupan yang mengatur pergaulan masyarakat dengan
segala peran dan fungsinya akan ikut berubah mengikuti perubahan sosial
yang melingkupinya.5
Perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan
merubah konsepsi mengenai kejahatan dalam hukum pidana. Hukum pidana
sendiri merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan,
sementara kejahatan itu sendiri merupakan akibat dari perubahan dan
perkembangan sosial. Hukum pidana akan dirasa tidak memiliki manfaat yang
berarti jika ia hanya berkutat dengan konsep, asas, dan teori yang dibuat untuk
menanggulangi berbagai fenomena sosial destruktif masa lalu.6 Dalam
perkembangannya, perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan
manusia salah satunya adalah perbuatan yang dianggap merendahkan dan
merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan terhadap peradilan dunia.
Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court.
Rancangan Undang-Undang KUHP Indonesia, di dalam perumusannya
mencoba menerapkan kebijakan kriminalisasi. Salah satu tindakan yang
5
Abdul Manan. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 77. 6
dikriminalisasi adalah tindakan Contempt of Court. Istilah Contempt of Court
dikenal dalam sistem Common Law, dimana dalam Rancangan KUHP
Indonesia istilah tersebut diterjemahkan sebagai tindak pidana terhadap proses
peradilan. Pada awalnya tujuan diaturnya Contempt of Court adalah untuk
melindungi kekuasaan lembaga-lembaga umum atau istimewa, administrasi
peradilan dan pengadilan. Contempt of Court dipandang sebagai suatu
kejahatan khusus, sehingga orang yang melakukan tindak pidana Contempt of
Court dijatuhi hukuman yang keras dan bersifat memaksa.
Di Indonesia istilah Contempt of Court baru dikenal pada tahun 1985
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung. Dalam Penjelasan Umum butir 4, yang disebutkan :
“untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.”7
Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa pengertiannya tertuju
pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Namun karena
suatu lembaga adalah suatu yang abstrak, maka ketiga hal tersebut yaitu
wibawa, martabat dan kehormatan tertuju pada :
7
a. Manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut;
b. Hasil buatan lembaga tersebut;
c. Proses kegiatan dari lembaga tersebut;8
Oleh karena itu, apabila terdapat perbuatan-perbuatan atau tindak pidana
yang ditujukan terhadap tiga hal tersebut di atas, maka perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan
(Contempt of Court) .
Adapun beberapa rumusan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana
terhadap proses peradilan (Contempt of Court) yang dimasukkan ke dalam
RUU KUHP, antara lain :9
1. Penasihat hukum yang dalam pekerjaannya memberikan bantuan hukum,
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan
kepentingan yang dibantunya.
2. Penasihat hukum yang dalam pekerjaannya memberikan bantuan hukum
untuk memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan
maksud mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru
8
Padmo Wahyono. Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia, dalam era Hukum No.1 Tahun I November 1987. hlm 22.
9
bahasa, penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang
bersangkutan.
3. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau
pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan
menjalani pidana itu untuk orang lain.
4. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas
peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu
proses sidang peradilan.
5. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan
dilakukannya publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang
dapat mempengaruhi sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.
6. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana
terorisme, korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang
menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam
penyidikan.
Sedangkan ketentuan lainnya merupakan ketentuan-ketentuan dari
pasal-pasal yang sudah ada dalam KUHP yang saat ini berlaku, seperti dalam
ketentuan :
1. Pasal 210 KUHP :
2. Pasal 216 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalang - halangi
penyidikan.
3. Pasal 217 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menimbulkan kegaduhan dalam
sidang.
4. Pasal 221 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menyembunyikan tersangka.
5. Pasal 222 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalangi otopsi.
6. Pasal 223 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu meloloskan atau membantu
meloloskan terpidana.
7. Pasal 224 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan.
8. Pasal 225 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi surat perintah
untuk menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan.
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menarik suatu barang yang disita
serta menghancurkan dan merusak barang yang disita sehingga tidak dapat
dipakai.
10.Pasal 232 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu merusak penyegelan suatu
benda.
11.Pasal 233 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghancurkan atau
menghilangkan barang–barang yang digunakan.
12.Pasal 317 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu melakukan pengaduan atau
pemberitahuan palsu tentang seseorang.
13.Pasal 417 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menggelapkan, menghancurkan
barang sehingga tidak dapat dipakai lagi.
14.Pasal 522 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan
sebagai saksi, ahli atau juru bahasa.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan melawan hukum
Di Indonesia sering terjadi peristiwa di mana terdakwa menghambat proses
beracara di Pengadilan. Contoh kasus yang menghambat proses persidangan
antara lain :
1. Kasus Nunun Nurbaetie (Kasus Cek Pelawat)
Dalam kasus ini, terdakwa pura-pura sakit lupa akut sehingga proses
persidangan ditunda dan pada akhirnya Nunun tertangkap di sebuah
rumah di kawasan Saphan Sun, Bangkok, Thailand. 10 Tindakan
berpura-pura sakit lupa akut merupakan tindakan yang menghambat proses
persidangan.
2. Kasus Nenek Leona (Kasus penipuan dan penggelapan terkait
jual-beli tanah dengan pengusaha Jakarta Putra Masagung)
Dalam kasus ini, terdakwa berpura-pura sakit dan sidang ditunda sampai
batas waktu yang belum ditentukan. Proses persidangan berlarut-larut dan
sidangnya sering ditunda karena dalih sakit.11 Tindakan berpura-pura sakit
merupakan tindakan yang menghambat proses persidangan.
3. Kasus Angelina Sondakh (Kasus korupsi pembahasan anggaran di
Kementerian Pemuda dan Olahraga dan kementrian Pendidikan
Nasional)
10
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/12/12/lw32it-nunun-kembali-jalani-pemeriksaan-di-kpk diakses tanggal 12 desember 2011
11
Dalam kasus ini, terdakwa memberikan keterangan palsu dengan mengaku
tidak memiliki HP Nokia yang merupakan barang bukti adanya
percakapan dengan tersangka lainnya Mindo Rosalina Manulang. Dalam
pengakuannya Angie mengakui HP-nya rusak karena tercebur kekolam.
Dalam kesaksian Angie ini membantah dirinya melakukan komunikasi
dengan Rosa. Dengan adanya hal tersebut , maka hal itu dapat
menghambat proses persidangan.12 Tindakan terdakwa memberikan
keterangan palsu merupakan tindakan yang menghambat proses
persidangan.
4. Kasus Kerusuhan 1 Mei 2008
Dalam kasus ini, dalam sidang lanjutan ratusan anggota FPI berdatangan
di pengadilan negeri Jakarta pusat. Beberapa anggota FPI tampak
berusaha mendobrak pintu pagar pengadilan negeri yang sengaja
ditutup.13 Tindakan membuat kerusuhan merupakan tindakan yang
menghambat proses persidangan.
Fakta di atas menunjukkan masih kurang penghargaan dan penghormatan
terhadap lembaga peradilan. Perlunya pengaturan kriminalisasi tindakan
Contempt of Court di Indonesia, supaya lembaga peradilan menjadi lembaga
yang terhormat dan bermartabat. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
12
http://www.merdeka.com/artis/barang-bukti-kasus-angie-dilempar-keanu-ke-kolam.html diakses pada hari Rabu, 15 Februari 2012.
13
tentang Mahkamah Agung, terutama penjelasan Umum butir 4 yang
menyatakan bahwa :
“untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.”
Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan bebas,
mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan
hukum yang ada dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan
yang mandiri yaitu pengadilan.
Peradilan atau pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan
terhormat dalam proses penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Penting,
karena bertugas untuk menegakkan hukum yang diharapkan selaras dengan
keadilan. Terhormat, karena diisi oleh orang-orang yang dipercaya dapat
menjamin penegakan hukum. Namun belakangan ini institusi ini menjadi
pudar, bersamaan dengan perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang
menyelewengkan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa saat pada saat diundangkannya
situasi yang kurang kondusif dalam praktek peradilan di Indonesia yang
menuntut perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses
peradilan. Situasi ini ditanggapi oleh para hakim, dengan mengajukan ide
ataupun usulan mengenai perlunya dibentuk suatu undang-undang atau aturan
khusus yang dapat memberikan perlindungan terhadap para hakim dalam
menjalankan tugasnya.14
Tindakan-tindakan tersebut aturannya sudah ada, tetapi tersebar di
berbagai Undang-undang misalnya keterangan palsu, penyuapan oleh penegak
hukum, kerusuhan dan lain sebagainya. Tindakan Contempt of Court diatur
khusus untuk menghormati martabat pengadilan.
Peneliti tertarik membahas permasalahan apakah tindakan Contempt of
Court dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat dikriminalisasikan dan
perlu diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud Contempt of Court menurut sistem hukum Indonesia?
2. Apakah tindakan Contempt of Court dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana?
3. Apa yang menjadi urgensi pengaturan tindakan pidana yang menghambat
proses peradilan (Contempt of Court) dalam sistem hukum Indonesia?
14
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji secara komprehesif mengenai Contempt of Court menurut
sistem hukum Indonesia.
2. Mengkaji kualifikasi tindakan Contempt of Court sebagai tindak pidana.
3. Mengkaji urgensi tindakan Contempt of Court dalam Rancangan
Undang-Undang KUHP.
D. Kegunaan
1. Memberikan gambaran dan pemahaman secara komprehesif tentang
Contempt of Court dalam sistem hukum Indonesia.
2. Memberikan gambaran dan pemahaman kualifikasi tindakan Contempt of
Court sebagai tindak pidana dalam sistem hukum Indonesia.
3. Memberikan gambaran dan pemahaman urgensi tindakan Contempt of
Court dalam Rancangan Undang-Undang KUHP.
E. Kerangka Pemikiran
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Suatu delik atau
tindak pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia memiliki akibat pada
masyarakat umum (publik) yaitu meresahkan sehingga tidak dapat dibiarkan.
Terjadinya delik mengganggu ketenangan hidup, keamanan dan segala
sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena
sifat publik.15 Dengan demikian, tujuannya berkaitan erat dengan masalah
yang diteliti oleh penulis.
Teori Negara hukum formil, menurut Imannuel Kant Negara hukum
formil yaitu Negara yang mendapat pengesahan dari rakyat, segala tindakan
penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan
undang-undang. Negara hukum formil disebut juga “Negara Demokrasi” yang
berlandaskan kepada Negara hukum.16 Di dalam implementasi pembentukkan
hukum harus ada pengesahan dasar hukumnya.
Penanggulangan kejahatan dilakukan dengan mendayagunakan hukum
pidana dengan melarang perbuatan-perbuatan tertentu disertai ancaman sanksi
pidananya melalui suatu kebijakan. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan
kriminalisasi. Joko Prakorso dengan mengutip pendapat Sudarto mengatakan,
bahwa kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya
undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa
pidana. 17
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa kriminalisasi dapat
diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan perbuatan apa yang akan
dilarang karena membahayakan atau merugikan, dan sanksi apa yang akan
15
Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Cetakan kedua 2012. Hlm 6. 16
Yesmil Anwar,Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep,Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Widya padjadjaran. 2009, hlm 117-118.
17
dijatuhkan, maka sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai proses
penegakannya.18
Berdasarkan pengertian kriminalisasi di atas, ruang lingkup kriminalisasi
tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang semula bukan
merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman
sanksi tertentu, tetapi juga berkaitan dengan pemberatan sanksi pidana
terhadap tindak pidana yang sudah ada. 19
Setiap negara menginginkan adanya ketertiban dan ketentraman serta
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Sebagai Negara yang
konstitusinya menamakan dirinya Negara hukum, maka sesungguhnya fungsi
lembaga peradilan bagi Indonesia sangatlah penting. Kepentingan manusia,
baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh
bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi.
Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja disebutkan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan
kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Penal, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 154.
19
termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu
dalam kenyataan di masyarakat.20
Asas hukum pidana Indonesia yaitu asas nulla poena,sine lege yang artinya
tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan. Dengan asas ini, suatu perbuatan seseorang tidak
dapat dipidana apabila tidak ada aturan hukum yang diatur di dalam
Undang-undang. Asas ini juga disebut asas legalitas. Dalam asas legalitas dikenal asas
lex certa artinya pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan
rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana. Pembuat
undang-undang harus mendefenisikan dengan jelas tanpa samar-samar
(nullum crimen sine lege stricta).
Untuk menegaskan apakah Contempt of Court merupakan tindak pidana,
berdasarkan asas legalitas, suatu rumusan delik harus tertulis dalam peraturan
perundang-undangan sehingga perlu dikaji apakah Contempt of Court perlu
dikriminalisasikan atau tidak.
F. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian senantiasa digunakan cara kerja. Cara kerja adalah
langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisis, menjawab dan
memecahkan masalah dalam penelitian. Cara kerja inilah yang dikategorikan
20
sebagai metode penelitian. Adapun penelitian ini menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif dan perbandingan hukum.
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu penelitian yang
secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur permasalahan diatas. Penelitian
hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi
kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan.
Sedangkan yang bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan
antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam
prakteknya.
Menggunakan metode perbandingan hukum berdasarkan penelitian
terhadap hukum dari berbagai negara dengan teknik perbandingan.21
Bermacam hal yang berhubungan dengan pembuatan, pengaplikasian dan
administrasi hukum juga ditemukan dalam metode ini sebagai suatu garis
pedoman, alat dalam kecakapan bekerja dan sebuah rancangan pada
situasi dimana sistem tersebut dapat dibangun pada bidang masing-masing
dengan memperbandingkan hukum di negara mereka dengan sistem
hukum lainnya.
21
2. Penelitian Yuridis Normatif dan Perbandingan Hukum menggunakan data
sekunder, terdiri dari :
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan
ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta
yang diketahui maupun mengenai gagasan atau ide. Bahan hukum
primer ini mencakup peraturan perundang-undangan antara lain, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, dan Rancangan Undang-undang KUHP.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer, terdiri atas penjelasan undang-undang,
rancangan undang-undang KUHP dan literatur-literatur, kajian
akademik, tesis-tesis tentang tindakan Contempt of Court dalam sistem
hukum pidana Indonesia, bahan-bahan seminar, simposium dan
diskusi panel.
3. Langkah-langkah Penelitian
Langkah penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi
kepustakaan menunjuk pada suatu cara memperoleh data yang diperlukan,
dengan menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan
dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan.
4. Sifat Penelitian
Penelitian skripsi ini bersifat Preskriptif, yaitu dengan menggambarkan
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma hukum. Sifat preskriptif di mana suatu penerapan yang salah akan
berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang
benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak
dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam
menetapkan standar prosedur atau acara harus juga berpegang kepada
sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum yang bersifat
preskriptif akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan
standar dan cara tersebut. Hasil dari studi tersebut berupa
preskripsi-preskripsi.22 Sehingga dari penelitian yang bersifat preskriptif ini dapat
menemukan standard an cara agar mencapai dari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum.
5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum diperoleh dari berbagai sumber. Bahan hukum yang
diperoleh keseluruhannya dikumpulkan baik berupa buku, literatur,
makalah ataupun jurnal.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini sistematika penyajian yang disusun oleh peneliti
diuraikan sebagai berikut :
22
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, kegunaan, kerangka pemikiran,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : SISTEM HUKUM DAN PERADILAN PIDANA DI
INDONESIA
Bab ini akan menguraikan tentang pengertian & asas hukum
pidana, sifat publik hukum pidana dan tujuan hukum pidana,
tindak pidana atau strafbaar feit, jenis-jenis perbuatan
pidana, pembaharuan hukum pidana materil Indonesia
(KUHP), dan kebijakan kriminal & kebijakan hukum
pidana serta peradilan pidana di Indonesia.
BAB III : CONTEMPT OF COURT
Bab ini akan menguraikan tentang Contempt of Court yang
akan diuraikan sejarah, Negara yang mengatur tentang
Contempt of Court, aturan apa saja yang diatur dalam
Contempt of Court.
Bab ini akan menguraikan pembahasan alternatif pemecahan
masalah. Argumen-argumen yang disertai dengan bukti
misalnya berupa matriks, bagan, dan sebagainya.
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Contempt of Court di Indonesia tidak diklasifikasikan sebagai
Civil Contempt, Criminal Contempt, Direct Contempt, dan Indirect
Contempt. Dalam sistem Indonesia Contempt of Court merupakan
perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong
kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat
mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of
judiciary). Contempt of Court juga dapat diartikan sebagai perbuatan baik
secara aktif maupun pasif yang dilakukan baik di pengadilan maupun
diluar pengadilan yang dianggap merendahkan dan merongrong
kewibawaan peradilan. Sehingga, Contempt of Court dalam Sistem
Hukum Indonesia merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan
ucapan yang dapat menghilangkan sifat sakral dari suatu peradilan dan
merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.
2. Bahwa tindakan Contempt of Court dikategorikan sebagai tindak pidana
karena perbuatan tersebut meresahkan sistem peradilan di Indonesia. Pada
peradilan. Dari rincian tindak pidana yang akan diatur dalam Rancangan
Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa tidak semua pasal dapat dijadikan
sebagai tindak pidana. Beberapa alasan, penulis berpendapat tidak semua
pasal dapat dijadikan sebagai tindak pidana antara lain :
a. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP masih bersifat hukum privat
(perdata), misalnya pada pasal 328 butir (a) RUU KUHP. Dalam pasal
ini, seharusnya advokat sudah mengadakan kesepakatan dengan pihak
lawan maka kesepakatan ini sudah diketahui kedua belah pihak.
b. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP terdapat pasal yang kurang
memberi kejelasan secara melawan hukum.
c. Beberapa Pasal dalam RUU KUHP bertentangan dengan asas atau
prinsip hukum lain misalnya hak asasi manusia.
Jadi, penulis berpendapat tidak semua pasal dijadikan sebagai tindak
pidana sehingga perlu ada pembenahan dalam pasal-pasal yang ada dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.
3. Contempt of Court perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hukum
Pidana dengan alasan antara lain :
a. Tindakan Contempt of Court memenuhi syarat-syarat untuk
dikriminalisasi yakni : perbuatan yang dapat meresahkan,
merongrong wibawa peradilan, tidak menghormati proses peradilan
b. Pembatasan untung atau rugi diaturnya Contempt of Court dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yakni biaya
mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya
cost pengaturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan
Undang-undang Kitab Hukum Pidana, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku tindakan
tersebut seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
B. Saran
1. Kebijakan pemerintah untuk menegakkan Contempt of Court terutama
dalam penerapan sanksi bagi pelaku.
2. Peraturan tindakan Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang
Kitab Hukum Pidana harus dibenahi karena terdapat beberapa pasal yang
A.Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.
Barda Nawawi Arief. Kebijakan-kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.
Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.
Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan. Citra Aditya Bakti 2005.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana 2010.
Bushar Muhamad. Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. PT. Pradnya Paramita
1986.
Koentjaraningrat. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi dalam BPHN,
Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta
1986.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali (Edisi Kedua). Sinar Grafika 2009 .
M. Abdul Kholiq. Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum
Moeljatno. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta 2008.
Muladi & Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni 1992.
Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Alumni
1992.
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika 2011.
M. Sholehuddin. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya. Raja Garfindo Persada 2004.
P.A.F. Lamintang. S.H. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. P.T. Citra Aditya
Bakti 1997.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana 2010.
Romli Atmasasimita. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Putra Bardin 1996.
Soerjono Soekanto. Kriminologi : “Suatu Pengantar”. Ghalia Indoesia 1981
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru 1983.
Sudarto. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip 1990.
Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana I. Sinar Grafika 2007.
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung 1962.
Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia). Widya
Padjadjaran 2009.
Yesmil Anwar & Adang. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjadjaran 2009.
Jurnal Contempt of Court dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum
Pidana.
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana.
Internet :
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-terdakwa-dan-tersangka_15.html