• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID – ARBOXYMETHYLCELLULOSE DENGAN LARUTAN DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA TIKUS WISTAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID – ARBOXYMETHYLCELLULOSE DENGAN LARUTAN DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA TIKUS WISTAR."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN

HYALURONIC ACID

CARBOXYMETHYLCELLULOSE

DENGAN LARUTAN

DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM

MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI

INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA

TIKUS WISTAR

CARYL AUGUSTINE JOHANNA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN

HYALURONIC ACID

CARBOXYMETHYLCELLULOSE

DENGAN LARUTAN

DEXTRAN 40 SECARA INTRAPERITONEAL DALAM

MENURUNKAN KEJADIAN ADHESI

INTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI PADA

TIKUS WISTAR

CARYL AUGUSTINE JOHANNA NIM . 1014024842

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN

HYALURONIC ACID

CARBOXYMETHYLCELLULOSE

DENGAN LARUTAN DEXTRAN 40 SECARA

INTRAPERITONEAL DALAM MENURUNKAN

KEJADIAN ADHESI INTRAPERITONEAL

PASCALAPAROTOMI PADA

TIKUS WISTAR

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

CARYL AUGUSTINE JOHANNA NIM 1014024842

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(4)

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 18 MEI 2016

Mengetahui,

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 18 Mei 2016 Pembimbing I,

Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD NIP. 196005151988021001

Pembimbing II,

dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD NIP. 197111112000121003

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP. 195805211985031002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

(5)

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor : 2125/UN14.4/HK/2016, Tertanggal : 12 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD

Anggota :

1. dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD

2. dr. I. B. Darma Putra, SpB-KBD

3. Dr. dr. I Ketut Widiana, SpB(K) Onk

4. Dr. dr. Nyoman Putu Riasa, SpBP-RE(K)

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas berkat dan rahmat–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

akhir ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan,

(7)

berharga dari semua pihak, karya akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik dan

lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD,

dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa,

SpOT(K), yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di

Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, SpS(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Biomedik

Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Kekhususan

Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,

MSc, Sp.GK, atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi

mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined

degree).

Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/

SMF Ilmu Bedah di RSUP Sanglah Denpasar.

Kepala Bagian/ SMF Ilmu Bedah FK UNUD/ RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr.

(8)

untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian/ SMF Ilmu

Bedah FK UNUD/ RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat,

serta masukan selama pembuatan karya akhir ini.

Kepala SMF Bedah Umum FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. I. B. Darma

Putra, SpB-KBD atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk

menyelesaikan karya akhir ini

Pembimbing utama penelitian, Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD, yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan,

dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Pembimbing kedua dalam penelitian ini, dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD,

yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar

penyelesaian karya akhir ini.

Para penguji karya akhir, Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD, dr. I Made

Mulyawan, SpB-KBD, dr. I. B. Darma Putra, SpB-KBD, Dr. dr. I Ketut Widiana,

SpB(K)Onk, Dr. dr. Nyoman Putu Riasa, SpBP-RE(K), yang telah banyak

memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan karya akhir ini.

Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Ketut

Wiargitha, SpB(K) Trauma, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah FK

UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Putu Anda Tusta Adiputra, SpB(K)Onk, yang

memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah FK UNUD/ RSUP Sanglah

(9)

banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya selama mengikuti

pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya akhir ini.

Staf pengajar Universitas Udayana, terutama Dr. drh. I.B. Oka Winaya,

MKes, Prof. Dr. drh. I.B. Komang Ardana, MKes, dan Pak Gede Wiranatha yang

setia membantu serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya akhir ini.

Orang tua saya, dr. Djohan Zen, Esther Chen, BA, Suami saya dr. Albert

Daru Buwono, putri saya Calysta Emmanuella, atas cinta kasih, motivasi, dan

dukungan yang tiada henti selama saya menjalani pendidikan spesialis ini.

Seluruh sahabat dan rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan

dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah,

seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah,

Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya akhir ini dapat bermanfaat,dan penulis memohon

maaf atas segala kekurangan dalam karya akhir ini.

Denpasar, Mei 2016

Caryl Augustine

(10)

ABSTRAK

PERBANDINGAN PEMBERIAN LARUTAN HYALURONIC ACID

CARBOXYMETHYLCELLULOSE DENGANLARUTAN DEXTRAN 40

SECARA INTRAPERITONEALDALAM MENURUNKAN KEJADIAN ADHESIINTRAPERITONEAL PASCALAPAROTOMI

PADATIKUS WISTAR

Latar Belakang : Sembilan puluh tiga persen dari pasien yang menjalani pembedahan abdomen mengalami adhesi intraperitoneal. Adhesi intraperitoneal sangat mempengaruhi kualitas hidup dari jutaan orang dan mengakibatkan pengeluaran biaya yang cukup tinggi di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemberian larutan HA – CMC secara intraperitoneal menurunkan kejadian adhesi intraperitoneal.

(11)

test untuk data kejadian adhesi, dan, analisis perbandingan rerata untuk membandingkan rerata jumlah makrofag dan fibroblas.

Hasil : Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian adhesi intraperitoneal antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Adapun pemberian larutan HA-CMC menurunkan infiltrasi makrofag dan fibroblast secara bermakna dibandingkan dengan kontrol.

Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan bahwa pemberian larutan HA-CMC dan pemberian larutan dextran 40 memiliki kemampuan yang sama sebagai antiadhesi. Adapun penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum bahan ini dapat diujicobakan pada manusia.

Kata kunci : adhesi intraperitoneal, larutan HA-CMC, makrofag, fibroblas

ABSTRACT

COMPARISON OF INTRAPERITONEAL HYALURONIC ACID – CARBOXYMETHYLCELLULOSE SOLUTION AND DEXTRAN 40

SOLUTION IN DECREASING POST-LAPAROTOMY INTRAPERITONEAL ADHESION RATE IN WISTAR RAT

Background : Ninety three percent of patients undergone abdominal surgery developed intraperitoneal adhesion. Intraperitoneal adhesion affected the quality of life of millions of people and costed large amount of money all over the world. This study aimed to prove that intraperitoneal HA-CMC solution decreased intraperitoneal adhesion rate.

Methods : This is an experimental study with randomized post test only control group design. Twenty 3-month-old male Wistar rats, weighing 200-250 g were placed in controlled and clean cages with free access to food and drink. They were laparatomized under general anesthesia. The caecum of the rats were abraded until spots of haemmorage were seen. Experimental group was given 0,5 cc of HA-CMC solution on the abraded site, while the control group was given 1,5 cc of dextran 40 solution intraperitoneally. The fascia and the skin was then sutured layer per layer. On post-operative day 14, relaparotomy was done to assess the adhesion rate and obtain the abraded caecal tissue to count the infiltrating macrophage and fibroblast. Descriptive statistic analysis using cross table followed by non-parametric inferential statistic analysis using Chi-square test was done to assess the adhesion rate, and, mean comparison analysis was done to assess the means of macrophage and fibroblast.

(12)

lowered macrophage and fibroblast infiltration significantly compared to the control group.

Conclusion : This study concluded that HA-CMC solution and dextran 40 solution had the same ability in preventing adhesion. Further study was needed before this solution could be applied on human.

Keywords : intraperitoneal adhesion, HA-CMC solution, macrophage, fibroblast

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

(13)

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Ilmiah ... 5

1.4.2 Manfaat Klinik ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Adhesi Intraperitoneal dan Epidemiologinya... 6

2.1.1 Adhesi Intraperitoneal ... 6

2.1.2 Epidemiologi Adhesi Intraperitoneal ... 6

2.2 Penyembuhan Peritoneum dan Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal7 2.2.1 Penyembuhan Peritoneum ... 7

2.2.2 Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal ... 10

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Adhesi Intraperitoneal ... 13

2.4 Konsekuensi dan Derajat dari Adhesi Intraperitoneal ... 14

2.4.1 Konsekuensi Klinis, Ekonomis, dan Medikolegal dari Adhesi Intraperitoneal ... 14

2.4.2 Derajat dari Adhesi Intraperitoneal ... 16

2.5 Pencegahan Adhesi Intraperitoneal ... 18

2.5.1 Pendekatan Pembedahan ... 18

2.5.2 Teknik Pembedahan ... 19

2.5.3 Adjuvan Pembedahan... 20

2.6 Pemisahan Secara Mekanis ... 22

2.6.1 Peran HA-CMC(Hyaluronic acid-Carboxymethylcellulose) dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal ... 24

2.6.1.1Hidrogel Berbasis Polisakarida ... 24

2.6.1.2Hyaluronic acid-Carboxymethylcellulose (HA-CMC) sebagai Hidrogel Berbasis Polisakarida ... 25

2.6.2 Peran Dextran Dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal .. 30

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN.32 3.1 Kerangka Berpikir ... 32

3.2 Kerangka Konsep ... 35

3.3 Hipotesis Penelitian ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN ... 37

4.1 Rancangan Penelitian ... 37

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

4.2.1 Tempat Penelitian... 38

4.2.2 Waktu Penelitian ... 38

4.3 Penentuan Sumber Data ... 38

4.3.1 Populasi dan Sampel ... 38

4.3.2 Kriteria Eligibilitas ... 38

(14)

4.3.2.2Kriteria Eksklusi... 39

4.3.3 Besar Sampel ... 39

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 40

4.3.5 Cara Pengumpulan Data ... 41

4.4 Variabel Penelitian ... 41

4.4.1 Klasifikasi Variabel ... 41

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 41

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian... 43

4.6 Alur Penelitian ... 44

4.7 Skema Alur Penelitian... 46

4.8 Analisis Data ... 47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

5.1 Hasil ... 50

5.1.1 Kejadian Adhesi Intraperitoneal ... 50

5.1.2 Jumlah Infiltrasi Makrofag ... 51

5.1.3 Jumlah Infiltrasi Fibroblas ... 52

5.2 Pembahasan ... 53

5.2.1 Kejadian Adhesi Intraperitoneal ... 53

5.2.2 Jumlah Infiltrasi Makrofag ... 57

5.2.3 Jumlah Infiltrasi Fibroblas ... 59

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 61

6.1 Simpulan ... 61

6.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Keseimbangan antara Plasminogen Aktivator dan Plasminogen Inhibitor.... 11

2.2 Struktur Kimia Hidrogel Polisakarida yang Sering Digunakan: HYAL (Hyaluronic Acid) dan CMC (Carboxymethylcellulose)... 26

3.1 Konsep Penelitian... 35

4.1 Rancangan Penelitian ... 36

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Fibrinolitik dari Mesotel ... 12

2.2 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal ... 17

2.3 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Densitas ... 17

2.4 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Area Cedera ... 18

2.5 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Vaskularitas dan Densitas ... 18

2.6 Adjuvan dalam Mencegah Adhesi Postoperatif ... 20

4.1 Tabulasi Silang Gambaran Kejadian Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Kelompok Perlakuan ... 46

5.1 Perbedaan Larutan Anti-adhesi dan Kejadian Adhesi pada Hari ke-14 ... 49

5.2 Jumlah Infiltrasi Makrofag antara Kelompok pada Hari ke-14 ... 50

(17)

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN

ASA : American Society of Anesthesiologit

CARE : Clinical Adhesion Research and Evaluation

CI : Confidence Interval

CMC : Carboxymethylcellulose

ECM : Extracellular Matrix

EGF : Epidermal Growth Factor

FDA : Food and Drug Administration

HA : Hyaluronic Acid

HA-CMC : Hyaluronic Acid - Carboxymethylcellulose

HAPBS : HA with phosphate-buffered-saline

ICAM : Intracellular Adhesion Molecule

IL : Interleukin

IVF : In Vitro Fertilization

MCP : Monocyte Chemotactic Protein

MMP : Matrix Metalloprotease

MPA : Medroxyprogesterone acetate

MPS : Medical Protection Society

NHSLA : National Health Service Ligitation Authority

NK – 1 : Neurokinin-1 receptor

NOCC : N,O-carboxymethyl chitosan

NSAID : Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs

ORC : Oxidized-regenerated Cellulose

PAI : Plasminogen Activating Inhibitor

PAR : Protease-activated receptor

(18)

PF : Preventable Fraction

PMN : Polymorphonuclear

RANTES : Regulated Upon Activation Normal T-Cell Expressed and

Presumably Secreted

RR : Resiko Relatif

SB : Simpangan Baku

SCAR : Surgical and Clinical Adhesion Research

SP : Substance P

TGF : Transforming Growth Factor

TIMP : Tissue Inhibitors of Metalloproteinases

TNF : Tumor Necrotizing Factor

tPA : tissue type Plasminogen Activator

uPA : urokinase-type Plasminogen Activator

uPAI : urokinase Plasminogen Activator Inhibitor

VCAM : Vascular cell adhesion molecule

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik ... 67

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ... 68

Lampiran 3 Amandemen Perubahan Judul Penelitian ... 69

Lampiran 4 Makroskopis Kejadian Adhesi Intraperitoneal pada Kelompok Perlakuan (HA-CMC) ... 70

Lampiran 5 Makroskopis Kejadian Adhesi Intraperitoneal pada Kelompok Kontrol (Dextran 40) ... 71

Lampiran 6 Gambaran Histopatologi Caecum Pada Kelompok Perlakuan ... 72

Lampiran 7 Gambaran Histopatologi Caecum Pada Kelompok Kontrol... 73

Lampiran 8 Jumlah Infiltrasi Makrofag Dan Fibroblas pada Hari ke-14... 74

Lampiran 9 Analisis Data... 75

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sembilan puluh tiga persen dari pasien yang menjalani pembedahan

abdomen mengalami adhesi intraperitoneal. Adhesi intraperitoneal sangat

mempengaruhi kualitas hidup dari jutaan orang dan mengakibatkan pengeluaran

biaya yang cukup tinggi di seluruh dunia. Usaha untuk menangani adhesi

intraperitoneal dengan adhesiolisis bahkan diikuti dengan terbentuknya adhesi

kembali. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memahami patogenesis

terbentuknya adhesi, dan mencegah atau menurunkan kejadian adhesi.

Adhesi intraperitoneal pertama kali disebutkan pada pemeriksaan

postmortem pada pasien dengan tuberkulosis peritoneal pada tahun 1836.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada tahun 1849 menyebutkan bahwa cairan

limfe yang terkoagulasi berubah menjadi adhesi yang berfibrin. Pada tahun 1872,

Bryant melaporkan kasus obstruksi usus halus fatal yang terjadi karena adhesi

intraperitoneal yang terjadi setelah eksisi kista ovarium (Ergul dan Korukluoglu,

2008).

Pada tahun 1994 di Amerika Serikat, adhesiolisis merupakan alasan dari

303.836 pasien dirawat inapkan, menghabiskan biaya sebesar 1,33 milyar dolar,

dan total rawat inap selama 846.415 hari. Adapun pada tahun 2004, sebanyak

342.000 prosedur adhesiolisis telah dilakukan di Amerika Serikat. Bahkan setelah

(21)

Diketahui bahwa kematian terjadi pada 3% sampai 5% pasien dengan obstruksi

sederhana, dan meningkat menjadi sebesar 30% jika usus terstrangulasi, nekrosis,

dan perforasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pencegahan adhesi

intraperitoneal berpotensi memperbaiki hidup dari ratusan ribu warga Amerika

Serikat, dan menghemat pengeluaran biaya sebesar milyaran dolar pertahunnya

(Ergul dan Korukluoglu, 2008).

Di Inggris, dengan bantuan Medical Protection Society (MPS) dan

National Health Service Ligitation Authority (NHSLA), dilakukan pendataan

klaim kasus yang berhubungan dengan adhesi. Dalam periode 1995 sampai 2007,

ditemukan 79 kasus yang berhubungan dengan adhesi, di mana 41 di antaranya

adalah kasus ginekologi, dan 26 sisanya adalah kasus bedah umum. Dari 41 kasus

pembedahan ginekologi, 33 kasus telah ditutup dengan 19 klaim berhasil dan 8

kasus masih belum ditutup. Dari kasus bedah umum, 24 kasus telah ditutup

dengan 10 kasus sukses diklaim, dan 2 kasus masih belum ditutup (Ellis dan

Crowe, 2009).

Sebagai akibat dari adhesi yang terjadi, adhesiolisis menjadi prosedur yang

sering dilakukan. Adapun adhesi ini sering terbentuk kembali, sehingga

pencegahan lebih dipilih (Bove dan Chapelle, 2011). Pencegahan adhesi

intraperitoneal meliputi pencegahan berdasarkan pendekatan operasi

(Laparoskopik versus laparotomi), teknik operasi (konvensional versus

mikrosurgikal), dan adjuvant pembedahan. Terbentuknya adhesi intraperitoneal

masih tidak dapat dihindari walau dengan teknik laparoskopi yang baik,

(22)

pembedahan yang dapat mencegah pembentukan adhesi (Kamel, 2010). Banyak

usaha telah dilakukan untuk menemukan bahan kimia ataupun barrier (pelindung)

untuk mencegah adhesi dan rekurensinya. Usaha ini diharapkan dapat mencegah

tingginya morbiditas dan beban ekonomi (Bove dan Chapelle, 2011).

Adapun pemisahan permukaan peritoneum yang terbuka selama proses

penyembuhan merupakan metode yang ideal dalam mencegah adhesi postoperatif.

Hal ini dapat dilakukan dengan instilasi peritoneum (hydrofloatation) atau dengan

menggunakan barrier (pelindung) (Kamel, 2010).

Pemisahan secara instilasi diketahui mengakibatkan komplikasi yang tidak

sedikit. Adapun larutan dextran masih digunakan di Bali sampai saat ini untuk

pemisahan secara instilasi. Di sisi lain, pemisahan dengan menggunakan barrier

hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose (HA-CMC) dengan merek dagang

Seprafilm telah disetujui penggunaannya oleh badan Food and Drug

Administration (FDA) namun bentuknya yang berupa lembaran menyulitkan

penggunaannya. Dalam penelitian ini, penulis mengharapkan HA-CMC dalam

bentuk larutan (Guardix Sol) ini dapat menjadi barrier yang aman dan efektif

dalam mencegah adhesi intraperitoneal sehingga menurunkan biaya dan

(23)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah penelitian ini

adalah :

1. Apakah pemberian larutan HA – CMC secara intraperitoneal

menurunkan kejadian adhesi intraperitoneal pascalaparotomi pada

tikus Wistar?

2. Apakah pemberian larutan HA – CMC secara intraperitoneal

menurunkan infiltrasi makrofag pascalaparotomi pada tikus Wistar?

3. Apakah pemberian larutan HA – CMC secara intraperitoneal

menurunkan infiltrasi fibroblas pascalaparotomi pada tikus Wistar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk membuktikan bahwa pemberian larutan HA – CMC secara

intraperitoneal menurunkan kejadian adhesi intraperitoneal pada tindakan

laparotomi tikus Wistar.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kejadian adhesi intraperitoneal dengan pemberian

larutan HA - CMC intraperitoneal pada tindakan laparotomi tikus Wistar.

b. Untuk mengetahui infiltrasi makrofag pada lamina propria caecum yang

diabrasi dengan pemberian larutan HA - CMC intraperitoneal pada

(24)

c. Untuk mengetahui infiltrasi fibroblas pada lamina propria caecum yang

diabrasi dengan pemberian larutan HA - CMC intraperitoneal pada

tindakan laparotomi tikus Wistar.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini dapat menambah kasanah keilmuan mengenai efek

pemberian larutan HA - CMC intraperitoneal terhadap infiltrasi makrofag dan

fibroblas, dan, terjadinya adhesi intraperitoneal pada tindakan laparotomi.

1.4.2 Manfaat Klinik

Ahli bedah dapat menggunakan larutan HA - CMC intraperitoneal sebagai

protokol dalam tindakan laparotomi khususnya untuk menurunkan kejadian adhesi

(25)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adhesi Intraperitoneal dan Epidemiologinya

2.1.1 Adhesi Intraperitoneal

Adhesi intraperitoneal adalah ikatan patologis yang biasanya terjadi antara

omentum, usus, dan dinding abdomen. Ikatan ini dapat berupa lapisan jaringan

ikat tipis, sambungan fibrous tebal yang berisi pembuluh darah dan saraf, atau

perlengketan langsung antara kedua organ. Berdasarkan etiologinya, adhesi

intraperitoneal dibagi menjadi kongenital dan didapat, yang bisa diakibatkan

radang atau post operasi (Arung et al., 2011).

2.1.2 Epidemiologi Adhesi Intraperitoneal

Penilaian insiden yang sebenarnya dari terbentuknya adhesi intraperitoneal

sangat sulit dilakukan karena adhesi intraperitoneal yang asimptomatik jarang

ditemukan kecuali pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen di

kemudian hari atau menjalani otopsi (Lauder et al., 2010).

Adhesi intraperitoneal kebanyakan diinduksi oleh prosedur pembedahan

dalam cavum peritoneum, dengan prevalensi sebesar 63%-97% setelah prosedur

operasi abdomen mayor. Survei di Inggris pada tahun 1992 melaporkan total

12.000 – 14.400 kasus obstruksi karena adhesi intestinal pertahunnya.

Pembedahan kolorektal sebagai jenis pembedahan yang paling sering

(26)

Pada tahun 1994 di Amerika Serikat, ditemukan bahwa adhesiolisis

merupakan alasan 303.836 dari seluruh pasien dirawatinapkan (1% dari

keseluruhan rawat inap di Amerika Serikat pada tahun 1994), menghabiskan biaya

sebesar 1,33 milyar dolar, dan rawat inap selama 846.415 hari. Adapun pada

tahun 2004, sebesar 342.000 prosedur adhesiolisis telah dilakukan di Amerika

Serikat. Bahkan setelah dilakukan adhesiolisis, obstruksi yang rekuren sering

terjadi (8% sampai 32%). Diketahui bahwa kematian terjadi pada 3% sampai 5%

pasien dengan obstruksi sederhana, dan meningkat menjadi sebesar 30% jika usus

terstrangulasi, nekrosis, dan perforasi (Ergul dan Korukluoglu, 2008).

Penelitian oleh Surgical and Clinical Adhesion Research (SCAR) dengan

mengikuti 29,790 pasien yang telah menjalani operasi abdomen dan pelvis di

Skotlandia, dalam kurun waktu 10 tahun, dan diikuti readmisi ke rumah sakitnya.

Sekitar sepertiga pasien direadmisi dengan rata-rata 2,1 kali, untuk komplikasi

yang berhubungan langsung atau kemungkinan berhubungan dengan adhesi atau

telah menjalani operasi yang dikomplikasikan oleh adhesi intraperitoneal yang

terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Dan ditemukan pula bahwa resiko adhesi

tertinggi diakibatkan oleh prosedur pembedahan kolon dan rektum di bidang

bedah umum dan, ovarium dan tuba fallopi pada pembedahan ginekologi (Pados

et al., 2010).

2.2 Penyembuhan Peritoneum dan Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal

2.2.1 Penyembuhan Peritoneum

Pembentukan adhesi sangat erat hubungannya dengan penyembuhan luka.

(27)

fase. Fase pertama, inflamasi, ditandai dengan hemostasis dan inflamasi, aktivasi

kaskade pembekuan, vasodiloatasi yang terjadi karena pelepasan histamine dan

pelepasan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan prostaglandin-2a. Fase

kedua, proliferasi, ditandai dengan epitelialisasi, angiogenesis, pembentukan

jaringan granulasi dan deposisi kolagen. Fase ketiga, maturasi, ditandai dengan

kontraksi luka membentuk jaringan parut, penggantian kolagen tipe III oleh

kolagen tipe I yang lebih kuat dan pembuangan pembuluh darah yang tidak lagi

diperlukan melalui apoptosis (Vaze et al.,2010).

Perbedaan penyembuhan peritoneum dengan penyembuhan luka pada kulit

adalah di mana penyembuhan peritoneum terjadi epitelialisasi pada keseluruhan

permukaan secara simultan, sedangkan pada kulit terjadi epidermalisasi secara

bertahap dari tepi luka. Mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang besar

pada waktu yang sama dengan mesotel baru timbul pada pertengahan luka yang

kecil (diZerega dan Campeau, 2001).

Sel yang pertama kali muncul saat peritoneum cedera asalah sel

Polymorphonuclear (PMN). Sel mesotel yang cedera menghasilkan kemokin

interleukin-8 (IL-8) yang menarik sel PMN. Dua puluh empat sampai 36 jam

setelah cedera, jumlah sel PMN menurun, dan monosit berubah menjadi makrofag

yang direkrut oleh monocyte chemotactic protein-1(MCP-1) dan regulated upon

activation normal T-cell expressed, and presumably secreted (RANTES) - yang

juga disekresi oleh sel mesotel yang cedera. Asal makrofag ini adalah dari area

submesotel di mana mereka diam sebagai monosit yang tidak aktif. Makrofag

(28)

yang cedera dengan mengsekresi sitokin-sitokin, seperti IL-1β dan tumor

necrotizing factor α (TNFα) yang merangsang mesotel menghasilkan IL-6.

Makrofag tetap berada pada lokasi cedera sampai 10-14 hari setelah cedera

(Akerberg, 2013).

Setelah 3 sampai 4 hari, muncul sel-sel mesenkim punca yang primitif

pada luka yang berfungsi merestorasi peritoneum yang cedera. Pada saat yang

sama, fibroblas yang berproliferasi muncul, yang diperkirakan berasal dari area

lapisan submesotel atau dapat berasal dari sel mesenkim punca. Makrofag

kemudian menstimulasi fibroblas melalui transforming growth factor β (TGFβ)

dan substansi lain untuk menghasilkan extracellular matrix (ECM). Fibroblas

penting untuk remodelling jaringan dan pembangunan ECM (Akerberg, 2013).

Secara bertahap, matriks lapisan submesotel dibangun, sel mesotel mulai

muncul secara tersebar pada permukaan luka dan menyatu antara 5 sampai 7 hari

setelah cedera (Akerberg, 2013). Adapun sumber sel mesotel baru yang mengisi

defek peritoneum masih merupakan kontroversi. Penelitian-penelitian

memperkirakan bahwa sumber sel mesotel adalah transformasi dari sel-sel di

dalam cairan peritoneum, transformasi sel-sel mesenkim punca di dasar dan atau

transformasi sel-sel darah menjadi sel mesotel (Akerberg, 2013).

Lapisan mesotel penting dalam deposisi dan pembersihan fibrin local

dalam rongga serosal. Lapisan mesotel menghasilkan macam-macam faktor

seperti Plasminogen Activating Inhibitor (PAI) dan urokinase Plasminogen

Activator Inhibitor (uPAI). Penyembuhan lapisan mesotel merupakan tahap

(29)

Akhirnya, segala tipe cedera jaringan akan berujung pada satu dari empat

kemungkinan. Pertama, tercapainya kesamaan jaringan melalui mekanisme

perbaikan normal. Kedua, regenerasi yang terjadi dengan penggantian. Ketiga,

kurangnya penyembuhan, seperti yang terjadi pada ulkus kronis. Terakhir,

penyembuhan yang berlebihan, seperti yang terjadi pada jaringan parut dan

kontraktur (Vaze et al., 2010).

2.2.2 Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal

Sampai saat ini, patofisiologi adhesi intraperitoneal masih belum jelas dan

menjadi kontroversi (Arung et al., 2011). Secara umum, keseimbangan antara

deposisi fibrin dan degradasinya yang akan menentukan mekanisme

penyembuhan peritoneum apakah akan berjalan normal atau terbentuk adhesi.

Waktu yang dibutuhkan oleh mesotel untuk mengalami regenerasi komplit adalah

8 hari (Kamel, 2010).

Cedera peritoneum akan merangsang terjadinya radang, dan kemudian

mengaktivasi kaskade koagulasi, membentuk trombin, yang akan mengubah

fibrinogen menjadi fibrin. Pada pembedahan abdomen, terjadi gangguan

keseimbangan sehingga sistem koagulasi lebih besar pengaruhnya daripada sistem

fibrinolisis. Fibroblas menginvasi matriks fibrin dan membentuk ECM yang

kemudian dikumpulkan. ECM ini masih dapat didegradasi oleh proenzim dari

matriks metalloproteinase sehingga penyembuhan peritoneal menjadi normal. Jika

proses ini diinhibisi oleh tissue inhibitor dari matriks metalloproteinase, maka

terjadilah pembentukan adhesi. Secara umum, jika fibrinolisis tidak terjadi dalam

(30)

kolagen, membentuk adhesi, yang kemudian diikuti oleh tumbuhnya pembuluh

darah baru yang dimediasi oleh faktor angiogenik (Arung et al., 2011).

Cedera peritoneum

Inflamasi kerusakan dinding pembuluh darah

Dan mesotel

Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inihibitor. TIMP:

Tissue inhibitors of metalloproteinases; MMP: Matrix metalloproteinase; ECM:

Extracellular matrix; tPA: Tissue-type plasminogen activator; uPA: Urokinase-type plasminogen Activator; PAI: Plasminogen-activating inhibitor(Arung et al.,

2011).

(31)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas fibrinolitik dari mesotel (Brugmann

Plasminogen activation inhibitors (PAI 1/ 2)

Mechanical destruction of mesothelium

Transforming growth factor β (TGF β)

Intracellular adhesion molecule (ICAM 1)

Vascular cell adhesion molecule (VCAM)

Di sisi lain, aktivasi sistem fibrinolitik mengubah plasminogen menjadi

plasmin yang bekerja mendegradasi fibrin. Plasminogen aktivator terdiri dari

tissue type plasminogen activator (tPA) dan urokinase-type plasminogen

Activator (uPA), yang diekspresikan oleh sel endotel, sel mesotel, dan makrofag.

Di dalam peritoneum, 95% dari pengaktifan plasminogen diakibatkan oleh tPA.

(32)

fibrinnya lebih rendah, sehingga perannya lebih sedikit dalam mengaktivasi

plasminogen (Arung et al., 2011).

Aktivasi plasminogen dihambat oleh plasminogen activator inhibitor

(PAI)–1 dan -2, dimana PAI–1 adalah glikoprotein yang lebih kuat dalam

menginhibisi tPA dan uPA. PAI-1 dan PAI-2 diproduksi oleh sel endotel, sel

mesotel, monosit, makrofag, dan fibroblas. Plasminogen activator inhibitor lain

yang teridentifikasi yaitu PAI-3 dan protease nexin 1. Keseimbangan antara

plasminogen activator dan plasminogen inhibitor penting dalam menentukan

penyembuhan peritoneum. PAI-1 penting dalam pembentukan adhesi dan

konsentrasi PAI -1 ditemukan tinggi pada pasien dengan adhesi yang luas (Arung

et al., 2011).

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Adhesi Intraperitoneal

Adhesi intraperitoneal dapat terjadi sebagai respon terhadap cedera, di

mana pembedahan sebagai penyebab terseringnya. Prosedur pembedahan yang

sering menyebabkan adhesi intraperitoneal yaitu kolesistektomi, appendisektomi,

repair hernia, pembedahan kanker, pembedahan hepar, dan pembedahan sistem

reproduksi pelvis. Ovarium sering menjadi tempat terjadinya adhesi karena

letaknya yang dekat dengan permukaan peritoneum lainnya (Kamel, 2010).

Faktor resiko adhesi yaitu manipulasi kasar saat pembedahan, hipoksia dan

iskemia jaringan, diseksi tumpul adhesi sebelumnya, keringnya permukaan

jaringan dan serosa, infeksi, endometriosis peritoneal, adanya benda asing, dan

(33)

2.4 Konsekuensi dan Derajat dari Adhesi Intraperitoneal

2.4.1 Konsekuensi klinis, ekonomis, dan medikolegal dari Adhesi

Intraperitoneal

Konsekuensi adhesi intraperitoneal secara klinis adalah obstruksi karena

adhesi usus halus, nyeri pelvis atau abdomen, dan infertilitas. Adhesi

intraperitoneal juga mempersulit pembedahan selanjutnya (Arung et al., 2011).

Pasien dengan adhesi intraperitoneal dapat menunjukkan gejala

meteorismus, gerakan usus yang tidak teratur, nyeri abdomen kronis, gangguan

pencernaan, infertilitas, dan obstruksi intestinal. Adhesi postoperatif ditemukan

mengakibatkan 40% dari semua kasus obstruksi saluran cerna dan 65% sampai

75% dari semua kasus obstruksi usus halus. Tindakan kolektomi, dengan luka

insisi peritoneum yang besar, meningkatkan kejadian obstruksi intestinal sebesar

11% (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh Sastry et al menemukan bahwa

waktu rata-rata yang dibutuhkan dari operasi sampai terjadinya obstruksi usus

halus adalah 24 bulan. Peningkatan resiko obstruksi usus halus terjadi dengan

peningkatan lama operasi dan adanya operasi sebelumnya, sedangkan resiko

obstruksi usus halus menurun pada pasien dengan kondisi fisik berdasarkan

American Society of Anesthesiologist (ASA) lebih dari 3 (Sastry et al., 2015).

Adhesi intraperitoneal juga merupakan penyebab dari 15% sampai 20%

kasus inferitilitas wanita sekunder. Adhesi paratubal dan paraovarian

mengakibatkan terjebaknya folikel dan menurunkan mobilitas dan blokade dari

tuba fallopi, sehingga membatasi gerakan oosit, meningkatkan resiko kehamilan

(34)

Nyeri kronis perut bagian bawah menurunkan kualitas hidup dan

merupakan alasan dilakukannya 30% sampai 50% dari semua laparoskopi dan 5%

histerektomi. Penelitian oleh DiZerega menemukan bahwa adhesi merupakan

penyebab dari hanya 40% nyeri kronis perut bagian bawah pada wanita yang

sebelumnya menjalani operasi, dan 25% kasus masih belum jelas penyebabnya

(Brugmann et al., 2010). Keltz, et al (2006) menemukan pula bahwa gejala nyeri

perut kronis menurun secara signifikan setelah dilakukan adhesiolisis parakolik

sisi kanan, namun penelitian lain oleh Swank, et al (2003) menemukan tidak

adanya penurunan gejala nyeri perut setelah adhesiolisis secara laparoskopik.

Suatu penelitian menemukan adanya serat saraf secara histologi, ultrastruktural,

dan imunohistokimia pada semua adhesi intraperitoneal yang diperiksa. Dan serat

saraf ini mengekspresikan protein yang berhubungan dengan gen calcitonin dan

substansi P - penanda neuron sensoris. Penelitian ini mensugesti bahwa struktur

ini mempunyai kemampuan mengkonduksi nyeri dengan stimulasi yang sesuai

(Arung et al., 2011).

Seorang ahli bedah memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi

yang cukup sehubungan dengan resiko operasi abdomen termasuk resiko adhesi

intraperitoneal. Ini memiliki implikasi langsung untuk praktek klinis dan klaim

medikolegal (Rajab et al., 2009; Solomon et al., 2010). Pasien yang akan

menjalani operasi juga harus diinformasikan dengan pemahaman secara tertulis

mengenai kemungkinan operasi ulangan adhesiolisis dan komplikasinya, dengan

menyebutkan pula ekstensi operasi, lama anestesi, kehilangan darah, dan resiko

(35)

enterotomi sebesar 20%. Dan adhesi intraperitoneal akan menyulitkan operasi

ataupun tindakan minimal invasif berikutnya, ultrasonografi diagnostik,

pengambilan oosit untuk IVF (In Vitro Fertilization), pemberian kemoterapi

intraperitoneal, dan dialisis peritoneal (Brugmann et al., 2010). Penelitian oleh

Van Goor menginformasikan bahwa hanya 25% dari pasien yang menjalani

operasi yang diberitahu akan kemungkinan terjadinya adhesi intraperitoneal dan

kemungkinan perlunya dilakukan adhesiolisis di masa yang akan datang, dan

adhesi hanya disebutkan pada 10% persetujuan praoperasi (Van Goor, 2007).

Dari sudut pandang ekonomi, adhesi intraperitoneal menghabiskan dana

sebesar $13 juta pertahunnya di Swedia dan $1,3 miliar pertahunnya di Amerika

(Arung et al., 2011). Klaim medikolegal sehubungan dengan adhesi

intraperitoneal yang berhasil di Inggris di antaranya yaitu kasus perforasi usus

saat dilakukan adhesiolisis secara laparoskopik, keterlambatan diagnosis obstruksi

usus halus karena adhesi, dan infertilitas dan nyeri akibat adhesi (Ellis dan Crowe,

2009).

Adapun dampak yang diakibatkan oleh adhesi intraperitoneal adalah

signifikan, namun Clinical Adhesion Research and Evaluation (CARE) di Jerman

menemukan bahwa tidak semua, yaitu sebesar 83,1% ahli bedah memberitahu

pasien mereka akan resiko terjadinya adhesi intraperitoneal sebelum melakukan

pembedahan (Hackethal et al., 2010).

2.4.2 Derajat dari Adhesi Intraperitoneal

Ada beberapa sistem derajat yang digunakan untuk menilai beratnya

(36)

sampai saat ini adalah sistem derajat berdasarkan Zulhke et al., di mana derajat 0

berarti tidak ada adhesi, dan derajat 4 berarti adhesi yang kuat dan luas yang

hanya dapat dipisahkan dengan instrumen tajam dan tidak dapat dipisahkan tanpa

merusak organ.

Tabel 2.2

Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal (Zulhke et al., 1990)

Derajat Observasi

0 Tidak ada adhesi

1 Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan diseksi tumpul, tanpa vaskularisasi

2 Adhesi yang lebih kuat, sebagian dapat dipisahkan dengan diseksi tumpul dan sebagian lagi dengan diseksi tajam, mulai ada vaskularisasi

3 Adhesi yang kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, vaskularisasi jelas

4 Adhesi sangat kuat, lisis hanya bisa dilakukan dengan diseksi tajam, organ melekat kuat dan tidak dapat dipisahkan tanpa merusak organ

Tabel 2.3

Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Densitas (Frederick et al., 1986)

Derajat Observasi

0 Tidak ada adhesi

1 Adhesi terlokalisir dan tipis

2 Adhesi terlokalisir dan padat

3 Adhesi luas dan tipis

(37)

Tabel 2.4

Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Area Cedera (Guvenal et al.,2001)

Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Vaskularitas dan Densitas (Canbaz et al., 2005)

Derajat Observasi

0 Tidak ada adhesi

1 Adhesi tipis, mudah dipisahkan dengan jari

2 Adhesi ringan, berkelanjutan tanpa vaskuler, dapat dipisahkan secara tumpul

3 Adhesi sedang, berserat, vaskularisasi sedang, memerlukan diseksi tajam

4 Jaringan parut padat, di mana bidang jaringan tidak jelas

2.5 Pencegahan Adhesi Intraperitoneal

Pencegahan adhesi intraperitoneal postoperative meliputi 3 tahap yaitu:

pendekatan operasi (laparoskopik versus laparotomi), teknik operasi

(konvensional versus mikrosurgikal), dan adjuvan pembedahan (Kamel, 2010).

2.5.1 Pendekatan Pembedahan

Laparaskopik dengan akses minimal ke cavum abdomen atau pelvis

berhubungan dengan adhesi postoperatif yang lebih rendah dibandingkan dengan

(38)

laparoskopik yaitu kecilnya insisi peritoneum parietal, benda asing yang lebih

sedikit, lingkungan yang lembab, trauma dan pendarahan jaringan yang lebih

sedikit, lebih sedikit manipulasi struktur lain yang jauh, lebih cepat kembalinya

motilitas usus dan ambulasinya (Kamel, 2010).

Adapun kekurangan pendekatan secara laparoskopik yaitu cedera jaringan

karena kesalahan pemilihan dan pemakaian instrumen, adhesi masih terjadi

setelah laparoskopik, pneumoperitoneum dengan gas CO2 yang tidak

dihumidifikasi adalah kofaktor adhesi, pembentukan adhesi berhubungan dengan

lama pneumoperitoneum, dan iskemia subserosal sebagai konsekuensi tekanan

tinggi gas intraperitoneal (Kamel, 2010). Gas CO2 berhubungan dengan

penurunan kadar oksigen jaringan, asidosis, dan pelepasan spesies oksigen reaktif

yang diperkirakan adhesiogenik (Pados et al., 2013).

2.5.2 Teknik Pembedahan

William Steward Halsted, seorang ahli bedah Amerika, menyatakan

prinsip-prinsip pembedahan, yang akhirnya disebut “Prinsip Halsted”, yang

meliputi teknik aseptik, penanganan jaringan dengan halus, diseksi tajam jaringan,

hemostasis dengan menggunakan seminimal mungkin jahitan yang non-iritatif,

menghilangkan ruang kosong, dan, menghindari ketegangan. Sebagai tambahan

adalah irigasi yang terus-menerus, mempertahankan kelembaban jaringan,

penggunaan instrumen mikro dan atraumatik, yang juga terbukti efektif (Omer

dan Al-Harizi, 2014).

Tambahan terhadap teknik pembedahan yaitu teknik pembedahan mikro

(39)

mikrosurgikal yaitu dengan pembesaran untuk visualisasi yang lebih baik,

menggunakan instrumen yang lebih kecil, dan jahitan yang lebih halus. Prinsip

pembedahan mikro lainnya termasuk penanganan jaringan yang lebih minimal,

mencegahnya mengeringnya jaringan, menghindari benda asing, dan hemostasis

yang lebih baik (Kamel, 2010).

Teknik pembedahan baru saat ini yaitu penggunaan laser, kebanyakannya

ultra-pulse carbon dioxide. Menghilangkan jahitan peritoneum adalah salah satu

upaya untuk menghindari adanya benda asing dalam cavum peritoneum dan

ditemukan menurunkan durasi operasi, kejadian demam, dan menurunkan

penggunaan analgetik serta kembalinya aktivitas usus yang lebih cepat (Kamel,

2010).

(40)

i Tabel 2.6

Adjuvan dalam mencegah adhesi postoperatif (Kamel, 2010)

Agen Fibrinolitik

Thrombokinase, fibrinolysin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, chymotrypsin, trypsin, papain and pepsin.

Anti-inflammatory peptides: retinoic acid, quinacrine, or dipyridamole Antihistamines: Promethazine

Corticosteroids: dexamethasone, hydrocortisone and prednisolone

Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID): Ketorolac, Tolmetin, Ibuprofen and Indomethacin

Crystalloid solutions: normal saline and Ringer’s lactate

Viscous solutions: 32% Dextran-70 (Hyskon 1)

Carboxymethylcellulose (CMC): high MW polysaccharide gel Hyaluronic acid (HA): a naturally occurring glycosaminoglycan HA with phosphate-buffered-saline HAPBS: (Sepracoat 1) HA with iron 0.5% ferric hyaluronate gel: (Lubricoat 1) Auto-cross-linked hyaluronan solution or gel (ACP-gel) N,O-carboxymethyl chitosan (NOCC): gel and solution Barrier

0.5% ferric hyaluronate gel (Intergel 1): withdrawn from market HA with carboxymethylcellulose HA-CMC: (Seprafilm 1) AdhibitTM: gel used after cardiac surgery

Adept 1: is an intra-peritoneal fluid Polyethylene glycol-PEG: (SprayGel 1) Poloxamer 407 of (FlowGel 1)

Polytetrafluoroethylene: (Gore-Tex 1)

(41)

Interceed 1 (TC7)

Modified neutralized Interceed (nTC7)

Mineral oil, silicone, vaseline, gelatin, rubber sheets, metal foils, plastic hoods (abandoned) Agen Baru

Films of polyethylene oxide and carboxymethylcellulose: (Oxiplex 1) Shelhigh dome pericardial patch no-react

Pluronic F127/F68 alginate–buprofen mixture (Sol–Gel 1) Aloe vera gel

Agen yang masih diteliti

Colchicine

Terbentuknya adhesi intraperitoneal masih tidak dapat dihindari pada

pembedahan pelvis reproduktif walau dengan teknik laparoskopi yang baik,

pembedahan mikro, dan penggunaan laser, sehingga dicari bahan yang dapat

mencegah pembentukan adhesi (Kamel, 2010).

Macam-macam adjuvan pembedahan ditemukan untuk mencegah

pembentukan adhesi intraperitoneal, namun tidak semuanya efektif. Adjuvan yang

dapat digunakan untuk mencegah adhesi di antaranya adalah agen fibrinolitik,

antikoagulan, agen antiinflamasi, antibiotik, pemisahan secara mekanis, penghalang

(barrier), agen-agen baru maupun agen-agen yang masih dalam penelitian (Kamel,

2010). Suatu penelitian yang dikerjakan oleh Clinical Adhesion Research and

Evaluation (CARE) di Jerman, mendapatkan bahwa 38,4% ahli bedah menggunakan

agen antiadhesi secara rutin (Hackethal et al., 2010).

(42)

Pemisahan permukaan peritoneum yang telanjang pada awal proses

penyembuhan adalah metode yang ideal dalam pencegahan adhesi intraperitoneal.

Larutan kristaloid banyak digunakan untuk instilasi cavum abdomen setelah

pembedahan. Ringer laktat yang dimasukkan ke dalam intraperitoneal hewan

mempunyai efek penyeimbang yang lebih baik, ditemukan menurunkan pembentukan

adhesi dibandingkan normal saline. Sayangnya cairan ini diserap dengan kecepatan

35 ml/jam, sehingga jika dihitung maka diperlukan 5 liter cairan untuk

mempertahankan kondisi pemisahan sampai 6 hari postoperasi. Kendala lainnya yaitu

resiko infeksi, edema paru, dan kebocoran pada lokasi punksi. Untuk memperpanjang

lama cairan di intraperitoneal maka digunakan larutan dengan viskositas yang lebih

tinggi, seperti dextran, yang bekerja melapisi peritoneum yang telanjang dan sebagai

larutan osmotik yang mengakibatkan melayangnya (hydrofloatation) viscera.

Selanjutnya, ditemukan pula CMC yang lebih efektif dibandingkan dextran. Larutan

lain yang termasuk dalam pemisah mekanis yaitu Hyaluronic acid dan

N,O-carboxymethyl chitosan (NOCC) (Kamel, 2010).

Selain instilasi peritoneal di atas, mekanisme pemisahan lain yaitu dengan

memberi barrier (pelindung). Pelindung mekanis yang ideal harus aman dan efektif,

tidak merangsang peradangan, tidak merangsang reaksi imun, bertahan selama masa

kritis penyembuhan peritoneum, terfiksasi pada lokasi aplikasinya tanpa dijahit atau

distapler, tetap aktif walaupun ada darah, dan dapat didegradasi secara biologis tanpa

perlu dikeluarkan. Sebagai tambahan, barrier tidak boleh menghalangi penyembuhan

(43)

eksogen yang bisa digunakan yaitu graft membran amnion dan transplan peritoneum

autolog. Sedangkan barrier eksogen contohnya gel 0,5% ferric hyaluronate, dan gel

HA-CMC (Kamel, 2010).

Penelitian-penelitian menemukan bahwa kebanyakan adhesi adalah sementara

dan lisis secara alami dalam waktu 72 jam. Pembentukan adhesi yang menetap terjadi

3 hari setelah operasi, sehingga agen barrier diharapkan dapat bertahan pada tempat

cedera selama beberapa hari setelah operasi (Cimen et al., 2013).

2.6.1 Peran HA – CMC (Hyaluronic acid Carboxymethylcellulose) dalam

Mencegah Adhesi Intraperitoneal

2.6.1.1 Hidrogel Berbasis Polisakarida

Hidrogel adalah materi yang terbentuk dengan interaksi fisik atau ikatan

kimiawi rantai polimer yang hidrofilik, memampukannya menyerap air dalam jumlah

banyak. Molekul air berpenetrasi ke dalam ruang interstisial dari jaringan polimer

tiga dimensi, membuat hidrogel menyerupai jaringan biologis. Jumlah air yang

terabsorbsi tergantung pada seberapa berporinya hidrogel dan seberapa hidrofilnya

kelompok fungsional polimer tersebut (Camponeschi et al., 2015).

Hidrogel dibagi menjadi hidrogel fisik, di mana ikatan polimer dipegang oleh

kaitan-kaitan molekul dan atau interaksi ion, ikatan hidrogen, dan atau dipolar, dan,

hidrogel kimiawi, yang terdiri dari jaringan yang terikat kovalen dari ikatan kimia

rantai polimer melalui tambahan agen-agen lain yang diikat bersama yang mampu

(44)

tambahan, hidrogel kimiawi juga menunjukkan interaksi fisik sampai batas tertentu

sebagai bagian dari polimer tersebut. Tidak seperti hidrogel fisik, ikatan mekanis

hidrogel kimiawi dapat terbentuk kembali dengan baik, memungkinkannya untuk

dimodulasi dari derajat ikatannya, sehingga hidrogel kimiawi lebih disukai

(Camponeschi et al., 2015).

Hidrogel berbasis polisakarida adalah hidrogel kimiawi yang sangat

menjanjikan dalam dunia kedokteran. Bahan ini digunakan dari pembuatan jaringan

sampai mengendalikan pelepasan obat untuk terapi lokal. Bagian paling menarik dari

bahan ini adalah bahwa bahan ini mampu diaplikasikan tanpa mengubah struktur

kimia, mekanis, dan biologisnya. Hal ini dikarenakan sifatnya yang thixotropic.

Thixotropic adalah sifat cairan di mana jika diaduk maka viskositasnya turun dan

semakin kuat pengadukannya maka viskositasnya akan semakin turun. Apabila

pengadukan dihentikan, viskositas cairan akan naik kembali. Modulasi kekentalan

dan fisik kimia bahan ini dapat dilakukan dengan mengikatnya dengan agen-agen lain

dan memanfaatkan sifat thixotropic-nya (Camponeschi et al., 2015).

2.6.1.2 Hyaluronic Acid – Carboxymethylcellulose (HA-CMC) sebagai

Hidrogel Berbasis Polisakarida

Beberapa polimer alami dapat digunakan sebagai bahan hidrogel kimiawi.

Polisakarida adalah salah satu yang paling baik karena mereka memiliki kelompok

ionik, memudahkan modifikasi struktur kimianya dengan kelompok fungsional baru

atau enzim lainnya. Hidrogel polisakarida yang diikat secara kimia menunjukkan

(45)

ikatan, bahwa mereka mampu menyerap banyak air sesuai berat (kemampuan

membengkak) mereka menentukan sifat mekanis dan kimianya, dan, bahwa

kebanyakan bersifat thixotrophic, membuatnya memungkinkan untuk diinjeksi

melalui jarum suntik, sehingga cocok untuk aplikasi biomedis (Camponeschi et al.,

2015).

Hidrogel berbasis polisakarida saat ini banyak diminati penggunaannya

sebagai matriks untuk perbaikan dan regenerasi macam-macam jaringan dan organ.

Karakteristik hidrogel ini yaitu permeabilitasnya yang tinggi sehingga mengizinkan

pertukaran oksigen, nutrisi, dan metabolit larut air, yang penting dalam mendukung

pertumbuhan sel (Camponeschi et al., 2015).

Hyaluronic acid (HA) adalah polisakarida linier dengan unit disakarida

berulang yang terdiri dari D-glucuronate dan N-acetyl-D-glucosamine. HA

merupakan komponen yang alami ada di dalam jaringan dan cairan tubuh seperti

(46)

Gambar 2.2

Struktur Kimia Hidrogel Polisakarida yang Sering Digunakan: HYAL (Hyaluronic Acid) dan CMC (Carboxymethylcellulose) (Camponeschi et al., 2015)

mekanis, lubrikasi sel, dan menopang secara fisik (Pados et al., 2010; Primariawan,

2010). HA dalam bentuk alami adalah cairan yang akan termetabolisme setelah 12

jam di dalam tubuh. HA ini bisa diikat secara kimiawi (cross-linked), menjadi bentuk

gel. Kepadatan gel tergantung dari derajat ikatan tiap rantai HA yang membuat

metabolismenya lebih lambat di dalam tubuh, sehingga efek HA lebih lama (Mettler,

2014). Suatu penelitian menemukan bahwa larutan HA berdosis kecil (0,2 dan 0,4%)

mengurangi kejadian adhesi intraperitoneal secara signifikan, adapun efektivitas

sebagai anti-adhesi dari larutan HA ini adalah bergantung pada volume, di mana

volume tinggi terlihat paling efektif (Reijnen et al., 2001).

Carboxymethylcellulose (CMC) adalah polisakarida dengan berat molekul

tinggi, derivat dari cellulose. Mekanisme absorpsinya belum jelas (Pados et al.,

2010). CMC tersedia dalam berbagai macam berat molekul, dan diformulasikan

(47)

berfungsi sebagai lubrikan mengakibatkan hydrofloatation. Karena cairan ini mudah

keluar dari rongga peritoneal secara in vivo, sehingga saat ini banyak dikembangkan

barrier membrane berbasis CMC (Primariawan, 2010). Penelitian menemukan bahwa

efektivitas sebagai anti-adhesi dari 1,7% larutan CMC, yang kekentalannya setara

dengan 0,4% larutan HA, tidak bergantung pada volume (Reijnen et al., 2001).

Campuran hidrogel diperoleh dengan mengikat 2 polimer berbeda melalui

reaksi kimia. Hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose (HA-CMC) adalah

kombinasi dari hyaluronic acid dan carboxymethylcellulose, yang dapat diserap yang

larut dan membentuk gel yang hidrofilik lebih kurang 24 jam setelah diaplikasikan.

Dia merupakan barrier yang spesifik terhadap lokasi dan bekerja secara mekanik

memisahkan jaringan yang bersebelahan dan bertahan 7 hari. HA akan dieliminasi

dalam tubuh setelah 4 minggu, namun absorpsi CMC masih belum diketahui jelas

(Pados et al., 2010).

Penelitian oleh Reijnen et al.(2001) menemukan bahwa Larutan HA dan CMC

konsentrasi rendah dapat pula menurunkan pembentukan abses intraabdomen.

Kemampuan menurunkan kejadian abses oleh larutan HA maupun CMC ini tidak

tergantung pada volum, malah ditemukan bahwa volum larutan CMC yang kecil

menurunkan kejadian dan ukuran abses lebih baik dibandingkan dengan volum yang

besar. Kelihatannya penurunan pembentukan abses tidak dapat diaplikasikan seperti

konsep hydrofloatation pada pencegahan adhesi. Kemampuan HA dalam mengurangi

abses diketahui merupakan bagian dari peran biologisnya dibandingkan peran

(48)

dalam mendukung dan menjaga batas proses radang. HA dapat memperkuat respon

imun humoral dan menginduksi pembentukan interleukin (IL)-1, IL-8 dan tumor

necrosis factor. HA diketahui pula mempunyai efek antioksidan, membantu dalam

pembuangan radikal bebas, dan menghambat proteinase radang. HA ditemukan

meningkatkan proliferasi sel mesotel peritoneum manusia dan menurunkan produksi

PAI. Kerja terhadap PAI inilah yang berperan utama dalam pendauran fibrin,

mendukung pencegahan pembentukan abses (Reijnen, 2001).

Seprafilm merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk

membran. Seprafilm ini telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1996

dan banyak digunakan untuk mencegah adhesi. Bahan ini bersifat biokompatibel,

nonimunogenik, dan melekat pada permukaan jaringan. Bahan ini dapat digunakan

walau ada darah dan irigasi. Perlindungan permukaan jaringan terjadi selama 7 hari

dengan pembentukan gel gelatin yang kental dan hidrofilik yang akan terabsorpsi

seluruhnya setelah 28 hari (Primariawan, 2010; Chu et al., 2010, Akerberg, 2013,

Omer dan Al-Harizi, 2014). Penelitian menunjukkan bahwa Seprafilm tidak

mengganggu pelepasan TGF-β dan serine protease jaringan yang berperan dalam

memperbaiki jaringan (Akerberg, 2013).

Kekhawatiran sehubungan dengan penggunaan Seprafilm adalah peningkatan

kejadian abses dan kebocoran anastomosis saat reseksi dan anastomosis usus. Untuk

menurunkan kejadian kebocoran anastomose, disarankan agar anastomose tidak

(49)

Namun penelitian keamanan dan efikasi seprafilm menunjukkan bahwa tidak ada

perubahan yang signifikan akan morbiditas secara keseluruhan, kebocoran

anastomose, dan pembentukan abses, antara pemakaian Seprafilm dengan placebo

(Kumar et al., 2009). Pembentukan fistula, reaksi benda asing, terkumpulnya cairan

intraperitoneal adalah komplikasi lain yang dilaporkan (Omer dan Al-Harizi, 2014).

Guardix-sol merupakan bahan yang mengandung HA dan CMC dalam bentuk

cair. Bahan ini mempunyai biokompatibilitas, non-imunogenik, dapat diserap dan

mudah diaplikasikan (Primariawan, 2010). Bahan ini membentuk barrier dengan cara

disemprotkan ke tempat cedera peritoneum yang rentan terhadap adhesi. Larutan

yang sangat kental ini melekat ke jaringan tersebut, dan setelah beberapa hari,

terhidrolisis, terabsorpsi, dan diekskresi oleh ginjal. Bahan ini juga bersifat spesifik

terhadap lokasi aplikasi sehingga bisa digunakan untuk cedera peritoneum yang

multiple (Park et al., 2011).

2.6.2 Peran Dextran dalam Mencegah Adhesi Intraperitoneal

Dextran merupakan larutan yang larut dalam air. Dengan berat molekul yang

besar sehingga dextran tidak langsung diserap dari permukaan peritoneum, ia

mengakibatkan terjadinya hydrofloatation (melalui osmosis) dan memisahkan

jaringan-jaringan yang cedera (Akerberg, 2013). Selain itu, perubahan struktur fibrin

yang terjadi akibat pemberian dextran juga turut berperan dalam mencegah adhesi,

sehingga dextran pernah sering digunakan secara intraperitoneal dalam pembedahan

fertilitas sebagai bagian dari protokol pencegahan adhesi pada tahun 1980-an (Cimen

(50)

Efek samping yang dilaporkan sehubungan dengan penggunaan dextran yaitu

ascites, syok anafilaktik, dan koagulopati. Kondisi yang terakhir diperkirakan terjadi

karena peningkatan tPA dan penurunan faktor koagulasi yang terjadi setelah

pemberian dextran (Akerberg, 2013). Dextran diperkirakan mempunyai efek

antitrombotik dan antiplatelet, namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas.

Dextran diperkirakan menghambat uptake tPa oleh mannose receptor pada lapisan

endotel, sehingga tPA terus mengaktivasi fibrinolisis dengan mengubah plasminogen

menjadi plasmin. Plasmin mengandung pula von Willebrand factor (vWF) dan

platelet protease-activated receptor-1 (PAR-1), yang mendesensitisasi respon platelet

terhadap thrombin (Jones et al., 2008).

Dextran dapat melepaskan TGF β dari bentuk tidak aktifnya yang terikat

plasma, sehingga meningkatkan efeknya dan malah meningkatkan kejadian adhesi.

Dextran dapat pula mengaktivasi dan menginduksi pelepasan IL-1β oleh peritoneum,

mengaktivasi sel imun di daerah tersebut, sehingga memodulasi respon imun ketika

Gambar

Keseimbangan antara plasminogen activator dan plasminogen inihibitor. Gambar 2.1 TIMP:
Tabel 2.3 Sistem Derajat Adhesi Intraperitoneal Berdasarkan Densitas (Frederick et al.,
Tabel 2.5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dikemukakan maka penelitian ini diberi Judul “ Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Konsumen Dalam Pembelian Beras

Manajemen strategi merupakan sebuah proses yang terdiri dari tiga kegiatan antara lain perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi. Perumusan strategi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem yang cocok untuk institusi pendidikan tempat pengambilan data, menganalisis data yang diambil, serta

Nilai probabilitas F hitung lebih besar dari F tabel maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi loyalitas konsumen atau dapat dikatakan bahwa variabel kualitas

Jika nilai Ti mempunyai harga yang besar maka reaksi pengendali akan semakin cepat atau pengendali semakin sansitif, bengitu juga dengan sebaliknya.Parameter Td

• Tidak perlu power Supply external, karena power supply Wifi diambil dari port USB PC Desktop atau notebook sehingga memudahkan pada saat outdoor live test menggunakan notebook.

Refleksi dilakukan berdasarkan hasil pengamatan situasi pembelajaran dan hasil peningkatan perhatian, keaktifan dan hasil prestasi belajar di akhir pembelajaran. Berdasarkan

Pada spesies dengan lobuli berlekuk, baik spermatogonia maupun tubulus seminiferus yang berada pada tahap perkembangan dapat dilihat di sepanjang lobuli dan spermatozoa