• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERPRETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BABI DI DAERAH TABANAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERPRETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BABI DI DAERAH TABANAN."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

"

INTERPRETASI KE

Drh. I Made Drh. A.A. Gde Oka D

Drh. Made Sum

FAK

"

KARYA TULIS

RETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BA DAERAH TABANAN

Oleh :

Drh. I Made Sukada, M.Si (Nip. 196210241989031003) .A. Gde Oka Dharmayudha, MP (Nip. 197711202002121001) . Made Suma Anthara, M.Kes (Nip. 195803071987021001)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

"

S PADA BABI DI

31003) 197711202002121001)

(8)

""

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena penulisan Karya Tulis ini dapat terwujudkan. Terimakasih kepada Dinas Peternakan, perikanan, dan Kelautan Kabupaten Tabanan atas kerjasamanya yang baik selama ini. Semoga segala pemikiran yang baik dalam tulisan ini dapat menumbuhkan semangat dalam kinerja di lapangan.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan Karya Tulis ini. Penulis berharap semoga Karya Tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran hewan.

Denpasar, Januari 2016

(9)

""" DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Manfaat Penulisan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Streptococcus sp. ... 3

2.2 Penyebab Streptococcosis pada Babi ... 3

2.3 EpidemiologiStreptococcus sp... 4

2.4 Epidemiologi Streptococcosis di Indonesia... 4

2.5 Sumber Penularan dan Cara Penularan Streptococcosis pada Babi ... 6

2.6 Gejala Klinis Streptococcosis ... 6

2.7 Patogenesis Streptococcosis ... 6

2.8 Pencegahan dan Pengobatan Streptococcosis ... 7

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil ... 8

3.2 Pembahasan ... 12

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 12

(10)

"-DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Jumlah populasi babi dan kasusStreptococcosisdi Kabupaten Tabanan

tahun 2015... 8 Tabel 2. KasusStreptococcosispada Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada triwulan

(11)

-DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Diagram Populasi Ternak Babi di Kabupaten Tabanan pada Triwulan

I, II, dan III... 8 Gambar 2. Diagram Jumlah KasusStreptococcosispada Babi di Kabupaten Tabanan pada

Triwulan I, II, dan III... 9 Gambar 3. Grafik Perbandingan Kasus Streptococcosis pada babi Per Kecamatan di

Kabupaten Tabanan pada Triwulan I,II, dan III... 10 Gambar 4. Prevalensi KasusStreptococcosisPer Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Babi merupakan salah satu hewan yang dipelihara, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan memenuhi kebutuhan daging atau protein hewani bagi manusia. Peningkatan kebutuhan daging babi, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya. Konsumsi daging babi meningkat di Bali karena peningkatan kebutuhan protein hewani, dan penggunaan daging babi untuk upacara adat. Oleh karena itu perternakan babi di Bali semakin meningkat tiap tahunnya.

Ternak babi dan atau produk olahannya cukup potensial sebagai komoditas ekspor nasional. Melihat hal tersebut, nilai ekonomis peternakan babi sangat signifikan sehingga perkembangannya ke depan cukup menjanjikan. Peluang ekport ke mancanegara masih sangat besar terutama dengan keunggulan Indonesia yang memiliki status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Perkembangan dan peningkatan jumlah populasi babi, diikuti pula dengan meningkatnya penyakit yang terjadi. Hal tersebut akan menjadi kendala yang dihadapi peternak dalam kegiatan pembibitan babi. Ada berbagai penyakit pada babi yang dapat mengancam produktivitas diantaranya: streptococcus sp., hog cholera, salmonellosis,maupunkolibasilosis(Doyle & Dolares, 2006).

Streptococcus sp. adalah bakteri gram positif yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Pada saat sistem imun menurun maka bakteri streptococcus sp. akan masuk ke dalam tubuh baik melalui mulut, inhalasi, maupun penetrasi kulit. Jika bakteri ini masuk ke dalam peredaran darah dan menyebar ke organ tubuh lainnya maka akan merusak organ-organ tubuh tersebut dan menyebabkan berbagai penyakit (Entjang, 2003).

(13)

dan ras. Tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate mencapai 75% (Suarjana, 2012).

Streptococcus suis merupakan bakteri yang sumber penularannya adalah hewan babi (Soedarto, 2003).Streptococcus suis pada hewan dapat ditemukan pada tonsil palatina babi dalam bentuk komensal atau pathogen oportunis (Salasia dan Lämmler, 1994). Klasifikasi menurut Lancefield, Streptococcus suis termasuk kedalam grup D (Quinn, 2002).

Streptococcus suis pada ternak sering menimbulkan angka kematian yang tinggi yang berakibat fatal pada babi, hal ini nampak dengan terjadinya meningitis yang ditandai dengan demam, depresi, gangguan koordinasi dan kelumpuhan.

Dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh infeksi bakteristreptococcus sp. Diatas, akan sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan para peternak-peternak babi sehingga menghambat peternak-peternakan babi yang ada di Bali khususnya di Kabupaten Tabanan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran proporsi kejadian streptococcosis pada babi di daerah Tabanan kurun waktu 2015 ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan ini adalah mengetahui pluktuasi Streptococcosis pada babi serta tindakan yang telah dilakukan oleh Dinas Peternakan Tabanan dalam usaha pencegahanStreptococcosispada ternak babi.

1.4 Manfaat Penulisan

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EtiologiStreptococcus sp.

Streptococcus sp.merupakan golongan bakteri yang heterogen. Streptococcus sp. adalah bakteri gram positif, namun pada biakan yang lama dan bakteri yang mati Streptococcus sp. kehilangan gram positifnya dan terlihat seperti gram negatif. Hal ini dapat terjadi setelah inkubasi semalaman (Jawetz et al., 2007). Streptococcus sp. berbentuk bulat atau oval, coccus tunggal berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai, bersifat fakultatif aerob. Diameter bakteri berukuran 0,7-1,4µm.

Strain Streptococcus patogenik memiliki beberapa faktor virulensi seperti antigen karbohidrat dan protein spesifik, produksi toksin maupun enzim (Vecht, et al.,1989). Menurut Vecht, et al.(1991) Streptococcus suis type 2 memiliki dua penanda antigen protein spesifik yang dikenal dengan Muramidase released protein (MRP) danExtracellular factor(EF). Selanjutnya Vecht, et al. (1992) menemukan bahwa strain S.suis type 2 yang memiliki MRP dengan berat molekul 136 kDa (MRP+ ) dan EF dengan berat molekul 110 kDa (EF+) lebih virulen daripada strain MRP+ EF- dan/atau MRP- EF-. Strain yang memiliki MRP+ EF+ selain menimbulkan peradangan pada beberapa organ, juga menyebabkan meningitis pada babi. Sedangakan strain MRP+ EF- dan MRP- EF- tidak menimbulkan meningitis.

2.2 PenyebabStreptococcosispada Babi

Kasusstreptococosisyang terjadi pada babi bulan mei sampai juni tahun 1994 di Bali disebabkan oleh agen penyakit Streptococcus beta hemolitik yang diidentifikasi sebagai Streptococcus equi subspecies zooepidemicus dan dikenal sebagai Streptococcal meningitis (Dharma,et.al.,1994).

(15)

memiliki koloni yang bersifat seperti lendir atau mukoid, dengan permukaan kasar, disertai zona betahemolitik yang timbul setelah 24 jam masa inkubasi.

2.3 EpidemiologiStreptococcus sp.

WabahStreptococcus sp.pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada 1951 dengan angka kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah itu dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga di Amerika utara pada 1969. Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi lainnya. Kasus manusia pertama terinfeksi Streptococcus sp. dilaporkan di Denmark pada 1968, dan sejak itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus meningitis pada manusia yang disebabkan oleh Streptococcus sp tipe 2. Di China terjadi wabah pada 1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. Gejala pada manusia berupa demam tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan gejala syaraf, bercak kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus parah. (Ramirez 2011).

Pada 2004, jumlah kasus menginfeksi manusia mencapai lebih dari 200 orang di seluruh dunia. Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya yang mendapatkan perhatian dunia akan potensi zoonosis dari Streptococcus sp. ini. Antara bulan Juni dan Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan, terjadi wabah dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%). Sampai saat ini, relatif hanya sekitar 700 kasus Streptococcus sp. dilaporkan di seluruh dunia, kebanyakan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju kebanyakan dikaitkan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan babi, seperti pekerja peternakan babi dan pekerja rumah pemotongan hewan. Di negara berkembang dengan sistem produksi babi yang intensif seperti di Asia Tenggara, risiko untuk terinfeksi Streptococcus sp tidak diketahui pasti mengingat penyakit ini bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) dan umumnya kurang berhasil didiagnosa secara tepat (Wertheim et al; 2009).

2.4 EpidemiologiStreptococcus sp. di Indonesia

(16)

Hutan Wisata Alam Bali, antara lain di Sangeh, Ubud, dan Alas Kedaton. Penyebab wabah tersebut telah diidentifikasi oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar Bali yaitu bakteri Streptococcus sp zooepidemicus (Dibia et al, 1995). Penyakit ini menyerang babi segala umur, jenis kelamin dan ras. Tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate mencapai 75%. Disamping itu penyakit ini juga menyerang monyet yang ada dibeberapa Hutan Wisata Alam (HWA) di Bali. Angka mortalitas streptococcosis pada kera di HWA Sangeh, Padang tegal dan Alas Kedaton berturut-turut 15%, 9% dan 5,6% dan jumlah populasi kera yang diperkirakan berturut-turut : 500 ekor,200 ekor dan 500 ekor. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bakteri tersebut diidentifikasi sebagai Streptococcus sp equi subspesies zooepidemicus yang diidentifikasi grup C menurut klasifikasi Lancefield (Soedarmantoet al., 1996).

Wabah streptococcosis yang pernah terjadi pada tahun 1994 berpotensi merebak kembali, karena penyebaran penyakit dapat terjadi melalui hewan pembawa yakni babi, karena babi merupakan komoditi perdagangan yang diantarpulaukan. Bakteri Streptococcus sp Grup C (SGC) yang mewabah pada tahun 1994, dapat ditemukan pada babi yang secara klinis sehat dan dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar-Bali pada tahun 1998. Selain itu, isolat SGC yang berasal dari babi sakit pada tahun 1994 secara genotip terbukti mempunyai kemiripan dengan isolat babi hasil isolasi pada tahun 1998. Awal tahun 2000 juga telah berhasil diisolasi bakteri SGC pada pekerja Rumah Potong Hewan dan pemandu wisata di Hutan Wisata Alam Bali (Salasiaet al.,2005).

(17)

2.5 Sumber Penularan dan Cara PenularanStreptococcosisPada Babi

Peralatan kandang, alat transportasi, dan keranjang pengangkut babi yang tercemar berperan sebagai sumber penular. Pembuangan limbah pemotongan babi yang kurang baik dan lalu lintas ternak babi yang pesat mempercepat penyebaran penyakit. Pada babi, penularan lebih banyak terjadi per os lewat ekskreta atau sisa-sisa pemotongan babi yang mencemari tempat minum.

Penularan Streptococcus sius terjadi melalui kontaminasi cairan vagina ke rongga mulut dari anak babi pada saat partus (Amass et al. 1996) dan koloni pada tonsil setelah lahir (Amasset al., 1995).

2.6 Gejala KlinisStreptococcosis

Pada babi masa inkubasi penyakit berlangsung 1-2 hari. Gejala klinik yang ditemukan mula-mula adalah demam tinggi, kemudian diikuti oleh nafsu makan menurun sampai anoreksia dan lesu. Babi yang terserang penyakit ini tidak banyak bergerak dan bergerombol pada satu sudut. Keesokan harinya terlihat pincang pada salah satu atau lebih dari satu kakinya. Persendiaan membengkak unilateral ataupun bilateral. Kulit di bagian pinggir daun telinga dan di bawah perut berwarna merah keungu-unguan. Beberapa kasus menunjukkan gejala saraf seperti tremor, opistotonus, gerakan mengayuh (paddling movement), meningitis, arthritis, pneumonia, endokarditis, serositis, keguguran, dan abses lokal. Menjelang kematian dapat ditemukan darah keluar dari mulut dan hidung (Cole, 1990).

2.7 PatogenesisStreptococcosis

(18)

babi oleh karena bakteri bersifat intraseluler dalam monosit atau makrofag kemudian mengikuti aliran darah sampai ke cairan cerebrospinalis melewati pleksus koroideus. Bakteri streptococcus memiliki hemaglutinin dan sebagai adhesin untuk perlekatan bakteri pada sel hospes. Selanjutnya monosit diperkirakan memproduksi sitokin yang dapat merangsang terjadinya reaksi peradangan.

Menurut Salasia, et al.(2002) sifat hidrofobisitas pada Streptococcus zooepidemicus mempunyai hubungan dengan kemampuan hemaglutinasi. Bakteri yang mempunyai protein dengan sifat hidrofobik mampu melekat pada sel epitel dan mudah difagosit oleh sel polimorfonuklear leukosit. Selanjutnya Galina, et al. (1994) mengatakan kematian babi pada umumnya disebabkan oleh adanya lesi pada sistem saraf pusat.

2.8 Pencegahan dan PengobatanStreptococcosis

(19)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Dari data populasi dan terjadinya Streptococcosis pada babi di Kabupaten Tabanan yang di dapat pada Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah kasus Streptococcosis pada ternak babi di Kabupaten Tabanan, Babi pada tahun 2015.

Tabel 1. Jumlah populasi babi dan kasus Streptococcosis di Kabupaten Tabanan.

No. Bulan Jumlah kasus

(20)

Gambar 1.Diagram populasi ternak babi di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II, Triwulan III.

Gambar 2 .Diagram jumlah kasusStreptococcosisdi Kabupaten Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II, Triwulan III.

)".,$& )".,$& )".,$&

'(,$*""

)".,$& )".,$& )".,$&

*,*

(21)

Tabel 2. Kasus Streptococcosis pada Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

Kecamatan Triwulan I Triwulan II Triwulan III 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Total 91.670 199 91.720 143 91.770 307

Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tabanan (Triwulan I,II dan III).

Keterangan:

(22)

Gambar 3.Grafik perbandingan kasusStreptococcosis per Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

Gambar 4. Prevalensi kasus Streptococcosis per Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

(23)

3.2 PEMBAHASAN

Infeksi Streptococcus suis dapat diperoleh pada proses penyembelihan atau penanganan dan proses konsumsi daging babi, akan tetapi infesi tersebut dapat dicegah (Hiong, et al., 2014). Dalam aspek epidemiologi dibahas tiga aspek pokok yaitu frekuensi masalah kesehatan, penyebaran masalah kesehatan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Data yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan pada tahun 2015 triwulan I telah ditemukan kasusStreptococcosissebanyak 199 ekor dari 91.670 dengan prevalensi 0,21%, triwulan II ditemukan sebanyak 143 ekor dari 91.720 dengan prevalensi 0,15%, dan triwulan III ditemukan sebanyak 307 ekor dai 91.770 dengan prevalensi 0,33% populasi babi yang ada di Kabupaten Tabanan. Ratio prevalensinya mengalami penurunan pada triwulan II (0,15%) dan mengalami kenaikan lagi pada triwulan III (0,33%) sehingga kasusStreptococcus sp.mempunyai sifat endemik di Kabupaten Tabanan.

Endemik merupakan kejadian penyakit pada suatu tempat tertentu yang terjadi dengan frekuensi menetap sepanjang tahun (Suparyanto, 2012). Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan perlu melakukan tindakan upaya pencegahan, pengamanan, dan terapi terhadap ternak babi pada kecamatan terancam. Upaya pencegahan yang telah dilakukan Dinas Peternakan Tabanan terhadap penyakit hewan strategis yang terjadi di Kabupaten Tabanan meliputi sosialisasi, vaksinasi, eliminasi, pengawasan lalu lintas ternak, kontrol populasi, dan surveilans.

.

Prevalensi =

· PrevalensiStreptococcosis

= 0,21%

· PrevalensiStreptococcosisTriwulan II

= 0.15%

· PrevalensiStreptococcosis

= 0,33 %

· Ratio kejadian penyakitStreptococcosisyang terjadi pada Triwulan I, Triwulan II,

dan Triwulan III di kecamatan dengan kasus tetinggi dan terendah yang ada di

(24)

a. Triwulan I

Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif

Selemadeg Barat 38 8591

Pupuan 1 2523

Interpretasi :

Proporsi kejadian kasus yang pluktuatif terjadi di setiap Kecamatan di

Kabupaten Tabanan pada Triwulan I. Berdasarkan proporsi kejadian dapat

menunjukkan perbedaan yang nyata antara dua kecamatan tertinggi dan terendah

pada Triwulan I. Kejadian tertinggi terjadi di kecamatan Selemadeg Barat dengan

jumlah kasus positif sebanyak 38 ekor, sedangkan yang terendah terjadi di kecamatan

Pupuan dengan kasus positif hanya 1 ekor. Setelah diuji menggunakan program SPSS

Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P<0,05) antara kejadian

$% )+ ,(,&

(25)

penyakit Streptococcosis pada Triwulan I di Kecamatan Selemadeg Barat dengan

kejadian penyakitStreptococcosisyang terdapat di Kecamatan Pupuan.

b. Triwulan II

Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif

Baturiti 34 16100

Penebel 4 17312

Interpretasi :

Proporsi kejadian kasus yang pluktuatif masih terjadi di setiap Kecamatan di

Kabupaten Tabanan pada Triwulan II. Kejadian tertinggi terjadi dikecamatan

Baturiti dengan jumlah kasus positif sebanyak 34 ekor, sedangkan yang terendah

+,)"+" &$

(26)

terjadi di kecamatan Penebel dengan kasus positif hanya 4 ekor. Setelah diuji

menggunakan program SPSS Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda

nyata (P<0,05) antara kejadian penyakit Streptococcosis pada Triwulan II di

Kecamatan Baturiti dengan kejadian penyakit Streptococcosis yang terdapat di

Kecamatan Penebel.

c. Triwulan III

Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif

Tabanan 54 6061

Selemadeg Barat 18 8621

Interpretasi:

Proporsi kejadian tertinggi terjadi dikecamatan Tabanan dengan jumlah kasus

positif sebanyak 54 ekor, sedangkan yang terendah terjadi di kecamatan Selemadeg

Barat dengan kasus positif sebanyak 18 ekor. Setelah diuji menggunakan program

&& $% )+

(27)

SPSS Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P<0,05) antara

kejadian penyakit Streptococcosis pada Triwulan III di Kecamatan Tabanan dengan

kejadian penyakitStreptococcosisyang terdapat di Kecamatan Selemadeg Barat.

Ada beberapa kemungkinan faktor resiko atau faktor penyebab meningkatnya

penyakitSterptococcosisdi beberapa Kecamatan di Kabupaten Tabanan. Faktor yang

menyebabkan seperti lokasi daerah yang diduga adanya penyakit Streptococcosis

jauh dari Dinas Kabupaten Tabanan. Dan faktor lain seperti sanitasi dan sistem

pemeliharaan kandang yang kurang diperhatikan oleh warga

Upaya pencegahan dan pengobatan pada kasusStreptococcosisyang terjadi di

Kabupaten Tabanan meliputi pemberian antibiotik Penstrep, Sillo, Fosfatidilkolin

(PPC) dan multivitamin. Selain itu perlu diadakan pula pengawasan terhadap produk

daging babi di pasar tradisional, supermarket, distributor dan hotel-hotel sebagai

upaya pengamanan di tingkat akhir sebelum daging babi tersebut dikonsumsi

masyarakat atau wisatawan. Upaya lain dapat dilakukan dengan mengadakan

sosialisasi kepada peternak dan disarankan kepada peternak agar segera melapor

kepada Dinas Peternakan atau Dokter Hewan setempat jika pada ternaknya

ditemukan gejala penyakit yang mengarah ke Streptococcosis agar dapat dilakukan

tindakan pengobatan secepat mungkin.

(28)

BAB IV

PENUTUP

4.1. SIMPULAN

Dari data yang didapat di Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan dapat disimpulkan adalah : Pada tahun 2015 kasusStreptococcosis mengalami pluktuasi di setiap Kecamatan. Pada triwulan I kasus Streptococcosis dengan prevalensi tertinggi terdapat di Kecamatan Kediri, pada triwulan II kasus Streptococcosis dengan prevalensi tertinggi terdapat di Kecamatan Kediri dan pada triwulan III tinggi prevalensi kasus Streptococcosis pada Kecamatan Kediri sama dengan Kecamatan Selemadeg.

4.2. Saran

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Cole Jr.J.R. (1990). “Streptococcus and Related Cocci”. Dalam: Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. Edisi ke-5.

Gottschalk M. Porcine Streptococcus suis strains as potential sources of infections in humans: anunderdiagnosed problem in North America?. J Swine Health Prod. 2004;12(4):197-199.

Hayati, Meutia. Data dan Karakteristik Vaksin Bakteri Untuk Babi yang Beredar di Indonesia. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Gunungsindur – Bogor, Indonesia 16340

Horby. P, Heiman. W, Nguyen. H.H, Nguyen, V.T, Dao, T.T, Walter, T, Nguyen, M.H, Trinh, T.M.L, Jeremy. F, Nguyen, V.K. 2009. Stimulating the Development Of National Streptococcus Suis Guidelines in Viet Nam Through a Strategic Research Partnership. Bull World Health Organ 2010;88:458–461

!++(...%)#%&,$*'%-+ &)$"/'&"+"'&**+)(+''$"&+"' &*"&(" **+)(+'',**,"*"&+"'&!+%$ (diakses pada tanggal 17 Januari 2014

Jawetz, Melnick, dan Adelberg's. (2007). Medical Microbiology. Mc Graw Hill. Naipospos, Tri Satya Putri. (2011). Munculnya Penyakit Porcine Reproductive And

Respiratory Syndrome (PRRS) Baru Dan Keterkaitannya Dengan Patogen Zoonosis Streptococcus suis. Jakarta, Indonesia.

Suarjana, IGK, Widya,A. 2012. Karakterisasi Molekuler dan Uji Patogenesitas Streptococcus Patogen Isolat Asal Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 4 No.1. :1-8. ISSN : 2085-2495

(30)

Zamzam. (2014). Identifikasi Streptococcus. (diakses pada tanggal 10 Januari 2014).!++(+$(')+)*$' *('+'% "&+""#*"

Gambar

Tabel 1. Jumlah populasi babi dan kasus Streptococcosis di KabupatenTabanan.
Gambar 1. Diagram populasi ternak babi di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I,Triwulan II, Triwulan III.
Tabel 2. Kasus Streptococcosis pada Kecamatan di Kabupaten Tabanan padaTriwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.
Gambar 3. Grafik perbandingan kasus Streptococcosis per Kecamatan di KabupatenTabanan pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

Referensi

Dokumen terkait

10 AHMAD SUWARDI L PEKON AMPAI, CUKUH BALAK. 11 AHMAD TAUFIK L GUNUNG

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan indeks Internet Financial Reporting (IFR), indeks komponen content, timeliness, technology dan user support antara

Pemberian mulsa organik seperti jerami akan memberikan suatu lingkungan mencegah penyinaran langsung sinar matahari yang berlebihan terhadap tanah serta kelembaban

Nilai meannya berkisar antara 0.083-0.499 dengan nilai terbesar pada titik 2 (0.499) ukuran butirannya pasir sedang ( fine sand ), dari nilai mean yang ada terlihat bahwa

Besaran butir patah pada perlakuan pratanak 0,8 kg/cm2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya karena dengan semakin rendahnya tekanan pengukusan menyebabkan tingkat

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan Rashid dan Islam (2013) dan dikombinasikan dengan variabel dari penelitian Gill dan Obradovich (2012) Variabel independen

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data berupa angka yang bertujuan untuk menunjukkan pengaruh retribusi parkir, retribusi pengujian

Rasio yang digunakan untuk mengukur risiko likuiditas adalah dengan menggunakan dua rasio keuangan, yaitu LDR dan IPR. a) Pengaruh LDR terhadap risiko likuiditas adalah berlawanan