• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian dengan variabel yang sama seputar P2KK dan experiential

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian dengan variabel yang sama seputar P2KK dan experiential"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Sebagai upaya untuk menunjukkan kebaruan (novelty) dan reliabilitas penelitian yang diajukan, peneliti akan memaparkan beragam penelitian dengan variabel yang sama seputar P2KK dan experiential learning dari waktu ke waktu disertai dengan komparasi terkait persamaan dan perbedaannya. Berikut ini terdapat tiga penelitian terdahulu.

Pertama, tesis yang diajukan oleh Hanum Almaidah, mahasiswi pascasarjana pada program magister Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Pada penelitian yang berjudul “Pembentukan Karakter Mahasiswa Melalui Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (Studi Kasus di Universitas Muhammadiyah Malang)”, Hanum menitikberatkan variabel penelitian pada P2KK dan pendidikan karakter.

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif.

Hasilnya menunjukkan bahwa P2KK telah melaksanakan pembentukan karakter mahasiswa berbasi dua prinsip, yakni pribadi yang kompeten dan moderat. Semangat pendidikan karakter di P2KK dilatarbelakangi oleh

(2)

11

usaha untuk mengalihbudayakan perilaku mahasiswa yang masih school childern, menjadi university student.1

Penelitian Hanum memiliki kesamaan dengan penelitian yang diajukan peneliti. Hal ini meliputi subjek yang diteliti, keduanya sama- sama menjadikan UPT P2KK sebagai subjek yang diteliti oleh sebab ia merupakan pelaksana program tersebut. Adapun perbedaannya, terletak pada variabel independen yang digunakan.

Jika Hanum menitikberatkan secara deskriptif pendidikan karakter di P2KK, maka peneliti menitikberatkan secara deskriptif-komparatif experiential learning di P2KK sebelum dan semasa pandemi Covid-19 berlangsung. Peneliti pada penelitian ini memosisikan diri sebagai pelaku yang mengeksplanasi – tidak sekedar eksplorasi – penyelenggaraan materi P2KK.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh salah satu dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Hadi Nur Taufiq dengan judul “Pola Pembinaan Keagamaan dan Akhlak Mahasiswa (Studi Kasus di Universitas Muhammadiyah Malang)”. Penelitian ini membahas seputar strategi UMM dalam menghadapi tantangan sekularisasi dan modernisasi dewasa ini melalui pembinaan keagamaan dan akhlak.

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan antropologis- sosiologis yang memfokuskan pada keadaan sosial subyek peneiltian, serta fenomenologis-interaksi simbolik, yakni penafsiran makna yang

1 Hanum Almaidah, “Pembentukan Karakter Mahasiswa Melalui Program Pembentukan Kepribadian Dan Kepemimpinan” (Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018). XV

(3)

12

terkandung pada suatu fenomena. Artinya, penelitian yang dilakukan oleh Taufiq menggunakan pendekatan secara kualitatif-deskriptif.2

Persamaan antara penelitian Taufiq dan penelitian peneliti hanya tampak pada subyek yang diteliti, yakni P2KK. Adapun perbedaannya terletak pada fokus permasalahan dan sifat pendekatan peneiltian. Taufiq lebih memfokuskan permasalahan pada bagaimana UMM secara menyeluruh membina keagamaan dan akhlak. Sedangkan peneliti lebih menitikberatkan pada penerapan experiential learning di P2KK semasa pandemi Covid-19. Selain itu, pendekatan Taufiq lebih mengarah pada deskriptif analisis, sedangkan peneliti deskriptif-komparatif.

Posisi peneliti terhadap penelitian yang dilaksanakan oleh Taufiq adalah sebagai pelengkap. Penelitian ini pada akhirnya akan menjadi deskripsi yang lebih spesifik terhadap bagaimana pembinaan akhlak dan keagamaan pada P2KK. Secara tidak langsung, peneliti akan melengkapi kekurangan penelitian yang dilaksanakan oleh Taufiq.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Lilis Setyowati, Nadia Mar’atu Sholihah, dan Nur Aini yang berjudul “Pengaruh Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) terhadap softskill Mahasiswa”. Penelitian ini membahas seputar evaluasi ketercapaian P2KK dalam meningkatkan softskill mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kuantitatif-eksperimental. Hasilnya menunjukkan

2 taufiq, “Pola Pembinaan Keagamaan dan Akhlak Mahasiswa (Studi Kasus di Universitas Muhammadiyah Malang).” 47.

(4)

13

bahwa secara signifikan beberapa keterampilan softskill mahasiswa di Fakultas Ilmu Kesehatan UMM meningkat.3

Ditinjau dari segi subyek yang diteliti, penelitian Lilis dkk di atas memang memiliki kesamaan. Namun, pada aspek metodologi dan fokus kajiannya, memiliki perbedaan. Metodologi yang digunakan oleh peneliti adalah kualititatif, sedangkan Lilis dkk adalah kuantitatif. Adapun fokus kajiannya, penelitian Lilis dkk menitikberatkan pada bentuk kegiatan dan hasil. Sedangkan penelitian yang diajukan peneliti menitikberatkan pada penerapan experiential learning, baik sebelum atau semasa pandemi Covid-19.

Posisi peneliti terhadap penelitian Lilis dkk adalah pelengkap yang memberikan perspektif lain terhadap P2KK sebagai variabel penelitian.

Melalui sudut pandang yang berbeda, penyelenggaraan P2KK akan ditinjau lebih komprehensif sehingga hasil penelitian ini nantinya akan memiliki makna dan manfaat yang lebih komprehensif pula.

3 Lilis Setyowati, Nadia Mar’atu Sholihah, and Nur Aini, “Pengaruh Program Pembentukan Kepribadian Dan Kepemimpinan (P2KK) Terhadap Soft Skill Mahasiswa,” Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery) 7, no. 2 (2020): 276–84, https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p276-284.

(5)

14 B. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Experiential Learning

Istilah experiential learning secara kebahasaan diambil dari Bahasa Inggris yang terdiri dari kata experience yang berarti pengalaman dan learning yang berarti belajar atau pembelajaran.4 Apabila keduanya dimaknai secara terminologis, maka experiential learning dapat diartikan sebagai pembelajaran berbasis pengalaman.

Pertama kali digunakannya experiential learning dalam proses pembelajaran diutarakan oleh David Kolb pada tahun 1984 dalam bukunya yang berjudul “Experiential Learning, Experience as the Source of Learning and Development”. Dalam bukunya, David Kolb sebagaimana dikutip oleh Moh. Dannur (2017) menyebutkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman dalam setiap bentuk perubahannya.5

Dikutip Purnami dan Rohayati (2016) dari Association for Experiential Learning bahwa definisi experiential learning pun merupakan proses dimana sang pembelajar mengkonstruksikan pengetahuan, keterampilan dan nilai melalui pengalaman langsung yang ia dapat.6

4 S Wojowasito and Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggeris - Indonesia, Indonesia - Inggeris (Bandung: HASTA, 1980).

5 Moh. Dannur, “Teori Adult Learning, Ekspriental Learning Cycle Dan Perubahan Performance Individu Dalam Pendidikan Dan Pelatihan,” Fikrotuna 5, no. 1 (2017), https://doi.org/10.32806/jf.v5i1.2953.

6 Rahayu S. Purnami and Rohayati Rohayati, “Implementasi Metode Experiential Learning Dalam Pengembangan Softskills Mahasiswa Yang Menunjang Integrasi Teknologi,

(6)

15

Artinya, pengalaman akan berperan penting dalam penerimaan materi pembelajaran. Tak berlebihan kiranya, jika Jordan Peterson pernah mengatakan “Experience is the best teacher, and the worst experiences teach the best lessons” (Pengalaman adalah guru yang terbaik, sedangkan pengalaman yang terburuk adalah pelajaran yang paling baik).

Sebagai salah satu komponen dalam kesatuan sistem pembelajaran, experiential learning dapat diidentifikasikan termasuk strategi pembelajaran. Berdasarkan pada argumentasi Eveline Siregar dan Hartini Hara (2010) sebagaimana dikutip dari Reigeluth, terdapat tiga variabel dalam sistem pembelajaran, yakni: 1. Situasi atau kondisi pembelajaran; 2. Metode pembelajaran; dan 3. Hasil pembelajaran.7

Aspek kedua pada variabel sistem pembelajaran Reigeluth, yaitu metode pembelajaran mengisyaratkan bahwa komposisinya terdiri dari strategi pembelajaran, strategi penyampaian, dan strategi pengelolaan.

Experiential Learning dianggap paling sesuai dengan kelompok strategi pembelajaran, sebab secara definitif strategi pembelajaran merupakan spesifikasi yang digunakan untuk memilih dan mengurutkan suatu kejadian atau aktivitas dalam pembelajaran.8

Manajemen Dan Bisnis,” Jurnal Penelitian Pendidikan 13, no. 1 (2016), https://doi.org/10.17509/jpp.v13i1.3511.

7 Siregar Eveline and Hartini Nara, Teori Belajar Dan Pembelajaran, ed. Jamludin (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010). 13-14.

8 Ibid. Hal 15.

(7)

16

2. Paradigma Penerapan Experiential Learning

Tak jauh berbeda dengan kelahiran teori pada umumnya, gagasan experiential learning muncul sebagai antitesis dari content based learning yang lebih mengedepankan pembelajaran berdasarkan materi-materi tertentu yang sudah disiapkan oleh pendidik, sedangkan peserta didik cukup menerima materi tersebut secara monoton. Secara ekstrem, paradigma dalam experiential learning meliputi enam prinsip:9 1. Belajar tidak berfokus pada hasilnya, namun lebih berorientasikan

pada proses terbaik yang akan dilakukan;

2. Berdasarkan pada pengalaman yang akan dilakukan, belajar tidaklah terpisah-pisah, namun proses yang berkelanjutan;

3. Belajar merupakan sintesis dari berbagai gaya belajar yang dilaksanakan secara dialektis;

4. Belajar adalah suatu proses yang menyeluruh;

5. Belajar adalah interaksi antara individu atau peserta didik dengan lingkungannya; dan

6. Belajar diorientasikan pada penciptaan pengetahuan yang berangkat dari keterhubungan antara pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi.

3. Komponen Penerapan Experiential Learning

Sebagai sarana agar peserta didik mampu memahami materi pembelajaran, experiential learning menurut David Kolb sebagaimana

9 Santi Dewi Farisma, “Keefektifan Penggunaan Metode Pembelajaran Berbasis Pengal”

(Universitas Negeri Yogyakarta, 2014).

(8)

17

dikutip oleh Purnami dan Rohyati (2016) memiliki empat fase yang menjadi siklus berurutan dan berulang, yakni 1. Concrete experience (pengalaman konkret); 2. Reflective observation (observasi reflektif); 3.

Abstract conceptualization (konseptualisasi secara abstrak); dan 4.

Active experimentation (eksperimen aktif).10

Fase pertama, yakni concrete experience dimana peserta didik diarahkan untuk mendapatkan pengalaman belajar secara aktif dengan suatu kejadian atau perbuatan yang direncanakan oleh pendidik.

Semisal dalam pembelajaran matematika, peserta didik diarahkan untuk mempraktekkan bagaimana menghitung jumlah pohon yang ditanam tiap 1 Km pada jarak 10 Km. peserta didik akan mulai menghitungnya satu persatu.

Fase kedua, yakni reflective observation yang mana peserta didik mulai mengamati secara saksama seputar makna apa yang didapat dari fase yang pertama. Pada contoh penghitungan pohon di atas, peserta didik mulai menyadari bahwa penghitungan pohon tak bisa semerta- merta membagi bilangan 10:1. Sebab, pada tiap awal atau akhir per 1 Km selalu ada pohon yang ditanam.

Fase ketiga, yakni abstact conceptualization dimana peserta didik mulai memahami kerangka konseptual atas pelajaran yang sudah ia dapatkan. Artinya, peserta didik telah mulai mengajukan hipotesis terhadap peristiwa yang dijadikan pembelajaran. Pada contoh

10 Purnami and Rohayati, Op.Cit. Hal 100.

(9)

18

penghitungan pohon di atas, peserta didik mulai membuat rumusan cara menghitung pohon di jalan, yakni: panjang jalan dibagi jarak antar pohon ditambah satu ((PJ:JP)+1=).

Sedangkan fase yang terakhir, yakni active experimentation.

Peserta didik dengan serangkaian pengetahuan bahkan ilmu yang didapatkan, mencoba untuk menguji apakah argumentasi secara konseptual pada fase yang ketiga tadi reliabel jika diterapkan pada kasus yang lain. Semisal, jika pada contoh di atas ia menghitung jumlah pohon di Jalan M.T Hariono, kini peserta didik akan mencoba menghitung tiang listrik yang ada di Jalan Tlogomas.11

4. Pembentukan Kepribadian

Diuraikannya ragam pengertian dan landasan teori pembentukan kepribadian tak lantas menegasikan pembentukan kepemimpinan dalam Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK). Hal ini didasarkan dengan maksud agar terjadinya fokus pembahasan yang lebih efektif dan efisien. Dapat diidentifikasikan bahwa materi-materi P2KK, seperti thaharah, sholat, ahkāmu al-janāiz, macam-macam sujud, zakat dan ayat-ayat tadabbur adalah yang termasuk pembentukan kepribadian di samping pembentukan kepemimpinan.

Pembentukan kepribadian sedikit banyak akan berhubungan langsung dengan teori pendidikan karakter. Sebab, menurut Stedje

11 Muya Barida, “Model Experiential Learning Dalam Pembelajaran Untuk Meningkatkan Keaktifan Bertanya Mahasiswa,” Jurnal Fokus Konseling 4, no. 2 (2018): 153, https://doi.org/10.26638/jfk.409.2099.

(10)

19

dalam Muhammad Yaumi (2014) arti pendidikan karakter sendiri merupakan puncak tertinggi kebiasaan manusia yang dalam prakteknya dilandasi oleh nilai-nilai moral, etika, dan agama, entah diawasi maupun tidak oleh orang lain.12

Tak heran bahwa Muhammad Yaumi pun akhirnya menyimpulkan pendidikan karakter adalah sarana untuk pembentukan kepribadian. Orang yang berpribadi disebut juga orang yang berkarakter, sebab ia telah berada pada titik puncak perilaku sehari- harinya yang berkesesuaian dengan landasan moral, etis, dan agama.

Tampaknya benar apa yang diutarakan oleh Hasan al-Bashri dalam Shalih Ahmad al-Syami (2004):13

ِمِئاَهَبْلاَك ُساَّنلا َناَكَل َمْلِعْلا َلَ ْوَل

“Jikalau bukan karena ilmu(nya) manusia itu laksana hewan”

Pengetahuan dalam bahasa Arab yang tidak membedakan antara knowledge dan science – sebagaimana yang diutarakan oleh Ahmad Tafsir – mengidentifikasikan bahwa segala hal yang diketahui manusia, termasuk nilai-nilai etis, moral, dan agama, pada akhirnya akan menyempurnakan kepribadiannya.14

Kepribadian baik adalah potensi yang memang sedari awal manusia lahir, hadirnya pendidikan karakter di kemudian hari akan merekayasa lingkungan seorang manusia atau peserta didik agar ia

12 Yaumi, Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar & Implementasi. 6.

13 Shalih Ahmad Al-Syami, Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, Trans. Anding Mujahidin, II (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 2004). 223.

14 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009). 1-2.

(11)

20

mendapatkan kepribadian yang sebaik-baiknya. Merujuk pada indikasi kepribadian yang perlu diciptakan lingkungan belajar yang baik ini, tampaknya juga tepat dikutip hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:15

ِهِناَس ِ جَمُي ْوَأ ِهِنا َر ِ صَنُي ْوَأ ِهِناَدِ وَهُي ُها َوَبَأَف ِة َرْطِفْلا ىَلَع ُدَل ْوُي ٍد ْوُل ْوَم ُّلُك ِلَثَمَك .

)يراخبلا هاور( ٍءاَعْدَج ْنِم اَهْيِف ى َرَت ْلَه َةَمْيِهَبْلا ُجِتْنُت ِةَمْيِهَبْلا

“Setiap anak yang dilahirkan itu berdasarkan pada fitrahnya, maka karena orang tuanyalah, ia (anaknya) menjadi Yahudi, menjadi Nasrani, atau menjadi Majusi. Laksana hewan yang melahirkan anaknya, apakah dapat dilihat (anak yang dilahirkan itu) yang terlahir cacat karena terpotong telinganya? (H.R Bukhari)

Kesinambungan antara pembentukan kepribadian dan pendidikan karakter juga dapat ditinjau dari faktor pembentuk kepribadian dalam aliran konvergensi yang diutarakan oleh Stern sebagaimana dikutip oleh Yusuf Dwi Hadi (2014). Dalam rangka membentuk kepribadian yang baik, terdapat dua faktor yang akan membentuknya, yakni hereditas (nasab) dan lingkungan. Rekayasa sekolah atau lembaga pendidikan sebagai salah satu lingkungan peserta didik dalam hal ini tentu amat sangat memerlukan berbagai pendekatan dari konsep pendidikan karakter.16

5. Pendidikan Karakter

Disematkannya teori pendidikan karakter pada sub-bab tinjauan pustaka, mengindikasikan bahwa penelitian ini hendak menganalisis

15 Adnan Hasan Shalih Baharits, Mas’uuliyyatul Abilmuslimi Fi Tarbiyatil Waladi, Trans.

Syihabuddin, Terjemahan (Jeddah: Darul Mujtama, 1991).

16 Yusuf Dwi Hadi, “Konsep Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Teori Konvergensi Dalam Perspektif Pendidikan Islam” (Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2014). 47-50.

(12)

21

problematika implementasi experiential learning pada materi keterampilan dasar ibadah di P2KK semasa pandemi Covid-19 berdasarkan – salah satunya – teori pendidikan karakter. Dengan penalaran silogisme, teori pendidikan karakter akan menjadi premis mayor, sedangkan realitas di lapangan akan menjadi premis minor yang kemudian disimpulkan berdasarkan middle term-nya.

6. Pengertian Pendidikan Karakter

Secara grammatikal pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter. Apabila ditelisik maknanya secara kebahasaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses untuk mengubah individu melalui pengajaran dan pelatihan dengan tujuan pendewasaannya. Sedangkan arti karakter adalah tabiat, sifat-sifat yang berhubungan dengan jiwa, budi pekerti atau akhlak yang menjadi pembeda antara satu orang dengan yang lainnya.17

Pengertian lain tentang pendidikan karakter misalnya, dari Omeri dalam Fadilah dkk (2021) menyebutkan bahwasanya pendidikan karakter adalah suatu sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter di mana di dalamnya terdiri dari knowledge (pengetahuan), willingness (kemauan), dan action (perbuatan).18 Yahya Khan dalam Aisyah M. Ali (2018) juga mendefinisikan pendidikan karakter sebagai proses yang

17 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan),” 2016, https://kbbi.web.id/didik; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan),” 2016, https://kbbi.web.id/karakter.

18 Fadilah et al., Pendidikan Karakter, ed. M. Ivan Arivul Fathoni (Bojonegoro: CV, Agrapana Media, 2021). 13.

(13)

22

dilaksanakan dengan segenap upaya dan daya yang secara sadar dan terencana digunakan untuk mengarahkan peserta didik.19

Sedangkan pendidikan karakter dalam perspektif Islam menurut Ahmad Tafsir dalam Sehat Sulthoni Dalimunthe (2016) kata ‘karakter’

dapat pula disandingkan atau bahkan disamakan dengan kata ‘akhlak’, sehingga pendidikan karakter yang dimaksud di sini adalah pendidikan akhlak.20

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan unsur pembeda antara satu individu dengan individu yang lainnya, maka ia adalah komponen yang melekat dalam diri manusia.

Sebagai salah satu model pembelajaran, pendidikan karakter tentu memiliki perbedaan atau bahkan berbeda sama sekali dibandingkan model pembelajaran yang lainnya. Mengingat bahwa sebelum istilah pendidikan karakter ternama, ada banyak istilah yang digunakan, semisal pendidikan moral di Amerika Serikat, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pendidikan nilai-nilai dan budaya di negara kawasan Asia, dan lain sebagainya. Memahami karakteristik akan mengantarkan pada pemahaman yang tidak bias.

Tinjauan secara teologis menyebutkan bahwa hadirnya atau digagasnya pendidikan karakter adalah upaya memperbaiki dekadensi moral yang selama ini terjadi, terlebih di Indonesia. Pendidikan Karakter diyakini mampu mengantisipasi dan memperbaiki

19 Aisyah M. Ali, Op. cit. Hal 12

20 Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016). 19.

(14)

23

permasalahan rusaknya moral generasi penerus bangsa.21 Senada dengan ini, Thomas Lickona, selaku penggagas pendidikan karakter pun pernah menyatakan bahwa moral adalah pondasi dimana suatu negara berkembang menuju puncak peradaban. Kerusakan suatu negara, pemimpinnya dan masyarakat di dalamnya adalah sebab dari ditinggalkannya moral.22

Ditetapkannya pendidikan karakter sebagai langkah antisipatif dan kuratif terhadap dekadensi moral, secara spesifik didasarkan pada alasan muatan pendidikan karakter yang baik. Muh. Idris sebagaimana dikutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjelaskan bahwa terdapat lima poin pendidikan karakter, yakni religius, gotong-royong, kemandirian, nasionalis, dan integritas.23

Adapun dalam bahasa Lickona, pendidikan karakter akan mencerminkan 11 prinsip jika dilaksanakan secara efektif:

1. Pengembangan nilai-nilai etika inti dan kinerja yang mendukung;

2. Pendefinisian karakter komprehensif yang terdiri dari unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik;

3. Menggunakan pendekatan disengaja, aktif, dan komprehensif;

4. Menciptakan komunitas yang peduli satu sama lain;

21 Muh Idris, “Pendidikan Karakter: Perspektif Islam Dan Thomas Lickona,” Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam VII, no. 1 (2018), https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/2661828/kronologi-tawuran-bocah-sd-.

22 Abdulloh Hamid, Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren (Pelajar Dan Santri Dalam Era IT Dan Cyber Culture), ed. Rijal Mumazziq Z (Surabaya: Imtiyaz, 2017).

23 Idris, Op. Cit. Hal 80.

(15)

24

5. Pemberian kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan perbuatan yang bermoral;

6. Penyusunan kurikulum yang syarat akan makna dan menantang;

7. Selalu memotivasi peserta didik;

8. Kerjasama seluruh stakeholder yang terlibat dalam interaksi belajar-mengajar sebagai komunitas yang patuh terhadap nilai-nilai inti pendidikan karakter;

9. Memupuk kebersamaan setiap tindak-tanduk kepemimpinan yang bermoral;

10. Pelibatan keluarga dan masyarakat sekitar sebagai partner dalam pendidikan karakter; dan

11. Evaluasi komprehensif terhadap seluruh kegiatan dan pelaksana.

Selain itu, pendidikan karakter yang mengisyaratkan bahwa karakter adalah identitas dalam melaksanakan suatu pendidikan, maka secara subtantif dapat diuraikan pada lima unsur. Dasar argumentasinya, adalah Aristoteles yang pernah mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal, berbudi pekerti atau berakal budi.24 Karakteristik akal budi tersebut oleh Parwez dalam Yaumi (2014) diidentifikasikan dengan lima komponen, yaitu: 1. Sikap; 2.

Kebaikan; 3. Moralitas; 4. Kebenaran; dan 5. Kekuatan.25

24 Irwan Suhanda, “Manusia,” kompas.com, 2017,

https://sains.kompas.com/read/2017/12/05/063400223/manusia?page=all#:~:text=Lain halnya menurut Aristoteles (384,tata tertib%2C berkomunikasi melalui bahasa.

25 Yaumi, Op. Cit. Hal 8.

(16)

25

Pertama, komponen sikap memiliki makna bahwa karakter secara implementatif dalam kehidupan sehari-hari adalah ekspresi yang diwujudkan dalam tindakan. Kedua, karakter adalah kebaikan disebabkan nilai-nilai dalam masyarakat akan diimplementasikan secara saksama. Kebaikan identik dengan pandangan apa yang semestinya berpatok pada persepsi subjektif individu pada suatu tempat.

Ketiga, moralitas adalah keteguhan yang terpatri dalam batin.

Perbuatan yang sesuai dengan moralitas disebut susila dan yang melanggarnya disebut asusila. Keempat, kebenaran pun merupakan karakter oleh sebab ia lahir dari pertimbangan etika dan kondisi objektif suatu persoalan. Kelima, yakni karakter sebagai kekuatan yang menunjukkan kualitas diri dimana sifat egois dan nafsu belaka manusia dapat ditaklukkan.

(17)

26

7. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Sejak akhir 2019 hingga saat penelitian ini ditulis, istilah Corona Virus Disease (Covid-19), tampak begitu akrab di telinga siapapun yang mendengarnya. Sebab, diketahui Covid 19 inilah yang menjadi penyebab banyaknya keresahan secara ekonomi, sosial, dan politik. Tak berlebihan jika World Health Organization (WHO) menyematkan Covid-19 sebagai wabah atau pandemi.

Secara bahasa, arti pandemi adalah wabah yang menjangkit secara luas di mana-mana.26 Adapun Covid-19 adalah akronim dari Corona Virus Disease 2019 yang apabila diterjemahkan artinya adalah

‘penyakit virus corona’. International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), sebuah komite internasional yang mengklasifikasikan nama dan variasi virus, mengidentifikasikan bahwa pandemi yang dialami secara merata di seluruh dunia merupakan variasi baru dari pada Sars-Cov yang dulu pada 2003 pernah terjadi. Kini, nama yang disematkan oleh ICTV terhadap virus ini adalah Sars-CoV-2, sedangkan WHO menamainya sebagai Covid-19.27

Sars-CoV adalah akronim dari Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus (sindrom pernafasan akut parah sebab virus korona) yang apabila ditinjau dari penggolongannya, ia termasuk

‘keluarga’ yang menyerang sistem pernafasan akut – kadang juga

26 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (Daring),” 2016, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pandemi.

27 Nurhanisah, “Mengenal Hubungan COVID-19 Dan SARS-CoV-2.”

http://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-hubungan-covid-19-dan-sars-cov-2.

(18)

27

saluran pencernaan – terhadap manusia dan hewan. Panambahan tanda

‘2’ pada Sars-CoV-2 merupakan bukti bahwa adanya variasi terbaru, dan pandemi yang saat ini dirasakan adalah variasi virus tersebut.28

Asal-usul Covid-19 hingga kini masih jadi perdebatan seantero dunia, isu penyebarannya kerap kali diidentikkan dengan kepentingan politik negara tertentu. Virus ini pertama kali diidentifikasikan berada di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada pertengahan November,29 namun hingga saat ini pihak China dan Barat – khususnya Amerika Serikat – seakan main tuding terhadap siapa yang sengaja menyebarkan virus ini.30

Terlepas dari konspirasi di atas, pandemi Covid-19 adalah kenyataan yang tak bisa lagi dipungkiri. Hingga saat penelitian ini ditulis, total kasus Covid-19 di seluruh dunia sudah mencapai 182.734.585 dengan angka kematian mencapai 3.957.585 jiwa. Apabila dipersentasekan, maka kemungkinan kematian kasus Covid-19 ini mencapai angka 2,1%.31

Di Indonesia, Covid-19 pertama kali diidentifikasikan baru berada pada tanggal 2 Maret 2020. Presiden Joko Widodo yang mengumumkannya secara langsung tentang dua orang pertama Warga

28 Hospitals, “Mengenal Novel CoronaVirus (COVID-19) (Update 20 April 2020).”

29 ABC Indonesia. 2020. Siapa Pasien Pertama Virus Corona yang Telah Mengubah Hidup Kita. Tempo.co. dilansir dari laman https://www.tempo.co/abc/5516/siapa-pasien-pertama- virus-corona-yang-telah-mengubah-hidup-kita pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 21.13 WIB

30 Britt Yip & Valeria Perasso. 2021. Asal Covid-19: Apakah kita perlu tahu dari mana asal virus corona ini? BBC News Indonesia. Dilansir dari laman https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57590872 pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 21.18 WIB

31 Our World in Data. 2021. Virus Corona (Covid-19). Google News. Dilansir dari laman https://news.google.com/covid19/map?hl=id&gl=ID&ceid=ID%3Aid pada 2 Juli 2021 pukul 21.38

(19)

28

Negara Indonesia (WNI) yang terpapar Covid-19. Diketahui bahwa kedua orang tersebut adalah ibu dan anak yang terpapar akibat kontak langsung dengan Warga Negara Asing (WNA) Jepang.32

Hingga saat ini, sebagaimana dipublikasikan oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, sejumlah 2.228.938 kasus Covid-19 telah terindikasi di Indonesia. 12% (267.539) di antaranya masih berstatus kasus aktif, 85,3% (1.901/865) berstatus sembuh, dan 2,7% (59.534) yang lainnya meninggal dunia.33

Terhadap permasalahan penyebaran ini, sebenarnya Pemerintah sudah melakukan serangkaian kebijakan yang berusaha mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19. Mulai dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kampanye 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Penetapan Tatanan Normal Baru, larangan mudik, hingga saat ini yang paling aktual Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro).34

32 Ihsanuddin. 2020. Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona di Indonesia.

Kompas.com. dilansir dari laman https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta- lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 21.53WIB

33 Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. 2021. Peta Sebaran.

Covid19.go.id. dilansir dari laman https://covid19.go.id/peta-sebaran pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 22.05 WIB

34 Vincentius Gitiyarko. 2020. Kebijakan Pemerintah Menangani Covid-19 Sepanjang Semester II 2020. Kompaspedia. Dilansir dari laman https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan- topik/kebijakan-pemerintah-menangani-covid-19-sepanjang-semester-ii-2020 pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 22.26 WIB

(20)

29

8. Pembelajaran Semasa Pandemi Covid-19

Peraturan Perundang-undangan memang tidak akrab dengan istilah daring pada proses belajar-mengajar, namun demikian, istilah daring dapat diketahui dari Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).35

Pembelajaran dalam jaringan (daring) adalah kebalikan daripada pembelajaran luar jaringan (luring). Konteks penyebutan pembelajaran daring biasa digunakan sebagai lawan dari pembelajaran secara reguler (tatap muka). Hadirnya pembelajaran secara daring, merupakan alternatif bagi sulitnya penyelenggaraan belajar-mengajar secara mainstream.

Namun demikian, pembelajaran secara daring hanya sebagian kecil daripada strategi pembelajaran. Jika diidentifikasikan, maka pembelajaran daring merupakan media dalam strategi pembelajaran yang tak boleh luput dari kebutuhan dan kondisi peserta didik.36 Sedangkan metode yang melandasinya dapat berupa ceramah, diskusi dan lain sebagainya.

Identifikasi lebih lanjut tentang kegiatan belajar-mengajar secara daring, bahwa ia merupakan teknik pembelajaran yang telah diatur pada

35 Kebudayaan, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).

36 Imanuel, Op.cit. Hal 19.

(21)

30

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang a quo, menyebutkan bahwa ia merupakan teknik pembelajaran yang dinamakan Pendidikan Jarak Jauh.37

Pendidikan Jarak Jauh memiliki dua lingkup, yakni program dan satuan pendidikan. Pada lingkup program, sebuah Pendidikan Jarak Jauh hanya diselenggarakan pada mata pelajaran atau bidang keahlian tertentu. Sedangkan pada pada lingkup satuan pendidikan, Pendidikan Jarak Jauh diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran pada jenjang dan jenis pendidikan.

Pelaksanaan Pendidikan Jarak Jauh terkadang di satu sisi tidak memiliki keseragaman, hal ini diketahui sebagai konsekuensi bahwa kebijakannya adalah kewenangan Pemerintah Daerah. Efektivitas penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (pembelajaran secara daring) dewasa ini harus dilandasi paradigma bahwa pembelajaran secara daring merupakan kebutuhan yang tak terelakan. Pasalnya, jika pendidik maupun peserta didik tidak bersiap-siap atas kebutuhan zaman, maka akibatnya pembelajaran tak bisa dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dan kemajuan zaman.

Dikutip dari harian kompas.id, bahwa penelitian yang dilaksanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukan dari 602

37 BPK RI, “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional” (2003).

(22)

31

responden – terdiri dari guru dari berbagai jenjang pendidikan dan status kepegawaian – hanya 19,1 persen responden mengaku telah terbiasa menggunakan aplikasi edukasi tatkala melaksanakan proses pembelajaran.38

38 Sania Mashabi and Kristian Erdianto, “KPAI: Angka Putus Sekolah Pada Masa

Pandemi Covid-19 Cukup Tinggi,” kompas.com, 2021,

https://nasional.kompas.com/read/2021/03/06/12561341/kpai-angka-putus-sekolah-pada-masa- pandemi-covid-19-cukup-tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Pendafataran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Dari hasil tersebut diperoleh informasi bahwa 11,7 % perubahan pada variabel motivasi berwirausaha (Y) dipengaruhi oleh variabel pembelajaran Bioteknologi Tanaman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik daun bayam merah terstandar sebagai preventif obesitas berdasarkan parameter indeks

Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014)1. Universitas Pendidikan Indonesia |

Kemudahan akses adalah salah satu dimensi kualitas, untuk mengukurnya didekati dengan indikator persentase kepuasan konsumen terhadap pelayanan data BPS sebesar 95, tingkat capaian

Manusia seperti ia adanya, yaitu yang disebut fenotipe, adalah perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat keturunannya dengan faktor lingkungan.di dalam ekosistem,tempat

[r]

• Conductive heating by means of steam pack, paraffing, and contrast baths is cheap, quick and effective way of providing moist heat to allieviate pain, muscle spasm, •