• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka Asfiksia Neonatorum a. Definisi Asfiksia, dari bahasa Yunani yang berarti tanpa denyut, saat ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka Asfiksia Neonatorum a. Definisi Asfiksia, dari bahasa Yunani yang berarti tanpa denyut, saat ini"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Asfiksia Neonatorum a. Definisi

Asfiksia, dari bahasa Yunani yang berarti tanpa denyut, saat ini digunakan untuk mendefinisikan keadaan dimana pertukaran gas-plasental atau pulmonal–terganggu atau berkurang secara bersamaan sehingga menyebabkan depresi kardiorespirasi. Karena istilah “asfiksia saat lahir” tidak tepat dan menyiratkan bahwa kondisi bayi ini merupakan konsekuensi kelahiran, sehingga mungkin memiliki implikasi medikolegal, maka telah direkomendasikan untuk menghilangkan istilah tersebut (Guidelines for

Perinatal Care, American Academy of Pediatrics and American Collage of Obstetricians and Gynecologists, 2002). Mereka telah merekomendasikan

penggunaan istilah “asfiksia”, namun hanya untuk menggambarkan bayi dengan kriteria-kriteria berikut :

 Asidemia (pH<7) yang nyata pada sampel arteri umbilikalis, jika bisa didapatkan

 Skor Apgar 0-3 selama lebih dari 5 menit

 Manifestasi neurologik neonatal, misalnya kejang, koma atau hipotonia  Disfungsi organ multisistem (Lissauer & Fanaroff, 2009).

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis. Asfiksia neonatus menyebabkan disfungsi organ, termasuk hati sebagai salah satu organ yang dikorbankan akan mengalami cedera karena proses asfiksia (Artana, 2012).

Definisi klinis asfiksia adalah janin atau neonatus harus menderita hipoksia. Hipoksia adalah kondisi oksigenasi di jaringan yang rendah pada fase lanjutan. Hiperkapnia, konsentrasi karbondioksida tinggi mencerminkan peningkatan produksi karbondioksida atau pengurangan ventilasi paru-paru atau pertukaran gas di plasenta. Hasil dari kondisi tersebut adalah asidosis metabolik yang signifikan (Artana, 2012).

(2)

b. Etiologi

Asfiksia adalah masalah serius pada neonatus di seluruh dunia. Ada banyak penyebab antara lain mungkin tidak dapat mengambil oksigen yang cukup sebelum, selama, dan setelah melahirkan (Utomo, 2011).

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila didapati adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan berakibat asfiksia janin. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama kehamilan dan persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan bayi (Radityo, 2011).

Penyebab secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkatan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau

segera setelah lahir. Hipoksia janin berdampak persediaan O2 menurun,

mengakibatkan tingginya CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara kronis

atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara akut karena adanya komplikasi dalam persalinan (Desfauza, 2008).

Sebab-sebab asfiksia neonatorum yang merupakan kelanjutan dari fetal

distress intrauteri sebagai berikut (Manuaba, 2007) :

1. Faktor maternal

Hipotensi atau syok dengan sebab apapun pada ibu hamil akan terjadi aliran darah menuju plasenta akan berkurang sehingga O2 dan nutrisi makin

tidak seimbang untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Pada anemia maternal, kemampuan transportasi O2 makin turun sehingga konsumsi O2

janin tidak terpenuhi, dan metabolisme janin sebagian menuju metabolisme anaerob sehingga terjadi timbunan asam laktat dan piruvat, serta menimbulkan asidosis metabolik. Penekanan respirasi atau penyakit paru, malnutrisi, asidosis dan dehidrasi dan supine hypotensi juga bisa menjadi penyebab asfiksia karena dapat terjadi penurunan konsentrasi O2 dan nutrisi dalam darah

yang menuju plasenta sehingga konsumsi O2 dan nutrisi janin makin menurun

(Manuaba, 2007). 2. Faktor uterus

Disebabkan karena aktivitas kontraksi memanjang/hiperaktivitas, ini akan menyebabkan aliran darah menuju plasenta makin menurun, sehingga O2 dan

(3)

nutrisi menuju janin makin berkurang. Bisa juga disebabkan gangguan vaskular sehingga menyebabkan timbunan glukosanya yang menimbulkan energi pertumbuhan melalui O2, dengan hasil akhir CO2 atau habis karena

dikeluarkan melalui paru atau plasenta janin, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dan metabolisme beralih menuju metabolisme anaerob yang menimbulkan asidosis (Manuaba, 2007).

3. Faktor plasenta

Bisa disebabkan oleh degenarasi vaskularnya dan solusio plasenta dimana fungsi plasenta akan berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 dan nutrisi metabolisme janin. Juga karena pertumbuhan hipoplasia primer

menimbulkan metabolisme anaerob dan akhirnya asidosis dengan pH darah turun (Manuaba, 2007).

4. Faktor tali pusat

Dalam bentuk kompresi tali pusat, simpul mati atau lilitan tali pusat, dan hilangnya Jelly Wharton (Manuaba, 2007).

5. Faktor janin

Pada kasus infeksi kebutuhan metabolisme makin tinggi, sehingga ada kemungkinan tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta. Anemia janin juga bisa menjadi penyebab. Perdarahan dalam bentuk plasenta previa, solusio plasenta, pecahnya sinus marginalis dan pecahnya vasa previa bisa menimbulkan asidosis. Dan penyebab lainnya yaitu malformasi, dapat digolongkan dalam kelainan jantung kongenital dan kehamilan ganda (Manuaba, 2007).

Faktor janin berupa gangguan aliran darah dalam tali pusat akibat tekanan tali pusat, depresi pernapasan karena obat-obatan anestesi/analgetika yang diberikan ke ibu, perdarahan intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia saluran pernapasan, hipoplasia paru-paru, dan lain lain (Desfauza, 2008).

c. Patofisiologi

Bayi baru lahir mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari kehidupan janin intrauterin ke kehidupan bayi ekstrauterin, menunjukkan perubahan sebagai berikut. Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada saat lahir dan bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli

(4)

berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung oksigen. Aliran darah paru meningkat secara dramastis. Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, ke duanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskular paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir (Persisten Pulmonary

Hypertension of the Neonate), dengan aliran darah paru yang inadekuat dan

hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal napas (Dharmasetiawani, 2014).

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan di antaranya (Radityo, 2011) :

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.

b. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung. c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap

tingginya resistensi pembuluh darah paru dan sistem sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan.

Sehubungan dengan proses fisiologi tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit pada saat ini

(5)

denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10 kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada keadaan normal fase-fase ini tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan segera bernafas dan menangis kuat (Radityo, 2011).

Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat asfiksia mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan. Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah mengalami asfiksia selama lima menit atau lebih sehingga darah tidak dapat mengalir meskipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan yang menetap pada proses asfiksia (Radityo, 2011).

d. Diagnosis

Diagnosis asfiksia neonatorum terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan diagnostik. Dari anamnesis didapat gangguan atau kesulitan waktu lahir, lahir tidak bernafas atau menangis. Diagnosis asfiksia neonatorum tidak hanya ditegakkan setelah bayi lahir, tetapi juga dapat ditegakkan sewaktu janin masih berada dalam rahim. Karena pada umumnya asfiksia neonatorum biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia atau hipoksia janin. Diagnosis anoksia atau hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu denyut jantung janin, mekonium dalam air ketuban, dan pemeriksaan pH darah janin (Gilang et al., 2012).

Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila

(6)

dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia (Gilang

et al., 2012).

Tabel 2. Skor Apgar

Skor Apgar 0 1 2

Denyut jantung Tidak ada Lambat (<100 kali/menit) >100 kali/menit Pernapasan Tidak ada Lambat, irregular Bagus, menangis

Tonus otot Lemah Sedikit fleksi pada ekstremitas Gerakan aktif

Kepekaan reflex Tidak ada Menangis Batuk, bersin, menangis Warna Biru/pucat Badan merah muda, ekstremitas biru Merah muda

Apgar adalah seorang dokter ahli anestesia Amerika (1909-1974) yang telah mencetuskan gagasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bayi baru lahir dengan menilai sekumpulan gejala sehingga bayi dapat digolongkan menjadi asfiksia ringan, sedang, berat atau lahir dengan vigorous baby. Skor Apgar dapat digolongan menjadi tiga kategori, jika skor Apgar 0-3 disebut asfiksia berat. Dan jika skor Apgar 4-6 disebut asfiksia sedang, sedangkan skor Apgar 7-10 disebut vigorous baby (well born baby) (Manuaba, 2007).

Skor Apgar digunakan untuk menggambarkan kondisi bayi selama beberapa menit pertama kehidupan. Skor Apgar tidak digunakan untuk menentukan perlunya resusitasi. Evaluasi untuk resusitasi dibuat detik per detik dan didasarkan pada tiga tanda utama yaitu pernapasan, denyut jantung dan warna. Bayi dengan skor Apgar rendah pada menit 1 namun merespon dengan cepat terhadap resusitasi memiliki prognosis yang sangat baik. Bayi dengan skor Apgar rendah di atas menit 10 walaupun telah diberikan resusitasi yang adekuat memiliki risiko palsi serebral yang meningkat seiring semakin lamanya skor rendah (Lissauer & Fanaroff, 2009).

Frekuensi denyut jantung normal saat lahir antara 120 dan 160 denyut per menit. Denyutan di atas 100 per menit biasanya menunjukkan asfiksia dan penurunan curah jantung. Bayi normal akan megap-megap saat lahir, menciptakan upaya bernapas dalam 30 detik dan mencapai pernapasan yang menetap pada frekuensi 30-60 kali per menit pada usia 2 sampai 3 menit. Apnea dan pernapasan yang lambat atau tidak teratur terjadi oleh berbagai

(7)

sebab, termasuk asidosis berat, asfiksia, infeksi janin, kerusakan sistem saraf pusat atau pemberian obat pada ibu (barbiturat, narkotik dan trankuilizer). Semua bayi normal menggerak-gerakkan semua anggota tubuhnya secara aktif segera setelah lahir. Bayi yang tidak dapat melakukan hal tersebut atau bayi dengan tonus otot yang lemah biasanya asfiksia, mengalami depresi akibat obat atau menderita kerusakan sistem saraf pusat. Respons normal pada pemasukan kateter ke dalam faring posterior melalui lubang hidung adalah menyeringai, batuk atau bersin. Hampir semua bayi berwarna biru saat lahir. Mereka berubah menjadi merah muda setelah tercapai ventilasi yang efektif. Kebanyakan bayi yang pucat saat lahir mengalami vasokontriksi perifer. Vasokontriksi biasanya disebabkan oleh asfiksia, hipovolemia atau asidosis berat (Rudolph, 2006).

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat gangguan lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur mekonium. Temuan klinis yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak bernafas/megap-megap, denyut jantung <100x/menit, kulit sianosis atau pucat, dan tonus otot yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor Apgar pada menit ke-1, 5, dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat. Skor Apgar merupakan metode obyektif untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan bayi scara keseluruhan dan keberhasilan tindakan resusitasi. Walaupun demikian, tindakan resusitasi harus dimulai sebelum perhitungan pada menit pertama. Ada tiga tanda utama yang digunakan untuk menentukan bagaimana dan kapan melakukan resusitasi (pernapasan, frekuensi jantung, dan warna kulit) dan ini merupakan bagian dari skor Apgar. Dua tanda tambahan (tonus otot dan refleks rangsangan) menggambarkan keadaan neurologis. Skor Apgar biasanya dinilai pada menit 1 kemudian pada menit ke 5. Jika nilainya pada menit ke 5 kurang dari 7, tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit sampai 20 menit. Walaupun skor Apgar bukan merupakan nilai prediksi yang baik untuk hasil, akan tetapi perubahan nilai yang terjadi pada saat resusitasi dapat menggambarkan bagaimana bayi memberikan respon terhadap tindakan resusitasi (AHA & AAP, 2006).

(8)

Bayi prematur yang berusia konsepsi kurang dari 34 minggu secara klinis dapat mengalami depresi dan penurunan responsivitas, apnea, dan bradikardia sering ditemukan. Gejala dan tanda neurologik dapat sulit diketahui karena bayi-bayi ini sering memerlukan ventilasi buatan. Bayi yang berusia konsepsi lebih dari 34 minggu dapat mengalami stupor dan hipotonia berat. Dalam sebuah penelitian oleh Brown dan rekan-rekannya, 16 dari 94 bayi asfiksia memiliki tonus normal, dan 80% tumbuh secara normal. Tampaknya tidak terdapat perbedaan bermakna dalam derajat asfiksia. Perjalanan klinis pada bayi-bayi ini bervariasi. Beberapa di antaranya membaik secara bertahap sejak lahir, yang lain secara progresif menjadi semakin buruk (Rudolph, 2006).

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah, dimana pada neonatus dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2 < 50 mmH2O,

PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3 (Ghai, 2010).

Pemeriksaan penunjang untuk asfiksia bisa dilakukan foto polos dada, USG kepala, dan pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, analisis gas darah, dan serum elektrolit. Sedangkan pemeriksaan diagnostik bisa dilakukan analisis gas darah, elektrolit darah, gula darah, baby gram (rontgen dada), dan USG kepala (Gilang et al., 2012).

e. Penatalaksanaan

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan faktor waktu sangat penting, kerusakan yang timbul pada bayi anoksia atau hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir dan penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara tepat dan adekuat (Gilang et al., 2012).

(9)

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti alur berikut (AHA, 2010) :

f. Komplikasi

Asfiksia pada neonatus, keadaan awal terjadi depresi dari sistem kardiovaskular, kemudian menyebabkan disfungsi organ lain, syok dengan curah jantung berkurang, hipotensi sistemik dan hipertensi paru. Kelanjutan asfiksia akhirnya semua sistem organ terkena dampak kompensasi. Hati sebagai salah satu organ yang dikorbankan akan mengalami cedera karena proses asfiksia (Artana, 2012).

(10)

Asfiksia saat lahir mempunyai pengaruh yang timbul segera dan pengaruh yang timbul jangka panjang. Asfiksia total akut, misalnya pada prolaps tali pusat, mungkin memperlihatkan gejala perdarahan dan edema yang merusak dan mempengaruhi fungsi otak serta menyebabkan hipotonia berat diikuti oleh iritabilitas dan kejang. Pada keadaan ini mungkin dijumpai tangisan abnormal dan refleks hisap yang buruk. Pola pernapasan dapat demikian terganggu sehingga menyerupai suatu masalah pernapasan primer. Hilangnya kontrol hemostatis dapat menyebabkan hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipotermia. Asfiksia dapat pula menyebabkan kerusakan organ-organ lain seperti edema pada paru-paru, perubahan yang menyerupai infark pada miokardium, ileus atau perforasi iskemik pada usus, thrombosis vena renalis atau nekrosis tubular pada ginjal, serta gangguan metabolisme dan hemostatis pada hati. Pada bayi prematur, asfiksia pada saat lahir meningkatkan risiko terjadinya sindrom gawat napas idiopatik serta meningkatkan risiko terjadinya dua jenis kerusakan intrakranial yaitu perdarahan intraventrikular dan leukomalasia periventrikular (perlunakan substansia alba di sekitar ventrikel) (Hull & Johnston, 2008).

Kejadian hipoksia atau iskemia, misalnya asfiksia dan penyakit jantung bawaan. Keadaan ini dapat terjadi hipoperfusi sehingga sirkulasi mesenterikus dikorbankan dan mengakibatkan iskemia intestinal. Ketidakseimbangan antara mediator vasodilator dan vasokonstriktor pada neonatus mengakibatkan defek autoregulasi splanik yang berisiko mengakibatkan iskemia intestinal. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin (IDAI, 2011).

Studi tomografi emisi positron (positron emission tomography, PET) pada neonatus yang mengalami asfiksia memperlihatkan daerah parasagital yang terletak di antara arteri pemasok utama sangat rentan terhadap cedera hipovolemik iskemik. Bayi yang dapat bertahan hidup berisiko mengalami palsi serebral, kelainan okulovisual, dan gangguan pendengaran (Rudolph, 2006).

Pengaruh pascanatal yang timbul segera dari asfiksia prenatal yang kronis dan intermitten sulit dinilai karena asfiksia selalu bukan satu-satunya faktor

(11)

berbahaya yang mempengaruhi bayi. Edema serebri, perdarahan atau iskemia mungkin menjurus pada kerusakan otak yang permanen dan menyebabkan palsi serebral serta cacat mental. Kenyataan bahwa derajat asfiksia yang lebih ringan menyebabkan kerusakan otak yang lebih ringan misalnya kejang, hiperaktivitas, dan problem belajar, secara umum dapat diterima. Namun, sukar untuk menilai sejauh mana asfiksia bertanggung jawab terhadap terjadinya gangguan-gangguan itu dimasyarakat (Hull & Johnston, 2008). g. Prognosis

Beberapa bayi memiliki prognosis yang baik. Hanya 1 dari 10 bayi dengan asfiksia serebral pada minggu pertama setelah lahir yang selanjutnya terbukti mengalami kerusakan otak (Hull & Johnston, 2008).

Faktor utama dalam prognosis adalah kecepatan perbaikan awal antara lahir dan 36 jam pertama. Jika bayi tampak normal, atau tidak berubah dari hipertonia atau hipotonia ekstrem menuju status normal selama periode ini, prognosis baik. Jika perbaikan terjadi secara lambat, prognosisnya lebih meragukan dan kemungkinan berkembang normal jarang melebihi 50%. Penanda laboratorium untuk memperkirakan prognosis fungsional memiliki manfaat yang bervariasi. Hipokalsemia dapat tidak mempengaruhi prognosis. Peningkatan kadar isoenzim keratin kinase (CK-BB) pada pemeriksaan darah serial dan darah tali pusat memberikan korelasi erat antara asfiksia lahir dan hasil akhir. CSS biasanya normal pada asfiksia kecuali pada sebagian besar pasien terjadi peningkatan asam laktat. Nilai asam laktat yang sangat tinggi dapat merupakan tanda untuk memperkirakan buruknya prognosis (Rudolph, 2006).

2.1.2 Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum a. Faktor Ibu

1. Umur Ibu

Masyarakat menghadapi kenyataan bahwa kehamilan pada remaja semakin meningkat dan semakin menjadi masalah. Kehamilan remaja dengan usia sekitar 20 tahun mempunyai risiko yaitu, sering mengalami anemia, gangguan tumbuh-kembang janin, keguguran, prematuritas atau BBLR, gangguan persalinan, sehingga perlu tindakan operasi persalinan, preeklamsia, perdarahan antepartum, pascapartus seperti subinvolusi uteri,

(12)

berisiko ber-IQ rendah. Terdapat perbedaan pengawasan pada ibu hamil dengan usia di bawah 18 tahun disebabkan risiko tersebut dan penyulit proses persalinan yang diakhiri dengan tindakan operasi. Kini wanita karier dan terdidik banyak yang terlambat menikah dan hamil di atas usia 35 tahun. Jumlah mereka cukup banyak sekitar 3-5% sehingga diperlukan perhatian khusus (Manuaba, 2007).

Bagian komponen dari status reproduksi adalah umur ibu dan jumlah paritas atau jumlah persalinan. Pada kelompok ibu berumur 20-30 tahun angka kematian ibu lebih rendah dibanding dengan kelompok ibu berumur kurang dari 20 tahun, dan dibanding dengan kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih. Umur, tinggi badan, dan berat badan wanita merupakan risiko kehamilan. Wanita yang berumur 15 tahun atau lebih muda meningkatkan risiko preeklamsi. Wanita yang berumur 35 tahun atau lebih meningkat risikonya dalam masalah-masalah seperti tekanan darah tinggi, diabetes gestasional dan komplikasi selama kehamilan. Pada umur kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara optimal (Gilang et al., 2012).

Pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan perkembangan dari organ-organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Pada wanita usia muda dimana organ-organ reproduksi belum sempurna secara keseluruhan, disertai kejiwaan yang belum bersedia menjadi seorang ibu. Penelitian di RSUP M. Jamil Padang menemukan kejadian asfiksia neonatorum sebesar 36,4% pada ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan 26,3 % pada ibu dengan usia lebih dari 34 tahun. Penelitian di RSUD Dr Adjidarmo Rangkasbitung menemukan bayi yang lahir dengan asfiksia neonatorum 1,309 kali pada ibu umur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun (Desfauza, 2008).

2. Diabetes Melitus

Sebelum insulin tersedia, perempuan penderita diabetes jarang bisa hamil. Diabetes menurunkan harapan hidup dan kesuburan mereka. Bila pun hamil, prognosis untuk ibu tersebut dan bayinya buruk. Sebelum tahun 1930, angka mortalitas ibu yang menderita diabetes sekitar antara 6-60%, dan mortalitas

(13)

perinatal 25-73%. Kehamilan pada penderita diabetes bergantung-insulin sering dipersulit oleh satu atau lebih masalah pada janin dan neonatus. Hal ini mencakup kematian janin mendadak pada trimester ke-3 lanjut, kelahiran prematur melalui induksi untuk menghindari kematian janin pada trimester ke-3, makrosomia, trauma lahir akibat makrosomia, asfiksia intrapartum, seksio sesarea untuk menghindari trauma lahir dan asfiksia intrapartum, retardasi pertumbuhan intrauterin, distress pernapasan neonatal akibat berbagai penyebab apapun, hipoglikemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, polisitemia dan hiperviskositas, sindrom hipertensi pulmonal persisten, kardiomiopati, dan anomali kongenital (Rudolph, 2006).

Pada ibu hamil dengan diabetes melitus, jumlah insulin kurang atau tidak berfungsi sehingga siklus Kreb tidak berlangsung dengan baik. Metabolisme terbalik terjadi sehingga akan dijumpai hiperglikemia pada maternal yang akan berpengaruh terhadap janin. Pada siklus Kreb hasil akhirnya adalah CO2 dan air, sedangkan pada ibu hamil dengan diabetes melitus,

metabolisme anaerobik dominan. Keadaan ini terjadi karena insulin tidak mampu berperan pada siklus Kreb sehingga energi utama yang sangat diperlukan bersumber dari protein dan lemak. Dengan kurang atau tidak berfungsinya siklus Kreb, dalam serum darah ibu hamil terjadi peningkatan glukosa, badan keton, kolesterol, dan konsentrasi asam lemak. Peningkatan konsentrasi ini akan memberikan pengaruhnya terhadap komplikasi pada ibu hamil dan tumbuh kembang janin intrauteri. Komplikasi pada janin yaitu kelainan kongenital, makrosomia, abortus berulang, respiratory distress

syndrome, dan kematian intrauteri. Janin makrosomia cenderung

menyebabkan pertolongan persalinan operatif transabdominal. Pertolongan persalinan pervaginam yang paling berbahaya adalah distosia bahu. Waktu pertolongan persalinan distosia bahu pendek dan harus dapat lahir sekitar 5-8 menit, tanpa trauma dan asfiksia (Manuaba, 2007).

3. Hipertensi pada kehamilan

Hipertensi adalah tekanan darah lebih tinggi dari tekanan darah normal yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan fetus. Klasifikasi hipertensi pada kehamilan menurut The Seven Report Of The

(14)

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) dibagi atas 5 kategori yaitu :

a. Hipertensi kronik, yaitu tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan diastolik ≤90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu gestasi, menetap sampai 12 minggu atau lebih postpartum. b. Preeklamsi tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan

diastolik ≤90 mmHg dengan proteinuria (300 mg/24 jam) setelah 20 minggu gestasi. Dapat berkembang menjadi eklamsi (kejang). Sering terjadi ada wanita nullipara, multipel gestasi, wanita dengan riwayat preeklamsi, dan wanita dengan riwayat penyakit ginjal.

c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi adanya

proteinuria muncul setelah 20 minggu protein naik tiba-tiba 2-3 kali lipat, tekanan darah meningkat tiba-tiba peninggian SGOT SGPT. d. Gestasional hipertensi yaitu hipertensi tanpa proteinuria timbul

setelah 20 minggu gestasi.

e. Transien hipertensi diagnosa retrospektif. Tekanan darah normal dalam 12 minggu postpartum dan dapat berulang pada kehamilan (Zein, 2008).

Hipertensi sangat menentukan tingkat kematian perinatal karena dapat terjadi minimal gangguan tumbuh kembang janin intrauterin akibat pertumbuhan plasenta yang terlalu kecil atau terjadi infark yang luas, terjadi solusio plasenta yang melebihi sekitar 1/3 luas plasenta dan penyebab utama kematian intrauterin adalah terjadinya insufiensi plasenta yang menahun atau solusio plasenta. Frekuensi kontraksi uterus makin meningkat dan tonus otot uterus juga meningkat pada eklamsia yang disertai konvulsi. Dampaknya terhadap denyut janin menunjukkan iskemia sirkulasi retroplasenter sehingga menimbulkan asfiksia sampai IUFD. Morbiditas dan mortalitas eklamsia cukup tinggi pada maternal maupun perinatal. Kematian perinatal janin intrauteri disebabkan oleh solusio plasenta, asfiksia berat intrauteri akibat vasokontriksi berat, bila hasil konsepsi tetap hidup dapat terjadi BBLR, dan

Intrauterine growth retardation (IUGR) (Manuaba, 2007).

Ibu yang mengalami preeklamsia cenderung akan melahirkan bayi yang asfiksia. Disfungsi endotel akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar hormon vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin)

(15)

dan vasodilator (nitritoksida, prostasiklin). Vasokonstriksi yang meluas menyebabkan hipertensi. Pada ginjal juga mengalami vasokonstriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan peningkatan plasma protein melalui membran basalis glomerulus yang akan menyebabkan proteinuria. Vasokontriksi pembuluh darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke plasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida sehingga terjadi asfiksia neonatorum (Winkjosastro, 2007).

Preeklamsia dan eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan. Pada preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Perubahan pada organ ibu yang mengalami preeklamsia dan eklamsia yaitu terjadinya aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklamsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaannya terhadap rangsang, sehingga terjadi partus prematurus dan asfiksia neonatorum (Desfauza, 2008).

Preeklamsi dan eklamsia dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan janin dalam kandungan atau IUGR dan kelahiran mati. Hal ini disebabkan karena preeklamsia dan eklamsia pada ibu akan menyebabkan perkapuran di daerah plasenta. Sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen dari plasenta, dengan adanya perkapuran di daerah plasenta, suplai makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang (Gilang et al., 2012). 4. Anemia

Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah eritrosit yang beredar atau konsentrasi hemoglobin (Hb) menurun. Sebagai akibatnya, ada penurunan transportasi oksigen dari paru ke jaringan perifer. Kemampuan transportasi oksigen makin turun sehingga konsumsi oksigen janin tidak terpenuhi. Selama kehamilan, anemia lazim terjadi dan biasanya disebabkan oleh defisiensi besi sekunder terhadap kehilangan darah sebelumnya atau masukan besi yang tidak adekuat (Gilang et al., 2012).

Catatan dan perhitungan DepKes RI menyatakan bahwa di Indonesia sekitar 67% Bumil mengalami anemia dalam berbagai jenjang. Berdasarkan

(16)

bumil di Indonesia sangat bervariasi. Hb yang dianggap normal jika 11 gr%, Hb 9-10 gr% masuk dalam anemia ringan, Hb 7-9 gr% adalah kategori anemia sedang, dan yang dianggap anemia berat bila Hb 5-7 gr% (Manuaba, 2007).

Sebagian besar anemia adalah anemia defisiensi Fe yang dapat disebabkan oleh konsumsi Fe dari makanan yang kurang atau terjadi perdarahan menahun akibat parasit, seperti ankilostomiasis. Bahaya anemia pada kehamilan dapat digolongan menjadi bahaya terhadap kehamilan dan janin. Bahaya selama kehamilan karena dapat terjadi abortus, persalinan prematur, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, mudah terjadi infeksi, ancaman dekompensasi kordis (Hb <6gr%), mola hidatidosa, hiperemesis gravidarum, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini (KPD). Bahaya saat persalinan berupa gangguan his-kekuatan mengejan, kala pertama dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, kala tiga dapat diikuti retensio plasenta dan perdarahan postpartum akibat atonia uteri, kala empat dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas bisa terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan postpartum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan, anemia kala nipas, mudah terjadi infeksi mamae. Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai nutrisi dari ibunya, dengan adanya anemia kemampuan metabolisme tubuh akan berkurang sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim akan terganggu. Akibat anemia pada janin seperti, abortus, kematian intrauteri, persalinan prematuritas tinggi, BBLR, kelahiran dengan anemia, dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal, intelegensia rendah (Manuaba, 2007).

5. Perdarahan Antepartum

Ketetapan lama mendefinisikan perdarahan antepartum adalah perdarahan setelah usia kehamilan 28 minggu, tetapi diubah oleh WHO menjadi umur 22 minggu atau berat janin di atas 500gr. Hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk melakukan perawatan intensif terhadap janin sudah lebih baik. Perdarahan pada kehamilan merupakan penyebab utama kematian maternal

(17)

dan perinatal, berkisar antara 35-40% khususnya di negara berkembang. Penyebab perdarahan pada kehamilan dibagi menjadi perdarahan yang tidak berhubungan dengan kehamilan dan yang berhubungan dengan kehamilan. Perdarahan yang tidak berhubungan dengan kehamilan seperti trauma genitalia, varises vagina pecah, perdarahan dari serviks (polip serviks, polip endometrium, perlukaan serviks, dan infeksi serviks), keganasan serviks/karsinoma serviks, dan hematuria. Sedangkan perdarahan yang berhubungan dengan kehamilan diklasifikasikan berdasarkan trimester. Perdarahan pada kehamilan trimester I berupa abortus, kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Perdarahan pada kehamilan trimester II dalam bentuk persalinan immaturus. Dan untuk perdarahan pada kehamilan trimester III seperti persalinan prematur, pecahnya sinus marginalis, plasenta previa, solusio plasenta, dan pecahnya vasa previa (Manuaba, 2007).

Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada kehamilan diatas 22 minggu hingga menjelang persalinan yaitu sebelum bayi dilahirkan. Komplikasi utama dari perdarahan antepartum adalah perdarahan yang menyebabkan anemia dan syok yang menyebabkan keadaan ibu semakin jelek. Keadaan ini yang menyebabkan gangguan ke plasenta yang mengakibatkan kematian janin intrauteri (Gilang et al., 2012).

Bila janin dapat diselamatkan, dapat terjadi berat badan lahir rendah, sindrom gagal nafas dan komplikasi asfiksia.

a. Perdarahan pada Trimester I

Sekitar 20% wanita hamil mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan separohnya mengalami abortus. Abortus adalah pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin <500gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu.

b. Perdarahan pada Trimester II

Pada trimester II kehamilan perdarahan sering disebabkan partus prematurus, solusio plasenta, mola, dan inkompetensi serviks.

c. Perdarahan pada Trimester III

Pada Trimester III (perdarahan antepartum) adalah perdarahan setelah 29 minggu atau lebih. Perdarahan disini lebih berbahaya dibanding umur kehamilan kurang dari 28 minggu, sebab faktor plasenta, dimana

(18)

perdarahan plasenta biasanya hebat sehingga mengganggu sirkulasi O2

dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin (Gilang et al., 2012) :

a) Plasenta Previa

Ini adalah plasenta yang terletak pada segmen bawah rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Bila usia kehamian 37 minggu, perdarahan sedikit sedangkan keadaan ibu dan anak baik, maka dapat dipertahankan sampai aterm. Bila perdarahan banyak hendaknya segera mengakhiri kehamilan misalnya dengan persalinan perabdominal (sectio caesarea) (Gilang et al., 2012).

Plasenta previa mempunyai insiden sekitar 0,28-2% dari seluruh kehamilan, dengan kemungkinan rekurensi sekitar 4-8%. Komplikasi penanganan plasenta previa adalah trias komplikasi janin yang terdiri dari prematuritas, infeksi, dan asfiksia berat sampai IUFD (Manuaba, 2007).

b) Solusio Plasenta

Terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta, pada lokalisasi yang normal, sebelum janin lahir pada umur kehamilan 20 minggu atau lebih. Komplikasi pada solusio plasenta biasanya adalah berhubungan dengan banyaknya darah yang hilang, infeksi, syok neurogenik oleh karena kesakitan, gangguan pembekuan darah, dan gagal ginjal akut. Pada janin akan terjadi asfiksi, prematur, infeksi, dan berat badan lahir rendah (Gilang et al., 2012).

Kesejahteraan janin intrauteri dengan solusio plasenta bergantung pada jumlah perdarahan retroplasenter dan seberapa bagian plasenta yang lepas dari implantasinya. Solusio plasenta merupakan komplikasi yang berat pada kehamilan dengan hipertensi, dan dapat menyebabkan kematian maternal dan perinatal. Kematian perinatal pada solusio plasenta karena gawat janin ringan sampai kematian intrauteri dan prematuritas (Manuaba, 2007).

6. Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu) atau wanita yang pernah melahirkan bayi aterm (Manuaba, 2007).

(19)

Klasifikasi Paritas : a. Primipara

Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Verney, 2006). b. Multipara

Multipara adalah wanita yang sudah hamil dua kali atau lebih (BKKBN, 2006).

c. Grandemultipara

Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan (BKKBN, 2006).

Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai dengan ketiga. Kehamilan pada kelompok grandemultipara sering disertai penyulit, seperti kelainan letak, perdarahan antepartum, perdarahan post partum dan lain-lain. Primipara perlu disangsikan, bahwa kekakuan jaringan panggul yang belum pernah menghadapi kehamilan akan banyak menentukan kelancaran proses kehamilan. Belum dicobakannya kemampuan panggul tersebut, mengharuskan penilaian yang cermat dari keseimbangan ukuran panggul dan kepala janin. Grandemultipara mengalami kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah berulang kali diregangkan kehamilan, membatasi kemampuannya berkerut untuk menghentikan perdarahan sesudah persalinan. Disamping itu dinding rahim dan perut sudah kendor, kekenyalannya sudah kurang hingga kekuatan mendesak kebawah tidak seberapa banyak pula dijumpai tidak cukupnya tenaga untuk mengeluarkan janin, yang dikenal dengan sebutan merits uteri. Keadaan ini akan lebih buruk lagi pada kasus dengan jarak kehamilan yang singkat. Jarak kehamilan anak merupakan kunci kelangsungan hidup anak. Tingkat kematian anak dilahirkan dengan jarak kelahiran dua tahun tiga kali lebih tinggi dibanding dengan anak yang dilahirkan dengan jarak kehamilan lebih empat tahun. Penelitian di RSUD Dr Adjidarmo Rangkasbitung menemukan kejadian asfiksia neonatorum 1,480 kali pada ibu yang melahirkan dengan paritas primipara dan

(20)

7. Infeksi

Penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau parasit seperti toksoplamosis penyakit hubungan kelamin dan oleh virus seperti HIV/AIDS dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada janin dan kelainan jalan lahir (Gilang et al., 2012).

b. Faktor Plasenta & Tali Pusat

Plasenta merupakan akar janin untuk mengisap nutrisi dari ibu dalam bentuk O2, asam amino, vitamin, dan zat lainnya ke janin dan membuang sisa

metabolisme janin dan CO2. Gangguan pertukaran gas di plasenta yang akan

menyebabkan asfiksia janin. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta (plasenta previa), solusio plasenta dan sebagainya (Desfauza, 2008).

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Penyulit pada janin dapat menimbulkan asfiksia neonaturom sampai kematian janin dalam rahim. Solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus sebelum janin dilahirkan. Penyulit terhadap janin tergantung luasnya plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia neonatorum ringan sampai kematian janin dalam rahim (Desfauza, 2008).

Ketika fungsi plasenta berkurang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan O2 dan menutrisi metabolisme janin. Kemampuan untuk

transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga metabolisme janin

berubah menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan pH darah turun. Dapat terjadi dalam bentuk lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, dan prolapsus tali pusat (Gilang et al., 2012).

Tali pusat (umbilikus) merupakan penghubung plasenta yaitu bagian

chorionic plate dengan janin. Pada umumnya, pembuluh darah umbilikus

lebih panjang dari umbilikus sehingga seolah-olah tampak terjadi torsi atau dalam bentuk simpul. Keadaan ini memberikan keleluasaan dari aliran darah dalam umbilikus pada saat terjadi ketegangan dan dalam situasi demikian, tidak akan menimbulkan pecahnya pembuluh darah dan terjadi gangguan aliran darah dari dan menuju janin. Umbilikus yang terlalu pendek (kurang

(21)

dari 25 cm), akan menghambat gerak janin dalam rahim sehingga dapat menganggu tumbuh-kembangnya. Umbilikus yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan tali pusat khususnya pada leher sehingga menganggu perjalanan persalinan dan menimbulkan gangguan aliran darah dan terjadi asfiksia. Lemahnya susunan jelly Wharton pada suatu tempat, akan dapat terjadi puntiran pembuluh darah sehingga menimbulkan kematian intrauteri. Umbilikus/funis yang terlalu panjang dapat menimbulkan simpul sehingga dapat menganggu aliran darah dan menimbulkan kematian intrauteri (Manuaba, 2007).

c. Faktor Bayi 1. Prematur

AAP (1935) mendefinisikan prematuritas adalah kelahiran hidup bayi dengan berat < 2500 gram. Kriteria ini dipakai terus secara luas, sampai tampak bahwa ada perbedaan antara usia hamil dengan berat lahir yang disebabkan adanya hambatan pertumbuhan janin. WHO tahun 1961 menambahkan bahwa usia hamil sebagai kriteria untuk bayi prematur adalah yang lahir sebelum 37 minggu dengan berat lahir dibawah 2500 gram. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar Rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia (Gilang et al., 2012).

Kematian perinatal yang tinggi (70%) disebabkan oleh persalinan prematur. Bayi prematur, karena tumbuh-kembang organ vitalnya, menyebabkan ia masih belum mampu untuk hidup diluar kandungan, sehingga sering mengalami kegagalan adaptasi yang dapat menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas yang tinggi. Komplikasi dalam persalinan prematur adalah asfiksia RDS, tumbuh kembang tak normal, perdarahan intraventrikel, trauma persalinan, dan infeksi organ vital. WHO mendefinisikan persalinan prematur adalah persalinan dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat bayi kurang dari 2500 g. Dengan demikian, persalinan prematur dapat dibagi

(22)

kurang dari 37 minggu dengan berat badan janin sama untuk masa kehamilan (SMK) atau persalinan prematur dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat badan kecil untuk masa kehamilan (KMK) (Manuaba, 2007).

Faktor yang dapat menimbulkan persalinan prematur berasal dari maternal, janin dan faktor khusus. Faktor yang berasal dari maternal bisa dari penyakit maternal (penyakit ginjal, hipertensi, diabetes melitus, penyakit hati, dan kelainan uterus) atau dari gaya hidup maternal. Faktor yang berasal dari janin bisa menyebabkan pertumbuhan janin terlambat dan menimbulkan “kecil untuk masa kehamilan” (KMK) ini akibat gangguan sirulasi retroplasenter atau kekurangan nutrisi/gizi menahun. Faktor janin bisa juga karena terdapat pemicu persalinan prematur seperti solusio plasenta, plasenta previa, infeksi yang menimbulkan korioamnionitis tanpa disertai ketuban pecah, dan persalinan hamil ganda. Selain itu faktor janin bisa disebabkan terdapatnya faktor inkompatibilitas darah bisa dari faktor rhesus inkompatibilitas dan faktor inkompatibilitas darah AB/O. Sedangkan faktor khusus dalam bentuk serviks inkompeten, ini dapat dijumpai pada abortus/persalinan prematur berulang, overdistensi uterus, kehamilan ganda dan kehamilan dengan hidramnion (Manuaba, 2007).

Kira-kira 6% dari semua bayi baru lahir dan lebih dari 50% bayi yang dilahirkan prematur memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri secara baik dengan kehidupan ekstrauterin. Kesulitan tersebut mencakup mengembangkan dan mengisi paru dengan udara, membentuk pernapasan ritmis dan berubah dari pola sirkulasi janin menjadi sirkulasi dewasa (Rudolph, 2006).

Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia neonatus. Risiko tersebut meningkat 1,61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14,33 kali lipat pada usia kehamilan <34 minggu. Hal itu dapat dijelaskan bahwa pada bayi prematur, sawar darah otak akibat dari konsentrasi oksigen yang berkurang di dalam darah dan penurunan perfusi jaringan serta pengaruh inflamasi oksitosin (Artana, 2012).

(23)

2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi yang baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi berat lahir rendah dibedakan dalam (Gilang et al., 2012) :

 Bayi dengan berat badan lahir rendah, berat lahir 1500-2500 gram.  Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, berat lahir

1000-1500 gram.

 Bayi dengan berat badan lahir ekstra rendah, berat lahir < 1000 gram.

Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah Premature Baby dengan Low Birth Weight Baby (bayi dengan berat badan lahir rendah), dan kemudian WHO merubah ketentuan tersebut pada tahun 1977 yang semula kriteria BBLR adalah ≤ 2500 gram menjadi hanya < 2500 gram tanpa melihat usia kehamilan (Gilang et al., 2012).

Definisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bila berat badannya kurang dari 2500 gram. Sebelum tahun 1961, berdasarkan berat badan saja, dianggap bayi prematur atau berdasarkan umur kehamilan, yaitu kurang dari 37 minggu. Berat badan lahir rendah bisa disebabkan oleh tumbuh kembang intrauteri, mengalami gangguan sehingga terjadi kecil untuk masa kehamilannya atau biasa disebut IUGR. Keadaan IUGR sering berkaitan dengan oligohidramnion sehingga kompresi tali pusat akan memberat gangguan detak jantung janin. Gangguan detak jantung janin akan terganggu karena terjadinya insufiensi plasenta sehingga kontraksi otot uterus akan menambah beratnya asfiksia intrauteri (Manuaba, 2007).

Penyebab kematian janin dan bayi IUGR cukup tinggi. Untuk kematian janin intrauteri disebabkan asfiksia berat karena aspirasi amnion dan mekonium, gangguan metabolisme asidosis berat sehingga menganggu aktivitas otot jantung dan terjadi henti jantung, atau mungkin terjadi deformitas dan kelainan kongenital yang fatal sehingga tidak mungkin hidup. Selain asfiksia bisa juga karena

(24)

pertolongan persalinan tidak adekuat sehingga dapat meninggal saat persalinan akibat trauma persalinan, asfiksia berat inpartu atau jepitan pada tali pusat yang ketat sehingga menambah asfiksia sampai meninggal (Manuaba, 2007). Kematian bayi dengan IUGR bisa disebabkan hipotermia yang tidak dapat diatasi, hipoglikemia yang terlambat mendapatkan pertolongan, perdarahan susunan saraf pusat, kegagalan fungsi organ vital yang tidak dapat diatasi akibat kehamilan dengan IUGR atau kelainan kongenital yang multiple (Manuaba, 2007).

3. Kelainan Kongenital

Misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain (Gilang et al., 2012).

4. Ketuban Bercampur Mekonium

Pewarnaan mekonium pada cairan amnion terjadi pada sekitar 10-20% kelahiran cukup bulan dan jarang menyebabkan masalah. Namun, aspirasi mekonium dapat disertai dengan obstruksi jalan napas, pneumonitis, hipertensi pulmonal, dan gagal napas berat. Biasanya, hanya neonatus cukup bulan atau lebih bulan dengan asfiksia yang mengaspirasi mekonium yang menunjukkan tanda kurang gizi; 2% dengan tanda infeksi. Delapan puluh persen bayi preterm dengan aspirasi mekonium menunjukkan tanda infeksi intrauteri. Mekonium terdiri dari cairan amnion yang tertelan, sel dari amnion rambut janin, sekresi saluran cerna, dan sel dari mukosa usus. Ada sedikit mekonium dalam usus janin selama trimester ketiga. Asfiksia perinatal merangsang gerakan usus, merelaksasikan sfingter ani, dan menyebabkan pelepasan mekonium ke dalam cairan amnion. Asfiksia juga merangsang janin megap-megap, sehingga mekonium dapat masuk ke dalam jalan napas in utero (Rudolph, 2006).

d. Faktor Persalinan

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari uterus melalui vagina ke dunia luar. Menurut Manuaba, persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau tanpa bantuan/kekuatan sendiri (Desfauza, 2008).

(25)

1. Partus Lama / Macet

Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara dan lebih dari 18 jam pada multipara. Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6 jam dari pada multi. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun pada bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi (Desfauza, 2008).

Sedangkan partus macet merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta asfiksia dan Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) (Gilang et al 2012).

2. Persalinan dengan Letak Sungsang

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang/membujur dengan kepala difundus uteri sedangkan bokong dibagian bawah kavum uteri. Penentuan persalinan pada presentasi sungsang apakah diharapkan dapat berlangsung secara spontan pervaginam atau melalui tindakan SC dengan menggunakan

Zahtuni Andros Breech Scoring. Persalinan sungsang pervaginam

dengan prognosis baik bila skoring antara 0-4. Persalinan sungsang perabdominam dengan SC saat ini lebih sering dilakukan. Risiko SC terhadap ibu (perdarahan, anestesi, dan infeksi) dan risiko janin pada persalinan sungsang (asfiksia dan trauma) harus merupakan pertimbangan kuat dalam pengambilan keputusan mengenai cara persalinan yang dipilih. Penyulit yang mungkin terjadi jika dilakukan persalinan pervaginam dengan letak sungsang yaitu sufokasi, asfiksia fetalis, kerusakan jaringan otak, prolaps tali pusat, dan fraktur pada tulang bayi (Gilang et al., 2012).

Klasifikasi letak sungsang ada tiga yaitu presentasi bokong (Frank

breech) (50-70%), presentasi bokong kaki sempurna (Complete breech) (5-10%), dan presentasi bokong kaki tidak sempurna dan

presentasi kaki (Incomplete of footlong) (10-30%). Posisi bokong ditentukan oleh sakrum, ada 4 posisi yaitu left sacrum anterior, right

(26)

komplikasinya tidak dapat diduga sebelumnya, terutama persalinan kepala bayi. Trauma yang paling berat dan harus dipikirkan adalah trauma pada kepala yang menimbulkan asfiksia hingga kematian janin. Morbiditas dan mortilitas persalinan letak sungsang lebih berat dibanding letak kepala. Keterlambatan persalinan kepala bayi akan menimbulkan asfiksia karena tali pusat tertekan sehingga aliran darah menuju bayi mengalami penurunan dan kekurangan nutrisi serta oksigen (Manuaba, 2007).

3. Persalinan Gemeli atau Kembar atau Ganda

Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih intrauteri. Kehamilan ini dianggap mempunyai risiko tinggi karena beberapa alasan seperti kejadian komplikasi pada kehamilan yang lebih tinggi, selain itu juga dikaitkan dengan kelainan kongenital dan tidak jarang memerlukan tindakan operasi persalinan sehingga tidak jarang menimbulkan trauma persalinan, dan juga komplikasi post

partum. Kehamilan ganda monozigot dapat terjadi satu jantung lebih

dominan sehingga dapat menyerap darah lebih banyak sehingga dapat mengganggu pertumbuhannya. Jika terjadi setelah usia kehamilan 30 minggu, dapat menyebabkan gangguan tumbuh-kembang dalam bentuk IUGR, simetris atau asimetris. Jika terjadi sejak hamil muda maka tumbuh-kembang satu janin akan sangat berbeda bahkan tidak mempunyai bentuk jelas, disebut “akardiakus”. Kejadian yang lebih ringan yaitu sindroma transfus dimana janin dengan jantung lebih kuat mempunyai pertumbuhan lebih baik, polisitemia, hidramnion, dan edema. Janin donor akan mengalami anemia, pertumbuhannya kurang, dehidrasi sampai oligohidramnion, asfiksia ringan, berat sampai meninggal. Setelah meninggal, janin ini dapat mengalami fetus kompresus atau fetus papirasius. Ada kemungkinan terjadi gangguan tumbuh-kembang sistem saraf pusat, yang dapat menyebabkan gangguan IQ atau kematian karena beratnya gangguan pertumbuhan (Manuaba, 2007).

Salah satu komplikasi terbesar yang terjadi pada kehamilan ganda monozigot, monoamniotik yaitu terdapat tali pusat terjerat. Jika tali pusat terjerat, aliran darah terganggu menimbulkan asfiksia dan

(27)

kematian intrauteri. Asfiksia intrauteri merupakan penyebab tertinggi dari kematian pada kehamilan ganda. Asfiksia ini disebabkan oleh transfusi antarjanin, kehamilan ganda macet dan prolaps tali pusat. Asfiksia merupakan indikasi persalinan operatif dan keterlambatan tindakan dapat menyebabkan AKP tinggi (Manuaba, 2007).

Kehamilan ganda dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi pertumbuhan janin kehamilan ganda tergantung dari faktor plasenta apakah menjadi satu atau bagaimana lokalisasi implementasi plasentanya. Memperhatikan kedua faktor tersebut, mungkin terdapat jantung salah satu janin lebih kuat dari yang lainnya, sehingga janin mempunyai jantung yang lemah mendapat nutrisi dan O2 yang kurang menyebabkan pertumbuhan terhambat, terjadilah

asfiksia neonatorum sampai kematian janin dalam rahim (Desfauza, 2008).

4. Persalinan dengan Distosia Bahu

Komplikasi pada persalinan distosia bahu adalah dislokasi persendian tulang leher, gangguan pada pusat vital di medula oblongata dan asfiksia sedang atau berat hingga meninggal. Waktu pertolongan persalinan distosia bahu pendek dan harus dapat lahir sekitar 5-8 menit, tanpa trauma dan asfiksia (Manuaba, 2007).

5. Persalinan dengan Vakum Ekstraksi dan Forcep

Persalinan dengan vakum ekstraksi dapat menyebabkan pembentukan kaput suksedaneum lebih besar dan dapat menimbulkan gangguan susunan saraf pusat atau asfiksia ringan sampai berat. Sedangkan persalinan dengan forcep ekstraksi dapat terjadi kompresi kepala bari dari 11 cm menjadi 7 1/2 cm, trauma berat pada kepala bayi, gangguan sirkulasi intrakranial dan dapat menimbulkan gejala sisa di masa yang akan datang berkaitan dengan intelegensia dan kepribadiannya. Gangguan sirkulasi intrakranial lalu akan menimbulkan asfiksia ringan-berat, perdarahan intrakranial, trauma jaringan otak (Manuaba, 2007).

6. Ketuban Pecah Dini (KPD)

(28)

pada fleksus Frankenhausen, sehingga parturient akan mengejan secara reflek. Sebagian besar ketuban pecah secara dini terjadi sekitar usia kehamilan 37 minggu. Faktor yang bisa menyebabkan terjadinya KPD berupa infeksi dan aspek sosial (perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah). Untuk faktor keturunan seperti kelainan genetik atau rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum. Faktor obstetrik bisa disebabkan overdistensi uterus, kehamilan kembar, hidramnion, serviks inkompeten, serviks konisasi/menjadi pendek atau terdapat sefalopelvik disproporsi. Tetapi KPD bisa terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Komplikasi KPD bisa muncul pada maternal dan perinatal. Pada neonatus muncul komplikasi akibat prematuritas. Neonatus akan mudah terinfeksi, terjadi trauma akibat tindakan persalinan dan juga aspirasi air ketuban dan menimbulkan asfiksia sampai kematian (Manuaba, 2007).

KPD adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatkanya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. Semakin lama periode laten, semakin lama pula kala satu persalinan dan semakin besar insiden infeksi. Janin bisa terinfeksi sekalipun tidak terlihat tanda-tanda sepsis pada ibu. Tempat paling sering mengalami infeksi adalah traktus respiratorius. Kebanyakan pneumonia yang terjadi dalam 2 minggu pertama kehidupan berasal dari dalam rahim. Setelah terjadi persalinan dan ditemukan tanda infeksi biasanya bayi memiliki nilai Apgar dibawah 7 dan dapat mengalami hipotermia. Disisi lain bayi dapat memiliki nilai Apgar yang tinggi lalu turun pada 10-25 menit setelah lahir. Pengamatan terus secara hati-hati pada bayi selama jam pertama setelah persalinan adalah penting (Gilang, et al., 2012).

(29)

Letak Sungsang (Gilang, et al., 2012) Gemeli

(Desfauza, 2008)

Persalinan dengan Vakum Ekstraksi & Forcep

(Manuaba, 2007) Partus Lama/Macet (Gilang, et al., 2012) 2.2 Kerangka Teori menyebabkan merupakan Hipertensi (Winkjosastro, 2007) Anemia (Manuaba, 2007) Perdarahan Antepartum (Gilang, et al., 2012) Paritas (Gilang, et al., 2012) Infeksi (Gilang, et al., 2012) Faktor Ibu Faktor Plasenta & Tali Pusat Faktor Bayi Faktor Persalinan Asfiksia Neonatorum

Prematur (Hull & Johnston, 2008) BBLR (Manuaba, 2007) Kelainan Kongenital (Gilang, et al., 2012) Ketuban Bercampur Mekonium (Rudolph, 2006) KPD (Gilang, et al., 2012) Umur (Gilang, et al., 2012) Diabetes Melitus (Lissauer

& Fanaroff, 2009)

Distosia Bahu (Manuaba, 2007)

(30)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

2.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan faktor risiko pada ibu hamil dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Sleman.

Variabel Bebas : Hipertensi Umur Diabetes Melitus Anemia Perdarahan Antepartum Paritas Infeksi Variabel Tergantung : Asfiksia Neonatorum

Gambar

Tabel 2. Skor Apgar

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Rochjati (2003), komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan dengan anemia berat, yaitu Hb kurang dari 6% adalah kematian janin dalam kandungan,

Explosif kekuatan adalah kemampuan sebuah otot atau untuk mengatasi beban dengan kecepatan yang tinggi dalam suatu gerakan.. Kekuatan endurance adalah kemampuan daya

Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin dan cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi dikeluarkan. Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat

sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Coll pada tahun 2000 didapatkan hasil cystatin C serum mulai meningkat di atas nilai normal pada Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 88

21 Ventrikel takikardi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu sistem konduksi jantung, seperti kekurangan pasokan O 2 akibat gangguan pada pembuluh darah

Kelelahan dan keletihan terus-menerus yang disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan dengan frekuensi atau periode waktu yang lama dari upaya otot, pengulangan aktivitas atau

Banyak penderita kekurangan cairan pada serangan penyakit Asma Bronkial berat, Ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan penguapan