• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN BERHALA KARYA DANARTO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POTRET ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN BERHALA KARYA DANARTO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

INDONESIA DI SEKOLAH

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)

Oleh:

Nurul Hikmah (1113013000011)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.

Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potret Orde Baru pada kumpulan cerpen Berhala karya Danarto. Penelitian yang dilakukan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menemukan gambaran kondisi politik, sosial, dan hukum yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada cerpen “Panggung” berupa perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di antara keluarga pejabat. Pada cerpen “Pundak yang Begini Sempit” berupa tindakan menghakimi para residivis dengan cara melakukan penembakan dan dimasukkan ke dalam karung serta dibuang begitu saja, lebih dikenal dengan kasus antara gabungan anak liar (Gali) dan penembak misterius (Petrus). Pada cerpen “Gemertak dan Serpihan-Serpihan”

berupa tindakan persekongkolan untuk melakukan tindak kejahatan, dan fasilitas mewah yang bisa didapatkan seorang narapidana di dalam penjara. Ketiga cerpen tersebut memiliki kesamaan, yaitu melibatkan peran kekuasaan seseorang, konflik yang memunculkan rasa dendam, serta prilaku saling mengkhianati. Analisis potret Orde Baru dalam cerpen Berhala karya Danarto memiliki implikasi terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yaitu dalam menganalisis isi dan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam cerpen.

Kata Kunci: Kumpulan Cerpen Berhala, Potret Orde Baru, Pembelajaran Sastra.

(7)

ii

Language and Literature Education, Faculty of Science and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

The Study aims to describe portrait of Orde Baru in Berhala Collection Short Story by Danarto. This research conducted using sociology of literature review.

The method that used in this research is descriptive qualitative. The results of the study found an image of political conditions, social, and law that happened on Orde Baru period. On the “Panggung” short story be in the form of corruption behaviour, collusion, nepotism among the official’s family. On the “Pundak yang Begini Sempit” short story in the form of judging recidivists by doing shooting enterred in a sack and thrown away, better known with case between Freeman gang and mysterious sniper. On the “Gemertak dan Serpihan-Serpihan” short story in the form of conspiracy for doing criminal act, and lux facility which can avalaible for criminal in the jail. The three short stories has similarity, that is to involve the role of power someone, conflict that appear revenge, and behaviour to betray each other. Analysis portrait of Orde Baru in Berhala short story by Danarto has implication towards Indonesian language and literature learning at school in analyzing content and social values that contained in the short story.

Keywords: Berhala Collection Short Story, Portrait of Orde Baru, Literature Learning.

(8)

iii

berjudul “Potret Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyusun skripsi menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan, motivasi, dan saran saat penyusunan skripsi ini;

4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

5. Teristimewa untuk keluarga tercinta. Kedua orang tua dan kerabat yang tiada hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang, serta memberikan dukungan baik moril dan material kepada penulis;

(9)

iv

berproses dan saling mendukung untuk menjadi mahasiswa berprestasi;

8. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran selama penulis menjadi pengurus dan ketua pada masa bakti tahun 2015 dan 2016;

9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) yang turut mewarnai perjalanan dan pengalaman penulis;

10. Keluarga Besar Kahfi BBC Motivator School, khususnya kawan-kawan angkatan 18 yang meski sebentar saya ikut belajar bersama, sangat berkesan dan menambah pengalaman penulis;

11. Kawan-kawan dan kokolot Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek (DST), Emperan Pamulang (Empang), dan para penggiat komunitas kesenian di Tangerang Selatan, yang senantiasa mendukung, berbagi pengalaman, dan mewarnai perjalanan penulis selama studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

12. Keluarga Besar Ma’had Tarbiyatul Mubtadiin. Pejabat struktural, rekan- rekan Asatidz/dzah, serta para santri yang memberikan dukungan, dan turut mewarnai perjalanan penulis saat menyelesaikan studi;

13. Segenap kawan, sahabat, dan orang terkasih yang memberi warna kebahagiaan pada perjalanan hidup penulis.

Tangerang, 01 Oktober 2019

Nurul Hikmah

(10)

v

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR UJI REFERENSI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metodologi Penelitian ... 5

BAB II : KAJIAN TEORI ... 8

A. Cerita Pendek sebagai Karya Fiksi ... 8

1. Definisi Cerita Pendek ... 8

2. Unsur-Unsur Cerita Pendek ... 10

B. Pendekatan Sosiologi Sastra ... 18

1. Sosiologi Sastra ... 18

2. Sejarah Sosiologi Sastra ... 19

3. Paradigma dan Langkah Kerja Sosiologi Sastra ... 20

C. Potret Orde Baru ... 22

1. Awal Orde Baru ... 22

2. Kepemimpinan Soeharto ... 23

3. Soeharto dan Orde Baru ... 24

D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra ... 27

E. Penelitian yang Relevan ... 30

(11)

vi

BAB IV : HASIL ANALISIS ... 42

A. Analisis Unsur Intrinsik ... 42

1. Tema ... 42

2. Tokoh dan Penokohan ... 45

3. Latar (Setting) ... 60

4. Sudut Pandang (Point of View) ... 71

5. Alur (Plot) ... 73

6. Gaya Bahasa ... 87

B. Potret Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Panggung, Pundak yang Begini Sempit, dan Gemertak dan Serpihan-Serpihan ... 91

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 103

BAB V : PENUTUP ... 106

A. Simpulan ... 106

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

LAMPIRAN... 112 LEMBAR UJI REFERENSI

TENTANG PENULIS

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pembentukan sebuah karya sastra tidak terlepas dengan pengalaman hidup pengarang pada masanya. Sepotong kejadian dalam sebuah cerpen (cerita pendek) menyiratkan peristiwa besar yang melatarbelakanginya. Salah satu kumpulan cerpen yang menawarkan potongan-potongan peristiwa pada sebuah periode adalah kumpulan cerpen Berhala karya Danarto. Selama kurun waktu dua belas tahun, antara tahun 1975-1987, Danarto menghasilkan tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982) dan Berhala (1987). Semua kumpulan cerpen tersebut jelas menyiratkan jalan pemikiran Danarto, bahwa realitas yang tak nampak, jalin-menjalin menjadi satu, seperti dunia dan akhirat.

Berbeda dengan kumpulan cerpen sebelumnya yaitu Godlob dan Adam Ma’rifat, cerpen yang terhimpun dalam kumpulan cerpen Berhala lebih nyata realitasnya meskipun pada bagian akhirnya tetap menawarkan bentuk abstrak atau sonya ruri. Pada mulanya cerita yang terjalin adalah peristiwa sehari-hari yang lekat dengan kondisi saat itu, kemudian pada akhirnya dikemas dan diakhiri dengan bentuk absurd.

Kumpulan cerpen Berhala mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa pada tahun 1990. Saat ini, Berhala sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis dan Jepang. Danarto menuliskan kisah-kisah keseharian yang banyak terkait dengan setting Orde Baru, seperti tentang korupsi pada cerpen Panggung, pembunuh misterius (petrus) pada cerpen Pundak yang Begini Sempit, dan kasus pembakaran pada cerpen Gemertak dan Serpihan-Serpihan. Beberapa settingnya tergambar dengan kondisi di mana Berhala pertama kali terbit tahun 1987.

Berhala berdiri sebagai sebuah judul buku dalam kumpulan cerpen, pada umumnya judul sebuah kumpulan cerpen didasarkan pada salah satu judul cerpen yang ada di dalamnya, hal ini berbeda dengan kumpulan cerpen Berhala karena dalam kumpulan cerpen tersebut tidak memiliki judul Berhala. Berhala sendiri

1

(13)

mengisyaratkan sebuah kehendak menuhankan sesuatu selain Tuhan. Sifat manusia yang begitu mencintai kekuasaan, harta benda, keluarga, dan segala macam kepemilikan di dunia.

Berhala sebagai sebuah cerita yang di dalamnya tidak terlepas dari kondisi aktual peristiwa-peristiwa pada saat itu, yang saat ini telah dikenang sebagai peristiwa masa lalu. Peristiwa masa lalu hanya meninggalkan sebagian kecil informasi sehingga sering kali hanya berupa penggalan-penggalan kisah. Untuk merajut peninggalan masa lalu yang berupa penggalan-penggalan informasi diperlukan interpretasi dan juga intuisi. Demikian juga yang dilakukan oleh seniman. Dengan intuisi yang tajam ia akan mampu secara lebih baik menjelaskan sebuah peristiwa masa lalu.1 Peristiwa masa lalu yang melekat pada cerita-cerita dalam cerpen Berhala merupakan peristiwa-peristiwa yang lekat dengan masa Orde Baru.

Orde Baru menjadi bagian latar belakang yang menjadi motif bergeraknya sebuah peristiwa dalam cerita. Dengan sudut pandang sebuah rezim yang sarat dengan kekuatan penguasa, memberikan daya tarik tersendiri dalam pengembangan sebuah karya. Hal tersebut tergambar dalam cerita yang ditawarkan Danarto, peristiwa-peristiwa yang lekat pada zamannya, yang saat ini kita sebut peristiwa masa lampau atau sejarah.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti hendak melakukan penelitian terkait kumpulan cerpen Berhala karya Danarto. Penelitian ini berdasarkan sudut pandang sejarah, yang mengacu pada peristiwa-peristiwa yang lekat dengan masa Orde Baru. Proses identifikasi yang dilakukan peneliti yaitu terhadap motif yang mendasari terbentuknya sebuah peristiwa dalam cerita. Hal demikian dapat memudahkan kita untuk mengetahui bahwa setiap karya sastra memiliki bentuk kekuatan yang mendasari ide cerita yang tidak terlepas dari pergulatan hidup manusia dalam budaya, politik, dan kesenjangan sosial lainnya.

Penelitian terhadap karya sastra tidak terlepas dari kegiatan pengajaran sastra dan pendidikan. Pengajaran sastra dapat membantu peningkatan pendidikan

1 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 89.

(14)

secara utuh di sekolah. Horace mengatakan bahwa sastra itu dulce et utile, artinya indah dan bermakna. Sastra sebagai sebuah ilmu yang dipelajari dan sejarah sebagai suatu peristiwa masa lalu yang terjadi, memiliki kombinasi kuat sebagai pengalaman kemanusiaan dan menjadi bahan renungan yang akan menciptakan kesejajaran dalam hidup.

Pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlepas dari teks sastra yaitu cerpen. Cerpen merupakan salah satu materi yang dibelajarkan. Dalam Kurikulum 2013 terdapat materi tentang cerpen di kelas XI SMA/MA/SMK/sederajat pada semester ganjil dengan kompetensi dasar antara lain: (3.8) Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek yang dibaca, (3.9) Menganalisis unsur-unsur pembangun cerita pendek dalam buku kumpulan cerita pendek. Penulis memilih tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto sebagai sarana peserta didik belajar memahami makna yang terkandung di dalamnya dan mampu menemukan sumber pengetahuan lain di dalamnya.

Kegiatan membelajarkan cerpen kepada peserta didik ditujukan agar peserta didik mampu menganalisis isi dan kebahasaan cerpen, serta mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai kehidupan di dalam cerpen Berhala. Melalui kegiatan menganalisis unsur intrinsik dapat memudahkan peserta didik memahami kondisi sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang berlangsung pada masa Orde Baru. Selain itu, peserta didik juga mampu merenungi setiap peristiwa yang terjadi dalam ketiga cerpen tersebut sebagai sebuah pembelajaran hidup.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti membuat penelitian berjudul Potret Orde Baru Dalam Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

(15)

1. Belum ada penelitian mengenai kumpulan cerpen Berhala karya Danarto yang menjadikan sejarah sebagai objek penelitiannya.

2. Belum ada penelitian terkait kehidupan sosial masyarakat dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto yang menjadikan sosiologi sastra sebagai objek penelitiannya.

3. Kesulitan mengidentifikasi latar belakang sejarah pada sebuah teks sastra.

4. Keterbatasan waktu untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang membangun cerpen secara keseluruhan oleh peserta didik.

5. Kesulitan menciptakan proses timbal balik antara pendidik dan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar sastra di sekolah.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas. Peneliti membatasi masalah yang akan dibahas dengan judul “Potret Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Berhala Karya Danarto dan Impilikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”, guna menghindari meluasnya potret sejarah yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut. Tidak semua judul cerpen dalam kumpulan cerpen Berhala akan diteliti, akan dibatasi menjadi tiga judul cerpen dari tiga belas judul yang ada, yaitu: (1) Panggung, (2) Pundak yang Begini Sempit, (3) Gemertak dan Serpihan-Serpihan.

D. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana potret Orde Baru tergambar dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto?

2. Bagaimana implikasi potret Orde Baru tergambar dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

(16)

1. Mendeskripsikan potret Orde Baru tergambar dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto.

2. Mendeskripsikan implikasi potret Orde Baru tergambar dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara teoretis untuk pengembangan ilmu sastra, khususnya pada karya sastra berbentuk cerpen yang fokus pada masalah analisis sejarah.

Adapun, manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai potret Orde Baru dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto.

1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti agar lebih produktif dalam menulis karya ilmiah baik dalam dunia sastra maupun dunia pendidikan.

2. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini bagi pembaca baik pembaca awam maupun ahli diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai potret sejarah terutama Orde Baru dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto, sekaligus pembaca dapat lebih jeli memilih karya sastra terutama sebagai bahan pengajaran.

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini bagi peneliti lain diharapkan mampu memberikan inspirasi dan menjadikan sumber penelitian relevan dalam melakukan penelitian lain yang lebih baik.

G. Metodologi Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi

(17)

adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.2 Metodologi penelitian diartikan sebagai tata cara yang diatur berdasarkan kaidah ilmiah dalam suatu penelitian di dalam koridor keilmuan tertentu yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.3

Metodologi penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode kualitatif dengan penyajian deskriptif yang dibatasi oleh hakikat fakta-fakta sebagaimana penafsiran yang dilakukan oleh subjek terhadap data alamiah.4 Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.5

Oleh karena menggunakan penyajian deskriptif, maka semua hal yang berupa kata-kata, kalimat, dan wacana menjadi penting dan saling berpengaruh satu sama lain. Tujuan dari penelitian kualitatif dalam analisis ini adalah untuk mendeskripsikan kehidupan sosial dengan fokus masalah pada potret orde baru dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

1. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah sebuah kumpulan cerpen karya Danarto berjudul Berhala yang diterbitkan oleh Diva Press di Yogyakarta dengan tebal 228 halaman. Adapun data tambahan dalam penelitian ini adalah berupa buku, jurnal, artikel, dan lain-lain yang masih relevan dengan penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara pengumpulan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.6 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik simak dan catat.

2 Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan ke-8 (2013)), h. 145.

3 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 3.

4 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 46-47.

5 Dr. Juliansyah Noor, S.E., M.M., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 138.

6Ibid.

(18)

Adapun teknik simak yang digunakan peneliti adalah dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang baik secara lisan maupun dalam bentuk tulis, karena penelitian ini dihadapkan pada penggunaan bahasa bentuk tertulis, maka penelitian ini menggunakan teknik catat. Peneliti mencatat berbagai informasi yang relevan terkait analisis kumpulan cerpen Berhala karya Danarto.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dapat dikatakan sebagai kegiatan menata, menyusun dan memberi makna pada kumpulan data yang ada. Jenis analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan penyajian deskriptif. Sehingga, analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Berhala karya Danarto. Kegiatan yang dilakukan adalah membaca dan mencatat kembali bentuk-bentuk yang relevan dengan penelitian. Kemudian mengelompokkan teks-teks dalam kumpulan cerpen tersebut yang mengandung unsur-unsur intrinsik cerpen berupa tema, tokoh dan penokohan, plot, alur, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat.

b. Menganalisis hubungan sosial masyarakat dengan fakta sejarah pada masa rezim Orde Baru pada kumpulan cerpen Berhala karya Danarto.

c. Mengimplikasikan analisis hubungan sosial masyarakat dengan fakta sejarah pada masa rezim Orde Baru pada kumpulan cerpen Berhala karya Danarto pada kegiatan pembelajaran materi sastra di sekolah. Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan dan saran dari seluruh hasil penelitian.

(19)

BAB II KAJIAN TEORI A. Cerita Pendek sebagai Karya Fiksi

1. Definisi Cerita Pendek

Fiksi dapat diartikan sebuah cerita rekaan. Penyebutan untuk karya fiksi biasanya ditujukan terhadap karya sastra yang berbentuk prosa naratif atau biasa disebut teks naratif. Cerita pendek termasuk ke dalam sebuah karya sastra fiksi sama halnya dengan novel. Cerita pendek disingkat cerpen, dalam bahasa Inggris disebut short story. Pengertian tentang cerita pendek dikemukakan oleh beberapa pakar sastra dan sastrawan.

H.B. Jassin dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya, mengemukakan bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman bisa disebut cerita pendek, ada juga cerita pendek yang panjangnya hanya satu halaman. Pengertian serupa dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini dalam buku Apresiasi Kesusastraan, dikemukakan bahwa cerita pendek (atau disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek tersebut adalah cerpen.7

Sumardjo dalam Purba mengemukakan pengertian cerita pendek di dalam bukunya Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”.

Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.8

Dalam buku Cerita Pendek Indonesia, Rosidi dalam Purba memberi pengertian dan keterangan tentang cerpen. Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerita pendek adalah lengkap, bulat dan singkat.

7 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, cetakan kedua 2012), h.

49-50.

8 Ibid, h. 50.

8

(20)

Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat pada suatu kesatuan jiwa:

pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian yang boleh lebih atau bisa dibuang.9

Dalam Kamus Istilah Sastra, Sudjiman dalam Purba menuliskan pengertian cerita pendek. Ia berpengertian bahwa cerita pendek (short story) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan. Cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan itu tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan.

Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir dan batin terlibat dalam satu situasi.10

Pendapat lain mengenai jumlah kata atau halaman diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro. Menurutnya, walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Cerpen yang panjangnya terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali dapat disebut juga sebagai Novelet.11 Satu yang terpenting, cerita pendek haruslah berbentuk „padat‟. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.12

Dari beberapa definisi di atas, cerpen dapat diartikan sebagai karya fiksi naratif dalam bentuk cerita yang pendek yang memiliki kebulatan ide, kepadatan cerita yang memusatkan pada penggambaran situasi dan tokoh dalam satu waktu.

9 Ibid, h. 50-51.

10 Ibid, h. 51.

11 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Edisi Revisi 2013), h. 12.

12 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 76.

(21)

2. Unsur-Unsur Cerita Pendek

Sebuah karya prosa pada umumnya terbentuk dari dua unsur pembangun karya, kedua unsur tersebut adalah unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur- unsur yang secara langsung dan tak langsung turut serta membangun cerita.

Unsur tersebut dimaksudkan untuk mengkaji cerpen dan karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra.13 Keberadaan karya sastra tidak begitu saja terbentuk tanpa keterlibatan penulis dan kehidupan penulis itu sendiri.

Rokhmansyah mengemukakan pandangan Wellek dan Warren bahwa unsur ekstrinsik karya sastra meliputi unsur biografi, unsur psikologis; keadaan lingkungan; dan pandangan hidup pengarang.14 Sedangkan, Kosasih mengungkapkan unsur ekstrinsik dalam karya sastra yaitu: latar belakang pengarang, kondisi sosial budaya, dan tempat karya tersebut dikarang.15

Kumpulan cerpen Berhala karya Danarto menghadirkan beragam teori pemikiran, konsep religi, ekonomi, kekuasaan, politik, budaya, kemanusiaan, dan pandangan sejarah di dalam karya tersebut. Unsur ekstrinsik digunakan untuk membantu menafsirkan sebuah karya sastra, menjadi penunjang kehadiran karya sastra dengan melihat biografi dan latar sosial - budaya pengarang.

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik yang ada pada cerpen tidak berbeda dengan unsur yang ada pada karya fiksi novel. Meskipun secara umum unsur-unsur yang ada pada novel lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.

Unsur-unsur tersebut seperti, tema, tokoh dan penokohan, latar, sudut

13 Nurgiyantoro, op. cit, h. 30.

14 A. Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 33.

15 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 72.

(22)

pandang, alur, gaya bahasa, dan amanat atau pesan. Unsur intrinsik dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.

1) Tema

Tema secara singkat dapat didefinisikan sebagai “The central throught in a literary works”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra.16 Stanton dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.17 Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita.

Tema cerita menyangkut segala persoalan, yaitu persoalan kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.

Untuk mengetahui tema sebuah cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan.18 Bisa saja tema

“dititipkan” dalam unsur penokohan, alur atau latar. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tema adalah gagasan atau persoalan yang mendasari suatu cerita yang menjadi patokan pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra.

Proses dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan.19 Dengan demikian, untuk menentukan tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan dapat menentukan tema yang tepat.

2) Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya sastra.20 Tokoh merupakan pengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga

16 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), h. 34.

17 Nurgiyantoro, op. cit, h. 114.

18 E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Nobel Edumedia, 2008), h. 55.

19 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161.

20 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 110.

(23)

peristiwa menjadi jalinan suatu cerita.21 Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.22

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan.23 Penokohan artinya karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.24

Penyajian para tokoh dalam cerita yang dilakukan oleh pengarang pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu metode langsung (telling) dan metode tak langsung (showing).25

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, antara lain: a) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai kejadian.

Sedangkan tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.;26 b) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis tokoh yang merupakan pengejewantahan nilai-nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik yang berposisi dengan tokoh protagonis. c) Jika dilihat dari kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam cerita, maka dapat dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan akibat adanya peristiwa-peristiwa yang

21 Siswanto, op. cit, h. 142.

22 Nurgiyantoro, op. cit, h. 247.

23 Siswanto, loc.cit.

24 Nurgiyantoro, loc. cit.

25 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 6.

26 Nurgiyantoro, op. cit, h. 258.

(24)

terjadi. Sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan peristiwa dalam cerita.27 3) Latar (Setting)

Menurut Abrams dalam Karmini, latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa diceritakan.28 Selanjutnya, menurut Welleck dan Warren latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.29 Namun, latar tidak hanya mampu memberikan pengetahuan tentang masyarakat tertentu, tetapi juga mampu melukiskan secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi masyarakat tertentu.30

Stepehen Minot menyatakan bahwa latar memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.31 Faktor dominan dalam latar antara lain: a) Faktor tempat, yaitu gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung, desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) Faktor waktu, merupakan gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun, atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c) Faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat.32

Namun, biasanya tidak semua bentuk penjelasan latar di atas, terdapat atau bisa ditampilkan dalam sebuah cerpen, baik itu latar waktu, latar tempat, atau latar sosial. Bisa jadi dalam sebuah cerita hanya menonjolkan salah satunya saja, seperti latar tempatnya saja,

27 Ibid, h. 260.

28 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h.

67.

29 Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, (Yogyakarta: UGM Press, 2013), h. 249.

30 Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.

31 Priyatni, op. cit, h. 112.

32 Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.

(25)

atau latar waktu, dan bahkan latar sosialnya saja yang ditampilkan pada sebuah cerita.

4) Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang (point of view) adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.33 Pradopo berpendapat bahwa sudut pandang digunakan oleh pengarang sebagai pusat pengisahan yang menerangkan siapa yang bercerita.34 Seorang pengarang dalam membawakan atau memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu.

Telaah umum mengenai pembedaan sudut pandang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro sama halnya dengan telaah yang dilakukan kebanyakan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita, persona ketiga dan persona pertama,35 Kedua bentuk sudut pandang tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, menempatkan narator sebagai seseorang yang berada di luar cerita. Menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Dalam sudut pandang ini, “dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

“dia” bersifat “mahatahu” (Narator menceritakan apa saja hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Menceritakan segala sesuatu yang dipikirkan, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan oleh berbagai tokoh dalam cerita). Dan, “dia” bersifat “terbatas”

atau sebagai “pengamat” (Narator menceritakan segala sesuatu yang dipikirkan, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan oleh tokoh dalam cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja).

33 Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, op. cit, h. 62.

34 Rachmad Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 75.

35 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 347.

(26)

b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama “aku”, menempatkan narator sebagai seseorang yang terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu “aku”

sebagai “tokoh utama” (Mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku”

diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau jika dianggap penting). Dan, “aku” sebagai “tokoh tambahan” (Tokoh

“aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya).

c) Sudut Pandang Campuran

Pengisahan cerita yang digunakan pengarang menggunakan lebih dari satu teknik bercerita. Pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga atau sudut pandang persona pertama secara sekaligus. Artinya, penggunaan dua sudut pandang “aku”

dan “dia” dapat dilakukan secara bergantian dalam cerita.

5) Alur (Plot)

Abrams mengungkapkan alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku tokoh dalam suatu cerita.36 Stanton mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Demikian pendapat Foster mengenai plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya

36 Siswanto, op. cit, h. 159.

(27)

hubungan urutan waktu.37 Alur dan atau plot akan memiliki pengertian yang sama sebagai suatu rangkaian atau jalinan cerita, jika mengacu pada hubungan sebab akibat sebuah peristiwa.

Persoalan alur atau jalan cerita dalam sebuah cerpen tentu akan lebih sederhana jika dibandingkan dengan alur yang ada pada sebuah novel. Secara umum jalan cerita terbentuk atas bagian-bagian berikut ini:

a) Pengenalan situasi cerita (exsposition)

Tahap ini merupakan pembukaan sebuah cerita, pengarang mulai memperkenalkan para tokoh serta menata adegan dan hubungan antartokoh.

b) Pengungkapan peristiwa (complication)

Pada tahapan ini disajikan peristiwa awal yang dapat menyulut atau menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokoh di dalamnya.

c) Menuju pada adanya konflik (rising action)

Tahap konflik yang sudah muncul semakin berkembang intensitasnya. Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

d) Puncak konflik (turning point)

Tahap ini disebut pula sebagai klimaks. Pada tahap ini konflik yang dialami tokoh mencapai puncaknya, pada bagian ini pula ditentukan perubahan kisah beberapa tokohnya, misalnya berhasil tidaknya menyelesaikan masalah.

e) Penyelesaian (ending)

Tahap ini merupakan bagian akhir cerita, ketika konflik yang terjadi mulai menemukan solusinya. Bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami oleh tokoh setelah mengalami peristiwa puncak.

37 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 143.

(28)

6) Gaya Bahasa

Istilah gaya bahasa mengandung pengertian sebagai cara pengucapan bahasa oleh pengarang untuk mengungkapkan sesuatu dalam konteks dan tujuan tertentu yang ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan.38 Jacob Sumardjo dan Saini KM mengartikan gaya bahasa sebagai cara khas yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan dan meninjau persoalan. Aminudin menyatakan bahwa gaya bahasa dibentuk oleh unsur kebahasaan yang berupa kata dan kalimat.39 Penggunaan gaya bahasa dapat bertujuan untuk mencapai efek keindahan dalam sebuah cerita, baik kaitannya dengan ruang lingkup linguistik maupun dalam ruang lingkup sastra.

Pengertian gaya bahasa sering kali disamakan dengan majas.

Majas (Figure of Speech) adalah bahasa indah untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu hal tertentu dengan hal lain yang lebih umum sehingga dapat mengubah nilai rasa atau konotasi tertentu.40 Dan, gaya bahasa itu bersifat individual, artinya setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri- sendiri. Ciri khas gaya perorangan mempunyai hubungan dengan perwatakan, kepribadian, dan kematangan pengarang.41 Sehingga, dapat mencerminkan kepekaan pengarang dalam merasakan dan memahami ide karangannya.

7) Amanat atau Pesan

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya.42 Setiap pengarang tentu dalam menuliskan karyanya memiliki tujuan yang hendak dicapai atau disampaikan kepada pembacanya.

38 Karmini, op. cit, h. 74.

39 Priyatni, op. cit, h. 114-115.

40 Henri Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 112.

41 Tuloli, op. cit, h. 58.

42 Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, op. cit, h. 64.

(29)

Penyampaian amanat dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penyampaian secara langsung bersifat menggurui. Berbeda dengan penyampaian secara tidak langsung, pesan hanya tersirat melalui cerita.43 Meskipun cerpen cenderung singkat, tetapi tidak jauh berbeda dengan cerita lainnya, cerpen memiliki amanat yang sering kali disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan cerita.

B. Pendekatan Sosiologi Sastra 1. Sosiologi Sastra

Sosiologi memiliki pengertian ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sastra memiliki pengertian kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.44 Dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap suatu karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan.

Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa secara singkat sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat;

telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota

43 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, op. cit, h. 429.

44 Dr. Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua 2019), h. 1-2.

(30)

masyarakat di tempatnya masing-masing.45 Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi yang sama.

Sosiologi sastra memiliki objek kajian utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialetiknya dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat. Dengan relasi dialektis ini, yang memahami hubungan sastra dengan masyarakat dengan analisis sosiologis, maka peran, pengaruh dan keadaan masyarakat yang digambarkan atau memengaruhi keberadaan substansi sosiologis dapat dijelaskan. Oleh karena itu, analisis sosiologi sastra berkaitan dengan analisis sosial terhadap karya sastra, baik ideologi sosial pengarang, pandangan dunia pengarang, pengaruh strukturalisasi masyarakat terhadap karya sastra atau sebaliknya, dan fungsi sosial sastra.46

2. Sejarah Sosiologi Sastra

Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 BC), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antar hubungan sastra dan masyarakatnya. Sastra dalam pembicaraan ini hanya meliputi puisi, sesuai dengan kondisi zamannya, semua bentuk sastra ditulis dalam bentuk genre tersebut.47

Meskipun hubungan sastra dengan masyarakat sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles, seperti disebutkan di atas, tetapi sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah, dianggap

45 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 6.

46 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi; Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 5-6.

47 Dr. Nyoman Kutha Ratna, op. cit, h. 4.

(31)

baru mulai abad ke-18. Buku teks pertama mengenai sosiologi sastra adalah The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C.

Albrecht, James H. Barnett, dan Mason Griff, terbit pertama kali di tahun 1970.

Oleh karena itu, kehadiran sosiologi sastra dapat dikatakan sangat terlambat apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain.

Melalui pertimbangan aspek-aspek kemasyarakatannya, maka sosiologi sastra juga disebut sosiokritik sastra. Sesuai dengan pendapat masing-masing, ada banyak pendapat mengenai siapa sesungguhnya yang dianggap sebagai pelopor sosiologi sastra. Michel Biron menyebutkan George Lukacs. Rene Wellek dan Austin Warren menyebutkan De Bonald. Elizabeth dan Tom Burns menyebutkan Madame de Stael. Robert Escarpit dan Harry Levin menyebutkan Hippolyte Taine. Diana Laurenson dan Alan Swingewood juga menyebutkan Hippolyte Taine.48

Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui ceramah Harsya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973.

Dalam bentuk buku teks, mulai dengan terbitnya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Sapardi Djoko Damono, 1978) dan disusul dengan Mitos dan Komunikasi (Umar Junus, 1981), dan Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (Umar Junus, 1986).49

3. Paradigma dan Langkah Kerja Sosiologi Sastra a. Paradigma Sosiologi Sastra

Wellek dan Warren (1956) mengemukakan tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang

48 Ibid, h. 7-8.

49 Ibid, h. 8.

(32)

bermasyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca; kajian pada sosiologi pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.50

b. Langkah Kerja Sosiologi Sastra-Objektif

Kajian ini memfokuskan hubungan dialektis antara karya sastra dengan kenyataan sosial.

1) Analisis Sosial Struktur Karya Sastra

Analisis ini hakikatnya adalah mengkaji struktur pembangun karya sastra dalam perspektif sosiologis, yaitu menguraikan interaksi sosial yang terbangun antara tokoh dengan tokoh dalam suatu kondisi sosial dan waktu tertentu. Fokusnya adalah pada tokoh, latar sosial, dan alur (rangkaian peristiwa) yang dibahas dalam konteks sosial.

2) Analisis Sosial yang Diacu Karya Sastra

Menganalisis secara sosiologis kondisi sosial yang diacu dalam karya sastra tersebut. Analisis sosialnya bisa membahas tiga paradigma sosiologi ini: fakta sosial, definisi, prilaku sosial, dan data-data yang digunakan adalah sumber pustaka, wawancara, ataupun analisis sendiri dengan cermat.

3) Relasi Sosial Karya Sastra dengan Kenyataan Sosial

Konsep analisisnya mencakup hubungan relasional kenyataan sosial karya sastra dengan kenyataan sosial yang diacu yang meliputi:

analisis peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi, fakta-fakta sosial yang ada, prilaku-prilaku sosial tokoh-tokohnya, definisi sosial tokoh-

50 Heru Kurniawan, op. cit, h. 11.

(33)

tokohnya yang kemudian direalisasikan dengan kenyataan sosial yang diacunya.51

C. Potret Orde Baru 1. Awal Orde Baru

Orde Baru sebagai sebuah rezim yang mengatasnamakan diri sebagai bagian dari koreksi terhadap kesalahan, penyelewengan-penyelewengan yang telah terjadi pada masa Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Memperbaiki tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Namun tujuan untuk memperbaiki tatanan pada masa lalu dan kembali pada Pancasila dan UUD 1945 hanya bagian dari retorika semata agar penguasa baru saat itu Soeharto mendapat dukungan dari rakyat.

Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru berjalan secara wajar, tapi selanjutnya pemerintahan berjalan dengan lebih menonjolkan kediktatorannya yang tak jauh beda dengan masa Orde Lama. Pemerintahan yang dinakhodai oleh Soeharto ini dapat dikatakan sebagai satu-satunya masa pemerintahan yang dalam sejarah Indonesia paling lama memimpin, yaitu memimpin selama sekitar tiga puluh dua tahun.

Secara sederhana, masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) dapat dibagi atas tiga periode yang masing-masing terdiri dari sekitar satu dekade (batasnya sebetulnya tidak terlalu tegas). Masa tersebut terbagi atas masa awal, masa perkembangan/kejayaan, dan akhirnya masa penurunan/kejatuhan. Dalam periode pertama, pada mulanya diragukan banyak orang untuk memimpin bangsa ini berusaha menumbuhkan kekuasaannya secara perlahan-lahan.52 Kepercayaan masyarakat itu diawali dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang diberikan Presiden Soekarno. Presiden saat itu yang menyatakan memberikan kuasa kepada Letjen Soeharto selaku Panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk

51 Ibid, h. 14-18.

52 Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 45.

(34)

memulihkan keamanan. Soeharto menggunakan kuasa ini antara lain untuk membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mencabut jabatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, mengukuhkan kewenangan eksekutif Soeharto dengan Supersemar, dan secara resmi melarang PKI dan semua ajaran komunisme/marxisme. Setelah dilantik dan disahkan sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968, perhatian utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir kepemimpinan Soekarno.53

2. Kepemimpinan Soeharto

“..., Soeharto berhasil mengatasi keraguan dan kekhawatirannya menjadi presiden. Saya melihat keterbatasannya. Walau Soeharto unggul dalam taktik, ia tidak terlalu kuat dalam hal strategi, karena keterbatasan pendidikannya. Acuan sejarahnya hanya terbatas pada kerajaan Jawa.

Soeharto belajar dari cerita pewayangan, tetapi ini pun terbatas karena ia tinggal bersama pamannya, ayah Soedwikatmono, yang membatasi ruang gerak di usia mudanya.

Soeharto secara alamiah memang cerdas. Semua pelajaran yang diterima di tingkat menengah dan tingkat tinggi berasal dari program militer.

Pengalaman-pengalaman menjabat menjabat di berbagai komando mempersiapkan dirinya untuk menjadi presiden...”54

Setelah diangkat menjadi Presiden perhatian Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir pemerintahan Soekarno. Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan baik secara nasional maupun regional. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), mensponsori pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asians Nations) dan kemudian menjadi motor penggerak organisasi regional tersebut.55

Keamanan dalam negeri harus terjamin agar penanaman modal asing yang diperlukan tidak terganggu. Tindakan represif dilakukan baik terhadap

53 Ibid, h. 46.

54 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998, (Jakarta:

Kompas, 2014), h. 99.

55 Adam, op. cit., h. 46.

(35)

pers, mahasiswa maupun kelompok masyarakat yang mencoba melakukan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah.56 Ia pun mempunyai pembantu dekat yang terdiri dari berbagai kelompok.

Kriteria anggota kabinetnya adalah orang yang punya keahlian, loyal, dan dapat bekerja sama dalam satu tim. Menteri yang diangkatnya bisa menjabat satu periode atau berkali-kali, rakyat tidak pernah tahu kriteria keberhasilan atau kegagalan seorang menteri, semua tergantung kepada Presiden. Bila seorang telah dipilihnya, akan dia bela mati-matian meskipun keliru dalam bertugas. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya.

Sebaliknya, orang yang mencoba menentangnya secara terbuka akan direjamnya habis-habisan.57

3. Soeharto dan Orde Baru

Beberapa catatan sejarah mengenai kepemimpinan Soeharto pada rezim Orde Baru adalah sebagai berikut:

a. Tumbuh Suburnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) 1) Korupsi

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Korupsi adalah Ko.rup.si n penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.58

“Mungkin kelemahan utama Soeharto adalah ia tidak bisa mengerti bagaimana pendapat orang lain tentang suatu hal. Ia tidak pernah mengambil posisi yang tegas dalam penangan korupsi. Sejak 1967, ia mengutarakan pendapatnya bahwa 5 persen atau 10 persen komisi bagi pejabat yang menangani proyek adalah wajar. Ia tidak mempertimbangkan secara cermat kemungkinan para pejabat itu mempunyai konflik kepentingan, dan berakibat dianggap bersalah di mata masyarakat dan elit politik. Sikap ini tidak berubah sepanjang hidupnya.”59

56 Ibid, h. 46-47.

57 Ibid, h. 47-48.

58 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedelapan edisi IV 2014), h. 736.

59 Wanandi, op. cit, h. 106.

(36)

2) Kolusi

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Kolusi adalah Ko.lu.si n kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji;

persekongkolan: hambatan usaha pemerataan berupa -- antara pejabat dan pengusaha.60

Seperti tampak pada penuturan Wanandi, Soeharto juga menjalin hubungan di luar militer. Melalui Jenderal Soewarto, yang saat itu menjabat Wakil Komandan Seskoad, Soeharto berkenalan dengan Prof.

Widjojo Nitisastro dan mereka kelak dijuluki “Mafia Berkeley” yang terdiri dari Mohammad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, Saleh Afiff, dan Johannes Baptista Sumarlin, sebagai penasihat ekonomi. Mereka menjadi tim ekonomi inti Soeharto selama hampir 30 tahun. Mereka mendapat dukungan politik Soeharto saat mereka membutuhkannya, dan umumnya berhasil, terutama dalam masa rehabilitasi ekonomi antara 1967 dan 1973.61

3) Nepotisme

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Nepotisme adalah Ne.po.tis.me /népotisme/ n 1prilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; 2kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan: para pemimpin banyak melakukan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan, dan cenderung ke arah --.62

Untuk memperingati serangan 1 Maret 1994 di Yogyakarta, teman-teman seperjuangannya membangun museum. Dalam pidatonya pada acara peresmian museum itu pada awal 1990-an, Soeharto mengatakan, “Kewajiban utama kita adalah merawat keluarga karena kita sudah banyak berbuat bagi negara dan

60 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 717.

61 Wanandi, op. cit, h. 100-101.

62 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 959.

(37)

bangsa.” Berdasarkan falsafah hidupnya, ketika mempertimbangkan mana yang lebih penting antara kepentingan keluarga dan nilai-nilai anti korupsi, jelas bahwa ia menempatkan keluarga sebagai kepentingan paling tinggi63

b. Terjadinya Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)

Bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi pada masa Orde Baru yang disembunyikan Soeharto terbilang tidak sedikit. Misalnya, kasus pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak “Petrus” (pembunuh misterius) yakni penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh di tempat umum antara tahun 1983-1985 yang jumlahnya mencapai 5.000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri khas umum yaitu memiliki tato di tubuhnya.64 Meskipun korban bisa dikatakan sebagai ancaman masyarakat pada umumnya, namun mengambil hak nyawa seorang begitu saja tidaklah dibenarkan.

c. Hilangnya Demokrasi

Sejak awal Soeharto memang mengendalikan seluruh keputusan dan langkah dalam menentukan keberlangsungan hidup masyarakat dan negara.

Kalangan profesional dikendalikan dengan mengharuskan mereka berhimpun dalam wadah tunggal (wartawan, dokter, buruh, pengusaha) dan pengurusnya harus mendapat restu dari Soeharto. Saat berkuasa sedemikian besar, maka dengan mudah dilakukan pembredelan pers yang mencoba mengkritik kebijakan dia dan pembantunya. Majalah Tempo, Editor, dan Detik ditutup tahun 1994. Pelarangan buku yang tidak sesuai kebijakan pemerintah, terus dilakukan sejak awal Orde Baru.65 Dengan demikian hilanglah hak warga negara dalam menentukan pendapatnya sendiri.

Bentuk kepemimpinan absolut Soeharto dengan pengendalian terhadap hampir seluruh lini pembangunan, ekonomi, politik dan kemasyarakatan bertahan cukup lama. Akhirnya, Soeharto dan Orde Baru berakhir pada tanggal 21 Mei 1998 bersamaan dengan pernyataan berhentinya Soeharto sebagai presiden.

63 Wanandi, op. cit, h. 106-107.

64 Adam, op. cit, h. 49.

65 Ibid, h. 50.

(38)

Soeharto adalah sebuah fenomena. Nyaris tidak ada sosok yang lebih fenomenal dibanding penguasa Orde Baru jika diukur dari pengaruh serta otoritarianismenya selama 23 tahun memimpin Indonesia. Soeharto berhasil mengendalikan dinamika politik yang membuatnya di kagumi sekaligus di benci, dipuji sekaligus dimaki. Sejarah Indonesia adalah kisah yang penuh dengan jejaknya, sesak dengan ambisinya yang tidak pernah padam.66 Dengan demikian, potret yang ditampilkan Orde Baru lekat dengan peran Soeharto dalam berkuasa mengendalikan pemerintahan.

D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Pengajaran sastra membutuhkan keterampilan yang memadai dalam hal cara menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya untuk bisa ditransfer kepada peserta didik sebagai penikmat. Sebab itu, guru harus membebaskan peserta didik berpikir secara bebas dalam menanggapi sebuah karya sastra sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan kehidupannya.67 Artinya, karya sastra sangat penting keberadaannya sebagai bentuk pengajaran, serta membantu meningkatkan peran pendidikan secara utuh dalam memaknai realitas kehidupan.

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.68 Keempat manfaat tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Membantu Keterampilan Berbahasa

Keterampilan berbahasa meliputi empat komponen, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pengajaran sastra, peserta didik dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibaca oleh guru, teman, atau melalui media audiovisual; peserta didik dapat melatih kemampuan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama,

66 Andi Setiadi, Derap Politik Para Jenderal, (Jakarta: Palapa, 2016), h. 198.

67 Prof. Dr. Emzir, M.Pd., dan Dr. Saifur Rohman, M.Hum., M.Si., Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 223.

68 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

(39)

apresiasi karya sastra; peserta didik dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membaca sebuah karya prosa fiksi; peserta didik dapat melatih keterampilan menulis dengan mencatat hasil diskusi kelompok tentang pembahasan terhadap suatu karya sastra.

2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Pengajaran sastra diharapkan mampu merangsang peserta didik dalam memahami makna dan fakta-fakta yang ada dalam karya sastra. Karya sastra yang kehadirannya tidak terlepas dari problematika kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman, serta luasnya cakupan wilayah. Sehingga mampu mengantarkan peserta didik memahami fakta budaya yang tergambar di dalamnya. Tugas pengajaran yang utama adalah memperkenalkan peserta didik mengenai sederet kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia, tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan mereka sendiri.

3. Mengembangkan Cipta dan Rasa

Kesadaran pendidik terhadap kecakapan peserta didik dalam memahami karya sastra yang berbeda-beda, serta kadar perkembangan yang berbeda- beda. Oleh karena itu, penting untuk memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan. Pengajaran sastra yang benar dapat membantu meningkatkan pengembangan kecakapan-kecakapan, seperti kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif; sosial, dan religius.

4. Menunjang Pembentukan Watak

Pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam, serta kemungkinan lebih banyak mengantarkan untuk mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia. Selain itu, dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajinasian, dan penciptaan. Sehingga sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.

Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Secara umum, lebih lanjut dia akan mampu

Referensi

Dokumen terkait

- Kumpulan yang berpegang teguh dengan al-Quran(1m), Sunnah Rasulullah SAW dan perkara yang dibawa oleh para sahabat baginda serta menentang perkara-perkara bid’ah.(1m).. 1

Masukannya berupa kebenaran kon- sep matematika yang diujikan dalam instru- men (butir tes), kesesuaian indikator ke- mampuan dengan Kompetensi Dasar, ke- sesuaian

Berdasarkan hasil wawancara awal yang peneliti lakukan pada bulan oktober 2019 bahwa : (1) peran guru sudah baik dalam menstimulasi perilaku sosial anak pada

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dilakukan penelitian dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dengan strategi metakognitif untuk mengembangkan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dalam proses perbaikan pembelajaran IPA materi sistem tata surya pada siswa kelas IX-4 SMP Negeri 1 Selesai Tahun Pelajaran

Dari pasca rezim Saddam Hussein, peran penempatan pasukan militer Amerika Serikat di Irak adalah untuk menjaga stabilitas wilayah Irak yang masih rawan akan pemberontakan

Dari hasil analisis diperoleh besarnya kontribusi yang diberikan oleh variabel penerapan sistem moving class terhadap hasil belajar mata pelajaran pengantar

Hasil pengolahan data dengan analisis regresi yang telah dilakukan dan dijelaskan sebelumnya memperlihatkan bahwa variabel pemotivasian berpengaruh positif terhadap