8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Penelitian Terdahulu
2.1.1 Pengaruh Struktur Modal Terhadap Financial Distress
Akmalia (2020) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur modal terhadap financial distress pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang terdaftar di BEI tahun 2014-2017. Variabel independen struktur modal diproksikan dengan hutang atau leverage dan diukur menggunakan Debt to Equity Ratio (DER). Variabel dependen financial distress diukur dengan Model Altman Z-Score.
Hasilnya adalah rasio tersebut berpengaruh positif signifikan terhadap kondisi financial distress. Hal ini dikarenakan besarnya beban bunga dan pokok hutang yang timbul sebagai akibat dari tingginya hutang perusahaan menyebabkan semakin besarnya potensi terjadinya financial distress pada perusahaan.
Erayanti (2019) melakukan penelitian tentang pengaruh hutang atau leverage terhadap financial distress pada perusahaan sektor transportasi, infrastruktur, dan utilities yang terdaftar di BEI periode tahun 2012- 2016. Variabel independen leverage diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Asset Ratio (DAR) sedangkan variabel dependen financial distress diukur dengan tiga indikator yaitu, cash flow (CF), net operating income (NOI), earning per share (EPS). Hasilnya adalah kedua rasio tersebut tidak berpengaruh terhadap kondisi financial
distress perusahaan. Hal ini dikarenakan sebagian besar investor menginginkan laba jangka pendek berupa capital gain karena mereka capital gainoriented bukan dividend oriented. Selain itu, terdapat banyaknya faktor fundamental lain seperti kinerja keuangan perusahaan dan hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi nilai perusahaan.
Chrissentia & Syarief (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh hutang atau leverage terhadap financial distress pada perusahaan jasa keuangan non keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2014-2016. Variabel independen leverage diukur dengan Debt to Asset Ratio (DAR) sedangkan variabel dependen financial distress diukur dengan model Altman Z-Score modifikasi (1995). Hasilnya adalah rasio tersebut berpengaruh positif terhadap kondisi financial distress perusahaan. Hal ini dikarenakan semakin besar tingkat hutang atau kewajiban yang ditanggung oleh perusahaan maka semakin besar pula beban yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga risiko financial distress semakin meningkat.
Purba & Muslih (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh hutang atau leverage terhadap financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2014-2017. Variabel independen leverage diukur Debt to Equity Ratio (DER) sedangkan variabel dependen financial distress diukur dengan Model Springate.
Hasilnya adalah rasio tersebut berpengaruh positif signifikan terhadap kondisi financial distress. Hal ini dikarenakan perusahaan yang
pendanaannya lebih banyak menggunakan hutang akan berisiko sulit untuk membayar di masa mendatang akibat hutang yang lebih besar daripada aset perusahaan.
Audina & Sufyati (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur modal terhadap financial distress perusahan subsector pulp dan kertas yang terdaftar di BEI tahun 2011-2015. Variabel independen struktur modal diproksikan dengan hutang atau leverage dan diukur menggunakan Debt to Asset Ratio (DAR) serta Long Term Debt to Equity Ratio (LTDER). Variabel dependen financial distress diukur dengan model Altmant Z-Score Revisi (1983). Hasilnya adalah DAR berpengaruh negatif dan LTDER berpengaruh positif terhadap kondisi financial distress perusahaan. Hal ini dikarenakan hutang yang semakin besar akan membuat beban pajak yang dibayarkan semakin kecil, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Namun disisi lain, semakin tinggi nilai perbandingan utang jangka panjang terhadap modal, maka semakin tinggi pula risiko financial distress perusahaan tersebut.
2.1.2 Pengaruh Struktur Aset Terhadap Financial Distress
Septiani & Suaryana (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur aset terhadap struktur modal perusahaan properti dan real estate yang terdaftar di BEI tahun 2013-2015. Variabel independen struktur aset diukur dengan membandingkan aset tetap dengan total aset sedangkan variabel dependen struktur modal diukur dengan Debt Equity
Ratio (DER). Hasilnya adalah semakin tinggi struktur aset perusahaan, maka penggunaan dana eksternal yang berasal dari hutang akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan perusahaan akan mengutamakan modal yang tertanam pada aset tetap untuk operasionalnya dan menggunakan hutang hanya sebagai tambahan jika diperlukan. Dengan begitu maka risiko financial distress rendah sebab kemungkinan perusahaan gagal bayar atas hutangnya semakin kecil.
Dewiningrat & Mustanda (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur aset terhadap struktur modal perusahaan tekstil dan garmen yang terdaftar di BEI tahun 2013-2016. Variabel independen struktur aset diukur dengan membandingkan aset tetap dengan total aset sedangkan variabel dependen struktur modal diukur dengan Long Term Debt To Equity Ratio (LTDER). Hasilnya adalah semakin tinggi struktur aset perusahaan, maka penggunaan dana eksternal yang berasal dari hutang akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan perusahaan yang memiliki jumlah aset tetap yang banyak dapat menawarkan asetnya kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya. Sehingga perusahaan akan lebih mudah memperoleh hutang dalam jumlah yang besar.
Dengan begitu maka risiko financial distress semakin tinggi karena kemungkinan perusahaan gagal bayar atas hutangnya semakin besar.
Kartika (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur aset terhadap struktur modal perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2012-2014. Variabel independen struktur aset diukur dengan
membandingkan aset tetap dengan total aset sedangkan variabel dependen struktur modal diukur dengan Long Term Debt To Equity Ratio (LTDER). Hasilnya adalah semakin tinggi struktur aset perusahaan, maka penggunaan dana eksternal yang berasal dari hutang akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan aset tetap yang besar berarti perusahaan beroperasi pada tingkat atau skala yang lebih tinggi, dimana operasi tersebut membutuhkan biaya atau dana yang besar pula. Perusahaan akan cenderung menggunakan pendanaan dari luar yaitu hutang agar perusahaan dapat terus beroperasi.
Dengan begitu maka risiko financial distress tinggi karena kemungkinan perusahaan gagal bayar atas hutangnya semakin besar.
2.1.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Financial Distress Puspitasari et al. (2018) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur kepemilikan terhadap kebijakan hutang perusahaan manufaktur sektor industri kertas yang terdaftar di BEI tahun 2010-2015. Variabel independen struktur kepemilikan diproksikan dengan kepemilikan manajerial yang membandingkan jumlah kepemilikan saham oleh manajerial dengan total saham, sedangkan variabel dependen kebijakan hutang diukur dengan Debt Equity Ratio (DER). Hasilnya adalah kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.
Hal ini dikarenakan jika perusahaan memiliki jumlah kepemilikan manajerial yang tinggi, maka dengan rangkap jabatan yang dimiliki akan membuat manajer dan pemegang saham lebih berhati-hati dalam
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pendanaan menggunakan hutang. Kehati-hatian tersebut akan memperkecil risiko terjadinya financial distress, sehingga secara tidak langsung kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress.
Fathonah (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur kepemilikan terhadap financial distress perusahaan sektor property, real estate, dan konstruksi bangunan yang terdaftar di BEI tahun 2013.
Variabel independen struktur kepemilikan diproksikan dengan kepemilikan manajerial yang membandingkan jumlah kepemilikan saham oleh manajerial dengan total saham, sedangkan variabel dependen financial distress diukur menggunakan model Springate (1978). Hasilnya adalah kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan semakin banyak kepemilikan manajerial di dalam suatu perusahaan belum pasti efektif dan efisien dalam menekan ataupun tehindar dari kondisi financial distress.
Jenny & Wijayanti (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh struktur kepemilikan terhadap financial distress perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2015-2016. Variabel independen struktur kepemilikan diproksikan dengan kepemilikan manajerial yang membandingkan jumlah kepemilikan saham oleh manajerial dengan total saham, sedangkan variabel dependen financial distress diukur dengan Interest Coverage Ratio. Hasilnya adalah kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Hal ini dikarenakan berapapun saham yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan tidak mencegah terjadinya financial distress. Kemampuan pihak pengelola perusahaan atau manajemen dalam mengelola kinerja keuangan perusahaanlah yang dapat mempengaruhi financial distress.
2.2 Tinjauan Pustaka 2.2.1 Trade Off Theory
Trade off theory diperkenalkan oleh Stiglitz (1969) menjelaskan tentang keseimbangan antara biaya dan manfaat akibat melakukan peminjaman dana atau hutang oleh suatu perusahaan. Perusahaan dapat melakukan penambahan hutang jika manfaat yang diberikan masih jauh lebih besar dan adanya aset tetap sebagai jaminan. Namun jika biaya hutang seperti bunga atas pinjaman sudah terlalu tinggi, sebaiknya perusahaan tidak menambah hutang lagi untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan seperti kesulitan atau gagal bayar saat jatuh tempo.
Struktur Modal
Struktur modal (capital structure) berkaitan dengan pembelanjaan jangka panjang suatu perusahaan yang diukur dengan perbandingan hutang jangka panjang dengan modal sendiri (Sudana, 2011). Menurut Riyanto (2015) struktur modal merupakan pembelanjaan permanen yang mencerminkan perimbangan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri.
Struktur modal terdiri dari dua komponen diantaranya (Riyanto, 2015):
1. Modal Asing
Modal asing merupakan modal yang berasal dari luar perusahaan atau biasa disebut hutang yang pada saatnya harus dibayar kembali.
Hutang terbagi menjadi tiga golongan yaitu:
1) Utang jangka pendek (short-term debt) yang memiliki jangka waktu kurang dari satu tahun.
2) Utang jangka menengah (intermediate-term debt) yang memiliki jangka waktu antara 1 sampai 10 tahun.
3) Utang jangka panjang (long-term debt) yang memiliki jangka waktu lebih dari 10 tahun.
2. Modal Sendiri
Modal sendiri merupakan modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam di perusahaan untuk waktu yang tidak terbatas. Modal sendiri terdiri dari:
1) Modal saham
Saham menunjukkan pengambilan bagian oleh suatu peserta dalam sebuah perusahaan. Modal saham ini terdiri dari:
a. Saham biasa (common stock), yaitu komponen modal jangka panjang yang ditanamkan oleh investor dimana pemilik saham ini siap menanggung segala risiko sebesar dana yang ditanamkan.
b. Saham preferen (prefferend stock), yaitu komponen modal jangka panjang yang kompensasinya (dividen) dibayarkan terlebih dahulu sebelum membayar kompensasi saham biasa.
2) Laba ditahan
Laba ditahan merupakan sisa laba dari keuntungan yang dibayarkan sebagai dividen terhadap pemegang saham.
3) Cadangan
Cadangan merupakan penyisihan keuntungan dari operasional perusahaan selama beberapa waktu atau dari tahun berjalan.
Yang termasuk di dalamnya adalah cadangan ekspansi, cadangan selisih kurs, dan cadangan untuk kejadiann yang tidak terduga.
2.2.2 Pecking Order Theory
Pecking order theory diperkenalkan oleh Myers (1984) menjelaskan tentang keputusan pemilihan sumber dana yang akan digunakan oleh perusahaan. Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan lebih mengutamakan pendanaan internal seperti laba ditahan dan depresiasi dari kegiatan operasional perusahaan sehingga penggunaan dana eksternal seperti hutang dan saham adalah alternatif terakhir. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih sekuritas dari yang paling aman hingga yang paling berisiko. Pendanaan eksternal tersebut dimulai dari hutang, penerbitan obligasi, obligasi
konversi, dan jika masih belum mencukupi maka diterbitkan saham baru seperti saham preferen dan saham biasa.
Struktur Aset
Struktur aset adalah perimbangan atau perbandingan baik dalam artian absolut maupun relative antara aset lancar dengan aset tetap (Riyanto, 2011). Perusahaan yang asetnya sesuai dengan jaminan kredit akan lebih banyak menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena kreditor akan memberikan kepercayaan pada perusahaan yang memiliki aset yang besar (Putri & Andayani, 2018).
Namun terdapat kemungkinan yang lain tentang struktur aset, yaitu semakin tinggi struktur aset perusahaan, maka penggunaan dana eksternal yang berasal dari hutang akan semakin menurun. Hal ini karena perusahaan akan mengutamakan modal yang tertanam pada aset tetap untuk operasionalnya dan menggunakan hutang hanya sebagai pelengkap (Septiani & Suaryana, 2018). Hal ini merujuk pada pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai pendanaan internal yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan, dan depresiasi.
2.2.3 Agency Theory
Agency theory diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan tentang pemisahan kepentingan antara principal (pemberi kontrak) dengan agen (penerima kontrak). Yang dimaksud dengan principal adalah pemegang saham atau pemilik yang menyediakan dana
untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan agen adalah manajer yang berkewajiban mengelola perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan principal. Pada praktiknya, agen (manajer) kadangkala tidak sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati di awal yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, melainkan lebih cenderung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Perbedaan kepentingan antara principal dengan agen akan menyebabkan terjadinya agency conflict yang memicu munculnya biaya tambahan atau agency cost. Hal ini dapat merugikan perusahaan sehingga memicu kondisi financial distress. Perencanaan atau pembagian kontrak yang tepat akan menyelaraskan kepentingan principal dan agen. Agen tidak hanya menjalankan kegiatan oprasional perusahaan saja namun juga berperan sebagai pemilik sehingga agen akan bekerja lebih baik untuk kesejahteraannya maupun kesejahteraan pemilik yang lain. Dengan teori keagenan ini diharapkan dapat tercipta keselarasan kepentingan antara principal dan agen sehingga menurunkan risiko financial distress.
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah persentase saham yang dimiliki oleh direksi, manajemen, dan komisaris ataupun pihak yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham
(Jensen & Meckling, 1976). Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dianggap mampu menyelaraskan perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen, sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer turut berperan sebagai pemilik saham perusahaan.
2.2.4 Financial Distress
Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi (Platt & Platt, 2002). Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank.
Menurut Rahayu, Suwendra, & Yulianthini (2016) penyebab financial distress adalah sebagai berikut:
1. Neoclassical model
Financial distress terjadi karena sumber daya tidak dialokasikan secara tepat.
2. Financial model
Financial distress ditandai dengan adanya struktur keuangan yang salah dan menyebabkan batasan likuidasi. Hal ini berarti walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang, namun perusahaan tersebut harus bangkrut juga dalam jangka pendek.
3. Corporate governance model
Perusahaan memiliki susunan aset yang tepat dan struktur keuangan yang baik namun dikelola dengan buruk.
2.3 Perumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh struktur modal terhadap financial distress
Berdasarkan trade off theory dapat diketahui bahwa penggunaan hutang yang besar selain dapat membantu perusahaan dalam membiayai kegiatan operasionalnya juga dapat berisiko yang tinggi bagi perusahaan. Perusahaan memiliki beban pokok dan bunga yang besar yang harus dibayar apabila menggunakan hutang yang besar pula. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko yang dihadapi oleh perusahaan, yaitu ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya pada tanggal jatuh tempo yang pada akhirnya menyebabkan kemungkinan terjadinya financial distress akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Akmalia (2020), Chrissentia & Syarief (2018), Audina & Sufyati (2018), serta Purba & Muslih (2018) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan pendanaan yang lebih banyak menggunakan hutang akan berisiko gagal bayar karena hutang lebih besar daripada asset perusahaan. Semakin tinggi nilai perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal, maka semakin tinggi pula risiko financial distress yang ditanggung perusahaan.
H1: Struktur modal berpengaruh positif terhadap financial distress.
2.3.2 Pengaruh struktur aset terhadap financial distress
Berdasarkan pecking order theory dapat diketahui bahwa perusahaan lebih mengutamakan pendanaan internal seperti laba ditahan dan depresiasi dari kegiatan operasional perusahaan sehingga penggunaan dana eksternal seperti hutang dan saham adalah alternatif terakhir. Semakin tinggi struktur aset perusahaan, maka penggunaan dana eksternal yang berasal dari hutang akan semakin menurun. Hal ini didukung oleh penelitian Septiani & Suaryana (2018) dimana perusahaan akan mengutamakan modal yang tertanam pada aset tetap untuk operasionalnya dan menggunakan hutang hanya sebagai pelengkap. Namun terdapat kemungkinan lain yaitu perusahaan yang asetnya sesuai dengan jaminan kredit akan lebih banyak menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena kreditur akan memberikan kepercayaan pada perusahaan yang memiliki aset yang besar (Putri & Andayani, 2018). Dengan begitu maka risiko financial distress semakin tinggi karena kemungkinan perusahaan gagal bayar atas hutangnya semakin besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Dewiningrat & Mustanda (2018) dan Kartika (2016) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan asset tetap yang tinggi dapat menawarkan asetnya terhadap kreditur sebagai jaminan dan akan lebih mudah mendapatkan hutang dalam jumlah yang besar.
H2: Struktur aset berpengaruh positif terhadap financial ditress.
2.3.3 Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap financial distress Berdasarkan agency theory dapat diketahui bahwa perencanaan atau pembagian kontrak yang tepat akan menyelaraskan kepentingan principal dan agen sehingga dapat mengurangi terjadinya agency conflict yang memicu munculnya biaya tambahan atau agency cost.
Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham sehingga dapat mengurangi risiko financial distress. Hal ini sesuai dengan penelitian Puspitasari et al. (2018) yang menyatakan jika perusahaan memiliki kepemilikan manajerial yang tinggi, maka dengan rangkap jabatan yang dimiliki akan membuat manajer dan pemegang saham lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pendanaan menggunakan hutang. Dengan begitu secara tidak langsung akan mengurangi risiko risiko financial distress pada perusahaan.
H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress.