• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI RUMAH SAKIT. Oleh: Oleh : dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI RUMAH SAKIT. Oleh: Oleh : dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI RUMAH SAKIT

Oleh:

Oleh :

dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH 2019

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Henti Jantung ...3

2.2 Faktor Predisposisi ...3

2.3 Tanda dan Gejala Henti Jantung ...4

2.4 Patofisiologi Henti Jantung ...5

2.5 Manajemen Henti Jantung di Rumah Sakit ...7

BAB III LAPORAN KASUS ...15

BAB IV DISKUSI KASUS ...18

BAB V SIMPULAN ...19

DAFTAR PUSTAKA ...20

(3)

ABSTRACT

A 49-year-old male patient with initial diagnosis of dyspnea syndrome, grade I hypertension, chronic hyponatremia. On May 6, 2019 the patient experienced a decrease in consciousness accompanied by dsypnea, GCS E1V1M1. After doing the evaluation, there are rhonki heard both lung fields accompanied by a decrease in pulmonary vesicular sound. The patient experiences pulmonary edema suspect pulmonary embolism and it causes respiratory failure. Then ETT is installed to secure the airway, 5 minutes after the installation of ETT, the patient suffer cardiac arrest. CPR is carried out for 5 cycles and the administration of 3 ampules of adrenaline. After evaluation, the pulse rate was 130x / minute, Blood Pressure 90 / 50 mmHg. Then do bagging manually with the frequency of breath 18-20x / minute.

ABSTRAK

Pasien laki-laki 49 tahun dengan diagnosis awal sindrom dyspnea, hipertensi grade I, hiponatremia kronis. Pada tanggal 6 mei 2019 pasien mengalami penurunan kesadaran disertai dengan sesak, GCS E1V1M1. Setelah dievaluasi, terdengar rhonki padai kedua lapang paru disertai dengan penurunan suara vesikuler paru.

Pasien mengalami edema paru suspect emboli paru dan pasien mengalami gagal nafas. Kemudian dilakukan pemasangan ETT untuk mengamankan jalan nafas, 5 menit setelah pemasangan intubasi ETT pasien mengalami cardiac arrest.

Dilakukan RJP sebanyak 5 siklus dan pemberian adrenalin 3 ampul. Setelah dievaluasi didapatkan denyut nadi 130x/menit, Tekanan Darah 90/50mmHg.

Kemudian dilakukan bagging manual dengan frekuensi nafas 18-20x/menit.

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Kematian mendadak merupakan salah satu penyebab utama kematian untuk saat ini. Berdasarkan data WHO dijelasakan bahwa sebagian besar penyebab kematian mendadak dilatarbelakangi oleh penyakit kardiovaskuler dan penyebab utamanya adalah penyakit jantung coroner. Penyakit jantung coroner dapat menyebabkan kegagalan fungsi jantung, sehingga pasien akan mengalami penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan kualitas hidup, dan rentang hidup memendek. (Maron, 2011)

Saat pasien memiliki riwayat jantung coroner salah satu kondisi yang dapat terjadi adalah henti jantung. Henti jantung (Cardiac Arrest) merupakan suatu keadaan dimana fungsi jantung hilang secara tiba-tiba dan mendadak, kondisi tersebut dapat terjadi kepada orang yang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak, ini ditandai dengan hasil Ventricular Fibrilation pada saat pemeriksaan EKG. Waktu kejadiannya juga tidak dapat diprediksi, terjadi sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak. (Maron, 2011)

Selain disebabkan oleh penyakit jantung coroner, henti jantung juga dapat disebabkan karena kelainan jantung itu sendiri seperti, ventrikel fibrilasi, kelainan vaskuler, trauma dada, dan penyebab lainnya. Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas, pada umumnya saat terjadi henti nafas denyut jantung dan pembuluh darah masih ada sampai 30 menit.

Henti Jantung dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10 persen pada tiap menit yang berjalan tanpa RJP dan defibrilasi. Inti dari penanganan Resusitasi Jantung Paru adalah kemampuan untuk bisa mendeteksi dan bereaksi secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin mengembalikan denyut jantung ke kondisi normal untuk mencegah terjadinya kematian otak dan kematian permanen.

(5)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di United Kingdom keselamatan seseorang yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dan dilakukan RJP mencapai 3%-16,3%. Sedangkan jika dilakukan di dalam rumah sakit angka keselamatannya mencapai 18% pada dewasa dan 36% pada pediatri. Di Amerika dari insiden sebesar 359.400 pada 2013 yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit, dilakukan RJP 40,1% dan angka keselamatan sebesar 9,5%. Untuk henti jantung yang terjadi di rumah sakit sebesar 209.000 dilakuakn RJP 23,9% Di Indonesia, melakukan RJP pada pasien yang sudah henti nadi dan henti napas dapat meningkatkan harapan hidup sebesar 10,5%. Angka keselamatan pasien ditentukan oleh kualitas RJP. Kualitas RJP selama resusitasi memiliki akibat yang signifikan pada keselamatan pasien. Hal ini disebabkan karena RJP hanya memberikan aliran darah ke otak sebesar 10%-30% dan ke jantung 30-40%. Selain kualitas, pada penanganan dengan RJP, kemampuan klinisi akan mempengaruhi dalam menurunkan komplikasi (Peter, AM et al. 2013).

Penanganan secara cepat dapat diwujudkan jika terdapat tenaga medis di rumah sakit yang memilki kemampuan dalam melakukan mata rantai survival saat henti jantung terjadi. Masalah inilah yang kemudian memunculkan terbentuknya tim reaksi cepat dalam penanganan henti jantung segera yang disebut Code Blue.

Code Blue merupakan kode panggilan yang menandakan adanya kondisi kegawatdaruratan pasien (henti nafas dan henti jantung). Kode ini sudah digunakan sejak tahun 2010 dalam guideline AHA, dan diperkuat dengan guideline AHA 2015. Tahapan pelaksanaan pengawasan kegawatdaruratan adalah yang pertama adalah pengenalan tanda awal keadaan kondisi kritis akut (Early Warning System Score), yang kedua adalah panggilan Code Blue. Selanjutnya adalah tindakan RJP (Resusitasi Jantung Paru), lalu pengelolaan pasien pasca RJP, dan diakhiri dengan laporan dan evaluasi Code Blue. (AHA, 2015)

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Henti Jantung

Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba- tiba dan mendadak, bias terjadi pada seseorang yang menderita penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak dapat diperkirakan, dan terjadi sangat cepat begitu gejala tampak. Cardiac Arrest seringkali berakibat fatal jika langkah yang tepat tidak segera dilakukan. (Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010)

2.2 Faktor Predisposisi

Faktor risiko cardiac arrest adalah: Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi,hiperkholesterolemia dan merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:

a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.

b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katup jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.

c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest.

(7)

Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.

e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.

f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.

2.3 Tanda dan Gejala Henti Jantung

Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila dijumpai gejala-gejala seperti berikut ini, yaitu: pasien tidak sadar, tidak bergerak, tampak pucat dan sianosis, henti nafas, denyut nadi arteri besar tidak teraba, dan pupil dilatasi. Diagnosis pasti adalah tidak terabanya denyut arteri besar, misalnya pada arteri karotis yang diraba pada leher atau femoralis yang diraba pada lipatan paha.

Pada bayi dan anak-anak, perabaan pada arteri karotis dapat menimbulkan tekanan/desakan pada jalan nafas, oleh karena itu perabaan denyut nadi dilakukan pada arteri brakhialis, arteri femoralis atau aorta abdominalis atau adanya denyutan ventrikel di daerah precordial.

Walaupun dilatasi pupil merupakan salah satu gambaran henti jantung, tetapi jangan ditunggu sampai tampak adanya gambaran dilatasi pupil ini, karena untuk terjadinya dilatasi pupil diperlukan waktu (walaupun sangat pendek).

(Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010)

(8)

2.4 Patofisiologi Henti Jantung

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.

Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan Asistol (AHA, 2015).

Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung .

Gambar 1. EKG ventricular fibrilasi

Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel dimana jantung berdenyut > 120 denyut/menit dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya) (Koplan, 2009).

(9)

Gambar 2. EKG Ventricular Tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output. Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Koplan, 2009).

Gambar 3. EKG asystole

Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical Activity (PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Koplan, 2009).

(10)

Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun pada umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.

Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.

Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.

Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Koplan, 2009).

2.5 Manajemen Henti Jantung di Rumah Sakit

Penanganan pasien henti jantung di rumah sakit sedikit berbeda dengan penanganan hanti jantung di luar rumah sakit, hal itu terkait dengan ketersediaan alat-alat emergency dan tenaga medis terlatih.

Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan tindakan CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada.

Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan dewasa (8 tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi. Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty, et al. 2009).

a) Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas (airway):

(1). Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”

(2). Apabila pasien tidak berespon, minta petugas yang saat itu bersama kita untuk mengaktifkan code blue dan mengambil peralatan emergency.

(11)

(3). Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.

Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah posisi.

(4). Buka jalan nafas

(a). Head-tilt/chin-lift maneuver: letakkan salah satu tangan di kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang, dan angkat rahang ke depan sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan nafas dari sumbatan oleh lidah.

(b). Jaw-thrust maneuver: pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula ke atas sehingga kepala mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.

Jika pada pasien terdapat sumbatan jalan nafas berupa cairan baik itu air liur, maupun perdarahan maka dapat dilakukan suction untuk membersihkan jalan nafas (airway). Dilakukan pemasangan intubasi agar pernafasan adekuat.

b). Pernafasan (Breathing)

(1). Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan rasakan adanya udara yang berhembus selama expirasi.

(Lakukan 5-10 detik). Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi

(12)

recovery (posisi tengkurap, kepala menoleh ke samping). Rasionalisasi:

untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan.

(2). Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan dengan menggunakan amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing- masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi: pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.

c). Circulation

Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan CPR.

2.5.1 Cardio Pulmonary Resusitation (CPR)

Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan hidup dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan jantung sampai ke kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke kondisi normal (Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010). Adapun langkah-langkah CPR adalah sebagai berikut;

(1) Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial dari procecus xyphoideus). Jari-jari bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi dada. Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di

(13)

sternum, sehingga tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.

(2). Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)

(3). Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal.

Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian tekanan.

Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi. Rasionalisasi:

pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke jantung.

(4). Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada.

Evaluasi ritme jantung.

(14)

Gambar 4. Algoritma Cardiac Arrest pada dewasa (AHA, 2018)

(15)

Gambar 5. Algoritma Lingkaran Cardiac Arrest pada dewasa (AHA, 2018) 2.5.2 Pengelolaan Pasien Pasca Henti Jantung di ICU

Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung. Pengelolaan pasca henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan brain injury.

Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.

Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus

(16)

diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologi yang lebih buruk.

Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard dan patologi penyebab henti jantung yang menetap. (Kilgannon , JH 2008)

(1) Pengolaan Oksigenasi dan Ventilasi

Panduan AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen inspirasi ditritrasi deng memlihara satorasi oksiken arteri (SaO2) lebih dari 94% dan PaO2 sekitar 100 mmHg.Inisiasi bantuan ventilasi mekanik dianjurkan dengan volume ventilation dengan volume tidal 6-8 mL/kg predicted body weight, laju napas 10-14 kali/menit dengan memlihara Pa CO2 35-40 mmHg, atau lebih baik dipantau dengan alat capnometer untuk memelihara end tidal CO2 dalam batas normal. Oleh karena pasien-pasien pasca henti jantung mempunyai risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome, dan menghindari terjadinya ventilator-induced lung injury maka plateau pressure dijaga kurang atau sama dengan 30 cmH2O.

(Peberdy, MA et al. 2010) (2) Optimasi Hemodinamik

Pengelolaan hemodinamik diutamakan dengan perbaikan volume intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekwat, mengoptimalkan pasokan oksigen, mengidentifikasi dan mengobati penyebab henti jantung. Pada sindrom pasca henti jantung akan terjadi hipovolemi akibat peningkatan permiabilitas kapiler, oleh karena itu resusitasi cairan dengan kristaloid dapat dimulai. Target tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) dilaporkan tidak dapat menilai status volume bila emboli paru, tension pneumothraks, tamponade jantung atau infark miokard kanan sebagai penyebab henti jantung. (Jones, et al. 2010)

(17)

Akhir-akhir ini metode untuk menilai kecukupan volume intravaskular adalah perubahan diameter vena cava inferior yang dinilai dengan ultrasonografi, pulse pressure variation atau systolic pressure variation.

Namun demikian, keluaran urin lebih dari 1 ml/kg berat badan/ jam dapat merupakan target resusitasi.

Tekanan perfusi yang adekuat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata (mean artery pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini dilaporkan dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat, sedangkan bila MAP lebih dari 100 mmHg akan mempunyai efek merugikan. Untuk menilai kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat diperiksa kadar laktat darah dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).

Apabila dengan resusitasi cairan, pemberian obat vasopresor dan inotropik gagal dalam menjaga tekanan perfusi dan pasokan oksigen, maka bantuan mekanik hemodinamik dapat dipertimbangkan seperti pemasangan intra-aortic balloon pump (IABP) atau left ventricular assist device (LVAD), meskipun alat- alat ini tidak dianjurkan digunakan secara rutin.

(3) Pengendalian Suhu

(4) Pengendalian Kadar Gula Darah (5) Pengendalian Kejang

(18)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : MN

No. RM : 19010063

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 49 tahun

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Jl. Nangka Utara Gg. Sawo No.2 Br. Tangguntiti Desa Tonja Denut

Diagnosis : Sindrom dyspnea, Hipertensi grade I, Hiponatremia kronis

MRS : 3 Mei 2019

3.2 Anamnesis

Pasien datang mengeluh nyeri perut dirasakan sejak 1 minggu, saat ini dikatakan membaik. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan baik.

Mengeluh badan lemas dan kaku tidak dirasakan. Kontrol BAK adekuat, BAB berwarna coklat, mual (+), muntah dikatakan ada, namun saat ini sudah membaik. Demam tidak ada, batuk tidak ada. Riwayat kanker nasofaring sejak 5 tahun, sudah kemoterapi dan radiasi di Surabaya 5 tahun yang lalu. Hipertensi dikatakan ada minum obat teratur (amplodipine 5mg). Gangguan pendengaran (+).

3.3 Pemeriksaan Fisik

BB : 55 kg, TB : 155 cm, BMI : 22,89 kg/m2, Suhu aksila : 36,5oC Anemis -/-, Icterus -/-, Reflex pupil +/+, Oedema palpebrae -/- Tonsil T1/T1, Pharing normal, Lidah normal, Bibir normal Thoraks : Simetris

Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

(19)

Pulmo : Suara nafas Vesikuler (+ + +|+

+

+), Rhonki (

−|

−), Wheezing (

−|

−) Abdomen : Distensi (-), Meteorismus (-), Peristaltik normal, Ascites (-), Nyeri

tekan (+), lokasi epigastric VAS 1/10 3.4 Pemeriksaan Penunjang

• Darah Lengkap (3/5/19, 11.59 WITA)

WBC 5,84x10µ/µL (4,1-11,0), HGB 13,92 g/dL (12,0-16,0), HCT 39,77%

(41,0-53,0), PLT 222,50x10µ/µL (140-440)

• Kimia Klinik (3/5/19, 11.59 WITA)

SGOT 47,0 U/L (11,00-27,00), SGPT 20,0 U/L (11,0-34,0), BUN 9,50 mg/dL (8,00-23,00), Serum Kreatinin 1,25 (0,50-0,90), Alb 5,30 g/dL (3,40- 4,80), GDS 117 mg/dL (70-140), bilirubin total 2,24 mg/dL (0,30-1,10), bilirubin direk 0,65 mg/dL (0,00-0,30), bilirubin indirek 1,59 mg/dL

• Analisa Gas Darah (6/5/19, 09.34 WITA)

pH 7,38 (7,35-7,45), pCO2 15,7 mmHg (35,00-45,00), pO2 51,7 mmHg (80,00-100,00), BEecf -16,0 (-2-2), HCO3- 9,10 mmol/L (22,00-26,00), TCO2 9,60 mmol/L (24,00-30,00), SO2c 87,3% (95%-100%)

• Elektrolit (6/5/19, 09.34 WITA)

K 4,23 mmol/L (3,50-5,10), Na 121 mmol/L (136-145), Cl 97 mmol/L (94- 110)

• HbA1C dan D-Dimer (6/5/19, 13.38 WITA)

HbA1C 5,4% (4,8%-5,9%), D-Dimer 0,98 FEU/mL (<0,5)

• Foto Thoraks PA (3/5/19, 13.17 WITA) Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

3.5 Manajemen Pasien Henti Jantung

Pada tanggal 6 Mei pukul 19.30 merespon code blue (<3 menit) Evaluasi awal :

A : Gargling, jalan nafas tidak bersih

B : RR: 40x/menit, Rhonki +/+, Wheezing -/- C : HR : 80x/menit, TD : 80/40 mmHg, SpO2 : 95%

(20)

D : Unresponsive

Dilakukan intubasi dengan ETT (Endo Tracheal Tube) No. 7,5 dan regimen Fentanyl 100mcg, Rocuronium 50mg, Midazolam 5mg. Kedalaman ETT 22.

Lima menit setelah intubasi HR : 0, Nadi karotis tidak teraba, dilakukan RJP dan pemberian Adrenalin 3 ampul. Setelah 5 siklus dilakukan evaluasi ulang.

A : Clear, terintubasi

B : RR : 18-20x/menit dengan bagging manual C : HR : 130x/menit, TD : 90/50mmHg, SpO2 : 93%

D : Unresponsive

Assesment : Impending Respiratory Failure Planning : Pasien dikembalikan ke DPJP

(21)

BAB IV DISKUSI KASUS

Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba- tiba dan mendadak, bias terjadi pada seseorang yang menderita penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak dapat diperkirakan, dan terjadi sangat cepat begitu gejala tampak. Cardiac Arrest seringkali berakibat fatal jika langkah yang tepat tidak segera dilakukan.

Pada kasus ini, pasien mengalami cardiac arrest lima menit setelah pemasangan intubasi ETT, kemudian dilakukan RJP sebanyak 5 siklus dan pemberian adrenalin 3 ampul. Setelah dievaluasi didapatkan denyut nadi 130x/menit, Tekanan Darah 90/50mmHg. Kemudian dilakukan bagging manual dengan frekuensi nafas 18-20x/menit. Sebelum terjadinya cardiac arrest pada pasien, terjadi penurunan kesadaran disertai dengan sesak, GCS E1V1M1. Setelah dievaluasi, terdengar rhonki padai kedua lapang paru disertai dengan penurunan suara vesikuler paru. Pasien mengalami edema paru suspect emboli paru dan pasien mengalami gagal nafas.

(22)

BAB V SIMPULAN

Henti jantung merupakan kegawatdaruratan di rumah sakit, yang memerlukan tindakan cepat dan tepat agar pasien selamat. Perlu kerjasama yang baik antara petugas kesehatan sehingga penanganan pasien optimal. Evaluasi awal sangat penting untuk mengetahui kondisi pasien saat henti jantung, baik itu jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Setelah respon negatif tindakan resusitasi harus dilakukan sambil evaluasi ulang pasien, jika masih tidak ada respon maka pemberian obat-obatan dapat dilakukan. Manajemen pasien pasca henti jantung juga perlu dilakukan baik itu terapi cairan dan lain-lain.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association.2015. Guidelines 2015 CPR and ECC. America American Heart Association.2018. Guidelines 2015 CPR and ECC. America Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A. 2010. Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Jakarta:

PT Macana Jaya Cemerlang.

Maron,D.J., Grundy,S.M., Ridker,P.M. & Pearson,T.A. 2009. The Prevention Of Coronary Heart Disease, Fuster,V., Alexander, R.W., O'Rourke, R.A. (Ed).

Hurst's The Heart.11th Ed.Vol1.New York: Mc Graw-Hill, 1093- 105.

Kilgannon JH, Roberts BW, Reihl LR et al. 2008. Early arterial hypotensin is common in the post cardiac arrest syndrome and associated with increased in hospital mortality. Resuscitation

Koplan, B. A., & Stevenson, W. G. 2009. Ventricular tachycardia and sudden cardiac death. Mayo Clinic proceedings, 84(3), 289–297.

Krisanty. et al. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, Jakarta : Trans Info Media

Peberdy MA, Callaway CW, et al. 2010. Post Cardiac Arrest Care. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation

Peter, AM et al. 2013. CPR Quality: Improving Cardiac Resucitation Outcomes Both Inside and Outside The Hospital. A Consensus Statement From The American Heart Association. pp: 1-4 )(CPR and First Aid. 2013. Emergency Cardiovascular Care.

Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S et al. 2010. Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial. JAMA

Referensi

Dokumen terkait

pasien gagal jantung sering datang dengan kondisi yang sudah parah sehingga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian akibat gagal jantung. Biaya

Berdasarkan permasalahan pada penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini akan dibuat alat Instrumentasi Phonocardiography Dalam Mendeteksi Kondisi Jantung secara

Lulusan Perguruan Tinggi sebelumnya pada responden memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan dokter jaga IGD tentang penatalaksanaan kasus henti

(2008) menyebutkan bahwa perburukan fungsi ginjal yang lebih berat terjadi pada pasien HF-REF yakni 70% dari pasien gagal jantung yang mengalami perburukan fungsi

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.Fungsi jantung berfungsi sebagai alat atau organ pemompa darah pada

Jumlah sulur ujung jari pada tangan kanan dan tangan kiri kelompok penderita penyakit jantung dan kelompok yang tidak menderita penyakit jantung, ternyata juga

Berdasarkan permasalahan pada penelitian sebelumnya, maka pada penelitian ini akan dibuat alat Instrumentasi Phonocardiography Dalam Mendeteksi Kondisi Jantung secara

Intervensi segera di tempat kejadian Tenaga rumah sakit di tempat di mana keadaan gawat darurat terjadi pasien tidak sadar atau dalam cardiac atau respiratory arrest memiliki tanggung