• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Referat KKM 14-27 nov 2016.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tugas Referat KKM 14-27 nov 2016.docx"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Early Warning System (EMS) digunakan oleh tim medis untuk mengenali Early Warning System (EMS) digunakan oleh tim medis untuk mengenali tanda-tanda awal kerusakan klinis pada pasien dan untuk pasien yang membutuhkan tanda awal kerusakan klinis pada pasien dan untuk pasien yang membutuhkan  perawatan

 perawatan intensif. intensif. EMS EMS dilaksanakan dilaksanakan oleh oleh tim tim kesehatan kesehatan yaitu yaitu MedicalMedical Emergency Team (MET)

Emergency Team (MET)11. Tanda-tanda awal kerusakan dapat dilihat dari gejala. Tanda-tanda awal kerusakan dapat dilihat dari gejala klinis sianosis, keringat berlebih dan keadaan umum buruk yang dapat menunjuk klinis sianosis, keringat berlebih dan keadaan umum buruk yang dapat menunjuk  pada gejala henti jantung.

 pada gejala henti jantung.22

Tercatat bahwa setiap tahun ada 500.000 orang di Eropa menjadi korban Tercatat bahwa setiap tahun ada 500.000 orang di Eropa menjadi korban henti jantung

henti jantung.. Henti jantung (Henti jantung (Cardiac arrest Cardiac arrest ) adalah pengehentian aktifitas) adalah pengehentian aktifitas mekanis jantung, ditandai dengan lemahnya denyut nadi, frekuensi pernafasan, mekanis jantung, ditandai dengan lemahnya denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan kehilangan kesadaran.

dan kehilangan kesadaran.33

Pada kasus henti jantung, pasien dengan jenis kelamin laki-laki sedikit Pada kasus henti jantung, pasien dengan jenis kelamin laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pasien berumur 65 tahun keatas 2 kali lebih lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pasien berumur 65 tahun keatas 2 kali lebih  beresiko

 beresiko mengalami mengalami henti henti jantung jantung dibandingkan dibandingkan dengan dengan pasien pasien yang yang berusiaberusia muda. Sampai tahun 2016, didapatkan 50% pasien yang mengalami henti jantung muda. Sampai tahun 2016, didapatkan 50% pasien yang mengalami henti jantung adalah orang tua yang berumur diatas 70 tahun.Untuk yang berjenis kelamin adalah orang tua yang berumur diatas 70 tahun.Untuk yang berjenis kelamin laki-laki, usia 80 tahun memiliki resiko 7 kali lebih tinggi dari yang berusia 40 tahun. laki, usia 80 tahun memiliki resiko 7 kali lebih tinggi dari yang berusia 40 tahun. Sedangkanyang berjenis kelamin perempuan, usia 70 tahun 40 kali lebih beresiko Sedangkanyang berjenis kelamin perempuan, usia 70 tahun 40 kali lebih beresiko dari orang yang berumur 45 tahun.

dari orang yang berumur 45 tahun.44

Menurut Gen Medicine Open Access, resusitasi jantung paru dapat Menurut Gen Medicine Open Access, resusitasi jantung paru dapat meningkatkan tingkat keselamatan 2-3 kali, bahkan jika dilakukan dengan tepat meningkatkan tingkat keselamatan 2-3 kali, bahkan jika dilakukan dengan tepat dan cepat dapat sampai menyelamatkan 100.000 orang per tahun. Henti jantung dan cepat dapat sampai menyelamatkan 100.000 orang per tahun. Henti jantung terjadi tiap 45 detik di Eropa. Resusitasi yang cepat dan defibrilasi awal dapat terjadi tiap 45 detik di Eropa. Resusitasi yang cepat dan defibrilasi awal dapat meningkatkan keselamatan > 60%.

meningkatkan keselamatan > 60%.11 Ditunjang dengan kelengkapan sertaDitunjang dengan kelengkapan serta kemahiran dalam melakukan resusitasi jantung paru, angka keselamatan dapat kemahiran dalam melakukan resusitasi jantung paru, angka keselamatan dapat meningkat.

meningkat.44

Suatu penelitian menemukan bahwa proporsi serangan jantung pada Suatu penelitian menemukan bahwa proporsi serangan jantung pada dewasa menurun di kedua rumah sakit yang terlibat dalam studi (0,4% menjadi dewasa menurun di kedua rumah sakit yang terlibat dalam studi (0,4% menjadi 0,2%, p <0,0001 dan 0,34% menjadi 0,28%, p <0,0001). Dua studi menyatakan 0,2%, p <0,0001 dan 0,34% menjadi 0,28%, p <0,0001). Dua studi menyatakan

(2)

dampak dari pelaksanaan EWS pada "kode biru", penulis melaporkan penurunan  jumlah "Blues kode" luar ICU dari 0,77 per 1000 hari pasien 0,39 per 1000 hari  pasien, tetapi signifikansi statistik tidak dilaporkan. Dalam studi oleh Green dan Williams, tren secara keseluruhan serangan jantung dalam kaitannya dengan  jumlah pasien yang tidak dilaporkan. Namun, panggilan "kode biru", ada  penurunan yang signifikan dalam persentase pasien yang menderita serangan  jantung (52,1% menjadi 35%, p = 0,0024). Singkatnya, studi tentang dampak skor

EWS pada kematian dan serangan jantung memberikan informasi yang terbatas. Secara umum, data menunjukkan kecenderungan angka kematian menurun.5

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Modifikasi Early Warning System (MEWS)

Modifikasi Early Warning System yang (MEWS) adalah salah satu sistem yang menggunakan suhu, tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan tingkat kesadaraN dengan skornya masing-masing, skor yang lebih tinggi untuk menentukan tindakan. Pada tahun 1997, Morgan, Williams, dan Wright memperkenalkan Early Warning System (EWS) dari lima parameter fisiologis tanda-tanda vital pasien (denyut jantung, tingkat pernapasan, tekanan darah sistolik, suhu, dan tingkat kesadaran) tidak hanya untuk memprediksi hasil tetapi  juga untuk mengenali tanda-tanda awal kerusakan. MEWS digunakan untuk

memantau semua pasien yang dirawat di perawatan darurat untuk mengenal lebih cepat tanda-tanda kerusakan pasien dan tepat waktu dalam tindakan. Intinya untuk menunjukkan nilai abnormal dalam upaya untuk intervensi dan kemampuan untuk memantau. Sistem ini menggantikan grafik tradisional yang mencakup nilai-nilai grafik dan tingkat intervensi tidak ditentukan.6

Studi observasional menunjukkan bahwa pasien sering menunjukkan tanda-tanda kerusakan klinis hingga 24 jam sebelum klinis serius yang memerlukan intervensi intensif. Keterlambatan pengobatan atau perawatan yang tidak memadai pasien di bangsal rumah sakit umum dapat mengakibatkan meningkatnya penerimaan ke unit perawatan intensif (ICU), peningkatan tinggal lama di rumah sakit, serangan jantung, atau kematian.5

Setelah mencapai ambang yang telah ditetapkan, Medical Emergency Team (MET) dipanggil. MET dipanggil ketika pasien mengalami perburukan klinis yang bisa menyebabkan serangan jantung-paru. Code Blue dipanggil ketika cardiac arrest sudah terjadi.6

Kami menemukan 6 penelitian yang secara langsung membahas efek dari Sistem Peringatan Dini (EWS) implementasi pada kematian. Empat studi menemukan penurunan angka kematian secara keseluruhan setelah implementasi

(4)

EWS, tetapi hanya satu studi menemukan ini menjadi signifikan secara statistik. Moon et al (2011) menerapkan EWS di 2 rumah sakit dan di kedua lembaga kematian per rumah sakit menurun secara signifikan dari 1,4% menjadi 1,2% (p <0,0001). Angka kematian setelah pelaksanaan EWS lebih rendah pada 3  penelitian lain, tetapi tidak signifikan secara statistik.5

Sebaliknya, dalam sebuah studi oleh Green dan Williams, ada peningkatan tidak signifikan dalam kematian setelah pelaksanaan suatu EWS. Namun, untuk  pasien yang spontan bernapas dengan denyut pada saat panggilan "kode biru", ada  peningkatan yang signifikan dalam kelangsungan hidup (59% sampai 75%, p =

0,0003).5

Moon et al menemukan bahwa proporsi serangan jantung pada dewasa menurun di kedua rumah sakit yang terlibat dalam studi (0,4% menjadi 0,2%, p <0,0001 dan 0,34% menjadi 0,28%, p <0,0001).5

Dua studi menyatakan dampak dari pelaksanaan EWS pada "kode biru",  penulis melaporkan penurunan jumlah "Blues kode" luar ICU dari 0,77 per 1000 hari pasien 0,39 per 1000 hari pasien, tetapi signifikansi statistik tidak dilaporkan. Dalam studi oleh Green dan Williams, tren secara keseluruhan serangan jantung dalam kaitannya dengan jumlah pasien yang tidak dilaporkan. Namun, panggilan "kode biru", ada penurunan yang signifikan dalam persentase pasien yang menderita serangan jantung (52,1% menjadi 35%, p = 0,0024). Singkatnya, studi tentang dampak skor EWS pada kematian dan serangan jantung memberikan informasi yang terbatas. Secara umum, data menunjukkan kecenderungan angka kematian menurun.5

Kami menemukan bahwa sistem peringatan dini, sebagian besar menggunakan kelainan tanda vital, tampaknya cukup memprediksi terjadinya serangan jantung dan kematian dalam waktu 48 jam pengukuran. Secara umum,  pasien dengan skor EWS baik tidak mungkin untuk menderita serangan jantung

dalam waktu dekat atau kematian. Sementara pasien dengan skor kurang baik memiliki hasil buruk. Studi mengevaluasi dampak dari penerapan nilai EWS pada hasil pasien dan pemanfaatan sumber daya yang memadai. Hasil penelitian

(5)

menunjukkan bahwa penggunaan tim respon cepat akan meningkat seperti tenaga kerja yang mendapatkan, merekam, dan melakukan terhadap skor, tetapi dampak  pada hasil kesehatan dan lama di rumah sakit atau ICU tetap masih belum pasti.5

(6)

B. Cardiac Arrest 1. Pengertian.

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan  penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak, menyatakan  bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Berdasarkan  pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti  jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagal an jantung untuk berkontraksi secara efektif. 7,8

2. Faktor predisposisi

Faktor risiko cardiac arrest adalah: Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.3Seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:7

a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.

 b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest .

(7)

c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena  beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest . Kondisi seperti ini disebut  proarrythmic effect . Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar  potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik)  juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac

arrest .

d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest  pada anak dan dewasa muda.

e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak  pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.

f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest  pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.

3. Prognosis

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi  jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti

(8)

 pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.7

4. Resusitasi Jantung Paru /

Cardio Pulmonary R esusitation

a. Pengertian

Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan hidup dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan  jantung sampai ke kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung

dan pernafasan ke kondisi normal.9

b. Prosedur

Cardio Pulmonary R esusitation

Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk  bertahan hidup (chin of survival ); cara untuk menggambarkan  penanganan ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest . Jika salah satu dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk  bisa bertahan hidup.chin of survival terdiri dari 4 rangkaian: 10

a.

E arly acces

: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda awal serta segera memanggil  pertolongan untuk mengaktifasi EMS.

b.

Early CPR

: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke  jantung dan otak, sampai defibrilator dan petugas

yang terlatih tersedia/datang.

c.

E arly defi brillator 

: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke jantung korban  bisa mengembalikan denyut jantung. d.

E arly advance care

: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan

ketersediaan peralatan bantuan  pernafasan.

(9)

Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan tindakan CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada. Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan dewasa (8 tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi.10

Prosedur CPR terdiri dari airway, breathing dan circulation:9,10

a)

Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas

(airway):

(1). Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon

dengan menepuk atau menggoyangkan pasien sambil bersuara keras “Apakah anda baik - baik saja?” Rasionalisasi: hal ini akan mencegah timbulnya injury  pada korban yang sebenarnya masih dalam keadaan sadar.

(2). Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu  bersama kita untuk minta tolong (telp:118). Apabila kita sendirian, korbannya dewasa dan di tempat itu tersedia telepon,  panggil 118. Apabila kita sendiri, dan korbannya  bayi/anakanak, lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit),

kemudian panggil 118.

(3). Posisikan pasien  supine  pada alas yang datar dan keras, ambil  posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja. Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan  pemberi bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan

kompresi dada tanpa berubah posisi. (4). Buka jalan nafas

(a). Head-tilt/chin-lift maneuver:

letakkan salah satu tangan dikening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di dagu korban pada bagian yang

(10)

 bertulang, dan angkat rahang ke depan sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan  jalan nafas dari sumbatan oleh lidah.

(b). Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah  pasien pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula ke atas sehingga kepala mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.

b).

Pernafasan (

Breathing)

(1). Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara  pandangan kita arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada  pergerakan naik turun dada dan rasakan adanya udara yang  berhembus selama expirasi. (Lakukan 5-10 detik). Jika pasien  bernafas, posisikan korban ke posisi recovery(posisi tengkurap, kepala menoleh ke samping). Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan.

(2). Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau dengan menggunakan amfubag. Selama memberikan  bantuan pernafasan pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi: pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.

c). Circulation

Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada.

(11)

(1). Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian  pangkal dari salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial dari  procecus xyphoideus). Jarijari  bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi dada. Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.

(2). Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak  berada tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan  bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasienke  bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)

(3). Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal. Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya  pemberian tekanan. Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau  berubah posisi. Rasionalisasi: pelepasan tekanan ke dada akan

memberikan kesempatan darah mengalir ke jantung.

(4). Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2 menit). Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien. Pemberian kompresi dada dihentikan  jika: a).telah tersedia AED (Automated External Defibrillator). b). korban menunjukkan tanda kehidupan. c). tugas diambil alih oleh tenaga terlatih. d).penolong terlalu lelah untuk melanjutkan  pemberian kompresi. Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa nadi di arteri carotis,  jika belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas dan kompresi

dada.

(5). Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga menyiapkan perlengkapan khusus resusitasi untuk memberikan  perawatan definitive.Rasionalisasi; perawatan definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian defibrilasi, terapi obat-obatan, cairan untuk mengembalikan keseimbangan asam-basa, monitoring dan perawatan oleh tenaga terlatih di ICU.

(12)

(6). Siapkan defibrillator atau AED (Automated External Defibrillator) segera. CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan, sedangkan untuk bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang dada.

C. Medical Emergency Team

Medical Emergency Team (MET) adalah tim kesehatan profesional yang dibentuk untuk merespon suatu keadaan klinis yang memburuk pada pasien. MET merupakan tim yang bertujuan untuk menanggapi pasien yang mengalami kemunduran sebelum terjadinya henti jantung paru. Respon oleh MET telah dilaksanakan dan berhasil menurunkan angka kematian.11

Sebuah analisis retrospektif dari 3269 respon MET dan 1.220 henti  jantung paru dalam 6,8 tahun menunjukkan peningkatan respon MET 13,7 menjadi 25,8 per 1000 (p, 0.0001) setelah memulai aktivasi kriteria objektif. Bersamaan dengan itu terjadi 17% penurunan dalam kejadian henti jantung paru 6,5 menjadi 5,4 per 1000 (p = 0,016). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa MET dapat mengurangi terjadinya kejadian henti jantung paru.1(use medical emergency

(13)

Beberapa studi terbaru menyatakan bahwa, penelitian dalam enam bulan terakhir, serangan jantung, angka kematian dan banyaknya pasien yang akan dirawat di ruangan intensif ditemukan secara signifikan lebih rendah di rumah sakit dengan MET dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak memiliki sistem seperti itu.12

D. Code Blue Team

Prinsip, Fungsi dan Tujuan dari CODE BLUE TEAM (CBT) Di Rumah Sakit

(14)

dibutuhkan karena tim ini untuk menghadapi situasi yang mengancam nyawa  pasien yang dirawat di rumah sakit dan memberikan tindakan CPR. Di rumah

sakit yang mempunyai tenaga CBT, terdapat pengurangan frekuensi henti jantung. Serta, dengan CPR awal oleh tim khusus meningkatkan kelangsungan hidup dan meningkatkan prognosis pasien dengan henti jantung.13,14

Tujuan dari tim ini adalah:

a) Pengenalan dini dari pernapasan, jantung dan kerusakan neurologis pasien, menurut pendekatan ABCDE seperti yang didefinisikan oleh pedoman organisasi internasional, American Heart Association (AHA) dan Resusitasi Dewan Eropa (ERC), untuk mengurangi jumlah serangan  jantung.

 b) inisiasi dini CPR dalam kasus henti jantung c) defibrilasi dini jika diindikasikan.

d)  perawatan dini setelah CPR sukses.15

1. Aktivasi dan Pemanggilan CBT

Rumah sakit harus menetapkan tujuan, kriteria direproduksi dan mudah terukur untuk aktivasi CBT. Adanya kriteria yang telah ditetapkan meningkatkan keandalan panggilan tim dan mencegah penundaan. Kriterianya adalah tanda-tanda vital rutin dicatat oleh staf di tujuan, cara non-invasif. Ketika setiap anggota staf medis atau keperawatan, mengakui satu atau lebih kriteria pada pasien yang menunjukkan penurunan akut kondisinya, maka wajib memanggil langsung CBT.13,14,15

2. Struktur dan peran CBT

komposisi yang tepat dari tim (CBT) bervariasi dan tergantung pada kebutuhan masing-masing rumah sakit. Biasanya, termasuk dokter dan perawat khusus dalam perawatan intensif, dokter dan perawat. Kedua dokter dan perawat, yang mengkhususkan diri dalam perawatan intensif, memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk manajemen jalan napas. Manajemen termasuk mempertahankan jalan napas paten, pengisapan, penggunaan alat bantu tepat, ventilasi yang memadai dan efektif, penempatan saluran napas maju dengan

(15)

intubasi atau cara invasif lainnya. Mereka bisa berlatih algoritma BLS, ALS, ACLS, ATLS (Lampiran) yang berlaku untuk CPR tertentu berurusan dengan takiaritmia yang mengancam jiwa atau bradiaritmia, trauma, obstetric darurat, keracunan, dll.16,17

Dalam kasus CPR, baik dokter khusus atau perawat mengambil peran utama, menentukan peran yang tepat dan tanggung jawab anggota tim lain dan memfasilitasi komunikasi antara mereka untuk mencapai fungsi dan efektivitas yang sesuai.

Selama CPR, peran yang ditugaskan kepada anggota tim adalah: a) manajemen jalan nafas dan ventilasi pasien (satu anggota)

 b) melakukan kompresi dada yang efektif (dua anggota alternatif setiap dua menit)

c) menyediakan defibrilasi aman jika diindikasikan dan memastikan  persiapan intravaskular rute dan pemberian obat (satu anggota)

d) dokumentasi yang jelas dan ringkas dari peristiwa code blue(satu a nggota) Ketika CPR berhasil diselesaikan, tim bertanggung jawab untuk transportasi yang aman dari pasien diunit perawatan intensif. Sebaliknya, jika pasien meninggal,  pemimpin tim harus bertanggung jawab untuk memberikan informasi pada

(16)

BAB III PENUTUP

Kami menemukan bahwa sistem peringatan dini, sebagian besar menggunakan kelainan tanda vital, tampaknya cukup memprediksi terjadinya serangan jantung dan kematian dalam waktu 48 jam pengukuran. Secara umum,  pasien dengan skor EWS baik tidak mungkin untuk menderita serangan jantung

dalam waktu dekat atau kematian. Sementara pasien dengan skor kurang baik memiliki hasil buruk. Studi mengevaluasi dampak dari penerapan nilai EWS pada hasil pasien dan pemanfaatan sumber daya yang memadai.

Tindakan defibrilasi yang terlambat merupakan penyebab tingginya angka cardiac arrest yang terjadi di rumah sakit.Oleh karena itu tindakan defibrilisasi  perlu dilakukan dengan cepat agar angka kejadia cardiac arrest diminimalisir. Yang memegang peranan penting dalam pencegahan cardiac arrest yaitu tim medis darurat. Tim medis darurat membawa defibrillator dan peralatan termasuk obat-obatan untuk bantuan hidup dasar. Tim medis darurat senantiasa bertindak cepat dalam menangani pasien dengan keadaan umum buruk dan dicurigai akan mengalami cardiac arrest. Defibrilator disiapkan dalam waktu 3 menit.1  Untuk senter yang belum memiliki alat defibrillator dapat dilakukan tindakan resusitasi  jantung paru. Resusitasi jantung paru dapat dilakukan oleh tim kesehatan. Resusitasi jantung paru adalah upaya untuk mengembalikan sirkulasi spontan dengan melakukan kompresi dada dengan atau tanpa ventilation.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

1. Smith MEB, Chiovaro JC, O’Nell M, Kansagara D, Quenones AR, freeman M, et al. Early warning system scores for clinical deterioration in hospitalized  patients: a systematic review.2014;11:1454-65.

2. Kyriacos U, Jelsma J, James M, Jordan S. Monitoring vital sign: development of a modified early warning scoring (Mews) system for general wards in a developing country.2014;9:1-10.

3. Lenjani B, Pallaska K, Hyseni K, Karemani N, Bunjaku I, Zaimi T, et al. Cardiac Arrest - Cardiopulmonary Resuscitation. Gen Med (Los Angel). 2014;2:2.

4. Vincent J.L. Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine.2016; 5. Beth Smith Early Warning System Scores: A Systematic Review Department

of Veterans Affairs Health Services Research & Development Service.Washington 2014

6. Chiraq et al. Modified Early Warning System improves patient safety and clinical outcomes in an academic community hospital.Department of Medicine.USA.2015

7. American Heart Association. (2010). Cardiac Arrest. http//www.American heart.org. Diunduh 23 Juli 2010

8. Foster, Bill. (2001).  Pembinaan Untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM.Jakarta

9. Iskandar, Rizki Ismailia Puteri. (2008). Ancaman Henti Jantung Lebih Tinggi  Laki-Laki. Artikel. http//www. Klikdokter.com. Diunduh 8 Februari 2010 10. Jameson, JN St C.; Dennis L. Kasper, Harrison, Tinsley Randolph;

Braunwald, Eugene; Fauci, Anthony S.; Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. (2005).

11. Devita M, Braithwaite R, Mahidhara R, Stuart S, Foraida M, Simmons R. Use of medical emergency team responses to reduce hospital cardiopulmonary arrest. Qual Saf Health Care. 2004;13:251-254

12. Buist M, Moore G, Bernard S, Waxman B, Anderson J, Nguyen V. Effects of a medical emergency team on reduction of incidence of and mortality from unexpected cardiac arrest in hospital. BMJ. 2002;324:387

(18)

13. De Vita, M. A., Braithwaite, R. S. Mahidhara, R., Stuart, S., Foraida, M., Simmons, R. L. Use of medical emergency team responses to reduce hospital cardiopulmonary arrests. Qual Saf Health Care 2004;3:251-254

14. Barbetti, J., Lee, G. Medical emergency team: a review of the literature.  Nursing in Critical Care 2008; 13 (2): 80-85.

15. Abella, B. S., Alvarado, J. P., Myklebust, H., Edelson, D. P., Barry, A., O'Hearn, N., Vanden Hoek, T. L., Becker L. B. Quality of Cardiopulmonary Resuscitation during in-hospital cardiac arrest. JAMA 2005; 293 (3) :305-310. 16. Brady, W. J., Gurka K. K., Mehring, B., Peberby M. A., O'Connor, R. E. In-hospital cardiac arrest: Impact of monitoring and witnessed event on patient survival and neurologic status at hospital discharge. Resuscitation 2011; 82:845-852.

17. Hourihan, F., Bishop. G., Hillman, K. M., Dafurn, K., Lee, A. The medical emergency team: a new strategy to identify and intervene in high-risk patients. Clinical Intensive Care 1995; 6: 269-272.

18. Dorney, P. Code blue: Chaos or control, an educational initiative. Journal for  Nurses in Staff Development 2011; 27 (5): 242-244

Referensi

Dokumen terkait

menyetubuhi wanita tersebut, Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa menyetubuhi wanita hamil yang telah dinikahi tersebut hukumnya makruh baik bagi laki-laki yang menghamilinya

Pada percobaan diperoleh asam 4-butoksisinamat dengan rendemen yang lebih rendah dari asam sinamat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada 4-butoksibenzaldehida efek mesomeri

MASDAN N'YO ANG SANGGOL NA S'YANG HARI SA BAYAN NG DIYOS.. COME PEASANT, KING TO

Bakelit, poli(melanin formaldehida) dan poli (urea formaldehida) adalah contoh polimer ini. Sekalipun polimer- polimer termoseting lebih sulit untuk dipakai ulang

Kajian ini diambil penulis untuk dijadikan penelitian karena penulis tertarik untuk mengetahui strategi online personal branding yang dilakukan oleh Eugenie

Edema perineum adalah adanya pembengkakan pada daerah jahitan perineum karena adanya penimbunan cairan akibat tekanan otot dasar panggul pada saat persalinan dan pada masa

Kepeloporan para pemimpin politik dalam membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat atas nilai demokrasi dan kebangsaan itu sangat diperlukan, agar makna kemerdekaan

Hasil uji ekstrak etanol daun binahong pada L3 menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif memiliki daya tetas yang tinggi (100%), yang mampu menyelesaikan siklus hidupnya dari L3