• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Tawuran Antar-Mahasiswa (Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Tawuran Antar-Mahasiswa (Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA TAWURAN ANTAR-MAHASISWA

(Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ANDRY BINSAR RIZKY SIMANJUNTAK

070901019

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Mahasiswa sejatinya merupakan kaum cendekiawan yang merupakan kaum yang pada dasarnya harus mengedepankan sikap untuk bertindak berdasarkan akal sehat atau rasionalitas berpikir. Ini dikarenakan oleh mahasiswa berada pada tingkatan yang terdidik atau yang terpelajar di antara masyarakat. Karena itu pulalah mahasiswa disebut sebagai agen perubahan (agent of change), dimana masyarakat akan bertumpu pada mereka ketika ada sebuah persoalan bangsa yang terjadi yang mana mahasiswa memiliki peran utama berakar dari intelektualitas serta rasionalitas yang mereka dapatkan dari perguruan tinggi. Namun belakangan, seiring dengan banyaknya bermunculan berbagai kasus tawuran antar mahasiswa itu sendiri, publik menjadi punya sudut pandang yang berbeda; mahasiswa negeri ini diidentikkan dengan yang menyukai tindak kekerasan tanpa ada pemikiran bahwa yang mereka lakukan itu sifatnya destruktif atau merusak, baik itu pada fasilitas yang ada di Universitas maupun berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki kampus. Tak heran pula jika dampak yang ditimbulkan berupa korban luka maupun korban jiwa.

Kasus tawuran antar mahasiswa di Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu contohnya. Dengan dilandasi berbagai faktor, kejadian ini jelas tidak menggembirakan karena pada dasarnya Universitas Sumatera Utara seperti halnya perguruan tinggi lainnya di negeri ini merupakan tempat menuntut ilmu agar mahasiswa dapat menjadi berguna di tengah-tengah masyarakat kelak. Universitas Sumatera Utara jelas menjadi sedikit tercoreng dengan konflik kekerasan yang dipertontonkan mahasiswa ini. Hal ini jelas tidak bisa terus-menerus terjadi jika tidak mau nama besar perguruan tinggi yang terbesar di luar pulau Jawa ini menjadi tenggelam. Karena itulah diperlukan adanya resolusi bagaimana agar hal semacam ini tidak terulang lagi ke depannya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif secara deskriptif yang mencoba memberikan gambaran bagaimana fenomena tawuran ini bisa terjadi di Universitas Sumatera Utara serta mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana solidaritas yang terbangun di antara mahasiswa yang malah berujung pada tindakan kekerasan. Lokasi penelitian ini dilakukan di kompleks Universitas Sumatera Utara serta beberapa wawancara yang dilakukan di tempat tinggal beberapa informan dengan tujuan agar penulis maupun informan mampu melakukan wawancara dengan suasana yang tenang dan santai.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara menginterpretasi data-data penelitian, baik hasil observasi maupun hasil wawancara, tawuran yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahpahaman dalam memaknai arti solidaritas yang sebenarnya. Atau mungkin boleh dikatakan adanya pergeseran makna akan solidaritas antar mahasiswa di dalam fakultas yang sama yang mengarah untuk berperilaku kasar ketika dihadapkan pada masalah yang sebenarnya sepele yang berkaitan dengan kelompok mahasiswa yang telah dianggap merupakan pesaing dalam hal fakultas dengan mahasiswa yang paling disegani di Universitas Sumatera Utara. Hal mana yang cukup disayangkan karena solidaritas yang seharusnya merupakan sebuah jalan adanya hubungan yang sifatnya positif, bukannya malah negatif – destruktif.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas limpahan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah membukakan hati dan pikiran hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Betapa besarnya karunia yang Tuhan telah berikan kepada penulis untuk mengadakan penelitian serta menyusunnya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Fenomena Tawuran Antar Mahasiswa: Studi Deskriptif Pada Mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara”. Karya ini saya persembahkan kepada ibu dan saudara-saudara saya yang tidak pernah mengenal lelah dalam memberikan dukungan materi dan yang terutama dukungan moril yang luar biasa besar selama penelitian dan penulisan dilakukan.

Penulis juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.namun penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin untuk mempersembahkannya dan semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Keberhasilan yang dicapai oleh penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak terlepas dari semua pihak yang senantiasa ikhlas membantu memberikan bimbingan, dukungan, dorongan yang tak henti-hentinya demi kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.

Dan dengan segala hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM & H MSc. (CTM) SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, MSi., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik

(4)

4. Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, MSi, selaku Pembimbing I yang telah cukup sabar dalam memberikan tuntunan dan nasehat demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Drs. Henry Sitorus, MSi, selaku Pembimbing II yang juga turut memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis.

6. Segenap Dosen Sosiologi dan Staf Departemen Sosiologi FISIP USU yang telah memberikan wejangan maupun khasanah pengetahuan tentang keilmuan Sosiologi yang bermanfaat untuk menjadi bahan masukan skripsi ini.

7. Keluarga penulis, ibunda L. br. Pandiangan yang telah dengan luar biasa dalam membimbing, menuntun dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya serta meneruskan keinginan ayahanda (alm.) S. Simanjuntak untuk selalu mengajarkan kami anak-anaknya memiliki karakter yang kuat.

8. Seluruh saudara-saudara yang terkasih dan tercinta atas dukungannya, khususnya kepada kakanda Marietha Hasianna br. Simanjuntak atas dukungannya yang luar biasa besar.

9. Seluruh informan yang dengan tulus-ikhlas menerima keadaan penulis di tengah-tengah mereka dalam memberikan informasi yang membantu terselesaikannya skripsi ini.

10.Teman-teman Sosiologi, Hadi Syahputra, Ngadino, Helen, Magdalena, Ridwan, Emby, Marlina serta semua teman-teman Sosiologi lainnya.

11.Teman-teman satu fakultas lainnya, Parlaungan Hutahaean, Bobby Chandra Pane, atas dukungannya.

(5)

penulis. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan hati dan pikiran terbuka atas segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Selanjutnya penulis berharap agar karya ini dapat berguna dan bermanfaat bagi peningkatan ilmu pengetahuan sosial terutama pada disiplin ilmu sosiologi.

Medan, 13 April 2014

(6)

DAFTAR ISI

2.1 Fungsionalisme Struktural ... 12

2.2 Kelompok Sosial ... 16

BAB IV DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

4.1.1 Sejarah Singkat Serta Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara ... 48

4.2 Interpretasi Data Penelitian ... 51

4.2.1 Temuan Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 51

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(7)

ABSTRAK

Mahasiswa sejatinya merupakan kaum cendekiawan yang merupakan kaum yang pada dasarnya harus mengedepankan sikap untuk bertindak berdasarkan akal sehat atau rasionalitas berpikir. Ini dikarenakan oleh mahasiswa berada pada tingkatan yang terdidik atau yang terpelajar di antara masyarakat. Karena itu pulalah mahasiswa disebut sebagai agen perubahan (agent of change), dimana masyarakat akan bertumpu pada mereka ketika ada sebuah persoalan bangsa yang terjadi yang mana mahasiswa memiliki peran utama berakar dari intelektualitas serta rasionalitas yang mereka dapatkan dari perguruan tinggi. Namun belakangan, seiring dengan banyaknya bermunculan berbagai kasus tawuran antar mahasiswa itu sendiri, publik menjadi punya sudut pandang yang berbeda; mahasiswa negeri ini diidentikkan dengan yang menyukai tindak kekerasan tanpa ada pemikiran bahwa yang mereka lakukan itu sifatnya destruktif atau merusak, baik itu pada fasilitas yang ada di Universitas maupun berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki kampus. Tak heran pula jika dampak yang ditimbulkan berupa korban luka maupun korban jiwa.

Kasus tawuran antar mahasiswa di Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu contohnya. Dengan dilandasi berbagai faktor, kejadian ini jelas tidak menggembirakan karena pada dasarnya Universitas Sumatera Utara seperti halnya perguruan tinggi lainnya di negeri ini merupakan tempat menuntut ilmu agar mahasiswa dapat menjadi berguna di tengah-tengah masyarakat kelak. Universitas Sumatera Utara jelas menjadi sedikit tercoreng dengan konflik kekerasan yang dipertontonkan mahasiswa ini. Hal ini jelas tidak bisa terus-menerus terjadi jika tidak mau nama besar perguruan tinggi yang terbesar di luar pulau Jawa ini menjadi tenggelam. Karena itulah diperlukan adanya resolusi bagaimana agar hal semacam ini tidak terulang lagi ke depannya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif secara deskriptif yang mencoba memberikan gambaran bagaimana fenomena tawuran ini bisa terjadi di Universitas Sumatera Utara serta mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana solidaritas yang terbangun di antara mahasiswa yang malah berujung pada tindakan kekerasan. Lokasi penelitian ini dilakukan di kompleks Universitas Sumatera Utara serta beberapa wawancara yang dilakukan di tempat tinggal beberapa informan dengan tujuan agar penulis maupun informan mampu melakukan wawancara dengan suasana yang tenang dan santai.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan cara menginterpretasi data-data penelitian, baik hasil observasi maupun hasil wawancara, tawuran yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahpahaman dalam memaknai arti solidaritas yang sebenarnya. Atau mungkin boleh dikatakan adanya pergeseran makna akan solidaritas antar mahasiswa di dalam fakultas yang sama yang mengarah untuk berperilaku kasar ketika dihadapkan pada masalah yang sebenarnya sepele yang berkaitan dengan kelompok mahasiswa yang telah dianggap merupakan pesaing dalam hal fakultas dengan mahasiswa yang paling disegani di Universitas Sumatera Utara. Hal mana yang cukup disayangkan karena solidaritas yang seharusnya merupakan sebuah jalan adanya hubungan yang sifatnya positif, bukannya malah negatif – destruktif.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mahasiswa adalah pelajar yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri yang memiliki pemikiran ilmiah (rasional), yang mana atas dasar itu pulalah mahasiswa disebut sebagai kaum cendekiawan ataupun kaum terpelajar. Di mana harapan masyarakat pada mereka inilah sebagai generasi penerus bangsa ini bertumpu, sehingga ‘label’ agent of change tak ayal melekat pada mahasiswa. Harapan itu selama bertahun-tahun tetap ada di tengah-tengah masyarakat sampai pada waktu di mana pandangan masyarakat sedikit demi sedikit berubah dengan adanya berbagai kasus konflik kekerasan yang sudah tak asing lagi di telinga kita yaitu tawuran yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa itu sendiri.

(9)

Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik tersebut terlibat tawuran dengan saling lempar batu dan kayu. Tawuran tersebut akhirnya dapat dihentikan setelah pihak kepolisian yang turun ke lokasi berusaha meredam perkelahian diantara kedua kubu yang bertikai. Akibat tawuran tersebut seorang mahasiswa luka-luka terkena lemparan batu dan terpaksa menjalani perawatan di Poliklinik USU. Selain itu, dua sepeda motor milik mahasiswa dibakar serta beberapa mobil rusak akibat lemparan batu.

Tawuran mahasiswa dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik tersebut juga pernah terjadi 10 September 2011 saat berlangsungnya acara Penyambutan Mahasiswa Baru yang digelar oleh Badan Eksekutif mahasiswa (BEM) kedua fakultas. Akibat bentrokan yang diakibatkan saling ejek tersebut, pihak rektorat akhirnya mempercepat acara Penyambutan Mahasiswa Baru. Akibat bentrokan itu, satu mahasiswa juga mengalami luka akibat terkena lemparan batu.

Contoh kasus tawuran antar mahasiswa lainnya yaitu yang terjadi pada tanggal 3 Oktober 2011 tawuran terjadi di Universitas Negeri Gorontalo di Gorontalo. Tawuran itu melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian. Jumlah mahasiswa yang terlibat tawuran diperkirakan lebih dari ratusan orang. Hasilnya gedung Fakultas Pertanian habis ludes dimakan api. Permasalahannya juga sepele saja, yakni saling ejek mengejek. Pada tanggal 21 September 2011 tawuran juga pecah antara mahasiswa di kampus Universitas Lampung (Unila). Tawuran pada saat wisuda ini melibatkan para mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aksi tawuran ini dipicu rebutan jalan untuk arak-arakan acara wisuda yang berakibat saling senggol antara mahasiswa kedua fakultas.

(10)

yang berbeda sebelumnya pernah terjadi antara mahasiswa Universitas Persada Yayasan Administrasi Indonesia dan Universitas Kristen Indonesia di Jakarta. Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin versus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia di Makassar, dan antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana versus mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Kupang.

Salah satu kasus tawuran yang terkini yaitu yang terjadi di Universitas Sam Ratulangi (UnSrat). Tawuran antara mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Teknik Universitas Samratulangi, berujung pada pembakaran kampus. Tiga gedung Fakultas Teknik ludes terbakar. Kebakaran diduga sengaja dilakukan mahasiswa yang terlibat bentrok. Sementara aparat kepolisian masih terus berjaga-jaga untuk mengantisipasi tawuran lanjutan. Setelah reda beberapa saat, dua kubu mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Hukum Universitas Samratulangi kembali melakukan aksi saling serang. Saling lempar pun terjadi antara dua kubu mahasiswa ini. Aparat kepolisian yang berjaga-jaga tidak dapat berbuat banyak, karena jumlah mahasiswa lebih banyak dari personel polisi.

Setelah tiga jam berlangsungnya aksi saling lempar, ratusan mahasiswa yang diduga dari Fakultas Hukum masuk ke gedung Fakultas Teknik dan melakukan pembakaran yang diawali dari membakar sepeda motor yang berada di halaman kampus, dan menjalar ke tiga gedung Fakultas Teknik Jurusan Arsitek. Setelah satu jam, api baru bisa dipadamkan oleh lima armada pemadam kebakaran dan satu unit mobil water canon Polda Sulut dibantu mahasiswa. Ribuan mahasiswa Fakultas Teknik ini hanya bisa menatap kampus mereka ludes dilahap sijago merah.

(11)

katakan yang paling terdidik—dan seharusnya berpikiran maju justru bergelut dalam aksi kekerasan antar-mahasiswa sendiri. Tampaknya tidak ada sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan mahasiswa sebagai individu yang berproses dalam dunia pendidikan. Tanpa adanya pemikiran panjang dan secara emosional melempari serta merusak berbagai fasilitas umum bahkan kampusnya sendiri, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai pada hal yang terburuk; menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini tentunya ini tidak kita harapkan menjadi sebuah penanda akan kegagalan dunia pendidikan di Indonesia. Amat sangat disayangkan bahwa mahasiswa yang menyandang nama besar ataupun label sebagai agent of change (agen perubahan) justru bertindak selayaknya preman pasar.

Disamping sebagai pembawa perubahan, sudah seharusnya memberikan teladan dan contoh yang mengedukasi bagi mayarakat, bangsa dan negara. Bukannya malah sibuk dengan aksi brutal, lempar batu, bacok-bacokan dan tindakan anarkis yang lain. Apapun alasannya, apapun kondisinya tindakan premanisme ini tidaklah menunjukkan dan mewakili tindakan mahasiswa yang sebenarnya. Hal ini jelas telah mencoreng harga diri dan jiwa almamater seorang mahasiswa yang sejatinya harus selalu dijaga dan dihormati bersama. Cerminan sebagai seorang intelek dan akademis sudah tidak lagi nampak, malah semakin menciut dan semakin jauh.

(12)

Terjalinnya hubungan yang sudah seperti esprit de corps (semangat korsa) di antara mahasiswa yang dengan sayangnya ditampilkan dalam bentuk tindak kekerasan yang dilakukan bersama-sama. Dengan kata lain ada rasa persaudaraan yang erat di antara mereka yang mereka dapatkan dan tertanam pada saat adanya ‘pengkaderan’ yang dilakukan oleh sebagian—tidak semua demikian—senior mereka. Dengan adanya hal tersebut membuat setiap mahasiswa itu memiliki mind set bahwa ketidaksendirian mereka di kampus dengan bantuan semangat persaudaraan tadi untuk bertindak berani dan keras ketika dihadapkan dengan berbagai masalah yang sebenarnya hanya bermula dari masalah kecil (sepele).

Tidaklah mengherankan, berbagai hal di atas memicu beragam reaksi sinis terhadap gerakan mahasiswa kekinian, terjadinya disorientasi pada gerakan mahasiswa itu sendiri adalah salah satu contohnya. Padahal, mahahasiwa yang menjadi bagian masyarakat adalah golongan pendidikan tertinggi dan punya andil yang sangat luas. Adalah hal yang cukup menggelikan ketika makna dari mahasiswa itu sendiri tercoreng dan terinjak-injak oleh karena perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh mereka sendiri.

(13)

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan penjabaran latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana bentuk solidaritas yang terjalin di antara mahasiswa yang menjadi pemicu terjadinya tawuran antar mahasiswa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berikut merupakan hal-hal apa yang menjadi tujuan dari penelitian ini.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang solidaritas yang terjalin di antara mahasiswa yang terlibat tawuran, sehingga nantinya dapat diketahui bagaimana resolusi konflik yang diinginkan dibentuk.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan teori-teori sosiologis khususnya mengenai Sosiologi Konflik.

(14)

2. Manfaat Praktis

a. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan serta mengasah kemampuan penulis (peneliti) dalam membuat suatu karya ilmiah dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian-penelitian yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini dan juga sebagai bahan evaluasi mengenai fenomena tawuran antar fakultas yang memiliki intensitas yang cukup sering terjadi belakangan ini. b. Penelitian ini—semoga—dapat berguna bagi semua kalangan yang terkait dengan

permasalahan tawuran antar mahasiswa (orang tua, kalangan pendidik, serta khususnya bagi kalangan mahasiswa itu sendiri) agar lebih dapat memahami konteks permasalahan dan agar menjadi bahan pertimbangan bagi kalangan yang ingin melakukan tindakan preventif serta mengintervensi pencegahan terjadinya tawuran antarmahasiswa.

1.5 Definisi Konsep

Di dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah maupun untuk memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi abstrak mengenai gejala atau suatu realita (Moleong, 2006: 67). Di samping mempermudah dan memfokuskan penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti dalam menindaklanjuti kasus tersebut serta menghindari timbulnya suatu bias akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian.

Adapun beberapa yang menjadi konsep penting dalam penelitian ini adalah:

(15)

b. Konflik merupakan suatu bentuk dari percekcokan, perselisihan ataupun pertentangan yang terjadi di antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya hasrat untuk memperebutkan sesuatu ataupun meraih sesuatu yang dianggap menjadi hak ataupun kepentingan akan pihak-pihak yang terlibat tersebut. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

c. Kekerasan didefinisikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera ataupun matinya orang lain, atau yang menyebabkan kerusakan fisik ataupun barang orang lain.

d. Tawuran yang berasal dari kata dasar “tawur”, yang mana memiliki makna konotasi yang identik dengan perkelahian, pertentangan secara fisik di antara dua atau lebih kelompok atau dapat dikatakan secara beramai-ramai ataupun perkelahian yang terjadi secara massal.

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Fungsionalisme Struktural

Teori fungsi/fungsional yang berarti penggunaan sesuatu hal (dengan imbuhan -isme) faham mengenai penggunaan atas sesuatu hal, dan struktural berkenaan dengan struktur berarti susunan atau bangunan yang disusun dengan pola tertentu. Teori fungsionalisme pertama kali dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Talcott Parsons adalah seorang sosiolog yang lahir pada tahun 1902 di keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan intelek. Ayahnya adalah seorang kecil. Parsons mendapat gelar sarjana dari kuliah pasca sarjana di ke meski dia wafat lima tahun sebelum kedatangan Parsons, Weber tetap meninggalkan pengaruh mendalam terhadap kampus tersebut dan jandanya meneruskan pertemuan-pertemuan di rumahnya, yang juga diikuti oleh Parsons.

(17)

A. Konsep Pemikiran Teori Fungsionalisme Struktural

Teori Fungsionalisme Struktural dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Asumsi dasar dari bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

B. Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif

Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

Prinsip-prinsip

(18)

Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.

C. Analisis Fungsional Struktural dan Diferensiasi Struktural

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Talcott Parsons menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.

(19)

menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.

D. Relevansi Fenomena Tawuran Antar

Mahasiswa

Berangkat dari asumsi dasar bahwa mahasiswa/pelajar sebagai masyarakat yang terintegrasi atas dasar kesepakatan, akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga para mahasiswa tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian para mahasiswa merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

Ini menjelaskan bahwa ketika telah disepakati sebagai seorang peserta didik (mahasiswa) dengan berbagai hal yang terkait seperti mengenai hak dan kewajiban siswa sebagai kaum terdidik ialah merasa bersatu antara satu dengan yang lainnya, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Hendaknya dari sudut pandang teori ini mampu mencapai tujuan yakni menciptakan kultur persatuan dan kebersamaan, tidak malah saling menyerang, menyalahkan dan terjadi perpecahan.

(20)

diantara pelajar karena berdasarkan ide dan nilai (norma-norma) untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya tindakan terjadi dengan kondisi yang unsurnya sudah pasti. Tawuran sebagai tindakan pada suatu kondisi yang mungkin unsur-unsur yang terdapat diantara alat, tujuan, situasi, dan norma ada yang tidak benar (salah). Dalam kejadiannya individu mahasiswa tidak hanya dipengaruhi oleh unsur tersebut namun juga oleh orientasi subjektifnya masing-masing.

Teori fungsional struktural secara ideal menganggap organisasi biologis dan struktural sosial merupakan sebuah asumsi yang sama saling berhubungan dan saling ketergantungan serta terintegrasi berdasarkan, ide, nilai dan norma yang dipengaruhi oleh fungsi dan syarat dalam mencapai tujuan yang disepakati yaitu kesadaran dan kebersamaan dalam masyarakat. Terjadinya tawuran merupakan sebuah tindakan menyimpang karena individu maupun kelompok lupa atau tidak menyadari terhadap fungsi yang telah disepakatinya sebagai mahasiswa dalam mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Hal ini dapat dipengaruhi oleh unsur tindakan yang menyeleweng atau dari diri (orientasi subjektifnya) sendiri.

2.2 Kelompok Sosial

A. Pengertian Kelompok Sosial

(21)

Menurut Josep S Roucek dan Roland S Warren kelompok sosial adalah suatu kelompok yang meliputi dua atau lebih manusia, yang diantara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.

B. Proses Terbentuknya Kelompok Sosial

Menurut Abdul Syani, terbentuknya suatu kelompok sosial karena adanya naluri manusia yang selalu ingin hidup bersama. Manusia membutuhkan komunikasi dalam membentuk kelompok, karena melalui komunikasi orang dapat mengadakan ikatan dan pengaruh psikologis secara timbal balik. Ada dua hasrat pokok manusia sehingga ia terdorong untuk hidup berkelompok, yaitu:

-Hasrat untuk bersatu dengan manusia lain di sekitarnya -Hasrat untuk bersatu dengan situasi alam sekitarnya

C. Syarat Terbentuknya Kelompok Sosial

Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama dan saling berinteraksi. Untuk itu, setiap himpunan manusia agar dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Setiap anggota kelompok memiliki kesadaran bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.

2. Ada kesamaan faktor yang dimiliki anggota-anggota kelompok itu sehingga hubungan antara mereka bartambah erat.

Faktor-faktor kesamaan tersebut, antara lain : -Persamaan nasib

(22)

-Persamaan ideologi politik -Persamaan musuh

3. Kelompok sosial ini berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. Kelompok sosial ini bersistem dan berproses.

D. Macam-Macam Kelompok Sosial 1. Klasifikasi Tipe-tipe Kelompok Sosial

Menurut Soerjono Soekanto dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu: a. Berdasarkan besar kecilnya anggota kelompok

Menurut George Simmel, besar kecilnya jumlah anggota kelompok akan memengaruhi kelompok dan pola interaksi sosial dalam kelompok tersebut. Dalam penelitiannya, Simmel memulai dari satu orang sebagai perhatian hubungan sosial yang dinamakan monad. Kemudian monad dikembangkan menjadi dua orang atau diad, dan tiga orang atau triad, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Hasilnya semakin banyak jumlah anggota kelompoknya, pola interaksinya juga berbeda.

b. Berdasarkan derajat interaksi dalam kelompok

Derajat interaksi ini juga dapat dilihat pada beberapa kelompok sosial yang berbeda. Kelompok sosial seperti keluarga, rukun tetangga, masyarakat desa, akan mempunyai kelompok yang anggotanya saling mengenal dengan baik (face-to-face groupings). Hal ini berbeda dengan kelompok sosial seperti masyarakat kota, perusahaan, atau negara, di mana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan erat.

c. Berdasarkan kepentingan dan wilayah

(23)

(association) adalah sebuah kelompok sosial yang dibentuk untuk memenuhi kepentingan tertentu.

d. Berdasarkan kelangsungan kepentingan

Adanya kepentingan bersama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya sebuah kelompok sosial. Suatu kerumunan misalnya, merupakan kelompok yang keberadaannya hanya sebentar karena kepentingannya juga tidak berlangsung lama. Namun, sebuah asosiasi mempunyai kepentingan yang tetap.

e. Berdasarkan derajat organisasi

Kelompok sosial terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang terorganisasi dengan rapi seperti negara, TNI, perusahaan dan sebagainya. Namun, ada kelompok sosial yang hampir tidak terorganisasi dengan baik, seperti kerumunan.

Secara umum tipe-tipe kelompok sosial adalah sebagai berikut.

a. Kategori statistik, yaitu pengelompokan atas dasar ciri tertentu yang sama, misalnya kelompok umur.

b. Kategori sosial, yaitu kelompok individu yang sadar akan ciri-ciri yang dimiliki bersama, misalnya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia).

c. Kelompok sosial, misalnya keluarga batih (nuclear family)

d. Kelompok tidak teratur, yaitu perkumpulan orang-orang di suatu tempat pada waktu yang sama karena adanya pusat perhatian yang sama. Misalnya, orang yang sedang menonton sepak bola.

e. Organisasi Formal, yaitu kelompok yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditentukan terlebih dahulu, misalnya perusahaan.

2. Kelompok Sosial dipandang dari Sudut Individu

(24)

kelompok sosial sekaligus. Terbentuknya kelompok-kelompok sosial ini biasanya didasari oleh kekerabatan, usia, jenis kelamin, pekerjaan atau kedudukan. Keanggotaan masing-masing kelompok sosial tersebut akan memberikan kedudukan dan prestise tertentu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah sifat keanggotaan suatu kelompok tidak selalu bersifat sukarela, tapi ada juga yang sifatnya paksaan. Misalnya, selain sebagai anggota kelompok di tempatnya bekerja, Pak Tomo juga anggota masyarakat, anggota perkumpulan bulu tangkis, anggota Ikatan Advokat Indonesia, anggota keluarga, anggota Paguyuban masyarakat Jawa dan sebagainya.

3. In-Group dan Out-Group

Sebagai seorang individu, kita sering merasa bahwa aku termasuk dalam bagian kelompok keluargaku, margaku, profesiku, rasku, almamaterku, dan negaraku. Semua kelompok tersebut berakhiran dengan kepunyaan “ku”. Itulah yang dinamakan kelompok sendiri (in-group) karena aku termasuk di dalamnya. Banyak kelompok lain dimana aku tidak termasuk keluarga, ras, suku bangsa, pekerjaan, agama dan kelompok bermain. Semua itu merupakan kelompok luar (out group) karena aku berada di luarnya.

(25)

Pada masyarakat modern, setiap orang mempunyai banyak kelompok sehingga mungkin saja saling tumpang tindih dengan kelompok luarnya. Siswa lama selalu memperlakukan siswa baru sebagai kelompok luar, tetapi ketika berada di dalam gedung olahraga mereka pun bersatu untuk mendukung tim sekolah kesayangannya.

4. Kelompok Primer (Primary Group) dan Kelompok Sekunder (Secondary Group)

Menurut Charles Horton Cooley, kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama yang erat yang bersifat pribadi. Sebagai salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi adalah adanya peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok sehingga tujuan individu menjadi tujuan kelompok juga. Oleh karena itu hubungan sosial di dalam kelompok primer berisfat informal (tidak resmi), akrab, personal, dan total yang mencakup berbagai aspek pengalaman hidup seseorang.

Di dalam kelompok primer, seperti: keluarga, klan, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai. Para anggota kelompok saling tertarik satu sama lainnya sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan, dan kecemasan-kecemasan, berbagi pengalaman, mempergunjingkan gosip, dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban sebuah persahabatan.

Di sisi lain, kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok besar yang terdiri atas banyak orang, antara dengan siapa hubungannya tida perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng. Dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, impersonal dan segmental (terpisah), serta didasarkan pada manfaat (utilitarian). Seseorang tidak berhubungan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai seseorang yang berfungsi dalam menjalankan suatu peran. Kualitas pribadi tidak begitu penting, tetapi cara kerjanya.

(26)

Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies. Pengertian paguyuban adalah suatu bentuk kehidupan bersama, di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah, serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Bentuk paguyuban terutama akan dijumpai di dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dan sebagainya. Secara umum ciri-ciri paguyuban adalah:

- Intimate, yaitu hubungan yang bersifat menyeluruh dan mesra - Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi

- Exclusive, yaitu hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang lain di luar “kita”

Di dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban berikut :

a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Misalnya keluarga dan kelompok kekerabatan.

b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong. Misalnya kelompok arisan, rukun tetangga.

(27)

gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang bersifat timbal balik. Misalnya, ikatan perjanjian kerja, birokrasi dalam suatu kantor, perjanjian dagang, dan sebagainya.

6. Formal Group dan Informal Group

Menurut Soerjono Soekanto, formal group adalah kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antar sesamanya. Kriteria rumusan organisasi formal group merupakan keberadaan tata cara untuk memobilisasikan dan mengoordinasikan usaha-usaha demi tercapainya tujuan berdasarkan bagian-bagian organisasi yang bersifat khusus.

Organisasi biasanya ditegakkan pada landasan mekanisme administratif. Misalnya, sekolah terdiri atas beberapa bagian, seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid, bagian tata usaha dan lingkungan sekitarnya. Organisasi seperti itu dinamakan birokrasi. Menurut Max Weber, organisasi yang didirikan secara birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tugas organisasi didistribusikan dalam beberapa posisi yang merupakan tugas-tugas jabatan.

b. Posisi dalam organisasi terdiri atas hierarki struktur wewenang. c. Suatu sistem peraturan memengaruhi keputusan dan pelaksanaannya.

d. Unsur staf yang merupakan pejabat, bertugas memelihara organisasi dan khususnya keteraturan organisasi.

e. Para pejabat berharap agar hubungan atasan dengan bawahan dan pihak lain bersifat orientasi impersonal.

f. Penyelenggaraan kepegawaian didasarkan pada karier.

(28)

pertemuan-pertemuan yang berulang kali. Dasar pertemuan-pertemuan tersebut adalah kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama. Misalnya klik (clique), yaitu suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar. Klik tersebut ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan timbal balik antar anggota yang biasanya hanya “antara kita” saja.

7. Membership Group dan Reference Group

Mengutip pendapat Robert K Merton, bahwa membership group adalah suatu kelompok sosial, di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Batas-batas fisik yang dipakai untuk menentukan keanggotaan seseorang tidak dapat ditentukan secara mutlak. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan keadaan. Situasi yang tidak tetap akan memengaruhi derajat interaksi di dalam kelompok tadi sehingga adakalanya seorang anggota tidak begitu sering berkumpul dengan kelompok tersebut walaupun secara resmi dia belum keluar dari kelompok itu.

Reference group adalah kelompok sosial yang menjadi acuan seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Dengan kata lain, seseorang yang bukan anggota kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tadi. Misalnya, seseorang yang ingin sekali menjadi anggota TNI, tetapi gagal memenuhi persyaratan untuk memasuki lembaga pendidikan militer. Namun, ia bertingkah laku layaknya seorang perwira TNI meskipun dia bukan anggota TNI.

8. Kelompok Okupasional dan Volunteer

(29)

pembagian kerja yang didasarkan pada kekhususan atau spesialisasi. Warga masyarakat akan bekerja sesuai dengan bakatnya masing-masing. Setelah kelompok kekerabatan yang semakin pudar fungsinya, muncul kelompok okupasional yang merupakan kelompok terdiri atas orang-orang yang melakukan pekerjaan sejenis. Kelompok semacam ini sangat besar peranannya di dalam mengarahkan kepribadian seseorang terutama para anggotanya.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi, hampir tidak ada masyarakat yang tertutup dari dunia luar sehingga ruang jangkauan suatu masyarakatpun semakin luas. Meluasnya ruang jangkauan ini mengakibatkan semakin heterogennya masyarakat tersebut. Akhirnya tidak semua kepentingan individual warga masyarakat dapat dipenuhi.

Akibatnya dari tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan masyarakat secara keseluruhan, muncullah kelompok volunteer. Kelompok ini mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan sama, namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat yang semakin luas jangkauannya tadi. Dengan demikian, kelompok volunteer dapat memenuhi kepentingan-kepentingan anggotanya secara individual tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara luas.

Beberapa kepentingan itu antara lain:

-Kebutuhan akan sandang, pangan dan papan -Kebutuhan akan keselamatan jiwa dan harta benda -Kebutuhan akan harga diri

-Kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri -Kebutuhan akan kasih sayang

(30)

Kerumunan adalah sekelompok individu yang berkumpul secara kebetulan di suatu tempat pada waktu yang bersamaan. Ukuran utama adanya kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik. Sedikit banyaknya jumlah kerumunan adalah sejauh mata dapat melihat dan selama telingan dapat mendengarkannya. Kerumunan tersebut segera berakhir setelah orang-orangnya bubar. Oleh karena itu, kerumunan merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat sementara (temporer).

Secara garis besar Kingsley Davis membedakan bentuk kerumunan menjadi: a. Kerumunan yang berartikulasi dengan struktur sosial

Kerumunan ini dapat dibedakan menjadi:

1) Khalayak penonton atau pendengar formal (formal audiences), merupakan kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan tujuan yang sama. Misalnya, menonton film, mengikuti kampanye politik dan sebagainya.

2) Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group), yaitu kerumunan yang pusat perhatiannya tidak begitu penting, akan tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktivitas kerumunan tersebut.

b. Kerumunan yang bersifat sementara (Casual Crowd) Kerumunan ini dibedakan menjadi:

1) Kumpulan yang kurang menyenangkan (inconvenient aggregations). Misalnya, orang yang sedang antri tiket, orang-orang yang menunggu kereta.

2) Kumpulan orang-orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowds), yaitu orang-orang yang bersama-sama berusaha untuk menyelamatkan diri dari bahaya. Dorongan dalam diri individu-individu yang berkerumun tersebut mempunyai kecenderungan untuk mempertinggi rasa panik. Misalnya, ada kebakaran dan gempa bumi.

(31)

c. Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (Lawless Crowd) Kerumunan ini dibedakan menjadi:

1) Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs), yaitu kerumunan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Misalnya aksi demonstrasi dengan kekerasan.

2) Kerumunan yang bersifat immoral (immoral crowds), yaitu kerumunan yang hampir sama dengan kelompok ekspresif. Bedanya adalah bertentangan dengan norma-norma masyarakat. Misalnya, orang-orang yang mabuk.

2. Publik

Berbeda dengan kerumunan, publik lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi, seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, televisi, film, dan sebagainya. Alat penghubung semacam ini lebih memungkinkan suatu publik mempunyai pengikut-pengikut yang lebih luas dan lebih besar. Akan tetapi, karena jumlahnya yang sangat besar, tidak ada pusat perhatian yang tajam sehingga kesatuan juga tidak ada.

F. Masyarakat Setempat (Community)

Masyarakat setempat adalah suatu masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu. Faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar di antara anggota dibandingkan dengan interaksi penduduk di luar batas wilayahnya.

(32)

Beberapa unsur komunitas adalah: 1. Seperasaan

Unsur perasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut. Akibatnya, mereka dapat menyebutnya sebagai “kelompok kami” atau “perasaan kami”.

2. Sepenanggunan

Setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok.

3. Saling memerlukan

Individu yang bergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitas yang meliputi kebutuhan fisik maupun biologis.

Untuk mengklasifikasikan masyarakat setempat, dapat digunakan empat kriteria yang saling berhubungan, yaitu:

a. Jumlah penduduk

b. Luas, kekayaan, dan kepadatan penduduk

c. Fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh masyarakat d. Organisasi masyarakat yang bersangkutan

2.3 Perilaku menyimpang

A. Pengertian Perilaku Menyimpang

(33)

Ada beberapa definisi perilaku menyimpang menurut sosiologi, antara lain sebagai berikut: Pengertian Perilaku menyimpang menurut para ahli

1. James Vender Zender Perilaku menyimpang adalah perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh sejumlah besar orang.

2. Bruce J Cohen Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

3. Robert M.Z. LawangPerilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku tersebut.

B. Ciri-ciri Perilaku Menyimpang

Menurut Paul B. Horton penyimpangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya.

2. Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak.

3. Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.

4. Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan.

(34)

6. Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.

C. Sifat-sifat Penyimpangan

Penyimpangan sebenarnya tidak selalu berarti negatif, melainkan ada yang positif. Dengan demikian, penyimpangan sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.

1. Penyimpangan positif

Penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakukan menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh seorang ibu yang menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan keluarga.

2. Penyimpangan negatif

Penyimpangan negatif merupakan tindakan yang dipandang rendah, melanggar nilai-nilai sosial, dicela dan pelakunya tidak dapat ditolerir masyarakat. Contoh pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.

D. Jenis-jenis Perilaku Menyimpang

Menurut Lemert (1951) Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk yaitu penyimpangan primer dan sekunder.

1. Penyimpangan Primer

(35)

2. Penyimpangan Sekunder

Penyimpangan yang dilakukan secara terus menerus sehingga para pelakunya dikenal sebagai orang yang berperilaku menyimpang. Misalnya orang yang mabuk terus menerus. Contoh seorang yang sering melakukan pencurian, penodongan, pemerkosaan dan sebagainya.

Sedangkan menurut pelakunya, penyimpangan dibedakan menjadi penyimpangan individual dan penyimpangan kelompok.

1. Penyimpangan individual

Penyimpangan individual adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau individu tertentu terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh: seseorang yang sendirian melakukan pencurian.

2. Penyimpangan kelompok

Penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap norma-norma masyarakat. Contoh geng penjahat.

E. Sebab-sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang

1. Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna

Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

(36)

masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lain-lain.

2. Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang

Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat. Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai narkoba, geng penjahat, dan lain-lain. 3. Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang

Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman. Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.

F. Teori-Teori Penyimpangan

Penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat dapat dipelajari melalui berbagai teori, diantaranya sebagai berikut.

1. Teori Labeling

Menurut Edwin M. Lemert, seseorang menjadi orang yang menyimpang karena proses labelling berupa julukan, cap dan merk yang ditujukan oleh masyarakat ataupun lingkungan sosialnya. Mula-mula seseorang akan melakukan penyimpangan primer (primary deviation) yang mengakibatkan ia menganut gaya hidup menyimpang (deviant life style) yang menghasilkan karir menyimpang (deviant career).

(37)

Menurut Edwin H. Sutherland, agar terjadi penyimpangan seseorang harus mempelajari terlebih dahulu bagaimana caranya menjadi seorang yang menyimpang. Pengajaran ini terjadi akibat interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain yang berperilaku menyimpang.

3. Teori Anomi Robert K Merton

Robert K. Merton menganggap anomi disebabkan adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang diapakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton terdapat lima cara pencapaian tujuan budaya, yaitu:

a. Konformitas

Konformitas adalah sikap yang menerima tujuan budaya yang konvensional (biasa) dengan cara yang juga konvensional.

b. Inovasi

Inovasi adalah sikap seseorang menerima secara kritis cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan nlai-nilai budaya sambil menempuh cara baru yang belum biasa dilakukan.

c. Ritualisme

Ritualisme adalah sikap seseorang menerima cara-cara yang diperkenalkan sebagai bagian dari bentuk upacara (ritus) tertentu, namun menolak tujuan-tujuan kebudayaannya.

d. Retreatisme

Retreatisme adalah sikap seseorang menolak baik tujuan-tujuan maupaun cara-cara mencapai tujuan yang telah menajdi bagian kehidupan masyarakat ataupun lingkungan sosialnya.

(38)

Pemberontakan adalah sikap seseorang menolak sarana dan tujuan-tujuan yang disahkan oleh budaya masyarakatnya dan menggantikan dengan cara baru.

G. Bentuk-bentuk Perilaku Menyimpang 1. Penyalahgunaan Narkoba

Merupakan bentuk penyelewengan terhadap nilai, norma sosial dan agama. Dampak negatif yang ditimbulkan akan menyebabkan berkurangnya produktivitas seseorang selama pemakaian bahan-bahan tersebut bahkan dapat menyebabkan kematian.

Menurut Graham Baliane, ada beberapa penyebab seseorang remaja memakai narkoba, antara lain sebagai berikut:

1) Mencari dan menemukan arti hidup.

2) Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual.

3) Menunjukkan tindakan menentang otoritas orang tua, guru, dan norma-norma sosial.

4) Membuktikan keberanianya dalam melakukan tindakan berbahaya seperti kebut-kebutan dan berkelahi.

5) Melepaskan diri dari kesepian.

6) Sekedar iseng dan didorong rasa ingin tahu.

7) Mengikuti teman-teman untuk menunjukkan rasa solidaritas 8) Menghilangkan frustasi dan kegelisahan hidup.

9) Mengisi kekosongan, kesepian, dan kebosanan. 2. Penyimpangan seksual

(39)

1) Perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah.

2) Lesbian yaitu hubungan seksual yang dilakukan sesama wanita.

3) Homoseksual adalah hubungan seksual yang dilakukan sesama laki-laki.

4) Pedophilia adalah memuaskan kenginan seksual dengan menggunakan kontak seksual dengan anak-anak.

5) Gerontophilia adalah memuaskan keinginan seksual dengan orang tua seperti kakek dan nenek.

6) Kumpul kebo adalah hidup seperti suami istri tanpa nikah. 3. Alkoholisme

Alkohol disebut juga racun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Orang yang mengkonsumsinya akan kehilangan kemampuan mengendalikan diri, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Sehingga seringkali pemabuk melakukan keonaran, perkelahian, hingga pembunuhan.

4. Kenakalan Remaja

Gejala kenakalan remaja tampak dalam masa pubertas (14 – 18 tahun), karena pada masa ini jiwanya masih dalam keadan labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan yang negatif. Penyebab kenakalan remaja antara lain sebagai berikut. a. Lingkungan keluargayang tidak harmonis.

b. Situasi yang menjemukan dan membosankan.

c. Lingkungan masyarakat yang tidak menentu bagi prospek kehidupan masa mendatang, seperti lingkungan kumuh dan penuh kejahatan.

(40)

perkelahian biasa. Tawuran pelajar dapat digolongkan sebagai patologi (penyakit) karena sifatnya yang kompleks dengan penyebab dan akibat yang berbeda-beda.

2.4 Konflik Dan Kekerasan

A. Konflik

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa-sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Teori Konflik Lewis A. Coser Konflik dan Solidaritas

(41)

Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antar-individu, antar-kelompok dan antar-individu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.

Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok. Hal ini dapat kita lihat pada dua atau lebih kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran—dalam konteks ini tawuran mahasiswa antar-fakultas—bahwa pada satu kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran, secara sadar ataupun tidak sadar, diantara mereka telah terjalin solidaritas yang semakin erat dari sebelumnya dalam menghadapi ancaman dari kelompok mahasiswa lainnya yang merupakan lawan mereka dalam tawuran tersebut. Hal demikian juga terjadi pada kelompok mahasiswa yang kontra terhadap kelompok mahasiswa pertama tadi.

(42)

Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka akan semakin sulit untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian, karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, permusuhan yang terjadi mungkin akan sangat keras.

Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.

Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali. Dalam topik yang diusung penelitian ini jelas kita ketahui bahwa setiap kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran sangat solid dalam menghadapi kelompok mahasiswa lainnya, sehingga sering muncul istilah “fanatisme fakultas”.

(43)

A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara 2 pihak yang berlawanan.

Secara umum, ada 3 macam bentuk pengendalian konflik:

Konsiliasi, pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak bertikai.

Mediasi, pengendalian yang dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator.

Arbitrasi, pengendalian yang dilakukan apabila kedua-belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima/terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Desember 2011)

B. Kekerasan

(44)

jatuh. Di sisi lain, kaum muda ini belum memiliki pegangan moral yang kuat untuk menyaring informasi dan mengolah kebebasan itu. Karenanya, berbagai informasi dan pemenuhan kebutuhan yang negatif dengan mudah meracuni mereka.

Budaya kekerasan yang diexpose oleh berbagai media dengan mudah berakar dalam diri mereka. Inilah titik tolak munculnya benih-benih budaya kekerasan yang akan mereka wujudkan dalam tawuran, misalnya. Jika keseluruhan analisis di atas dirangkum, semuanya mengarah pada jiwa-jiwa yang gelisah. Gelisah karena perubahan psikologis yang belum pernah dialami sebelumnya; membingungkan sekaligus menegangkan. Gelisah karena menyadari faktor-faktor sosiologis yang kini amat terasa dalam kehidupannya.

Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Dan contoh lainnya seperti seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara kemping. Selain hal tersebut, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih mewarnai wajah pendidikan kita.Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini.

(45)

atau yang menyebabkan kerusakan fisik ataupun barang orang lain. Menurut N.J. Smelser, ada 5 (lima) tahap kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis dan tidak dapat terjadi 1 atau 2 tahap saja. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.

2. Tekanan sosial, yaitu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.

3. Berkembangnya suatu perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu terjadinya kekerasan.

4. Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.

5. Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti misalnya aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat dan mengakhiri kekerasan.

Berikut ini merupakan tiga teori tentang kekerasan yang telah dikenal secara luas. 1.) Teori Faktor Individual

Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok,termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya dan faktor media massa.

(46)

Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan. 3.) Teori Dinamika Kelompok

Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya.

Adapun yang menjadi 3 (tiga) syarat agar konflik tidak berakhir dengan kekerasan:

1. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.

2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas. 3. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan main

(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006: 3). Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati.

Metode kualitatif digunakan dengan tiga pertimbangan. Pertama, menggunakan metode kualitatif lebih mudah digunakan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; dan Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2006: 5).

(48)

melakukan representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang di selidiki (Nawawi, 1992:39).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), Jl. Dr Mansyur No. 9. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini untuk penelitian karena lingkungan Universitas Sumatera Utara merupakan tempat berkumpul maupun tempat di mana mahasiswa sebagai informan baik itu yang merupakan informan utama maupun informan biasa dapat ditemui dalam melakukan aktifitas mereka pada proses perkuliahannya sehari-hari.

3.3 Unit Analisa dan Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 1997: 132). Adapun yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah:

Pada penelitian ini peneliti menggunakan informan sebagai sumber data penelitian, tidak menggunakan populasi dan sampel karena bentuk penelitiannya merupakan deskriptif dengan analisa kualitatif sehingga untuk memperoleh data yang dibutuhkan secara jelas, mendetail, akurat dan terpercaya hanya bisa diperoleh melalui informan.

(49)

Dengan demikian, penulis menetapkan pihak-pihak yang menjadi informan utama, informan biasa pada penelitian ini secara sengaja, yakni dengan perincian

sebagai berikut:

a. Informan Utama

Yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang pernah melihat (menyaksikan) secara langsung suatu tawuran mahasiswa antar fakultas ataupun yang terlibat secara langsung dalam kasus tawuran mahasiswa antar fakultas yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU).

b. Informan Biasa

Sedangkan yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah mahasiswa/i USU yang akan dimintai pendapatnya dan pandangannya tentang berbagai kasus tawuran mahasiswa antar fakultas di berbagai perguruan tinggi di Indonesia umumnya dan di Universitas Sumatera Utara khususnya yang makin sering terjadi akhir-akhir ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:

a. Observasi

(50)

maupun di dalam keluarga, meliputi: cara berbicara atau berinteraksi dan pola hidup sehari-hari yang tampak di lapangan, seperti makan, minum, sistem kerja dan sebagainya.

b. Wawancara sistematik

Wawancara sistematik (Bungin, 2001: 134) adalah wawancara yang dilakukan dengan terlebih dahulu pewawancara mempersiapkan pedoman (guide) tertulis tentang apa yang hendak ditanyakan kepada informan. Pedoman wawancara tersebut digunakan oleh pewawancara sebagai alur yang harus diikuti, mulai dari awal sampai akhir wawancara, karena biasanya pedoman tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga merupakan sederetan daftar pertanyaan, dimulai dari hal-hal yang mudah dijawab oleh informan sampai dengan hal-hal yang lebih kompleks. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan, peneliti juga menggunakan wawancara mendalam (depth interview).

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Metode dokumentasi yang diterapkan ialah dengan cara mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur dan tulisan tersebar lain yang berhubungan dengan berbagai tawuran antar fakultas di berbagai Universitas ataupun Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia.

3.5. Interpretasi Data

(51)

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas dan relevansi dengan masalah yang diteliti. Setiap data yang diperoleh, direkam dalam catatan lapangan, baik itu data utama hasil wawancara maupun data penunjang lainnya. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan interpretasi data yang mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data secara keseluruhan. Dari berbagai data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya akan dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian ini.

(52)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Serta Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara

Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.

Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro dan sekretaris Mr. Djaidin Purba.

Sebagai hasil kerjasama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengandua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita.

(53)

Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia.

Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960) di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.

Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2006), dan Fakultas Psikologi (2007), serta Fakultas Keperawatan (2009).

Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).

Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999) yang semula adalah Politeknik USU.

Gambar

Gambar 1 Suasana pada saat terjadinya tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik
Gambar 3 Pembubaran mahasiswa yang terlibat tawuran oleh pihak Polresta Medan.

Referensi

Dokumen terkait

Boleh dikatakan mahasiswa menggunakan leksikal dan struktur yang salah atau menyimpang dari kaidah bahasa asli ketika menyampaikan mesej (pesan) dalam bahasa

Hambatan yang dialami oleh HMCH yang menjadi permasalahan utama dalam menumbuhkan sikap solidaritas antar mahasiswa; pertama, ketersediaan Sumber Daya Manusia

jadi orang luar ngga boleh minjem ....kalo orang dalem boleh...kebetulan temanku yang di psikologi UGM tu udah lulus....mungkin yang akan jadi masalah tu kalo

a) Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling mempengaruhi dan didasarkan

jadi orang luar ngga boleh minjem ....kalo orang dalem boleh...kebetulan temanku yang di psikologi UGM tu udah lulus....mungkin yang akan jadi masalah tu kalo

makna belanja online dalam pandangan mahasiswa sebagai suatu gaya hidup yang sedang populer di kalangan mereka dan untuk mengetahui faktor-faktor yang. melatarbelakangi

Mahasiswa psikologi yang memiliki derajat altruisme rendah akan menolong dengan motif yang mengarah kepada keuntungan pribadi (concern rendah); jarang melakukan

KOMPASIANA.com — Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin