• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Konflik dan Kekerasan

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa-sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Teori Konflik Lewis A. Coser Konflik dan Solidaritas

Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik pada awalnya. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel.

Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antar-individu, antar-kelompok dan antar-individu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.

Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok. Hal ini dapat kita lihat pada dua atau lebih kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran—dalam konteks ini tawuran mahasiswa antar-fakultas—bahwa pada satu kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran, secara sadar ataupun tidak sadar, diantara mereka telah terjalin solidaritas yang semakin erat dari sebelumnya dalam menghadapi ancaman dari kelompok mahasiswa lainnya yang merupakan lawan mereka dalam tawuran tersebut. Hal demikian juga terjadi pada kelompok mahasiswa yang kontra terhadap kelompok mahasiswa pertama tadi.

Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.

Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka akan semakin sulit untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian, karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, permusuhan yang terjadi mungkin akan sangat keras.

Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.

Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali. Dalam topik yang diusung penelitian ini jelas kita ketahui bahwa setiap kelompok mahasiswa yang terlibat tawuran sangat solid dalam menghadapi kelompok mahasiswa lainnya, sehingga sering muncul istilah “fanatisme fakultas”.

Pada umumnya, masyarakat memiliki sarana atau mekanisme untuk mengendalikan konflik di dalam tubuhnya. Beberapa ahli menyebutnya sebagai katup penyelamat (safety valve) yaitu suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik. Lewis

A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara 2 pihak yang berlawanan.

Secara umum, ada 3 macam bentuk pengendalian konflik:

Konsiliasi, pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak bertikai.

Mediasi, pengendalian yang dilakukan apabila kedua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator.

Arbitrasi, pengendalian yang dilakukan apabila kedua-belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima/terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik.

Desember 2011)

B. Kekerasan

Kaum muda jaman sekarang hidup di dalam masa globalisasi. Ada dua sifat menonjol dalam masa ini, yaitu keterbukaan dan kebebasan. IPTEK yang berkembang dengan begitu pesat membuat dunia yang tadinya tampak luas kini terasa sempit. Fenomena alam yang tadi dianggap magis kini terkuak dan bisa dijelaskan secara logis. Arus informasi dari yang ideal dan luhur hingga yang bejat dan porno dapat diakses oleh kaum muda dengan mudah. Kebebasan juga cenderung berlebihan sekarang. Puluhan media masa lahir, dari yang bermutu tinggi hingga yang hanya mengandalkan gambar wanita berpakaian minim. Jalan dialog damai ditinggalkan, jalan pintas yaitu demonstrasi terjadi di mana-mana. Dalam masa ini, batas-batas tertentu, kebebasan diperlukan, namun, ketika kebebasan diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, demokrasi menjadi anarkis, kedisiplinan diremehkan, nilai kebebasan

jatuh. Di sisi lain, kaum muda ini belum memiliki pegangan moral yang kuat untuk menyaring informasi dan mengolah kebebasan itu. Karenanya, berbagai informasi dan pemenuhan kebutuhan yang negatif dengan mudah meracuni mereka.

Budaya kekerasan yang diexpose oleh berbagai media dengan mudah berakar dalam diri mereka. Inilah titik tolak munculnya benih-benih budaya kekerasan yang akan mereka wujudkan dalam tawuran, misalnya. Jika keseluruhan analisis di atas dirangkum, semuanya mengarah pada jiwa-jiwa yang gelisah. Gelisah karena perubahan psikologis yang belum pernah dialami sebelumnya; membingungkan sekaligus menegangkan. Gelisah karena menyadari faktor-faktor sosiologis yang kini amat terasa dalam kehidupannya.

Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Dan contoh lainnya seperti seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara kemping. Selain hal tersebut, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih mewarnai wajah pendidikan kita.Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antar pelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera ataupun matinya orang lain,

atau yang menyebabkan kerusakan fisik ataupun barang orang lain. Menurut N.J. Smelser, ada 5 (lima) tahap kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis dan tidak dapat terjadi 1 atau 2 tahap saja. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.

2. Tekanan sosial, yaitu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.

3. Berkembangnya suatu perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu terjadinya kekerasan.

4. Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.

5. Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti misalnya aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat dan mengakhiri kekerasan.

Berikut ini merupakan tiga teori tentang kekerasan yang telah dikenal secara luas. 1.) Teori Faktor Individual

Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok,termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya dan faktor media massa.

Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan. 3.) Teori Dinamika Kelompok

Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya.

Adapun yang menjadi 3 (tiga) syarat agar konflik tidak berakhir dengan kekerasan:

1. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.

2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin bisa dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisasi dengan jelas. 3. Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan main

Dokumen terkait