• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus T1 752013032 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sikap GKI TP Klasis Balim Yalimo kepada Jemaat Beithel Polimo Kurima tentang Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Khusus T1 752013032 BAB IV"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

SIKAP KLASIS BALIM YALIMO TERHADAP JEMAAT BAITHEL

POLIMO DI KURIMA DALAM ERA OTONOMI KHUSUS

4.1

Pendahuluan

Setelah penulis memaparkan realitas sikap yang diambil oleh GKI TP khususnya Klasis

Balim Yalimo dalam upaya pemberdayaan jemaat GKI TP Beithel Polimo yang merupakan

jemaat Induk di Rayon Kurima dalam era Otonomisasi (Bab III), maka pada bagian ini

penulis akan melihat sejauh mana relavansi dalam upaya-upaya yang dilakukan oleh Gereja

dalam sikap sosial memberdayakan jemaat Beithel Polimo dengan konsep pemberdayaan

oleh para ahli (Bab II). Pada sub-sub yang akan dibahas berikutnya, sikap gereja kepada

jemaat secara sosial akan dicermati dalam wadah pendidikan kepada jemaat. Dengan

mencermati sikap pemberdayaan kiranya dapat mengarahkan penulis dalam upaya mencapai

tujuan dari penelitian ini.

4.2

Misi GKI TP Dalam Pemberdayaan Jemaat

Pemberdayaan masyarakat seperti yang dijelaskan dalam bab dua mengandung makna

mengembangkan, memandirikan, menswadayakan masyarakat lapis bawah atau masyarakat

miskin sehingga dapat membawa perubahan hidup dalam mencapai kesejahteraan dan

pengetahuan melalui pendidikan. Pemahaman pemberdayaan ini juga dipahami oleh GKI- TP

dan di tetapkan menjadi prinsip utama dalam misi pelayanannya. Perlu dilihat bahwa dalam

misi gereja terkandung dua hal penting sebagai bagian dari struktur dasar dari pelayanan

(2)

sesama manusia dan Presbiterial Sinodal yang merupakan tata pemerintahan gereja. Artinya

bahwa GKI-TP sebagai lembaga keagamaan yang memiliki tata pemerintahan yang jelas

mulai dari tingkat sinode, klasis, hingga jemaat saling berhubungan dalam pelayanan yang

bersifat koinonia demi mewujudkan fungsi sosial gereja.

Dalam upaya memberdayakan jemaat TP seperti yang dipahami dalam misi

GKI-TP, maka gereja sadar bahwa sudah menjadi bagian dari tugas pelayanan yang harus

dilakukan untuk mewujudkan suasana kerajaan Allah yang mencakup seluruh aspek

kehidupannya, selain aspek rohani, maka aspek jasmani juga menjadi penting dalam

pelayanan memberdayakan masyarakat yang nota-benenya warga gereja. Misi gerejawi ini

telah diwujudkan di awal perkembangan kekristenan melalui para Misionari asing melalui

GKI-TP yang mana pemberdayaan dalam aspek rohani dan jasmani diperhatikan secara

menyeluruh (comprehensive).1 Wakil ketua sinode GKI-TP mengatakan bahwa:

Kekristenan melalui misionaris seperti S. Zollner dan penginjil-penginjil lainnya datang ke Papua dengan penuh pengorbanan, mereka masuk hutan, menebang pohon dan membuat peta untuk mencari manusianya. Mereka lebih meninggikan martabat masyarakat Papua termasuk masyarakat Dani yang berada di Kurima.2

Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan gereja lebih mengandung proses

melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah untuk mencegah terjadinya

persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi yang lemah. Upaya yang dilakukan oleh para

penginjil dan misionaris dalam mewujudkan misi gereja ini merupakan kesadaran utama

gereja dalam mempersiapkan jemaat atau menswadayakan jemaat agar mampu bersaing

dengan pengaruh masyarakat luar.

Keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan sosial terletak pada proses

pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sikap

pemberdayaan tidak hanya sampai pada konsep misi secara tertulis, namun lebih pada

1 Ismael Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil di Balim Yalimu (Papua: Tabura, 2006), 30 2 Wawancara Bersama Pdt.Yemima. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI TP. Salatiga, 21 September

(3)

tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat sehingga berperan secara maksimal dalam

suatu program pembedayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan sosial.

Dalam memahami misi pelayanan gereja yang harus diwujudnyatakan bagi masyarakat

Papua, maka gereja merasa pentingnya dukungan dari lembaga-lembaga keagamaan luar

negeri seperti Jerman dan Belanda. Atas dukungan kerjasama tersebut, GKI-TP merasa

memperoleh daya dalam menjalankan fungsi sosialnya yang mengarah pada misi

pemberdayaan masyarakat Kurima. Upaya-upaya pemberdayaan itu diberikan melalui

pendidikan formal, informal dan non formal bahkan pelayanan kesehatan. Gereja selalu

melibatkan masyarakat secara langsung sebagai subyek dalam setiap pelayanan gereja

sehingga dahulu secara sukarela jemaat mampu bekerja mandiri untuk menjadi guru injil,

mantri, tukang bangunan, dan terampil dalam bidang lainnya.

Sebuah fakta bahwa GKI TP sejak awal Pekabaran Injil pada Tahun 1855 dan

berdirinya pada tahun 1956 hingga di Era otonomi Khusus telah mengalami perkembangan

dan perubahan dari masa ke masa. Dalam era Otonomi Khusus fungsi sosial gereja seperti

yang terkandung dalam misi gereja khususnya bagi pelayanan masyarakat di Kurima

mengalami pergeseran peran sehingga fungsi gereja hanya bersifat marjinal, dimana

pelayanan gereja hanya berjalan pada aktifitas ritual keagamaan, sedangkan misi

pemberdayaan yang bersifat kemanusiaan (Humanity) tidak berjalan. Sebagai bukti bahwa

kurangnya pemahaman jemaat dan para pelayanan gereja dalam mengolah administrasi

jemaat, serta kurangnya kreaktifitas jemaat dalam menghadapi persaingan dalam dunia kerja.

4.3

Sikap Klasis Balim Yalimo Dalam Pemberdayaan Jemaat Beithel

Polimo di Era Otonomi Khusus

Undang-Undang Otsus (Otonomi Khusus) yang mengatur jalannya Otsus di Papua

(4)

pemberdayaan masyarakat. Namun dalam temuan penulis, pemerintah daerah sebagai

pelaksana Undang-Undang Otsus belum konsisten dalam menjalankan isi UU Otsus terutama

yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberian Otonomi Khusus bagi

masyarakat Papua yang dianggap sebagai win-win solution (solusi menang-menang) dalam

mengatasi persoalan permintaan Merdeka dan memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Papua dalam realisasinya belum menunjukan hasil yang signifikan bagi

pengembangan SDM masyarakat Papua sehingga masyarakat belum mampu untuk bersaing.

Pelaksanaan otsus yang tidak konsisten juga berpengaruh pada fungsi sosial gereja di bidang

kemanusiaan yang tidak lagi nampak pada masyarakat Kurima karena bagi gereja dana

keagamaan yang di berikan belum dapat membantu pelayanan GKI TP yang semakin luas

seturut perubahan era. Dalam keterbatasan itu maka pertumbuhan masyarakat di anggap

menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya.

Dalam mempersiapkan SDM masyarakat terutama di Era Otsus, pemerintah telah

mengucurkan dana melalui berbagai program dengan tujuan mensejahterakan masyarakat

Kurima. Namun dalam temuan, SDM masyarakat yang merupakan jemaat Beithel Polimo

belum terpenuhi. Tingkat pendidikan yang dimiliki jemaat masih minim dalam mencapai

jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Sarjana), Pendapatan ekonomi jemaat masih sangat

minim, pemahaman jemaat masih kurang dalam mengelola bidang pertanian dan peternakan,

rumah tinggal yang masih menggunakan papan dan juga rumput sebagai alas mengakibatkan

masyarakat sering terkena penyakit.

Dalam menyikapi kondisi sosial masyarakat seperti ini, maka di sinilah gereja merasa

penting untuk melakukan pengawalan terhadap proses berjalannya otonomi khusus bagi

masyarakat. Seturut dengan pandangan Peter Drucker di dalam Weinata Seirin bahwa gereja

seharusnya dapat berfungsi menjebatani kesenjangan hidup dalam masyarakat.3 Karena

(5)

gereja merupakan hasil dari kelompok manusia di tengah-tengah masyarakat yang

terorganisir kemudian bertumbuh dan berkembang dalam gereja. Maka Fungsi gereja selain

bersifat internal tetapi juga haruslah dapat bersifat eksternal. Seperti juga yang dijelaskan

oleh J.D. Engel bahwa dalam fungsi internalnya gereja bertanggung jawab terhadap

pertumbuhan iman dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja, namun gereja juga dapat

menjalankan fungsi externalnya dengan bertanggung jawab pada kehidupan sosial

masyarakat.4 Karena bagi Engel, gereja merupakan institusi sosial yang hidup, berkembang dan melaksanakan tugas panggilannya di tengah-tengah masyarakat sehingga bukan hanya

pertumbuhan jemaat saja yang menjadi perhatian, namun pertumbuhan hidup dalam

masyarakat juga harus menjadi perhatian khusus gereja.

Pengertian Engel tersebut nampaknya belum sejalan dengan fungsi gereja yang

ditemukan dalam periode otonomisasi ini. Klasis dan gereja Baithel Polimo dalam fungsinya

masih hanya bergerak dalam memenuhi kebutuhan perkembangan pembangunan fisik gereja

sedangkan dalam konteks masyarakatnya belum menjadi perhatian Klasis ataupun gereja.

Gereja harus bertangung jawab bukan hanya pada pertumbuhan kerohanian jemaat saja

namun atas pertumbuhan masyarakat Kurima juga seperti yang dimaksudkan J.D. Engel

dengan memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk mempelajari dan melakukan peran

sosial tertentu yang kemudian peran itu dikaitkan dengan peran dalam sistem kerja itu sendiri

sehingga kehidupan masyarakatnya dapat mandiri.

Selain mengawali berjalannya otonomi khusus yang dilakukan pemerintah, Gereja

sebagai sebuah “lembaga sektor ketiga” dalam masyarakat Kurima seperti yang dimaksudkan

juga oleh Peter Drucker yang diikuti Weinata Seirin, maka gereja perlu melakukan upaya

perlindungan bagi warga gereja Baithel Polimo termasuk juga masyarakat, dengan tujuan

mewujudkan keadilan dalam mengatasi kesenjangan sosial bagi masyarakat lemah yang

(6)

belum mampu untuk mandiri. Upaya yang relevan dengan pemahaman ini ialah gereja

melakukan dialog dan mengkritisi tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan UU

Otsus. Sikap ini dilakukan kerena gereja melihat dan merasakan bahwa pemerintah belum

menghasilkan masyarakat yang mandiri dan siap untuk bersaing dengan masyarakat luar

secara signifikan. Terutama di era otsus ini telah terjadi pertambahan penduduk

(transmigrasi) besar-besaran dari luar Papua. Upaya seperti ini seturut dengan pengertian

yang dimaksudkan oleh Anwas bahwa dalam mencapai masyarakat yang mandiri dan

memiliki daya maka harus ada upaya melindungi dan membela masyarakat miskin yang

harus dilakukan gereja untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang di

tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat tidak tereksploitasi. Karena jika masyarakat belum

dimandirikan dan diswadayakan terutama di era otonomi khusus maka masyarakat Kurima

akan menjadi tersingkir dalam dunia kerja bahkan tercipta pengangguran bagi masyarakat asli

Kurima.

Upaya pengawalan dan dialog yang dilakukan gereja bersama penguasa, dalam temuan

belum memperoleh hasil yang positif dengan membawa perubahan bagi warga gereja dan

juga masyarakat Kurima sehingga masih terjadi penyimpangan dan ketidak adilan dalam

persaingan kerja yang dialami oleh masyarakat asli Kurima. Indikator kegagalan berdialog

karena selalu berujung pada kecurigaan bahwa upaya itu merupakan bagian dari gerakan

separatis Papua Merdeka (Papua terlepas dari bingkai NKRI) yang diperjuangkan melalui

gereja. Menurut Socratez. S. Yoman, tuduhan terhadap keterlibatan gereja merupakan

kegiatan separatis adalah upaya sistematis pemerintah Indonesia untuk membungkam mulut

gereja5, supaya gereja tidak melakukan upaya-upaya perlawanan dengan memberitakan

kebenaran, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, martabat manusia, dan kesamaan

derajat. Anggapan-anggapan ini menjadi kelemahan bagi gereja untuk menempuh upaya

(7)

dialog dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang telah merusak moral hidup jemaat

Tuhan.

Upaya dialog dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan

ketidak adilan itu relevan dengan model pemberdayaan Daniel Schipani yaitu model

dialetika. Dimana model tersebut memperlihatkan refleksi kritis terhadap setiap struktur

masyarakat mulai dari sumber ketidakadilan dan moralitas masyarakat sebagai pendukung

pembangunan. Klasis menyadari bahwa untuk mencapai pembangunan dan pemberdayaan

masyarakat maka selain berdialog dengan pemerintah yang dianggap sebagai sumber yang

menciptakan ketidakadilan, dialog juga selalu dilakukan melalui pelayanan mimbar dengan

tujuan membuka kesadaran kritis jemaat atas kondisi ketidak adilan sekaligus membentuk

moralitas masyarakat Kurima. Seperti yang dikatakan Schipani bahwa pemikiran harus

menjadi inti pendorong bagi perubahan sosial dan perubahan pola pikir.6 Sehingga

masyarakat dapat bekerja keras menciptakan kemandirian untuk mencapai perubahan sosial.

Upaya membuka kesadaran kritis yang dimaksud ialah membentuk moralitas jemaat yang

sudah terpengaruh ke dalam sistim penguasa dan selalu hanya bergantung pada

bantuan-bantuan dana tanpa melalui proses pemberdayaan untuk mencapai kemandirian masyarakat.

Namun perlu disadari bahwa keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan

terletak pada proses pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini

berarti bahwa pemberdayaan tidak hanya sebatas dialog ataupun memberi kesadaran kritis

seperti yang dilakukan klasis hanya melalui pelayanan mimbar saja, namun lebih pada

tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat Kurima sehingga dapat berperan dalam

suatu program pemberdayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan. Dalam

pengertian mengoptimalkan keterlibatan masyarakat ini maka tidak relevan dengan apa yang

(8)

di lakukan oleh klasis dalam Era otonomisasi ini, di mana belum adanya program

pemberdayaan dari gereja untuk melibatkan masyarakat secara langsung.

Sepikiran dengan prinsip pemberdayaan itu maka bagi Anwas, pemberdayaan kepada

masyarakat menekankan pada proses dan bukan pada hasilnya (Output).7 Artinya bahwa tugas gereja di Kurima tidak hanya pada melakukan pelayanan mimbar atau dialog semata,

tetapi lebih dari pada itu, gereja harus menswadayakan masyarakat dan melibatkan

masyarakat melalui program peningkatan kapasitas kearah pemecahan masalah dan bukan

dalam bentuk pemberian solusi siap pakai.

Dalam era otonomi khusus, hal lain sebagai penyebab ketidak berdayaan pada

masyarakat Kurima karena gereja sebagai institusi sosial ditengah-tengah masyarakat belum

menjalankan fungsi sosialnya dalam melibatkan kaum buruh, petani, orang miskin dan lain

sebagainya yang berada pada masyarakat Kurima untuk melakukan proses peningkatan

kapasitas melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Sedangkan bagi Anwas untuk

meningkatkan pemberdayaan maka masyarakat yang perlu diberdayakan adalah orang-orang

tersebut. karena bagi Anwas, orang-orang itulah yang memiliki potensi atau daya yang dapat

dikembangkan. Karena belum adanya upaya seperti yang dimaksudkan Anwas ini maka hasil

yang ditemukan bahwa belum adanya umat Baithel Polimo yang terampil atau unggul di

bidang-bidang tertentu.

Dalam pemberdayaan juga tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan

kepada pihak yang lemah. Seperti yang ditambahkan oleh Anwas bahwa, Dalam

pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup,

kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu

hidup mandiri.8

(9)

Dalam memahami pemberdayaan sebagai proses pendidikan untuk meningkatkan

keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupan orang lain, maka

dahulu telah dilakukan oleh gereja sejak berdirinya GKI-TP di Papua (26 Oktober 1956) dan

bagi jemaat GKI-TP Baithel Polimo sejak penginjil pertama kali masuk di Kurima (1961).

Pemahaman tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh wakil ketua sinode GKI-TP, bahwa:

Injil masuk dengan upaya pemberdayaan dibidang pendidikan sehingga membawa perubahan bagi masyarakat (Umat Baithel Polimo) di Kurima. Hal itu dapat dilihat hasilnya dalam era ini, dimana anak-anak dari Kurima yang dahulu diberikan pendidikan melalui gereja, kini mereka dapat berkomunikasi dengan baik, berpakaian dengan rapi, dan memahami pola hidup yang sehat.9 Upaya pendidikan yang telah dilakukan oleh para penginjil ketika awal masuk di

Kurima, dalam temuan telah mengalami perubahan seturut dengan perubahan politisasi

pemerintahan Indonesia yang terjadi di papua. Perubahan itu telah diawali sejak Papua masuk

dalam bingkai NKRI melalui PEPERA 1969. Dahulu GKI-TP yang memiliki struktur dasar

Presbiterial-Sinodal dimana melalui sinode, klasis, hingga tingkat jemaat ini mampu

memberdayakan masyarakat dalam bidang pendidikan melalui sekolah-sekolah kristen.

Penggabungan Papua ke pangkuan pemerintahan NKRI ternyata tidak membawa hasil

positif di Papua, pemerintahan Indonesia justru menjadi sumber ketidakadilan bagi

masyarakat dan pemerintah sebagai lembaga yang melemahkan upaya-upaya gereja dalam

menjalankan misi yang bersifat pemberdayaan bagi masyarakat. Dengan meninjau pengaruh

kebijakan pemerintahan bagi perubahan pelayanan misi GKI-TP dalam mengembangkan

upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, maka penulis menemukan kebijakan pemerintah

yang masing-masing terdapat dalam periodesasi yang berbeda, seperti:

a. Pemutusan Bantuan Luar Negeri

Melalui SK Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 yang memutuskan dukungan luar

negeri termasuk dari Jerman dan Belanda dalam memberi bantuan keagamaan bagi GKI-TP

maka gereja tidak mampu lagi mengelola sekolah YPK (Yayasan Persekolahan Kristen)

(10)

dibeberapa tempat termasuk YPK di Kurima tidak lagi dikelola oleh gereja karena

keterbatasan dana untuk menyediakan prasarana pendidikan dan pembiayaan para pengajar.

Dengan keterbatasan tersebut maka pengelolaan dialihkan kepada pemerintah daerah.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengambilalihan pengelolaan sekolah memang

baik terutama dalam mewujudkan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dengan tujuan untuk

“mencerdaskan anak bangsa”. Namun kurikulum yang diberikan pemerintah Indonesia belum

mampu memberdayakan pendidikan masyarakat Papua secara utuh serta dapat

mengembangkan kreaktifitas anak dalam mengisi pembangunan secara berdaya guna seturut

dengan konteks kebutuhan sosial masyarakat Kurima. Hal ini disebabkan sistem pendidikan

pemerintah tentu saja berbeda dengan sistem Kurikulum Pendidikan yang diterapkan oleh

gereja karena dalam temuan penulis bahwa sistem kurikulum yang diberikan gereja lebih

mendukung masyarakat untuk memperoleh ilmu sekaligus membentuk moralitas masyarakat

dalam usaha peningkatan rasa kesadaran, kepedulian, kepemilikan, keterlibatan, dan

tanggung jawab masyarakat.

b. Periode Otonomisasi Daerah

Selain SK Kementrian Agama sebagai penyebab yang melemahkan pelayanan gereja,

ternyata era otonomi khusus juga berdampak bagi pengembangan pelayanan gereja. Dalam

era otonomi khusus, pemerintah RI telah memberikan kucuran dana kepada tiap desa yang

dinikmati oleh masyarakat bahkan bantuan keagamaan yang digunakan juga oleh gereja.

Bantuan dari pemerintah kepada masyarakat desa dan bantuan keagamaan kepada gereja

dilakukan sesuai dengan aturan yang telah dicantumkan dalam UU Otsus dimana ada upaya

untuk memberikan daya kepada gereja sebagai sebuah lembaga keagamaan untuk

(11)

Dalam temuan bahwa dana yang dikucurkan pemerintah di Era Otsus bagi masyarakat

nyatanya tidak hanya berdampak positif namun memiliki dampak negatif dalam

meningkatkan SDM masyarakat Kurima. Hal itu dikarenakan adanya dana namun tidak

tersedianya upaya pendampingan dan penyuluhan yang benar bagi penggunaan dana sehingga

upaya pembangunan masyarakat masih belum terlaksana. Hal lain ditemukan bahwa

sekalipun telah ada jemaat Baithel Polimo yang berpendidikan namun masih kesulitan dalam

memperoleh kerja sehingga menjadi pengangguran di kota. Hal ini dikarenakan kurangnya

kepercayaan, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat.

Dengan mengetahui kondisi jemaat di era Otsus maka seturut dengan peranan gereja

yang dijelaskan oleh Harun Hadiwijono bahwa gereja berada bukan demi kepentingan gereja

itu sendiri, melainkan untuk dunia ini maka GKI-TP melalui Klasis Balim-Yalimo merasa

terpanggil dalam meningkatkan pelayanan pendidikan bagi jemaat. Dalam upayanya yang

dilakukan klasis Balim-Yalimo namun dalam Era Otsus ini hanya sebatas meringankan

pembiayaan orang tua dengan menjawab proposal bantuan dana pendidikan yang masuk di

kantor klasis Balim Yalimo. Dalam Era ini, klasis Balim-Yalimo tidak lagi memiliki daya

untuk mengembangkan pelayanan pendidikan formal, pelayanan klinik kesehatan, dan

pelayanan lainnya yang dapat meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga gereja

menjadi bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah karena apabila hanya memanfaatkan

persembahan jemaat maka tidak dapat menunjang setiap pelayanan di Gereja Baithel Polimo

Kurima terutama dalam menciptakan jemaat yang mandiri dan berdaya guna.

Pada prinsipnya sesuai dengan Ideologi Pancasila bahwa Negara memang menganut

pola kemitraan dengan agama (Gereja-Gereja di Indonesia). Pemerintah juga dianggap

sebagai hamba Allah (Roma 13) sehingga pemerintah harus bermitra dalam dunia ini dengan

gereja. Kemitraan dan kerja sama Klasis GKI-TP Balim-Yalimo dengan pemerintah telah ada

(12)

dan perhatian pemerintah kepada gereja, sebaliknya gereja turut terlibat dalam politik praktis

untuk mempengaruhi masyarakat dalam memberikan suara ataupun dukungan dalam memilih

kepala pemerintahan setempat. Pengertian kemitraan inilah membuat Klasis merasa bahwa

pemerintah harus memberi perhatian secara berkelanjutan dalam mendukung setiap

pelayanan gereja yang terprogram demi pelayanan pembangunan masyarakat. Dalam temuan

bahwa kemitraan gereja dengan pemerintah di era otsus nampaknya justru melemahkan

gereja untuk melaksanakan tugas panggilan gereja sebagai mitra kerja Allah di dunia karena

gereja justru menjadi bergantung dimana urusan kemanusiaan menjadi bagian dari tanggung

jawab pemerintah sehingga gereja tidak lagi tidak mengembagkan tugas gereja sebagi

insititusi sosial sedangkan gereja harus menyadari bahwa upaya pemberdayaan dalam

membuka kesadaran kritis bagi jemaat masih dapat dilakukan oleh gereja.

Tugas panggilan gereja bagi John Titaley pertama bahwa tugas untuk memperhatikan

mereka yang tertindas, mereka yang kalah dan tertinggal dalam sistem yang manusia sendiri

ciptakan; dan kedua, gereja menjadi kritis terhadap sistem kemasyarakatan yang berlaku.10 Artinya bahwa meskipun dalam Undang-Undang telah mengatur hubungan antara gereja dan

pemerintah sebagai rekan kerja, namun gereja tidak boleh sama dengan dunia ini. Gereja

sebagi institusi sosial yang mandiri, harus terus berupaya menciptakan keadilan bagi

masyarakat dimana gereja tidak boleh berhenti untuk melakukan dialog dengan pemerintah

hanya karena gereja merasa membutuhkan bantuan moril dari pemerintah. Karena bagi

Weinata Seirin, lembaga gereja seharusnya menjadi salah satu pilar pemberdayaan

masyarakat yang terus melakukan dialog demi membangun wacana civil society. Maksudnya

agar supaya kuasa yang diberikan Allah kepada gereja itu dapat memberikan keadilan. Dan

tugas panggilan kedua seperti yang dikemukakan oleh John Titaley juga memiliki arti bahwa

gereja harus mampu memberi pendidikan kritis kepada masyarakat Kurima untuk menyadari

(13)

sistem kemasyarakatan yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.

Memberdayakan masyarakat adalah termasuk upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat

lapisan masyarakat terbawah yang tidak mampu untuk melepaskan dari perangkap

kemiskinan dan keterbelakangan. Berdasarkan pengalaman gereja VOC dan Indische Kerk

bahwa gereja yang tidak menjawab masalah-masalah masyarakatnya tidak dapat berkembang,

dan hanya menjadi lembaga ritual yang eksistensinya bersifat marjinal.

Dalam melakukan pemberdayaan, maka ada 3 hal yang harus diperhatikan oleh gereja

untuk mencapai tujuan dari pemberdayaan masyarakat.

1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membebaskan diri dari

kebodohan dan kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan dan kekerasan.

Dalam tujuan ini, di era otonomi khusus, gereja memahami bahwa masih banyak

masyarakat Kurima yang membutuhkan pendidikan hal tersebut juga dapat dilihat pada tabel

dua dalam bab tiga. Bagi gereja bahwa melalui pendidikan maka masyarakat Kurima dapat

dibebaskan dari kebodohan dan kemiskinan. Meskipun demikian, dalam temuan bahwa

gereja sudah tidak lagi memiliki daya dalam mengolah sekolah-sekolah YPK di Kurima

dalam memberikan pendidikan formal ataupun mengirim dan mendukung masyarakat untuk

melanjutkan sekolah di kota-kota besar sebagaimana dahulu telah dilakukan gereja. Di era

ini, upaya yang dilakukan gereja dalam menyadari pentingnya pendidikan bagi masyarakat

ialah melalui pelayanan mimbar, jemaat di berikan kesadaran kritis untuk sekolah guna

mencapai pendidikan yang membebaskan masyarakat dari kebodohan.

Upaya yang dilakukan oleh gereja dalam proses pendidikan di era ini relevan dengan

pengertian P. Freire yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan tindakan Political Act.11

Dimana bagi Freire bahwa pendidikan selalu memiliki hubungan yang erat dengan sosial,

maka pendidikan akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial. Upaya gereja

11 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses: Surat-surat menyurat Pedagogis dengan para pendidik Guinea-Bissau, Cet III (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2008),15.

(14)

menjadi sama dengan pemahaman P. Freire karena gereja sebagai modal sosial di

tengah-tengah masyarakat dalam upaya politis sanggup menggerakan dan mempengaruhi pola pikir

masyarakat Kurima untuk sekolah dan memperoleh pendidikan yang bersifat formal bahkan

pendidikan non formal. Meskipun demikian, Pendidikan formal tidak lagi dilakukan oleh

gereja, namun pendidikan non formal masih dapat dilakukan gereja atas kerja sama dengan

P3W dengan membebaskan perempuan dari melek huruf dan meningkatkan keterampilan

bagi perempuan di jemaat Beithel Polimo.

Upaya pendidikan non formal ini dalam temuan telah membantu perempuan pada

masyarakat Kurima yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal mampu untuk

membaca dan memperoleh keterampilan dalam mengolah makanan mentah ke makanan jadi

dan juga keterampilan lainnya. Meskipun demikian, hal yang menjadi kelemahan gereja ialah

belum terciptanya pendidikan kepada kaum laki-laki seperti upaya yang telah dilakukan

kepada kaum perempuan dalam meningkatkan kreaktiftas, dan melek huruf.

2. Membantu masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-sama agar

dapat memanfaatkan peluang pembangunan melalui berbagai program

pembangunan yang dirumuskan secara bersama-sama.

Dalam temuan bahwa program pembangunan belum dirumuskan bersama-sama dengan

jemaat Kurima sehingga ada keterlibatan langsung jemaat sebagai subyek dalam membangun

peluang pembangunan. Hal ini karena klasis masih mengacuh pada prinsip dasar GKI-TP

yang bersifat presbiterial sinodal (tata pemerintahan gereja) sebagai sebuah landasan yang

mengatur adanya hubungan kerjasama dari tingkat jemaat, klasis, dan sinode sehingga

membuat segala bentuk program yang ditentukan masih bersifat bottom up. Hasil dari

keputusan yang bersifat bottom up ini membuat jemaat selalu ditempatkan sebagai obyek

(15)

3. Secara bersama mengidentifikasi kebutuhan dan mendayagunakan prasarana

sosial dalam memecahkan masalah sosial.

Untuk mencapai tujuan ini, klasis baru sampai pada memberikan himbauan dalam

meningkatkan kearifan lokal jemaat seperti pengolaan pertanian dan peternakan dengan tetap

menggunakan prasarana tradisonal yang biasa digunakan oleh jemaat Beithel di Kurima, hal

ini dikarenakan klasis melihat bahwa kearifan lokal sebagai modal sosial yang dapat di

gunakan untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Kurima. Seperti

juga yang dimaksudkan oleh Nan Lin, bahwa, modal sosial berfokus pada sumber daya yang

tertanam dalam satu jaringan sosial dan bagaimana sumber daya tersebut dapat

menguntungkan setiap individu masyarakat.12 Sumber daya yang merupakan modal sosial

bagi masyarakat Kurima itu tersedia dalam bentuk jenis kelamin, agama, pendidikan dan

otoritas pekerjaan sehingga untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan

melalui pendidikan politis, gereja dapat mempengaruhi sumber daya dengan mendorong dan

membangkitkan kesadaran akan posisi yang dimiliki masyarakat dan menanamkan nilai-nilai

budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab.

Bagi Robert Putnam bahwa, bentuk modal sosial merupakan kepercayaan yang disebut

Hirscham sebagai “sumber moral” yaitu sumber pasokan yang akan meningkat jika di

gunakan dan menjadi habis jika tidak digunakan.13 Dalam pengertian ini, maka, ditemukan bahwa sumber moral yang di maksudkan sebagai modal sosial masyarakat Kurima belum di

gunakan sehingga proses pembangunan yang dapat menguntungkan individu masyarakat

belum terlaksana dalam berbagai bidang pembangunan.

Dalam memahami pemberdayaan yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dalam

segala bidang,14 maka di katakan oleh Pdt. Y. Krey selaku wakil ketua sinode GKI-TP bahwa gereja memahami pemberdayaan tidak hanya sebatas memberi pendidikan dan perlindungan

12 Nan Lin, Social Capital: …, 11-13

13 Robert Putnam, Making Democracy Work:..., 170.

(16)

kepada masyarakat.15 Pemberdayaan yang di pahami sejak injil melalui GKI-TP pertama kali masuk di Papua hingga penyebarannya ke seluruh wilayah di Papua termasuk di Kurima,

dilakukan dengan perhatian dasar pada kesehatan masyarakat mulai sejak anak dalam

kandungan, dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua dan gereja. Dalam proses pertumbuhan

anak itu maka pendidikan dan perlindungan juga diberikan. Maksudnya ialah, jika

masyarakat itu sehat, maka proses pemberdayaan dalam mencapai pendidikan dan

kesejahteraan dapat dilakukan. Anwas juga berpendapat bahwa sehat sangat penting bagi

semua manusia.16 Dengan badan sehat maka individu masyarakat dapat melakukan aktivitas. Dengan modal sehat, manusia bisa meraih berbagai keberhasilan dan kesuksesan.

Pembangunan di bidang kesehatan yang dilakukan oleh gereja ini relevan dengan pengertian

oleh Anwas.

Dengan pemahaman seperti ini, maka dahulu terdapat klinik kesehatan yang dibuka

gereja di Kurima. Pemahaman gereja dalam menjaga kesehatan jemaat nyatanya masih di

sadari oleh gereja masa kini dalam era otonomisasi, akan tetapi klinik yang dapat

mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh pengobatan sudah tidak lagi di

manfaatkan karena gereja tidak mampu dalam mengelola klinik kesehatan sehingga dialihkan

kepada pemerintah. Meskipun demikian, gereja masih tetap merasa terpanggil untuk

melayani kesehatan jemaat melalui pemberian imunisasi, karena bagi gereja bahwa kesehatan

masyarakat bukan hanya menjadi perhatian pemerintah saja. Upaya ini sesuai dengan

pendapat Anwas bahwa menciptakan masyarakat yang sehat, bukan tanggungjawab

pemerintah saja. Kesehatan merupakan tanggungjawab semua individu dan masyarakat. Oleh

karena itu, gereja harus terus memberikan kesadaran kepada setiap masyarakat Kurima untuk

mengubah kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.

(17)

Klasis Balim Yalimo melalui gereja mampu memahami secara baik persoalan yang

terjadi pada masyarakat sebagai akibat ketidak berkembangnya Sumber Daya Manusia bagi

masyarakat Kurima, karena, gereja merupakan institusi sosial yang berada di tengah

masyarakat sehingga melalui proses Observasidan penilaian gereja dapat mengetahui hal-hal

mendasar sebagai penghambat bagi perkembangan jemaat dalam bidang-bidang seperti

pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, dan lain lain berdasarkan misi GKI-TP yang

berfokus pada pembangunan di segala bidang. Hal ini seturut dengan model dialektis dari

Daniel S. Schipani, bahwa, observasi dipahami sebagai operasi dalam dunia nyata, dengan

fokus khusus pada kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Sedangkan penilaian

dimaksudkan sebagai bentuk interpretatif dari tahap pertama yang memiliki tujuan untuk

menetapkan orientasi pemberdayaan. Namun Proses pemberdayaan tidak terbatas pada proses

Observasi dan Penilaian tetapi dalam mencapai pemberdayaan masyarakat maka

membutuhkan proses tindakan (action) dan proses inilah yang belum dilakukan gereja dalam

era otsus untuk mengatasi persoalan sosial pada masyarakat Kurima, bagi klasis proses

tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai penguasa dan urusan gereja

hanya bersifat internal yang berhubungan dengan perkembangan bangunan fisik gereja dan

juga pertumbuhan kehidupan rohani jemaat.

Kelemahan gereja dalam melakukan tindakan (action) pemberdayaan bagi masyarakat

Kurima diakibatkan Klasis lebih cenderung menyerah dengan keadaan tertindas yang dialami

gereja sehingga berdampak pada keterbatasan dalam pelayanan masyarakat. Hal ini tentu

menjadi seturut dengan pengertian P. Freire yang mengatakan bahwa menyerah pada

penderitaan adalah sebuah bentuk penghancuran diri, maka harus ada perubahan yang

diyakini dan menggerakkan semangat dalam mencapai pemberdayaan masyarakat.17 Kenyataan yang di alami oleh klasis dan gereja dalam sikap pasrah terhadap keadaan ini,

17 Paulo Freire, Politik Pendidikan, kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta, Pustaka

(18)

menjadikan upaya pengembangan masyarakat yang mandiri dengan pemanfaatan modal

Referensi

Dokumen terkait

© Mahendra Adhi Nugroho, M.Sc, Accounting Program Study of Yogyakarta State University For internal use

29/PAN-JK/DINKES/VI/2011, maka dengan ini panitia melakukan Pengumuman Pemenang Lelang Jasa Konstruksi pada kegiatan pengadaan seperti tersebut diatas Tahun Anggaran

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gelombang infrasonik (8-12 Hz) terhadap viskositas darah mencit dapat dilakukan dengan melihat nilai signifikansi pada tabel, jika

← disentrifuge selama beberapa menit Larutan jernih. ← dipanaskan diatas penangas air

[r]

PROFIL DOSEN PENGUSUL NAIK JABATAN AKADEMIK KE GURU BESAR/ PROFESORA. PUBLIKASI DALAM

ḥ arīm, from Arabic, is an architectural term used to define a space utilised by women and the family of the house.. Haremlik, as a Turkish term, commonly referred