BAB IV
SIKAP KLASIS BALIM YALIMO TERHADAP JEMAAT BAITHEL
POLIMO DI KURIMA DALAM ERA OTONOMI KHUSUS
4.1
Pendahuluan
Setelah penulis memaparkan realitas sikap yang diambil oleh GKI TP khususnya Klasis
Balim Yalimo dalam upaya pemberdayaan jemaat GKI TP Beithel Polimo yang merupakan
jemaat Induk di Rayon Kurima dalam era Otonomisasi (Bab III), maka pada bagian ini
penulis akan melihat sejauh mana relavansi dalam upaya-upaya yang dilakukan oleh Gereja
dalam sikap sosial memberdayakan jemaat Beithel Polimo dengan konsep pemberdayaan
oleh para ahli (Bab II). Pada sub-sub yang akan dibahas berikutnya, sikap gereja kepada
jemaat secara sosial akan dicermati dalam wadah pendidikan kepada jemaat. Dengan
mencermati sikap pemberdayaan kiranya dapat mengarahkan penulis dalam upaya mencapai
tujuan dari penelitian ini.
4.2
Misi GKI TP Dalam Pemberdayaan Jemaat
Pemberdayaan masyarakat seperti yang dijelaskan dalam bab dua mengandung makna
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan masyarakat lapis bawah atau masyarakat
miskin sehingga dapat membawa perubahan hidup dalam mencapai kesejahteraan dan
pengetahuan melalui pendidikan. Pemahaman pemberdayaan ini juga dipahami oleh GKI- TP
dan di tetapkan menjadi prinsip utama dalam misi pelayanannya. Perlu dilihat bahwa dalam
misi gereja terkandung dua hal penting sebagai bagian dari struktur dasar dari pelayanan
sesama manusia dan Presbiterial Sinodal yang merupakan tata pemerintahan gereja. Artinya
bahwa GKI-TP sebagai lembaga keagamaan yang memiliki tata pemerintahan yang jelas
mulai dari tingkat sinode, klasis, hingga jemaat saling berhubungan dalam pelayanan yang
bersifat koinonia demi mewujudkan fungsi sosial gereja.
Dalam upaya memberdayakan jemaat TP seperti yang dipahami dalam misi
GKI-TP, maka gereja sadar bahwa sudah menjadi bagian dari tugas pelayanan yang harus
dilakukan untuk mewujudkan suasana kerajaan Allah yang mencakup seluruh aspek
kehidupannya, selain aspek rohani, maka aspek jasmani juga menjadi penting dalam
pelayanan memberdayakan masyarakat yang nota-benenya warga gereja. Misi gerejawi ini
telah diwujudkan di awal perkembangan kekristenan melalui para Misionari asing melalui
GKI-TP yang mana pemberdayaan dalam aspek rohani dan jasmani diperhatikan secara
menyeluruh (comprehensive).1 Wakil ketua sinode GKI-TP mengatakan bahwa:
Kekristenan melalui misionaris seperti S. Zollner dan penginjil-penginjil lainnya datang ke Papua dengan penuh pengorbanan, mereka masuk hutan, menebang pohon dan membuat peta untuk mencari manusianya. Mereka lebih meninggikan martabat masyarakat Papua termasuk masyarakat Dani yang berada di Kurima.2
Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan gereja lebih mengandung proses
melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah untuk mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi yang lemah. Upaya yang dilakukan oleh para
penginjil dan misionaris dalam mewujudkan misi gereja ini merupakan kesadaran utama
gereja dalam mempersiapkan jemaat atau menswadayakan jemaat agar mampu bersaing
dengan pengaruh masyarakat luar.
Keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan sosial terletak pada proses
pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sikap
pemberdayaan tidak hanya sampai pada konsep misi secara tertulis, namun lebih pada
1 Ismael Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil di Balim Yalimu (Papua: Tabura, 2006), 30 2 Wawancara Bersama Pdt.Yemima. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI TP. Salatiga, 21 September
tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat sehingga berperan secara maksimal dalam
suatu program pembedayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan sosial.
Dalam memahami misi pelayanan gereja yang harus diwujudnyatakan bagi masyarakat
Papua, maka gereja merasa pentingnya dukungan dari lembaga-lembaga keagamaan luar
negeri seperti Jerman dan Belanda. Atas dukungan kerjasama tersebut, GKI-TP merasa
memperoleh daya dalam menjalankan fungsi sosialnya yang mengarah pada misi
pemberdayaan masyarakat Kurima. Upaya-upaya pemberdayaan itu diberikan melalui
pendidikan formal, informal dan non formal bahkan pelayanan kesehatan. Gereja selalu
melibatkan masyarakat secara langsung sebagai subyek dalam setiap pelayanan gereja
sehingga dahulu secara sukarela jemaat mampu bekerja mandiri untuk menjadi guru injil,
mantri, tukang bangunan, dan terampil dalam bidang lainnya.
Sebuah fakta bahwa GKI TP sejak awal Pekabaran Injil pada Tahun 1855 dan
berdirinya pada tahun 1956 hingga di Era otonomi Khusus telah mengalami perkembangan
dan perubahan dari masa ke masa. Dalam era Otonomi Khusus fungsi sosial gereja seperti
yang terkandung dalam misi gereja khususnya bagi pelayanan masyarakat di Kurima
mengalami pergeseran peran sehingga fungsi gereja hanya bersifat marjinal, dimana
pelayanan gereja hanya berjalan pada aktifitas ritual keagamaan, sedangkan misi
pemberdayaan yang bersifat kemanusiaan (Humanity) tidak berjalan. Sebagai bukti bahwa
kurangnya pemahaman jemaat dan para pelayanan gereja dalam mengolah administrasi
jemaat, serta kurangnya kreaktifitas jemaat dalam menghadapi persaingan dalam dunia kerja.
4.3
Sikap Klasis Balim Yalimo Dalam Pemberdayaan Jemaat Beithel
Polimo di Era Otonomi Khusus
Undang-Undang Otsus (Otonomi Khusus) yang mengatur jalannya Otsus di Papua
pemberdayaan masyarakat. Namun dalam temuan penulis, pemerintah daerah sebagai
pelaksana Undang-Undang Otsus belum konsisten dalam menjalankan isi UU Otsus terutama
yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberian Otonomi Khusus bagi
masyarakat Papua yang dianggap sebagai win-win solution (solusi menang-menang) dalam
mengatasi persoalan permintaan Merdeka dan memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Papua dalam realisasinya belum menunjukan hasil yang signifikan bagi
pengembangan SDM masyarakat Papua sehingga masyarakat belum mampu untuk bersaing.
Pelaksanaan otsus yang tidak konsisten juga berpengaruh pada fungsi sosial gereja di bidang
kemanusiaan yang tidak lagi nampak pada masyarakat Kurima karena bagi gereja dana
keagamaan yang di berikan belum dapat membantu pelayanan GKI TP yang semakin luas
seturut perubahan era. Dalam keterbatasan itu maka pertumbuhan masyarakat di anggap
menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya.
Dalam mempersiapkan SDM masyarakat terutama di Era Otsus, pemerintah telah
mengucurkan dana melalui berbagai program dengan tujuan mensejahterakan masyarakat
Kurima. Namun dalam temuan, SDM masyarakat yang merupakan jemaat Beithel Polimo
belum terpenuhi. Tingkat pendidikan yang dimiliki jemaat masih minim dalam mencapai
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Sarjana), Pendapatan ekonomi jemaat masih sangat
minim, pemahaman jemaat masih kurang dalam mengelola bidang pertanian dan peternakan,
rumah tinggal yang masih menggunakan papan dan juga rumput sebagai alas mengakibatkan
masyarakat sering terkena penyakit.
Dalam menyikapi kondisi sosial masyarakat seperti ini, maka di sinilah gereja merasa
penting untuk melakukan pengawalan terhadap proses berjalannya otonomi khusus bagi
masyarakat. Seturut dengan pandangan Peter Drucker di dalam Weinata Seirin bahwa gereja
seharusnya dapat berfungsi menjebatani kesenjangan hidup dalam masyarakat.3 Karena
gereja merupakan hasil dari kelompok manusia di tengah-tengah masyarakat yang
terorganisir kemudian bertumbuh dan berkembang dalam gereja. Maka Fungsi gereja selain
bersifat internal tetapi juga haruslah dapat bersifat eksternal. Seperti juga yang dijelaskan
oleh J.D. Engel bahwa dalam fungsi internalnya gereja bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan iman dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja, namun gereja juga dapat
menjalankan fungsi externalnya dengan bertanggung jawab pada kehidupan sosial
masyarakat.4 Karena bagi Engel, gereja merupakan institusi sosial yang hidup, berkembang dan melaksanakan tugas panggilannya di tengah-tengah masyarakat sehingga bukan hanya
pertumbuhan jemaat saja yang menjadi perhatian, namun pertumbuhan hidup dalam
masyarakat juga harus menjadi perhatian khusus gereja.
Pengertian Engel tersebut nampaknya belum sejalan dengan fungsi gereja yang
ditemukan dalam periode otonomisasi ini. Klasis dan gereja Baithel Polimo dalam fungsinya
masih hanya bergerak dalam memenuhi kebutuhan perkembangan pembangunan fisik gereja
sedangkan dalam konteks masyarakatnya belum menjadi perhatian Klasis ataupun gereja.
Gereja harus bertangung jawab bukan hanya pada pertumbuhan kerohanian jemaat saja
namun atas pertumbuhan masyarakat Kurima juga seperti yang dimaksudkan J.D. Engel
dengan memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk mempelajari dan melakukan peran
sosial tertentu yang kemudian peran itu dikaitkan dengan peran dalam sistem kerja itu sendiri
sehingga kehidupan masyarakatnya dapat mandiri.
Selain mengawali berjalannya otonomi khusus yang dilakukan pemerintah, Gereja
sebagai sebuah “lembaga sektor ketiga” dalam masyarakat Kurima seperti yang dimaksudkan
juga oleh Peter Drucker yang diikuti Weinata Seirin, maka gereja perlu melakukan upaya
perlindungan bagi warga gereja Baithel Polimo termasuk juga masyarakat, dengan tujuan
mewujudkan keadilan dalam mengatasi kesenjangan sosial bagi masyarakat lemah yang
belum mampu untuk mandiri. Upaya yang relevan dengan pemahaman ini ialah gereja
melakukan dialog dan mengkritisi tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan UU
Otsus. Sikap ini dilakukan kerena gereja melihat dan merasakan bahwa pemerintah belum
menghasilkan masyarakat yang mandiri dan siap untuk bersaing dengan masyarakat luar
secara signifikan. Terutama di era otsus ini telah terjadi pertambahan penduduk
(transmigrasi) besar-besaran dari luar Papua. Upaya seperti ini seturut dengan pengertian
yang dimaksudkan oleh Anwas bahwa dalam mencapai masyarakat yang mandiri dan
memiliki daya maka harus ada upaya melindungi dan membela masyarakat miskin yang
harus dilakukan gereja untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang di
tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat tidak tereksploitasi. Karena jika masyarakat belum
dimandirikan dan diswadayakan terutama di era otonomi khusus maka masyarakat Kurima
akan menjadi tersingkir dalam dunia kerja bahkan tercipta pengangguran bagi masyarakat asli
Kurima.
Upaya pengawalan dan dialog yang dilakukan gereja bersama penguasa, dalam temuan
belum memperoleh hasil yang positif dengan membawa perubahan bagi warga gereja dan
juga masyarakat Kurima sehingga masih terjadi penyimpangan dan ketidak adilan dalam
persaingan kerja yang dialami oleh masyarakat asli Kurima. Indikator kegagalan berdialog
karena selalu berujung pada kecurigaan bahwa upaya itu merupakan bagian dari gerakan
separatis Papua Merdeka (Papua terlepas dari bingkai NKRI) yang diperjuangkan melalui
gereja. Menurut Socratez. S. Yoman, tuduhan terhadap keterlibatan gereja merupakan
kegiatan separatis adalah upaya sistematis pemerintah Indonesia untuk membungkam mulut
gereja5, supaya gereja tidak melakukan upaya-upaya perlawanan dengan memberitakan
kebenaran, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, martabat manusia, dan kesamaan
derajat. Anggapan-anggapan ini menjadi kelemahan bagi gereja untuk menempuh upaya
dialog dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang telah merusak moral hidup jemaat
Tuhan.
Upaya dialog dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan
ketidak adilan itu relevan dengan model pemberdayaan Daniel Schipani yaitu model
dialetika. Dimana model tersebut memperlihatkan refleksi kritis terhadap setiap struktur
masyarakat mulai dari sumber ketidakadilan dan moralitas masyarakat sebagai pendukung
pembangunan. Klasis menyadari bahwa untuk mencapai pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat maka selain berdialog dengan pemerintah yang dianggap sebagai sumber yang
menciptakan ketidakadilan, dialog juga selalu dilakukan melalui pelayanan mimbar dengan
tujuan membuka kesadaran kritis jemaat atas kondisi ketidak adilan sekaligus membentuk
moralitas masyarakat Kurima. Seperti yang dikatakan Schipani bahwa pemikiran harus
menjadi inti pendorong bagi perubahan sosial dan perubahan pola pikir.6 Sehingga
masyarakat dapat bekerja keras menciptakan kemandirian untuk mencapai perubahan sosial.
Upaya membuka kesadaran kritis yang dimaksud ialah membentuk moralitas jemaat yang
sudah terpengaruh ke dalam sistim penguasa dan selalu hanya bergantung pada
bantuan-bantuan dana tanpa melalui proses pemberdayaan untuk mencapai kemandirian masyarakat.
Namun perlu disadari bahwa keberhasilan suatu program dalam teori pemberdayaan
terletak pada proses pemberdayaan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
berarti bahwa pemberdayaan tidak hanya sebatas dialog ataupun memberi kesadaran kritis
seperti yang dilakukan klasis hanya melalui pelayanan mimbar saja, namun lebih pada
tindakan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat Kurima sehingga dapat berperan dalam
suatu program pemberdayaan yang menjadi prinsip utama dari teori pemberdayaan. Dalam
pengertian mengoptimalkan keterlibatan masyarakat ini maka tidak relevan dengan apa yang
di lakukan oleh klasis dalam Era otonomisasi ini, di mana belum adanya program
pemberdayaan dari gereja untuk melibatkan masyarakat secara langsung.
Sepikiran dengan prinsip pemberdayaan itu maka bagi Anwas, pemberdayaan kepada
masyarakat menekankan pada proses dan bukan pada hasilnya (Output).7 Artinya bahwa tugas gereja di Kurima tidak hanya pada melakukan pelayanan mimbar atau dialog semata,
tetapi lebih dari pada itu, gereja harus menswadayakan masyarakat dan melibatkan
masyarakat melalui program peningkatan kapasitas kearah pemecahan masalah dan bukan
dalam bentuk pemberian solusi siap pakai.
Dalam era otonomi khusus, hal lain sebagai penyebab ketidak berdayaan pada
masyarakat Kurima karena gereja sebagai institusi sosial ditengah-tengah masyarakat belum
menjalankan fungsi sosialnya dalam melibatkan kaum buruh, petani, orang miskin dan lain
sebagainya yang berada pada masyarakat Kurima untuk melakukan proses peningkatan
kapasitas melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Sedangkan bagi Anwas untuk
meningkatkan pemberdayaan maka masyarakat yang perlu diberdayakan adalah orang-orang
tersebut. karena bagi Anwas, orang-orang itulah yang memiliki potensi atau daya yang dapat
dikembangkan. Karena belum adanya upaya seperti yang dimaksudkan Anwas ini maka hasil
yang ditemukan bahwa belum adanya umat Baithel Polimo yang terampil atau unggul di
bidang-bidang tertentu.
Dalam pemberdayaan juga tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan
kepada pihak yang lemah. Seperti yang ditambahkan oleh Anwas bahwa, Dalam
pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup,
kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu
hidup mandiri.8
Dalam memahami pemberdayaan sebagai proses pendidikan untuk meningkatkan
keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupan orang lain, maka
dahulu telah dilakukan oleh gereja sejak berdirinya GKI-TP di Papua (26 Oktober 1956) dan
bagi jemaat GKI-TP Baithel Polimo sejak penginjil pertama kali masuk di Kurima (1961).
Pemahaman tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh wakil ketua sinode GKI-TP, bahwa:
Injil masuk dengan upaya pemberdayaan dibidang pendidikan sehingga membawa perubahan bagi masyarakat (Umat Baithel Polimo) di Kurima. Hal itu dapat dilihat hasilnya dalam era ini, dimana anak-anak dari Kurima yang dahulu diberikan pendidikan melalui gereja, kini mereka dapat berkomunikasi dengan baik, berpakaian dengan rapi, dan memahami pola hidup yang sehat.9 Upaya pendidikan yang telah dilakukan oleh para penginjil ketika awal masuk di
Kurima, dalam temuan telah mengalami perubahan seturut dengan perubahan politisasi
pemerintahan Indonesia yang terjadi di papua. Perubahan itu telah diawali sejak Papua masuk
dalam bingkai NKRI melalui PEPERA 1969. Dahulu GKI-TP yang memiliki struktur dasar
Presbiterial-Sinodal dimana melalui sinode, klasis, hingga tingkat jemaat ini mampu
memberdayakan masyarakat dalam bidang pendidikan melalui sekolah-sekolah kristen.
Penggabungan Papua ke pangkuan pemerintahan NKRI ternyata tidak membawa hasil
positif di Papua, pemerintahan Indonesia justru menjadi sumber ketidakadilan bagi
masyarakat dan pemerintah sebagai lembaga yang melemahkan upaya-upaya gereja dalam
menjalankan misi yang bersifat pemberdayaan bagi masyarakat. Dengan meninjau pengaruh
kebijakan pemerintahan bagi perubahan pelayanan misi GKI-TP dalam mengembangkan
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, maka penulis menemukan kebijakan pemerintah
yang masing-masing terdapat dalam periodesasi yang berbeda, seperti:
a. Pemutusan Bantuan Luar Negeri
Melalui SK Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 yang memutuskan dukungan luar
negeri termasuk dari Jerman dan Belanda dalam memberi bantuan keagamaan bagi GKI-TP
maka gereja tidak mampu lagi mengelola sekolah YPK (Yayasan Persekolahan Kristen)
dibeberapa tempat termasuk YPK di Kurima tidak lagi dikelola oleh gereja karena
keterbatasan dana untuk menyediakan prasarana pendidikan dan pembiayaan para pengajar.
Dengan keterbatasan tersebut maka pengelolaan dialihkan kepada pemerintah daerah.
Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengambilalihan pengelolaan sekolah memang
baik terutama dalam mewujudkan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dengan tujuan untuk
“mencerdaskan anak bangsa”. Namun kurikulum yang diberikan pemerintah Indonesia belum
mampu memberdayakan pendidikan masyarakat Papua secara utuh serta dapat
mengembangkan kreaktifitas anak dalam mengisi pembangunan secara berdaya guna seturut
dengan konteks kebutuhan sosial masyarakat Kurima. Hal ini disebabkan sistem pendidikan
pemerintah tentu saja berbeda dengan sistem Kurikulum Pendidikan yang diterapkan oleh
gereja karena dalam temuan penulis bahwa sistem kurikulum yang diberikan gereja lebih
mendukung masyarakat untuk memperoleh ilmu sekaligus membentuk moralitas masyarakat
dalam usaha peningkatan rasa kesadaran, kepedulian, kepemilikan, keterlibatan, dan
tanggung jawab masyarakat.
b. Periode Otonomisasi Daerah
Selain SK Kementrian Agama sebagai penyebab yang melemahkan pelayanan gereja,
ternyata era otonomi khusus juga berdampak bagi pengembangan pelayanan gereja. Dalam
era otonomi khusus, pemerintah RI telah memberikan kucuran dana kepada tiap desa yang
dinikmati oleh masyarakat bahkan bantuan keagamaan yang digunakan juga oleh gereja.
Bantuan dari pemerintah kepada masyarakat desa dan bantuan keagamaan kepada gereja
dilakukan sesuai dengan aturan yang telah dicantumkan dalam UU Otsus dimana ada upaya
untuk memberikan daya kepada gereja sebagai sebuah lembaga keagamaan untuk
Dalam temuan bahwa dana yang dikucurkan pemerintah di Era Otsus bagi masyarakat
nyatanya tidak hanya berdampak positif namun memiliki dampak negatif dalam
meningkatkan SDM masyarakat Kurima. Hal itu dikarenakan adanya dana namun tidak
tersedianya upaya pendampingan dan penyuluhan yang benar bagi penggunaan dana sehingga
upaya pembangunan masyarakat masih belum terlaksana. Hal lain ditemukan bahwa
sekalipun telah ada jemaat Baithel Polimo yang berpendidikan namun masih kesulitan dalam
memperoleh kerja sehingga menjadi pengangguran di kota. Hal ini dikarenakan kurangnya
kepercayaan, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat.
Dengan mengetahui kondisi jemaat di era Otsus maka seturut dengan peranan gereja
yang dijelaskan oleh Harun Hadiwijono bahwa gereja berada bukan demi kepentingan gereja
itu sendiri, melainkan untuk dunia ini maka GKI-TP melalui Klasis Balim-Yalimo merasa
terpanggil dalam meningkatkan pelayanan pendidikan bagi jemaat. Dalam upayanya yang
dilakukan klasis Balim-Yalimo namun dalam Era Otsus ini hanya sebatas meringankan
pembiayaan orang tua dengan menjawab proposal bantuan dana pendidikan yang masuk di
kantor klasis Balim Yalimo. Dalam Era ini, klasis Balim-Yalimo tidak lagi memiliki daya
untuk mengembangkan pelayanan pendidikan formal, pelayanan klinik kesehatan, dan
pelayanan lainnya yang dapat meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga gereja
menjadi bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah karena apabila hanya memanfaatkan
persembahan jemaat maka tidak dapat menunjang setiap pelayanan di Gereja Baithel Polimo
Kurima terutama dalam menciptakan jemaat yang mandiri dan berdaya guna.
Pada prinsipnya sesuai dengan Ideologi Pancasila bahwa Negara memang menganut
pola kemitraan dengan agama (Gereja-Gereja di Indonesia). Pemerintah juga dianggap
sebagai hamba Allah (Roma 13) sehingga pemerintah harus bermitra dalam dunia ini dengan
gereja. Kemitraan dan kerja sama Klasis GKI-TP Balim-Yalimo dengan pemerintah telah ada
dan perhatian pemerintah kepada gereja, sebaliknya gereja turut terlibat dalam politik praktis
untuk mempengaruhi masyarakat dalam memberikan suara ataupun dukungan dalam memilih
kepala pemerintahan setempat. Pengertian kemitraan inilah membuat Klasis merasa bahwa
pemerintah harus memberi perhatian secara berkelanjutan dalam mendukung setiap
pelayanan gereja yang terprogram demi pelayanan pembangunan masyarakat. Dalam temuan
bahwa kemitraan gereja dengan pemerintah di era otsus nampaknya justru melemahkan
gereja untuk melaksanakan tugas panggilan gereja sebagai mitra kerja Allah di dunia karena
gereja justru menjadi bergantung dimana urusan kemanusiaan menjadi bagian dari tanggung
jawab pemerintah sehingga gereja tidak lagi tidak mengembagkan tugas gereja sebagi
insititusi sosial sedangkan gereja harus menyadari bahwa upaya pemberdayaan dalam
membuka kesadaran kritis bagi jemaat masih dapat dilakukan oleh gereja.
Tugas panggilan gereja bagi John Titaley pertama bahwa tugas untuk memperhatikan
mereka yang tertindas, mereka yang kalah dan tertinggal dalam sistem yang manusia sendiri
ciptakan; dan kedua, gereja menjadi kritis terhadap sistem kemasyarakatan yang berlaku.10 Artinya bahwa meskipun dalam Undang-Undang telah mengatur hubungan antara gereja dan
pemerintah sebagai rekan kerja, namun gereja tidak boleh sama dengan dunia ini. Gereja
sebagi institusi sosial yang mandiri, harus terus berupaya menciptakan keadilan bagi
masyarakat dimana gereja tidak boleh berhenti untuk melakukan dialog dengan pemerintah
hanya karena gereja merasa membutuhkan bantuan moril dari pemerintah. Karena bagi
Weinata Seirin, lembaga gereja seharusnya menjadi salah satu pilar pemberdayaan
masyarakat yang terus melakukan dialog demi membangun wacana civil society. Maksudnya
agar supaya kuasa yang diberikan Allah kepada gereja itu dapat memberikan keadilan. Dan
tugas panggilan kedua seperti yang dikemukakan oleh John Titaley juga memiliki arti bahwa
gereja harus mampu memberi pendidikan kritis kepada masyarakat Kurima untuk menyadari
sistem kemasyarakatan yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat adalah termasuk upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat terbawah yang tidak mampu untuk melepaskan dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Berdasarkan pengalaman gereja VOC dan Indische Kerk
bahwa gereja yang tidak menjawab masalah-masalah masyarakatnya tidak dapat berkembang,
dan hanya menjadi lembaga ritual yang eksistensinya bersifat marjinal.
Dalam melakukan pemberdayaan, maka ada 3 hal yang harus diperhatikan oleh gereja
untuk mencapai tujuan dari pemberdayaan masyarakat.
1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membebaskan diri dari
kebodohan dan kemiskinan sebagai akibat ketidakadilan dan kekerasan.
Dalam tujuan ini, di era otonomi khusus, gereja memahami bahwa masih banyak
masyarakat Kurima yang membutuhkan pendidikan hal tersebut juga dapat dilihat pada tabel
dua dalam bab tiga. Bagi gereja bahwa melalui pendidikan maka masyarakat Kurima dapat
dibebaskan dari kebodohan dan kemiskinan. Meskipun demikian, dalam temuan bahwa
gereja sudah tidak lagi memiliki daya dalam mengolah sekolah-sekolah YPK di Kurima
dalam memberikan pendidikan formal ataupun mengirim dan mendukung masyarakat untuk
melanjutkan sekolah di kota-kota besar sebagaimana dahulu telah dilakukan gereja. Di era
ini, upaya yang dilakukan gereja dalam menyadari pentingnya pendidikan bagi masyarakat
ialah melalui pelayanan mimbar, jemaat di berikan kesadaran kritis untuk sekolah guna
mencapai pendidikan yang membebaskan masyarakat dari kebodohan.
Upaya yang dilakukan oleh gereja dalam proses pendidikan di era ini relevan dengan
pengertian P. Freire yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan tindakan Political Act.11
Dimana bagi Freire bahwa pendidikan selalu memiliki hubungan yang erat dengan sosial,
maka pendidikan akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial. Upaya gereja
11 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses: Surat-surat menyurat Pedagogis dengan para pendidik Guinea-Bissau, Cet III (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2008),15.
menjadi sama dengan pemahaman P. Freire karena gereja sebagai modal sosial di
tengah-tengah masyarakat dalam upaya politis sanggup menggerakan dan mempengaruhi pola pikir
masyarakat Kurima untuk sekolah dan memperoleh pendidikan yang bersifat formal bahkan
pendidikan non formal. Meskipun demikian, Pendidikan formal tidak lagi dilakukan oleh
gereja, namun pendidikan non formal masih dapat dilakukan gereja atas kerja sama dengan
P3W dengan membebaskan perempuan dari melek huruf dan meningkatkan keterampilan
bagi perempuan di jemaat Beithel Polimo.
Upaya pendidikan non formal ini dalam temuan telah membantu perempuan pada
masyarakat Kurima yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal mampu untuk
membaca dan memperoleh keterampilan dalam mengolah makanan mentah ke makanan jadi
dan juga keterampilan lainnya. Meskipun demikian, hal yang menjadi kelemahan gereja ialah
belum terciptanya pendidikan kepada kaum laki-laki seperti upaya yang telah dilakukan
kepada kaum perempuan dalam meningkatkan kreaktiftas, dan melek huruf.
2. Membantu masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-sama agar
dapat memanfaatkan peluang pembangunan melalui berbagai program
pembangunan yang dirumuskan secara bersama-sama.
Dalam temuan bahwa program pembangunan belum dirumuskan bersama-sama dengan
jemaat Kurima sehingga ada keterlibatan langsung jemaat sebagai subyek dalam membangun
peluang pembangunan. Hal ini karena klasis masih mengacuh pada prinsip dasar GKI-TP
yang bersifat presbiterial sinodal (tata pemerintahan gereja) sebagai sebuah landasan yang
mengatur adanya hubungan kerjasama dari tingkat jemaat, klasis, dan sinode sehingga
membuat segala bentuk program yang ditentukan masih bersifat bottom up. Hasil dari
keputusan yang bersifat bottom up ini membuat jemaat selalu ditempatkan sebagai obyek
3. Secara bersama mengidentifikasi kebutuhan dan mendayagunakan prasarana
sosial dalam memecahkan masalah sosial.
Untuk mencapai tujuan ini, klasis baru sampai pada memberikan himbauan dalam
meningkatkan kearifan lokal jemaat seperti pengolaan pertanian dan peternakan dengan tetap
menggunakan prasarana tradisonal yang biasa digunakan oleh jemaat Beithel di Kurima, hal
ini dikarenakan klasis melihat bahwa kearifan lokal sebagai modal sosial yang dapat di
gunakan untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat Kurima. Seperti
juga yang dimaksudkan oleh Nan Lin, bahwa, modal sosial berfokus pada sumber daya yang
tertanam dalam satu jaringan sosial dan bagaimana sumber daya tersebut dapat
menguntungkan setiap individu masyarakat.12 Sumber daya yang merupakan modal sosial
bagi masyarakat Kurima itu tersedia dalam bentuk jenis kelamin, agama, pendidikan dan
otoritas pekerjaan sehingga untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan
melalui pendidikan politis, gereja dapat mempengaruhi sumber daya dengan mendorong dan
membangkitkan kesadaran akan posisi yang dimiliki masyarakat dan menanamkan nilai-nilai
budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab.
Bagi Robert Putnam bahwa, bentuk modal sosial merupakan kepercayaan yang disebut
Hirscham sebagai “sumber moral” yaitu sumber pasokan yang akan meningkat jika di
gunakan dan menjadi habis jika tidak digunakan.13 Dalam pengertian ini, maka, ditemukan bahwa sumber moral yang di maksudkan sebagai modal sosial masyarakat Kurima belum di
gunakan sehingga proses pembangunan yang dapat menguntungkan individu masyarakat
belum terlaksana dalam berbagai bidang pembangunan.
Dalam memahami pemberdayaan yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dalam
segala bidang,14 maka di katakan oleh Pdt. Y. Krey selaku wakil ketua sinode GKI-TP bahwa gereja memahami pemberdayaan tidak hanya sebatas memberi pendidikan dan perlindungan
12 Nan Lin, Social Capital: …, 11-13
13 Robert Putnam, Making Democracy Work:..., 170.
kepada masyarakat.15 Pemberdayaan yang di pahami sejak injil melalui GKI-TP pertama kali masuk di Papua hingga penyebarannya ke seluruh wilayah di Papua termasuk di Kurima,
dilakukan dengan perhatian dasar pada kesehatan masyarakat mulai sejak anak dalam
kandungan, dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua dan gereja. Dalam proses pertumbuhan
anak itu maka pendidikan dan perlindungan juga diberikan. Maksudnya ialah, jika
masyarakat itu sehat, maka proses pemberdayaan dalam mencapai pendidikan dan
kesejahteraan dapat dilakukan. Anwas juga berpendapat bahwa sehat sangat penting bagi
semua manusia.16 Dengan badan sehat maka individu masyarakat dapat melakukan aktivitas. Dengan modal sehat, manusia bisa meraih berbagai keberhasilan dan kesuksesan.
Pembangunan di bidang kesehatan yang dilakukan oleh gereja ini relevan dengan pengertian
oleh Anwas.
Dengan pemahaman seperti ini, maka dahulu terdapat klinik kesehatan yang dibuka
gereja di Kurima. Pemahaman gereja dalam menjaga kesehatan jemaat nyatanya masih di
sadari oleh gereja masa kini dalam era otonomisasi, akan tetapi klinik yang dapat
mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh pengobatan sudah tidak lagi di
manfaatkan karena gereja tidak mampu dalam mengelola klinik kesehatan sehingga dialihkan
kepada pemerintah. Meskipun demikian, gereja masih tetap merasa terpanggil untuk
melayani kesehatan jemaat melalui pemberian imunisasi, karena bagi gereja bahwa kesehatan
masyarakat bukan hanya menjadi perhatian pemerintah saja. Upaya ini sesuai dengan
pendapat Anwas bahwa menciptakan masyarakat yang sehat, bukan tanggungjawab
pemerintah saja. Kesehatan merupakan tanggungjawab semua individu dan masyarakat. Oleh
karena itu, gereja harus terus memberikan kesadaran kepada setiap masyarakat Kurima untuk
mengubah kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
Klasis Balim Yalimo melalui gereja mampu memahami secara baik persoalan yang
terjadi pada masyarakat sebagai akibat ketidak berkembangnya Sumber Daya Manusia bagi
masyarakat Kurima, karena, gereja merupakan institusi sosial yang berada di tengah
masyarakat sehingga melalui proses Observasidan penilaian gereja dapat mengetahui hal-hal
mendasar sebagai penghambat bagi perkembangan jemaat dalam bidang-bidang seperti
pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, dan lain lain berdasarkan misi GKI-TP yang
berfokus pada pembangunan di segala bidang. Hal ini seturut dengan model dialektis dari
Daniel S. Schipani, bahwa, observasi dipahami sebagai operasi dalam dunia nyata, dengan
fokus khusus pada kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Sedangkan penilaian
dimaksudkan sebagai bentuk interpretatif dari tahap pertama yang memiliki tujuan untuk
menetapkan orientasi pemberdayaan. Namun Proses pemberdayaan tidak terbatas pada proses
Observasi dan Penilaian tetapi dalam mencapai pemberdayaan masyarakat maka
membutuhkan proses tindakan (action) dan proses inilah yang belum dilakukan gereja dalam
era otsus untuk mengatasi persoalan sosial pada masyarakat Kurima, bagi klasis proses
tindakan ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai penguasa dan urusan gereja
hanya bersifat internal yang berhubungan dengan perkembangan bangunan fisik gereja dan
juga pertumbuhan kehidupan rohani jemaat.
Kelemahan gereja dalam melakukan tindakan (action) pemberdayaan bagi masyarakat
Kurima diakibatkan Klasis lebih cenderung menyerah dengan keadaan tertindas yang dialami
gereja sehingga berdampak pada keterbatasan dalam pelayanan masyarakat. Hal ini tentu
menjadi seturut dengan pengertian P. Freire yang mengatakan bahwa menyerah pada
penderitaan adalah sebuah bentuk penghancuran diri, maka harus ada perubahan yang
diyakini dan menggerakkan semangat dalam mencapai pemberdayaan masyarakat.17 Kenyataan yang di alami oleh klasis dan gereja dalam sikap pasrah terhadap keadaan ini,
17 Paulo Freire, Politik Pendidikan, kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta, Pustaka
menjadikan upaya pengembangan masyarakat yang mandiri dengan pemanfaatan modal