• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana Pangruatan dalam Teks Cempaka Gadang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wacana Pangruatan dalam Teks Cempaka Gadang."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

WACANA

PANGRUATAN

DALAM TEKS

CEMPAKA GADANG

I WAYAN ARTAYASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

WACANA

PANGRUATAN

DALAM TEKS

CEMPAKA GADANG

I WAYAN ARTAYASA NIM 1190161032

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

WACANA

PANGRUATAN

DALAM TEKS

CEMPAKA GADANG

Tesis untuk Memeroleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I WAYAN ARTAYASA NIM 1190161032

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(4)
(5)

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 31 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Nomor : 553 /UN.14.4/HK/2016

Tanggal 31 Mei 2016

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. Anggota :

1. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.

2. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S. 3. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.

4. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum.

(6)
(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke

hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis

mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S.,

selaku Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat

membimbing. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum., selaku Pembimbing II, terima

kasih atas waktu yang diluangkan untuk bimbingan dan saran-saran yang

diberikan untuk tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. I

Nyoman Suarka, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan

motivasi dari masa perkuliahan hingga penelitian tesis. Demikian juga, kepada

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD., selaku Rektor Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, dan terima kasih pula penulis ucapkan kepada

Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., selaku ketua Program Studi

Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Terima kasih kepada para Dosen Penguji, Prof. Dr. I Nyoman Weda

Kusuma, M.S., Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., dan Dr. I Ketut Jirnaya, M.S.,

atas masukan yang telah diberikan. Terima kasih kepada staf Administrasi

Program Magister Linguistik (S-2) I Gusti Ayu Putu Supadmini, I Nyoman Sadra,

S.S., I Ketut Ebuh, S,Sos., Nyoman Adi Triani, S.E., Ida Bagus Suanda, yang

(8)

sudah banyak membantu kelancaran administrasi perkuliahan dan proses

penyelesaian studi penulis, juga kepada staf perpustakaan, Dra. Ni Nyoman

Sumerti, dan Ni Nyoman Sukartini pada program S-2 Linguistik Universitas

Udayana atas bantuan dan pelayanannya.

Terima kasih kepada ayah (I Made Artika) dan Ibu (Ni Made Sumiasih)

yang selalu memberikan dukungan dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Kepada ayah mertua (I Nyoman Sukarta) dan Ibu mertua (Ni Nengah Rasmini)

yang selalu memberikan dorongan secara moral. Terima kasih banyak atas kasih

yang diberikan sehingga tesis ini dapat terwujud.

Terima kasih kepada Ni Wayan Dwi Arini, istri tercinta yang sepenuh hati

mendukung penulis dan membantu menyelesaikan tugas akhir ini. Buah hati

tercinta Ni Putu Anindita Nayaka Sri Dewi yang memberikan inspirasi dan

semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Seluruh keluarga besar penulis

yang memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih kepada saudara, teman, dan pihak yang tidak bisa disebutkan

semuanya, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan memberikan rahmat dan

karunia kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan bisa menambah

wawasan bagi para pembaca.

Denpasar, Mei 2016

Penulis

(9)

ABSTRAK

Teks Cempaka Gadang merupakan salah satu karya sastra yang termasuk dalam jenis tutur. Karya sastra ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan upacara pangruatan yang mempunyai tujuan menyucikan atau melaksanakan pembersihan diri dan alam beserta isinya.

Penelitian ini menggunakan teks Cempaka Gadang sebagai objek penelitian. Penelitian ini mengangkat masalah satuan naratif, bentuk pangruatan, fungsi pangruatan, dan makna pangruatan dalam teks Cempaka Gadang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna Wacana Pangruatan dalam teks Cempaka Gadang. Penelitian ini berupa penelitian pustaka. Sumber data digali berdasarkan data dokumenter, dan analisis data menggunakan metode analisis diskriptif kualitatif.

Landasan teori yang dipakai adalah teori wacana naratif dan teori semiotika. Teori semiotik yang digunakan mengacu pada pendapat Riffaterre. Teori semiotik dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji teks Cempaka Gadang sebagai sistem tanda. Dengan interpretasi tanda-tanda, pemahaman terhadap karya sastra tersebut dapat lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa teks Cempaka Gadang dibangun oleh satuan naratif, meliputi teknik cerita dan aspek kebahasaan. Bentuk satuan naratif meliputi unit mukha, unit pratimuka, unit garbha, unit vimarsa, dan unit nirwahana. Fungsi pangruatan dalam teks Cempaka Gadang meliputi (1) pangruatan untuk penyucian diri dan spiritual manusia, (2) pangruatan untuk pengharmonisasi alam, (3) pangruatan untuk penetralisasi (nyomia) sifat-sifat bhuta. Makna pangruatan dalam teks Cempaka Gadang adalah (1) pangruatan menghilangkan sifat-sifat buruk pada diri manusia, (2) pangruatan menghilangkan kekotoran alam, (3) pangruatan mengembalikan keharmonisan alam.

Kata kunci: wacana, pangruatan, teks Cempaka Gadang.

(10)

ABSTRACT

Cempaka Gadang script is one of the literary works which is included in the type of tutur. This literary work provides an overview of the pangruatan procession which has an objective of purifying or cleaning process.

This study uses Cempaka Gadang script as the research object. The research discusses the narrative units, the function, and the meaning of pangruatan in Cempaka Gadang script. This study is to review analysis units, function, and meaning of pangruatan in the Cempaka Gadang script. This research is a Library Research. The data sources are extracted based on the documentary data, then the data analysis methods and also descriptive qualitative analysis method.

The theoretical base which is used is the theory of narrative and semiotic discourse. The semiotic theory used refers to the Riffaterre view point. Semiotic theory in this study is to make analysis Cempaka Gadang script that is seen as a system of signs. With the interpretation of signs, an understanding of a literary work can be better and more useful for human life.

The research result shows that Cempaka Gadang scriptis composed by the narrative units. Forms include narrative technique and linguistics aspects. Forms of narrative units include mukha unit, pratimuka unit, garbha unit, vimarsa unit, and the nirwahana unit. The functions of pangruat in the Cempaka Gadang script are including; (1) pangruatan is as a human’s self-purification and spiritual purification, (2) pangruatan is as a nature harmonizer, (3) pangruatan is the neutralizer (nyomia) of bhuta characteristics. The meaning of the pangruatan in the Cempaka Gadang script are; (1) as the purifier of any dirtiness within human beings, (2) as the purifier and removal of any nature dirtiness, (3) to restore the nature harmony.

Keywords: discourse, pangruatan,Cempaka Gadang script

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 7

2.1 Kajian Pustaka ... 7

2.2 Konsep…….. ... 9

2.2.1. Konsep Pangruatan ... 9

2.2.2 Konsep Cempaka Gadang ... 10

2.3 Landasan Teori ... 12

2.3.1 Teori Wacana Naratif ... 12

2.3.2 Teori Semiotika ... 13

2.4 Model Penelitian ... 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Rancangan Penelitian ... 18

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 20

3.3 Instrumen Penelitian ... 20

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 20

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 21

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 21

(12)

BAB IV KAJIAN BENTUK PANGRUATAN DALAM TEKS

CEMPAKA GADANG ... 23

4.1 Deskripsi Naskah Cempaka Gadang ... 23

4.2 Sinopsis ... 24

4.3 Teks Cempaka Gadang sebagai Wacana Sastra ... 25

4.4 Teks Cempaka Gadang sebagai Karya Sastra Agama ... 30

4.5 Bentuk dan Satuan Naratif Teks Cempaka Gadang ... 33

4.5.1 Bentuk ... 33

5.1 Pangruatan untuk Penyucian Diri dan Spiritual Manusia ... 88

5.2 Pangruatan untuk Pengharmonisasi Alam ... 90

5.3 Pangruatan untuk Penetralisasi (nyomia) Sifat-Sifat Bhuta ... 94

BAB VI MAKNA PANGRUATAN DALAM TEKS CEMPAKA GADANG ... 96

6.1 Pangruatan Menghilangkan Sifat-Sifat Buruk Pada Diri Manusia ... 97

6.2 Pangruatan Menghilangkan Kekotoran Alam ... 98

6.3 Pangruatan Mengembalikan Keharmonisan Alam ... 100

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 103

7.1 Simpulan ... 103

7.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(13)

Glosarium

asu bangbungkem : anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam.

buana Agung : alam raya (besar) semua yang ada di alam semesta ini termasuk gugusan bintang, matahari, planet bumi dengan segala isinya, yang disebut bhuana agung istilah lainnya jagad raya, makrokosmos.

buana Alit : dunia kecil yang unsur-unsurnya sama dengan bhuana agung, bhuana alit sama dengan tubuh manusia.

buta yadnya : sesaji (kurban) kepada bhuta, upacara persembahan kurban suci yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas yang ditujukan kepada para bhuta kala/kekuatan-kekuatan alam yang dapat memengaruhi kehidupan manusia sehingga tidak mengganggu manusia dan lingkungan.

caru : kurban suci bagian dari upacara buta yadnya dengan menggunakan beberapa binatang untuk keseimbangan dan keharmonisan.

cupu manik : kotak kecil tempat permata.

dasaksara : sepuluh aksara suci ( Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya)

gering : sakit karena adanya wabah penyakit. kajaya-jaya : didoakan supaya menang (berhasil).

kama : air mani.

kawah bacin : kawah (neraka) penuh dengan kotoran manusia. kawah endut : kawah (neraka) yang penuh dengan lumpur

mendidih.

kawah tambra gomuka : kawah (neraka) sebagai kuali berbentuk kepala banteng.

(14)

leteh : tidak suci, menjadi kotor.

lukat : proses upacara pembersihan dan penyucian untuk menghilangkan kekotoran/leteh.

madya pada : dunia, alam tempat tinggal manusia. mrayascita : mensucikan (dengan upacara). pahening idhep : penenang pikiran.

panca aksara : lima aksara suci ( Na, Ma, Si, Wa, Ya).

panglukatan : pangruwatan (membebaskan seseorang dari nasib buruk dengan upacara).

pangruatan : melaksanakan pembersihan. prayascita : upacara pensucian.

sad ripu : enam musuh dalam diri (kama, lobha, kroda, mada, moha, matsarya).

sang hyang surya : dewa matahari.

sapta patala : lapisan bumi yang ketujuh.

sata manca warna : ayam lima warna yang dipergunakan untuk upacara macaru.

setra ganda mayu : kuburan.

setra pabajangan : kuburan anak-anak. siwa dwara : ubun-ubun.

siwabhuana : alam siwa.

swargan : sorga.

yadnya : kurban suci, upakara.

yamaniloka : neraka/ dunia, tempat Dewa Yama.

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak

dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Penelitian terhadap karya sastra

tradisional menjadi obyek penelitian tidak terlepas dari persoalan-persoalan yang

ada dan terjadi di masyarakat yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

Persoalan yang dikaji dalam hal ini adalah persoalan berhubungan dengan

kepercayaan atau ajaran agama Hindu yaitu tentang upacara yadnya.

Sudharta (2001:49) menegaskan bahwa pelaksanaan yadnya dalam

masyarakat Hindu dikenal adanya lima macam yang disebut panca yadnya yaitu:

(1) Dewa Yadnya ialah korban suci dengan tulus ikhlas ke hadapan Sanghyang

Widhi dengan jalan cinta bhakti, sujud memuja serta mengikuti segala

ajaran-ajaran suci-Nya. (2) Pitra Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas kepada

leluhur dengan memujakan keselamatannya di akhirat serta memelihara keturunan

dan menurut segala tuntunannya. (3) Manusa Yadnya ialah korban suci yang tulus

ikhlas untuk kesejahteraan keturunan serta kesejahteraan manusia lain. (4) Rsi

Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas untuk kesejahteraan para rsi serta

mengamalkan segala ajarannya. (5) Bhuta Yadnya ialah korban suci yang tulus

ikhlas kepada sekalian mahluk bawahan yang kelihatan maupun tidak, untuk

memelihara kesejahteraan alam semesta.

(16)

2

Dalam Kamus Istilah Agama Hindu kata yadnya artinya kurban, upacara

kurban (Sura, 2002: 135). Uraian yang lebih lengkap dikemukakan bahwa kata

yadnya berasal dari kata Sanskerta, terbentuk dari urat kata “yaj” yang berarti

‘memuja’, ‘menyembah’, atau ‘berdoa’. Pemujaan atau penyembahan ditujukan

kepada makhluk-makhluk yang lebih tinggi derajatnya, seperti para dewa sebagai

sinar suci Tuhan Yang Mahaesa, bhutakala sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang

Mahaesa atau persembahan yang ditujukan kepada spirit-spirit yang memiliki

sifat-sifat positif atau negatif dengan cara mempersembahkan materi-materi

tertentu, misalnya air, buah, bunga, api, kurban binatang. Semuanya sudah

menjadi kegiatan ritual yang biasa di kalangan masyarakat (Suamba, 1996: 1-2).

Jadi, pada hakikatnya yadnya merupakan korban suci dengan tulus ikhlas yang

dilaksanakan di kalangan masyarakat.

Pelaksanaan upacara yadnya yang mempunyai makna pengorbanan suci

yang tulus ikhlas dengan cara mempersembahkan binatang sebagai kurban.Wiana

(2002: 182-183 ) dalam bukunya yang berjudul “ Makna Upacara Yadnya dalam

Agama Hindu” menulis bahwa pemakaian sarana upacara berupa binatang dan

tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara yadnya, akan meningkat kualitasnya

dalam penjelmaan berikutnya. Penggunaan binatang sebagai sarana upacara

yadnya sebagai simbol penguasaan sifat-sifat kebinatangan. Manusia memberikan

kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut akan mendapatkan

pahala yang utama. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok

upacara bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan

(17)

3

Perjuangan manusia di dunia ini adalah menguasai kecenderungan keraksasaan

sehingga kecenderungan kedewaanlah yang mengendalikan hidup manusia. Kalau

kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, manusia akan dapat

mengendalikan perilakunya agar selalu berada pada ketentuan dharma.

Sifat-sifat manusia yang tidak sesuai dengan ajaran dharma akan

menyebabkan manusia memiliki sifat dan pikiran negatif. Segala pikiran dan

perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran dharma dapat menjerumuskan manusia

ke dalam kehancuran. Perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama harus

dibersihkan atau disucikan supaya kehidupan menjadi damai dan tentram. Proses

pelaksanaan pembersihan diri atas perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran

dharma dilaksanakan dengan jalan pangruatan.

Penelitian ini lebih lanjut ingin mengungkapkan bagaimana proses upacara

pangruatan yang dilaksanakan oleh umat manusia. Pelaksanaan pangruatan yang

dilakukan dalam bentuk upacara yadnya disertai dengan berbagai sarana

upacaranya. Tujuan pangruatan adalah sebagai bentuk permohonan kesucian

lahir dan batin, memohon keselamatan alam semesta beserta isinya, dan dengan

dilaksanakannya upacara pangruatan maka keadaaan kahyangan dan dunia

beserta isinya menjadi damai dan tentram kembali.

Proses pangruatan dalam teks Cempaka Gadang dikaitkan dengan upacara

yadnya pada masyarakat Hindu.Pelaksanaan pangruatan yang terdapat pada teks

Cempaka Gadang relevan dengan realita kehidupan yang dilaksanakan oleh

(18)

4

terdapat dalam teks Cempaka Gadang, merupakan proses pelaksanaan

pembersihan yang bertujuan untuk menyucikan diri dan mengharmoniskan

kembali alam beserta isinya.

Penelitian tentang wacana pangruatan yang terkandung dalam teks

Cempaka Gadang, dapat memberikan penjelasan bahwa teks Cempaka Gadang

merupakan salah satu sumber sastra yang penting bagi kehidupan masyarakat

Hindu dalam meningkatkan pengetahuan di bidang keagamaan, terutama dalam

hal upacara yadnya.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan

dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk wacana pangruatan dalam teks Cempaka Gadang?

2. Apa saja fungsi wacana pangruatan dalam teks Cempaka Gadang?

3. Apa makna wacana pangruatan dalam teks Cempaka Gadang?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan

tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.3.1Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengungkapkan

(19)

5

memberikan manfaat yang lebih luas kepada masyarakat serta memberikan

masukan dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu

sastra. Selain itu juga dapat melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur

yang terkandung dalam naskah-naskah lontar.

1.3.2Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian terhadap teks naskah Lontar Cempaka Gadang ini

sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bentuk wacana pangruatan dalam teks Cempaka

Gadang.

2. Untuk mengetahui fungsi wacana pangruatan dalam teks Cempaka

Gadang.

3. Untuk mengetahui makna wacana pangruatan dalam teks Cempaka

Gadang.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan keilmuan

dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan manfaat

yang kedua bersifat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat diuraikan sebagai

berikut.

1.4.1Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu

(20)

6

dan melengkapi penelitian sastra lama, terutama dalam bentuk kajian

naskah-naskah lontar.

1.4.2Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk lebih memahami

dan mendalami pengetahuan tentang karya sastra dalam bentuk tutur. Bagi

pembaca, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai bagaimana

bentuk, fungsi dan makna pangruatan yang berhubungan dengan upacara yadnya

yaitu dalam rangka pelaksanakan pembersihan diri dan spiritual manusia, menjaga

(21)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pentingnya Kajian pustaka adalah untuk menambah wawasan, pemahaman

dan pengetahuan yang dapat dijadikan bahan acuan, bandingan, dan pedoman

dalam penelitian ini.

Penelitian terhadap teks Cempaka Gadang sebelumnya sudah pernah

diteliti oleh I Wayan Artayasa pada tahun 2007. Penelitian teks Cempaka Gadang

dihasilkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Struktur dan Tutur Lontar

Cempaka Gadang”. Penelitian tersebut membahas tentang analisis unsur intrinsik

(insiden, alur, tokoh/penokohan, latar, tema dan amanat). Penelitian tersebut juga

mengungkapkan tutur atau nasihat yang berhubungan dengan tattwa (filsafat),

susila (etika), dan upacara (ritual). Dalam hal tattwa (filsafat) dijabarkan adanya

rwa bhineda (dua sisi yang berbeda seperti baik dan buruk yang selalu ada dan

berdampingan dalam dunia ini). Susila (etika) merupakan ajaran yang berkaitan

dengan sopan santun dan tingkah laku yang sesuai dengan tata krama. Upacara

(ritual) merupakan wujud konkret atau realisasi dari ajaran agama Hindu.

Penelitian sebelumnya dipakai sebagai pijakan penelitian sekarang, yaitu

membahas tentang wacana pangruatan yang berhubungan dengan proses

pelaksanaan pembersihan yang bertujuan untuk melaksanakan pembersihkan diri

dan spiritual manusia, menjaga keselarasan dan keharmonisan alam beserta isinya.

(22)

8

Relin D.E (2011) dalam disertasinya yang berjudul “Pemertahanan Tradisi

Ruwatan Dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa di Desa Kumendung,

Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur” Dalam disertasinya diuraikan tentang

faktor-faktor pemertahanan, aspek tanda pemertahanan, dan dampak serta makna

pemertahanan tradisi ruatan dalam era modernisasi. Penemuan yang berhubungan

dengan pemertahanan tradisi ruatan yaitu telah terjadi penguatan lokal genius

dalam pelaksanaan tradisi ruatan. Tradisi ruatan sebagai media komunikasi lintas

agama, tradisi ruatan juga mengandung hiperspiritualitas. Kepercayaan terhadap

ruatan ini mampu menumbuhkan kekuatan otonum dalam berbagai agama dan

kepercayaan. Tradisi ruatan mengandung multikulturalisme dan makna peradaban

universal.

I Wayan Cika (2004) dalam tulisannya yang berjudul “ Aspek Ngruwat

dalam Geguritan Sudamala”, menguraikan tentang aspek ngruat dalam Geguritan

Sudamala adalah suatu upacara pembersihan untuk mendapatkan kesejahteraan

lahir dan batin (menghilangkan mala menjadi sudamala/nirmala). Selain itu pesan

moral yang dipetik adalah jika ingin menolong seseorang maka pertolongan itu

harus dilandasi pikiran yang tulus ikhlas dan jujur, tidak berpura-pura karena hal

itu akan menyulitkan diri sendiri. Dalam melakukan suatu pekerjaan harus sabar

dan tidak mudah menyerah oleh suatu keadaan, betapapun beratnya. Semakin

banyak melakukan perbuatan dosa, makin lamalah penderitaan yang dialami.

Kajian pustaka di atas, dapat memberikan gambaran dan pemahaman

dalam rangka analisis lebih lanjut teks Cempaka Gadang. Analisis yang dilakukan

(23)

9

merupakan bentuk upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dampak dan

makna pangruatan sebagai bentuk proses pelaksanaan pembersihan akan

memberikan gambaran tentang pentingnya pelaksanaan upacara pangruatan yang

dilakukan untuk melaksanakan pembersihkan diri dan spiritual manusia, menjaga

keselarasan dan keharmonisan alam beserta isinya.

2.2 Konsep

Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses

penelitian. Koentjaraningrat (1991: 10) menyatakan bahwa konsep adalah tafsiran

mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta menuju ke tingkat

pengetahuan yang abstrak. Dengan demikian konsep merupakan unsur-unsur inti

dari suatu pengertian atau definisi. Konsep merupakan batasan singkat dari

sekelompok fakta atau gejala dari apa yang perlu diamati di dalam proses

pelaksaan penelitian. Sebagai konsep dasar dalam penelitian ini adalah: 1) konsep

pangruatan, dan 2) konsep Cempaka Gadang.

2.2.1 Konsep Pangruatan

Pangruatan berasal dari kata ruat yang mempunyai arti bersih, ngruat,

meruat, melaksanakan pembersihan (Anom, dkk: 2008).

Konsep pangruatan dalam teks Cempaka Gadang berkaitan dengan

pelaksanaan upacara yadnya yang dilaksanakan setelah Dewi Ratna Cempaka

Gadang meninggal dan arwahnya disiksa di Neraka. Akibat dari siksaan yang

dialami oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang dan anak buahnya seperti Ni Leyak

(24)

10

menjadi gaduh. Supaya kahyangan dan dunia menjadi damai dan tentram kembali

setelah kegaduhan yang terjadi dan wabah penyakit serta kekacauan yang

disebabkan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta anak buahnya maka

diadakanlah upacara pangruatan di dunia ini.

2.2.2 Konsep Cempaka Gadang

Di dalam mengungkapkan konsep Cempaka Gadang, mengacu pada kirata

bhasa. (Simpen dalam Widiana, 2011: 20-21) menyatakan bahwa bentuk-bentuk

kirata bhasa umumnya berupa sinonimi (dasanama) dan metonimi. Ada pula

kirata bhasa berupa akronim dan bentuk-bentuk lain. Dalam tradisi kebahasaan

masyarakat Bali dikenal astaguru, yakni delapan pedoman untuk mengategorikan

kata-kata yang dianggap mempunyai nilai sama. Astaguru terdiri atas: (1) guru

dasanama, jika kata-kata merupakan bentuk sinonim, misalnya wulan, candra,

sasi, sasangka ‘bulan’; (2) guru sastra jika kata-kata tersusun atas fonem yang

hampir sama sekalipun mempunyai arti yang berbeda, misalnya hasti ‘gajah’, esti

‘pikiran’; (3) guru wanda jika kata-kata mempunyai komposisi suku kata sama

meskipun mempunyai arti yang berbeda, misalnya dadi ‘menjelma’, dadhi

‘santan’, dadi ‘laut’; (4) guru warga jika kata-kata termasuk ke dalam satu

golongan, misalnya lelipi ‘ular’, naga ‘naga’, lelasan ‘kadal’, alu ‘biawak’, buaya

‘buaya’; (5) guru karya jika kata-kata memiliki hubungan fungsi, misalnya mata

‘mata’, tinghal ‘melihat’, karna ‘telinga’, mireng ‘dengar’; (6) guru sarana jika

kata yang satu merupakan acuan atau sasaran kata yang lain, misalnya lidah

‘lidah’, rasa ‘rasa’; (7) guru darwa jika kata yang satu merupakan sifat dari kata

(25)

11

jarwa jika kata yang satu dianggap mempunyai tafsiran bagi kata yang lain,

misalnya oreg ‘pasukan perang’, geger ‘bukit’.

Berpedoman pada kirata bhasa yang dikemukakan di atas, maka frasa

“cempaka gadang” dapat dimaknai sebagai berikut. Frasa “cempaka gadang”

dibangun oleh dua kata, yaitu kata “cempaka” mengandung makna ‘ tanaman

bunga yang memiliki bunga yang berbau harum, serta nama untuk anak yang

berjenis kelamin perempuan’, kata “gadang” mengandung makna ‘hijau’.

Kata cempaka, mengacu pada nama anak perempuan yang terlahir dari

kama Sang Hyang Taya ketika beliau bercengkrama dan mandi di Sungai Suya

Gangga dengan Bhatari Gangga. Atas anugrah yang diberikan oleh Sang Hyang

Taya, anak perempuan tersebut diberi nama Dewi Ratna Cempaka Gadang, karena

anak perempuan ini memiliki kehebatan dan kekuatan yang utama.

Kata gadang ‘hijau’ menunjukkan sebuah harapan ke depan agar kembali

tumbuh subur dan menghijau. Dalam hal ini juga tercermin setelah dosa-dosa

yang dilakukan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang selama hidupnya yaitu

menyebarkan wabah penyakit dan membuat kekacauan di dunia, akan menjadi

hilang atau sirna, setelah itu tumbuh kembali menjadi sosok baru yang dapat

menyejukkan dan menyuburkan kembali alam beserta isinya.

Kata gadang dibentuk oleh dua buah kata, yaitu kata galang ‘terang’ dan

apadang ‘benderang’ (morfem unik). Jadi kata gadang juga mengandung makna

(26)

12

Dengan demikian istilah cempaka gadang merupakan sebuah konsep yang

memberikan makna bahwa teks Cempaka Gadang berisi cerita tentang upacara

pangruatan (melaksanakan pembersihan) supaya terbebas dari dosa dan wabah

penyakit serta dapat memberikan pencerahan atau penerangan dan

mengharmoniskan kembali alam beserta isinya.

2.3Landasan Teori

Landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori wacana

naratif dan semiotika. Teori-teori tersebut digunakan untuk mengungkapkan

wacana pangruatan (pelaksanaan pembersihan) dalam teks Cempaka Gadang.

Pelaksanaan upacara pangruatan berkaitan dengan upacara yadnya dengan

berbagai sarana korbannya seperti asu bang bungkem (anjing yang warna bulunya

merah dengan mulut dan ekornya hitam), sata manca warna (ayam lima warna),

kambing, angsa, dan bawi rare durung acula (anak babi yang belum dikebiri).

2.3.1Teori Wacana Naratif

Teori wacana (teks) naratif juga disebut teori strukturalisme naratologi.

Kata naratologi berasal dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan,

kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks)

naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai

seperangkat konsep mengenai cerita dan pen(cerita)an. Konsep-konsep yang

berkaitan dengan narasi dan narrator, demikian juga wacana dan teks,

(27)

13

Baik sebagai cerita maupun penceritaan, narasi didefinisikan sebagai

representasi atas paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan

waktu. Narator atau agen naratif didefinisikan sebagai pembicara dalam teks,

subjek secara linguistis, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif

dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya, yang

dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan atau

humaniora (Ratna, 2009: 128).

Menurut Parera (2004: 219) sebuah teori tentang analisis wacana atau

wacana adalah satu penjelasan tentang bagaimana kalimat-kalimat

dihubung-hubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang berbagai

jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan, pengelolaan

wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana. Analisis wacana adalah

penentuan satuan-satuan dan unsur-unsur sebuah wacana. Sebuah wacana tidak

hanya terdiri atas kalimat-kalimat yang gramatikal, namun sebuah wacana harus

memberikan interpretasi yang bermakna bagi pembaca dan pendengarnya. Ini juga

berarti seorang pembicara atau penulis tidak hanya menyusun kalimat-kalimat

yang gramatikal, akan tetapi juga kalimat-kalimat yang berhubungan secara logis

dan kontekstual. Oleh sebab itu, analisis wacana tidak bertujuan menyusun

kaidah-kaidah umum tentang analisis wacana.

2.3.2Teori Semiotika

Ratna (2009: 97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion,

(28)

14

studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara

kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia

dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi

lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi

dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap

dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus.

Semiotika adalah ilmu tanda. Istilah tersebut berasal dari kata Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda,

dengan demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya.

Struktur karya sastra, struktur film, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai

tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles

Sanders Peirce, menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda,

tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.

Pierce menggunakan kata semiotika sebagai sinonim dari kata logika.

Logika harus mempelajari bagaimana orang “bernalar”. Penalaran menurut Pierce

dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda memungkinkan kita untuk berpikir dan

memberikan makna pada apa yang ditampilkan semesta. Saussure menganggap

bahasa merupakan simbol tanda atau sistem tanda. Saussure cenderung memakai

kata semiologi yang cenderung mengarah ke arah linguistik. Semiotika adalah

studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara fungsinya,

hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh

mereka yang menggunakannya. Pierce mengungkapkan bahwa makna tanda

(29)

15

Zoest, 1992:1-5). Menurut Pradopo (2008:124), untuk mempermudah kajian

semiotik, perlu diperhatikan konvensi penting di dalam karya sastra, yang

meliputi konvensi ketidaklangsungan ekspresi dan konvensi hubungan antarteks.

Riffaterre (1978:1-2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan

aktivitas bahasa secara tidak langsung dan hipogramatik. Fenomena sastra

merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran

mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi

(karya sastra) merupakan suatu aktivitas bahasa. Aktivitas bahasa itu adalah tidak

langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni

displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning.

Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti

yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain sebagai metafora dan

metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau

nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh suatu organisasi

prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik.

Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

pendapat Riffaterre. Cara pandang dalam memahami karya sastra seperti di atas

dapat dikembangkan lebih jauh, tidak hanya untuk memandang puisi, melainkan

karya sastra secara keseluruhan. Konsep-konsep yang dikemukakan Riffaterre

mungkin tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam penelitian ini karena obyek

yang diteliti berbeda. Karena itu, teori semiotik dalam penelitian ini bertumpu

pada satu hal, yaitu teks Cempaka Gadang dilihat sebagai sebuah sistem tanda.

(30)

16

tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan. Dengan interpretasi tanda-tanda, dapat

memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap karya sastra dan memberikan

manfaat bagi kehidupan manusia.

2.4Model Penelitian

Keterangan Model Penelitian

= Objek Penelitian

= Teori

= Objek Kajian

= Hasil Penelitian

= Hubungan Langsung Wacana Pangruatan

Teks Cempaka Gadang

Bentuk Pangruatan

Fungsi Pangruatan

Makna Pangruatan

(31)

17

Penjelasan Model Penelitian:

Teks Cempaka Gadang memuat tentang wacana pangruatan. Untuk

memeroleh gambaran yang jelas tentang pangruatan tersebut, digunakan dua teori

yaitu teori wacana dan teori semiotika. Teori Semiotik yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada pendapat Riffaterre. Teori Semiotik dalam penelitian

ini bertumpu pada satu hal, yaitu teks Cempaka Gadang dilihat sebagai sebuah

sistem tanda. Penelitian tentang Wacana Pangruatan dalam Teks Cempaka

Gadang, memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan. Analisis dengan

menggunakan teori-teori tersebut menghasilkan kajian bentuk, fungsi, dan makna

Referensi

Dokumen terkait