GAMBARAN RESTRICTION FRAGMENT LENGTH
POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b
DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN
SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI
DENNY SAPUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Sembilan Spesies Ikan Air Tawar Konsumsi adalah karya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Agustus 2009
Denny Saputra B04052604
ABSTRAK
DENNY SAPUTRA. Gambaran Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Sembilan Spesies Ikan Air Tawar
Konsumsi. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI
PRASETYANINGTYAS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data dasar fragmen restriksi dari sembilan spesies ikan air tawar berdasarkan variasi genetik yang terdapat pada daerah sitokrom b DNA mitokodria melalui metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP). Jenis sampel yang digunakan berupa jaringan ikan. Sebagai media transport dan preservasi, sampel disimpan dalam NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 %. Ekstraksi DNA mitokondria dari jaringan menggunakan metode presipitasi amonium asetat, dilanjutkan dengan amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b L14841/H15149. Amplikon yang diperoleh dari metode PCR, selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi. Pemotongan fragmen DNA metode RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I masing-masing selama 2 jam dan 6 jam. Pemeriksaan fragmen DNA dengan elektroforesis gel agarose 2%, lalu dilanjutkan analisis hasil penghitungan ukuran fragmen restriksi dari setiap spesies dengan mengukur jarak antara migrasi DNA sampel dengan migrasi DNA ladder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCR menggunakan primer universal sitokrom b dari kesembilan spesies ikan didapatkan amplikon sitokrom b berukuran 359 pasang basa (pb). Amplikon sitokrom b dari kesembilan spesies ikan memiliki situs restriksi Hinf I dan atau Rsa I, kecuali amplikon sitokrom b ikan sepat. Terdapat perbedaan ukuran fragmen restriksi (RFLP) hasil pemotongan baik dengan enzim Hinf I maupun Rsa I kecuali pada amplikon sitokrom b ikan patin. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan RSA I dapat digunakan untuk mengenali kesembilan spesies ikan air tawar.
DENNY SAPUTRA. The Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) of Mitochondrial DNA Cytochrome b Gene from Nine Species of Fresh Water Fish. Under direction of ITA DJUWITA and WAHONO ESTHI PRASETYANINGTYAS
The aim of this research is to study the basic data of restriction fragment from nine fresh water fish species based on cytochrome b mitochondria DNA genetic variation using PCR-RFLP method. Fish body tissues were collected in 4,5 M NaCl containing 25 % DMSO as sampel transport and preservation media. Mitochondrial DNA extraction were done using ammonium acetate precipitation method followed by PCR fragment amplification using universal cytochrome b L14841/H15149 primers. The amplicons were cut with Hinf I and Rsa I endonuclease restriction enzymes for 2 and 6 hours respectively, DNA fragments examination were done on 2% agarose gel electrophoresis, and the result were analyzed to determine the restriction fragment polymorphism from each species by measuring the migration distance between sample DNA and ladder DNA. The results showed that nine fresh water fish species have 359 base pair (bp) amplicon. Cytochrome b amplicon of nine fish species have Hinf I and or Rsa I restriction site, except cytochrome b amplicon of sepat. There were differences on restriction fragment sizes result from Hinf I or Rsa I digestion, except cytochrome b amplicon of patin. In conclusion, universal oligonucleotida cytochrome b primer followed by digestion with Hinf I and or Rsa I restriction enzymes can be used for the nine fresh water fish species recognition.
RINGKASAN
DENNY SAPUTRA. Gambaran Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Sembilan Spesies Ikan Air Tawar
Konsumsi. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan WAHONO ESTHI
PRASETYANINGTYAS.
Indonesia memiliki banyak kekayaan alam baik hayati maupun hewani. Sumber protein hewani bisa didapatkan dari mengkonsumsi ikan. Kekayaan jenis ikan di Indonesia sangat berlimpah, namun demikian informasi tentang keragaman variasi genetik jenis ikan di Indonesia belum banyak dipelajari. Salah satu cara untuk mengetahui data molekuler spesies hewan adalah dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) berdasarkan gen sitokrom b DNA Mitokondria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data dasar fragmen restriksi dari sembilan spesies ikan air tawar konsumsi berdasarkan variasi genetik yang terdapat pada daerah sitokrom b DNA mitokodria melalui metode PCR-RFLP.
Jenis sampel yang digunakan berupa jaringan ikan. Sampel ikan air tawar yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: ikan patin (Pangasius hypophthalmus), nila (Oreochromis niloticus), lele (Clarias sp.), sepat (Trichogaster pectoralis), sapu-sapu (Hypostomus sp.), mujair (Oreochromis mossambicus), mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy), dan bawal (Colossoma macropomum). Sebagai media transport dan preservasi, sampel disimpan dalam NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25 %. Ekstraksi DNA mitokondria dari jaringan menggunakan metode presipitasi amonium asetat, dilanjutkan dengan amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b L14841/H15149. Komposisi reaksi PCR adalah sebagai berikut: apabila digunakan sampel hasil ekstraksi DNA sebanyak [1 μl/50 ng] maka secara berurutan reagen yang dicampurkan ke dalam tabung PCR adalah ddH2O sebanyak 16,55 μl, kemudian dicampurkan dengan
buffer 10 X sebanyak 2,5 μl, lalu dicampurkan dNTP sebanyak 2 mM. Setelah itu, dimasukkan primer 1 dan 2 masing-masing sebanyak 1 μl, dan selanjutnya dimasukkan Taq polimerase sebanyak 2,5 unit, serta dicampurkan DNA template (DNA sampel) sebanyak ± 100 ng (volume total untuk satu kali reaksi dalam PCR ini adalah 25 μl).
Amplikon yang diperoleh dari metode PCR, selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi. Pemotongan fragmen DNA metode RFLP menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I. Komposisi reaksi RFLP adalah sebagai berikut: beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Hinf I secara berurutan adalah ddH2O sebanyak 12,25 μl, kemudian
larutan buffer sebanyak 2,5 μl, setelah itu dicampurkan enzim Hinf I sebanyak 2,5 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak 10 μl [1 μl/50 ng] (volume total dalam pemotongan dengan Hinf I ini adalah 25 μl). Beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I secara berurutan adalah ddH2O
sebanyak 10,5 μl, kemudian larutan buffer sebanyak 2,5 μl, setelah itu dicampurkan enzim Rsa I sebanyak 20 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak sebanyak 10 μl [1 μl/50 ng] (volume total dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I adalah 25μl). DNA hasil PCR yang dipotong selanjutnya diinkubasi
elektroforesis. Pemeriksaan fragmen DNA dengan elektroforesis gel agarose 2%, lalu dilanjutkan analisis hasil penghitungan ukuran fragmen restriksi dari setiap spesies dengan mengukur jarak antara migrasi DNA sampel dengan migrasi marka DNA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCR menggunakan primer universal sitokrom b dari kesembilan spesies ikan didapatkan amplikon sitokrom b berukuran 359 pasang basa (pb). Pemotongan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I menghasilkan fragmen restriksi kecuali pada ikan sapu-sapu, mas, mujair, dan sepat. Pemotongan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan fragmen restriksi kecuali pada ikan sepat. Ikan patin, lele, sapu-sapu memiliki ciri morfologi dan taksonomi yang hampir sama, tetapi apabila dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I ternyata memiliki situs pemotongan yang berbeda. Ikan patin dan ikan lele memiliki ciri morfologi yang hampir sama, ternyata memiliki situs pemotongan yang hampir sama untuk pemotongan dengan menggunakan Hinf I, sehingga untuk keperluan identifikasi lebih baik menggunakan enzim Rsa I untuk membedakan antara ikan patin dengan ikan lele, kerena memiliki situs restriksi yang jauh berbeda. Ikan mas dan ikan bawal memiliki ciri morfologi yang berbeda, hal ini diikuti pula situs pemotongan Hinf I dan Rsa I yang jauh berbeda, sehingga kedua enzim tersebut dapat digunakan untuk membedakan kedua ikan tersebut dengan ikan yang lain. Ikan mujair dan ikan nila yang memiliki kemiripan morfologi dan pesamaan taksonomi sampai tingkat genus, ternyata memiliki situs pemotongan yang jauh berbeda jika dipotong dengan menggunakan enzim Hinf I dan Rsa I. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedua enzim tersebut dapat digunakan untuk membedakan antara ikan mujair dengan ikan nila. Ikan gurami dan ikan sepat tidak memiliki kemiripan morfologi tetapi memiliki persamaan taksonomi sampai tingkat famili, ternyata memiliki hasil pemotongan yang berbeda jika dipotong dengan menggunakan enzim Hinf I dan Rsa I sehingga kedua enzim tersebut dapat digunakan untuk membedakan antara kedua ikan tersebut. Amplikon ikan sepat ternyata tidak memiliki situs restriksi pada gen sitokrom b DNA mitokondria, sehingga dibutuhkan enzim lain untuk menemukan situs pemotongan.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode PCR menggunakan primer universal sitokrom b serta pemotongan fragmen dengan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I dapat digunakan untuk mengenali kesembilan spesies ikan air tawar.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POLYMORPHISM (RFLP) GEN SITOKROM b
DNA MITOKONDRIA DARI SEMBILAN
SPESIES IKAN AIR TAWAR KONSUMSI
DENNY SAPUTRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Skripsi : Gambaran Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Sembilan Spesies Ikan Air Tawar Konsumsi
Nama : Denny Saputra
NIM : B04052604
Disetujui
Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. Phil drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia yang tak terhitung banyaknya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah SAW.
Penyusunan skripsi yang berjudul Gambaran Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Gen Sitokrom b DNA Mitokondria dari Sembilan Spesies Ikan Air Tawar Konsumsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:
1. Ibu Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M. Phil dan Ibu drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si sebagai pembimbing atas segala saran, kritik, arahan, perbaikan, dan motivasi serta semua ilmu yang telah diberikan. 2. Kedua orang tua, Ayahanda Sumiran S.Pd dan Ibunda Sri Sunarti S.Pd
atas segala doa dan apapun yang telah diberikan kepada saya yang tak tak terhitung banyaknya.
3. Ibu drh. Dewi Ratih Agungpriyono Ph.D selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama menjalani masa perkuliahan, semangat dan perhatiannya serta telah bersedia mendengarkan keluh kesah selama menjalani hari-hari di FKH IPB.
4. Kedua kakakku mbak Ika dan mbak Novita, keponakanku Tiara, mas Lutvi, dan mas Fajar yang selalu memberikan doa dan perhatiannya. 5. Imma Nur Cahyawati atas semangat yang telah diberikan selama ini. 6. Teman-teman sepenelitian Dicky, Tufi, dan Ruli yang selalu semangat dan
membantu.
7. Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan yang telah saya gunakan selama penelitian ini sampai selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kesalahan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan di Rembang, 10 Oktober 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Sumiran S.Pd dan Sri Sunarti S.Pd.
Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Rembang dan pada tahun yang sama lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru masuk di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih jurusan Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan di kampus. Penulis aktif dalam Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik divisi Kuda tahun 2007/2008, Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Pembaharuan 2006/2007 divisi Olah Raga dan Seni Budaya, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia 2007/2008, anggota team Basket Fakultas Kedokteran Hewan, dan Organisasi Mahasiswa Daerah Kabupaten Rembang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………...……….... xiv
DAFTAR GAMBAR……….. DAFTAR LAMPIRAN………... xv xvi PENDAHULUAN……….. 1 Latar Belakang……… 1 Tujuan………. 2 Manfaat………... 2 TINJAUAN PUSTAKA..………..………... 3 Ikan……….. 3
Morfologi Beberapa Spesies Ikan Air Tawar Konsumsi….……….. 3
Mitokondria ……… 9
DNA Mitokondria: Struktur dan Fungsi……… 10
Penggunaan DNA Mitokondria dalam Identifikasi Spesies……….. 11
Teknik Polymerase Chain Reaction dan Restriction Fragment Length Polymorphism……….. 12
Polymerase Chain Reaction (PCR)………... 12
DNA Polimerase dan Taq Polimerase ……….……… 15
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)………... 17
BAHAN DAN METODE…….………...……….……….. 18
Tempat dan Waktu Penelitian……….... 18
Alat Penelitian ……….. 18
Bahan Penelitian……….... 18
Metode Kerja………. 19
Pengumpulan Sampel………. 19
Ekstraksi DNA dari Jaringan Otot………….………. 19
Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui Metode PCR….... Pemotongan Fragmen DNA dengan Hinf I dan Rsa I……….... 20 21 Pemeriksaan Fragmen DNA dengan Elektroforesis Gel Agarose….. 22
Analisis Hasil dengan Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi…... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN……….………... 24
Hasil……….. 24
Pembahasan... 33
Analisis Pemotongan Amplikon Cyt b mtDNA Sembilan Ikan Air Tawar dengan Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease Hinf I dan Rsa I……… 33
Identifikasi Data Dasar Fragmen Restriksi Sembilan Spesies Ikan Air Tawar……...…...………. 33
Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 37 38 43 xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Taksonomi sembilan jenis ikan air tawar konsumsi (The Bay Science Foundation 2008)……..………... 2 Amplifikasi PCR dan prediksi fragmen-fragmen hasil restriksi dengan
menggunakan Hinf I dan Rsa I………..………. 3
32
Halaman
1 Ikan patin (Pangasius hypophtalmus, anonim[1]2007)……..………….. 4 2 Ikan mas (Cyprinus carpio, anonim[2]2007).………...………... 5
3 Ikan lele (Clarias sp.) (Dokumentasi Pribadi).………. 5
4 Ikan sepat (Trichogaster Pectoralis) (Dokumentasi Pribadi)…………... 6 5 Ikan sapu-sapu (Hypostomus sp.) (Dokumentasi Pribadi)……… 6 6 Ikan mujair (Oreochromis mossambicus, anonim[2]2008)……….. 7 7 Ikan nila (Oreochromis niloticus, anonim[3]2008).………. 7 8 Ikan gurami (Osphronemus gouramy) (Dokumentasi Pribadi)…………. 8 9 Ikan bawal (Colossoma macropomum) (Dokumentasi Pribadi)………... 9 10 Mesin amplifikasi DNA (Polymerase Chain Reaction) (Dokumentasi
Pribadi)………... 21 11 Alat elektroforesis mini (Dokumentasi Pribadi)... 12 Fragmen marka DNA (a), amplikon ikan mas (b), sapu-sapu (c), sepat
(d), mujair (e), patin (f), lele (g), nila (h), gurami (i), dan bawal (j)……. 13 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan bawal yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan patin yang dipotong dengan Hinf I (c)……….... 14 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan bawal yang dipotong dengan Rsa I (b), fragmen amplikon ikan patin yang dipotong dengan Rsa I (c)………... 15 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan sapu-sapu yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan mujair yang dipotong dengan Hinf I (c)……… 16 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan mas yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan sepat yang dipotong dengan Hinf I (c), fragmen amplikon ikan sepat yang dipotong dengan Rsa I (d), fragmen amplikon ikan mas yang dipotong dengan Rsa I (e)……… 17 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan gurami yang dipotong
dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan lele yang dipotong dengan Hinf I (c)………... 18 Fragmen marka DNA (a), fragmen restriksi mujair yang dipotong dengan Rsa I (b), fragmen restriksi gurami yang dipotong dengan Rsa I (c), fragmen restriksi lele yang dipotong dengan Rsa I (d), fragmen restriksi nila yang dipotong dengan Rsa I (e), fragmen restriksi sapu-sapu yang dipotong dengan Rsa I (f), dan fragmen restriksi nila (g) yang dipotong dengan Hinf I...
22 24 25 26 27 28 30 31 xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Perhitungan manual amplikon ikan patin, mas, lele, sepat, sapu-sapu, mujair, nila, gurami, dan bawal ………... 2 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan mujair dan gurami.……. 3 Perhitungan manual fragmen restriksi Hinf I ikan patin dan bawal…... 4 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan sepat dan mas…….…… 5 Perhitungan manual fragmen restriksi Hinf I ikan mas dan sepat………… 6 Perhitungan manual fragmen restriksi Hinf I ikan gurami dan lele……... 7 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan patin dan bawal……... 8 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan nila………... 9 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan sapu-sapu dan Hinf I ikan nila………... 10 Perhitungan manual fragmen restriksi Hinf I ikan sapu-sapu dan
mujair…
11 Perhitungan manual fragmen restriksi Rsa I ikan lele……….. 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak kekayaan alam baik hayati maupun hewani. Sumber protein hewani bisa didapatkan dari mengkonsumsi ikan. Kekayaan jenis ikan di Indonesia sangat berlimpah, namun demikian informasi tentang keragaman variasi genetik jenis ikan di Indonesia belum banyak dipelajari. Salah satu cara untuk mengetahui data molekuler spesies hewan adalah dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) berdasarkan gen sitokrom b DNA Mitokondria. Metode PCR-RFLP berdasarkan gen sitokrom b DNA mitokondria sudah digunakan secara luas untuk mengetahui data molekuler hewan, misalnya adalah untuk melakukan identifikasi kekerabatan ikan (Farias et al. 2001), identifikasi kekerabatan burung (Desmond et al. 2001), serta identifikasi spesies mamalia (Malisa et al. 2005; Pfeiffer et al. 2004). Metode PCR-RFLP dapat digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap sampel biologi yang tidak dikenal (Prusak et al. 2005), dan analisis filogeni (Shen et al. 1999).
Informasi mengenai keragaman genetik dapat didapatkan dengan beberapa metode, diantaranya adalah pemotongan DNA mitokondria (mtDNA) dengan menggunakan enzim restriksi sehingga diketahui perbedaan fragmen mtDNA yang telah dipotong. Penggunaan mtDNA untuk karakterisasi ikan dengan metode PCR-RFLP dibidang perikanan telah banyak dilakukan diantaranya pada ikan Pangasius (Rina 2001), Caracharhinus leucas ( Kitamura et al. 1996), Pejerrey (Odontesthes bonariensis) (Yoshizaki et al. 1997), dan Clarias sp. (Hilwa 2004).
Beberapa jenis ikan air tawar konsumsi yang belum diketahui data molekulernya antara lain: patin (Pangasius hypophthalmus), nila (Oreochromis niloticus), lele (Clarias sp.), sepat (Trichogaster pectoralis), sapu-sapu (Hypostomus sp.), mujair (Oreochromis mossambicus), mas (Cyprinus carpio),
gurami (Osphronemus gouramy), dan bawal (Colossoma macropomum).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antar spesies ikan air tawar konsumsi yang ada di Indonesia melalui
perbedaan pola fragmen restriksi daerah sitokrom b DNA mitokondria dengan menggunakan metode PCR-RFLP. Data-data keragaman fragmen restriksi DNA mitokondria sitokrom b yang diperoleh diharapkan dapat membantu dalam mengenali atau mengidentifikasi antar spesies ikan air tawar, serta dapat mengetahui filogeni antar spesies ikan air tawar di Indonesia.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui data dasar fragmen restriksi dari sembilan spesies ikan air tawar konsumsi berdasarkan variasi genetik yang terdapat pada daerah sitokrom b DNA mitokodria melalui metode PCR-RFLP.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi data dasar fragmen restriksi dari sembilan spesies ikan air tawar konsumsi secara molekuler, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk mengenali dan mengidentifikasi spesies ikan air tawar yang ditemukan, serta memberikan pemahaman terhadap metode PCR-RFLP.
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan
Menurut definisi Food and Agriculture Organization (FAO), ikan tidak hanya terbatas pada pengertian ikan yang selama ini dipahami orang awam, yaitu ikan (finfish) yang bersirip, bersisik dan dapat berenang dengan bebas di air. Definisi FAO mengenai ikan adalah organisme laut yang terdiri dari ikan (finfish), binatang berkulit keras (krustasea) seperti udang dan kepiting, moluska seperti cumi dan gurita, binatang air lainnya seperti penyu dan paus, rumput laut, serta lamun laut. Definisi ini telah diadopsi sebagai definisi ikan dalam konteks perikanan di Indonesia (Nikijuluw 2002).
Tabel 1 Taksonomi sembilan jenis ikan air tawar konsumsi
Jenis Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Patin Chordata Osteichthyes Siluriformes Pangasiidae Pangasius hipophthalmus
Mas Chordata Osteichthyes Capriniformes Cyprinidae Cyprinus carpio
Lele Chordata Osteichthyes Siluriformes Clariidae Clarias Clarias sp.
Sepat Chordata Actinopterigii Perciformes Osphronemidae Trichogaster pectoralis
Sapu-sapu
Chordata Osteichthyes Siluriformes Loricariidae Hypostomus Hypostomus
sp.
Mujair Chordata Actinopterigii Perciformes Cichlidae Oreochromis mossambicus
Nila Chordata Actinopterigii Perciformes Cichlidae Oreochromis niloticus
Gurami Chordata Actinopterigii Perciformes Osphronemidae Osphronemus gourami
Bawal Chordata Osteichthyes Characiformes Characidae Colossoma macropomum
Sumber : The Bay Science Foundation (2008), http://zipcodezoo.com/key/Animalia/ Morfologi Beberapa Spesies Ikan Air Tawar Konsumsi
Patin merupakan ikan yang memiliki badan memanjang dengan warna putih seperti perak dan punggung bewarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin yang relatif kecil dan letak mulut yang berada di ujung kepala sebelah bawah merupakan ciri khas golongan catfish. Sudut mulut terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai alat peraba. Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil. Sirip ekornya berbentu tegak dan simetris. Patin merupakan ikan air tawar yang tidak memiliki sisik (Susanto & Amri 2000).
Di Indonesia, dikenal dua macam patin, yaitu patin lokal (Pangasius sp.) dan patin siam atau bangkok (Pangasius hypophtalmus). Ikan patin lokal memiliki kemampuan reproduksi lebih kecil dibandingkan dengan ikan patin siam, oleh karena itu ikan patin siam lebih banyak dibudidayakan. Di alam, ikan patin dapat dijumpai di danau, sungai, maupun rawa. Daerah penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Indonesia. Ada beberapa jenis ikan patin, bahkan di Indonesia pun (khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan) dapat ditemukan banyak ikan patin. Ikan patin semakin disukai dan dikonsumsi banyak orang, hal ini ditunjukkan dengan permintaan terus bertambah. Perlu dijaga kesediaan benih untuk menjaga kelangsungan budidaya ikan ini (Hernowo 2001).
Gambar 1 Ikan patin (Pangasius hypophtalmus, anonim[1]2007)
Ikan merupakan bahan pangan yang berprotein tinggi, murah, dan mudah dicerna oleh tubuh. Di Indonesia terdapat lebih dari 4000 jenis ikan air laut, ikan air payau dan ikan air tawar, akan tetapi baru kira-kira 20 jenis ikan tersebut telah dapat dibudidayakan. Salah satu diantaranya adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas adalah salah satu diantara satu jenis ikan yang bernilai ekonomis penting. Ikan ini telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di daerah tertentu, seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, ikan mas telah menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Kini di Indonesia, ikan mas menduduki produksi terbesar untuk jenis ikan budidaya air tawar (Suseno 2002).
Ikan mas berasal dari daratan Eropa dan Cina, di Indonesia budidaya ikan ini semakin berkembang dan menjadi ikan budidaya yang sangat penting. Ikan mas yang ada di Indonesia pada dasarnya jenis digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan ras ikan konsumsi dan kelompok kedua adalah ras ikan hias. Ikan mas berasal dari Sungai Danube dan Laut Hitam. Ikan mas masih bersifat liar namun memiliki sifat yang tahan terhadap lingkungan baru
maka dengan cepat ikan ini beradaptasi dan tersebar keseluruh penjuru dunia. Ikan mas secara umum mempunyai sifat-sifat sebagai hewan air omnivora yang condong ke sifat hewan karnivora (Suseno 2002).
Gambar 2 Ikan mas (Cyprinus carpio, anonim[2]2007)
Clariidae merupakan famili besar ikan berkumis yang terdapat di perairan tawar Afrika, Syria, India, dan Asia Tenggara. Bentuk badannya menyerupai belut (silindris), kepalanya gepeng mendatar dan keras, mulutnya lebar dengan empat pasang sungut panjang di sekelilingnya, serta memiliki sebuah sirip punggung tetapi tidak berduri. Ikan jenis ini mempunyai organ pernafasan tambahan yang memungkinkan mereka hidup di perairan yang kurang oksigen atau bahkan hidup di luar air. Salah satu ikan dari famili ini adalah ikan lele. Ikan ini tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin, kecuali ikan lele laut. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bisa hidup pada air yang tercemar, misalnya di got atau selokan pembuangan. Ikan lele bersifat nocturnal feeder, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Ikan lele pada siang hari berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan. Menurut suatu penelitian yang dilakukan, mereka meninggalkan perairan untuk mencari makan dan berjalan menggunakan sirip dada dan sirip perutnya (Kottelat et al. 1993).
Gambar 3 Ikan lele (Clarias sp.) (Dokumentasi Pribadi)
Menurut anonim [3] (2007), ikan sepat memiliki penyebaran di Thailand, Cambodia, Malaysia, dan Indonesia. Sepat merupakan ikan yang bertubuh sedang, panjang total mencapai 25 cm, namun umumnya kurang dari 20 cm. Lebar pipih,
dengan mulut agak meruncing. Warna ikan yang liar biasanya kehitaman sampai agak kehijauan pada hampir seluruh tubuhnya. Terkadang sisi tubuh nampak agak terang berbelang-belang miring. Sejalur bintik besar kehitaman, yang hanya terlihat pada individu berwarna terang, terdapat di sisi tubuh mulai dari belakang mata hingga ke pangkal ekor. Sirip daerah punggung (dorsal), ekor, dada dan anal berwarna gelap. Sepasang duri yang terletak paling depan pada sirip bagian perut berubah fungsi menjadi alat peraba yang menyerupai cambuk atau pecut, yang memanjang hingga ke ekornya.
Gambar 4 Ikan sepat (Trichogaster Pectoralis) (Dokumentasi Pribadi)
Menurut anonim [1] (2008), Hypostomus merupakan genus dari catfish famili Loricariidae dikenal dengan nama ikan sapu-sapu. Hypostomus merupakan ikan air tawar yang berasal dari Amerika Selatan. Hypostomus memiliki suckermouth, mereka menggunakan mulut serta hiasan dada, panggul, dan sirip caudal daerah, untuk berinteraksi dengan batu-batu sungai. Ikan jenis ini memiliki warna yang bervariasi dari pink, kehijau-hijauan, dan coklat. Sisir-biku yang rendah dari mulut Hypostomus dapat digunakan untuk memegang algae hijau di bawah sungai. Suckermouth juga berfungsi untuk perangkap ikan kecil. Mereka juga dapat tetap tegak sambil menjelajahi lapisan bawah sungai.
Gambar 5 Ikan sapu-sapu (Hypostomus sp.) (Dokumentasi Pribadi)
Menurut anonim[2](2008), mujair adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Penyebaran alami ikan ini adalah perairan Afrika dan di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Pak Mujair di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur pada tahun 1939. Masih menjadi misteri, bagaimana ikan itu bisa sampai
ke muara terpencil di selatan Blitar, tak urung ikan tersebut dinamai ”mujair”
untuk mengenang sang penemu. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis
mossambicus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Mozambique tilapia, atau kadang-kadang secara tidak tepat disebut “Java tilapia”.
Gambar 6 Ikan mujair (Oreochromis mossambicus, anonim[2]2008)
Menurut Suyanto (1993), ikan ini berasal dari Sudan dan Afrika. Nila merupakan ikan yang memiliki bentuk tubuh yang memanjang, ramping dan relatif pipih. Sisik besar, kasar dan berbentuk ktenoid, gurat sisi terputus dibagian tengah badan kemudian berlanjut dengan letak lebih ke bawah. Jumlah sisik pada gurat sisi sebanyak 34 buah. Warna sisik abu-abu kecoklatan (nila hitam), putih atau merah (nila merah). Posisi mulut terletak diujung (terminal) dan dapat disembulkan. Mempunyai sirip punggung yang keras dan garis-garis vertikal yang miring, sedangkan sirip ekor dengan bentuk membulat terdapat warna kemerahan dan bisa digunakan sebagai indikasi kematangan gonad.
Gambar 7 Ikan nila (Oreochromis niloticus, anonim[3]2008)
Gurami merupakan ikan air tawar yang memiliki pertumbuhan agak lambat dibandingkan ikan air tawar yang lain. Terdapat dua pendekatan pengenalan untuk mengenal gurami lebih jauh, yaitu lewat klasifikasi dan morfologi. Klasifikasi bertujuan untuk mengetahui kekerabatan gurami, oleh karena itu kita dapat mengetahui sedikit banyak sifat, habitat, dan perilaku suatu jenis ikan dengan melihat karakter jenis ikan lain yang masih dalam satu kerabat (Saparinto 2008).
Pendekatan morfologi bertujuan untuk mengenali gurami dari bentuk tubuhnya, dengan begitu kita dapat membedakan jenis dengan melihat perbedaan morfologi tubuhnya (Saparinto 2008). Bentuk tubuh gurami terlihat pipih hampir oval, apabila dilihat dari samping. Tubuh gurami muda ditutupi sisik berwarna biru kehitaman, sedangkan bagian perutnya bewarna keputihan. Menjelang dewasa, warna badan akan berubah menjadi merah sawo tua (kecoklatan), sedangkan perutnya bewarna keperak-perakan atau kekuningan. Sisik badan berukuran relatif besar dan semakin mendekati kepala ukurannya semakin kecil, dan tepi sisik kepala terasa kasar (Saparinto 2008).
Mulut gurami kecil dan miring karena rahang bawah dan atas tidak sama dan tampak menyembul. Rahang gurami terdapat gigi kecil berbentuk kerucut dan sederetan gigi luar yang berukuran lebih besar. Selain memiliki insang, gurami juga memiliki alat pernafasan tambahan yang disebut labirin. Alat pernafasan tambahan tersebut dapat digunakan dalam kondisi saat perairan kekurangan oksigen (Saparinto 2008).
Sirip punggung (dorsal) gurami berjumlah 12-13 duri dan 11-13 jari-jari dan permulaannya terletak jauh dibelakang sirip dada (pectoral). Sirip dubur (anal) mempunyai 9-11 duri dan 19-21 jari-jari. Sirip perut (ventral) terletak dibawah permulaan sirip dada dan terdiri sebuah duri dan 5 buah jari-jari. Sirip perut ini selanjutnya mengalami modifikasi menjadi alat peraba. Tinggi tubuh gurami dewasa hampir dua kali panjang kepala atau 3-4 kali panjang tubuh. Gurami muda terdapat 8 buah garis tegak, namun garis tersebut akan hilang setelah gurami dewasa. Bintik gelap dengan pinggiran berwarna kuning atau keperakan terdapat pada bagian tubuh di atas sirip dubur dan pada sirip dada terdapat sebuah bintik hitam (Saparinto 2008)
Gambar 8 Ikan gurami (Osphronemus gouramy) (Dokumentasi Pribadi)
Ikan bawal berasal dari Amerika Selatan. Ikan ini memiliki badan agak bulat, bentuk tubuh pipih, sisik kecil, kepala hampir bulat, lubang hidung agak besar, sirip dada di bawah tutup insang, sirip perut dan dubur terpisah, punggung berwarna abu-abu tua, serta perut putih abu-abu dan merah. Ikan bawal merupakan salah satu jenis komoditi hasil perikanan sebagai bahan pangan dijumpai hampir di seluruh perairan Indonesia. Pemanfaatannya masih belum optimal dengan menunjang kebutuhan protein hewani. Perikanan bawal di Indonesia diusahakan mulai dari perairan Sumatera bagian utara sampai ke Indonesia bagian timur menggunakan alat-alat sederhana bersifat tradisional hingga cukup modern. Ikan bawal ada dua macam, ikan bawal hitam (Stromateus niger) dan ikan bawal putih (Pampus argenteus). Ikan bawal sudah sangat terkenal dan disukai orang banyak sebagai ikan pangan, terutama bawal putih, tetapi daur hidupnya belum banyak ditelaah oleh para ahli. Ikan-ikan yang masih muda biasanya tertangkap di perairan pantai bahkan sampai masuk ke muara sungai (Supriatna 1998).
Gambar 9 Ikan bawal (Colossoma macropomum) (Dokumentasi Pribadi)
Mitokondria
Mitokondria merupakan organel sel yang bertanggungjawab dalam aktivitas respirasi aerob sel-sel eukariot yang meliputi proses-proses biokimia dari siklus krebs (siklus asam sitrat), transport elektron, dan fosforilasi oksidatif. DNA selain terdapat dalam inti sel juga terdapat dalam mitokondria yang disebut sebagai DNA mitokondria. DNA merupakan suatu molekul yang terdapat di dalam sel yang membawa informasi genetik. DNA dapat berbentuk untai ganda ataupun untai tunggal. Satu DNA berisi basa nitrogen (purin dan pirimidin), phosphat, dan gula deoxyribosa. DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti, dimana DNA mitokondria berbentuk sirkular pada mamalia, setiap cetakan DNA mitokondria terdiri dari 15.000 – 17.000 pasang basa (Lemire 2005).
Mitokondria tersusun dari dua buah membran, yaitu membran luar dan membran dalam yang merupakan suatu lapisan lipoprotein. Membran luar membungkus keseluruhan badan mitokondria dan berfungsi sebagai batas terluar dari mitokondria, sedangkan membran dalam mitokondria akan membentuk lekukan (cristae) yang menjorok kearah dalam matriks mitokondria. Di dalam matriks mitokondria inilah terdapat enzim-enzim yang berfungsi dalam proses siklus asam sitrat (Guyton 1996). Di dalam matriks mitokondria terdapat suatu struktur untai DNA khusus yang berbeda dengan DNA inti. DNA mitokondria inilah yang kemudian kerap dijadikan alat dalam menentukan kondisi dan keragaman genetik pada setiap organisme maupun individu yang tujuan utamanya adalah menelusuri perjalanan kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan menelusuri asal usul hewan atau untuk identifikasi spesies (DuPraw 1970; Sumartini 2001; Pereira 2000, diacu dalam Yasa 2007).
DNA Mitokondria: Struktur dan Fungsi
Bentuk dan ukuran DNA mitokondria pada organisme uniseluler sangat bervariasi. Namun pada organisme yang lebih tinggi, strukturnya cenderung seragam. DNA mitokondria berukuran kecil dan sangat kompak. Namun walau hanya berukuran kecil, DNA mitokondria memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses pembentukan asam amino-asam amino yang sangat berperan dalam proses respirasi dan pembentukan energi pada sel (Lemire 2005).
DNA mitokondria pada hewan multiseluler berbentuk sirkuler dan beruntai ganda. Namun beberapa spesies alga dan ciliata memiliki DNA mitokondria yang berbentuk linear. Panjang DNA mitokondria pada vertebrata berkisar antara 15 -20 kilo basa (Kvist 2000). DNA dapat ditemukan di dalam nukleus dan organel sitoplasma. Kenyataannya organel seperti mitokondria pada tumbuhan dan hewan dan kloroplas pada alga dan tumbuhan tingkat tinggi tidak hanya mengandung DNA tetapi juga RNA, ribosom, dan perlengkapan lainnya untuk sintesa protein (Goodenough dan Levineb1970, diacu dalam Stine 1973).
DNA mitokondria tersusun atas 2 untai DNA, yaitu untai luar yang tersusun dari basa-basa nukleotida yang lebih berat yang relatif lebih banyak mengandung
basa purin (adenin dan guanin) dan untai dalam yang tersusun dari basa-basa nukleotida yang lebih ringan karena relatif lebih banyak mengandung basa pirimidin (sitosin dan timin). Untai luar tersebut dikenal dengan nama heavy strand (H-strand), sedangkan untai dalam yang cenderung lebih ringan disebut sebagai light strand (L-strand). DNA mitokondria memiliki suatu karakter khusus yang membedakannya dari DNA inti, yaitu dalam hal kepadatan pengorganisasian gen. DNA mitokondria memiliki kepadatan gen yang tinggi tanpa disertai adanya intron atau spacer antar gen pada keseluruhan untai DNA kecuali pada daerah awal inisasi replikasi dari H-strand (Wandia 2001).
Setiap genom DNA mitokondria terdiri atas daerah koding dan non koding. Daerah koding mengambil proporsi 90% dari total genom sedangkan sisanya merupakan daerah non koding. Daerah koding mengandung 37 gen penyandi yang terdiri atas 22 transfer RNA (tRNA), 2 ribosomal RNA (rRNA), dan 13 messenger RNA (mRNA). mRNA sendiri terdiri atas 3 subunit sitrokrom oksidase (CO I-III), 7 subunit NADH-dehidrogenase (ND 1-6 dan ND 4L), 2 subunit ATPase (6 dan 6L) dan sitokrom-b (cyt-b) yang nantinya akan mengkode pembentukan protein, terutama protein yang terlibat dalam transport elektron dan reaksi fosforilasi oksidatif dari mitokondria (Kvist 2000).
Penggunaan DNA Mitokondria dalam Identifikasi Spesies
Menurut Muladno (2002), DNA merupakan unit terkecil yang terdapat pada semua makhluk hidup. DNA mitokondria merupakan molekul yang kecil dan sederhana. Molekul ini biasanya diwariskan secara maternal (Randi 2000). Studi tentang DNA mitokondria sangat sesuai untuk memecahkan berbagai masalah dalam evolusi dan biologi populasi. Sekuen gen mitokondria ini secara klonal diwariskan induk pada hewan vertebrata, oleh karena itu baik digunakan untuk rekonstruksi filogenik secara maternal. Sekuen yang mempunyai mutasi evolusi yang tinggi, membuatnya baik digunakan untuk studi populasi dalam spesies. Penentuan mutasi yang cepat dengan resolusi yang tinggi, membuat molekul ini ideal untuk identifikasi spesies, terutama pada organisme kecil (Kocher dan White 1989).
Kandungan mtDNA dalam setiap sel sangat melimpah. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah kopi DNA mitokondria pada vertebrata berkisar antara 103 – 104molekul/sel somatik, bahkan dapat mencapai ribuan kopi mtDNA seperti yang terdapat dalam oosit (Clayton 1991). Oleh karena ukurannya yang sangat kecil dan jumlahnya yang cukup banyak dalam tiap sel, DNA mitokondria cenderung untuk digunakan dalam studi populasi (Fujii & Nishida (1997) diacu dalam Sumartini (2001)).
Sitokrom b telah digunakan untuk studi filogenetik, yang sering dilakukan adalah untuk identifikasi spesies yang berbeda (Irwin et al. 1991). Hasil penelitian tersebut dapat digunakan dalam studi filogenetik, yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi baru yang lebih menggambarkan dalam filogeni spesies (Arnason et al. 1995). Di dalam mitokondria eukariot dan prokariot anaerobik, sitokrom b merupakan komponen rantai respiratori komplek III dari sistem fosforilasi oksidatif mitokondria, yang diperlukan untuk transfer elekron (Howell 1989).
Teknik Polymerase Chain Reaction dan Restriction Fragment Length
Polymorphism
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu teknik yang digunakan secara luas dalam biologi molekuler. PCR menggunakan DNA polymerase yang heat-stable. PCR digunakan untuk menggandakan region untai DNA spesifik atau DNA target. Komponen dan reagen yang digunakan dalam PCR meliputi DNA template, primer, DNA polymerase (Taq polimerase), dNTP (deoxynucleoside triphosphate), larutan buffer, dan cation divalent. PCR bekerja dengan menggunakan prinsip siklus thermal. Tahapan dari PCR meliputi denaturasi pada suhu 94-96 C, annealing pada suhu ~ 65 C, serta elongasi/ekstensi pada suhu 72C (Yuwono 2006).
Reaksi berantai polimerase adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini
sekarang telah banyak dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik (Yuwono 2006).
Langkah awal untuk menganalisis DNA adalah memutus genom DNA menjadi fragmen-fragmen spesifik yang berukuran kecil. Polymerase Chain Reaction ini secara garis besar terdiri atas tiga tahapan utama yaitu tahap denaturasi untuk memisahkan DNA menjadi utas tunggal, annealing yaitu proses penempelan primer, dan proses ekstensi yaitu proses pemanjangan DNA baru (Erlich 1989).
Metode PCR sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen berkopi tunggal dari sekelompok sekuen genom. Selain itu dengan menggunakan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5 X 10-19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus seaksi selama 220 menit (Mullis & Fallona 1989). Hal ini menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara cepat. Keunggulan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50-100 μl. DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampurkan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yuwono 2006).
Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dapat dilakukan. Sekuen yang diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polymerase. Pengembangan lebih lanjut metode PCR memungkinkan dilakukan pelipatgandaan suatu fragmen DNA yang belum diketahui urutannya, misalnya metode Alu-PCR (Rosenthal 1992).
Empat komponen utama yang diperlukan pada proses PCR yaitu (1) DNA cetakan (template), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan,
(2) oligonukleotida primer, yaitu urutan oligonukleotida pendek (sekitar 15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006).
Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5´-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3´-OH rantai DNA cetakan yang lain (Yuwono 2006).
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan suhu (95 °C) selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 °C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen pada cetakan pada daerah urutan yang komplementer dengan urutan primer. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan dengan suhu yang lebih rendah (37 °C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55 °C), spesifisitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun (Yuwono 2006).
Proses annealing biasanya dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 °C selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hydrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 °C. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).
Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi sampai 25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi. Paling tidak, diperlukan 25 siklus untuk melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam DNA genom mamalia agar hasilnya dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis gel agarose. Akan tetapi, pada umumya konsentrasi DNA polimerasi Taq menjadi terbatas setelah 25-30 siklus amplifikasi (Sambrook et al. 1982).
DNA Polimerase dan Taq Polimerase
DNA polimerase yang digunakan dalam PCR adalah fragmen Klenow DNA polimerase I yang berasal dari Escherichia coli (Mullis dan Fallona 1989). Fragmen Klenow adalah DNA polimerase yang telah dihilangkan aktivitas eksonuklease (5´3´) –nya. Beberapa kelemahan fragmen Klenow antara lain adalah bahwa enzim ini tidak tahan panas, laju polimerasinya termasuk sedang, dan prosensitivitasnya rendah. Prosensitivitas adalah kemampuan suatu enzim polimerase untuk menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara terus-menerus tanpa terdisosiasi dari kelompok primer-DNA cetakan. Hampir semua DNA polimerase mempunyai prosensitivitas yang rendah sehingga dengan terdisosiasi dengan kelompok primer-DNA cetakan setelah menggabungkan kurang dari 10 nukleotida. Salah satu perkecualian adalah T7 DNA polimerase yang mampu menggabungkan ribuan nukleotida tanpa terdisosiasi dari kelompok primer-DNA cetakan (Struhl 1990).
Salah satu tahapan PCR adalah denaturasi DNA cetakan dengan menggunakan suhu tinggi (95 °C) maka diperlukan suatu enzim DNA polimerase yang tetap aktif meskipun mengalami inkubasi pada suhu tinggi. Alternatif fragmen Klenow yang kemudian digunakan dalam PCR adalah DNA polimerase yang berasal dari mikrobia termofilik, yaitu Taq DNA polimearase yang berasal dari bakteri Thermus aquaticus BM, yaitu suatu strain yang tidak mempunyai endonuklease restriksi Taq I. Taq DNA polimerase tersusun atas suatu rantai
polipeptida dengan berat molekul kurang lebih 95 kD. Enzim ini mempunyai kemampuan polimerasi DNA yang sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease 3´  5´. Enzim ini paling efektif pada pH 9 (pada suhu 20 °C) dan suhu aktivitas optimumnya sekitar 75 °C-80 °C (Yuwono 2006).
Kelebihan enzim Taq DNA polimerase adalah senyawa enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan, oleh karena itu maka tidak diperlukan penambahan enzim pada tiap-tiap siklus PCR seperti yang harus dilakukan kalau enzim yang digunakan adalah fragmen Klenow DNA polimerase. Kelebihan lain enzim Taq DNA polimerase adalah laju polimerisasinya yang tinggi serta prosensitivitasnya yang juga lebih tinggi dibanding dengan fragmen Klenow. Salah satu kelemahan enzim Taq DNA polymerase adalah bahwa enzim tersebut mempunyai potensi untuk melakukan kesalahan dalam menggabungkan nukleotida sehingga ada kemungkinan terjadi mutasi pada fragmen gen hasil amplifikasi (Gelfand & White 1990).
Menurut Saiki (1988), DNA polimerase termostabil digunakan dalam prosedur amplifikasi DNA in vitro, yaitu melalui Polymerase Chain Reaction. Spesifitas Taq DNA polimerase yang berhubungan dengan amplifikasi dapat dipengaruhi oleh waktu dalam penyediaan tahap ekstensi primer dan melalui kuantitas enzim yang digunakan dalam reaksi.
Aktivitas Taq DNA polimerase dipengaruhi oleh konsentrasi ion magnesium. Aktivitas Taq DNA polimerase mencapai maksimal pada konsentrasi MgCl2 sebesar 2,0 mM jika konsentrasi dNTP yang digunakan adalah
0,7-0,8 mM. Konsentrasi Mg2+ lebih tinggi dari 2,0 mM akan menghambat aktivitas Taq DNA polymerase (Lawyer et al. 1989). Di samping itu, aktivitas enzim polymerase ini juga akan menurun 20-30% jika konsentrasi total dNTP yang digunakan mencapai 4-6mM (Gelfand & White 1990).
Konsentrasi Taq DNA polimerase yang dianjurkan untuk melakukan PCR adalah antara 1-2 unit per 50-100 μl reaksi, Penggunaan reaksi yang berbeda, enzim yang diperlukan mungkin berbeda. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pengujian dengan melakukan variasi konsentrasi enzim kemudian dicek dengan elektroforesis pada gel agarose. Apabila konsentrasi enzim terlalu tinggi maka akan diperoleh produk non-spesifik yang terlalu besar, sedangkan jika
konsentrasinya terlalu rendah maka produk yang diharapkan juga akan terlalu sedikit (Gelfand & White 1990).
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
RFLP merupakan metode penandaan dengan menggunakan enzim endonuklease untuk memotong DNA pada situs tertentu. Metode ini sangat berguna untuk menyusun peta genetik pada banyak spesies (Durham 2004, diacu dalam Hilwa 2004). Analisis RFLP pada DNA mitokondria merupakan metode yang baik untuk mempelajari populasi hewan (Avise et al. 1987, diacu dalam Kitamura et al. 1996). Teknik dalam RFLP adalah fragmentasi DNA genom menggunakan enzim restriksi, yang dapat mengenali dan memotong DNA di mana akan terjadi urutan spesifik pendek dalam proses yang disebut sebagai restriction digestion. Hasil RFLP adalah terbentuk DNA fragmen yang dapat dipisahkan panjangnya melalui proses agarose gel electrophoresis (Durham 2004). Penandaan DNA sangat diperlukan di antaranya untuk studi mengenai genom, pemetaan hubungan antar gen, penentuan lokasi gen kromosom, isolasi gen, menemukan ekspresi gen, studi biokimia dan mekanisme molekuler penampilan, serta analisa genetika populasi. Teknik penandaan DNA yang biasa digunakan yaitu Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplification of Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Durham 2004).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan dan Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dalam kurun waktu antara bulan Juli 2008 sampai dengan Desember 2008.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah mikropipet (dengan ukuran 1 – 10 μl, 2 – 20 μl, dan 50 – 1000 μl), tabung sampel, mikrotip, tabung eppendorf 1,5 ml, tabung PCR, gunting bedah, pinset, timbangan analitik, penumbuk, parafilm, vortex, waterbath, sentrifuse, agarose DNA elektroforesis, UV transluminator, dan AB Gene Amp®PCR System 9700.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jaringan tubuh atau daging ikan diataranya yaitu patin (Pangasius hypophthalmus), nila (Oreochromis niloticus), lele (Clarias sp.), sepat (Trichogaster pectoralis), sapu-sapu (Hypostomus sp.), mujair (Oreochromis mossambicus), mas (Cyprinus carpio), gurame (Osphronemus gouramy), dan bawal (Colossoma macropomum). Dimana sampel ikan air tawar tersebut dipreservasi di dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25%. Bahan penelitian yang lain adalah air milique steril, larutan lisis buffer, proteinase k, larutan RNAase, larutan amonium asetat, isopropanol, etanol 70%, larutan TAE (Tris Asetat EDTA) 1 X, agarose, loading dye, ethidium bromide, PCR reagen kit (dNTP, buffer solution, primer universal sitokrom b L14841/H15149, dan taq polymerase), marka DNA, Hinf I, dan Rsa I.
Metode Kerja
Analisis DNA mitokondria sembilan ikan air tawar konsumsi terdiri atas beberapa prosedur kerja, yaitu meliputi :
a. Pengumpulan sampel
b. Ekstraksi DNA dari jaringan otot
c. Amplifikasi fragmen DNA mitokondria melalui metode PCR d. Pemotongan fragmen DNA dengan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I e. Pemeriksaan fragmen DNA dengan elektroforesis gel agarose f. Analisis hasil dengan penghitungan ukuran fragmen restriksi
Pengumpulan Sampel
Pengumpulan sampel sembilan ikan air tawar lokal Indonesia yaitu patin, nila, lele, sepat, sapu-sapu, mujair, mas, gurame, dan bawal dilakukan di sekitar Bogor, kemudian sampel daging tersebut dipreservasi di dalam larutan NaCl 4,5 M yang mengandung DMSO 25% sebagai media transport dan disimpan di dalam pendingin pada suhu 40C.
Ekstraksi DNA dari Jaringan Otot
Sampel jaringan ikan yang telah dipreservasi diekstraksi untuk mendapatkan genom. Sebanyak 100 mg jaringan ikan dihancurkan sampai halus di dalam tabung eppendorf 1,5 µl. Jaringan hewan yang telah hancur ditambah dengan larutan lysis buffer sebanyak 500 μl, kemudian diinkubasi pada suhu 55 °C selama 1 jam dan digoyang dalam shaker water bath dengan kecepatan 60 rpm. Setelah 1 jam 6 μl proteinase k [10 mg/ml] ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan diinkubasi kembali pada suhu 55 °C selama 3 jam atau overnight. Penambahan RNAase solution sebanyak 3 μl [20 mg/ml], setelah 3 jam lalu dicampur dengan cara dibolak-balikkan sebanyak 25 kali, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 15-30 menit. Setelah itu tabung yang berisi larutan tersebut disimpan di dalam es selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan sentrifus pada kecepatan 9000 g selama 30 menit.
Kemudian supernatan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan larutan amonium asetat 5 M sebanyak 500 μl dan divortex selama 20 detik pada kecepatan maksimum, lalu didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Tahap selanjutnya sentrifus pada kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 °C selama 15 menit, lalu supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru dan disentrifuse kembali pada kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 °C selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifus yang diperoleh dipindahkan ke dalam tabung eppendorf baru yang sudah diisi dengan 600 μl isopropanol absolut (suhu ruang) dan sampel dicampur dengan cara membolak-balikkan tabung, kemudian didiamkan sampai terbentuk pelet (1 malam pada suhu ruang).
Keesokan harinya proses dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm pada suhu 4 °C selama 5 menit sehingga DNA akan terlihat sebagai pelet putih kecil. Kemudian supernatan dibuang dan apabila diperlukan dapat dilakukan sentrifus ulang untuk membuang sisa isopropanol. Setelah itu, ditambahkan 500 μl alkohol 70% dingin, lalu tabung dibolak-balikkan untuk membantu pencucian DNA. Sentrifus dengan kecepatan 13.000-16.000 g selama 3 menit dan alkohol yang ada di dalam tabung dibuang dengan hati-hati supaya pelet DNA tidak ikut terbuang. Setelah itu, DNA di dalam tabung eppendorf dikeringkan secara vakum atau didiamkan pada suhu ruang atau diinkubasi pada suhu 75 °C selama 5 menit. Tambahkan 30-50 μl milique pada pelet DNA yang sudah dikeringkan, lalu dibiarkan semalam atau diinkubasi pada suhu 60 °C selama 3 menit atau pada suhu 55 °C selama 20-30 menit. Setelah itu, DNA disimpan di dalam freezer.
Amplifikasi Fragmen DNA Mitokondria melalui Metode PCR
Proses amplifikasi fragmen DNA mitokondria dilakukan dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Apabila digunakan sampel hasil ekstraksi DNA sebanyak [1 μl/50 ng] maka secara berurutan reagen yang dicampurkan ke dalam tabung PCR adalah ddH2O sebanyak
16,55 μl, kemudian dicampurkan dengan buffer 10 X sebanyak 2,5 μl, lalu dicampurkan dNTP sebanyak 2 mM. Setelah itu, dimasukkan primer 1 dan 2 masing-masing sebanyak 1 μl, dan selanjutnya dimasukkan Taq polimerase
sebanyak 2,5 unit, serta dicampurkan DNA template (DNA sampel) sebanyak ± 100 ng (volume total untuk satu kali reaksi dalam PCR ini adalah 25 μl).
Tabung PCR yang sudah berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam mesin Thermocycler PCR yang sudah diprogram untuk berjalan dalam 35 siklus pada kondisi :
 94 °C selama 90 detik (denaturasi awal)  94 °C selama 45 detik (denaturasi akhir)  53 °C selama 45 detik (annealing primer)  72 °C selama 90 detik (extention awal)  72 °C selama 10 menit (extention akhir)
Proses denaturation, annealing, dan extention ini dilakukan untuk 35 kali siklus. Setelah itu, sampel disimpan sampai akan digunakan.
Gambar 10 Mesin amplifikasi DNA (Dokumentasi Pribadi)
Pemotongan Fragmen DNA dengan Hinf I dan Rsa I
Proses pemotongan DNA dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan enzim restriksi Hinf I dan Rsa I. Beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Hinf I secara berurutan adalah ddH2O sebanyak 12,25 μl, kemudian larutan buffer sebanyak 2,5 μl,
setelah itu dicampurkan enzim Hinf I sebanyak 2,5 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak 10 μl [1 μl/50 ng] (volume total dalam pemotongan dengan Hinf I ini adalah 25 μl).
Beberapa reagen yang digunakan dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I secara berurutan adalah ddH2O sebanyak 10,5 μl, kemudian
larutan buffer sebanyak 2,5 μl, setelah itu dicampurkan enzim Rsa I sebanyak 20 unit, serta DNA hasil PCR sebanyak sebanyak 10 μl [1 μl/50 ng] (volume
total dalam pemotongan DNA hasil PCR dengan Rsa I adalah 25μl). DNA hasil PCR yang dipotong selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam untuk pemotongan dengan Hinf I dan selama 6 jam untuk pemotongan dengan Rsa I, lalu dilakukan pembacaan hasil dengan elektroforesis.
Pemeriksaan Fragmen DNA dengan Elektroforesis Gel Agarose
Pemeriksaan DNA hasil ekstraksi digunakan agarose dengan konsentrasi 1 %, sedangkan untuk DNA hasil amplifikasi PCR dan RFLP menggunakan gel agarose 1,5-2 %. Sebanyak 0,5 gr agarose ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer, lalu dimasukkan larutan TAE 50 ml yang telah diukur dengan gelas ukur dan dikocok merata. Gel agarose 1 % tersebut dimasukkan ke microwave selama 3-5 menit sampai semua agarose terlarut, ditunggu sebentar sampai agak dingin, lalu dimasukkan ethidium bromida dan dikocok sampai merata, kemudian dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah 15-30 menit sampai benar-benar dingin agarose diangkat dari cetakan. Agar yang sudah mengeras dipindahkan dari bak pencetak ke dalam elektroforesis (Gambar 11) yang sudah berisi larutan buffer Tris Acetat EDTA (TAE) 1X hingga terendam larutan fragmen mtDNA yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang ada pada lempengan agar.
Elektroforesis (Gambar 11) dihubungkan ke power supply yang diatur pada tegangan 50-100 Volt dan dijalankan selama 30 menit untuk melajukan partikel DNA sampai dicapai resolusi yang diinginkan. Pengamatan terhadap hasil elektroforesis dilakukan dengan menggunakan UV transluminator. Hasil positif ditunjukkan dengan ada pita (band) berpendar pada saat penyinaran dan pengambilan gambar dapat dilakukan untuk analisa lebih lanjut.
Gambar 11 Alat elektroforesis mini (Dokumentasi Pribadi)
Analisis Hasil dengan Penghitungan Ukuran Fragmen Restriksi
Analisa hasil dilakukan dengan pengukuran besarnya molekul DNA Mitokondria total sebelum dipotong dan fragmen DNA mitokondria setelah dipotong dengan mengacu pada marka DNA, dengan diketahuinya besarnya fragmen DNA mitokondria masing-masing spesies, maka dapat diketahui polimorfisme serta data genetik masing-masing ikan air tawar yang diuji.
DNA sampel pada foto/gambar dapat diukur besarnya dengan menggunakan kertas Semi-Log (One Cycle Semi-Log). Langkah pertama dalam pengukuran DNA adalah menentukan sumbu y untuk berat molekul (pb untuk berat molekul DNA) serta sumbu x untuk jarak migrasi DNA (dalam cm). Setelah itu, migrasi DNA ladder pada foto/gambar diukur kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga terbentuk garis lurus. Langkah berikutnya adalah pengukuran migrasi DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel kemudian diplot pada kertas Semi-Log sehingga dapat diketahui berat molekul DNA setiap sampel atau fragmen restriksi setiap sampel (Sambrook et al. 1982 ).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sampel jaringan dari sembilan jenis ikan air tawar diekstraksi menggunakan metode ekstraksi amonium asetat sampai didapatkan genom/DNA, kemudian dilakukan amplifikasi fragmen sitokrom b dari DNA mitokondria
dengan metode PCR (Gambar 12) menggunakan primer universal
L14841/H15149 yang menghasilkan amplikon dengan ukuran sebesar 359 pb (Kocher et al. 1989). Amplikon yang sudah diperoleh kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease pada suhu 37 °C selama 2 jam untuk Hinf I dan 6 jam untuk Rsa I di dalam mesin PCR. Hasil dari amplikon dan fragmen pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease pada sitokrom b DNA mitokondria dapat dilihat pada Tabel 2.
a b c d e f g h i j
Gambar 12 Fragmen marka DNA (a), amplikon ikan mas (b), sapu-sapu (c), sepat (d), mujair (e), patin (f), lele (g), nila (h), gurami (i), dan bawal (j).
Amplikon dari sembilan sampel jaringan ikan air tawar, terdapat lima sampel yang dapat dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I, sedangkan hampir semua sampel ikan air tawar dapat terpotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I kecuali pada ikan sepat (Trichogaster pectoralis). Semua amplikon sampel ikan yang terpotong mempunyai perbedaan pola fragmen jika dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I. Ikan Patin (Pangasius hipophtalmus), lele (Clarias sp.), nila (Oreochromis niloticus L), gurami (Osphronemus gouramy), dan bawal (Colossoma macropomum) dapat terpotong menjadi dua fragmen jika
359 pb 24
dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I dengan besar fragmen yang berbeda-beda. Ikan mas (Cyprinus carpio), sepat (Trichogaster pectoralis), sapu-sapu (Hypostomus sp.), dan mujair (Oreochromis mossambicus) tidak dapat terpotong jika dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I. Ikan patin, mas , lele, sapu-sapu, mujair, nila, gurami, dan bawal dapat terpotong menjadi dua fragmen jika dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I dan memiliki pola framen yang berbeda-beda, sedangkan ikan sepat tidak dapat terpotong jika menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I. Hampir semua sampel ikan air tawar tidak ada yang mempunyai persamaan pola fragmen jika dilakukan pemotongan dengan menggunakan dua enzim restriksi endonuklease Hinf I dan atau Rsa I, kecuali pada ikan patin.
a b c a b c
300 pb 199 pb 189 pb 300 pb
200 pb 200 pb
100 pb 160 pb 170 pb 100 pb
Gambar 13 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan bawal yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan patin yang dipotong dengan Hinf I (c).
199 pb
160 pb
189 pb
a b c a b c 335 pb 189 pb 300 pb 300 pb 200 pb 200 pb 100 pb 100 pb
Gambar 14 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan bawal yang dipotong dengan Rsa I (b), fragmen amplikon ikan patin yang dipotong dengan Rsa I (c).
Amplikon ikan patin (Pangasius hipophtalmus) (359 pb) menggunakan enzim Hinf I dan Rsa I menghasilkan dua fragmen yang sama besar, yakni 189 pb dan 170 pb (Gambar 13 dan 14). Ikan bawal (Colossoma macropomum) mempunyai fragmen restriksi yang masing-masing berukuran 199 pb dan 160 pb untuk pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I, sedangkan pemotongan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I amplikon terpotong menjadi dua fragmen yang berukuran 335 pb dan 24 pb (Gambar 13 dan 14). 335 pb 24 pb 189 pb 170 pb 26
a b c 359 pb 300 pb 200 pb 100 pb a b c 300 pb 200 pb 100 pb
Gambar 15 Fragmen marka DNA, fragmen amplikon ikan sapu-sapu yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan mujair yang dipotong dengan Hinf I (c).
359 pb
359 pb
a b c a d e 359 pb 359 pb 300 pb 200 pb 300 pb 200 pb 100 pb 100 pb a b c a d e 300 pb 200 pb 100 pb
Gambar 16 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan mas yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan sepat yang dipotong dengan Hinf I (c), fragmen amplikon ikan sepat yang dipotong dengan Rsa I (d), fragmen amplikon ikan mas yang dipotong dengan Rsa I (e). 300 pb 200 pb 359 pb 181 pb 178 pb 359 pb 359 pb 359 pb 181 pb 178 pb 100 pb 28
Pemotongan amplikon ikan mas (Cyprinus carpio) dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan dua fragmen yang memiliki ukuran 181 pb dan 178 pb, sedangkan jika menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I tidak dapat memotong amplikon (Gambar 16). Amplikon ikan sepat (Trichogaster pectoralis) yang dipotong dengan menggunakan dua enzim restriksi endonuklease Hinf I dan Rsa I tidak dapat terpotong, sehingga tidak terbentuk fragmen atau hanya terlihat satu pita DNA (Gambar 16). Amplikon ikan lele (Clarias sp.) mempunyai ukuran fragmen restriksi yang masing-masing berukuran 188 pb dan 171 pb untuk pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I (Gambar 17). Pemotongan dengan enzim Rsa I amplikon terpotong menjadi dua fragmen yang berukuran 243 pb dan 116 pb (Gambar 18).
Pemotongan amplikon ikan sapu-sapu (Hypostomus sp.) dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan dua fragmen dengan ukuran 230 pb dan 129 pb (Gambar 18), sedangkan jika menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I amplikon tidak terpotong (Gambar 15). Amplikon ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I menghasilkan dua fragmen yang memiliki ukuran 186 pb dan 173 pb (Gambar 18), sedangkan jika menggunakan enzim restriksi endonuklease Hinf I amplikon tidak terpotong (Gambar 15).
Amplikon ikan nila (Oreochromis niloticus L) mempunyai dua fragmen restriksi yang berukuran 230 pb dan 129 pb ketika dipotong dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I, serta terpotong menjadi dua fragmen yang berukuran 293 pb dan 66 pb dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Rsa I (Gambar 18). Amplikon ikan gurami (Osphronemus gouramy) mempunyai dua fragmen restriksi yang masing-masing berukuran 302 pb dan 57 pb untuk pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease Hinf I (Gambar 17), sedangkan dengan menggunakan enzim Rsa I menghasilkan dua fragmen sebesar 319 pb dan 40 pb (Gambar 18).
a b c 300 pb 302 pb 200 pb 100 pb a b c 300 pb 200 pb 100 pb
Gambar 17 Fragmen marka DNA (a), fragmen amplikon ikan gurami yang dipotong dengan Hinf I (b), fragmen amplikon ikan lele yang dipotong dengan Hinf I (c).
188 pb 171 pb 302 pb 57 pb 188 pb 171 pb 30
a b c d e f g
319 pb 293 pb 230 pb 230 pb
173 pb 129 pb 129 pb
116 pb
a b c d e f g
Gambar 18 Fragmen marka DNA (a), fragmen restriksi mujair yang dipotong dengan Rsa I (b), fragmen restriksi gurami yang dipotong dengan Rsa I (c), fragmen restriksi lele yang dipotong dengan Rsa I (d), fragmen restriksi nila yang dipotong dengan Rsa I (e), fragmen restriksi sapu-sapu yang dipotong dengan Rsa I (f), dan fragmen restriksi nila (g) yang dipotong dengan Hinf I.
300 pb 200 pb 100 pb 300 pb 200 pb 100 pb 186 pb 173 pb 319 pb 40 pb 116 pb 66 pb 243 pb 293 pb 230 pb 129 pb 230 pb 129 pb
Tabel 2 Amplifikasi PCR dan prediksi fragmen-fragmen hasil restriksi dengan menggunakan Hinf I dan Rsa I
No. Spesies Ukuran
Amplikon
Hinf I Rsa I
Fragmen 1 Fragmen 2 Fragmen 1 Fragmen 2
1. Pangasius hipophtalmus (Patin) 359 pb 189 pb 170 pb 189 pb 170 pb 2. Clarias sp (Lele) 359 pb 188 pb 171 pb 243 pb 116 pb 3. Hypostomus sp (Sapu-sapu) 359 pb 359 pb 0 pb 230 pb 129 pb 4. Cyprinus carpio (Mas) 359 pb 359 pb 0 pb 181 pb 178 pb 5. Colossoma macropomum (Bawal) 359 pb 199 pb 160 pb 335 pb 24 pb 6. Oreochromis mossambicus (Mujair) 359 pb 359 pb 0 pb 186 pb 173 pb 7. Oreochromis niloticus L (Nila) 359 pb 230 pb 129 pb 293 pb 66 pb 8. Osphronemus gouramy (Gurami) 359 pb 302 pb 57 pb 319 pb 40 pb 9 Trichogaster pectoralis (Sepat) 359 pb 359 pb 0 pb 359 pb 0 pb 32