vii ABSTRAK
Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan.
Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan menggunakan analisis varians satu jalur (one way anova).
viii ABSTRACT
Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
The aim of this research was to find out the differences level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment. The hypothesis in this research was there is a difference level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style.
The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.
The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result showed that there was significant differences level of learning autonomy kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there was differences level of learning autonomy between secure attachment and avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also showed that children with secure attachment have the highest level of learning autonomy
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR PADA ANAK TK DITINJAU DARI
GAYA KELEKATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Sri Lestari
NIM : 039114085
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
Tidak selalu bintang bersinar di waktu malam,
Tetapi itu tidak membuktikan bahwa
bintang itu tidak ada.
Pada saat kita tidak melihat
pertolongan Tuhan dalam hidup kita,
itupun tidak membuktikan bahwa
pertolonganNya tidak ada.
Tetapi selalu tepat pada waktuNya.
Kita tidak tahu kapan,
Tetapi siapa yang terus menantiNya
Mendapat kekuatan baru.
Jadi jangan pernah berhenti berharap
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. ( Pengkotbah, 3:11)
Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengaihi Dia.
v
TAK PERNAH CUKUP
Kadang aku tahu harus mengucapkan apa,
Berterima kasih atas semua yang kaulakukan,
Tapi semua kata terbang entah kemana,
Secepat datangnya ke ribaan.
Bagaimana aku bisa cukup berterima kasih,
Pada orang yang membuat hidupku lengkap,
Pada orang yang memberikan anugerah,
Yang membuat jiwaku terbentuk mantap.
Orang yang menyelimutiku tiap malam,
Orang yang menghentikan tangisanku,
Orang yang sangat ahli dalam,
Menelanjangi semua kebohonganku.
Orang yang selalu berkorban
Untuk selalu mendahulukanku,
Yang membiarkanku menguji sayap patahku,
Meski menyakitkan bagimu.
Adakah kata-kata yang tepat?
Bagiku pertanyaan ini tak mudah
Apapun yang ingin kukatakan -sangat sarat,,
Terasa tak pernah sudah.
Cara apa yang ada untuk berterima kasih,
Bagi hatimu, keringatmu, air matamu,
Bagi sepuluh ribu hal kecil,,
Bagi tak terhitung banyaknya usiamu.
Bagi kerelaanmu berubah bersamaku,
Menerima semua kelemahanku,
Tidak mencintai karena terpaksa,,
vi
Dan karena itu aku sadar,
Satu-satunya cara mengatakan,
Satu-satunya terima kasih yang bukan sekadar,
Hanya jelas dalam semua ungkapan.
Tataplah aku di depanmu
Lihat aku telah menjadi apa,
Apa kaulihat dirimu dalam diriku?
Tugas yang telah kaulakukan?
Semua harapan dan mimpimu,
Kekuatan yang tak terlihat siapapun,
Peralihan selama bertahun-tahun,
Yang terbaik darimu ada dalam diriku.
Terima kasih atas semua anugerahmu,,
Untuk semua yang kaulakukan,
Tapi TERIMA KASIH mama, papa, terutama,
Karena membuat mimpi jadi kenyataan.
Chicken soup.
KARYA SEDERHANA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK:
MY LORD, JESUS CHRIST AND HOLY MARY
PAPA DAN MAMA KU
KEDUA ADIK KU
vii ABSTRAK
Sri Lestari (2008). Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya Kelekatan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan. Gaya kelekatan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: gaya kelekatan aman, menghindar dan cemas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan.
Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak kelas TK A Mater Dei Marsudirini Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 yang berjumlah 112 anak. Alat pengumpulan data menggunakan skala tingkat kemandirian belajar yang memiliki reliabilitas sebesar 0, 903 dan skala tiga gaya kelekatan yang masing-masing memiliki nilai reliabilitas untuk skala kelekatan aman sebesar 0, 878, skala gaya kelekatan menghindar 0, 723 dan gaya kelekatan cemas 0, 834.. Perbedaan tingkat kemandirian belajar antara tiga kelompok gaya kelekatan dianalisis dengan menggunakan analisis varians satu jalur (one way anova).
viii ABSTRACT
Sri Lestari. (2008). The Difference Level of Learning Autonomy Kindergarten Children Observed From Attachment Style. Yogyakarta: Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
The aim of this research was to find out the differences level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style. Attachment style was classified into three types, i.e secure, avoidant and anxious attachment. The hypothesis in this research was there is a difference level of learning autonomy Kindergarten children observed from attachment style.
The subjects were 112 children from Mater Dei Marsudirini Kindergarten class A Yogyakarta, attended 2007/2008. The data was collected by using level of learning autonomy scale reliability 0,903 and three attachment style scale with reliability amount 0,878 for secure attachment, 0,723 for avoidant attachment and reliability amount 0,834 for anxious attachment. The difference level of learning autonomy between three attachment style group was analyzed by one way anova.
The result was showed that F count amount of 44,052 which means that it’s bigger than F table (3,276) with significant level was 0.00 (p>0,05). This result showed that there was significant differences level of learning autonomy kindergarten children observed from attachment style. Beside that, was known that mean for secure attachment amount of 113,38, for avoidant attachment amount of 98,7 and for anxious attachment amount of 95,26. It’s mean that there was differences level of learning autonomy between secure attachment and avoidant attachment. Beside that, there was differences level of learning autonomy between secure attachment and anxious attachment. This research also showed that children with secure attachment have the highest level of learning autonomy
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di surga atas kasih dan karunia-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyeleaikan penulisan skripsi dengan judul Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya Kelekatan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan tidak lain karena peran, bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa dari beberapa pihak, dan karenanya penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Paulus Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin penelitian.
2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan perhatian, serta banyak membantu selama diskusi dan bimbingan sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. sebagai penguji 1 yang telah memberikan kritik, masukan dan saran kepada penulis.
4. Bapak YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., yang telah memberikan kritik, saran dan masukan kepada penulis.
xi
6. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.PSi., M.Si yang dengan sabar berkenan memberikan masukan dan diskusi kepada penulis.
7. Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan pengetahuan, ilmu dan wawasan kepada penulis.
8. Ibu Rina Sutanti, selaku Kepala Sekolah TK Kanisius Demangan Baru Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan uji coba.
9. Sr. Francisia, OSU., selaku Kepala Sekolah TK Mater Dei Marsudirini Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
10.Guru-guru wali kelas TK A Kanisius Demangan baru dan Mater Dei Marsudirini yang telah berkenan meluangkan waktu dan sedikit ‘direpotkan’ untuk membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 11.Mas Gandung, Pak Gie, dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran
dan kemudahan pada penulis dalam mengurus kepentingan akademik. 12.Mas Muji selaku laboran yang udah banyak membantu selama kegiatan
praktikum dan Mas Doni yang memberi kemudahan dalam peminjaman buku. Matur nuwun sanget ☺
xii
14.Kedua adikku, Uju dan Iman, untuk kebersamaan dan keceriaan yang telah dilewati. Makasih atas doa, dukungan, dan ‘semangat’ yang diberikan pada ‘teteh’.
15.Keluarga besar Kartaatmadja dan Manggar, atas doa serta dukungan moriil dan materiil kepada penulis.
16.Kakak-kakakku, Aa Andi untuk motivasi, dukungan dan doa yang diberikan. Teh Vivi untuk semua nasihat dan saran bagi penulis agar bisa menjadi lebih dewasa. Teh Susi, Teh Yesi, Teh Lia “Enok”, Aa Indra untuk semua dukungan baik moral maupun materiil. Hatur nuhun nya aa, teteh!!!
17.Kedua Sahabatku, Susan dan Thian untuk keceriaaan, canda tawa dan kebersamaan yang udah terjalin. Makasih untuk sindirannya yang pelan tapi dalem juga. “Fuihh…..akhirnya, bosen juga aku kuliah, hehe☺. tunggu aku di Jakarta ya!!”
18.Teman, sahabat, dan saudara terbaikku Dwi Sadela Maharangitha atas seluruh moment yang terjadi dan segala pengalaman yang membuat kita lebih kaya dalam memaknai hidup. Makasih juga untuk semua support dan dukungan di saat aku merasa ‘jatuh’ dalam hidupku.
xiii
20.Teman-teman yang udah dengan setia nungguin sidang: Risa, Suci, Nice, Dek siska, Dek Esti, Mbak Dewi, Mbak Shary, Mbak Iant, Christa, Monik, Abhe, Arif, Benny’04, Mas Dedi’02, Nanang. Kehadiran kalian memberikan kekuatan buatku, matur nuwun ☺
21.Teman-temanku: Netly, Nice yang dah berbagi pengetahuan dan diskusi. Sr. Hedwig, Itha, Okky, Sadewo untuk supportnya. Mbak Dewi ‘Ndut’ yang udah pinjemin buku.
22.Every single guy in: Wisma Rosari (khususnya anak-anak atas: makasih buat bantuan kalian dalam latihan presentasi☺), Psikologi angkatan 2003, P2TKP, kelp. KKN Ceporan angkatan XXXIII, atas untaian cerita yang mengisi hari-hariku,
23.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang secara langsung ataupun tidak langsung sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan rendah hati mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, dan bersedia menerima segala kritik maupun saran yang membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada khususnya. Tuhan memberkati.
Yogyakarta, Maret 2008
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix
KATA PENGANTAR ... x
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... xiv
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ...xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoretis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Anak Pra Sekolah ... ... 9
1. Pengertian Anak Pra Sekolah ... 9
2. Ciri-Ciri Anak Pra Sekolah ... 12
3. Tugas-Tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah ... 13
B. Kemandirian Belajar ... 14
1. Pengertian Kemandirian ... 14
xvi
3. Aspek-aspek Kemandirian... 20
4. Kemandirian Belajar Anak Pra Sekolah ... 22
C. Kelekatan ... 25
1. Pengertian Kelekatan ... 25
2. Teori Kelekatan ... 26
3. Gaya Kelekatan ...28
a. Kelekatan Aman (Secure Attachment) ...28
b. Kelekatan Tidak Aman (Insecure Attahment) ... 31
1) Kelekatan menghindar (Avoidant attachment) ... 31
2) Kelekatan Cemas (Anxious Attachment) ...34
D. Perbedaan Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ... 39
E. Hipotesis Penelitian ... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46
A. Jenis Penelitian ... 46
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46
C. Definisi Operasional ... 46
1. Kemandirian Belajar ... 46
2. Gaya Kelekatan ... 48
a. Kelekatan Aman ... 49
b. Kelekatan Manghindar ... 50
c. Kelekatan Cemas ... 51
D. Subjek Penelitian ... 52
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 53
1. Skala Tingkat Kemandirian Belajar ... 54
2. Skala Gaya Kelekatan ... 56
F. Prosedur Penelitian ... 57
G. Pertangung Jawaban Alat ... 58
1. Uji Validitas ... 59
2. Analisis Aitem ... 59
3. Uji Reliabilitas ... 59
xvii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 61
1. Tahap Persiapan ... 61
2. Tahap Penelitian ... 61
B. Orientasi Kancah ... 62
C. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 63
1. Uji Validitas ... 63
2. Analisis Aitem ... 64
3. Uji Reliabilitas ... 67
D. Hasil Penelitian ... 68
1. Deskripsi Data Penelitian ... .... 68
a. Data Subyek Penelitian berdasarkan Gaya Kelekatan.…………. 68
b. Kategorisasi Skor Kemandirian Belajar ………... 71
c. Data Kemandirian Belajar Ditinjau Dari Gaya Kelekatan ……... 71
2. Uji Asumsi Penelitian ……….. 74
a. Uji Normalitas Sebaran ……….. 74
b. Ui Homogenitas Varians ………....… 75
3. Uji Hipotesis ………. 76
a. Pengujian Hipotesis Mayor ………... 76
b. Pengujian Hipotesis Minor ………..………... 77
E. Pembahasan ... 79
BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 90
C. Kelemahan Penelitian ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 84
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel I Aspek Gaya Kelekatan ... 37 Tabel II Penjelasan Mengenai Komponen
Skala Kemandirian Belajar
(sebelum uji coba) ... 55 Tabel III Penjelasan Mengenai Komponen
Skala Gaya Kelekatan
(Sebelum uji coba) ... 57 Tabel IV Skala Kemandirian Belajar
(Setelah uji coba) ……… 64 Tabel V Skala Gaya Kelekatan
(Setelah uji coba) ……….. 65
Tabel VI Skala Kemandirian Belajar
(penelitian) ……… ... 66 Tabel VII Skala Gaya Kelekatan
(penelitian)………... 67 Tabel VIII Jumlah subyek penelitian berdasarkan
gaya kelekatan ……….………. 70 Tabel IX Data tingkat kemandirian belajar
xix
DAFTAR GAMBAR
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Try Out
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Kemandirian Belajar Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Kelekatan
Lampiran Skala Penelitian
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kemandirian Belajar Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kelekatan
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Taman Kanak-Kanak (Child-Centered Kindergarten) atau yang lebih
dikenal dengan istilah TK, merupakan persiapan dasar bagi anak-anak
memulai pendidikan formalnya. Sebagai persiapan untuk melanjutkan
pendidikan berikutnya, tentu saja aktivitas yang dilakukan di TK harus
mampu membimbing dan mengasuh anak agar mampu belajar secara
mandiri. Di sini, TK harus berpusat pada anak maksudnya adalah
pendidikan yang dilaksanakan melibatkan seluruh anak dan mencakup
kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak. Penekanan
adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Ballenger
dalam Santrock, 2002). Setiap anak mengikuti pola perkembangan yang
unik dan anak-anak kecil paling baik belajar melalui pengalaman pertama
(langsung) dengan manusia dan benda-benda. Akan tetapi, yang menjadi
permasalahan dewasa ini adalah kurikulum di kebanyakan Taman
Kanak-Kanak memberikan pengajaran secara langsung melalui kegiatan yang
bersifat abstrak dan melalui kertas-dan-pensil yang diberikan kepada
sejumlah besar anak kecil serta lebih banyak menekankan pada prestasi dan
keberhasilan yang dapat menyebabkan anak menjadi tidak mandiri
Padahal menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis
dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri
secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak
mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai
lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi
manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya
serta mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi.
Begitu pula halnya dengan anak-anak yang belajar di TK, dimana
disini juga anak diajar untuk bersikap mandiri serta kreatif dalam memasuki
lingkungan yang baru. Dengan belajar mandiri, maka anak akan mudah
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya serta meningkatkan rasa percaya
diri anak. Akan tetapi, jika anak tidak mampu untuk belajar secara mandiri
maka dia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Kristiyani (dalam Sumarsih, 2006), kemandirian sangat berguna
dan perlu dimiliki oleh anak, karena sangat menentukan perkembangan
hidup anak sampai dewasa. Kemandirian perlu dibina sejak masa
kanak-kanak agar hasilnya lebih maksimal. Individu yang tidak belajar mandiri
sejak masa kanak-kanak akan mengalami kesulitan ketika menghadapi
masalah terutama dalam mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Sikap
mandiri yang diajarkan sejak masa kanak-kanak akan membuat individu
memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam memutuskan sesuatu bagi
Salah satu kemandirian yang dikembangkan oleh anak adalah
kemandirian belajar di kelas. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai
suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri,
tanpa selalu bergantung kepada orang lain (Abas, 2007). Kemandirian
belajar pada anak TK dalam penelitian ini lebih pada kemandirian anak
untuk mengikuti kegiatan belajar ketika berada di sekolah. Karena di TK
aktivitas belajar lebih banyak mengandalkan motorik kasar (Sujiono dalam
Hartono, 2005), maka kemandirian belajar yang diungkap lebih pada
kemampuan anak untuk bereksplorasi, berani mengekspresikan dirinya,
memiliki inisiatif, mau berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan.
Anak yang mandiri, biasanya akan mudah bergaul dengan
teman-teman sebayanya. Namun, tidak semua anak dapat belajar mandiri di dalam
kelas. Adapula anak yang tidak mau ikut serta secara aktif mengikuti
kegiatan di dalam kelas, dan hanya duduk diam di kursinya. Bahkan apabila
diberi tugas oleh gurunya, anak yang kurang mandiri akan cenderung
meminta pertolongan kepada orang lain, bahkan mereka tidak mau
mengerjakan apabila tidak dibantu. Keadaan tersebut, tentu saja dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan anak
tidak mampu belajar secara mandiri adalah kurang memiliki rasa aman
sehingga dia tidak memiliki kepercayaan diri dan kurang mampu
menyesuaikan diri ketika menghadapi lingkungan baru. Berbeda dengan
anak yang mandiri dimana dia memiliki rasa aman. Rasa aman pada anak
disekitarnya terutama orang tua (pengasuh). Rasa nyaman tersebut diperoleh
ketika pengasuh dapat memberikan kasih sayang yang konsisten dan tepat
dalam memberikan respon terhadap kebutuhan anak serta mampu
melindungi anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000). Keadaan tersebut erat
kaitannya dengan kelekatan.
Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak,
karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang
sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam
Hurlock, 1973). Namun kelekatan akan menjadi masalah bila menimbulkan
ketergantungan. Kelekatan terjadi sejak masa bayi, namun akan
berpengaruh terhadap perkembangan di masa depannya Adapun yang
dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat afeksional pada
seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut
figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus (Ainsworth dalam Pelawi,
2004). Menurut C. Wenar & P. Kerig, kelekatan dibagi menjadi 2 jenis yaitu
kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure
attachment).
Anak yang memiliki kelekatan yang aman pada masa bayi, maka dia
akan cenderung mudah menjalankan perannya sesuai tahap
perkembangannya, karena kelekatan yang aman memungkinkan
terpenuhinya afeksi anak. Dengan terpenuhinya afeksi anak, maka anak
Secara umum anak yang mengalami kelekatan tidak aman, biasanya
disebabkan ketika pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten
dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan
terhadap anak yang terjadi semenjak anak masih bayi (C, Wenar & P, Kerig,
2000). Anak-anak yang mengalami kelekatan tidak aman cenderung kurang
bisa bekerja sama, menarik diri dengan teman-teman sebayanya (peer-nya),
bahkan mengalami ketergantungan terhadap figur lekatnya.
Kelekatan tidak aman dibagi lagi menjadi dua yaitu, kelekatan
menghindar dan kelekatan cemas. Kelekatan menghindar terjadi karena
pengasuh cenderung menjaga jarak bahkan terkesan mengabaikan
kebutuhan anak Akibatnya, anak akan merasa tidak nyaman dan
mengembangkan model mental sebagai orang yang bebas, suka menentang,
tertutup, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Berbeda dengan gaya
kelekatan cemas, dimana pengasuh cenderung terlalu ikut campur semua
kebutuhan anak. Akibatnya anak memiliki ketergantungan, kurang asertif
dan kurang memiliki kepercayan diri (C, Wenar & P, Kerig, 2000). .
Keadaan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi kemandirian belajar
anak ketika berada di dalam kelas. Pada saat anak mengembangkan citra diri
sebagai orang yang positif dan percaya diri, maka dia akan cenderung
memiliki sikap mandiri, memiliki kompetensi sosial, memiliki sikap
empatik dan mampu diajak bekerja sama (laurent dkk, 2004). Berbeda
dengan anak yang mengalami kelekatan menghindar, karena dia
tidak mudah percaya pada orang lain. Dengan begitu, maka anak akan
cenderung kurang memiliki sikap kooperatif, tidak disiplin ketika berada di
kelas, dan.kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman sebayanya
(Shulman, Elicker, & Sroufe, 1983)..Lain halnya anak dengan kelekatan
cemas yang mengembangkan model mental sebagai orang kurang asertif,
kurang percaya diri serta terlalu lekat dengan figur lekatnya, maka anak
cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dengan teman-teman
sebayanya sehingga anak menjadi kurang kooperatif. Selain itu, dia juga
kurang memilki kemampuan untuk mengeksplorasi lingkungannya, dan
karena terlalu lekat dengan pengasuhnya maka anak cenderung mengalami
ketergantungan kepada orang lain termasuk kepada guru (Sroufe, Fox, &
Pancake, 1983). Serta tidak mau mengikuti aktivitas yang dilaksanakan di
kelas, jika tidak didampingi oleh orang-orang terdekatnya Akan tetapi,
ketika anak didampingi oleh figur lekatnya, maka dia akan cenderung
meminta pertolongan kepada figur lekatnya untuk melaksanakan tugas yang
di berikan kepadanya. Akibatnya, anak menjadi malas dan tidak mau
berusaha dengan sendirinya, dan hal ini tentu saja menghambat proses anak
dalam belajar secara mandiri.
Keadaan ini pula yang terjadi pada salah satu TK swasta. Pada saat
peneliti melakukan observasi pada anak TK, nampak terlihat bahwa ada
beberapa anak yang tidak mau belajar, karena pengasuhnya (entah ibu, baby
sitter, ataupun orang-orang terdekatnya) meninggalkannya berada dalam
luar kelas. Akibatnya anak tersebut tidak mau belajar, dan bahkan
mengganggu anak yang lainnya yang sedang belajar. Selain itu, kasus lain
yang cukup menarik adalah yang terjadi pada seorang anak laki-laki. Ketika
dia diantar ke sekolah oleh nenek atau pamannya, dia mau belajar sendiri di
dalam kelas dan mau ditinggalkan oleh neneknya. Tetapi ketika, dia diantar
oleh kakeknya, anak tersebut tidak mau ditinggal oleh kakeknya.
Maka dari kejadian tersebut, memunculkan penelitian yang bertujuan
untuk meneliti perbedaan kemandirian belajar pada anak TK yang ditnjau
dari gaya kelekatannya, yang dibedakan menjadi gaya kelekatan aman,
cemas dan menghindar. Adapun yang menjadi judul dalam penelitian ini
adalah: Perbedaan Kemandirian Belajar pada Anak TK Ditinjau dari Gaya
Kelekatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalahnya adalah :
apakah ada perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya
kelekatan yang dialami oleh anak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari gaya
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan baru bagi ilmu psikologi pendidikan khususnya dalam hal
perkembangan dan pendidikan masa pra sekolah anak.
2. Manfaat praktis
a. Apabila penelitian ini menghasilkan perbedaan, maka diharapkan
dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas terutama orang
tua tentang pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya
penerapan gaya kelekatan tertentu dalam rangka mengembangkan
sikap mandiri di masa awal kanak-kanak.
b. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan
kepada para pengajar atau guru agar memahami dinamika psikologis
yang berbeda-beda pada setiap anak didiknya, sehingga dalam
memberikan pendidikan memperhatikan juga perkembangan identitas
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. ANAK PRA SEKOLAH
1. Pengertian Anak Pra Sekolah
Salah satu bentuk pendidikan pra sekolah adalah taman kanak-kanak. Oleh karena itu, anak-anak yang duduk di bangku taman kanak-kanak sering juga disebut dengan anak usia pra sekolah dan bukan anak sekolah. Karena pendidikan di taman kkanak merupakan persiapan bagi anak-anak untuk memasuki sekolah. Dalam Peraturan pemerintah no. 27 tahun 1990, yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah peserta didik yang berada pada jalur pendidikan pra sekolah. Pada umumnya anak yang berada dalam pendidikan pra sekolah terutama taman kanak-kanak berada pada usia 4-6 tahun, sehingga dalam tahap perkembangan berada dalam masa awal anak-anak.
Usia pra sekolah merupakan usia transisi antara masa bayi dan masa sekolah. Pada masa ini, anak sudah mulai mempunyai otonomi, tidak sepenuhnya tergantung pada otang tua, tetapi masih belum bisa dilepas untuk sepenuhnya belajar formal di sekolah.
dalam tahapan pra operasional dalam perkembangan kognitif. Akan tetapi, usia dalam suatu perkembangan tidak harus dilihat sebagai suatu prediktor yang pasti, melainkan sebagai gambaran kasar atau umum yang variasinya amat ditentukan oleh karakteristik khusus dari individu anak.
Menurut Sujiono (dalam Hartono, 2005), ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh orang tua sebelum memasukkan anaknya ke dalam pendidikan TK. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Kesiapan Fisik
Aspek fisik meliputi motorik halus dan motorik kasar. Pada motorik kasar, dapat terlihat misalnya dengan mampu menggerakan seluruh anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan-gerakan seperti berlari, memanjat, naik-turun tangga, mlempar bola, bahkan melakukan dua gerakan sekaligus misalnya melompat sambil melempar bola. Aktivitas belajar di TK memang banyak mengandalkan motorik kasar. Oleh karena itu, apabila anak aktif bergerak justru yang diharapkan. Semua aspek fisik yang menjadi bagian motorik anak, selanjutnya harus dikembangkan di TK. Motorik halus akan sejalan dengan pembelajaran yang diberikan di TK. Anak akan belajar menggunting, melipat, memasukkan bola, serta memilih biji-bijian. Itu semua akan berjalan bila ditunjang dengan fisik yang bagus.
b. Kesiapan Sosial
baru. Anak pun akan mengenal aturan-aturan baru hidup bersama dan menyimak “pelajaran” dari guru-guru sambil belajar bersama teman-temannya. Dengan begitu, kesiapan sosial dilihat dari kemampuan anak untuk menghadapi orang asing, berani memasuki lingkungan baru dan tidak ragu diajak berkomunikasi.
c. Kesiapan Kognitif
Salah satu bentuk kesiapan kognitif anak dapat ditunjukkan dengan kemampuan bahasa anak karena di TK anak diharapkan mampu memahami instruksi yang diberikan oleh guru. Anak pun diharapkan mampu menyampaikan pendapat, perasaan serta isi pikirannya meski belum runtut. Dengan demikian, anak juga harus mempunyai perbendaharaan kosakata yang cukup untuk anak seusianya.
d. Kesiapan Emosional
Kesiapan emosional yang paling penting adalah menyangkut kemandirian. Setidaknya anak ketika berada di kelas, dia sudah duduk di bangku sendiri, tidak tergantung pada siapa-siapa, dan mau mengikuti perintah. Kesiapan emosional lainnya ditunjukkan dengan kesiapan anak menerima situasi baru.
2. Ciri-ciri Anak Pra Sekolah
Menurut Freeman dan Munandar (1997), pada masa usia pra sekolah anak memiliki beberapa perilaku yang tampak menonjol. Perilaku-perilaku tersebut adalah:
a. Mengamati segala sesuatu. Menjelajahi segala macam tempat (lingkungannya), dan haus akan pengalaman.
b. Memiliki rasa ingin tahu yang besar, sering bertanya dan terkadang tidak puas akan jawaban yang diberikan sehingga terkadang membuat orang dewasa menjadi kewalahan.
c. Memiliki sifat spontan dan cenderung menyatakan pikiran, perasaan sebagaimana adanya tanpa merasa ada hambatan.
d. Senang terhadap pengalaman baru. Suka bereksperimen, berpetualang, dan terbuka terhadap rangsangan-rangsangan baru.
e. Memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang tampak jika orang dewasa menyempatkan untuk mendengarkan ungkapan-ungkapannya dan mencermati perilakunya.
merupakan pelajar yang aktif. Pada masa usia pra sekolah, dengan melihat perilaku-perilaku yang ditonjolkannya, merupakan masa yang efektif untuk mulai memberikan rangsangan-rangsangan yang dapat meningkatkan kemandirian anak.
Menurut pendirian ilmu jiwa modern (Kartono, 1982), beberapa ciri khas pada masa anak-anak adalah sebagai berikut;
a. Bersifat egosentrisme-naif
b. Mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang sifatnya primitif dan sederhana.
c. Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan sebagai satu totalitas
d. Sikap hidup yang fisiognomis.
Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak pra sekolah memiliki beberapa ciri-ciri khas yang cukup menonjol. Ciri-ciri khas tersebut antara lain mengamati segala sesuatu, memiliki rasa ingin tahu yang besar, spontan, senang terhadap pengalaman baru, dan daya imajinasi yang tinggi.
3. Tugas-tugas Perkembangan Anak Pra Sekolah
perkembangan pada masa awal anak-anak Adapun tugas-tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh anak-anak pada masa ini menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1982) antara lain sebagi berikut;
a. Belajar memakan makanan padat. b. Belajar berjalan.
c. Belajar berbicara.
d. Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh. e. Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya f. Mempersiapkan diri untuk membaca
g. Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati nurani.
B. KEMANDIRIAN BELAJAR
1. Pengertian Kemandirian
tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta remaja sangatlah berbeda (Sumarsih, 2006)
Menurut Lindzey dan Aronson (dalam Pelawi, 2004) mengemukakan bahwa orang yang mandiri menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk mengejar prestasi, menunjukkan rasa percaya diri yang besar, serta secara relatif jarang mencari perlindungan kepada orang lain dan mempunyai rasa ingin menonjol. Lie dan Prasasti (dalam Sumarsih, 2006) mengatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Kemandirian adalah sikap yang harus dikembangkan seorang anak untuk bisa menjalani keidupan tanpa ketergantungan kepada orang lain. Kemandirian pada anak sangat penting karena merupakan salah satu life skill yang perlu dimiliki (Astuti dalam Sumarsih, 2006).
sebagian jika perkembangan pada masa awal anak-anak tidak memberi dasar yang baik (Wall, 1975). Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri (Nakita, 2005).
Anak-anak yang tidak dilatih mandiri sejak usia dini, akan menjadi individu yang tergantung sampai remaja bahkan sampai dewasa nanti. Bila kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai anak pada usia tertentu dan anak belum mau melakukan, maka si anak bisa dikategorikan sebagai anak yang tidak mandiri. Kemandirian anak ditandai dengan adanya kemauan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya: makan tanpa harus disuapi, mampu memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri, dan kegiatan-kegiatan lain tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian akan dicapai oleh anak melalui proses belajar atau pendidikan (Nakita, 2005). Faktor yang mendasari perkembangan kemandirian anak adalah faktor pendidikan orang tua serta hubungan orang tua-anak.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian seseorang, antara lain yaitu:
a. Faktor-faktor Kodrati 1) Usia
Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode berahir (Hurlock, 1979). Menurut Sumarsih (2006), bahwa kemandirian ada di semua rentang usia, hanya tingkatannya berbeda karena masing-masing tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian, kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak sekolah, serta remaja sangatlah berbeda.
Sutton menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri sesuai dengan usia artinya semakin bertambah usia seseorang, perilaku mandri akan semakin berkembang dan perilaku tergantung akan semakin berkurang (dalam Masrun dkk, 1986).
2) Jenis Kelamin
menangung resiko serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif dan originalitas daripada perempuan.
3) Urutan Kelahiran
Adler (dalam pelawi, 2004) mencoba menjelaskan adanya perbedaan kepribadian pada anak dari urutan kelahiran yang berbeda. Anak dihadapkan pada masalah bagaimana bersaing untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua.
Masrun dkk (1986), mengatakan bahwa peranan faktor urutan kelahiran dalam mepengaruhi kemandirian, bekerja secara tidak langsung yaitu melalui kebutuhan seeorang akan perhatian dari lingkungannya. Pada masa anak-anak perhatian dari lingkungan khusunya orang tua sangat berarti bagi anak.
b. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Permanen
ke arah individualitas yang mantap merupakan aspek penting dalam perkembangan seseorang untuk mandiri.
Menurut Masrun dkk (1986), pekerjaan bagi seseorang bukan semata-mata sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai pengisi waktu dan merupakan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan menuntut pemanfaatan waktu yang khuus dan relatif lama, maka interaksi yang terjadi dalam lingkungan kerja ikut mempengaruhi diri seseorang
2) Lingkungan Tidak Permanen
Robinson dan Shaver (dalam Pelawi, 2004) mengatakan bahwa faktor lingkungan yang tidak permanen, yaitu peristiwa-peristiwa penting dalam hidup yang mengakibatkan terganggunya integritas kepribadian seseorang untuk sementara waktu, contoh; kematian orang yang dicintai, bencana alam dan lain-lain.
Menurut Kartawijaya dan Kuswanto (2004), kunci kemandirian anak sebenarnya ada di tangan orang tua. Beberapa hal yang dapat membentuk kemandirian anak antara lain:
a. Rasa percaya diri
b. Kebiasaan
Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Jikalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, anak akan menjadi individu yang selalu tergantung pada orang lain.
c. Disiplin
Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, terlebih dahulu harus didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang tua.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian. Faktor-faktor terebut terdiri dari faktor kodrati dan faktor lingkungan. Faktor kodrati yang mempengaruhi kemandirian meliputi usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan permanen yang terdiri dari pendidikan dan pekerjaan serta lingkungan tidak permanen misalnya bencana alam, kematian orang yang dicintai, dan lain-lain. Selain itu, peranan orang tua dalam hal ini pola auh orang tua juga dapat mempengaruhi kemandirian anak.
3. Aspek-aspek Kemandirian
a. Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah sendiri.
b. Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk membina relasi secara aktif. c. Aspek emosi, yaitu kemampuan untuk mengelola emosinya sendiri. d. Aspek ekonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur ekonomi sendiri.
Nashori (1999) menyebutkan bahwa kemandirian mengandung beberapa aspek. Aspek-aspek yang terdapat dalam kemandirian antara lain: a. Bebas
Bebas dapat terlihat dengan tindakan yang disesuaikan dengan keinginan sendiri tanpa pengaruh dan paksaan dari orang lain.
b. Mempunyai Inisiatif
Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang menjadi persoalan dalam hidupnya
c. Gigih dan ulet
Gigih dapat berarti berusaha dengan tekun dan tanpa putus asa mengejar prestasi dan merealisasikan harapan dan keinginan- keinginannya
d. Percaya pada diri sendiri
e. Pengendalian diri
Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan diri untuk menyesuaikan keinginan sendiri dan mempengaruhi lingkungan atau memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Kemandirian secara psikologis dianggap penting karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kemandirian memiliki beberapa aspek yaitu: aspek percaya diri, bebas, inisiatif, gigih dan ulet serta pengendalian diri. Percaya diri dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan pada diri sendiri untuk melakukan tindakan dengan usaha sendiri. Bebas dapat ditunjukkan dengan adanya tindakan yang dilakukan sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Inisiatif dapat ditunjukkan dengan munculnya ide atau gagasan. Gigih dan ulet dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk bertekun dalam suatu tugas. Pengendalian diri ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk memperhatikan lingkungannya.
4. Kemandirian Belajar Anak Usia Pra Sekolah
pendidikan pra sekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Tujuan didirikannya pendidikan pra sekolah adalah untuk membantu meletakan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan pra sekolah. Menurut Bambang (dalam Hartono, 2005) prinsip belajar di TK adalah bermain. Meski hanya bermain, tetapi banyak manfaatnya yaitu anak bisa mengembangkan seluruh potensinya lewat bermain sehingga saat terjun ke sekolah formal sesungguhnya dia bisa memahami keberadaan di lingkungannya bahwa ia punya tanggung jawab, bisa mengikuti peraturan, tata tertib, dan disiplin-disiplin yang diberikan. Siskandar (dalam Damayanti, 2005) mengatakan bahwa program kegiatan belajar di sekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri serta melatih anak untuk hidup bersih dan sehat serta kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.
siswa dalam mengembangkan kemampuannya. Dengan belajar secara mandiri, maka diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Adapun pengertian kemandirian belajar menurut Abu Ahmadi (1990) merupakan belajar secara mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Disini siswa dituntut untuk memiliki inisiatif, keaktifan dan keterlibatan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar. Menurut Tresna sastra Wijaya (dalam Wahyuningtyas, 2004), kemandirian belajar dapat berarti studi bebas mengatur sendiri atau belajar dengan tenaga sendiri, belajar memutuskan sendiri, mengatur sendiri atau belajar dengan kecepatan sendiri. Abas (2007) menjelaskan bahwa kemandirian belajar dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.
Kemandirian anak usia pra sekolah berada pada tahap pra operasional, yaitu dimana anak sudah mampu melakukan tingkah laku simbolis. Anak tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal. Karena pada taman kanak-kanak, pembelajaran yang diberikan lebih menekankan pada pengalaman langsung pada benda maupun manusia, maka kemandirian belajar yang dilakukan pun lebih pada aktivitas fisik/ motorik kasar.
ciri-ciri kemandirian belajar pada anak TK adalah sebagai berikut: memiliki sikap bebas, mempunyai inisiatif, gigih dan ulet, memiliki kepercayaan diri, serta memiliki pengendalian diri.
C. KELEKATAN
1. Pengertian Kelekatan
Pada dasarnya, kelekatan merupakan hal yang wajar terjadi pada anak, karena tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi (Hartup dalam Hurlock, 1973). Kelekatan merupakan salah satu gejala adanya saling ketertarikan pada manusia.
Adapun yang dimaksud dengan pengertian kelekatan menurut Ainsworth (dalam Pelawi, 2004) merupakan suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditunjukkan pada orang-orang tertentu atau yang disebut figur lekat dan berlangsung secara terus- menerus. C, Wenar & P, Kerig (2000), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan cinta yang berkembang antara anak dan ibu dalam tahun pertama kehidupannya.
proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kelekatan adalah ikatan yang bersifat emosional dan terjadi secara intens (terus menerus) dan timbal balik (resiprokal) antara bayi/anak dengan pengasuh (orang tua).
2. Teori Kelekatan
Menurut Hartup (dalam Pratidarmanastiti, 2003) kelekatan pada anak dapat ditinjau dari 2 segi. Segi yang pertama menunjukkan bahwa kelekatan terjadi karena proses belajar, sedangkan segi yang lain menyatakan bahwa kelekatan merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi dan eksplorasi benda-benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain. Dari ciri khas tersebut, muncullah kelekatan. Pendapat yang kedua ini dianggap lebih mendekati kenyataan. Kelekatan merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi.
Ada 2 teori yang mengemukakan mengenai kelekatan: Teori Differensiasi
kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas dari identitas orangnya. Kemudian yang dimaksud dengan kelekatan dalam teori ini adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang- orang tertentu saja. Biasanya orang pertama yang dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah atau saudara-saudaranya.
Menurut teori differensiasi ini, anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih usia 6 tahun. Baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan-ikatan dengan orang dewasa lainnya.
Teori Parallel
Teori ini didasarkan pada teori Maccoby dan Masters (1970). Teori ini berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan menunjukkan kelekatan terhadap orang-orang dewasa maupun pada anak-anak sebaya lainnya. Sebelum usia satu tahun anak akan mencari obyek lekatnya pada satu orang saja, biasanya ibunya. Masih menurut teori ini, kelekatan anak pada anak-anak sebayanya dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah laku anak.
(Pratidarmanastiti, 2003)
yang dikemukakan oleh John Bowlby dan teori parallel yang didasarkan padateori Maccoby dan Masters.
3. Gaya Kelekatan
Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000) , gaya kelekatan terdiri dari 2 macam yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment) dan gaya kelekatan tidak aman (insecure attachment). Masing-masing gaya kelekatan pada anak itu, akan mempengaruhi anak dalam menghadapi lingkungannya.
a. Kelekatan Aman (Secure Attachment)
pengasuh peka terhadap kebutuhan anak serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.
Menurut Rini (2002), kelekatan yang aman akan dialami oleh individu yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orang tua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua. Hubungan kelekatan antara orang tua dan anak tersebut dapat mempengaruhi beberapa hal antara lain rasa percaya diri, kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli pada orang lain serta disiplin. Selain itu, kelekatan yang baik juga akan menumbuhkan perkembangan intelektual dan psikologis yang sehat.
Menurut C, Wenar & P, Kerig (2000), kelekatan memiliki 2 apek dasar yaitu pengasuhan dan situasi baru (meliputi perpisahan, pertemuan kembali, eksplorasi dan karakteristik umum). Penerapan kedua aspek tersebut dalam gaya kelekatan aman:
1) Pengasuhan
Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan konsisten kepada anak.
Anak yang secure mungkin atau tidak mungkin merasa terganggu dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi terbatas dalam mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak ada bersamanya.
b) Pertemuan kembali
Anak yang secure mampu memiliki kemampuan untuk menerima kembali dan menyambut positif pengasuh, serta menjadi nyaman.
c) Eksplorasi
Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengasuh.
d) Karakteristik Umum
Anak yang secure mengembangkan citra diri positif, memiliki rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.
mereka memiliki kemampuan untuk menyambut secara positif pengauhnya ketika terjadi pertemuan kembali dan merasa tenang. Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan dari pengauh. Mereka juga mengembangkan citra diri yang positif dan percaya diri terhadap kemampuannya.
b. Kelekatan Tidak Aman (Insecure Attacment)
Insecure attachment berkembang disebabkan karena pengasuh yang utama tidak merespon secara konsisten dalam cara memberi kehangatan, kasih, cinta, kepercayaan dan kepekaan terhadap kebutuhan anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000).
Insecure attachment dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu: gaya kelekatan menghindar (Avoidant insecure) dan gaya kelekatan cemas ( Anxious insecure).
1) Gaya Kelekatan Menghindar (Avoidant insecure)
memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.
Berdasarkan hasil penelitian Collins dan Read (dalam Pelawi, 2004) terbukti bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar merasa tidak percaya pada ketersediaan orang lain, merasa tidak nyaman dengan kedekatan dan keintiman serta tidak takut ditinggal. Menurut penelitian Kobak dan Sceery (dalam Bartholomew dan Horowitz, 1991) menunjukkan bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi kurang dapat mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang terbuka, tidak dapat menyandarkan diri pada orang lain dan menggunakan orang lain sebagai tempat yang aman, serta lebih cenderung mengontrol dalam hubungan persahabatan.
Penerapan aspek kelekatan dalam gaya kelekatan menghindar adalah sebagai berikut:
1) Pengasuhan
Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak. 2) Situasi Baru
Anak yang avoidant jarang menunjukkan kesedihan atau kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya. b) Pertemuan Kembali
Anak yang avoidant cenderung mengabaikan atau menghindari pengasuh ketika terjadi pertemuan
c) Eksplorasi
Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang avoidant cenderung terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak dengan orang lain.
d) Karakteristik Umum
Anak yang avoidant akan mengembangkan diri sebagai anak yang bebas dan suka menentang
orang lain. Anak avoidant menjadi terlalu bebas dan suka menentang.
2) Gaya Kelekatan Cemas (Anxious insecure)
Gaya kelekatan cemas berkembang karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan ditandai dengan unpredictability/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi, pengasuh terlalu dekat dengan anak dan terlalu cemas pada kebutuhan anak, sehingga dia akan terlalu mencampuri semua kebutuhan anak. Bahkan pengasuh akan merasa bersalah dan sedih apabila dirasa tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan si anak (Chisholm, 1996). Tetapi di sisi lain dia tidak terlibat atau mudah marah pada suatu waktu. Ketidakstabilan ini berakar dari tingginya harapan yang tidak realistik dari si ibu atau pengasuh bahwa dia dapat sepenuhnya mencintai dan melindungi si anak (C, Wenar & P, Kerig, 2000)
atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang kurang menolong dan susah untuk dimengerti.
Lebih lanjut lagi menurut penelitan Ainswoth (dalam Pelawi, 2004) membuktikan bahwa anak-anak yang lekat cemas menunjukkan tingkah laku ambivalen terhadap kedatangan ibu. Mereka tampak mengalami konflik, disatu sisi memperlihatkan kecenderungan untuk dekat dengan ibu, tetapi begitu digendong ibunya mereka meminta segera diturunkan dengan menunjukkan ekspresi emosi yang berlebihan.
Penerapan aspek-aspek kelekatan dalam gaya kelekatan cemas adalah sebagai berikut:
1) Pengasuhan
pengasuh kurang tepat dalam memberi respon, unpredictabillity/ tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri semua hal mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak terlibat dengan anak.
2) Situasi Baru a) Perpisahan
b) Pertemuan Kembali
Anak akan menunjukkan tingkah laku ambivalen, di satu sisi dia tidak ingin berpisah dengan pengasuhnya namun ketika didekati akan marah dan menjauhkan pengasuh.
c) Eksplorasi
Dalam mengeksplorasi lingkungan, anak yang anxious memiliki kemampuan eksplorasi yang terbatas/kurang.
d) Karakteristik Umum
Anak yang anxious mengembangkan citra diri sebagai orang yang tidak percaya diri serta terlalu asyik dengan pengasuh.
menjadi terbatas. Hal ini disebabkan karena anak terlalu asyik dengan pengauhnya.
Secara ringkas, pembedaan mengenai gaya kelekatan yang didasarkan pada kedua aspeknya yaitu pengasuhan dan situasi baru ( yang meliputi perpisahan, pertemuan kembali, eksplorasi serta karakteristik umu) dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel I: Aspek Gaya kelekatan
Aspek Secure
attachment
Avoidant
attachment
Anxious
attachment
A.Strange
Situation.
1. Perpisahan Mungkin atau tidak mungkin merasa
terganggu;
terbatas dalam ekplorasi
Jarang
menunjukkan kesedihan.
Sangat merasa terganggu.
2. Pertemuan kembali.
Menyambut
positif atau menjadi nyaman.
Mengabaikan
atau menolak pengasuh.
Menunjukkan
tingkah laku ambivalent,
untuk dekat dengan
menjauhkan pengasuh. 3. Eksplorasi Mengeksplorasi
secara bebas dan percaya diri dengan adanya pengawasan
pengasuh..
Terlalu asyik sendiri,
cenderung mengabaikan kontak/hubungan dengan orang lain.
Kurang atau terbatas.
4. Karakteristik umum
Aman, percaya, memiliki ekspresi emosi
Terlalu bebas. Terlalu asyik dengan pengasuh.
B. Pengasuhan sensitif; cepat dan tepat dalam memberikan
respon yang hangat terhadap kebutuhan anak.
Menjaga jarak, merasa jengkel dan marah ketika dekat.
Tidak dapat ditebak dalam memberikan
D. Perbedaan Kemandirian Belajar Pada Anak TK Ditinjau Dari Gaya
Kelekatan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemandirian merupakan unsur kepribadian yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Semua orang tanpa terkecuali, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dituntut untuk bisa bersikap mandiri. Menurut Masrun dkk (1986), kemandirian secara psikologis dianggap penting, karena seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungannya. Tanpa kemandirian, seseorang tidak mungkin mempengaruhi atau menguasai lingkungan dan dikuasai lingkungan. Dengan kata lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian mendorong seseorang untuk berusaha dan berprestasi, karena itu kemandirian dapat mengantar orang menjadi makhluk yang produktif dan efisien serta membawa dirinya ke arah kemajuan.
Adapun pengertian kemandirian itu sendiri mengandung aspek bebas atau tidak mudah terpengaruh, mempunyai inisiatif, gigih, percaya pada diri sendiri dan pengendalian diri (Nashori, 1999). Karena itu, maka orang diharapkan dapat melakukan suatu perbuatan yang dilaksanakan atas kehendak sendiri, bebas tanpa tekanan dari pihak lain, dilakukan dengan penuh percaya diri serta adanya pengendalian diri yang baik karena setiap manusia juga harus bisa memperhatikan kepentingan orang lain.
aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa selalu bergantung kepada orang lain yang dilakukan oleh seorang anak ketika berada di sekolah (Abas, 2007). Kemandirian itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; usia,jenis kelamin, status sosial, serta pola asuh orang tua. Berbicara mengenai pola asuh orang tua, maka erat kaitannya dengan adanya kelekatan. Karena dalam pola asuh terjadi interaksi antara anak dan orang tua, maka akan menimbulkan kelekatan.
perkembangan rasa percaya diri yang mendorong individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang tepat.
Telah diketahui bahwa setiap individu memiliki gaya kelekatan yang berbeda-beda. Masing-masing gaya kelekatan ini terbukti dapat mewarnai kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai akibat dari bekerjanya model mental yaitu penilaian, kepercayan dan harapan individu baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Para penyelidik telah membuktikan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan dengan adaptasi dan emosional seseorang pada masa dewasa (Belsky dan Rutten dalam Bartholomew dan Horowitz, 1991).
memiliki sifat yang bersahabat dan mau bekerja sama serta memiliki kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli pada orang lain serta disiplin Dengan adanya penilaian dan harapan terhadap diri sendiri dan orang lain secara positif maka individu mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup tinggi. Dengan demikian, anak akan memiliki kemandirian belajar yang tinggi, karena semua aspek kemandirian belajar dapat terpenuhi.
Gaya kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak, memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak. Anak yang mengalami kelekatan menghindar akan menyebabkan anak kurang bisa bekerja sama, dalam mengeksplorasi lingkungan dangkal, selain itu karena kurangnya pengawasan dari pengasuh menyebabkan anak menjadi terlalu bebas dan kurang terkendali sehingga menyebabkan dia menjadi anak yang suka menentang dan kurang disiplin. Dengan demikian, kemandirian belajar anak avoidant cukup tinggi dan lebih baik dibandingkan anak yang memiliki kelekatan cemas meskipun tidak sebaik kemandirian belajar anak yang memiliki kelekatan aman.
mengenai kebutuhan anak, namun disisi lain dia tidak terlibat dengan anak. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada si anak. Dalam gaya kelekatan ini, anak akan mengembangkan model mental sebagai anak yang mempunyai keyakinan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain, kepercayaan diri rendah, kurang asertif dan merasa takut dtinggal atau dicintai orang lain, memandang orang lain sebagai orang yang kurang menolong dan susah untuk dimengerti. Sehingga dengan demikian dapat menyebabkan anak menjadi individu yang tidak mandiri, tidak berani megeksplorasi lingkungan. Selain itu, dia juga termasuk anak yang kurang bisa menjalin hubungan dengan teman-temannya karena terlalu lekat dengan pengasuhnya, akibatnya dia tidak bisa bekerja sama dengan teman-temannya. Karena hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kemandirian belajar anak yang memiliki kelekatan cemas cukup rendah, karena banyak aspek dari kemandirian belajar yang belum terpenuhi.
E. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah: 1. Ada perbedaan kemandirian belajar ditinjau dari gaya kelekatan yang
dialami oleh anak.
Adapun hipotesis minor yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 2. Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang
tinggi dibandingkan anak yang mengalami gaya kelekatan menghindar. 3. Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang
tinggi dibandingkan anak yang mengalami gaya kelekatan cemas.
46 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah penelitian
komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang berbentuk perbandingan
dari dua sampel atau lebih (Hadi, 2001). Penelitian ini disebut penelitian
komparatif karena penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara
membandingkan tingkat kemandirian belajar ditinjau dari gaya kelekatan yang
dialami oleh anak TK.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu:
Variabel bebas (Independent Variable): Gaya Kelekatan.
Variabel tergantung (Dependent Variable): Kemandirian Belajar.
C. Definisi Operasional
1. Kemandirian Belajar
Pengertian kemandirian belajar menurut Abas (2007) merupakan keadaan
atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa selalu
bergantung pada orang lain Dimana aktivitas belajar ini yang dilaksanakan di
Ciri-ciri anak yang mampu belajar secara mandiri (berdasarkan
komponen-komponen kemandirian menurut Nashori) adalah:
a. Bebas
Pada anak TK, aspek ini ditunjukkan dengan adanya kesempatan kepada
anak untuk melakukan eksplorasi dan aktivitas yang diinginkan secara
bebas.
b. Mempunyai Inisiatif
Pada anak TK, apsek ini dapat ditunjukkan dengan adanya kemauan
untuk bertanya pada guru, adanya inisiatif untuk bermain bersama
temannya tanpa harus disuruh.
c. Gigih dan ulet
Pada anak TK, aspek ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan dia untuk
mengerjakan tugas yang diebrikan oleh guru dengan tekun, berusaha
menyelseaikan tugas yang sulit.
d. Percaya pada diri sendiri
Pada anak TK, aspek ini dapat ditunjukkan dengan kemauan anak untuk
mengekspresikan dirinya misal: dengan bernyanyi di depan kelas, berani
menjadi pemimpin bagi teman-temannya.
e. Pengendalian diri
Pada anak TK, aspek ini dapat terlihat dengan adanya kepatuhan anak
terhadap perintah guru, adanya kemauan anak untuk bekerja sama dan
Kemandirian belajar dalam penelitian ini akan diungkap dalam lima
komponen yang telah dijelaskan diatas dan diukur dengan menggunakan
skala rating kemandirian belajar yang diisi oleh guru wali kelas. Data yang
diperoleh berasal dari jawaban yang diberikan oleh guru. Semakin tinggi skor
total kemandirian belajar anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandirian
belajarnya. Sebaliknya, semakin rendah skor total kemandirian belajar anak,
semakin rendah pula tingkat kemandirian belajar anak.
2. Gaya Kelekatan
Yang dimaksud dengan gaya kelekatan adalah suatu bentuk ikatan yang
bersifat emosional dan terjadi secara intens (terus menerus) dan timbal balik
(resiprokal) antara bayi/anak dengan pengasuh (orang tua).
Gaya kelekatan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala
pelaporan orang tua (Parent report scale). Pengaktegorian gaya kelekatan
yang dialami oleh anak, berdasarkan skor Z terbesar. Skala kelekatan ini akan
diberikan pada orang tua atau pengasuh. Skala kelekatan ini disusun dengan
mengacu pada teori C. Wenar dan P. Kerig (2000) tentang macam-macam
gaya kelekatan, dimana dalam penelitian ini ada 3 macam gaya kelekatan
yang akan diteliti yaitu gaya kelekatan aman, kelekatan menghindar serta
kelekatan cemas. Aspek dasar yang melandasi ketiga macam gaya kelekatan
ini adalah aspek pengasuhan dan situasi baru/strange situation (yang meliputi:
Pembedaan ketiga gaya kelekatan dilakukan berdasarkan pada kedua
aspek tersebut yaitu pengasuhan dan situasi baru. Adapun penerapan kedua
aspek tersebut dalam masing-masing gaya kelekatan dijelaskan sebagai
berikut:
a. Kelekatan Aman
1) Pengasuhan
Pengasuh sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta
memberikan perhatian dan kasih sayang yang tepat, hangat dan
konsisten kepada anak.
2) Situasi Baru
a) Perpisahan
Anak yang secure mungkin atau tidak mungkin merasa terganggu
dengan adanya perpisahan. Mereka akan menjadi terbatas dalam
mengeksplorasi lingkungan ketika pengasuh tidak ada
bersamanya.
b) Pertemuan kembali
Anak yang secure mampu memiliki kemampuan untuk menerima
kembali dan menyambut positif pengasuh, serta menjadi nyaman.
c) Eksplorasi
Anak yang secure mampu mengeksplorasi lingkungan secara
d) Karakteristik Umum
Anak yang secure mengembangkan citra diri positif, memiliki
rasa aman, percaya diri serta memiliki ekspresi emosi.
b. Kelekatan Menghindar
1) Pengasuhan
Pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak
dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak,
memperlihatkan sikap memusuhi serta sering meninggalkan anak, dan
juga terkadang mengabaikan kontak mata dengan anak.
2) Situasi Baru
a) Perpisahan
Anak yang avoidant jarang menunjukkan kesedihan atau
kecemasan ketika terjadi perpisahan dengan pengasuhnya.
b) Pertemuan Kembali
Anak yang avoidant cenderung mengabaikan atau menghindari
pengasuh ketika terjadi pertemuan
c) Eksplorasi
Dalam mengekplorasi lingkungan, anak yang avoidant cenderung
terlihat asyik sendiri, dan mengabaikan kontak dengan orang lain.
d) Karakteristik Umum
Anak yang avoidant akan mengembangkan diri sebagai anak yang
c. Kelekatan Cemas
1) Pengasuhan <