• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-147-

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta

Comparison of Suspended Sediment Indices for Identifying Total Suspended Solids in Opak Estuary Waters Yogyakarta

Marindah Yulia Iswari1*)

1Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

*)Email: marindahyuliaiswari@gmail.com

ABSTRAK- Total suspended solids (TSS) merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat diidentifikasi dengan penginderaan jauh. Berbagai persamaan dan indeks telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya diikuti dengan berbagai macam jenis citra penginderaan jauh. Persamaan empiris untuk mengestimasi TSS bersifat sementara karena kondisi berbagai lokasi penelitian tidak selalu sama. Indeks sedimen tersuspensi lebih fleksibel dibandingkan persamaan karena indeks yang dihasilkan berupa nilai yang mempunyai rentang tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan indeks sedimen tersuspensi dengan band math equation dalam mengidentifikasi TSS di perairan muara Sungai Opak. Indeks sediment tersuspensi yang digunakan untuk penelitian ini meliputi NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. NDSSI dan NSMI mempunyai rentang -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan semakin jernih.

Rentang yang digunakan untuk band ratio berkebalikan dengan NDSSI dan NSMI yaitu 0 sampai tak terhingga. Nilai 0 pada band ratio mengindikasikan perairan jernih dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan kondisi perairan lebih keruh. Semua standar deviasi pada ketiga indeks menunjukkan standar deviasi yang tinggi. Hasil standar deviasi paling kecil ditunjukkan oleh model yang dibentuk dari NSMI.

Kata kunci:TSS, indeks sedimen tersuspensi, muara Sungai Opak, Landsat 8 OLI

ABSTRACT- Total suspended solids (TSS) is one of the water quality parameters that can be identified by remote sensing. Various equations and index has been developed by previous research, followed by various types of remote sensing imagery. Empirical equations to estimate the TSS is temporary because of the condition of various research locations are not always the same. Suspended sediment index is more flexible than the equation because index is a value which has a certain range. This study aimed to compare the suspended sediment index (band math equation) in identifying TSS in Opak Estuary waters. Suspended sediment index that is used for this study include NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) and the band ratio. NDSSI and NSMI has a range of -1 to 1 with higher values indicating that more clear water. The range used for the band ratio contrasts with NDSSI and NSMI is 0 to infinity. A value of 0 in the band ratio indicates clear waters with higher value indicates a more turbid water. All the standard deviation on all three indices showed a high standard deviation. The results of this study showed that NSMI equation has smallest standard deviation.

Keywords: TSS, Suspended Sediment Index, Opak Estuary, Landsat 8 OLI

1. PENDAHULUAN

Salah satu parameter kualitas perairan yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh adalah total suspended solids (TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi, 2003). TSS pada sungai dapat diperoleh dari material- material yang tererosi dan terangkut oleh aliran sungai. Material yang terbawa dari hulu sungai sampai hilir beberapa di antaranya ada yang mengendap dan ada yang tetap terbawa sampai muara sungai. Muara sungai merupakan satuan geomorfologi tempat pertemuan antara kumpulan aliran massa air dari daratan dengan massa air laut atau lautan, atau kadang-kadang juga dengan massa tubuh perairan daratan yang luas, semisal danau atau laguna (Ongkosongo, 2010). Definisi ini menunjukkan bahwa muara sungai mempunyai kedinamisan tinggi dikarenakan merupakan jalan pertemuan antara dua lokasi yang berbeda. Muara sungai sebagai mulut akhir aliran sungai mempunyai konsentrasi TSS yang dinamis. Sebagai daerah kajian, muara Sungai Opak yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai hulu di Gunung Merapi dan hilir di Laut Selatan Jawa. Sungai ini merupakan salah satu sungai dengan sifat perennial walaupun di musim kemarau. Kecepatan gelombang pada permukaan perairan di muara Sungai Opak mempunyai rata-rata 20 m/s (Widayanti, 2013). Kondisi di mulut sungai yang berbatasan dengan laut mempunyai kecepatan

(2)

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)

-148-

gelombang yang lebih tinggi yaitu 22,31 m/s. Dinamika pesisir dan laut mempunyai pengaruh yang cukup besar pada kondisi di mulut sungai.

Selama beberapa dekade, penginderaan jauh telah mengembangkan dan meningkatkan studinya dalam bidang kualitas air, termasuk di dalamnya proses upgrade sensor/ instrumen dan pengembangan algoritma dalam pemrosesan citra (Reif, 2011). Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji algoritma-algoritma untuk mencari nilai TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Parwati et al. (2008) membandingkan beberapa algoritma untuk mengestimasi TSS di pesisir Berau dengan hasil algoritma yang paling representatif adalah algoritma yang dibangun oleh Budhiman (2004). Beberapa penelitian menggunakan persamaan empiris dalam membuat estimasi TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Iswari (2014) membandingkan tiga persamaan empiris yang dibangun oleh Alashloo et al. (2013), Bhatti et al. (2011) dan Hendrawan dan Asai (2008). Perbandingan ketiga persamaan empiris tersebut diaplikasikan di muara Sungai Opak dengan citra ALOS AVNIR-2. Hasil dari perbandingan tiga persamaan kurang sesuai untuk digunakan di perairan muara Sungai Opak. Persamaan empiris yang dihasilkan dari suatu daerah penelitian belum tentu dapat diaplikasikan pada daerah yang berbeda. Kondisi perairan yang mempunyai kedinamisan tinggi mempunyai efek terhadap hasil estimasi dari suatu persamaan empiris yang dibangun pada daerah lain.

Pengembangan analisis spektral terhadap TSS dikembangkan pula seiring dengan penelitian empiris mengenai TSS. Beberapa peneliti membangun indeks sedimen tersuspensi berdasarkan karakteristik pantulan spektral TSS.

Gambar 1. Kurva pantulan spektral total solids (mg/l) Sumber (Farooq, S. 2011)

Penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi pernah dilakukan oleh Doxaran et al. (2002) dengan mengkaji penggunaan band ratio untuk mengekstraksi material tersuspensi di Gironde, Perancis. Hossain et al., (2006) membangun sebuah indeks sedimen tersuspensi yang hampir mirip dengan konsep NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yaitu NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index).

Indeks sedimen tersuspensi ini berupa band math equation dengan hasil merupakan nilai indeks yang tidak memiliki satuan. Indeks lain yang pernah digunakan untuk melihat sedimen pada perairan adalah NSMI (Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. Band ratio pernah digunakan oleh Aber (2011) dengan membandingkan saluran hijau dan saluran biru. Montalvo (2010) membandingkan ketiga indeks ini dengan lokasi di daerah pesisir Cabo Rojo, barat daya dari Puerto Rico. Indeks yang paling akurat untuk mengindentifikasi suspensi perairan di Cabo Rojo adalah NSMI.

Indeks NDSSI, NSMI dan band ratio akan diujikan di pesisir selatan Jawa yaitu muara Sungai Opak.

Pengujian ini bertujuan untuk membaningkan indeks sedimen tersuspensi yang diterapkan di daerah kajian yang berupa area pertemuan darat dan laut. Indeks yang paling baik dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengingat penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi ini belum banyak digunakan di Indonesia.

2. METODE

Pengambilan sampel dilakukan pada 9 Oktober 2013 di muara Sungai Opak. Muara Sungai Opak terletak di selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sampel diambil dengan alat pengambilan sampel air water sampler tipe HYDRO-BIOS Standard Water Sample.

(3)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-149-

Pengambilan sampel menggunakan metode probability sampling. Sampel hasil pengambilan air di lokasi penelitian ditempatkan di botol dan diujikan di laboratorium. Pengujian untuk mendapatkan konsentrasi TSS pada sampel menggunakan metode gravimetri sesuai dengan SNI 06-6989.3-2004 (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Sampel yang diambil berjumlah 30 sampel dan digunakan untuk pembuatan model serta akurasi.

Gambar 2. Lokasi penelitian di muara Sungai Opak Yogyakarta Sumber (Google Earth)

Daerah kajian merupakan wilayah perairan di muara sehingga diperlukan batasan kajian untuk memfokuskan pengamatan. Masking daratan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan daratan sehingga pengamatan hanya tertuju pada wilayah perairannya. Pengolahan citra dilakukan dengan software ENVI 5.0 dan ArcGIS 10.1. Citra yang digunakan adalah citra Landsat 8 OLI perekaman 14 Oktober 2013 dengan level 1T. Citra ini mempunyai resolusi spasial 30m yang menunjukkan dalam satu piksel citra mewakili 30mx30m di lapangan. Tahapan awal sebelum proses pengolahan citra adalah koreksi citra.

Koreksi yang digunakan yaitu koreksi radiometrik untuk mendapatkan nilai pantulan obyek pada permukaan bumi. Koreksi radiometrik dilakukan dengan rumus yang telah dicantumkan pada Landsat 8 Handbook (rumus 1 dan 2).

Lλ = M Q + A (1)

Lλ : nilai spektral dari TOA radiance (watts/( m2*srad *μm) ML : Nilai radiance multiplicative saluran tertentu

Qcal : Nilai digital number saluran tertentu AL : Nilai radiance additive saluran tertentu

ρλ= MρQ + Aρ (2)

ρλ' : Nilai spektral dari TOA reflectance tanpa koreksi sudut matahari Mρ : Nilai reflectance multiplicative saluran tertentu

Qcal : Nilai digital number saluran tertentu Aρ : Nilai reflectance additive saluran tertentu

Indeks sedimen tersuspensi yang digunakan antara lain NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index) yang dikembangkan oleh Hossain et al. (2006) (rumus 3). Indeks ini menghasilkan rentang nilai -1 sampai 1 dimana nilai yang lebih tinggi menggambarkan air yang lebih jernih sedangkan nilai yang kecil menggambarkan kekeruhan air ataupun daratan.

NDSSI ∶ (3)

Indeks lainnya dikembangkan oleh Fiuza Borges et al. (2011) yaitu NSMI (Normalized Suspended Material Index) . Indeks ini menggunakan saluran biru, saluran hijau dan saluran merah (rumus 4). Indeks ini mempunyai rentang yang sama dengan NDSSI yaitu -1 sampai +1 dengan air jernih mempunyai indeks yang lebih tinggi.

(4)

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)

-150-

NSMI ∶ (4)

Indeks pembanding terakhir merupakan indeks yang dibangun oleh Aber (2011) dengan membuat perbandingan antara dua saluran yaitu saluran hijau dan saluran biru (rumus 5). Band ratio ini mempunyai nilai dari 0-tidak terhingga dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan lebih banyak mengandung sedimen tersuspensi.

Band ratio ∶ (5)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks sedimentasi tersuspensi merupakan perbandingan saluran dari data penginderaan jauh. Konsep indeks sedimentasi tersuspensi adalah memainkan saluran yang peka terhadap sedimen tersuspensi dan saluran yang kurang peka terhadap sedimen tersuspensi. Air jernih mempunyai pantulan yang tinggi di saluran biru (0,45-0,495 µm) dan akan habis diserap di saluran inframerah dekat (0,75-2,5 µm). Perairan yang mempunyai kandungan sedimen tersuspensi akan mempunyai material yang memantulkan gelombang yang diberikan oleh sensor pada satelit penginderaan jauh. Pantulan ini akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya panjang gelombang. Pantulan sedimen tersuspensi akan mencapai puncaknya pada panjang gelombang 0,6-0,7 µm dan semakin menurun sampai 1,1 µm (gambar 1).

Pengolahan citra Landsat 8 OLI untuk perolehan informasi indeks sedimen tersuspensi dilakukan dengan tiga model indeks sedimen tersuspensi (tabel 1). Jumlah sampel yang digunakan untuk mengetahui nilai indeks sedimen tersuspensi dan pembuatan model sejumlah 17 buah. Sejumlah 3 sampel berada pada area masking daratan sehingga nilainya 0 dan diabaikan.

Tabel 1.Hasil indeks sedimen tersuspensi pada citra Landsat 8 OLI No.Sampel

analisis indeks NDSSI NSMI Band ratio 1 0,27873 0,20023 0,80877 2 0,18978 0,23479 0,85041 3 0,47344 0,14655 0,77403 4 0,34389 0,17752 0,79466 5 0,12126 0,25543 0,86338 6 0,36684 0,17934 0,79544 7 0,31814 0,19511 0,81674 8 0,44421 0,15003 0,77856

9 0,1539 0,22104 0,80773

10 0,42777 0,17848 0,80986 11 0,07106 0,18208 0,84202 12 0,0928 0,18782 0,80846 13 0,17708 0,22975 0,87857 14 0,2048 0,23897 0,86261 Rata-rata 0,26169 0,19837 0,8208

Indeks NDSSI menunjukkan bahwa rata-rata indeks pada sampel yang telah diuji mempunyai kisaran 0,26169. Rentang NDSSI yang digunakan adalah -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih besar menunjukkan bahwa perairan yang diamati lebih jernih. Indeks di NDSSI dipengaruhi oleh pantulan saluran biru dan saluran inframerah dekat. Saluran biru merupakan wilayah di mana air jernih mempunyai pantulan tinggi sedangkan pada saluran inframerah dekat pantulan sedimen tersuspensi semakin tinggi. Nilai 0,26169 menunjukkan bahwa nilai pantulan di saluran biru masih cukup tinggi dibandingkan dengan pantulan di inframerah dekat. Kondisi ini ditandai dengan nilai indeks NDSSI yang bernilai positif sehingga dalam kondisi ini perairan yang diamati tidak terlalu keruh. Indeks NSMI menunjukkan hal yang hampir serupa dengan nilai indeks rata-rata 0,19837. Nilai ini masih digolongkan pada kondisi normal dengan kekeruhan yang relatif kecil. Pengolahan dengan indeks band ratio menunjukkan rata-rata indeks sedimen tersuspensi

(5)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-151-

mempunyai kisaran 0,8208. Indeks band ratio menunjukkan nilai 0 merupakan indikasi perairan jernih dan semakin besar nilai indeks mengindikasikan perairan semakin keruh. Band ratio membandingkan pantulan di saluran hijau dan saluran biru. Semakin besar nilai di saluran biru menghasilkan indeks band ratio yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh pantulan air di saluran biru lebih tinggi sehingga jika indeks band ratio rendah maka kemungkinan perairan tersebut masih dikategorikan jernih.

Gambar 3. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel Sumber : Iswari, 2014

Hasil nilai indeks sedimen tersuspensi yang diujikan pada citra Landsat 8 OLI semuanya menunjukkan kondisi perairan di muara Sungai Opak memiliki partikel dalam perairannya. Kondisi ini sesuai dengan di lapangan karena pada saat pengambilan sampel perairan dalam kondisi jernih namun penetrasi cahaya matahari tidak bisa menembus dasar perairan (gambar 3). Partikel yang melayang dalam perairan berupa partikel halus sehingga perairan masih bisa ditembus cahaya.

Gambar 4. Grafik perbandingan R2 antara NDSSI, NSMI dan Band Ratio R² = 0,1613

0 10 20 30 40 50 60

0 0,2 0,4 0,6

TSS Lapangan (mg/l)

NDSSI

Sampel

R² = 0,3054 0

10 20 30 40 50 60

0 0,1 0,2 0,3

TSS Lapangan (mg/l)

NSMI

Sampel

R² = 0,1164 0

10 20 30 40 50 60

0,75 0,8 0,85 0,9

TSS Lapangan (mg/l)

Band ratio

Sampel

(6)

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)

-152-

Perbandingan ketiga indeks sedimen tersuspensi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linear antara data lapangan dan nilai indeks. Nilai R2 pada ketiga model yang dibuat dari indeks dan data lapangan menunjukkan angka dibawah 0,5 (gambar 4). Nilai R2 pada pemodelan dengan band ratio mempunyai nilai paling kecil dibandingkan dua indeks lainnya yaitu 0,116. Nilai R2 tertinggi ditunjukkan oleh pemodelan NSMI dengan nilai 0,305. Band ratio menggunakan langsung perbandingan antara dua saluran sedangkan NSMI menggunakan perbandingan matematis antara saluran tampak. Jumlah saluran yang digunakan untuk NSMI lebih kompleks dengan disertai perhitungan matematis. Saluran hijau dan saluran merah pada NSMI mewakili pantulan tinggi untuk sedimen tersuspensi sedangkan saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk air jernih. Konsep inilah yang membuat kecenderungan nilai R2 pada model yang dibuat paling tinggi.

Tabel 2.Perbandingan hasil estimasi dengan citra Landsat 8 OLI dan hasil lapangan No

Sampel estimasi

Estimasi dengan NDSSI (mg/l)

Estimasi dengan

NSMI (mg/l)

Estimasi dengan band ratio

(mg/l)

TSS Lapangan

(mg/l)

1 23,463 20,851 21,123 5,40

2 21,104 22,491 23,968 72,80

3 21,676 22,356 24,825 25,30

4 21,113 22,720 24,110 5,90

5 21,375 22,085 21,989 24,20

6 22,342 21,807 22,652 37,40

7 20,746 22,954 25,295 71,10

8 20,906 22,758 23,462 18,10

9 20,835 22,678 21,562 5,70

10 28,984 19,353 6,526 7,80

11 20,563 22,749 23,329 5,90

12 22,083 22,239 20,298 26,40

13 27,343 20,852 11,040 0,70

Std 16,797 16,722 17,191

Ketiga pemodelan diujikan untuk memperoleh estimasi konsentrasi TSS dari data penginderaan jauh.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga indeks yang digunakan menghasilkan konsentrasi nilai TSS yang lebih seragam dibandingkan dengan TSS yang dihasilkan dari data lapangan (tabel 2). Standar deviasi yang diperoleh untuk ketiga persamaan mempunyai nilai di atas 10. Standar deviasi menyatakan bagaimana sebaran data dalam sampel. Semakin besar standar deviasi maka perbedaan sampel terhadap rata-rata semakin besar. Hasil pemodelan dari tiga indeks menunjukkan bahwa estimasi dengan NSMI mempunyai nilai paling kecil meskipun selisihnya tidak terlalu besar dengan lainnya yaitu 16,722. Standar deviasi terbesar ditunjukkan oleh estimasi dengan band ratio. Hasil ini berbanding lurus dengan nilai R2 yang dihasilkan dari pemodelan yang dibuat. Pemodelan dengan band ratio menunjukkan bahwa nilai R2 paling kecil dan menghasilkan nilai standar deviasi yang paling besar.

Hasil persebaran estimasi TSS dengan model NSMI menunjukkan konsentrasi yang cukup besar pada mulut sungai (gambar 5). Mulut sungai merupakan jalan akhir aliran Sungai Opak menuju ke Samudra Hindia. Kondisi di mulut sungai lebih dinamis dibandingkan di tempat lain karena mendapat pengaruh dari darat dan laut sekaligus.

(7)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-153-

Gambar 5. Sebaran estimasi TSS dengan indeks NSMI

Penelitian perairan dengan penginderaan jauh yang ideal adalah dengan melakukan pengambilan sampel dan pemilihan citra dengan kondisi waktu yang sama. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2013 sedangkan citra Landsat 8 OLI yang digunakan mempunyai perekaman 14 Oktober 2013. Citra yang dipilih merupakan citra dengan tanggal perekaman yang paling dekat dengan pengambilan sampel. Kondisi ini memungkinkan adanya perbedaan pantulan dari perekaman dengan kondisi sebenarnya sehingga menyebabkan nilai standar deviasi yang dihasilkan tinggi.

4. KESIMPULAN

Ketiga indeks yang dibandingkan semuanya mempunyai nilai standar deviasi yang tinggi. Standar deviasi yang paling rendah ditunjukkan oleh NSMI dengan diimbangi nilai R2 pada pemodelan non linear yang paling tinggi. Indeks NSMI menggunakan 3 saluran tampak dengan membandingakn perhitungan matematis saluran-saluran tersebut. Saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk perairan jernih. Saluran hijau dan saluran merah mewakili penyerapan air jernih yang sebaliknya menunjukkan pantulan tinggi untuk sedimen tersuspesi.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini baik secara langsung ataupun tidak langsung dibantu oleh beberapa pihak. Terimakasih kepada keluarga Sutrisna yang sudah berkenan membantu selama pengambilan sampel berlangsung. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Prof.Dr.Ir.Gadis Sri Haryani DEA yang berkenan memberikan bimbingan terhadap penulisan ini dan Mouli DRD yang memberikan kritik dan masukan.

DAFTAR PUSTAKA

Aber, J.S., (2013). Landsat Image Processing. Emporia State University [Online]. Available:

http://academic.emporia.edu/aberjame/remote/landsat/landsat_proc.htm

Alashloo, Moussavi, M., Hwee-San L.,Robabeh, A., dan Sahabeh S., (2013). Total Suspended Sediments Mapping by Using ALOS Imagery Over The Coastal Waters of Langkawi Island Malaysia. Journal of The Indian Society of Remote Sensing.

Badan Standarisasi Nasional. Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) secara gravimetri). SNI 06-6989.3-2004. 2004

Bhatti, Asif, M., Seigo, N., dan Masataka, T., (2011). Multispectral Remotely Sensed Models for Monitoring Suspended Sediment: A Case Study of Indus River Pakistan. International Journal of Water Resources and Arid Environment, 1(6):417-427

Budhiman, S., (2004). Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta-Indonesia. Thesis. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Netherlands.

Department of the Interior, U.S. Geological Survey. (2015). Landsat 8 (L8) Data Users Handbook Version 1.0, United States Geological Survey [Online]. Available : https://landsat.usgs.gov/

documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf

(8)

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta (Iswari, M.Y.)

-154-

Doxaran, Froidefond, J.M, dan Castaing, P. (2002). A Reflectance Band Ratio Used to Estimate Suspended Matter Concentrations in Sediment-Dominated Coastal Water. International Journal of Remote Sensing, 33(23):5079- 5085.

Effendi, H., (2003). Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius

Farooq, S., (2011). Spectral Reflectance of Land Cover. Department of Geology, Aligahr Muslim University [Online].

Available : http://www.geol-amu.org/notes/m1r-1-8.htm

Fiuza, B., Elane Souza, A.C., Pablo, S.S., (2011). Detection of Suspended Sediments in Grande River and Ondas River – Bahia/Brazil. Federal University of Bahia, Institute of Environmental Sciences and Sustainable Development.

Brazil.

Hendrawan, Gede, I., dan Koji, A., (2008). Study of Suspended Sediment Distribution Using Numerical Model and Satellite Data in Benoa Bay-Bali, Indonesia. International Journal of Remote Sensing and Earth Science, 5:84-91 Hossain, A.K.M, Azad, Xiaobo, C., dan Yafei, J., (2010). Development of Remote Sensing Based Index for Estimating/

Mapping Suspended Sediment Concentration in River and Lake Environments. in : International Symposium on Ecohydraulics, Seoul Korea

Iswari, M.Y., (2014). Aplikasi Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemetaan Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solids) di Muara Sungai Opak Yogyakarta. Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Montalvo, L.G., (2010). Spectral Analysis of Suspended Material in Coastal Waters: A Comparison between Band Math Equations. Mayaguez, Puerto Rico. 2010

Parwati, E., Tatik, K., dan Joko, I., (2008). Ekstraksi Informasi Total Suspended Solid (TSS) Menggunakan Data Penginderaan Jauh Untuk Kawasan Pesisir Berau, Kalimantan Timur. in Proceeding Pertemuaan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh XVII, Bandung.

Ongkosongo, O.S.R., (2010). Kuala, Muara Sungai, dan Delta. Jakarta : Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Reif, M., (2011). Remote Sensing for Inland Water Quality Monitoring : A U.S Army Corps of Engineering Perspective.

Mississippi : Environmental Laboratory U.S Army

Widayanti, R.D., (2013). Dinamika Harian Penutupan Muara Sungai Opak pada Bulan Oktober-November”. Skripsi.

Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA

PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.

Judul Makalah : Perbandingan Indeks sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyaka

Pemakalah : Marindah Yulia I (LIPI)

Diskusi :

Pertanyaan: Rahmat Arief (LAPAN)

1. Seandainya deviasi cukup tinggi, mengapa?

Pertanyaan: Tatik Kartika (LAPAN)

2. Apakah penggunaan data resolusi tinggi perlu penyesuaian?

Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN)

3. Bagaimana pemilihan motodenya apakah itu yang terbaik atau tidak?

Jawaban :

1. Perbedaan tanggal pengambilan sample dan data citra (1 bulan).

2. Penggunaan hanya pada band visible sehingga bisa digunkan dimanapun.

3. Dengan menggunakan 3 penelitian dengan menggunakan metode alos, menggunakan persamaan dan hasilnya.

(9)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-155-

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8

(Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober - 5 November 2015)

Volcanic Ash Identification using Split Windows and TVAP Technique in MTSAT and Himawari-8 Weather Satellite Imagery

(Case Study: Kelud Mountain Eruption on 13 February 2014 and Rinjani Mountain on 31 October - 5 November 2015)

Ilham Rosihan Fachturoni1*)

1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

*)E-mail: fachturoni@live.com

ABSTRAK -Indonesia merupakan negara dengan aktivitas vulkanik yang tinggi sehingga urgensi dari informasi adanya debu vulkanik terutama sebarannya harus segera didiseminasikan kepada masyarakat luas untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan. Debu vukanik dapat diidentifikasi dengan menggunakan satelit Cuaca MTSAT-2 dan Himawari-8 dengan metode Split Windows (SP) dan Multispectral Image Enhancement Technique satau biasa disebut TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Kedua metode tersebut memanfaatkan kanal IR1, IR2, dan IR4 yang diolah dengan algoritma tertentu untuk memisahkan antara partikel debu vulkanik dengan awan air/es. Pada kasus erupsi Gunung Kelud tanggal 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015, identifikasi debu dengan gabungan antara metode TVAP dan SP berhasil menampilkan piksel-piksel debu yang hilang jika hanya menggunakan satu metode saja. Kedua Metode saling melengkapi dan gabungan keduanya menghasilkan identifikasi debu vulkanik yang lebih akurat. Pada penelitian ini, diharapkan identifikasi yang akurat dapat menjadi acuan dalam pembuatan informasi peringatan debu vulkanik dan data dapat digunakan sebagai asimilasi model dispersi debu vulkanik.

Kata kunci:debu vulkanik, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8

ABSTRACT -Indonesia is a country which has a lot of volcano activities. In case to avoid the negative impact, information about existence (dispertion) of volcanic ash should be disseminated to citizen quickly. Volcanic ash can be identified with the help of MTSAT-2 and Himawari-8 satellite data using Split Windows (SP) and Multispectral Image Enhancement Techniques or usually known as Thress-band Volcanic Ash Product (TVAP). Both of the techniques use IR1, IR2 and IR4 channel which processed with certain algorithm to separate ash particles with water or ice clouds. In case of Kelud Mountain Eruption on 13 Febuary 2014 and Rinjani Mountain on 31 October-5 November2015, combination between SP and TVAP technique were successfully display ash pixels which lost when only one of them were used. Both of the techniques complete each other and combination both of the technique provide more accurate ash identification. In this paper, Accurate identification is expected to be a reference in the manufacture of volcanic ash warning information and data can be used as an assimilation of volcanic ash dispersion model.

Keywords: volcanic ash, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi dan bertahan karena adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Atmosfer mengandung berbagai macam bentuk partikel, mulai dari partikel padat, cair dan gas. Partikel padat di atmosfer dapat berupa aerosol; partikel cair berupa tetes awan (droplets) dan tetes hujan (raindrops); sedang partikel gas adalah Nitrogen (N2), Oksigen (O2), Karbondioksida (CO2) serta gas- gas lain yang terkandung di atmosfer. Sebagian besar partikel padat di atmosfer bersumber dari permukaan bumi, dan partikel-partikel tersebut akan kembali jatuh ke permukaan bumi.

Satu di antara sumber partikel padat di atmosfer adalah erupsi gunung berapi yang menyumbang partikel padat berupa debu vulkanik sebagai aerosol.

(10)

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

-156-

Dalamperiode 2 tahun terakhir, telah terjadi beberapa Erupsi Gunung berapi di wilayah Indonesia, dua diantaranya yakni erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur (Jatim) pada tanggal 13 Februari 2014 dan erupsi Gunung Rinjani di Lombok dengan periode waktu yang lama (penulishanya berfokus pada periode antara 31 Oktober – 5 November 2015).

Erupsi Gunung berapi selalu mempunyai Dampak negatif yang berbandinglurus dengan kekuatan letusan itu sendiri. Semakin kuat letusannya, maka semakin besar Dampak negatif yang dihasilkan. Pada saat erupsi, Sebagian Debu yang dilontarkan akan jatuh kembali kepermukaan sebagai hujan debu yang dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Sebagian debu yang lain akan melayang-layang di atmosfer terbawa angin dan kehadirannya akan sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. Partikel debu vulkanik dapat merusak mesin pesawat terbang yang akan membahayakan aktifitas penerbangan itu sendiri. Oleh Karena itu, informasi mengenai eksistensi debu vulkanik yang akurat sangatlah dibutuhkan demi menghindari berbagai Dampak negatif yang ditimbullkan. Informasi mengenai debu vulkanik dapat disediakan dengan memanfaatkan alat remote sensing berupa satelit cuaca MTSAT dan Himawari-8 secara realtime dengan resolusi temporal hinggatiap 10 menitan.

Berdasarkanpaparandiatas, penulis tertarik untuk melakukan Penelitian seputar Identifikasi debu vulkanik dengan menggunakan satelit MTSAT dan Himawari-8 pada kasus Erupsi Gunung Kelud dan Gunung Rinjani. Kedua Erupsi tersebut memiliki karakter yang berbeda, Gunung Kelud mengalami Erupsi dengan kekuatan yang dahsyat dan sesaat (eksplosif) sedangkan Gunung Rinjani mengalami Erupsi dengan kekuatan lemah dan bertahan lama (strombolin)

1.2 Landasan Teori

Pengamatan cuaca menggunakan satelit cuaca lebih dikenal dengan istilah Remote Sensing. Prinsip kerja dari satelit cuaca adalah dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik dari matahari dan bumi.

Satelit cuaca menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu -yang selanjutnya akan disebut kanal- dengan sifatnya yang bisa mengalami absorbsi, emisi, refleksi serta hamburan (scattering).

Satelit MTSATadalah satelit cuaca geostasioner yang memiliki 5 (lima) kanal dengan panjang gelombang yang berbeda. Kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.3-11.3µm; kanal IR2 11.5-12.5 µm; kanal WV (Water Vapor/IR3) 6.5-7.0 µm; kanal IR4 (Near Infrared/NIR) 3.5-4.0 µm; kanal visible (VIS) 0.55-0.8 µm.

Berkaitan dengan lifetime dari satelit cuaca MTSAT, JMA (Japan Meteorology Agency) telah meluncurkan satelit generasi terbaru yakni Himawari-8 yang dilengkapi dengan 16 kanal dan peningkatan resolusi spasial pada tiap-tiap kanal. Selain untuk mengamati fenomena cuaca, satelit cuaca juga dapat dimanfaatkan untuk mengamati debu vulkanik di atmosfer. Dalam penelitian ini, Penulis berfokus menggunakan 4 kanal (IR1, IR2, IR4, dan VIS) untuk melakukan identifikasi debu vulkanik di atmosfer. untuk dapat melakukan identifikasi debu vulkanik, penulis menerapkan beberapa metode untuk mengolah data citra satelit yakni:

1.2.1 Split Windows (SP)

Metode ini memanfaatkan karakteristik yang berbeda antara debu dengan air/es dalam sifat penyerapannya pada panjang gelombang tertentu (Tupper,2011 dalam Susilawati, 2012). Metode ini sering disebut juga sebagai BTD (Brightness Temperature Different). Algoritmanbrro piuko

Grafik 1.. Total (garis), absorbsi (titik dan garis putus putus) dan scattering (garis putus-

putus line). ( I.M. Watson dkk., 2004)

(11)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-157-

Prinsip dasar metode split windows adalah dengan memanfaatkan perbedaan nilai emisifitas dua kanal yakni kanal IR (10.8µm) dan IR2 (12.0µm) terhadap debu dan awan (tetes air/es).

Dari grafik 1.1 di atas, terlihat bahwa nilai emisifitas debu lebih tinggi pada panjang gelombang IR2 (12.0µm) dibanding IR1 (10.8 µm), sedang sebaliknya pada partikel es/tetes air. Dengan menggunakan metode split window (BTD[IR1-IR2]) maka debu akan diindikasikan dengan nilai negatif (BTD[IR1-IR2] <

0). Namun dalam penentuan nilai batas untuk memisahkan antara awan es dan debu bergantung pada ketinggian dan perbandingan antara jumlah es dan debu (Pavolonis, 2006 dalam Susilawati, 2012).

1.2.2 Multispectral Image Enhancement Techniques

Merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mendeteksi debu vulkanik dengan menggunakan tiga kanal IR dari satelit geostationer. Tiga kanal tersebut berada pada daerah panjang gelombang 3,9 µm (IR4), 10,7 µm (IR1), dan 12.0 µm (IR2) (Ellrod dkk., 2003). Metode ini disebut juga dengan metode TVAP (Three-band Volcanic Ash Product).

Dalam tulisan ini, metode TVAP digunakan dalam memperbaiki piksel-piksel debu vulkanik yang tidak terdeteksi oleh metode split windows.

= 60 + 10( 2 − 1) + 3( 4 − 1) (1.1)

Dimana B adalahnilai TVAP (dalam Kelvin).Nilai B positifmengindikasikanpikseldebuvulkanik.

2. METODE 2.1 Data

Penulisan ini menggunakan beberapa data yakni:

1. Data SIGMET pada tanggal 13-14 februari 2015 dari DARWIN VAAC (Volcanic Ash Advisory Centre).

2. Data satelit MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) berasal dari Japan Meteorologi Agency (JMA) yang diperoleh dari Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, subbidang Pengolahan Citra Satelit.

3. Data angin perlapisan dari GDAS (Global Data Asimilation System). Data dapat diunduh pada situs web http://ready.a rl.noaa.gov/ready2- bin/extract/extracta.pl.

2.2 Metode Analisis

(12)

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

-158-

Dalam penulisan ini, cara identifikasi debu vulkanik menggunakan dua metode utama, metode split windows (SP), metode TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Metode Lookup Table merupakan metode perpanjangan dari metode split window dan TVAP dengan cara membatasi nilai kontur sebagai threshold dari nilai kontur yang mengindikasikan debu vulkanik.

3. HASILDAN PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Kelud

ErupsiGunung Kelud pada 13 Februari 2014 adalam jenis eksplosif yakni terjadi ledakan besar hanya sekali pada waktu tertentu. Letusan tipe eksplosif dapat memuntahkan material vulkanik sampai pada lapisan atas atmosfer beberapa kasus bahkan mencapai stratosfer. Berdasarkan laporan dari Badan Nasional

a1G

a2

a3

b1

b2

b3

Gambar 2.Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Kelud 13-14 Februari 2014 (a) 13 Feb jam 22.00 UTC, (b) 14 Feb jam 00.00UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP;

(a3) dan (b3) gabungan metode SP dan TVAP.

(a) (b)

(13)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-159-

Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi terjadi pada jam 22.50 WIB (15.50 UTC) dan memuntahkan material vulkanik hingga ketinggian 17 km.

Gambar 2. merupakan citra hasil indentifikasi debu vulkanik pada kasus erupsi Gunung Kelud tanggal 13 Feb 2014 jam 22.00UTC (a) dan 14 Feb 2014 jam 00.00UTC (b). Metode yang paling dasar digunakan dalam identifikasi debu vulkanik adalah metode split windows dengan memanfaatkan perbedaan sensitivitas gelombang IR1 dan IR2 pada debu dan partikel awan (air/es). Metode split windows mengidentifikasi debu vulkanik pada nilai negatif (-) (Prata, 1989). Terlihat pada gambar 2 (a1 dan b1) konsentrasi debu vulkanik menyebar dan bergerak ke arah baratdaya berdasarkan perpindahan konsentrasi antara jam 22.00 ke 00.00 UTC. Namun dalam metode SP terlihat bahwa banyak daerah “blank” yang menandaan bahwa ada partikel- partikel debu yang tidak teridentifikasi dengan metode ini.

Identifikasi debu menggunakan metode TVAP tersaji dalam gambar a2 dan b2 (gambar 3). Berbeda dengan metode SP, TVAP mengidentifikasi debu vulkanik pada nilai positif. Threshold debu pada TVAP adalah relatif mulai dari 60 hingga 255 bergantung pada ketebalan lapisan debu dan waktu (siang/malam).

Dalam penggunaannya, threshold harus disesuaikan dengan dengan keadaan lingkungan sehingga didapat pemisahan yang efektif antara debu dan partikel awan (Ellrod dkk., 2003). Meskipun berhasil mengidentifikasi debu dengan baik, metode TVAP masih memiliki wilayah “blank” yang menandakan adanya partikel debu yang hilang (miss identified).

Gambar a3 dan b3 (gambar 2) adalah gabungan antara metode SP dan TVAP. Dalam proses identifikasi menggunakan masing-masing metode, keduanya memiliki wilayah dimana partikel debu vulkanik tidak teridentifikasi atau hilang. Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh perbaikan identifikasi debu vulkaknik dimana masing-masing metode memperbaiki dan melengkapi partikel-partikel debu yang hilang dari citra. Hasil identifikasi debu menggunakan gabungan metode SP dan TVAP berhasil menampilkan wilayah persebaran debu yang lebih baik dan solid.

3.2 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Rinjani

Berbeda dengan kasus erupsi Gunung Kelud, Erupsi gunung rinjani terjadi low eksplosive (lemah) dan berkelanjutan/terus-menerus. Letusan tipe ini tidak banyak mengeluarkan material vulkanik. Posisi debu pun berada pada level rendah di atmosfer karena lemahnya kekuatan ledakan yang melontarkan debu ke atas.

Akibatnya, awan debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani memiliki karakter yang tipis dan rendah.

Gambar 3. merupakan citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani tanggal 3 November 2015 (a) jam 09.00 UTC; (b) jam 12.00 UTC. Umumnya, metode SP akan mengidentifikasi partikel debu pada nilai negatif, namun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penelitian yang dilakukan oleh Yu dkk (2002) pada kasus erupsi Gunung Soufriere Hills 26 Desember 1997 mgenidentifikasi debu pada nilai positif (+1 sampai +3). Kelainan ini disebabkan oleh gangguan penyerapan gelombang inframerah oleh uap air di atmosfer.Pada daerah tropis, uap air dominan berada pada ketinggian ±3 km. Pada kasus erupsi Gunung Rinjani, gangguan tersebut lah yang mengakibatkan metode SP baru bisa mengidentifikasi debu pada nilai positif. Debu vulkanik teridentifikasi pada nilai +1 hingga +1.5.Penyebabnya adalah karena erupsi Rinjani termasuk letusan yang lemah (low eksplosive) serta ketinggian Gunung Rinjani pun berada pada ketinggian 3.726 m diatas permukaan laut dimana ketinggian ini adalah wilayah dominan uap air yang dapat mengakibatkan gangguan pada identifikasi debu vulkanik.

Gambar a2 dan b2 (gambar 3.) adalah identifikasi debu dengan metode TVAP. TVAP mengidentifikasi debu vulkanik pada threshold 60 sampai 70. Berbeda dengan kasus pada Gunung Kelud, debu pada Gunung Rinjani memiliki nilai yang lebih kecil. Penyebabnya masih hal yang sama yakni karena sifatnya yang low eksplosive sehingga debu di atmosfer hanya berada pada level rendah dan konsentrasi debu yang sedikit (Ellrod dkk., 2003).

Akibat banyaknya gangguan, baik metode SP maupun TVAP tidak sempurna dalam mengidentifikasi debu yang ada di atmosfer. Penggabungan dua metode ini disajikan pada gambar a3 dan b3 (gambar 3) dan menghasilkan identifikasi yang lebih baik dengan saling memperbaiki partikel-partikel debu yang hilang pada masing-masing metode. Meskipun tidak sebanyak pada kasus Gunung Kelud, namun metode gabungan pada kasus erupsi Gunung Rinjani tetap menghasilkan perbaikan dengan menampilkan partikel debu yang hilang pada masing-masing metode.

(14)

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

-160- 3.3 Pergerakandan Estimasi Ketinggian Debu Vulkanik

Dengan identifikasi yang tepat pada tiap periode waktu, maka pola pergerakan debu vulkanik di atmosfer dapat terlihat dengan membandingkan perubahan posisinya di tiap-tiap waktu. Contohnya, jika kita lihat citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Kelud jam 22.00 UTC (13 Februari 2014) dan 00.00 UTC (14 Februari 2014) dan membandingkannya, maka terlihat pola pergerakan debu yang mengarah ke baratdaya berdasarkan perpindahan konsentrasi debu yang tampak pada citra.

a1

a2

a3

b1

b2

b3

Gambar 3. Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Rinjani 3 November 2015 (a) jam 09.00 UTC, (b) jam 00.00 UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP; (a3) dan (b3) gabungan metode SP dan TVAP. Terlihat pada Gambar adanya perbaikan Identifikasi debu vukanik dengan gabungan dua metode.

(a) (b)

(15)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-161-

Hal ini juga dapat diperkuat dengan membuat prakiraan arah pergerakan debu menggunakan model trajektori HYSPLIT (Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model). Model Trajektori HYSPLIT menggunakan data angin perlapisan sebagai data utama dalam pembuatan trajektori debu vulkanik di atmosfer.Dengan membuat model trajektorinya kita akan dapat melihat prakiraan lintasan debu yang berbeda pada tiap lapisan.

Gambar 4. menunjukkan kondisi sebaran debu erupsi Gunung Kelud tanggal 14 Februari 2014 jam 00.00 UTC di overlay dengan trajektori dari model HYSPLIT. Terlihat jelas konsentrasi debu berada tepat pada trajektori pada ketinggian 16.500 m. Dengan begini, selain mendapatkan arah pergerakan debu kita juga dapat mengestimasi ketinggian debu di atmosfer dengan cara menganalisis kecocokan posisi debu terhadap model trajektorinya. Dari Gambar 3.3, dapat ditarik kesimpulan bahwa debu berada pada ketinggian 16.500 m diatas permukaan laut dan akan bergerak terus ke arah baratdaya.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil deteksi debu vulkanik pada dua kasus diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa:

a. Penggabungan dua metode split windows dan TVAP mampu meningkatkan keakuratan dalam pendeteksian debu vulkanik erupsi Gunung Kelud dan Gunung Rinjani. Baik metode split windows TVAP sama-sama melakukan perbaikan terhadap metode lainnya, dengan menampilkan pixel-pixel debu yang hilang jika hanya menggunakan satu metode.

b. Dalam pendeteksian debu vulkanik ini, threshold untuk teknik split windows dan TVAP pada kasus Gunung Kelud adalah SP < 0 dan TVAP >120. Sedangkan thresholdkedua metode untuk kasus Erupsi Gunung Rinjani adalah SP < 1.5, SP < 0 dan TVAP > 70. Perbedaan thresholdterjadi akibat perbedaan jenis erupsi yang berdampak pada perbedaan ketinggian dan konsentrasi debu di atmosfer. Semakin lemah eksplosif semakin kecil threshold TVAP dan threshold metode SP bisa mencapai nilai positif.

c. Dengan mengamati perubahan posisi debu pada tiap waktu, kita dapat memprakirakan pergerakan debu untuk waktu kedepan. Dibantu oleh model trajektori, kita dapat memprakirakan trajektori dengan lebih pasti serta dapat juga memprakirakan ketinggian debu berdasarkan kecocokan dengan trajektorinya.

Gambar 4. Model trajektori HYSPLIT di overlay dengan kondisi real debu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 jam 00.00 UTC.

(16)

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

-162-

d. Informasi yang akurat mengenai debu vulkanik dan pergerakannya sangatlah penting untuk segera didiseminasikan kepada masyarakat agar dampak negatif dari debu vulkanik pada kegiatan masyarakat di segala bidang dapat dihindari.

e. Dalam dunia penerbangan, adanya debu vulkanik di atmosfer dapat meningkatkan resiko kecelakaan karena dapat menyebabkan kerusakan mesin pesawat. Oleh sebab itu warning tentang adanya debu vulkanik sangatlah krusial dan harus secepat mungkin didiseminasikan ke bandara-bandara sekitar.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Allah SWT, Ayah, Ibu, keluarga dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini dan untuk Ni Putu Andini Ganiswari akan semangatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Draxler, R.R., (1997). Hybrid Single Particel Lagrangian Integrated Trajectories (HY-SPLIT): Version 4.0 – User’s guide and model description. NOAA Tech. Memo. ERL ARL-225.

Ellrod, G.P., Connel, B.H., dan Hillger, D.W. (2003). Improved Detection of Airbone Volcanic Ash using Multispectral Infrared Satellite data. Journal of Geophysical Research, 108.

Prata, J.A., dan Ian J.B., (1989). Detection and discrimination of volcanic ash clouds by infrared rdiometry- I: Theory.

Kelkar, R.R., (2007). Satellite Meteorology.Hyderabad: BSP.

Susilawati, A. (2012). Identifikasi Debu Vulkanik Menggunakan Citra Satelit MTSAT. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 8(1)

Tjasyono, dan Bayong. (2007a). Meteorologi Indonesia 1: Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer. Jakarta:

Badan Meteorologi dan Geofisika.

Tjasyono, dan Bayong. (2007b). Mikrofisika Awan dan Geofisika. University Corporation for Atmospheric Research. 2011. Volcanic Ash: Observation Tools and Dispersion Models. [online].

http://www.meted.ucar.edu/volcanic_ash/tools/navmenu.php?tab=1&page=3.5.0. (diaksestanggal 23 Juni 2015).

Weather and Climate Prediction labolatory. (2005). Deteksi Debu Vulkanik dengan Satelit MTSAT.

http://weather.meteo.itb.ac.id/ artikel7.php. (diaksestanggal 23 Juni 2015).

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA

PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.

Judul Makalah : Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015)

Pemakalah : Ilham Rosihan Fachturoni (UGM)

Diskusi :

Pertanyaan: Kardasah (Puslitbang BMKG)

Bagaimana menentukan tebal dan tipisnya debu vulkanik dengan parameter tersebut? Apakah tidak dipengaruhi tinggi?

Jawaban:

Penentuan threshold debu vulkanik dari emphiris. Paper yang ditulis oleh (Ellrod, 2003), Adanya perbedaan IR pada siang dan malam. Sebenarnya tingi debu juga mempengaruhi

(17)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-163-

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung

Barujari 04 November 2015)

Assessment of Dust RGB and Ash RGB Scheme for Volcanic Ash

Information Using Himawari 8 Satellite (Case Study: Mt. Barujari Eruption, November 4

th

2015)

Pande Putu Hadi Wiguna1*) dan Kadek Setiya Wati2

1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta

2Stasiun Meteorologi Kelas II Selaparang-BIL, BMKG

*)E-mail: greenearthcadet@gmail.com

ABSTRAK – Satelit Himawari 8 diluncurkan pada pertengahan tahun 2015 sebagai pengganti satelit MTSAT-2 yang habis masa orbitnya. Himawari 8 memiliki beberapa kelebihan dibanding MTSAT-2, yaitu jumlah kanal 3 kali lipat dari kanal MTSAT-2 serta resolusi temporal yang lebih tinggi.Penambahkan kanal pada Himawari 8 memungkinkan melakukan pengamatan atmosfer yang lebih luas tidak terbatas pada awan meterologis tapi juga dapat digunakan untuk pengamatan debu vulkanis. WMO merekomendasikan 7 skema RGB untuk menampilkan informasi fisis setiap kanal satelit yang berguna dalam nephanalysis. Salah satunya adalah skema Dust RGB untuk pengamatan debu vulkanis.

JMA (Japan Meteorological Agency) menerapkan ketujuh skema ini ke satelit Himawari 8 dan melakukan pengambangan skema lain yaitu Ash RGB. Skema Ash RGB diharapkan mampu mendeteksi debu vulkanis lebih baik dari skema Dust RGB. Kanal yang digunakan dalam skema Ash RBG identik dengan Dust RGB, perbedaannya hanya terdapat pada pengaturan gradasi warna pada masing-masing kanal untuk lebih fokus pada fenomena yang akan diamati. SkemaAsh RGB masih dalam tahap ujicoba karena belum ditetapkan definisi dari setiap warna dalam tampilannya. Dalam tulisan ini dilakukan uji dua skema tersebut. Dua skema tersebut diterapkan pada peristiwa erupsi gunung Barujari pada tanggal 4 November 2015. Hasilnya, konfigurasi skema Ash RGB kurang dapat menggambarkan sebaran debu vulkanis dibanding skema Dust RGB. Hasil skema Dust RGB memiliki warna yang lebih kontras terhadap awan meteorologis, sehingga memudahkan dalam pengamatan dan analisis.

Kata kunci: Himawari 8, Debu Vulkanis, skema Dust RGB, skema Ash RGB

ABSTRACT -Himawari 8 satellite was launched in mid2015 as a replacement of the MTSAT-2 satellite wich is already retired. Himawari 8 satellite has several advantages over MTSAT-2. It has three times of channel better than MTSAT-2 and its temporal resolution higher than MTSAT-2. Upgrading channel at Himawari 8 make an opportunity to observing atmosphere, not only the meteorological cloud but also for volcanic ash observation. WMO recommends 7 RGB scheme to display physical information in any channels that are useful in nephanalysis. One is a scheme for the observation of volcanic ash, Dust RGB Scheme. JMA(Japan Meteorological Agency) apply this seventh scheme to the Himawari 8 satellite and developing another scheme namely Ash RGB scheme. Ash RGB scheme is expected to detect volcanic ash better than Dust RGB scheme. Channels using in Dust RGB scheme are identic with Ash RGB, the different is gradation color setting in each channels. It is for focusing in what phenomena we observe. Ash RGB scheme are still being tested because it has not been established definitions of each color in appearance. In this paper, the authors conducted a test against this scheme. Two schemes are applied to the events Barujari volcanic eruption on November 4th, 2015. As a result, the configuration can describe Ash RGB scheme can’t show volcanic ash clearly than the Dust scheme. The Dust scheme have more colors contrasting against meteorological cloud, making it easier to observation and analysis.

Keywords: Himawari 8, Volcanic Ash, Dust RGB Scheme, Ash RGB Scheme

1. PENDAHULUAN

Satelit meteorologi mulai digunakan sebagai solusi untuk pengamatan di wilayah yang sulit dijangkau oleh pengamatan meteorologi di permukaan seperti wilayah laut, gurun, atau pegunungan. Satelit meteorologi memiliki keunggulan utama yaitu mampu mengamati fenomena meteorologi secara global dan berkelanjutan. Program World Weather Watch dari WMO (World Meteorology Organization) di dukung oleh jaringan satelit baik geostasionari maupun polar orbit. Dalam mendukung program tersebut, JMA (Japan Meteorology Agency) telah mengorbitkan satelit geostasionari meteorologi terbaru, Himawari 8.

(18)

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

-164-

Himawari 8 berhasil diluncurkan pada tanggal 7 Oktober 2014, dan dijadwalkan mulai beroperasi pada bulan Juli 2015. Fitur terbarunya yaitu The new Advanced Himawari Image mengalami peningkatan pada resoulis spasial dan frekwensi pengamatannya dibanding dengan versi terdahulu. Penambahan teknologi berupa kanal yang tersedia, kini berjumlah 16 (3 kanal visible, 3 kanal near-infrared, 10 kanal inframerah) dari sebelumnya hanya 5 kanal saja.Resolusi spasial mencapai 0.5 km untuk kanal visible dan 2 km untuk kanal inframerah.Resousi temporal yang pada versi terdahulu hanya 60 menit, saat ini mencapai 10 menit untuk pemindaian secara keseluruhan dan 2.5 menit untuk pemindaian area terbatas.

Peningkatan kemampuan ini diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih detail dalam mengamati pergerakan siklon tropis maupun awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan dengan intensitas lebat. Selain siklon tropis dan awan konvektif, diharapkan juga mampu mengamati dan mendeteksi pergerakan dari debu vulkanis maupun aerosol lainnya di atmosfer.

Tabel 1. Perbandingan Spesifikasi Kanal Himawari 8 Versus Himawari 7

Wave length [µm]

Himawari-8/9 MTSAT-1R/2

Band number

Spatial resolution

at SSP [km]

Central wave length [µm]

Channel name

Spatial resolution

at SSP [km]

AHI-8 (Himawari-8)

AHI-9 (Himawari-9)

0.47 1 1 0.47063 0.47059 - -

0.51 2 1 0.51000 0.50993 - -

0.64 3 0.5 0.63914 0.63972 VIS 1

0.86 4 1 0.85670 0.85668 - -

1.6 5 2 1.6101 1.6065 - -

2.3 6 2 2.2568 2.2570 - -

3.9 7 2 3.8853 3.8289 IR4 4

6.2 8 2 6.2429 6.2479 IR3 4

6.9 9 2 6.9410 6.9555 - -

7.3 10 2 7.3467 7.3437 - -

8.6 11 2 8.5926 8.5936 - -

9.6 12 2 9.6372 9.6274 - -

10.4 13 2 10.4073 10.4074 IR1 4

11.2 14 2 11.2395 11.2080 - -

12.4 15 2 12.3806 12.3648 IR2 4

13.3 16 2 13.2807 13.3107 - -

Dalam sebuah citra satelit, terkandung banyak informasi fisis yang sangat berguna untuk melakukan nephanalysis. Namun setiap analisis dibutuhkan ketrampilan dan pengalaman untuk dapat menginterpretasi dan mengekstraksi informasi yang dibutuhkan dari citra satelit. Teknik RGB (red-blue-green) composite imagery merupakan teknik menampilkan citra satelit dengan melakukan overlay dari beberapa kanal sekaligus. Teknik RGB menggabungkan informasi dari beberapa kanal berbeda ke dalam satu produk, sehingga menghasilkan lebih banyak informasi daripada produk yang hanya dihasilkan dari satu kanal.

Umumnya, teknik RGB lebih mudah digunakan dan lebih efektif dalam menggambarkan suatu fenomena meteorologi. Akan tetapi, biasanya memerlukan pelatihan dan pengalaman dalam menginterpretasi sehingga produk dapat digunakan dengan tepat. Beberapa produk ada yg intuitif, sementara yang lain tidak dan hal ini dapat mengakibatkan salah interpretasi.

(19)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-165-

WMO merekomendasikan 7 skema RGB yang diterapkan dalam RGB composite imagery menggunakan satelit Himawari-8/9. Salah satunya adalah skema dust yang pengaplikasiannya bisa digunakan dalam mendeteksi debu vulkanis. Selain itu, pihak JMA sebagai pemilik Himawari 8 juga membuat skema tersendiri untuk mendeteksi debu vulkanis, yaitu skema ash. Baik dalam skema dust maupun ash digunakan kanal dengan panjang gelombang yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pengaturan gradasi untuk lebih focus pada fenomena yang berbeda. Kedua skema ini dapat ditampilkan dari penggabungan 3 citra berbeda yaitu BTD(brightness temperature difference) di kanal B15(12.4 µm) dengan B13(10.4 µm), BTD kanal B13(10.4 µm) dengan B11(8.6 µm), dan kanal B13(10.4 µm).

Letusan gunung menghasilkan debu vulkanis dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) yang tinggi.

Kadar SO2 dapat terdeteksi oleh kanal IR 8.6 µm. Debu vulkanis yang mengandung SO2 lebih transparan di IR 10.4 µm dibanding kanal IR 8.6 µm sehingga apabila perbedaan brightness temperature positif, berarti itu adalah debu vulkanis. Awan meteorologis lebih transparan pada IR 8.6 µm dari pada 10.4 µm sehingga apabila BTD (brightness temperaturedifference) negatif, maka itu adalah awan meteorologis.

Penelitian ini menggunakan contoh studi kasus saat kejadian letusan gunung Barujari pada tanggal 4 November 2015 di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung Barujari merupakan anak dari gunung Rinjani. Pada saat letusan di tanggal 4 November 2015, arah sebaran debu vulkanisnya mengarah ke arah Barat hingga mencapai wilayah Bali dan Jawa Timur.

2. METODE 2.1 Data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data raw dari citra satelit Himawari 8 yang didapat di sub bagian citra satelit BMKG Jakarta. Data yang digunakan adalah data pada kanal 8.6 µm, 10.4 µm, dan 12.4 µm.

2.2 Alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan peralatan sebagai berikut:

2.2.1 Perangkat Keras

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laptop dengan merek Asus seri N46vm dengan spesifikasi sebagai berikut :

 Operating System : Windows 7 Ultimate 64 bit

 Processor : Intel® Core ™ i5-3210M CPU @ 2.50 GHz 2.50 GHz

 Memory : 8 Gigabyte RAM

2.2.2 Perangkat Lunak

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GMSLPD 64-bit yang dapat dijalankan pada platform Windows 64-bit.

2.3 Teknik Pengolahan Data

Untuk mengamati sebaran debu vulkanis digunakan teknik RGB dengan 2 skema berbeda, yaitu skema dust dan skema ash. Kedua skema ini menggunakan kanal yang sama, perbedaannya hanya pada pengaturan gradasi untuk lebih menspesifikasikan pada fenomena tertentu. Teknik RGB berarti menggabungkan 3 citra yang berbeda untuk ditampilkan hanya dalam 1 citra yang lebih informatif.

Sebelum digabungkan, setiap citra harus diproses terlebih dahulu. Adapun proses yang dilakukan adalah sebagai berikut:

2.3.1 Contrast Stretching

Citra pertama, kanal 10.4 µm, dilakukan contrast stretching. Contrast stretching dilakukan dengan memperhatikan bagaimana kanal dapat mendeteksi adanya partikel debu pada suatu lapisan. Suhu radiasi yang dipancarkan oleh permukaan lebih besar daripada suhu radiasi yang dipancarkan oleh debu-debu disuatu lapisan. Akan tetapi dalam melakukan contrast stretching terdapat keterbatasan yaitu ketika malam hari, suhu radiasi dari debu akan sama dengan suhu radiasi dari permukaan.

(20)

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

-166-

(a) (b)

Gambar 1. Perbandingan suhu radiasi yang dipancarkan permukaan dengan debu-debu pada suatu lapisan. (a) Kondisi di siang hari dan (b) Kondisi di malam hari

Untuk membatasi tingkat kontras pada citra dan untuk menguatkan tampilan dari debu, dilakukan pengaturan suhu radiasi dengan range suhu yang relatif sempit. Disini terlihat salah satu perbedaan antara skema dust dengan skema ash dimana pada skema dust range suhu radiasi adalah 261 Kelvin – 289 Kelvin, sedangkan skema ash menggunakan range suhu radiasi 208 Kelvin – 243 Kelvin. Perbedaan ini bertujuan untuk lebih fokus kepada karakteristik dari debu vulkanis. Baik pada skema dust maupun skema ash hasil dari contrast stretching akan meningkatkan ciri-ciri dari debu vulkanis. Hal ini akan memberikan informasi yang lebih bermanfaat ketika digabungkan dengan citra lainnya dalam citra RGB.

2.3.2 BTD (Brightness Temperature Difference)

Selain menggunakan citra kanal tunggal, skema dust dan skema ash juga menggunakan perbedaan dari 2 kanal, dimana nilai kecerahan suhu pada satu citra dikurangi dengan nilai kecerahan suhu pada citra lainnya.

Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mendeteksi keberadaan debu vulkanis dibanding dengan menggunakan citra kanal tunggal.

Dalam skema dust dan skema ash digunakan nilai BTD (brightness temperature difference)antara kanal 12.4 µm dengan kanal 10.4 µm. Energi inframerah yang melewati lapisan debu vulkanis memiliki suhu kecerahan lebih dingin di kanal 10.4 µm daripada kanal 12.4 µm. Hal ini dikarenakan debu vulkanis lebih sensitif dan menyerap lebih banyak energi dari kanal 10.4 µm. Sifat debu vulkanis ini menyebabkan nilai BTD menjadi positif cerah. Sebaliknya energi inframerah yang melewati lapisan awan, dimana awan kurang peka terhadap gelombang pada kanal 10.4 µm. Hal ini menyebabkan nilai suhu kecerahan pada kanal 10.4 µm lebih besar daripada kanal 12.4 µm. Sehingga menghasilkan BTD dengan nilai negatif dan berwarna gelap.

Gambar 2. Perbedaan absorbs dari lapisan debu vulkanis dengan lapisan awan meteorologis. Nilai 12.0 µm dan 10.8 µm pada gambar dianggap mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm dan kanal 10.4 µm.

(21)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-167-

Range suhu radiasi kanal 12.4 µm dan 10.4 µm dibatasi pada angka -4 Kelvin dan 2 Kelvin baik pada skema dust maupun skema Ash. Sehingga dapat dihasilkan citra yang menggambarkan dengan jelas keberadaap debu vulkanis yang mana sangat berguna ketika nanti dilakukan proses RGB.

Selain menggunakan nilai BTD kanal 12.4 µm dan 10.4 µm, pada skema dust dan skema ash juga digunakan nilai BTD dari kanal 10.4 µm dengan kanal 8.6 µm. Akan tetapi baik pada lapisan debu vulkanis maupun awan meteorologis, nilai BTD dari keduanya selalu negatif. Hal ini tentunya dapat menyulitkan dalam membedakan keduanya. Akan tetapi ketika dilakukan pengaturan pada range suhu radiasi pada kanal ini, dimana suhu dibatasi pada 0 Kelvin sampai 15 Kelvin di skema dust, dan -4 Kelvin sampai 5 Kelvin di skema ash, didapatkan tampilan citra yang cukup baik dalam membedakan debu vulkanis dengan awan meteorologis.

2.3.3 Teknik RGB (Red-Green-Blue)

Selanjutnya adalah menggabungkan ketiga citra yang telah dihasilkan dari proses contrast stretching dan BTD dengan menggunakan teknik RGB. Baik pada skema dust maupun skema ash, pembagian warna terbaik dari setiap citra adalah sebagai berikut:

 Merah untuk citra hasil BTD dari kanal 12.4 µm dikurangi kanal 10.4 µm

 Hijau untuk citra hasil BTD dari kanal 10.4 µm dikurangi kanal 8.6 µm

 Hijau untuk citra contrast stretching kanal 10.4 µm

Gambar 3. Hasil penggabungan 3 citra dengan teknik RGB. Nilai 12.0 µm, 10.8 µm dan 8.7 µm pada gambar dianggap mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm, 10.4 µm dan 8.6 µm.

Warna-warna yang dihasilkan dalam citra RGB selanjut didefinisikan sebagai berikut:

(22)

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

-168-

Gambar 4. Interpretasi warna yang dihasilkan dari citra RGB baik dengan skema dust maupun skema ash

2.4 Diagram Alir Penelitian

2.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah gunung Barujari yang merupakan anak gunung Rinjani yang terletak di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini memiliki kawah berukuran 170x20 meter (m) dengan ketinggian 2.296-2.376 meter di atas permukaan laut (m dpl). Gunung Barujari berada di sisi timur kaldera Danau Segara Anak. Gunung Barujari terakhir meletus pada 25 Oktober 2015 dan 3 November 2015. Letusan terakhir bahkan berlangsung hingga bulan Desember 2015 (volcanodiscovery, 2015). Sebelumnya, Gunung Barujari tercatat meletus pada Mei 2009 dan 2004. Letusan pada 2004 tidak memakan korban, namun pada

Debu Vulkanis Letusan Gn. Barujari

Teknik RGB Himawari 8

Skema Dust R : IR 12.0 – IR 10.8 ; range -4 – 2 (K) ; gamma = 1.0

G : IR 10.8 – IR 8.7 ; range 0-15 (K) ; gamma = 2.5

B : IR 10.8 ; range 261-289 (K); gamma = 1.0

Skema Ash R : IR 12.0 – IR 10.8 ; range -4 – 2 (K) ; gamma = 1.0

G : IR 10.8 – IR 8.7 ; range(-4)-5 (K) ; gamma = 1.0

B : IR 10.8 ; range 208-243 (K); gamma = Perbandingan skema 1.0

dust dan skema ash Kesimpulan

(23)

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-169-

2009 menelankorban hingga 31 orang akibat banjir bandang pada kokok atau Sungai Tanggek akibat desakan lava ke Segara Anak. Gunung Barujari juga pernah erupsi pada 1944, 1966, dan 1994.

(a) (b)

Gambar 5.Lokasi penelitian. (a) Peta menunjukan lokasi kaldera Samalas di dalam komplek Gunung Rinjani beserta ulasan arah aliran piroklastik sejak 1257 sebelum masehi (Lavigne dkk, 2013). (b) Peta satelit menunjukan lokasi

Gunung Barujari dalam kaldera (NASA Space Shuttle image ISS005-E-15296, 2002).

3. PEMBAHASAN

3.1 Teknik RGB Skema Dust

Hasil pengolahan citra satelit dengan menggunakan teknik RGB skema dust menampilkan sebaran debu vulkanis dengan warna merah muda terang dengan background warna biru muda yang mewakili lautan dan daratan. Pada pukul 00.00 UTC hingga 03.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari mengarah ke arah barat hingga menutupi Jawa Timur bagian tengah hinggaselatan dan hampir seluruh Pulau Bali. Kondisi inilah yang mengakibatkan bandar udara Blimbing Sari yang terletak di daerah Banyuwangi, Bandara Ngurah Rai di Bali, Bandara Selaparang Mataram dan Bandara Internasional Lombok di Lombok ditutup sejak pagi hari sekitar pukul 08.45 WITA pada tanggal 4 November 2015.

(a) (b)

Gambar 6. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 00.00 UTC atau pukul 08.00 WITA.

(b) Skema dust pukul 03.00 UTC atau pukul 11.00 WITA

Memasuki pukul 04.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari bergeser ke arah Barat Daya sehingga hanya menutupi daerah Jawa Timur dan Pulau Bali bagian tengah hingga selatan. Semakin sore sebaran debu vulkanis semakin mengarah ke arah Barat Daya sehingga hanya tinggal menutupi wilayah Jawa Timur dan Bali bagian selatan.

(24)

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

-170-

(a) (b)

Gambar 7. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 04.00 UTC atau pukul 12.00 WITA.

(b) Skema dust pukul 11.00 UTC atau pukul 19.00 WITA

Pada pukul 11.00 UTC, debu vulkanis terpantau sudah tidak menutupi wilayah Jawa Timur. hanya sebarannya masih terpantau di sekitar perairan selatan Jawa Timur. untuk wilayah Pulau Bali, liputan debu vulkanis yang cukup pekat masih nampak di perairan Pulau Bali bagian timur.

Referensi

Dokumen terkait