URGENSI IZIN PENYADAPAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ANDI NUR RACHMAN
NIM : 11170453000008
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021 M / 1442 H
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
URGENSI IZIN PENYADAPAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ANDI NUR RACHMAN NIM : 11170453000008
Pembimbing
Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag.
NIP : 197112121995031001
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021 M / 1442 H
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Andi Nur Rachman
NIM : 11170453000008
Program Studi : Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1), yakni Sarjana Hukum (S.H.) pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penelitian ini telah Saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2021 M / 12 Dzulkaidah 1442 H
Andi Nur Rachman NIM : 11170453000008 iii
iv
ABSTRAK
Andi Nur Rachman. NIM 11170453000008. URGENSI IZIN PENYADAPAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1442 H/2021 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan perkara permasalahan izin yang dialami oleh pegawai atau Penyidik KPK dalam upaya penyadapan tersangka korupsi kepada Dewan Pengawas KPK. Hal ini timbul dikarenakan adanya revisi undang-undang KPK terbaru yaitu Undang-undang No. 19 Tahun 2019 sehingga terdapat banyaknya birokrasi yang menghambat kinerja penyidik dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Kinerja penyidik yang diharuskan cepat dan segera dihadapkan dengan lapis birokrasi terkait dengan penyadapan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder, yang berisi bahan primer, bahan sekunder yakni Undang- Undang No. 30 Tahun 2002, Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 serta peraturan perundang-undangan, KUHP, serta peraturan lain dan karya tulis ilmiah berupa buku, jurnal, dan karya tulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya adanya revisi undang- undang KPK terbaru membuat mekanisme penyadapan kepada tersangka korupsi harus menempuh izin dan birokrasi yang berlapis. Setelah adanya judicial review terkait Undang-undang No. 19 Tahun 2019, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan materiil terkait pasal yang mengatur tentang penyadapan. Kini KPK hanya memberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penyadapan dilakukan. Hal demikian merupakan hal yang baik dikarenakan tindakan penyidik yang kedap dan segera dapat berjalan dengan baik. Tingkat kekuatan alat bukti hasil penyadapan dalam persidangan tindak pidana korupsi tergolong dalam alat bukti sekunder. Alat bukti hasil penyadapan masuk ke dalam alat bukti petunjuk. Dibutuhkan alat bukti primer guna mendukung alat bukti dari hasil penyadapan. Alat bukti dari hasil penyadapan sebagai alat bukti pendukung guna memperoleh kejelasan dalam proses pembuktian di persidangan.
Kata Kunci : Penyadapan, Dewan Pengawas, Penyidik KPK Pembimbing : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag
Daftar Pustaka : 1987 s.d. 2020
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tak hentinya terucap ke hadirat Allah SWT. yang berkat nikmát dan karunia-Nya, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam penulis limpahcurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang hanif. Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan, arahan, doa, serta bimbingan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini sudah selayaknya penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan setinggi-tingginya terutama kepada :
1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaranya;
2.
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil Dekan;3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Dr. Masyrofah, M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Assoc. Prof. Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan tulus ikhlas, telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan, masukan, serta kritik yang membangun dalam proses penyelesaian skripsi ini;
vi
5. Mohammad Mujibur Rohman, M.A., Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan arahan setiap semester kepada penulis dalam menjalani perkulihan;
6. Fandi Deni Satria, S.H., Advokat Lokataru Indonesia yang bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, saran, dan referensi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
7.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Semoga ilmu dan kebaikan yang diberikan akan menjadi amal jariah;8.
Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan banyak kontribusi untuk mengakses data-data kepustakaan guna penyelesaian penulisan skripsi ini;9. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Salimin dan Ibunda Sunarsi yang senantiasa memberikan doa, perhatian, cinta, kasih sayang, semangat, arahan, dan pengorbanan yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini;
10. Rekan Keluarga besar Hukum Tata Negara 2017, terima kasih atas kebersamaanya selama menempuh studi sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Rekan Keluarga Awardee Beasiswa Unggulan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Kawan-kawan HMI Komfaksy serta LKBHMI Cabang Ciputat, sebagai tempat berproses, berorganisasi serta menimba ilmu dan retorika di luar perkuliahan;
13. Begitu pula seluruh pihak lain yang sering mendoakan dan memberi semangat kepada penulis agar dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
vii
Semoga Allah SWT membalas kebaikan untuk semuanya, dan semoga langkah kita diridhai Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak demi memperluas khazanah ilmu pengetahuan serta memperluas cakrawala informasi, khususnya bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca.
Jakarta, 23 Juni 2021 M / 12 Dzulkaidah 1442 H
Andi Nur Rachman NIM : 11170453000008
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIRA UJIAN...ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian ... 7
E. Review Studi Terdahulu ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI ... 14
A. Konsep Dasar dan Teori Penyebab Korupsi ... 15
B. Konsep Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 18
C. Sejarah Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi ... 20
D. Dasar Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi ... 26
E. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi ... 27
F. Program dan Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 29
BAB III DEWAN PENGAWAS KPK ... 36
A. Sejarah Lahirnya Dewan Pengawas KPK ... 36
B. Tujuan Dibentuknya Dewan Pengawas KPK ... 43
C. Kebijakan Dewan Pengawas KPK ... 46
D. Perbandingan Kewenangan KPK terkait Penyadapan pada Undang- undang Sebelum Revisi, Sesudah Revisi, dan Pasca Putusan MK ... 49
BAB IV ANALITIS KRITIS PROBLEMATIKA IZIN KPK DALAM PENYADAPAN TERSANGKA KORUPSI ... 54
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ... 54
B. Materi Muatan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ... 56
ix
C. Faktor Penghambat dan Pendukung Implementasi Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 ... 65
D. Analisis ... 68
BAB V PENUTUP ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu:
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Dalam menjalankan tugasnya KPK memiliki kewenangan yang melekat pada lembaga negara ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :1
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6
2
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang :2
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam kiprahnya selama ini sudah banyak kasus korupsi yang berhasil diselesaikan di negeri ini. Banyak sekali pro dan kontra mengenai lembaga ini. Banyak upaya penggembosan lembaga ini mulai dari merevisi UU terkait serta penyerangan anggota KPK secara psikis, maupun moral. Bahkan penyidik KPK Novel Baswedan mengalami kebutaan dan cacat mata akibat
2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 7
penyerangan dengan air keras oleh 2 orang yang diduga merupakan orang suruhan yang ingin melemahkan KPK.
Dalam menjalankan tugasnya KPK memiliki wewenang khusus mengenai pencengkalan dan penyadapan. Penyidik KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang berpegian ke luar negeri. Hal itu dilakukan dengan upaya untuk pelaksanaan tugas penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan.
Namun setelah muncul UU revisi baru KPK yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 yang merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 terdapat kewenangan KPK yang dilemahkan. Dalam Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002 KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Namun direvisi Pasal 12B UU Nomor 19 Tahun 2019 berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Dilanjutkan dengan Pasal 12B ayat (4) "Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.”
Lalu dalam Pasal 12C ayat (1) dam (2) “Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.” dan “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungiawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.”
Diatas dapat terlihat bahwa terdapat penambahan peran Dewan Pengawas sebagaimana tercantum untuk pemberian izin tindakan penyadapan terhadap tersangka yang patut diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini tentu melemahkan KPK dalam sisi tindakannya dikarenakan dalam
4
melakukan tindakan penyadapan dan merekam pembicaraan. Keberadaan Dewan Pengawas merupakan hal baru dalam tubuh KPK. Dikarenakan banyak dugaan bahwa KPK telah Abuse of Power sehingga dibutuhkan dewan pengawas yang berada dalam tubuh KPK itu sendiri untuk mengawasi kinerja KPK.
Dapat kita lihat dalam Pasal 37B UU Nomor 19 Tahun 2019, Dewan Pengawas bertugas :3
a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
c. menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang- Undang ini;
e. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
f. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala satu kali dalam satu tahun. Laporan tersebut dilaporkan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah barang tentu munculnya Revisi UU KPK ini banyak menuai kontra di masyarakat. Mulai dari pembuatannya yang hanya memakan waktu 12 hari saja dan banyak sekali pasal-pasal yang diduga
3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 37B
bertujuan untuk melemahkan KPK. Maka dari itu patut ditelisik kembali Konstitusionalitas isi dari UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Bedasarkan penjelasan diatas penulis bermaksud menuangkan dalam bentuk skripsi berjudul : “URGENSI IZIN PENYADAPAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Bedasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Izin KPK Dalam Upaya Penyadapan Tersangka Korupsi. Adapun identifikasi masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut :
a. Terkait perubahan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 banyak poin-poin revisi dan kemunculan Dewan Pengawas, menimbulkan banyak bentuk pelemahan kepada institusi KPK.
b. Permasalahan tindakan Penyidik KPK dalam upaya penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas sehingga kinerjanya menjadi terhambat sehingga bisa menimbulkan kebocoran.
c. Tidakan penyidik KPK yang bersifat kedap dan segera harus sedikit tertunda dengan banyaknya birokrasi yang ada didalamnya.
2. Pembatasan Masalah
Bedasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, terdapat masalah permasalahan genting yang perlu diteliti dan didalami lebih lanjut untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan penelitian skripsi ini, perlu diadakannya
6
pembatasan masalah agar penelitian skripsi ini akan berfokus untuk menjawab suatu permasalahan utama mengenai problematika izin KPK dalam upaya penyadapan. Oleh karenanya, penelitian ini dibatasi pada hal- hal yang berkaitan dengan Urgesi Izin Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi saja, sehingga pengumpulan data akan lebih terarah.
3. Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang diatas, masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini diantara lain :
1) Bagaimana upaya Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penyelidikan dan penyidikan yang menggunakan tindakan penyadapan?
2) Bagaimanakah tingkat kekuatan alat bukti hasil penyadapan yang dilakukan oleh penyidik KPK dalam persidangan tindak pidana korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum dalam penanganan masalah Problematika Izin Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Penyadapan Tersangka Korupsi, Analisis Kritis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Selain itu penelitian skripsi ini juga bertujuan :
a. Untuk mengetahui upaya Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penyelidikan dan penyidikan yang menggunakan tindakan penyadapan.
b. Untuk mengetahui tingkat kekuatan alat bukti hasil penyadapan yang dilakukan oleh penyidik KPK dalam persidangan tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Penelitian
Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi penulis pribadi. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai Urgensi Izin Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi Perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
2. Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan mendalami Urgensi Izin Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi Perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya, tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe masalah yang digunakan yaitu yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
3. Sumber Data
Adapun data yang digunakan dalam jenis penelitian ini, yaitu:
a. Data sekunder
Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan penjabaran sebagai berikut:
8
1) Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundanng- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
d) Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
e) PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
f) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
g) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi
h) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- XVII/2019
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum yang berkenaan dengan KPK dan lembaga-lembaga terkait, buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum tata Negara, tesis hukum tata negara dan artikel jurnal
maupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan Khusus KPK dalam upaya Penyadapan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb.)
5. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis normatif, merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya.
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD NRI 1945, peraturan perundang-undangan dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
10
E. Review Studi Terdahulu
Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan studi kajian review studi terdahulu dimana dalam peninjauan ini penulis telah mendata dan membaca beberapa skripsi yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan sehingga tidak terjadi plagiasi terhadap karya tulis orang lain.
Diantaranya :
1. “Penyadapan KPK dalam Perspektif Hukum Islam” oleh R. Ahmad Noor mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Didasarkan sebagai tindak hukum pidana Islam yang bertenntangan dengan norma agama, moral, norma masyarakat hukum dengan mengambil hak nya dalam hal penyadapan. Penelitian ini mengkaji Penyadapan terhadap perspektif hukum Islam. Hasil peneletian ini disimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dibenarkan dalam hukum Islam karena adanya alasan pembenar (asbab al-ibahah) karena penyadapan ini ditujukan untuk pemberantsan korupsi bukan yang lain.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penulis dalam hal aspek yang dikaji yaitu berfokus kepada ketatanegaraan dan legalitas penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.4
2. “Aspek Hak Asasi Manusia Dalam Tindakan Penyadapan yang Dilakukan Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” oleh Misra Dewista Mahasiswa Universitas Indonesia 2011. Aspek hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK sebagai bahan pengembangan terbentuknya lembaga komisi pemberantasan korupsi. Penelitian ini memiliki kesamaan yaitu pembahasan tentang penyadapan. Namun perbedaanya adalah penelitian ini mengkaji aspek hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan yang dilakukan oleh
4 R. Ahmad Noor, “Penyadapan KPK Perspektif Hukum Islam”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, h. ii
KPK sedangkan penulis mengkaji problematika izin penyadapan yang dapat mengganggu kinerja pemberantasan korupsi.5
3. “Analisis Konstruksi Hukum Upaya Paksa Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Telaah Undang-undang No 30 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Korupsi)” Oleh Titin Puspita Sari mahasiswa Universitas Sebelas Maret 2010. Hukum upaya paksa penyadapan dalam komisi pemberantasan korupsi yang bertinjau dari hak asasi manusia serta penanganan tindak pidana korupsi dalam penyadapan. Penelitian ini memiliki kesamaan dalam objek yang dikaji yaitu penyadapan. Namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penulis yaitu mengenai undang-undang yang dikaji, penulis menganilitis kritis Undang-undang No. 19 Tahun 2019 yaitu hasil revisi sedangkan penelitian ini mengkaji undang-undang sebelumnya.6
4. “Kewenangan KPK Melakukan Penyadapan Terhadap Orang yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Study Undang-undang KPK No 30 Tahun 2002 dan Hukum Islam)” Oleh Ahmad Herli Erdiana, mahasiswa UIN Sunan Maulana Hasanudin BANTEN 2019.
Penyadapan KPK terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi untuk dijadikan alat bukti bagi tersangka maka perbuatan tersebut dibolehkan oleh perundang undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang KPK No 30 tahun 2002 pada Pasal 12. Namun Penyadapan hakekatnya syari’at Islam tidak membenarkan karena mencari-cari atau mengorek-ngorek kesalahan orang lain adalah perbuatan yang dilarang, tetapi jika yang dimaksudkan untuk
5 Misra Dewita, “Aspek Hukum Hak Asasi Manusia dalam Tindakan Penyadapan yang Dilakukan Oleh Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi”, Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
6 Titin Puspita Sari, “Analisis Konstruksi Hukum Upaya Paksa Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Telaah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi” Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010
12
kemaslahatan umat termasuk menghentikan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang dikecualikan (dibenarkan) mengingat kaidah kemaslahatan umat harus didahulukan dari kemaslahatan individual.
Penelitian ini memiliki persamaan dengan penulis terkait dengan wewenang penyadapan KPK. Namun perbedaan penelitian ini dengan penulis yaitu objek dikaji, objek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dan Hukum Islam, sedangkan penulis menganilisis kritis Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 yang merupakan hasil revisi UU KPK sebelumnya. Dan pembahasannya yang membahas permasalahan izin KPK terkait Penyadapan, bukan hanya berkutat pada kewenangan KPK melakukan penyadapan.7
F. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab, dimana disetiap babnya terdiri dari beberapa subbab, dengan penjelasan terperinci sehingga memudahkan pembaca.
Bedasarkan pada materi metodologi penelitian hukum, seara sostematis penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan latar belakang yang membahas materi pada masalah, pembatasan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, diakhiri dengan penjelasan mengenai sistematika penulisan.
7 Ahmad Herli Erdiana, “Kewenangan KPK Melakukan Penyadapan Terhadap Orang yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Study Undang-undang KPK No 30 Tahun 2002 dan Hukum Islam)”, Skripsi S-1 Fakultas Syariah UIN Sunan Maulana Hasanudin Banten, 2018
BAB II : KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Memberikan definisi mengenai Teori Korupsi, Penyadapan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dasar hukum pembentukannya, Sejarah, Visi dan Misi, beserta tugas, fungsi dan kebijakannya.
BAB III : DEWAN PENGAWAS KPK
Memberikan penjelasan mengenai Dewan Pengawas KPK.
Lahirnya lembaga ini beserta tugas, fungsinya dan kebijakannya dalam mengawasi KPK.
BAB IV : ANALITIS KRITIS PROBLEMATIKA IZIN KPK DALAM UPAYA PENYADAPAN TERSANGKA KORUPSI
Setelah mengetahui kesinambungan antara KPK dan Dewan Pengawas KPK. Maka dianalisis lah UU Nomor 19 Tahun 2019 terkhusus dalam hal mengenai kewenangan khusus KPK dalam upaaya penyadapan. Faktor penghambat dan pendukung dengan adanya undang-undang ini.
BAB V : PENUTUP
Merupakan bab Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam Penelitian Skripsi ini.
14
BAB II
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Sebelum menelisik lebih jauh tentang lembaga anti risywah di Republik Indonesia ini izinkan penulis mengarahkan kepada sesuatu yang lebih sederhana dibandingkan dengan lembaga yang menaungi dan memberantas korupsi tersebut.
Korupsi sudah barang tentu tidak asing terdengar di telinga hal layak ramai.
Seorang yang duduk di kursi pejabat didalam pemerintahan maupun swasta tidak terlepas dengan godaan adanya Korupsi, Kolusi maupun Nepotisme. Hal itu termasuk resiko pekerjaan yang menguji iman institusi maupun perorangan yang akan menjalankan suatu tugas serta amanah dalam jabatannya sendiri. Banyak sekali terlihat dengan diiming-imingkan uang milyaran bahkan jutaan dollar ia rela menjatuhkan karir politik serta bisnisnya dan melakukan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan kotor yang dilakukan para penyelenggara negara dan pejabat negara itu bahkan lebih besar; yakni terampasnya hak-hak rakyat dan masyarakat luas, hak menikmati pembangunan, hak hidup layak karena mereka dililit kemiskinan, hak mendapat pendidikan yang ideal, dan bahkan hak-hak dasar hidup lainnya yang mestinya didapatkan siapa pun. Tapi karena korupsi yang makin merajalela, semua itu nyata di depan mata kita. Dan mirisnya, kondisi itu terjadi di negeri kita tercinta: Indonesia.
Dengan berbagai upaya yang intens, kontinu, dan keluhuran semangat membangun Indonesia terbebas dari korupsi, perjuangan seluruh elemen bangsa akan berujung pada negeri kita yang bersih dari tindak pidana korupsi. Di sisi lain potensi dan peluang para penyelenggara negara dan pejabat negara untuk melakukan penyelewengan, harus terus ditekan. Jangan sampai motivasi korupsi berkembang dan menjalar lebih luas.
A. Konsep Dasar dan Teori Penyebab Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio (Fockema Andrea:1951) atau corrupstus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya dikatakan bahwa corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilan corruption, corrupt (Inggris), corruption (Prancis), dan corruptie/korruptie (Belanda).1
Secara harfiah, arti kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Pengertian lainnya adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang, sogok, dan sebagainya. Bedasarkan Undang-undang Hukum Pidana, korupsi diartikan sebagai berikut :
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara (Pasal 2)
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).2
c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435, KUHP Korupsi berawal dari kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh aparat ataupun instansi, mulai kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemeberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan kebiasaan tersebut menjadikan bibit korupsi
1 N. Puspito dan Tim Penyusun, Pendidikan Anti Korupsi : untuk Pendidikan Tinggi, (Jakarta:
Kemendikbud Ditjen Pendidikan Tinggi, 2011), h.23
2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
16
yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara. Beberapa bentuk korupsi, diantaranya yaitu :
a. Penyuapan (bribery), mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa barang maupun uang.
b. Embezzlement, yaitu tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik maupun sumber daya alam tertentu.
c. Fraud, yaitu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle), termasuk di dalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan untuk mengambil keuntungan tertentu.
d. Extortion, yaitu tindakan meminta unag atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia lokal dan regional.
e. Favouritism, yaitu mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
f. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
g. Serba kerahasiaan meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
Syed Husen Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk perilaku korupsi, yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Nepotisme adalah pengangkatan kerabat, teman atau sekutu politik untuk menduduki jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum.3 Ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, namun terlebih pada hal-hal lain selama perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3 Syed Husen Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta : LP3ES, 1999), h. 6
Cultural determinisme sering dipakai sebagai acuan ketika mempelajari penyebab terjadinya korupsi. Fiona Robertson-Snape (1999) menyatakan bahwa penjelasan kultural praktik korupsi di Indonesia dihubungkan dengan bukti-bukti kuno orang Jawa. Apabila dirunut perilaku korup, pada dasarnya korupsi merupakan sebuah fenomena sosiologis yang memiliki implikasi ekonomi dan politik yang berkaitan dengan beberapa teori-teori berikut.4
1. Teori Means-ends Scheme
Teori means-ends scheme dipelopori dan diperkenalkan oleh Robert Merton. Teori ini menyatakan bahwasanya korupsi merupakan perilaku manusia yang diakibatkan tekanan sosial sehingga menyebabkan pelanggaran norma. Sependapat dengan Robert, Handoyo mengelaborasi bahwa setiap sistem sosial memiliki tujuan yang ingin dicapai manusia melalui cara-cara yang telah disepakati. Mereka menggunakan cara yang telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama, termasuk dalam golongan kompromis.5
Selain memberikan ruang bagi anggota-anggotanya untuk mewujudkan tujuan, sistem sosial tidak jarang menimbulkan tekanan yang menyebabkan banyak orang tidak memiliki akses atau kesempatan di dalam stuktur sosial karena adanya pembatasan atau diskriminasi rasial, etnik, kapital, keterampilan, dan sebagainya.
2. Teori Solidaritas Sosial
Teori solidaritas sosial yang dikembangakan oleh Emil Durkheim (1858-1917) memandang bahwasanya watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakatnya. Menurut pandangan teori ini masyarakat mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam membentuk perilaku individu daripada lingkungannya.
4 Anas Salahudin, Pendidikan Anti Korupsi, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2018), h. 66
5 Handoyo Eko Handoyo, Pendidikan Anti Korupsi, (Semarang : Widyakarya Press, 2009), h. 55
18
Emile Durkheim berpandangan bahwa individu secara moral bersifat netral, tetapi masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya. Ia juga mengontrol individu melalui fakta sosial yang dopelajarinya melalui pendidikan dan lingkungan. Karena watak manusia yang pasif, norma dan nilai masyarakat mengendalikan mereka.
3. Teori Gone
Teori Gone dihadirkan ole Jack Bologna. Ilustrasi Gone Theory berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi yang meliputi greeds (keserakahan), opportunities (kesempatan), needs (kebutuhan), dan esposure (pengungkapan).6
B. Konsep Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi
Secara terminologi penyadapan dapat diartikan sebagai sebuah proses, sebuah cara, atau menunjukkan perbuatan, atau tindakan melakukan sadapan.7 KBBI mengartikan penyadapan dapat diartikan sebagai proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam informasi orang lain secara diam-diam dan penyadapan itu sendiri memiliki berarti suatu proses, suatu cara atau perbuatan menyadap.8 Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi Transaksi Elektronik, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan
6 Jack Bologna dan Tommie Singleton, Fraud Auditing and Forensic Accounting, (New Jersey : John Wiliey & Sons Ink, 2006), h. 411
7 Kristian, Sekelumit tentang Penyadapan dalam Hukum Positif di Indonesia, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013) h. 179.
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2008, h. 1337
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.9
Asal mula penyadapan dilakukan karena sulitnya menemukan alat bukti formil seperti surat atau dokumen untuk mengungkap suatu kejahatan, maka dari itu dilakukan penyadapan. Di Amerika Serikat waktu zaman mafia-mafia, penegak hukum di negara bagian seperti FBI, LAPD, NYPD dan distrik atom (jaksa-jaksa didaerah tersebut) dikarenakan sulitnya menemukan alat bukti maka dilakukan tindakan penyadapan. Penyadapan itu dilakukan secara terstruktur, masif dilakukan sampai di rumah, mobil, restoran, tempat biasa mafia tersebut berkomunikasi pada tahun 1960-an oleh kepolisian di Amerika Serikat. Penyadapan tersebut digunakan untuk mengungkap kejahatan pada daerah tersebut.
Penyadapan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berhubungan dengan terorisme, narkotika, perdagangan orang, pencucian uang dan pemberantasan korupsi. Sehubungan dengan kepentingan peradilan pidana beberapa lembaga yang berwenang dalam melakukan penyadapan diantaranya:
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan berwenang melakukan penyadapan.10 Peraturan penyadapan oleh KPK yang diatur melalui UU Nomor 19 Tahun 2019 dibanding dengan pengaturan sebelumnya sudah lebih maju dibandingkan regulasi sebelumnya yang bersifat internal KPK. Hal itu sekurang- kurangnya didasarkan pada 2 (dua) aspek, yakni: Pertama, aspek legalitas, pengaturan penyadapan oleh KPK diatur melalui undang-undang yang derajatnya sesuai ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan konstitusi UUD 1945 Pasal 28J sudah tepat untuk mengatur mengenai pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia. Kedua, aspek substansi telah ada penambahan dan perbaikan, meskipun sangat tidak ideal dalam dimensi hukum dan hak asasi manusia. Paling tidak beberapa perubahan
9 Pasal 31 UU ITE
10 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
20
memasukan mengenai mekanisme perijinan, jangka waktu penyadapan, pelaporan dan pemusnahan hasil penyadapan yang tidak berkaitan dengan pokok perkara.11
Apabila mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU/- VIII/2010, substansi hukum yang ideal dalam pengaturan penyadapan seharusnya meliputi : a. wewenang untuk melakukan penyadapan; b. kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan; c. adanya otoritas resmi yang ditunjuk untuk memberikan izin penyadapan; d. tata cara penyadapan; e. tujuan penyadapan secara spesifik; f. adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; g. pembatasan penanganan materi penyadapan; h.
pembatasan mengenai pihak yang dapat mengakses penyadapan; i. pengawasan terhadap penyadapan; dan j. penggunaan hasil penyadapan.12
C. Sejarah Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
11 Agus Suntoro, Penyadapan dan Eksistensi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, Nomor 1, Maret 2020, h. 30
12 Mahkamah Konstitusi, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-VIII/2010”
(2010).
Adapun tugas KPK adalah: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.13
Dalam kiprahnya menjalankan tugasnya memberantas korupsi di negara Indonesia KPK memiliki payung hukum, yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang.
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berawal di era Kabinet Burhanuddin rencana untuk memiliki aturan khusus korupsi dirintis. Tetapi perjalanannya tidak mudah dan berliku. Berbagai penolakan dan tentangan berdatangan, dengan berbagai alasan dan kepentingan. Sejarah mencatat, baru lima tahun kemudian, di tahun 1960, setelah 15 tahun merdeka, Indonesia memunyai Undang-Undang khusus untuk antikorupsi.
Sehari setelah Pemilu 1955, setelah melalui perdebatan beberapa lama, Kabinet Burhanuddin memutuskan untuk mengusulkan Undang-Undang Darurat terkait korupsi.14 Berdasarkan Pasal 96 UUD Sementara 1950, UU Darurat
13 Sekilas KPK. https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-komisi-pemberantasan- korupsi diakses pada 02 September 2020. Pukul 16:00
14 Nurlis E. Meuko dan Arry Anggadha, Operasi Budhi Mengusik Soekarno, http://
politik.news.viva.co.id/ news/read/1427-kandasnya_operasi_budhi, diakses pada 03 September 2020
22
memunyai kekuatan yang sama dengan UU.15 Dalam ketatatanegaraan sekarang, UU Darurat hampir serupa dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu), yang juga sederajat dengan UU, dan diterbitkan dalam
“kegentingan yang memaksa” untuk mengatur persoalan penting dan mendesak, dan baru kemudian dimintakan persetujuan DPR. Sama halnya dengan Perppu, UU Darurat terlebih dahulu berlaku dan baru setelahnya dibahas dengan DPR.16 Rencana untuk menerbitkan UU Darurat tersebut menunjukkan betapa sudah seriusnya derajat bahaya korupsi di dekade pertama umur republik, dan sayangnya terus hingga kini.
Alih-alih berhasil, justru Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh pada 3 Maret 1956, dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Mereka kehilangan dukungan koalisi, termasuk dengan mundurnya dua menteri dari NU- Menteri Agama, K.H. Mohammad Ilyas, dan Menteri Dalam Negeri, Sunarjo, pada awal Januari 1956, sebagai konsekuensi kegigihan Kabinet Burhanuddin untuk melahirkan Undang-Undang Antikorupsi.17
Pada tahun 1967, setelah Orde Baru lahir, lembaga yang ditugaskan untuk memberantas korupsi terbentuk. Diawali dengan pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto secara terbuka mengkritik Orde Lama, yang dianggapnya tidak mampu memberantas korupsi. Selanjutnya pada 31 Januari 1970, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970 tentang Komisi 4. Tim ini diketuai oleh Wilopo dengan anggota IJ Kasimo, Johannes, Anwar Tjokroaminoto, kemudian ditambah Dr. Moh. Hatta sebagai penasehat. Komisi 4 hanya bertugas untuk: a) mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan korupsi; b)
15 Pasal 96 UUDS 1950, 1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraanpemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera; 2) Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undangundang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
16 Pasal 97 UUDS 1950
17 Isnaeni, http://historia.id/modern/keadaan-darurat-korupsi diakses 03 September 2020
memberikan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi.18 Komisi 4 hanya sebagai tim pemikir bukan tim penegak hukum, yang akan memberikan laporan kepada Presiden dengan hasil riset dan pertimbangan hukum untuk ditindaklanjuti oleh Presiden.
Komisi 4 dibubarkan pada Juli 1970 setelah dianggap selesai melaksanakan tugasnya selama kurang dari 7 bulan. Nasib tim Pemberantasan Korupsi menjadi tidak jelas. Baru pada 1977, dengan Intruksi Presiden Nomor 9, Presiden Soeharto membentuk Operasi Penertiban (Opstib). Operasi Penertiban adalah suatu bentuk operasi untuk menertibkan banyaknya penyimpangan, khususnya pungutan liar yang dilakukan oknum aparatur negara. Namun, dikarenakan pungli merupakan bentuk korupsi, maka Opstib tetap patut dimasukkan sebagai upaya pemberantasan korupsi yang ad hoc dilaksanakan di zaman Orde Baru. Lalu pada 1980 diterbtkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Setelah bertahan hampir tiga dekade di masa Orde Baru, baru di awal reformasi tahun 1999 UU Nomor 3 Tahun 1971 digantikan oleh Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Diteguhkan pula dengan ratifikasi United Nations Convention against Corruption melalui Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006. Di samping aturan hukum materiil korupsi, di era reformasi kelembagaan antikorupsi juga mengalami pasang surut, hidup dan mati, lembaga-lembaga itu adalah :19
a.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) (1999)b.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) (2000- 2001)c.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2002-sekarang)18 Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, (Malang : Intrans Publishing, 2016), h. 25
19 Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, (Malang : Intrans Publishing, 2016), h. 30
24
d.
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TimTasTipikor) (2005-2008)Disini tergambar dengan jelas bahwa pembuatan regulasi undang-undang anti korupsi melalui liku yang sangat penuh tantangan. Sejumlah penolakan hadir di dalam tubuh DPR maupun Kabinet yang tengah berkuasa. Ini menggambarkan bahwa ada beberapa pihak yang takut apabila pemberantasan korupsi di Indonesia masif dan kuat dilaksanakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dari perjalanan sejarah kebangsaan di atas, ada beberapa hal menarik yang patut dicatat. Pertama, pertarungan melawan koruptor, selalu menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pertarungan tidak selalu berbentuk fisik, tetapi juga merambah pada pertentangan gagasan dalam aturan antikorupsi. Sejarah awal kemerdekaan hingga Orde Lama menunjukan kelompok oposan berhasil menggagalkan paling tidak dua kali kelahiran Undang-Undang Antikorupsi. Kedua, RUU hingga UU Antikorupsi di awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama sudah merumuskan aturan antikorupsi yang progresif, seperti pembuktian terbalik, perampasan asset, pemberlakukan surut, hingga pengeyampingan aturan kerahasiaan perbankan yang semuanya didedikasikan bagi pemberantasan korupsi secara lebih efektif. Ketiga, satu hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan proses legislasi antikorupsi di masa itu pada akhirnya adalah “turun gelanggangnya” para pimpinan tentara yang bersih, dan memandang korupsi sangat berbahaya dan karenanya harus diberantas.20
Setelah dua perdana menteri (Burhanuddin Harahap dan Ali Sastroamidjojo) gagal, kelahiran UU Antikorupsi akhirnya dipelopori oleh kalangan militer. Tanpa urun rembug dan kesadaran pimpinan tentara (seperti Jenderal AH Nasution), bisa
20 Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, (Malang : Intrans Publishing, 2016), h. 9
jadi proses legislasi antikorupsi menemui jalan buntu. Di sisi lain, dorongan pimpinan TNI tersebut tentu didasari oleh kesadaran bahwa korupsi bukan hanya telah membahayakan kehidupan berbangsa, namun telah juga merusak profesionalisme tentara. Patut dicatat, korupsi yang menjangkiti aparatur negara apalagi yang memegang senjata tentulah sangat berbahaya. Tanpa kesadaran dari internal jajaran TNI sendiri untuk memberantasnya, maka korupsi di lingkungan militer menjadi sangat sulit, sekaligus sangat berbahaya untuk ditumpas. Dengan catatan itu, sejarah perjalanan pembuatan antikorupsi khususnya di masa awal kemerdekaan, hingga era Orde Lama berakhir.
Di era Soeharto, sejalan dengan gaya otoriter kekuasaanya, korupsi tersentralisasi dan menumpuk pada keluarga Soeharto dan terdekatnya. Akibatnya, korupsi bahkan dijadikan budaya pemerintahan. Mengenai dengan hal tersebut, Tim Lindsey (2002) secara sinis menyebut korupsi pada zaman Orde Baru ini telah menjadi sistem yang justru menjalankan negara, meski secara informal. Hal ini semakin mengukuhkan korupsi sebagai budaya oleh pejabat publik baik di tingkat eksekutif, yudikatif maupun legislatif.21
De Coste menamakan korupsi oleh pejabat publik ini sebagai ‘political corruption’ yang diartikannya sebagai, “the debasement of the foundations or origins of a political community”.22 Brutalnya korupsi itu menjadi penyebab utama munculnya inisiatif pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal yang diimbuhi dengan rusaknya pranata penegakan hukum mulai dari kejaksaan, kepolisian hingga peradilan di berbagai tingkatan. Secara sederhana, problema korupsi politik, berbarengan dengan korupsi peradilan (judicial corruption).
Semacam faktor resiprokal yang membingungkan karena penegakan hukum anti- korupsi itu sendiri harus melalui lembaga penegak hukum.
21 Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen, (Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2019), h. 82
22 F.C. De Coste, Political Corruption, Judicial Selection, and the Rule of Law, dalam Alberta Law Review, Vol. 38, Tahun 2000, h. 655-657
26
D. Dasar Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas nya memiliki acuan maupun dasar hukum dalam melakukan kinerjanya. Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penututan dan pemeriksaan sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat bedasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting. Bagaimana mungkin suatu tindak pidana dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang megaturnya.
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar hukum KPK, yaitu :
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Ketetapan MPR RI No. 11 Tahun 1998 Tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
c. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
d. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
f. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
g. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
h. Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
i. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
j. Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Apabila diperhatikan secara seksama pada aturan tertulis, terlihat cukup banyak peraturan tertulis yang dibuat dalam upaya penghapusan tindak pidana korupsi.
E. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi
Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi sudah barang tentu dalam menjalankan fungsi dan tugasnya mempunya visi dan misi untuk menunjang keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi. Berkaitan dengan peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan korupsi, maka diperlukan adanya perumusan strategi, penetapan visi, misi, dan tujuan sangat penting dilakukan. Hal itu dibutuhkan dikarenakan fungsi sebuah visi adalah tujuan dan cita-cita utama dari sebuah organisasi yang ingin dicapai di masa depan.
Sedangkan fungsi sebuah misi adalah penjabaran dari strategi, tindakan, dan tahapan dalam usaha mencapai sebuah misi.
Visi harus bersifat praktis, realistis untuk dicapai, dan memberikan tantangan serta menumbuhkan motivasi yang kuat bagi pegawai komisi untuk mewujudkannya. Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah:
“Bersama Masyarakat Menurunkan Tingkat Korupsi untuk Mewujudkan Indonesia Maju.”
Visi tersebut mengandung pengertian yang mendalam dan tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang bekerja sama dengan masyarakat untuk dapat menuntaskan serta menurunkan segala permasalahan mengenai tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan kejahatan tindak pidana korupsi termasuk dalam extraordinary crime sehingga penanganan serta institusi untuk menanganinya juga khusus. Dengan harapan terwujudnya Indonesia yang maju dan bebas dari korupsi.
28
Sehingga pengamanan akan hilangnya keuangan maupun perekonomian negara dan watak korupsi bisa hilang dengan semestinya.
Misi merupakan jalan pilihan untuk meraih apa yang dicitakan di masa depan.
Misi dibentuk guna untuk mewujudkan apa yang dituangkan dalam Visi KPK.
Sesuai dengan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, Misi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah :
1. Meningkatkan upaya pencegahan melalui perbaikan sistem pengelolaan administrasi lembaga Negara dan pemerintah yang antikorupsi.
2. Meningkatkan upaya pencegahan melalui pendidikan antikorupsi yang komprehensif.
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang efektif, akuntabel, profesional, dan sesuai dengan hukum.
4. Meningkatkan akuntabilitas, profesionalitas, dan integritas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.23 Dengan misi tersebut diharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi lembaga yang siap dan tegas dalam memberantas korupsi di negara Indonesia.
Dengan banyaknya upaya pencegahan melalui perbaikan sistem di pengelolaan administrasi lembaga negara serta pencegahan melalui pendidikan anti korupsi diharapkan kasus korupsi semakin minim serta hilang.
Proses pemberantasan tindak pidana korupsi yang efektif berarti tidak bertele- tele, akuntabel yaitu dapat dipertanggungjawabkan, dan profesional sesuai yang berarti ahli dalam bidangnya sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Hal demikian memiliki makna bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga penggerak dan terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
23 Sekilas KPK. https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-komisi-pemberantasan- korupsi diakses pada 05 September 2020. Pukul 21:00
serta menjalankan fungsi kordinasi, monitor, serta supervisi terhadap instansi yang berwenang guna melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
F. Program dan Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam menentukan program dan kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kerangka acuan untuk menentukan arah kebijakan umum. Penulis ingin menjabarkan Kerangka Acuan Arah Kebijakan Umum KPK 2020. Proses perumusan arah dan kebijakan yang menjadi landasan program kerja unit KPK (Deputi, Sekretariat Jenderal, Direktorat, Biro dan Koordinator Unit Kerja lainnya) dirumuskan oleh Pimpinan KPK dengan berdasarkan:
1.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;2.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi, 2003);4.
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;5.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;6.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi;7.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020;8.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024;30
9.
Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 6 Tahun 2019 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi;10.
Playing Field (fokus area KPK):a. Penyelenggara Negara (Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku);
b. RPJMN 2020-2024 dan RKP 2020;
c. Corruption Perception Index (CPI);
d. Pengukuran Akuntabilitas.
Mengacu pada landasan hukum dan kerangka acuan tersebut pimpinan KPK memberikan arahan kepada bidang-bidang yang berada di KPK. Bidang tersebut yaitu: Bidang Pencegahan, Bidang Penindakan, dan Bidang Manajemen &
Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya KPK. Bidang tersebut memiliki tugas dan fokusnya masing-masing mengacu pada kerangka acuan dan proyek prioritas nasional. Peran KPK dalam Proyek Prioritas Nasional adalah Penegakan Hukum Nasional memiliki Program Prioritas diantaranya : a) Penataan Regulasi, b) Perbaikan Sistem Hukum Pidana dan Perdata, c) Penguatan Sistem Anti Korupsi, d) Penguatan Akses Terhadap Keadilan
Bidang Pencegahan dipimpin oleh seorang Deputi Bidang Pencegahan yang bertanggungjawab kepada Pimpinan KPK. Memiliki tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Deputi Bidang Pencegahan terdiri atas: Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; Direktorat Gratifikasi; Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan Direktorat Penelitian dan Pengembangan. Arahan Pimpinan KPK pada Bidang Pecegahan yaitu, :24
24 Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Arah Kebijakan Umum KPK 2020
• Melakukan tugas pencegahan, tugas koordinasi dan tugas monitor dengan mengedepankan penguatan upaya anti korupsi pada locus yang terdampak pada pengukuran CPI, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), Survey Penilaian Integritas (SPI) dan pengukuran pada RKP 2020 dan RPJMN 2020- 2024 termasuk pemindahan Ibu Kota Negara;
• Mendorong K/L/D untuk meningkatkan pengukuran nasional menuju good governance, melalui upaya pencegahan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta melakukan pemantauan atas predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang diberikan kepada K/L dan Pemda;
• Menyelaraskan program dan kegiatan Stranas PK, tugas pencegahan, tugas koordinasi, dan tugas monitor;
• Memperbaiki tata kelola tugas pencegahan, tugas koordinasi, dan tugas monitor, dengan menyusun pedoman:
• Menyusun peta proses bisnis;
• Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
Bidang Penindakan dipimpin oleh seorang Deputi Bidang Penindakan, dalam struktur organisasi KPK, Deputi Bidang Penindakan membawahi Direktorat Penyelidikan; Direktorat Penyidikan; Direktorat Penuntutan; Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan Sekretariat Deputi Bidang Penindakan. Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak Pidana Korupsi. Arahan Pimpinan KPK pada Bidang Penindakan adalah :25
• Penindakan dengan mengedepankan optimalisasi mekanisme pemulihan dan pengelolaan aset dengan indikator kinerja:
• Memperbaiki tata kelola tugas penindakan dan tugas supervisi yang meliputi:
25 Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Arah Kebijakan Umum KPK 2020
32
• Peningkatan kapasitas SDM yang difokuskan pada kompetensi pemulihan aset dan kerugian keuangan negara;
• Penanganan Perkara TPK sebagai berikut:
a. Penetapan kriteria/fokus penanganan TPK;
b. Menyusun bobot kriteria kasus dan perkara di setiap tahapan penindakan meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, Labuksi serta tugas koordinasi dan supervisi penindakan untuk mendapatkan pengukuran yang tepat;
• Menyusun peta proses bisnis penindakan dan pencegahan terintegrasi (melibatkan tugas pencegahan, tugas koordinasi, tugas supervisi, tugas monitoring, dan tugas fungsi pendukung lainnya).
Bidang Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya KPK yang memiliki fungsi penggerak utama (Prime Mover/Enabler) untuk efektivitas tugas KPK. Terdiri dari Sekretariat Jenderal, mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan administrasi, sumber daya, pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK; Bidang Informasi dan Data, mempunyai tugas menyiapkan rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi dan Data; dan Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Arahan Pimpinan KPK pada Bidang Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Terknis Lainnya sebagai berikut :26
1. Sekretariat Jenderal
a. Biro Perencanaan dan Keuangan
• Implementasi manajemen keuangan dan pelaksanaan kinerja anggaran berbasis risiko termasuk analisa, informasi dan proyeksi pemanfaatan anggaran menuju KPK yang efektif dan efisien;
26 Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Arah Kebijakan Umum KPK 2020