Penggunaan Dana Desa
Mekanisme dan Problematik
PT Sulaksana Watinsa Indonesia 2016
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima Miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penggunaan Dana Desa
Mekanisme dan Problematik
Jenny Delam, dkk
PT Sulaksana Watinsa Indonesia 2016
ISBN : 978-602-6754-09-7
Penggunaan Dana Desa Mekanisme dan Problematik Copyright © 2016
Penulis : Jenny Delam Lis Purbandini Dwi Istiqomah Editor : Wahyudin Sumpeno Desain Layout : Indoyanu Muhamad
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari penulis
Cetakan Pertama diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Oleh Penerbit PT. Sulaksana Watinsa Indonesia Citylofts Sudirman Suites 2327-2329
Jl. KH Mas Mansyur 121. Jakarta 10220 Telp/Fax. (021) 86614125
Email : [email protected] Anggota IKAPI No. 499/DKI/14
Dana Desa merupakan salah satu konsekuensi logis dari Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk mewujudkan amanah yang diberikan kepada Desa yaitu kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Desa. Sesuai PP Nomor 60 Tahun 2014 Dana Desa pada prinsipnya adalah harus dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat.
Oleh sebab itu, berbagai persoalan yang menghambat
KATA SAMBUTAN
implementasi prinsip tersebut harus diantisipasi agar segera dapat dicarikan jalan keluarnya.
Memperhatikan adanya indikasi permasalahan dalam pengelolaan Dana Desa seperti diuraikan diatas, maka saya menyambut baik dilaksanakannya kajian tentang Penggunaan Dana Desa: Mekanisme dan Problematik.
Buku ini memuat rangkuman permasalahan dan kendala pengelolaan penggunaan dana desa.
Saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan buku ini. Semoga rekomendasi yang disampikan bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat Desa.
Kepala
Pusat Penelitian dan Pengermbangan Nora Ekaliana Hanafie
NIP. 19580701 198603 2 001
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga bahwa penulisan buku tentang Penggunaan Dana Desa: Mekanisme dan Problematik telah diselesaikan dengan tepat waktu. Buku ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan mekanisme penggunaan dana desa serta merumuskan bahan masukan untuk penyempurnaan kebijakan tentang pengelolaan penggunaan dana desa.
Buku ini disajikan dalam empat yang terdiri dari Bab I berisi tentang Pendahuluan, Bab II menguraikan tentang kebijakan pengelolaan penggunaan dana desa, Bab III tentang analisis pengelolaan penggunaan dana desa ditinjau
KATA peNgANTAr
dari aspek perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan, kemudian ditutup dengan Bab IV berisi kesimpulan dan rekomendasi.
Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan masukan konstruktif bagi penyempurnaan kebijakan pengelolaan penggunaan dana desa, dan dapat menambah khasanah pengetahuan akademis yang berguna bagi pengambil kebijakan.
Tim Penulis
KATA SAMBUTAN ...i
DAfTAr ISI ...iii
DAfTAr TABel ...v
DAfTAr GAMBAr ...vii
BAB I. PeNDAHUlUAN A. latar Belakang ...1
B. Tujuan Penelitian ...6
C. Sasaran ...6
D. lingkup Kegiatan ...6
e. Metodologi ...7
F. Definisi Operasional ...11
DAFTAr ISI
BAB II. KeBIJAKAN PeNGelOlAAN PeNGGUNAAN
DANA DeSA ...15
A. Pengelolaan Dana Desa ...15
1. Transparansi ...16
2. Akuntabilitas ...18
3. Partisipasi ...20
B. Kebijakan Terkait Pengelolaan Penggunaan Dana Desa ...21
1. Kebijakan Tentang Perencanaan Dana Desa ...24
2. Kebijakan Tentang Penggunaan Dana Desa ...25
3. Kebijakan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Desa ...27
4. Kebijakan Tentang Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Desa ...28
BAB III. ANAlISIS PeNGelOlAAN PeNGGUNAAN DANA DeSA ...31
A. Perencanaan ...32
B. Pelaksanaan ...43
C. Pelaporan ...49
BAB IV. KeSIMPUlAN DAN reKOMeNDASI ...55
A. Kesimpulan ...55
B. rekomendasi ...57
DAfTAr PUSTAKA ...59
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data ...10 Tabel 2. Bimtek dalam rangka Peningkatan
Kompetensi SDM di Kabupaten Cianjur. ...37 Tabel 3. Kegiatan Perencanaan yang Dilakukan
di 3 (tiga) Kabupaten ...41 Tabel 4. Kesesuaian Penggunaan Dana Desa
dengan Penetapan Prioritas ...47 Tabel 5. Pengetahuan Warga tentang Kegiatan
Dana Desa. ...48 Tabel 6. Jumlah Desa Sampel Menurut
Kendala Pertanggungjawaban. ...53
DAFTAr TABel
peNDAHUlUAN bab i
A. LATAR BELAKANG
Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP No 47 Tahun 2015, menetapkan bahwa Pemerintah mengalokasikan dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun anggaran. Dana desa tersebut diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, dana desa merupakan salah satu konsekuensi logis dari Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk mewujudkan amanah yang diberikan kepada desa yaitu kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa, terutama hal-hal yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2015 sebagai tahun pertama dikucurkannya dana desa, Pemerintah melalui APBN telah mengalokasikan pagu anggaran dana desa sebesar rp 20, 76 triliun yang tertuang dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2015 tentang Perubahan atas APBN Tahun 2015.
Sesuai ketentuan PP Nomor 60 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 22 Tahun 2015, penyaluran dana desa dari pemerintah ke pemerintah kabupaten/kota dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama dijadwalkan pada bulan April sebesar 40 %, tahap kedua bulan Agustus 40 %, dan tahap ketiga bulan Oktober sebesar 20 %. Pengalokasian dana desa tersebut oleh pemerintah pusat ke daerah dilakukan menggunakan mekanisme transfer ke setiap kabupaten, sehingga besaran perolehan dana desa oleh setiap kabupaten ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat di dalam dalam APBN.
Dalam hal ini, desa diharapkan mampu menyerap dana yang dialokasikan melalui berbagai kegiatan pembangunan, baik yang bersifat sosial, ekonomi, dan infrastruktur lainnya yang dianggap penting oleh desa.
Selanjutnya dalam Pasal 2, PP Nomor 60 Tahun 2014 juga diatur tentang pengelolaan dana desa yang pada prinsipnya adalah harus dikelola secara tertib, efisien,
ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat.
Sementara itu, mengenai pengelolaan keuangan desa secara umum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pasal 2 tersebut dengan tegas menyatakan bahwa keuangan desa harus dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, dan partisipatif. Ketiga asas ini menjadi pegangan utama bagi pemerintah desa, agar tujuan diberikannya dana desa dapat tercapai.
Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2015, menyebutkan bahwa penggunaaan dana desa adalah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan, yang diprioritaskan untuk pembiayaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya penggunaan dana desa adalah untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan diurus oleh desa dengan prioritas untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Penggunaan dana desa tersebut harus tertuang dalam belanja desa yang disepakati dalam Musyawarah Desa (Pasal 2, 3, dan 4 Permendesa Nomor 5 Tahun 2015).
Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (Pasal 5 Permendesa Nomor 5 Tahun 2015). Sedangkan prioritas penggunaan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat desa terutama untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan akses atas sumberdaya ekonomi, sejalan dengan pencapaian target rPJM Desa dan rKP Desa sesuai yang diamanahkan dalam Pasal 8, 9, 10 dan 11 Permen Desa Nomor 5 Tahun 2015. Namun demikian dana desa dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang tidak termasuk dalam prioritas yang diatur oleh Menteri Kemendesa, PDT dan Transmigrasi setelah mendapat persetujuan bupati/walikota (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2015).
Sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana desa kepada masyarakat, kepala desa wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa kepada Bupati/
Walikota setiap semester (Pasal 25 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2015). Kewajiban menyampaikan laporan realisasi ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendukung pengawasan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan desa yang lebih transparan. Selanjutnya laporan realisasi penggunaan dana desa semester I menjadi persyaratan penyaluran dana desa dari rKUD ke rKD tahap II tahun anggaran berjalan dan laporan realisasi penggunaan dana desa semester II menjadi persyaratan penyaluran dana desa dari rKUD tahap I tahun anggaran berikutnya.
Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa bahwa: Alokasi
Dana Desa dan Dana Desa mengindikasikan terdapat beberapa potensi permasalahan dalam pengelolaan dana desa antara lain (a) APB Desa yang disusun tidak menggambarkan kebutuhan desa, (b) rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APB Desa kurang transparan, (c) laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, dan (d) sebagian perangkat desa masih memandang laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan desa hanya sebagai beban administrasi untuk mendapatkan dana berikutnya. Selain itu dari hasil quick research tentang Kajian Problematik Penggunaan Dana Desa diketahui bahwa tidak ada ketentuan yang jelas tentang SKPD yang bertanggung jawab dalam penyusunan peraturan bupati penetapan dan pengelolaan dana desa dan terdapat beberapa desa dan SKPD (tingkat) kabupaten memiliki keterbatasan dalam jumlah dan kompetensi SDM sehingga ikut memberikan andil timbulnya permasalahan dalam pengelolaan dana desa.
Memperhatikan adanya indikasi permasalahan dalam pengelolaan dana desa seperti diuraikan diatas, maka Pusat litbang merasa perlu melakukan kajian tentang pengelolaan dana desa. latar belakang kajian ini juga didorong oleh temuan hasil quick research Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemendesa, PDT dan Transmigrasi yang menyatakan bahwa desa mengalami kesulitan dalam penyusunan pertanggungjawaban, yang merupakan salah satu upaya pemenuhan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa.
B. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui kondisi dan mekanisme pengelolaan dana desa.
2. Merumuskan bahan masukan untuk penyempurnaan kebijakan tentang pengelolaan dana desa.
C. SASARAN
Tersusunnya rumusan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dana desa.
D. LINGKUP KEGIATAN
Secara substansi penelitian ini dibatasi pada:
1. Pengelolaan dana desa dibatasi pada aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan penggunaan dana yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota dan pemerintah desa;
2. Aspek perencanaan di tingkat kabupaten/kota difokuskan pada kesiapan dan SKPD terkait dalam pencairan dana desa. Di tingkat desa perencanaan difokuskan pada kesiapan dan kendala pemerintah desa dalam menyiapkan persyaratan pencairan dana desa;
3. Aspek pelaksanaan di tingkat kabupaten/kota difokuskan pada kesiapan SKPD terkait dalam mendampingi pemerintah desa untuk penggunaan dana desa. Di tingkat desa pelaksanaan difokuskan pada prosedur dan mekanisme penggunaan dana desa dengan dengan kebijakan tentang prioritas penggunaan dana desa;
4. Aspek pelaporan dibatasi pada kewajiban pemerintah desa untuk menyusun laporan dan pertanggungjawaban serta peran kabupaten/kota dalam melakukan
pembinaan terkait pelaporan dan pertanggungjawaban tersebut melalui kegiatan monitoring, evaluasi dan verifikasi terhadap pelaksanaan kegiatan pengelolaan pengunaan dana desa;
E. METODOLOGI 1. Metode
Penelitian ini bersifat evaluatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yg telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya (Mulyono 2009). Michael Scriven (dalam Arikunto, 2007) mengemukakan bahwa secara garis besar fungsi penelitian evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yakni evaluasi formatif dan sumatif. Dalam penelitian ini menggunakan evaluasi formatif dimana menurut Arikunto, 2007 evaluasi formatif difungsikan sebagai pengumpulan data pada waktu program masih berlangsung. Data hasil evaluasi ini dapat digunakan untuk “membentuk” (to form) dan memodifikasi program kegiatan. Jika pada pertengahan kegiatan sudah diketahui hal-hal apa yang negatif dan para pengambil keputusan sudah dapat menentukan sikap tentang kegiatan yang sedang berlangsung maka terjadinya pemborosan yang mungkin akan terjadi, dapat dicegah.
Metode evaluatif formatif pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana implementasi penggunaan dana desa di tingkat desa. Tolok ukur yang digunakan untuk mengevaluasi adalah: a) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa (Pasal 21-25), b) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 (Pasal 3-11), c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, d) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (Pasal 19-22), e) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (Pasal 21-22), f) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 (Pasal 100). Tahapan kegiatan penelitian dijabarkan sebagai berikut:
a. Identifikasi peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolaan penggunaan dana desa;
b. Analisis permasalahan pengelolaan penggunaan dana desa berdasarkan tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan;
c. Menyusun bahan masukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan penggunaan dana desa.
2. Lokasi
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di 3 (tiga) Provinsi pada kabupaten yang memiliki desa telah menerima transfer dana desa dari kabupaten ke desa (RKUD ke RKD). Unit analisis yang digunakan adalah desa
yang telah menerima transfer dana desa. Berdasarkan pertimbangan tersebut lokasi terpilih adalah Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara; dan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
3. Pengumpulan Data
Data/informasi primer dalam penelitian ini diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan aparat di tingkat kabupaten, dan kecamatan serta dengan apparat pemerintah desa (Kepala Desa, Sekretaris, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis). Selain itu juga dilakukan wawancara dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta wawancara dengan informan pejabat pada dinas atau badan yang diberi tanggungjawab untuk pengelolaan dana desa. Data sekunder berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, literatur dan hasil penelitian yang terkait dengan topik penelitian serta dokumen dan laporan terkait dengan pengelolaan dana desa yang dikumpulkan di tingkat provinsi dan kabupaten.
Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
No. Data yang dibutuhkan Sumber Keterangan 1 Tingkat Pusat
Peraturan dan kebijakan terkait dengan
pengelolaan dana desa
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, PDTT, Kemenko PMK.
Data sekunder, Studi literatur
2 Tingkat Provinsi/
Kabupaten
a. Dokumen yang dibutuhkan terkait Pengelolaan dana desa (Perbup terkait pengelolaan dana desa, laporan pelaksanaan/
pertanggung jawaban dana desa, SK tim evaluasi dan pengawalan pengelolaan dana desa, SK pelimpahan kewenangan
pengelolaan dana desa)
SKPD yang
bertanggungjawab. Data sekunder, wawancara.
b. Aktifitas pembinaan terkait pengelolaan dana desa
SKPD yang bertanggungjawab dalam bintek terkait dana desa.
Data sekunder, Diskusi terfokus c. Koordinasi antar
SKPD SKPD yang
bertanggungjawab atas pengelolaan dana desa
Data sekunder, Diskusi terfokus 3 Tingkat Desa
No. Data yang dibutuhkan Sumber Keterangan a. Dokumen yang
dibutuhkan terkait dana desa (rPJM Desa, rKP Desa, APB Desa, Peraturan Desa).
Kantor Desa,
BPMD Data
sekunder
b. Sosialisasi, bintek terkait pengelolaan dana desa
Perangkat Desa,
BPMD fGD
c. Permasalahan dan kendala pengelolaan dana desa
Kepala Desa, Perangkat Desa, Pendamping.
fGD
d. Pemahaman perangkat desa dalam pengelolaan dana desa
Kepala Desa, Perangkat Desa, Tenaga Pendamping
fGD
e. Pengetahuan masyarakat tentang dana desa
Warga desa (secara
purposive) Wawancara Sumber: Penelitian, 2015
4. Analisa Data
Data yang telah dihimpun dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan kondisi dan mekanisme pengelolaan dana desa serta permasalahannya.
Untuk mengetahui pengelolaan dana desa yang sudah sesuai dengan peraturan yang ada atau belum, maka dilakukan analisis dengan mencermati dan menelaah peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolaan dana desa.
F. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa (PP No 60/2014).
2. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangun-an, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat (PP No 60/2014).
3. rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, selanjutnya disingkat rPJM Desa, adalah rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun (PP No 47/2015).
4. rencana Kerja Pemerintah Desa, selanjutnya disebut rKP Desa, adalah penjabaran dari rPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun (Permendagri No 113/2014).
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disingkat APB Desa, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa (PP No 60/2014).
6. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawarat-an Desa (Permendagri No 113/2014).
7. Transfer ke daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana transfer lainnya (PP No 60/2014).
8. Rekening Kas Umum Negara (RKUN) adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank
sentral (Permen Keuangan No. 93/PMK.07/2015).
9. Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. (Permen Keuangan No. 93/
PMK.07/2015).
10.Rekening Kas Desa (RKD) adalah rekening tempat penyimpanan uang Pemerintah Desa yang menampung seluruh penerimaan desa dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran desa pada bank yang ditetapkan (Permen Keuangan No. 93/PMK.07/2015).
11.Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa adalah kepala desa atau sebutan lain yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan desa (Permendagri No 113/2014).
12.Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung jawaban keuangan desa.
A. PENGELOLAAN DANA DESA
Kata “pengelolaan” dapat disamakan dengan manajemen, yang berarti pula pengaturan atau pengurusan (Arikunto, 1993). Banyak orang yang mengartikan manajemen sebagai pengaturan, pengelolaan, dan pengadministrasian, dan memang itulah pengertian yang populer saat ini. Pengelolaan diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujan tertentu.
Dikatakan manajemen adalah suatu proses perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, memimpin dan pengendalian organisasi manusia, keuangan, fisik
KeBIjAKAN peNgelolAAN peNggUNAAN DANA DeSA
bab ii
dan informasi sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi secara efisiensi dan efektif. Nanang Fattah, (2004) berpendapat bahwa dalam proses manajemen terlibat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer atau pimpinan, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organising), pemimpin (leading), dan pengawasan (controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
Berdasarkan fungsi manajemen (pengelolaan) di atas secara garis besar dapat disampaikan bahwa tahap-tahap dalam melakukan manajemen meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. fungsi- fungsi manajemen tersebut bersifat universal, di mana saja dan dalam organisasi apa saja. Namun, semuanya tergantung tipe organisasi, kebudayaan dan anggotanya.
Dalam penelitian ini, pengelolaan penggunaan dana desa merujuk pada azas pengelolaan keuangan yang diatur dalam Permendgri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan, yaitu transparan, akuntabel dan partisipatif.
1. Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Ada beberapa pengertian tentang transparansi publik yaitu :
Menurut Andrianto (2007) menyatakan bahwa transparansi adalah “keterbukaan secara sungguh sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik.”
Menurut Hafiz (2000) menyatakan bahwa transparansi adalah “keterbukaan dan kejujuran kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung jawaban pemerintahan dalam sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan”.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa transparansi merupakan keterbukaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengakses informasi berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah tersebut.
Dimensi Transparansi. Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi mengenai kebijakan, proses pembuatan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai. Prinsip ini menekankan kepada dua aspek, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah dan Hak masyarakat terhadap akses informasi. Krina (2003) menjelaskan beberapa indikator dari transparansi sebagai berikut:
a. Penyediaan informasi yang jelas tentang tanggung jawab;
b. Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada
peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap;
a. Kemudahan akses informasi;
b. Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris yaitu accountability yang berarti pertanggunganjawaban atau keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggungjawaban (Salim, 1991). Akuntabilitas (accountability) menurut Suherman (2007), yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Selanjutnya Mardiasmo (2004) mendefinisikan akuntabilitas sebagai “kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban tersebut”. Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban atas segala yang dilakukan oleh pimpinan atau lembaga yang memberi wewenang.
dan akuntabilitas merupakan prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan suatu organisasi atau perorangan dapat dipertangungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat.
Berdasarkan beberapa akuntabilitas yang dilihat dari berbagai sudut pandang tersebut, maka akuntabilitas
dapat diartikan sebagai kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak lanjut dan kegiatan seseorang atau lembaga terutama bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi.
Akuntabilitas dalam konteks pemerintahan mempunyai arti pertanggung-jawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan good governance. Pemikiran ini bersumber dari pemikiran administrasi publik merupakan isu menuju clean government atau pemerintahan yang bersih. Akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian merupakan tindakan pada pencapaian tujuan.
laporan keuangan pemerintah harus menyediakan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna laporan keuangan untuk menilai akuntabilitas pemerintahan dalam membuat keputusan ekonomi, sosial dan politik.
Akuntabilitas diartikan sebagai hubungan antara pihak yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan formal atas pihak pengendali tersebut.
Dalam hal ini dibutuhkan juga pihak ketiga yang accountable untuk memberikan penjelasan atau alasan yang masuk akal terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan dan hasil usaha yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan suatu tugas dan pencapaian suatu tujuan tertentu.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas pemerintah tidak dapat diketahui tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta penggunaannya.
Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif.
Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association
menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu akuntabilitas terhadap: 1) Sumber daya finansial, 2) Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administrasi. 3) Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan, 4) Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas. Sedangkan dari perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan/
tahap yang berbeda yang diawali dari tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif (legal compliance) ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran subyektif.
3. Partisipasi
Masyarakat akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa hal tersebut dirasa penting, mendatangkan perubahan, partisipasinya dihargai dan didorong untuk berpartisipasi (Ife dan Tesoriero, 2008). Lebih lanjut Effendie (2008) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi karena waktu luang akan partisipasi masyarakat antara lain: a) apakah ada kesempatan atau waktu luang untuk turut serta dalam berpartisipasi, memungkinkan orang berpartisipasi;
b) apakah ada keinginan dan kesadaran masyarakat untuk ikut serta dan mau berpartisipasi. Kesadaran yang timbul dari seseorang tanpa karena terpaksa akan mewujudkan partisipasi yang murni; c) apakah faktor psikologis seperti rendah diri dapat mempengaruhi orang untuk tidak ikut serta dalam berpartisipasi, karena orang yang mempunyai sifat rendah diri sulit berpartisipasi; d) apakah pendidikan seseorang juga mempengaruhi untuk berpartisipasi,
sebab pendidikan rendah memungkinkan pula seseorang rendah partisipasinya; e) apakah ada pengukuhan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk ikut dalam pembangunan.
Pengertian partisipasi kadangkala lebih merupakan kata- kata populer yang sering digunakan dan belum bermakna sebagai partisipasi sesungguhnya (genuine participation).
Partisipasi yang sesungguhnya menurut Mikkelsen dalam Adi (2008) berasal dari masyarakat dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri, ia adalah tujuan dalam proses demokrasi (genuine participation, initiated and managed by people themselves, is a good in the democratic process).
B. KEBIJAKAN TERKAIT PENGELOLAAN PENGGUNAAN DANA
Program pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan desa yang mandiri melalui dana desa, berharap agar kinerja pemerintahan desa menjadi lebih baik, terutama untuk mendukung pilar-pilar utama dalam tata pemerintahan desa, seperti akuntabilitas, transparansi, profesionalitas, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sehubungan dengan itu, pemerintah telah menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan dari UU Desa, yang pada dasarnya merupakan aturan yang bersifat lebih teknis, salah satunya adalah PP No. 60 Tahun 2014 yang menerangkan mengenai dana desa yang bersumber dari APBN. Peraturan tersebut selain memastikan bahwa Pemerintah menganggarkan dana desa secara nasional setiap tahun, juga menegaskan dalam Pasal 2, bahwa “Dana
desa dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat”. Di dalam peraturan ini juga ditekankan agar pemanfaatan dana desa ditujukan untuk mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, dalam rangka melaksanakan kewenangan desa.
Peraturan yang lebih komprehensif terkait pemanfaatan dana desa diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang telah diperbaharui melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015. Peraturan tersebut secara rinci menyediakan panduan bagi pelaksanaan UU Desa, tidak hanya sekedar memperhitungkan keserasian dan sinergi dalam pelaksanaan pengaturan dan kebijakan mengenai desa, tapi juga menjelaskan hingga pengelolaan dana desa diatur dengan Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 pasal 93 menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan desa meliputi lima tahapan kegiatan yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggung-jawaban. Sedangkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 pada Bab II pasal 2 ayat 1 mengatur bahwa keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Selanjutnya dalam kekuasaan pengelolaan keuangan desa, kepala desa sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan.
Sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa, kepala desa mempunyai kewenangan untuk a) Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APB Desa, b) Menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri dari unsur sekretaris desa, kepala seksi dan bendahara, c) Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, d) Menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APB Desa, dan e) Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APB Desa.
Sebagaimana disebutkan di atas, PTPKD terdiri dari sekretaris desa, kepala seksi dan bendahara yang masing- masing mempunyai tugas. Pasal 5 Permendagri Nomor 113 tahun 2014 mengatur tentang tugas sekretaris desa selaku koordinataor antara lain menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APB Desa, melakukan pengendalian dan menyusun pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa serta melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti penerimaan dan pengeluaraan APB Desa. Sedangkan kepala seksi sebagai pelaksanan kegiatan bertugas melaksanakan kegiatan dan atau bersama lembaga kemasyarakatan desa yang telah ditetapkan APB Desa, melakukan tindakan pengeluaran yang menyebabkan atas beban anggaran kegiatan, melakukan pengendalian dan menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan kepada kepala desa (pasal 6). Pasal 7 Permendagri Nomor 113 tahun 2014 mengamanahkan tugas bendahara menerima, menyimpan, menyetorkan/membayar, menatausahakan,
dan mempertanggungjawabkan penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran pendapatan desa dalam rangka pelaksanaan APB Desa.
1. Kebijakan Tentang Perencanaan Dana Desa
Kebijakan yang mengatur tentang perencanaan pembangunan desa, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Proses perencanaan pembangunan desa meliputi penyusunan RPJM Desa, RKP dan APB Desa.
Dalam penyusunan perencanaan tersebut diawali dengan adanya musyawarah desa yang diatur dalam bagian kelima Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 80 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa musyawarah desa dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang difasilitasi oleh pemerintah desa. Dalam musyawarah desa diikuti oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat (ayat 3). Unsur masyarakat meliputi tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, perwakilan kelompok nelayan, perwakilan kelompok perajin, perwakilan kelompok perempuan, perwakilan kelompok pemerhati dan perlindungan anak dan/atau perwakilan kelompok masyarakat miskin dan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Disamping itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 Pasal 116
mengamanahkan musyawarah perencanaan pembangunan desa secara parsitipatif artinya dalam perencanaan harus melibatkan masyarakat desa dan hasil musyawarah yang berupa rancangan rPJM Desa dan rancangan rKP Desa dibahas dan disepakati dalam musyawarah perencanaan pembangunan Desa. Secara substansial rancangan rPJM Desa paling sedikit memuat penjabaran visi dan misi kepala desa terpilih dan arah kebijakan perencanaan pembangunan desa dan memperhatikan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Untuk rancangan rKP Desa harus merupakan penjabaran dari rancangan rPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
2. Kebijakan Tentang Penggunaan Dana Desa
Penggunaan dana desa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan republik Indonesia Nomor 93/
PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan evaluasi Dana Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Kedua peraturan ini memuat tentang prioritas penggunaan dana desa oleh masyarakat. Pada Bab IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015 pasal 21 ayat 1 menyebutkan bahwa dana desa dapat dimanfaatkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Kemudian ayat 2 bahwa penggunaan dana desa diprioritaskan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya Pasal 23 mengamanahkan bahwa dana desa dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak termasuk kegiatan prioritas setelah mendapat persetujuan bupati/
walikota. Persetujuan diberikan apabila alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sudah terpenuhi.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 juga mengatur tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015, karena peraturan ini merupakan penjabaran dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2015, maka peraturan ini lebih detail seperti pada BAB II yang mengatur Prinsip Penggunaan Dana Desa.
Dana Desa yang bersumber dari APBN digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan diurus oleh desa (pasal 2). Selanjutnya Pasal 3 dan 4 menyebutkan dana desa diprioritaskan untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dan penggunaannya tertuang dalam prioritas belanja desa yang disepakati dalam musyawarah desa.
Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui (a) pemenuhan kebutuhan dasar, (b) pembangunan sarana dan prasana desa, (c) pengembangan potensi ekonomi lokal, dan (d) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (pasal 5). Sedangkan, prioritas penggunaan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat desa terutama untuk
penanggulangan kemiskinan dan peningkatan akses atas sumber daya ekonomi, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat mencakup (a) peningkatan kualitas proses perencanaan Desa, (b) mendukung kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa maupun oleh kelompok usaha masyarakat Desa lainnya, (c) pembentukan dan peningkatan kapasitas Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa, (d) pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitas paralegal untuk memberikan bantuan hukum kepada warga masyarakat desa, (e) penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat, (f) dukungan terhadap kegiatan desa dan masyarakat pengelolaan hutan desa dan hutan kemasyarakatan, dan (g) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat melalui (a) kelompok usaha ekonomi produktif, (b) kelompok perempuan, (c) kelompok tani, (d) kelompok masyarakat miskin, (e) kelompok nelayan, (f) kelompok pengrajin, (g) kelompok pemerhati dan perlindungan anak, (h) kelompok pemuda; dan (i) kelompok lain sesuai kondisi desa.
3. Kebijakan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Desa.
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh pemerintah desa, baik dilakukan dengan cara swakelola maupun melalui penyedia barang/jasa. Ketentuan tentang pengadaan barang/jasa di desa telah diatur dalam Peraturan Kepala lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa. Jika desa mengalami kesulitan atau dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan secara swakelola sesuai dengan potensinya, maka dilakukan pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa dalam rangka mendukung pelaksanaan swakelola maupun memenuhi kebutuhan barang/jasa secara langsung di desa.
Bagi penyedia barang/jasa yang dianggap mampu dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus memenuhi persyaratan memiliki tempat atau lokasi usaha kecuali untuk tukang batu, tukang kayu dan sejenisnya. Penyedia barang/
jasa untuk pekerjaan konstruksi, mampu menyediakan tenaga ahli dan/atau peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan.
4. Kebijakan Tentang Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Desa.
Kebijakan terkait pelaporan penggunaan dana desa diatur dalam Pasal 103 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang menyatakan bahwa kepala desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap semester tahun berjalan dan disampaikan paling lambat bulan Juli tahun berjalan untuk semester pertama dan bulan Januari tahun berikutnya untuk semester kedua.
Sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri republik
Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pasal 37 ayat 1 menyebutkan bahwa kepala desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota berupa laporan semester pertama dan laporan semester akhir tahun.
Selain pelaporan, ada kegiatan penatausahaan pengelolaan keuangan desa yang diatur dalam Permendagri Nomor 133 tahun 2014. pasal 35 menyebutkan penatausahaan dilakukan oleh bendahara desa dengan wajib melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir bulan secara tertib.
Disamping mencatat dan membukukan bendahara desa wajib mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada kepala desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Selanjutnya, untuk memenuhi asas akuntabel dan transparansi dalam pengelolaan dana desa, maka desa wajib membuat laporan pertanggunjawaban.
Pertanggungjawaban penggunaan dana desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pasal 38 ayat 1 dan 2 mengamanahkan bahwa kepala desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APB Desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran. laporan pertanggungjawaban tersebut terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Sedangkan ayat 3, menyebutkan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa adalah kepala desa yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan desa. Dalam hal ini kepala desa dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yaitu unsur perangkat desa yang terdiri dari sekretaris desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Pada Bab Analisis Pengelolaan Penggunaan Dana Desa ini, melingkupi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014
ANAlISIS peNgelolAAN peNggUNAAN DANA DeSA
bab iii
Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pada masing-masing tahapan diuraikan kondisi dan mekanisme kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa. Namun, oleh karena kegiatan pengumpulan data untuk tiga kabupaten sampel (Magelang, Samosir dan Cianjur) tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan, maka tahapan pengelolaan yang dibahas dalam sub ini sesuai dengan kondisi tahapan pada saat tim melakukan kunjungan lapang atau pada saat pengumpulan data.
A. PERENCANAAN
Analisis perencanaan dalam sub bab ini, dimulai dari tingkat kabupaten, hingga desa yang difokuskan pada bagaimana kesiapan SKPD terkait dalam penggunaan dana desa. Sedangkan di tingkat desa perencanaan difokuskan pada kesiapan pemerintah desa dalam menggelola penggunaan dana desa. Kegiatan dalam perencanaan pengelolaan dana desa di Kabupaten Magelang, Samosir dan Cianjur relatif beragam, tergantung kesiapan masing- masing daerah.
Di Kabupaten Magelang perencanaan pengelolaan dana desa dapat dikatakan telah dipersiapkan setahun sebelum dikucurkannya dana desa yaitu melalui ujicoba pemberian bantuan dana APBD yang disebut dengan bantuan gubernur kepada setiap desa. Bantuan ini khusus diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur desa dalam mendukung ekonomi masyarakat. Bantuan tersebut diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: untuk desa miskin tinggi (1.356 desa) sebesar Rp 100 juta, desa miskin sedang (2.080 desa) sebesar Rp 60 juta, dan desa miskin
rendah (4.373 desa) sebesar Rp 40 juta. Penanggungjawab kegiatan ini diserahkan kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades). Uji coba ini dimaksudkan agar pada saat implementasi dana desa Tahun 2015, pemerintah desa telah siap melaksanakannya dengan pengalaman pengelolaan dari bantuan tersebut. Selain itu Pemerintah Kabupaten Magelang juga menyiapkan berbagai peraturan bupati (perbup) terkait dana desa antara lain Perbup tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa untuk Setiap Desa, dan Perbup tentang Tata Cara Pengadaan Barang/ Jasa di Desa. Namun yang menjadi persoalan adalah terjadi keterlambatan penyusunan Perbup tersebut karena belum adanya kepastian Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggungjawab, disamping regulasi di tingkat pusat (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri) yang berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif pendek. Belum ditunjuknya SKPD yang bertanggungjawab dalam penyusunan Perbub, karena pada waktu itu Pemerintah Kabupaten/Kota merencanakan akan melakukan strukturisasi fungsi-fungsi beberapa SKPD, termasuk Bagian Tata Pemerintahan pada Sekretariat Daerah dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades).
Sementara, perencanaan pengelolaan dana desa di Kabupaten Cianjur dan Samosir dipersiapkan dengan menerbitkan berbagai perbup yang mengatur tentang dana desa. Perbup Cianjur antara lain adalah: a) Perbup Tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan rincian Dana Desa untuk Setiap Desa Tahun Anggaran 2015; b) Perbup Tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa;
c) Perbup Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada Camat; d) Perbup Tentang Desa. Dalam hal kegiatan verifikasi atau monitoring dan evaluasi penyusunan APB Desa sebagai salah satu syarat untuk pencairan dana desa. Pemerintah Kabupaten Cianjur belum membentuk tim khusus untuk kegiatan tersebut.
APB Desa yang disusun oleh masing-masing desa harus diketahui oleh camat, dalam hal ini camat menunjuk tim verifikasi tingkat kecamatan yang bertugas memverifikasi APB Desa. Namun dalam kenyataannya, APB Desa yang telah disetujui (lolos verifikasi) di tingkat kecamatan, masih mengalami perubahan setelah diverifikasi kembali di tingkat kabupaten (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa). Hal ini terjadi karena verifikasi yang dilakukan di tingkat kecamatan cenderung hanya bersifat formalitas, yang disebabkan terbatasnya jumlah personil dan kemampuan sumber daya manusia. Dari hasil diskusi dengan aparat kecamatan, diketahui mereka belum pernah mengikuti bimtek terkait dengan pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa khususnya tentang pengelolaan dana desa.
Di Kabupaten Samosir, perbup yang diterbitkan terkait pengelolaan dana desa adalah: a) Perbup Tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa Setiap Desa;
b) Perbup Tentang Pengelolaan Keuangan Desa; c) Perbup Tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa;
d) Perbup Tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan ADD, bagi Hasil Pajak dan redistribusi Daerah untuk 128 Desa; e) Perbup Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa Bagi Hasil Pajak dan
Redistribusi Daerah. Selain peraturan bupati tersebut di atas, pemerintah kabupaten juga membentuk tim untuk mendampingi desa dalam penyusunan APB Desa, dan tim monitoring dan evaluasi pengelolaan dana desa yang dikuatkan melalui surat keputusan bupati.
Di Kabupaten Samosir dibentuk tim Fasilitasi Dana Desa Tingkat Kabupaten dan Tim Pembinaan, Monitoring dan Pendampingan Dana Desa. Tim fasilitasi Dana Desa Tingkat Kabupaten anggotanya terdiri dari BPMPOD, Dinas Pendapatan, Keuangan dan Aset Daerah (Dispenkad), Bappeda, Sekda (bagian hukum dan pemerintahan desa) dan aparat kecamatan (Camat, Sekcam, Kasie Pemerintahan Desa) serta Inspektorat. Tugas tim ini adalah menyusun produk hukum terkait dengan pengelolaan dana desa, merumuskan besaran alokasi dana desa per desa dan melakukan fungsi fasilitasi, pembinaan dan monitoring.
Akan tetapi diketahui tidak semua pemerintah kabupaten melibatkan camat dan aparatnya dalam pelaksanaan dana desa. Contohnya di Kabupaten Cianjur, camat bersifat pasif karena pemerintah desa cenderung lebih memilih pihak kabupaten c/q Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) untuk berkonsultasi atau mendampingi dalam penyusunan APB Desa. Hal ini diduga karena keterbatasan kompetensi SDM di kecamatan dan adanya hubungan kedekatan personal antara perangkat desa dengan aparat di tingkat kabupaten. Keterbatasan kompetensi aparat kecamatan dilatarbelakangi karena tidak diikutsertakannya dalam bimtek atau sosialisasi tentang dana desa. Hal ini menjadi salah satu keluhan pihak kecamatan karena mereka merasa dilewatkan dalam pengelolaan dana desa.
Meskipun, APB Desa sebelum disampaikan kepada pihak pemerintah Kabupaten Cianjur (BPMPD) harus mendapat persetujuan dari kecamatan, tetapi itu terkesan hanya sebagai formalitas saja, karena pemerintah kabupaten belum membentuk tim evaluasi yang bertugas untuk mengevaluasi dan memverifikasi APB Desa.
APB Desa yang disusun oleh masing-masing desa harus diketahui oleh camat, dalam hal ini camat menunjuk tim verifikasi tingkat kecamatan yang bertugas memverifikasi APB Desa. Namun dalam kenyataannya, APB Desa yang telah disetujui (lolos verifikasi) di tingkat kecamatan, masih mengalami perubahan setelah diverifikasi kembali di tingkat kabupaten (BPMPD). Perubahan atau perbaikan APB Desa tersebut dilakukan beberapa kali melalui konsultasi atau arahan dari BPMPD, bahkan ada yang mengalami sampai 7 (tujuh) kali perbaikan.
Disamping mempersiapkan regulasi, pemerintah daerah juga berupaya meningkatkan kompetensi SDM untuk mendukung kelancaran pengelolaan dana desa.
Hal ini dilakukan melalui berbagai bimtek dan sosialisasi tentang pengelolaan dana desa. Pemerintah Kabupaten Magelang sejak dini yaitu pada bulan Desember 2014 telah melaksanakan sosialisasi tentang dana desa dengan peserta kepala desa dari seluruh desa. Juga dilakukan Bimtek “Pengelolaan Keuangan Desa” secara umum, termasuk didalamnya tentang pengelolaan keuangan dana desa. Peserta bimtek tersebut terdiri dari sekretaris dan bendahara desa dari setiap desa, diselenggarakan dalam tiga angkatan.
Di Kabupaten Cianjur, pihak BPMPD melakukan
kegiatan peningkatan kompetensi SDM melalui Bimtek dan Sosialisasi yang telah dipersiapkan sejak Tahun 2014 dan berlanjut sampai Tahun 2015. Peserta bimtek atau sosialisasi tersebut adalah kepala desa, perangkat desa, dan BPD. Berikut bimtek yang dilakukan pada tahun 2015.
Tabel 2.
Bimtek dalam rangka Peningkatan Kompetensi SDM di Kabupaten Cianjur.
No Kegiatan Waktu
Pelaksanaan Narasumber Materi Peserta 1 Peningkatan
Kapasitas Aparatur Pemerintahan dalam Pengelolaan Keuangan Desa
25 - 28 februari 2015
Kemendagri Dasar-dasar Pengelolaan Keuangan Desa
Sekdes
Praktek Peng.
Keuangan Desa 2 Peningkatan
Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa dalam Kerangka Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
18 - 19 Mei
2015 Kemendagri Pengelolaan APB Desa dalam UU 6/2014
Kepala Desa
Kejaksaan Negeri Cianjur
TIPIKOr
Pajak
Pratama Pajak dalam Belanja Desa 3 Peningkatan
Kapasitas Aparatur Pemerintahan kepada BPD
24 - 26 Agustus 2015
Kemendagri Kedudukan BPD dalam UU 6/2014
BPD
4 Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa melalui Aplikasi Pengelolaan Keuangan Desa
13-16 Desember 2015
CV. Afindo
Informatika SIlOKADeSA Operator APBDesa
Sumber: Data Primer diolah, 2015
Di tingkat desa, perencanaan pengelolaan dana desa diawali dengan penyusunan APB Desa yang mengacu pada rPJM Desa dan rKP Desa. Penyusunan APB Desa dilakukan melalui musyawarah desa. Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah menjadi PP Nomor 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dinyatakan musyawarah desa diikuti oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat yang terdiri atas: tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, perwakilan kelompok nelayan, perwakilan kelompok perajin, perwakilan kelompok perempuan, perwakilan kelompok pemerhati dan perlindungan anak dan atau perwakilan kelompok masyarakat miskin. Bila diperhatikan ketentuan unsur masyarakat yang mengikuti musyawarah desa seperti yang diatur dalam PP No 43/2014 tersebut menunjukkan betapa pentingnya posisi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan desa khususnya di bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.
Akan tetapi dari hasil wawancara dengan perangkat desa diketahui bahwa hanya beberapa unsur masyarakat saja yang mengikuti musyawarah desa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa dari desa sampel di masing-masing kabupaten diketahui bahwa musyawarah desa selain dihadiri oleh kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis) serta BPD, juga diikuti oleh unsur masyarakat yang umumnya hanya wakil dari beberapa dusun saja. Beberapa kepala desa lebih dominan
menentukan kebutuhan masyarakat yang kemudian dituangkan sebagai prioritas kegiatan dalam APB Desa, sehingga musyawarah yang dilaksanakan terkesan hanya sebagai formalitas saja. Tetapi diketahui juga ada tokoh atau wakil masyarakat yang kurang aktif dalam musyawarah desa. Mereka cenderung bersifat pasif dan menyerahkan semua keputusan kepada kepala desa dan perangkatnya.
Hal ini bila dibiarkan, berpotensi melahirkan dua kekuatan kelompok yang bertentangan yaitu kelompok yang kuat dan berpengaruh dan kelompok lemah atau kelompok masyarakat yang bersifat pasif. Kelompok yang kuat akan memanfaatkan kelompok lemah atau pasif tersebut untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Di beberapa desa juga diketahui bahwa unsur masyarakat dari tokoh adat, agama, pendidikan serta perwakilan dari kelompok tani atau kelompok perajin atau kelompok perempuan cenderung tidak dilibatkan karena dianggap sudah cukup terwakili oleh wakil dari beberapa dusun. Tidak dilibatkannya unsur masyarakat dalam musyawarah desa seperti yang diamanahkan oleh PP Nomor 43 Tahun 2014, khususnya dalam membahas prioritas kebutuhan pembangunan Desa, dapat diartikan bahwa asas partisipatif dan transparansi kurang terpenuhi.
Tetapi, adakalanya pemerintah desa sudah melibatkan berbagai unsur masyarakat tersebut, namun banyak diantara mereka yang bersikap tidak peduli atau enggan untuk mengikuti musyawarah desa. Karakter masyarakat demikian, perlu mendapat perhatian dari pemerintah desa agar semua unsur masyarakat menyadari pentingnya kepedulian dan keikutsertaan dalam pembangunan desa.
Pelibatan masyarakat dalam musyawarah desa untuk menyepakati prioritas kebutuhan pembangunan desa dimaksudkan agar semua kegiatan pemerintah desa khususnya yang bersumber dari dana desa dapat diketahui dan terinformasikan kepada masyarakat. Disamping itu pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan desa mendorong tumbuhnya budaya peduli dan akhirnya dapat membangkitkan sikap partisipatif.
Berikut disajikan tabel tentang kegiatan perencanaan yang dilakukan di tingkat kabupaten maupun desa dalam rangkaian pengelolaan dana desa.
NoKabupatenDukungan KebijakanSosialisasi/BimtekPenyusunan APBDesaKeterangan 1.Magelang· Persiapan T-1 dgn ujicoba bantuan Gubernur kepada setiap desa. · Perbup terkait pengelolaan dana desa. · SK Bupati tentang tim verifikasi, evaluasi, monitoring pengelolaan dana desa. · SK Kades tentang TPKD.
· Pelaksanaan Undang – Undang No 6 /2014 tentang Desa. · Sosialisasi tentang dana desa. · Bimtek Pengelolaan Keuangan Desa.
· Melalui musyawarah desa
yang dihadiri Per
angkat Desa, BPD dan unsur- unsur masyarakat. · APBDes diverifikasi kecamatan
sebelum disampaikan kepada
Pemerintah Kabupaten.
· Bantuan Gubernur dimaksudkan agar pelaksanaan dana desa berjalan lebih baik dan mudah.
· Tim verifikasi kecamatan belum optimal, karena keterbatasan SDM sehingga pemerintah Desa lebih banyak berkonsultasi dengan Pemerintah Kabupaten. 2.Samosir· Perbup dan Juknis tentang pengelolaan dana desa. · SK Bupati tentang Tim fasilitasi Dana Desa Tingkat Kabupaten dan Tim Pembinaan, Monitoring dan Pendampingan Dana Desa. · SK Kades tentang TPKD.
· Sosialisasi tentang dana desa. · Bimtek Pengelolaan Keuangan Desa.
· Diawali dengan musyawarah di tingkat dusun untuk menentukan
kebutuhan pembangunan.
· Musyawarah desa untuk menentukan prioritas kegiatan
yang akan dilaksanakan.
· Peran kecamatan sudah optimal. · Sosialisasi dan Bimtek terbatas dan adanya pergantian perangkat Desa.
Tabel 3. Kegiatan Perencanaan yang dilakukan di 3 (tiga) Kabupaten.
NoKabupatenDukungan KebijakanSosialisasi/BimtekPenyusunan APBDesaKeterangan 3.Cianjur· Perbup dan Juknis tentang pengelolaan dana desa. · SK Kades tentang TPKD
· Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan dalam Pengelolaan Keuangan Desa. · Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa dalam Kerangka Pelaksanaan Undang- undang Nomor 6 Tahun 2014. · Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan khusus untuk BPD. · Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa melalui Aplikasi Pengelolaan Keuangan Desa
· Diawali dengan musyawarah di tingkat dusun. · Musyawarah desa utk menentukan prioritas kegiatan
yang akan dilaksanakan.
· Peran Kecamatan belum optimal, cenderung “dilewati”. · Pemerintah desa relative memahami pengelolaan dana desa. Sumber: Hasil Analisis, 2015