• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. subfamily Coronavirinae, family Coronaviridae, order Nidovirales. Terdapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. subfamily Coronavirinae, family Coronaviridae, order Nidovirales. Terdapat"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Coronavirus Disease 19 (COVID-19) 2.1.1 Sejarah coronavirus

Virus Corona merupakan keluarga Coronaviridae, virus RNA dengan genom terbesar untuk virus RNA. Virus Corona digolongkan dalam subfamily Coronavirinae, family Coronaviridae, order Nidovirales. Terdapat empat genera virus Corona adalah Alphacoronavirus (αCoV), Betacorona- virus (βCoV), Deltacoronavirus (δCoV) dan Gammacoronavirus (γCoV).

(Chan J.F. et al., 2020)

SARS-CoV merupakan agen penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), outbreak ini terjadi di Guangdong provinsi China pada 2002 dan 2003. Outbreak dari SARS-CoV memiliki tingkat kematian sebesar 9%, 774 meninggal akibat infeksi. Tingkat kematian meningkat pada usia lebih dari 60 tahun (5.0%). Penyakit ini berasal dari kelelawar, dan virus ini menggunakan reseptor ACE2 sebagai jalur masuk. Transmisi virus ini melalui direct contact dengan pasien yang terinfeksi. SARS-CoV menginfeksi sel epitel paru dan sel imun seperti sel dendritik dan sel makrofag. Sel ini menghasilkan sel sitokin pro-inflamatorik, infeksi virus ini menyebabkan peningkatan kadar sitokin pada pasien. (Rabaan A.A. et al., 2020)

Coronavirus berikutnya adalah Middle East Respiratory Syndrome.

MERS-CoV, terjadi pada tahun 2012 pada timur tengah (Middle East).

Menyebabkan infeksi berat pada saluran pernafasan di Arab Saudi dan negara

(2)

timur tengah lainnya. Tingkat kematian MERS-CoV berkisar 50%. Pada bulan April 2014, jumlah kasus yang dilaporkan lebih dari 200 kasus, dan 40 kematian. Sampai 27 Agustus 2014 telah terjadi 855 kasus MERS-CoV dan terjadi 333 kematian, dengan tingkat fatal (fatality rate) 40%, total jumlah kasus MERS-CoV yang dilaporkan secara global adalah 2519, dengan kematian 866 kasus dan tingkat kematian sebesar 34,4%. MERS-CoV dihubungkan oleh coronavirus akibat kelelawar, dan berasal dari kelelawar seperti SARS-CoV, dengan unta sebagai intermediate host. Terdapat studi yang menjelaskan pasien yang terinfeksi terdapat kontak langsung dengan unta. (Rabaan A.A. et al., 2020)

Coronavirus (2019-nCoV) secara resmi dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), agen penyebab dari Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), menyerang sistem respiratori manusia, dan muncul pertama kali pada Desember 2019 di daerah Wuhan, provinsi Hubei, China. World Health Organization (WHO) mendeklarasikan penyakit ini sebagai penyakit pandemik dan secara cepat menyebar pada bagian China, dan kasus terkonfirmasi pada negara lain dengan riwayat perjalanan dari kota Wuhan atau paparan langsung pasar seafood Wuhan.

SARS-CoV 2 berasal dari kelelawar seperti coronavirus sebelumnya, SARS- CoV dan MERS-CoV. (Guo Y.R. et al., 2020)

2.1.2 Transmisi SARS-CoV-2

Infeksi saluran pernafasan akut yang tidak diketahui terjadi di Wuhan, China pada 12 Desember 2019. Beberapa studi memperkirakan kelelawar merupakan

(3)

reservoir potensial SARS-CoV-2. Kelelawar merupakan reservoir alami dari beberapa virus seperti SARS-CoV dan MERS-CoV. (Guo Y.R. et al., 2020)

Transmisi utama pada SARS-CoV-2 melalui paparan droplet respiratorik membawa virus infektif dari kontak langsung atau transmisi dari droplet dari pasien presimtomatik, asimptomatik atau simptomatik. Airborne transmission dapat berimplikasi pada penyebaran COVID-19. (Anderson EL. et al., 2020)

2.1.3 Patogenesis SARS-CoV-2

Coronavirus memiliki empat protein struktural : Protein N (Nucleoprotein capsid) membentuk lapisan helical (helical capsid) yang melindungi genom.

Seluruh struktur virus dikelilingi oleh lapisan lipid (lipid envelope), terdiri dari S (spike), E (envelope), dan M (membrane). Membran dan protein envelope diperlukan dalam penggabungan virus, protein spike sebagai jalan masuk virus dan pengenalan sel sel inang. Pada permukaan virus, Spike protein membentuk protrusi besar (Peplomers) menujukan tampakan seperti taji-taji yang menonjol, maka virus dinamakan ‘Corona’, dalam bahasa latin berarti mahkota. Selama masa infeksi, S1 ((N)-terminal S1) akan terikat dengan reseptor sel inang dan memfasilitasi masuknya virus pada sel inang, menjadi target respon neutralisasi pada vaksin dan antisera. S2 ((C)-terminal S2) mengandung fusion peptide, domain transmembran dan domain sitoplasmik yang bertanggungjawab dalam fusi membran, akan bergabung dengan membran viral dan sel inang, yang akan melepaskan genom virus kedalam sel. RBD adalah domain peptida yang penting sebagai binding site pada reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 sel inang. ACE 2 adalah reseptor fungsional untuk virus SARS-CoV. Studi menunjukan SARS-CoV-2 juga

(4)

menggunakan ACE2 sebagai reseptor. ACE 2 banyak terdapat pada paru, jantung, ileum, ginjal dan kandung kemih. Pada paru, ACE2 sangat tampak pada sel alveolar tipe II (Zhou D, et al. 2020)

(Mousavizadeh, L dan Ghasemi, S, 2020)

Gambar 2.1. Struktur Coronavirus

Siklus hidup virus SARS-CoV-2 terdiri dari 5 langkah: (1) Attachment, (2) Penetration, (3) Biosynthesis, (4) Maturation, dan (5) Release (Yuki K. et al., 2020)

- Attachment : virus terikat pada reseptor inang, reseptor ACE2. Selama masa infeksi virus, spike protein akan terbelah oleh protease inang ke subunit ikatan reseptor S1 dan subunit membran fusi S2. Pada proses masuknya sel, subunit S1 terikat langsung dengan reseptor ACE2 dari sel inang. SARS- CoV-2 memiliki afinitas lebih besar pada reseptor ACE2 dibandingkan dengan SARS-CoV

- Penetration : virus memasuki sel inang melalui endositosis atau fusi membran. Target sel dari SARS-CoV-2 adalah sel enterosit dan pneumosit.

Sel target lainnya berupa sel epitel tubular ginjal, sel neuronal serebral, dan

(5)

sel imun. Jalur masuk dan tahap infektif SARS-CoV-2 terjadi melalui faktor sel inang, angiotensin-converting-enzyme-2 (ACE2), dan pemecahan proteolisis subsequent pada Spike protein oleh transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2), yang bertanggung jawab dalam penggabungan/fusi dari membran.

- Biosintesis : viral content dilepaskan pada sel inang, RNA virus memasuki nukleus untuk direplikasi. Viral mRNA digunakan untuk membuat protein virus. Setelah mengenali reseptor ACE-2, genom virus dan nucleokapsid dilepas kedalam sitoplasma dari sel target. Dua poliprotein virus (pp1a dan pp1b) diproses oleh protease menjadi 16 NSPs dan berperan penting dalam pembentukan kompleks transkripsi replikasi, dan akan memungkinkan virus membentuk mesin translasi gen untuk produksi protein virus sendiri. NSPs akan memiliki fungsi spesifik mulai dari masuknya virus kedalam target sel sampai supresi ekspresi gen target untuk mereplikasi dan mentranslasi genom dan protein virus itu sendiri.

- Maturasi : partikel virus selesai direplikasi dan dilepas.

2.1.3.1 Efek SARS-CoV-2 pada sistem pernafasan

COVID-19 dipertimbangkan sebagai viral respiratory and vascular illness.

Pada fase awal, dikarakteristikan sebagai replikasi virus yang menyebabkan kerusakan jaringan langsung, diikuti oleh fase lanjutan dimana sel inang memicu respon imun T limfosit, monosit, dan neutrofil yang akan memicu pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-1β, IL-8, IL-12 dan (IFN)-γ. Pada COVID-19 dengan tingkat keparahan tinggi, overaktifasi sistem imun menyebabkan Cytokine Storm

(6)

atau Cytokine Release Syndrome yaitu tingginya kadar sitokin, khususnya IL-6, IL- 1 dan TNF-α pada sirkulasi mennyebabkan respon peradangan lokal dan sistemik.

(Wang J, et al., 2020).

Peningkatan permeabilitas vaskular dan edema pulmoner lanjut pada pasien COVID-19 dengan keparahan tinggi dapat dijelaskan oleh beberapa mekanisme, a)endotelitis akibat kerusakan langsung jaringan oleh virus, b)disregulasi RAAS akibat peningkatan binding/ikatan dari reseptor ACE-2 oleh virus, c)aktivasi kallikrein-bradikinin, aktivasi yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, d)peningkatan kontraksi sel epitel akibat pembengkakan sell dan gangguan intracellular junction. (Ackermann M, et al., 2020) (van de Veerdonk FL, et al., 2020)

2.1.4 Manifestasi klinis SARS-CoV-2

Terdapat kemiripan gejala klinis infeksi SARS-CoV-2 dengan infeksi SARS- CoV dan MERS-CoV. Umumnnya pasien dapat muncul gejala demam, batuk kering, dyspneu. Beberapa pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 nampak gejala dan simptom infeksi pernafasan, atas seperti rhinorrhoea, bersin, nyeri tenggorok. Juga pada pasien positif terinfeksi SARS-CoV-2 jarang terdapat gejala dan simptom pencernaan seperti diare, pada pasien dengan infeksi MERS-CoV dan SARS-CoV terdapat gejala diare yang menyertai (Assiri et al., 2013; Huang C. et al., 2020) Beberapa temuan dalam studi Sun P et al (2020) menyatakan terdapat nyeri otot dan lemas, juga sindrom distres respiratorik akut pada pasien dengan SARS-CoV- 2 (Sun P. et al., 2020). Disfungsi olfaktori/ anosmia/ hiposmia/ dysosmia dan

(7)

disfungsi gustatori/ ageusia/ hipogeusia/ disgeusia adalah gejala umum yang dirasakan pasien dengan COVID-19 pada awal infeksi. (Tong J.Y. et al., 2020)

Karakteristik gambaran chest x-ray dan chest CT pada kasus COVID-19 secara umum berupa gambaran ground glass oppacity (GGO) atau konsolidasi pada lapang bawah atau bagian perifer paru. Gambaran radiologis pada COVID- 19 rata-rata mencapai puncak pada 10-12 hari setelah onset gejala klinis (Yoon S.H. et al., 2020). Pada gambaran CT ditemukan ground glass opacities, konsolidasi, dan air bronchogram sign. Juga ditemukan lesi atipikal crazy paving pattern, paling sering detemukan pada lobus kanan bawah. (Wan S. et al., 2020)

Sistem kardiovaskular terlibat dalam infeksi COVID-19. Biomarker dapat meningkat secara signifikan, seperti troponin-T, natriuretic peptides, dan IL-6. (Liu P., et al. 2020) Trombositopenia awalnya tidak termasuk dalam temuan tipikal pada pasien COVID-19. Pada awal Maret 2020, sebuah meta-analisis yang mencakup 9 studi dengan total sampel 1779 pasien menyatakan bahwa Trombositopenia pada COVID-19 dapat menjadi salah satu prediktor tingkat keparahan (severity) penyakit ini. (Terpos E. et al., 2020)

(8)

Tabel 2.1. Perbandingan Manifestasi Klinis SARS-CoV-2, SARS-CoV, dan MERS-CoV Coronavirus

SARS-CoV-2 SARS-CoV MERS-CoV

Epidemiologi

Outbreak Desember, 2019 November, 2002 April, 2012

Lokasi Wuhan, China Guangdong, China Saudi Arabia

Kasus konfirmasi 595.800 (Mar 27, 2020)

8096 2519 (2012 sampai Januari 31, 2020)

Mortalitas 27.324 (%) 744(%) 866(34,4%)

Waktu infeksi pada awal 1000 pasien (hari)

48 130 903

Waktu inkubasi (hari) 7-14 2-7 5-6

Transmisi Menyentuh atau

memakan hewan yang terinfeksi, human-to-human transmission terjadi pada kontak langsung

Menyebar melalui kelelawar, melalui Civet (Luwak).

Transmisi manusia melalui kontak

langsung.

Menyentuh unta terinfeksi dan mengkonsumsi susu unta atau daging unta.

Transmisi manusia melalui kontak

lanngsung Tampakan klinis

Usia, tahun 47,0 (semua

spektrum usia)

39,9 (1-91) 53 (36-66)

Rasio lk/pr 1,39 : 1 1 : 1,25 2,03 : 1

Demam 88,7% 99-100% 77±6%

Fatigue 29,4% 31,2%

Nonproductive cough 67,7% 25-75% 80±5%

Myalgia 14,8% 49,3 - 60,9% *

Dyspneu 45,6% 40-42% *

Ekpektorat 13,3% NR *

Sakit tenggorokan 13,9% 12,5% 39±11%

Diare 6,1% 20-25% *

Mual dan muntah 5,0% 19,4-19,6% *

Dizziness 3,7% 4,2-42,8% *

Headache 8,0% 35,4-55,8% *

Mual/muntah 5,0% 19,4-19,6% *

*rerata tampakan klinis MERS-CoV tidak tertera pada literatur (Rabaan A A, et al. 2020)

2.1.5 Kriteria diagnosis COVID-19

Berdasarkan beratnya kasus menurut PAPDI 2020, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat, dan kritis.

1. Tanpa Gejala :

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.

(9)

2. Ringan

Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.

3. Sedang/Moderat

a. Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan atau,

b. Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).

4. Berat/Pneumonia Berat

a. Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan, atau,

(10)

b. Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

- sianosis sentral atau SpO2<93% ;

- distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada yang sangat berat);

- tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.

- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit;

usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun,

≥30x/menit.

5. Kritis

Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.

2.2 Klorokuin & Hidroksiklorokuin

Klorokuin dan hidroksiklorokuin adalah turunan 4-aminoquinoline yang digunakan dalam pengobatan beberapa penyakit. Klorokuin pertama dikembangkan untuk pengobatan malaria. Hidroksiklorokuin adalah analog β- hidroksilasi dari klorokuin. Kedua obat telah sukses mengobati amebiasis ekstraintestinal, beberapa infeksi HIV, Q fever, zika virus, infeksi fungal dan

(11)

reumatologikal seperti SLE, sindrom antifosfolipid, rheumatoid arthritis, sindrom sjögren (Babayeva M dan Loewy Z, 2020)

(Zhou D, 2020)

Gambar 2.2. Struktur Klorokuin dan Hydroksiklorokuin

Klorokuin ditemukan pada tahun 1934 sebagai obat antimalaria, dan hidroksiklorokuin dikembangkan setelahnya. Potensi hidroksiklorokuin lebih tinggi daripada klorokuin dengan efek samping lebih minim dibandingkan dengan klorokuin, disintesis hampir 20 tahun setelah klorokuin disintesis.

Diketahui bahwa hidroksiklorokuin merupakan obat yang lebih aman dibandingkan dengan klorokuin meskipun keduanya memiliki struktur yang mirip, yang menjadi pembeda adalah molekul cabang hidroksil (OH) pada struktur hidroksiklorokuin. (Schrezenmeier E dan Dörner T., 2020)

2.2.1 Farmakokinetik klorokuin dan hidroksiklorokuin

Klorokuin diadministrasikan dalam bentuk fosfat, dan hidroksiklorokuin dalam bentuk sulfat. Klorokuin dan hidroksikorokuin bersifat basa lemah. Pada penggunaan oral, obat secara cepat diserap pada saluran pencernaan atas, dengan bioavaibilitas tinggi, dan volume distribusi yang tinggi pada darah.

Waktu paruh dari klorokuin dan hidroksiklorokuin lama yaitu 40-60 hari.

Klorokuin dan hidroksiklorokuin bersifat lisosomotropik dan terdeposit pada pada vesikel asam– lisosom dan endosom– terikat pada melanin (mata dan

(12)

kulit). Klorokuin dan hidroksiklorokuin terikat 60% pada protein plasma dan administrasi terdealkilasi pada liver melalui CYP450 menjadi metabolit aktif.

Kedua obat diekskresikan melalui ginjal dan feses (Katzung Betram G, et al.

2012)

Tabel 2.2. Profil Farmakokinetik Klorokuin dan Hidroksiklorokuin

Parameter Klorokuin Hidroksiklorokuin

Tahun ditemukan 1934 1946

Komponen utama 4-aminoquinoline 4-aminoquinoline

Drug class Antimalarial Antimalarial

Chemical nature Basa lemah Basa lemah

Salt for Therapeutic Fosfat Sulfat

Sediaan 250 mg (150 mg base)

500 mg (300 mg base)

200 mg (155 mg base)

Absorbsi Saluran pencernaan atas

2-4 jam 89%

Tidak dipengaruhi makanan

Saluran pencernaan atas 2-4 jam 74%

Tidak dipengaruhi makanan

Bioavaibilitas 0,7-0,8 0,7-0,8

Distribusi Besar 60000 L Besar 47 257 L

Waktu paruh 45 ± 15 d 41 ± 11 d

Metabolisme Tidak dimetabolisme 62%

Sisa terdealkilasi pada hati Enzim cytochrome 450 Aktif metabolit desethilklorokuin 39%

Tidak dimetabolisme 58%

Sisa terdealkilasi pada hati Enzim cytochrome 450 Aktif metabolit

desetilklorokuin 18% dan desethilhidroksiklorokuin 16%

Clearance Ginjal 51% dan hati Ginjal 21% dan hati

Toksisitas

animal 2-3x lebih toksik Lebih aman

cardiac sama Sama

oftalmik Lebih (20% pada 5-7 tahun) Kurang (1% pada 5-7 tahun)

Pregnancy and lactation aman aman

indikasi

Pengobatan malaria Ya Ya

Profilaksis malaria Ya Ya

Reumatologi Tidak direkomendasikan Aman Status for covid19

Invitro antiviral activity Tidak poten pada invitro Lebih poten pada invitro treatment Digunakan pada studi Digunakan pada studi

Aktifitas prophylaxis Ya

(M.S Khuroo. et al., 2020; Schrezenmeier E dan Dörner T., 2020)

(13)

(Schrezenmeier E dan Dörner T., 2020)

Gambar 2.3 Farmakokinetik Klorokuin dan Hidroksiklorokuin 2.2.2 Farmakodinamik klorokuin dan hidroksiklorokuin

2.2.2.1 Klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai antimalaria

Klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan dalam pengobatan dan profilaksis malaria. Mekanisme dari klorokuin dan hidroksiklorokuin melalui aktifitas lisosomotropiknya. Obat terakumulasi dalam vakuola makanan (organel mirip lisososm) parasit, dan menghambat pengubahan heme toksik (pelepasan pencernaan hemoglobin oleh protease parasit menjadi hemozoin non-toxic (pigmen malaria). Parasit mendetoxifikasi heme pada vakuola makanan dengan proses biokristalisasi dan menjadi kristal insoluble besar, dinamakan hemozoin. Obat

(14)

terikat pada heme dan mencegah inkorporasi heme menjadi kristal. Heme bebas yang terakumulasi melisiskan membran dan parasit mati. (Khuroo M S, et al, 2020) 2.2.2.2 Klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai imunomodulator

Obat antimalaria memiliki peran dalam terapi reumatologi.

Hidroksiklorokuin dalam kasus ini lebih digunakan dibandingkan dengan klorokuin karena pasien dengan reumatik membutuhkan terapi jangka panjang dan hidroksiklorokuin memiliki insiden retinopati lebih rendah dibandingkan klorokuin. Hidroksiklorokuin digunakan dalam artitis reumatoid aktif (early mild disease atau digunakan sebagai terapi adjuvant DMARDs), lupus eritematosus sistemik dan diskoid, sindrom sjorgen, sarcoidosis, sindrom antifosfolipid dan dermatosis fotosensitif. Efek terapetik dari hidroksiklorokuin pada kelainan reumatik terkait dengan inhibisi dari berbagai proses imun adaptif dan innate. Obat memiliki efek imunoregulator dan downregulasi sitokin seperti IL1, IL6, IFNα and IFNγ, TNF, dan BAFF (B-Cell activating factor). Klorokuin dan hidroksiklorokuin memiliki efek lisosomotropik dan terakumulasi pada lisosom dan endosom dan meningkatkan pHnya. Obat menghambat enzim lisosomal dan menghambat jalur autofagi dan endositosis. Maka, dengan kerja ini akan menurunkan regulasi presentasi autoantigen (MHC class II-mediated), aktivasi sel T, diferensiasi dan ekspresi molekul ko-stimulator. (Schrezenmeier E & Dorner T, 2020)

2.2.3 Mekanisme kerja klorokuin dan hidroksiklorokuin pada SARS-CoV

Klorokuin dan hidroksiklorokuin memiliki beberapa efek yang dapat berpotensi pada SARS-CoV-2. Obat tersebut dapat menghambat masuknya virus

(15)

kedalam sel. SARS-CoV dan SARS-CoV-2 menggunakan reseptor ACE2 sebagai jalan masuk ke dalam sel. Klorokuin dan hidroksiklorokuin diketahui mengganggu proses glikosilasi dari ACE2 (Singh A.K. et al., 2020), membuat ikatan ACE2 tidak menjadi efisien dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Klorokuin dan hidroksiklorokuin bersifat lisosomotropik, basa lemah, dan bekerja dengan memasuki sel organel endosom asam dan lisosom dengan meningkatkan pHnya.

Kerja ini dapat mengganggu proses penggabungan virus pada sel inang dan replikasi dapat dicegah. Obat dapat mencegah proses presentasi antigen MHC classII mediated. Dengan ini akan menghambat aktifasi sel T, ekspresi CD154, dan downregulasi produksi sitokin. Kedua obat mengganggu TLR-nucleic acid sensor cGAS dan downregulasi proinflamatory genes.

Hidroksiklorokuin dapat meningkatkan ph intraselular dan menghambat aktivitas lisosom pada Antigen Presenting Cell (APC) meliputi sel Plasmacytoid Dendritic Cell (pDCs) dan sel B, menghambat antigen processing (Cytosolic pathway) dan presentasi autoantigen MHC class II terhadap sel T. Proses ini menurunkan aktivasi sel T, diferensiasi dan ekspresi dari protein co-stimulatory (IL-1, IL-6, dan TNF). Saat terjadi perubahan pH pada endosome dan gangguan ikatan toll-like receptor (TLR7 dan TLR9) dan ligan RNA/DNA, sinyal TLR disurpresi dengan pemberian dari Hidroksiklorokuin. Pada sitoplasma Hidroksiklorokuin juga mengganggu interaksi diantara DNA sistosolik dan dan sensor asam nucleus dari siklus GMP-AMP (cGAMP) sintetase (cGAS). Ketika stimulasi dari TLR dan cGAS gen interferon melalui jalur STING (Stimulator of Interferon Genes), yang dihambat oleh Hydroxychloloquine, diikuti dengan

(16)

penurunan aktivasi sinyal inflamatorik dan produksi sitokin seperti interferon tipe 1, IL-1, dan TNF. Mekanisme ini memberikan penjelasan kuat tentang supresi Cytokine Release Syndrome (CRS) atau Cytokine storm, adalah proses produksi berlebih dari sel imun dan sitokin yang menyebabkan rapid multi-organ failure dan kerusakan fetal pada jaringan paru, ginjal, dan hati. (Zhou D, et al., 2020)

(Zhou D, et al., 2020)

Gambar 2.4 Cara kerja klorokuin dan hidroksiklorokuin pada SARS-CoV-2

2.2.4 Efikasi dan Efek Samping Klorokuin dan Hidroksiklorokuin sebagai Antivirus

Klorokuin dan hidroksiklorokuin adalah derivat dari kuinin. Klorokuin disintesis pada tahun 1934 namun masih terbatas penggunaannya akibat efek toksisitas pada manusia. Hidroksiklorokuin sulfat dikembangkan pada tahun 1946 sebagai usaha untuk memproduksi analog klorokuin dengan minim efek toksik.

Studi toksikologi pada hewan mendemonstrasikan hidroksiklorokuin berkurang efek toksik 40% dibandingkan dengan klorokuin. Ditemukan anti inflamasi baru

(17)

analog klorokuin pada World War II. Saat digunakan oleh tentara sebagai antimalaria, peneliti juga menemukan terdapat perbaikan pada peradangan sendi dan dilakukan uji coba (Della Porta A. et al., 2020). Keamanan pada dua agen ini pada administrasi klinis telah ditetapkan. Berdasarkan peran yang telah diketahui pada jalur endositik dan autofagi pada proses infeksi dari SARS-CoV-2, efikasi terapi potensial klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 telah dilakukan clinical trial pada beberapa negara.

Tabel 2.3. Efikasi dan efek samping klorokuin dan hidroksiklorokuin Desain

Penelitian

Perlakuan Temuan Utama Efek Samping Sumber

CQ Studi observasi

n= 100, CQ 500 mg 2x1 sampai hari ke 10 dan SOC

100 pasien menunjukan hasil inhibisi eksaserbasi pneumonia, meningkatkan temuan imaging paru, meningkatkan konversi virus negatif dan memperpendek waktu sakit

- Gao J. et al., 2020

CQ Clinical trial fase I RCT

n=22; 10

kelompok CQ 500 mg/hari, 2x1 dalam 10 hari; 12 kelompok Lopinavir/Ritonav ir 400/100 mg 2x1 dalam 10 hari

Pasien dengan terapi klorokuin mengembalikan fungsi paru lebih cepat dan recovery lebih cepat

Mual muntah

= 4 pasien (18,18%)

Huang M.

et al., 2020

HCQ/

CQ

Clinical trial Fase I (open- label, RCT)

n=48; 18

kelompok CQ, 18 kelompok HCQ, sisa kelompok kontrol

CQ dan HCQ penurunan waktu konversi virus RNA negatif (lebih singkat), TTCR (time to clinical recovery) dan durasi rawat inap

- Diare CQ=3 pasien (16,6%) HCQ = 3 pasien

Chen L. et al., 2020

(18)

(16,6%) Control = 0 - mual CQ=2 pasien (11,1%) HCQ=3 pasien (16,6%) control= 2 (16,6%) -ALT/AST elevasi = CQ= 1 pasien (5,5%) HCQ= 1 pasien (5,5%) Control= 0 HCQ Clinical trial

Fase I (RCT), double blind

n=62; 31 mendapatkan penanganan standart; 31 kelompok penanganan HCQ (400 mg/hari dalam 5 hari)

Memperpendek TTCR dan meningkatkan absorbtion of pneumonia

- Rash/

kemerahan &

sakit kepala HCQ= 6,4%

Kontrol= 0%

Chen Z. et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II

n=211;

mendapatkan HCQ setelah post- exposure

prophylaxis (PEP)

Setelah PEP menggunakan HCQ, uji PCR semua individu menjadi negatif

- Diare, BAB cair = 19 pasien (9%) - skin rash = 9 pasien (4,3%) - bradikardia=

2 orang (0,95%)

Lee SH. et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II, (open-label RCT)

n=30, 15 pasien dalam kelompok kontrol; 15 pasien dalam kelompok HCQ dengan perlakuan dosis

Prognosis pasien derajat sedang COVID-19

membaik. Pada hari ke 7 swab

tenggorok negatif

- Diare dan abnormal liver function HCQ= 4 pasien (26,7%

Chen J. et al., 2020

(19)

400 mg selama 5 hari

pada kelompok HCQ sebanyak 86,7% dan pada kelompok kontrol sebesar 93,3%.

Terdapat progressi radiologis pada CT image pada 5 pasien pada kelompok HCQ (33,3%) dan 7 pasien (46,7%) dalam kelompok kontrol

Kontrol= 3 pasien (20,0%) pada kelompok kontrol

HCQ Studi retrospektif

n=550; 502 mendapatkan penanganan dasar;

48 mendapatkan HCQ

(200mg/hari, 2kali per hari dalam, 7-10 hari)

HCQ secara signifikan

menurunkan resiko kematian dari pasien kritis COVID-19 tanpa toksisitas

- Yu B. et

al., 2020

HCQ + AZ

Clinical trial Fase I (Open- label non-

randomized)

n=42; 26 dalam kelompok HCQ+AZ (600mg/hari), 16 dalam kelompok kontrol

Penanganan pasien dengan HCQ dihubungkan dengan penurunan viral load, efek ini ditingkatkan oleh AZ

- Mual muntah

=2,5%

- diare= 5%

- penurunan pengelihatan (blurred vision)= 1,2%

Gautret P.

et al., 2020

CQ Clinical trial faseII

n=81; 41 dalam kelompok CQ dosis tinggi (600 mg/hari, 10 hari 2x1), 40 dalam kelompok CQ dosis rendah (450 mg/hari, 10 hari 2x1)

Tidak terdapat keuntungan klinis dari penggunaan klorokuin, dan dosis tinggi klorokuin dikaitkan dengan lethality dan pemanjangan QTc interval

- peningkatan kadar CK dan CKMB = 9 pasien (37,5%) dan 7 pasien (31,8%) (pada kelompok dosis tinggi) - QTc>500 ms= 7 pasien (18,9%) (pada

Borba MGS. et al., 2020

(20)

kelompok dosis tinggi) - VT tanpa TdP= 2 pasien (2,7%) (pada kelompok dosis tinggi) HCQ Clinical trial

fase I (multicenter, randomized, open label, controlled trial)

n=33; 21 pada kelompok HCQ, 12 pada kelompok perawatan standart

Tidak ada perbaikan klinis pada kelompok HCQ yang diobservasi

- Pusing= 7 pasien (21,1%) - dizziness= 2 pasien (5,3%) - gastritis= 2 pasien (5,3%) - diare= 2 pasien (5,3%) - mual= 2 pasien (5,3%) - fotofobia= 2 pasien (5,3%) - pemanjangan QTc = 1 pasien (3,03%), pemanjangan pada hari ke 4 429.5 msec (340–467) dan pada hari ke 8 421 msec (391–462)

Chen CP.

et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II (randomized , double blind, placebo controlled trial)

n=821; 414 pasien kelompok HCQ (800 mg dalam 6-8 jam, dilanjutkan 600 mg setiap hari dalam 4 hari) dan 407 pasien kelompok placebo

Tidak ada perubahan signifikan dalam resiko rawat inap dan waktu pulih dari simptom.

Terdapat efek samping pada rerata hari ke 5

- Mual= 80 pasien (22,9%) - diare, muntah, abdominal discomfort=

81 pasien (23,2%)

Boulware DR. et al., 2020

(21)

- iritabilitas, pusing, vertigo

= 19 pasien (5,4%) -pusing= 13 pasien (3,7%) - tinitus= 8 pasien (2,3%) - perubahan visual= 3 pasien (0,9%) - reaksi kulit=

4 pasien (1,1%) HCQ Analisa

retrospektif

n=60; 30 dalam kelompok febuxostat, 30 dalam kelompok HCQ

Tidak nampak efikasi yang signifikan pada simptom klinis

Toksisitas retinal, toksisitas kardiak, pemanjangan interval QTC

Davoodi L. et al.,2020

HCQ Analisis retrospektif

n=37; 28 pada kelompok HCQ, 9 pada kelompok perawatan standart

Tidak ada perbaikan klinis pada kelompok HCQ yang diobservasi

- Chen CP.

et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II (multicenter, RCT)

n=194; 97 dalam kelompok HCQ, 97 dalam

kelompok kontrol

Tidak ada perubahan klinis pada outcome dan mortalitas secara signifikan

- Abd-

Elsalam S.

et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II (RCT open label)

n=89; 44 dalam kelompok HCQ, 45 dalam kelompok favipiravir + interferon β-1b

Tidak ada perbaikan dalam tanda klinis dan simtom, biomarker peradangan, waktu rawat inap, dan mortality rate.

Penggunaan HCQ terbukti tidak ada efek klinis

- Khamis F.

et al., 2020

HCQ Clinical trial fase II (open

n=293; 157 mendapatkan

Tidak ada perubahan

- Mitjà O. et

al., 2020

(22)

label dan RCT)

HCQ (dosis 800 mg sekali, diikuti dosis 400 mg dalam 6 hari sekali dalam sehari), sisanya mendapatkan perawatan standar

signifikan dalam resiko rawat inap dan waktu pulih dari simptom

HCQ Analisis retrospektif

n=1669; 696 pada kelompok HCQ, 973 kelompok perawatan standart

HCQ tidak memiliki manfaat dalam perbaikan mortalitas pada pasien COVID-19;

namun meningkatkan resiko dari mortalitas

- Sands K.

et al., 2020

HCQ + AZ

Studi retrospektif

n=1.438; 735 dalam kelompok HCQ+AZ, 271 dalam kelompok HCQ, 221 dalam kelompok kontrol

ECG abnormal dan tidak ada perbaikan dalam angka kematian dalam rawat inap dibandingkan dengan kelompok kontrol

- Diare HCQ+AZ

=85 (11,6%) HCQ=22 (17,0%)

- Pemanjangan QT

HCQ + AZ=

11,6%

HCQ=

(14,4%)

Rosenberg ES. et al., 2020

HCQ + AZ

Studi retrospektif

n=251; semua pasien mendapatkan HCQ+AZ, HCQ diberikan 400 mg sekali diikuti 200 mg pada 4 hari 2x1, AZ 500 mg/hari, diberikan satu kali untuk 5 hari

Pemanjangan QTC interval dan induksi dari torsade de pointes, monitoring ketat interval QTc dilakukan pada pemberian terapi ini

Pemanjangan QTc interval

>500 ms dengan durasi QRS<120 ms=

28 pasien (13%)

↑QTc interval

>60ms= 51 (20%)

Chorin E.

et al., 2020

(23)

Polimorfik VT (suspek TdP)=

1 orang (0,4%) HCQ+

AZ

Studi kohort n=1.941.802;

956.374 pada kelompok HCQ, dan 310.35 dalam kelompok sulfasalazine, 323.122 dalam kelompok HCQ+AZ dan 351.956 dalam kelompok HCQ+amoxicilin

Kombinasi dari AZ dan HCQ

meningkatkan resiko gagal jantung dan mortalitas kardiovaskular

Nyeri dada angina; gagal jantung;

kematian kardiovaskular

Lane J.C et al., 2020

HCQ+

AZ

Studi retrospektif

n=368; 97 dalam kelompok HCQ, 113 dalam kelompok HCQ+AZ, 158 dalam kelompok tanpa HCQ

Tidak ada penurunan resiko dalam penggunaan ventilasi mekanik setelah pemberian obat

- Magagnoli

J. et al., 2020

(Asmarani, Elisa. 2020)

Tabel 2.4. Interaksi terhadap obat klorokuin dan hidroksiklorokuin Pemanjangan QT

Makrolide (azitromisin, eritromisin, klaritromisin)

Memiliki efek aditif/sinergistik pada pemanjangan interval QT, meningkatkan aritmia toksik, polimorfik ventrikular fibrilasi dan kematian

Kuinolon (ciprofloksasin, levofloksasin) Antiaritmia (amiodaron dan sotalol) Antifungal (ketokonazol dan flukonazol) Antidepresan (amitriptilin dan dotiepin) Antiemetik (ondansetron, granisetron) Menghambat enzim sitokrom 450

Simetidin Meningkatkan kadar klorokuin dan

hidroksiklorokuin dan toksisitas Ditilazem dan verapamil

Fluoxetin (prozac), paroxetine (paxil) Metronidazol (flagyl)

Obat yang tereliminasi melalui P-glcoprotein (P-gp) eliminator pathway (CQ dan HCQ menghambat P-gp

Digoksin Meningkatkan kadar digoksin dan siklosporin

dan memerlukan monitoring ketat Siklosporin

Kompetisi metabolisme CQ dan HCQ

Metoprolol Meningkatkan bioavaibilitas dari metoprolol

Tamoksifen Meningkatkan resiko retinopati

(24)

Metotrexat Menurunkan absorbsi metotrexat dan hepatotoksisitas

Menurunkan absorbsi CQ dan HCQ melalui ikatan atau mengubah pH gastrik

Antasida, kaolin dan PPI Menurunkan absorbsi klorokuin dan hidroksiklorokuin, beri jarak 4 jam diantara dua kelas obat

(M.S. Khuroo. et al., 2020)

Referensi

Dokumen terkait

(1) Saham yang dibeli kembali oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam

Berikut contoh cara menganalisis kerusakan pada SDN Karanggayam berdasarkan Penilaian Kerentanan Gedung dengan Kajian Cara Cepat Keamanan Bangunan Tembokan Sederhana Satu

Metode menyuntikkan nutrien berupa cairan ke dalam amnion embrio ( in ovo feeding) , menyebabkan embrio tersebut secara alami mengkonsumsi nutrien tersebut secara oral sebelum

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap guru dan telah dijabarkan maka, diberikanlah penyelesaian masalah untuk dilakukan pegembangan media pembelajaran yang

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (2009 : 48), menyebutkan bahwa tingkat

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES (SW-MI) PADA MATERI FLUIDA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA SMA/MA Abstrak

Untuk mendeskripsikan perbedaan hasil belajar bidang studi Agama antara siswa kelas IVD dengan IVE dalam implementasi kurikulum 2013 di MIN Kauman Utara Jombang

EVALUASI KINERJA SISTEM INFORMASI  MANAJEMEN DITINJAU DARI ASPEK PERSEPSI  PENGGUNA DALAM MENDUKUNG PROSES  MANAJEMEN DI RUMAH SAKIT PKU  MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA