• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana berasal dari istilah hukum Belanda yakni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana berasal dari istilah hukum Belanda yakni"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Lingkungan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah hukum Belanda yakni

“strafbaarfeit”. Strafbaarfeit terdiri dari tiga kata yaitu straf, baar dan feit.

Straf diterjemahkan dengan hukum atau pidana, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh serta feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.13 Pada umumnya suatu rumusan tindak pidana memuata beberapa hal: 1) Subjek hukum yang menjadai sasaran norma tersebut (addressaat norm); 2) Perbuatan yang diarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan 3) Ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.14

Tindak pidana merupakan perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum yakni hukum pidana. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Prof.

Moeljatno yang menyatakan bahwa:15

“Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

13 Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1. Jakarta. Penerbit Raja Grafindo Persada. Hlm. 67

14 Chairul Huda, Pola Pemberatan Ancaman dalam Hukum Pidana Khusus, Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 21 Oktober 2010, hlm. 101

15 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.. 71

(2)

tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.”

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.16

2. Pengertian Tindak Pidana Lingkungan

Adapun mengenai delik lingkungan (millieudelicten) dapat diartikan sebagai perintah dan larangan perundang-undangan kepada subjek hukum yang apabila dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana seperti pemenjaraan atau dan denda, bertujuan agar melindungi lingkungan hidup seperti udara, air, hutan satwa, dan manusia. Dengan pengertian yang demikian, delik lingkungan pada dasarnya tidak hanya dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2009, melainkan juga tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pokoknya.17

16 Andi Hamzah, 2001 Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. hlm. 22

17 Takdir Rahmadi, 2019, Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta: PT. Raja

(3)

UU No. 32 Tahun 2009 memuat ketentuan pidana dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Dalam undang-undang ini terdiri dari dua jenis delik pidana, yakni delik materil dan delik formil. Delik materil (matereel delict) yang dimaksud adalah delik yang dianggap telah selesai dengan timbulnya akibat yang dilarang dan diacam oleh perundang-undangan, lebih berorientasi pada akibat konstitutifnya. Sedangkan delik formil (formeel delict) adalah delik yang dianggap selesai terhadap dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam oleh perundang-undangan, karena itu lebih menekankan pada perbuatannya.18

Dalam menguraikan suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) unsur yang ada yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar pelaku yang dapat berupa, misalnya;

1) Perbuatan baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat; 2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil; dan 3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang serta diancam oleh undang-undang.19 Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri sang pelaku yang dapat berupa, misalnya:20

a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan oleh seseornag yang melakukan suatu tindak pidana (pertanggungjawaban pidana);

18 Syamsul Arifin, 2012, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indoesia, Jakarta: PT. Soft Media, hlm. 218-219

19 Tongat, 2015, Hukum Pidana Materril. Malang, Penerbit UMM Press, hlm. 3-4

20 Ibid., hlm. 5

(4)

b. Kesalahan atau schuld yang dapat dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab apabila dalam diri seseorang tersebut memenuhi tiga syarat, yaitu:

1) Seseorang tersebut harus bisa menilai perbuatan (baik dan buruk);

2) Seseorang tersebut harus bisa menentukan kehendak atas perbuatan yang ia lakukan; dan

3) Seseorang tersebut harus bisa menyadari perbuatan mana yang dilarang dan tidak dilarang menurut undang-undang

B. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat 1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Istilah Masyarakat Hukum Adat telah digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undagan diantaranya aialah UU No. 5 Tahun 1950 tentang Agraria, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan lain sebagainya. Istilah masyarakat hukum adat juga dikenal dalam kajian tentang hukum adat (adatrecht) yang pertama kali dikenalkan oleh Cornelis Van Vollenhoven.

Pengertian Masyarakat Hukum Adat baik secara yuridis maupun secara doktrinal mendapat rumusan yang berbeda.

Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Ter Haar ialah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang

(5)

terlihat maupun yang tidak terlihat.21 Sedangkan menurut Hazairin masyarakat hukum adat ialah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah air bagi semua anggotanya.22 Juga para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.23 Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat.24

Secara yuridis pengertian Masyarakat Hukum Adat diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan

21 Mr. B. Ter Haar Bzn, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: PT. Pradnya Paranita, hlm. 7

22 Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Ke-II, Jakarta: PT. Rajawali Press, hlm. 108

23 Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hlm. 30

24 Maria Rita Ruwiastuti, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Yogyakarta; Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, hlm. 177

(6)

hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. International Labour Organization dalam Konvensi ILO No.

169 Tahun 1989, merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.

Dari beberapa pengertian Masyarakat Hukum Adat tersebut maka, dalam penelitian ini penulis mengartikan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim dan menguasai wilayah geografis tertentu, dan memiliki ikatan karena asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum.

(7)

2. Kriteria Masyarakat Hukum Adat

Selanjutnya perlu untuk dipaparkan kriteria masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat. Menurut H.M. Koesnoe25 menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya memperhatikan hal-hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut:

a. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan satu kesatuan yang terorganisir.

b. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.

c. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa generasi).

d. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum.

e. Bagaimana menurut tradisinya asal–usul kelompok itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya.

Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (2) Permendagari No. 52 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:

a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;

b. wilayah Adat;

25 H. M. Koesnoe, 2000, Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya: Ubaya Press, hal. 34

(8)

c. hukum Adat;

d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Menurut pasal ini bahwa untuk dalam proses pemberian pengakuan atas masyarakat hukum adat, dilakukan identifikasi terhadap masyarakat hukum adat dengan acuan sebagaiman disebut diatas. Maka poin-poin tersebut dipadankan oleh penulis sebagai kriteria keberadaan Masyarakat Hukum Adat.

Apabila unsur-unsur pengertian masyarakat hukum adat dipadukan dengan kriteria masyarakat hukum adat sebagaimana yang telah dipaparkan, maka didapat kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut:26

a. Terdapat masyarakat yang teratur;

b. Menempati suatu tempat tertentu;

c. Ada kelembagaan;

d. Memiliki kekayaan bersama;

e. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;

f. Hidup secara komunal dan gotong royong.

C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim

Menurut Sudikno Mertokusumo arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

26 Syarifah M, 2010, Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu Hukum, Program Studi

(9)

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.27 Dalam peradilan pidana, Pasal 200 KUHAP memberikan arti bahwa putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam KUHAP.

Berdasarkan arti yang ditentukan KUHAP tersebut terdapat 2 (dua) hal, yaitu mengenai tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Pertama, dalam hal tata cara pengucapan putusan definisi tersebut mengatakan bahwa putusan tersebut harus diucapkan oleh Majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedua, putusan akhir dalam definisi ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu: putusan pemidanaan, putusan bebas dari dakwaan, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Terkait bentuk-bentuk putusan ini akan diuraikan lebih lengkap dalam uraian berikutnya.

Pada dasarnya putusan pengadilan dibagi menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah putusan akhir atau eind vonnis, yang menurut definisi gramatikalnya merupakan putusan yang mengakhiri perkara. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan bilamana telah dilalui proses persidangan yang dimulai dari pernyataan persidangan terbuka untuk umum sampai pernyataan pemeriksaan ditutup. Jenis putusan inilah yang didefinisikan oleh KUHAP

27 Moh. Taufik Makarao, 2009, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 124

(10)

sebagai putusan pengadilan. Kedua, putusan yang bukan putusan akhir, jenis putusan ini diajukan sebelum persidangan berakhir, dapat berupa penetapan atau putusan sela (tussen vonnis) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Adapun jenis-jenis putusan yang berkaitan dengan permohonan kasasi atau peninjauan kembali secara umum terbagi atas 3 (tiga) jenis, yakni putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, putusan yang menyatakan permohonan ditolak, dan putusan yang menyatakan permohonan diterima.

Pengertian putusan dalam penelitian ini adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam proses peradilan yang vonis untuk mengakhir sebuah kasus pidana. Uraiakan ini dipaparkan untuk memberikan batasan makan terhadap putusan pengadilan.

2. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan Menurut Sifatnya a. Putusan Pemidanaan

Pengaturan terkait putusan pemidanaan ini terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa bila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Rumusan pasal tersebut mendapat catatan kritis dari para ahli, Andi Hamzah dan Irdan Dahlan mengatakan bahwa seharusnya setelah kata “kepadanya” ditambahkan dengan “dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.” Hal ini disebabkan karena ada perbuatan yang telah terbukti dengan sah dan meyakinkan tetapi tidak

(11)

dapat dipidana misal dengan adanya alasan pemaaf atau terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan.28

Putusan pemidanaan menurut Yahya Harahap sebagai ukuran dapat dibuktikannya suatu perbuatan dan kesalahan terdakwa maka proses pembuktian harus memenuhi 2 (dua) asas, yaitu memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Bewijstheorie) dan memenuhi asas batas minimum pembuktian.29

b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan lepas sari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan berupa pelepasan terdakwa dijatuhkan bila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Sebagai contoh misalnya adanya suatu hubungan keperdataan yang terkait dengan masalah wanprestasi yang oleh penuntut umum malah dibawa kedalam persidangan pidana. Hal ini disebabkan karena penuntut umum menilai perkara tersebut termasuk dalam lingkup tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 387 KUHP.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum juga dapat dijatuhkan bilamana terdapat unsur-unsur penghapus pidana, baik unsur penghapus umum atau unsur penghapus khusus, baik yang menyangkut perbuatannya

28 Andi Hamza dan Irdan Dahlan, Op.Cit., hlm. 12

29 Evasari M. Pangaribuan, Kajian Terhadap Alasan-Alasan Pengajuan Permohonan Upaya Hukum Kasasi Atas Putusan Bebas dalam Doktrin dan Praktik Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 892 K/Pid/1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor 759 K/Pid/1984, Mahakamah Agung Nomor 1455 K/Pid/2002, dan Putusan Mahakamah Agung Nomor 1384 K/Pid/2007), Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Sarjana Reguler Program Kekhususan Praktisi Hukum, 2009, hlm. 15-16

(12)

sendiri ataupun menyangkut diri pelaku. Unsur-unsur penghapus pidana secara umum oleh doktrin dibagi menjadi dua jenis berbeda, yaitu yang menjadi alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) dan yang menjadi alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).30 Yahya Harahap berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

1) Segi Pembuktian

Putusan lepas dapat dijatuhkan bila apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dari kualifikasi pembuktian negatif menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHP. Meskipun demikian, perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan tindak pidana. Artinya perbuatan tersebut tidak diatur dan tidak berada dalam lingkup hukum pidana tapi berada dalam lingkup hukum lain.

2) Penuntutan

Pada hakekatnya terjadi karena apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan perbuatan tindak pidana, atau hanya dalam bentuk quasi pidana.31

Sebagai konsekuesi dari dijatuhkannya putusan lepas dari tuntutan hukum ini, maka terdakwa tidak menjalani hukuman atau tidak dapat dipidana.

Sehingga bilamana sebelum putusan dijatuhkan putusan telah berstatus tahanan, maka dalam risalah putusan harus dibarengi dengan perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan sesuai dengan tata cara yang diatur berdasarkan Pasal 191 ayat (3) dan Pasal 192 KUHAP.32

c. Putusan Berupa Pembebasan dari Segala Dakwaan

Putusan bebas dari segala dakwaan atau pembebasan terdakwa atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum merupakan istilah yang berasal dari

30 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, hlm. 165

31 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 352

(13)

bahasa Belanda yaitu “Vrijspraak”.33 Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas dari segala dakwaan adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan persidangan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya dinyatakan tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.

Menurut Yahya Harahap dengan bertitik tolak dari Pasal 183 KUHAP yang dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa putusan bebas dari segala dakwaan salah satunya adalah tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Terdapat beberapa alasan sehingga dikatakan demikian, yaitu:

1) Kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.

2) Secara nyata hakim menilai pembuktian terhadap kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misal: alat bukti yang diajukan hanya seorang saksi yang kemudian otomatis bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan adanya prinsip unus testis nullum testis (seorang saksi bukan saksi).

3) Dapat didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim sehingga meskipun secara formal

33 Vrijspraak berarti pembebasan dalam perkara pidana, atau memutuskan pembebasan terhadap tuduhan, atau dinyatakan tidak terbukti melakukan peristiwa yang dituduhkan. Ibid., hlm.

864

(14)

dapat dinilai cukup terbukti, tidak dapat membuat kesalahan terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak adanya keyakinan hakim ini.34

D. Tinjauan Umum Tentang Teori Keadilan

Jika ditelaah secara etimologis dalam Bahasa Indonesia keadilan berasal dari kata “adil” dengan awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata “adil” itu sendiri berasal dari Bahasa Arab“al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata- kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dan sebagainya.35

Hukum tidaklah identik dengan keadilan. Peraturan hukum tidaklah selalu mewujudkan keadilan. Pada hakekatnya tidak ada undang-undang yang sempurna, bahkan justru ada ketidakadilan dalam undang-undang yang resmi berlaku (gesetzliches unrecht) tapi sebaliknya ada pula keadilan di luar undang- undang (uebergesetzliche recht).36 Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh

34 Ibid., hlm. 348

35 Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls), http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 27 April 2017.

36 Muhammad Arif Sahlepi, 2009, Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana, Tesis,

(15)

kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatana politik untuk mengaktualisasikannya.37

Konsep keadilan juga dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.38 John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.39

Rawls memberikan pandangannya yakni untuk mencapai suatu keadilan, disyaratkan sekaligus adanya unsur keadilan substansif (justice) yang mengacu kepada hasil dan unsur keadilan prosedural (fairness). Atas dasar demikian muncullah istilah justice as fairness, meskipun dari istilah justice as fairness tersebut mengandung arti bahwa unsur fairness mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya. Apabila unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan demikian unsur fairness atau keadilan prosedural sangat erat hubungannya dengan keadilan substantif.40

37 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, hlm. 239.

38 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1, April 2009, hlm. 135.

39 Ibid, hlm. 139-140.

40 John Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford University press, London: Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.12.

(16)

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yakni sila kelima yang berbunyi: “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan, mana yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila itu. Kahar Masyhur memberikan tiga hal tentang pengertian adil:41

a. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

b. adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.

c. adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

Berdasarkan teori keadilan yang disebutkan di atas maka teori keadilan yang digunakan utama adalah teori keadilan dari John Rawls berkaitan dengan keadilan substansif (justice) dan keadilan prosedural (fairness). Mengingat teori-teori keadilan Rawls sangat abstrak maka dalam penelitian ini didukung oleh penjabaran teknis terhadap teori keadilan itu melalui indikator atau parameter untuk menilai dasar putusan hakum.

Penulis dalam hal ini meminjam parameter keadilan prosedural dan keadilan substansial menurut Salam Luthan dan Muhammad Syamsudin.

Paramteri tersebut secara garis besar terdiri dari objektif, jujur, imparsial dan

(17)

rasional (logis) yang isinya diurikan secara lebih lengkap pada tabel berikut ini:42

Tabel II.

Parameter Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural Keadilan Substantif Keadilan Prosedural Asumsi Dasar:

Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).

Asumsi Dasar:

Keadilan prosedural adalah keadilan yang terkait dengan perlindungan hak-

hak hukum para pihak

penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan) dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan

Penjabarannya: Penjabarannya:

Apakah hakim menggunakan yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan?

Apakah putusan hakim sudah memuat hal hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG?

Apakah putusan hakim menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan?

Apakah putusan hakim sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam memutuskan perkara?

Apakah amar putusan hakim merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan fakta dan hukum?

Apakah penerapan hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?

Apakah konklusi dalam putusan hakim ini sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang

dipaksakan?

Apakah hakim sudah memuat secara proporsional antara argumen penggugat dan tergugat di dalam pertimbangannya?

Dalam menetapkan amar putusan, apakah teridentifikasikan adanya pertimbangan faktor faktor non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif, lingkungan, religius)?

Apakah hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PN (dalam pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan?

42 Salam Luthan dan Muhammad Syamsudin, 2013, Kajian Putusan-Putusan Hakim Untuk Menggali Keadilan Substantif dan Prosedural, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Direktorat Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, hlm. 30-40. Lihat juga dalam M.

Syamsudin, Keadilan Prosedural dan Substantif dalam Putusan Sengketa Tanag Magersari (Kajian Putusan Nomor 74/PDT.G/2009/PN.YK), Jurnal Yudiasl Vil. 7 No. 1, April 2014, hlm. 28

(18)

Parameter tersebutlah yang digunakan sebagai dasar atau pisau analisis putusan a quo sebagai objek kajian. Penggunaan parameter tersebut bertujuan agar teori keadilan dapat digunakan secara praktis dan tidak sebatas teori-teori umum.

Adapun manfaatnya ada analisis akan menjadi lebih jelas dan detail karena sudah tersedia parameter untuk mengukur apakah putusan hakim cenderung pada keadilan substansial atau keadilan prosedural.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Dalam penelitian ini ada beberapa dokumen yang dijadikan sumber data penelitian yaitu dokumen mengenai keadaan tenaga pengajar khususnya guru mata pelajaran

Konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi

Sebaliknya hubungan antara kekuatan lentur dengan tekan tergantung dengan tipe agregat kasar yang digunakan (kecuali beton mutu tinggi), karena sifat agregat

Penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan dan determinasi bahan, pembuatan simplisia, pemeriksaan parameter standar simplisia, ekstraksi, penetapan kadar

Satu lidi kapas spesimen berisi usap dubur dari tabung Carry Blair diinokulasi pada media TCBS, dan satu lidi kapas yang kedua dimasukkan ke dalam tabung media APW