• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologinya:

a. Diabetes tipe 1: destruksi sel β

b. Diabetes tipe 2 : defek progresif sekresi insulin c. Diabetes tipe spesifik lainnya:

1. Defek genetik dalam fungsi sel β, aksi insulin 2. Penyakit eksokrin pankreas

3. Karena obat atau zat kimia

d. Diabetes mellitus gestational (ADA, 2010).

DM tipe 2 merupakan DM yang paling umum (90% dari seluruh kasus diabetes), awitan biasanya pada usia di atas 40 tahun meskipun insidensi pada anak-anak dan remaja bisa meningkat pada obesitas, atau inaktif. Faktor resiko DM tipe 2 meliputi: riwayat keluarga DM tipe 2 (1/4 – 1/3 dari semua individu dengan DM tipe 2 mempunyai riwayat keluarga), usia diatas 40 tahun, kelebihan lemak badan (terutama sekali di

(2)

commit to user

sekitar pinggang), merokok, cara hidup duduk terus, inaktif, pola makan tinggi lemak dan tinggi kalori, kadar kolesterol HDL < 35 mg/dl, kadar trigliserida > 250 mg/dl, tekanan darah > 140/90 mmHg, riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram, riwayat DM gestational, riwayat gangguan toleransi glukosa, dan riwayat penyakit kardiovaskuler.

Penggunaan obat-obat neuroleptik Clozapine, Olanzapine, atau Quetiapine juga telah diketahui meningkatkan resiko DM tipe 2 (Waspadji, 2000).

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Konsensus DM, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding

(3)

commit to user

dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (Konsensus DM, 2011).

Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan terbagi menjadi:

a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Konsensus DM, 2011).

Pilar penatalaksanaan DM terdiri dari: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau

(4)

commit to user

suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (Konsensus DM, 2011).

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.

b. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.

Dinyatakan gagal bila dengan terapi 2-3 bulan tidak mencapai target HbA1c <7%.

c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa

(5)

commit to user

darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat- alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.

d. Pemeriksaan Glukosa Urin

Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

e. Pemantauan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL).

Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil.

Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal dibutuhkan perubahan perilaku, di samping juga dilakukan edukasi bagi pasien dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan motivasi.

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, diabetes mellitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati, yaitu: retinopati diabetik, nefropati diabetik, maupun makroangiopati,

(6)

commit to user

yaitu: pembuluh darah jantung dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, pembuluh darah tepi biasanya menyebabkan gejala claudicatio intermittent dan ulkus iskemik kaki, pembuluh darah otak menyebabkan

infark cerebri (Silbernagi & Lang, 2007).

Untuk mencegah timbulnya komplikasi, selain kadar glukosa darah harus terkendali, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal.

Biasanya pada pasien DM diberikan obat-obatan untuk hipertensi dan hiperlipidemia, misalnya beta-blocker, metyldopa, dan statin, yang mana obat-obatan ini termasuk dalam kategori drugs induced depression (West Midlands, 2003). Padahal adanya gejala depresi dapat memperburuk kontrol gula darah. Oleh karena itulah diperlukan suatu pengelolaan yang holistik.

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya) (Konsensus, 2011). Dari penelitian Sunardi (2009) didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara kepatuhan klien Diabetes Mellitus dalam menjalankan terapi diet dengan kadar gula darah, sehingga pasien diabetes tetap harus mematuhi diet disamping obat-obatan. Keefektifan TNM telah terbukti menurunkan A1C 1% pada diabetes tipe 1 kasus baru, 2% pada diabetes tipe 2 kasus baru dan 1% pada diabetes tipe 2 durasi waktu empat tahun (Maryniuk & Christian, 2008).

(7)

commit to user

Sebesar 80-90% pasien diabetes tipe 2 mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Diabetes tipe 2 pada anak dan remaja meningkat secara paralel dengan kenaikan obesitas. Terapi Gizi Medis adalah landasan manajemen diabetes. Keefektifannya untuk mengurangi A1C sebesar 1-2% telah dibuktikan, sehingga semua anggota tim perawatan medis perlu memahami unsur-unsur dasar TNM untuk memperkuat rencana perawatan (Maryniuk & Christian, 2008).

2. Depresi

Gangguan depresi sangat dikenal di masyarakat umum dan merupakan salah satu penyebab penyakit global. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 depresi akan

naik dari urutan ke-4 menjadi urutan ke-2 di bawah penyakit jantung iskemik sebagai penyebab disabilitas. Depresi juga mempengaruhi morbiditas dan mortalitas sejumlah penyakit somatik (Jain, 2004).

Beberapa gejala Gangguan Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur (Amir, 2005).

Penyebab suatu kondisi depresi meliputi:

a. Faktor organobiologis karena ketidakseimbangan neurotransmiter di otak (serotonin, dopamin, GABA, dan glutamate), dapat pula terjadi disregulasi aksis HPA.

b. Faktor psikologis karena tekanan beban psikis, dampak pembelajaran perilaku terhadap suatu situasi sosial.

(8)

commit to user

c. Faktor sosio-lingkungan misalnya karena kehilangan pasangan hidup, kehilangan pekerjaan, paska bencana, dampak situasi kehidupan sehari-hari lainnya (Amir, 2005).

Pengalaman yang berbentuk stressor tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik, kemudian bagian otak ini akan mengirim pesan ke tubuh. Target adalah kelenjar adrenal melalui aksis HPA.

Akibat stressor dapat terjadi hiperaktivitas aksis HPA. Hiperaktivitas ini dapat menyebabkan sesorang rentan terhadap depresi (Amir, 2005).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV - Text Revision (DSM IV-TR) (American Psychiatric Association, 2000), seseorang menderita gangguan depresi jika lima (atau lebih) gejala di bawah telah ada selama periode dua minggu dan merupakan perubahan dari keadaan biasa seseorang; sekurangnya salah satu gejala harus (1) emosi depresi atau (2) kehilangan minat atau kemampuan menikmati sesuatu.

a. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau pengamatan orang lain (misal:

terlihat sedih).

b. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain).

(9)

commit to user

c. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir tiap hari.

d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan kegelisahan atau merasa lambat).

f. Perasaan lelah atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.

g. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar (bisa merupakan waham) hampir setiap hari.

h. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau sulit membuat keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain).

i. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati), berulang-kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri.

Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar dan signifikan sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau area penting dalam kehidupan seseorang (DSM IV-TR).

(10)

commit to user

Saat seseorang mendapatkan diagnosis penyakit terminal, menurut Kubler Ross ada 5 tahap kedukaan (stages of grief) yang terjadi:

a. Penyangkalan

Ini adalah reaksi yang pertama kali saat seseorang mendapatkan diagnosis penyakit terminal, di mana hal ini merupakan reaksi mekanisme pertahanan yang alami ketika harus menghadapi sesuatu yang tidak pernah diperkirakan.

“Padahal saya merasa sangat sehat, hal itu tidak mungkin terjadi”.

Tahap penyangkalan adalah mekanisme jiwa yang protektif untuk membantu kita menyerap berita tragis dengan lambat sehingga kita tidak seluruhnya tenggelam di dalamnya.

b. Kemarahan

Kemarahan, kejengkelan menggantikan penyangkalan sebagai dampak ketika menyadari adnya penyakit yang didiagnosis pada dirinya.

“Ini tidak adil. Aku tidak melakukan apapun sehingga pantas mendapatkannya”.

c. Menawar

Seseorang mencoba menawar kepada Tuhan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih lama.

“Perkenankan aku hidup lebih lama lagi untuk melihat kelahiran cucuku, aku akan melakukan apapun jika Engkau memberiku waktu beberapa tahun lagi”.

(11)

commit to user d. Depresi

Pada tahap ini seseorang telah menyerah untuk menawar dan menyadari bahwa kematian akan datang. Hal ini terasa menyedihkan dan sulit ketika seseorang mengingkari bahwa dirinya akan meninggalkan kehidupan, sehingga kemudian meratapinya.

“Aku akan mati, mengapa aku susah payah mencoba untuk tetap hidup”.

e. Menerima

Seseorang telah menerima bahwa kematian akan datang dan sekarang adalah saatnya untuk menemukan beberapa langkah untuk berdamai dengan proses tersebut.

“Kematian akan datang, tapi aku akan baik-baik saja”.

Tahapan ini membantu kita mengidentifikasi apa yang mungkin dirasakan ketika mendapatkan suatu diagnosis penyakit terminal. Namun hal ini tidak berhenti pada garis waktu linier dan tidak semua orang mengalami semua tahapan tersebut.

3. Depresi dan DM

Depresi lebih sering terjadi pada penderita DM bila dibandingkan dengan pada populasi (Anderson et al., 2001). Depresi menyebabkan tingginya kadar glukosa, dan berpengaruh terhadap pengontrolan kadar glikemia. Selain itu risiko komplikasi seperti nefropati, neuropati, dan retinopati meningkat akibat depresi (De Groot, 2001).

(12)

commit to user

Penelitian Putranto R. (2007) di RSCM, menyebutkan proporsi depresi pada pasien diabetes melitus tipe II sebesar 41% dan didapatkan perempuan lebih banyak daripada pria. Jenis kelamin perempuan secara berbeda bermakna lebih banyak menderita DM tidak terkontrol dibandingkan pria. Subjek dengan glukosa darah tidak terkontrol memiliki kejadian depresi lebih tinggi dibanding yang terkontrol. Pada penelitian ini didapatkan hasil depresi berhubungan dengan kontrol gula darah yang buruk, lama menderita DM kurang dari 5 tahun dan adanya stresor psikososial (Putranto & Mudjaddid, 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi dapat mencetuskan diabetes tipe 2. Beberapa kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskannya adalah:

a. Depresi berhubungan dengan perubahan neurohormonal, meliputi aktivasi aksis HPA dan sistem simpatoadrenal dan perubahan aksis hipotalamus-hormon pertumbuhan. Hal ini menyebabkan peningkatan dalam konter regulasi hormon - kortisol, katekolamin, dan hormon pertumbuhan – yang merupakan antagonis efek hipoglikemik dari insulin, menyebabkan resisten insulin.

b. Depresi berhubungan dengan perubahan transpor glukosa.

c. Depresi menyebabkan peningkatan aktivasi inflamasi dan sitokinemia kronik yang dapat menyebabkan insulin resisten dan terganggu.

(13)

commit to user

d. Depresi dapat menyebabkan dampak buruk pada faktor perilaku seperti diet, aktivitas fisik, kepatuhan pengobatan, dan merokok, yang dapat meningkatkan resiko diabetes tipe 2.

e. Penggunaan antidepresan berhubungan dengan peningkatan berat badan dan obesitas yang merupakan faktor predisposisi diabetes tipe 2 (Golden et al., 2007).

Disregulasi aksis HPA tidak hanya terjadi pada depresi, tapi juga terjadi pada diabetes. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kortisol meningkat pada pasien diabetes dibandingkan kontrol yang sehat dan adanya komplikasi diabetes seperti neuropati dan retinopati juga berhubungan dengan peningkatan tingkat kortisol (van Tilburg, Georgiades, Surwit, 2008).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aspek psikologis pasien diabetes, seperti umur, jenis kelamin, tempat tinggal, dukungan keluarga dan lingkungan sosial, motivasi, kepuasan hidup, dan gaya hidup (Adili et al., 2006).

Pasien diabetes dan anggota keluarganya dapat menunjukkan gejala psikiatrik pada beberapa tahap dari manajemen diabetes, termasuk reaksi pada awal diagnosis, pada saat komplikasi muncul (misalnya, neuropati, retinopati), atau ketika intensifikasi dari rejimen pengobatan dibutuhkan seperti mulai menyuntik insulin. Sebaliknya, stres kronis dan gejala psikiatrik yang nyata dapat mengganggu kepatuhan perawatan diri

(14)

commit to user

(misalnya, diet, olahraga, minum obat, berhenti merokok) dan pengendalian penyakit diabetes (Katon & Ciechanowski, 2009).

Diagnosis diabetes dapat teramat mengejutkan, dan dapat menimbulkan distres emosional yang serius pada pasien maupun keluarganya. Komplikasi seperti problem penglihatan atau amputasi dapat menimbulkan reaksi psikologis yang amat besar, berkisar dari kemarahan dan rasa bersalah hingga apatis dan depresi. Pada tahap ini, pasien cenderung menghentikan perawatan diri. Pasien diabetes memerlukan waktu untuk menyesuaikan bahwa mereka memiliki penyakit kronik dan harus belajar untuk hidup dengannya. Untuk mencegah komplikasi pasien harus bertanggungjawab atas perilaku sehari-hari dalam rangka manajemen penyakitnya, dalam situasi yang berbeda dan selama periode waktu yang lama. Melakukan tugas perawatan diri dan selalu berpikir tentang apa yang dapat atau tidak dapat dimakan adalah sesuatu hal yang berat. Kepatuhan terhadap penatalaksanaan ini adalah sesuatu yang rumit oleh karena fakta bahwa hal tersebut seringkali bukanlah ‘pay off’- di mana pasien hanya mendapatkan sedikit atau bahkan tidak ada feedback yang positif dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat menurunkan motivasi, terutama pasien muda, yang lebih memikirkan saat ini dan di sini daripada waktu yang akan datang. Juga, perilaku „baik‟ tidak selalu berarti menghasilkan sesuatu yang baik, dan hal inilah yang merupakan penyebab frustasi yang dapat menimbulkan ‘diabetes burnout’ (Dasanayake, 2009).

(15)

commit to user

Depresi berhubungan dengan obesitas yang parah, penurunan aktivitas fisik, dan perawatan diri yang buruk, semuanya merupakan faktor resiko untuk diabetes. Lebih lanjut, depresi dapat merupakan suatu keadaan “stres kronik” yang berhubungan dengan hiperkortisolemia (Lyketsos, 2010). Peningkatan kadar kortisol menyebabkan gangguan sensitivitas insulin dan penumpukan distribusi lemak di area pinggang.

Kelebihan lemak pinggang diketahui merupakan faktor resiko diabetes (Khan, 2007).

Disregulasi sistem simpatoadrenal pada pasien depresi menyebabkan hipersekresi katekolamin, termasuk norepinefrin, dari medula adrenal. Pada tingkat seluler, peningkatan norepinefrin dapat menyebabkan peningkatan nuclear factor-κB (NF-κB), yang merupakan marker cellular oxidative stress. NF-κB berperan penting dalan pengaturan gen yang berhubungan dengan perkembangan penyakit kronik seperti diabetes (Muskin, 2010). Penelitian epidemiologi longitudinal selama lima tahun yang dilakukan oleh Campayo, et al pada orang berusia ≥55 tahun menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan 65% peningkatan resiko diabetes mellitus (Campayo et al., 2010).

Hasil survey longitudinal The Pathways Epidemiologic Study menyatakan lebih dari 4000 pasien menderita diabetes di pusat-pusat kesehatan besar menunjukkan bahwa komorbiditas depresi pada pasien diabetes dikaitkan dengan peningkatan sepuluh kali lipat kemungkinan mengalami gangguan fungsional yang diukur dengan World Health

(16)

commit to user

Organization (WHO) Disability Scale dan meningkatkan kemungkinan

empat kali lipat untuk 20 hari atau lebih penurunan kemampuan melakukan pekerjaan rumah tangga di 90 hari terakhir. Di antara 1642 orang nonelderly dalam penelitian tersebut, komorbiditas depresi dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan empat kali lipat tidak masuk kerja lebih dari 5 hari, kesulitan yang lebih besar melakukan tugas pekerjaan, dan tingkat pengangguran yang lebih besar (Katon & Ciechanowski, 2009).

4. CBT

Terapi kognitif-perilaku (Cognitive-Behavior Therapy) adalah terapi yang terstruktur, singkat, menggunakan kerjasama antara pasien dan terapis untuk mencapai sasaran terapi yang berorientasi masalah pada saat ini serta pemecahannya. Terapi ini digunakan untuk pasien dengan depresi, gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian, dan gangguan somatoform. Terapi biasanya dilakukan secara individual, meskipun metode kelompok juga kadang bermanfaat (Newman & Beck, 2009).

Cognitive-Behavior Therapy (CBT) didasarkan atas konsep bahwa emosi dan perilaku dihasilkan (terutama,tidak semata-mata) dari proses pikiran; dan manusia dapat mengubah proses ini untuk mendapatkan cara merasa dan berperilaku yang berbeda (Froggat, 2006 cit., Sudiyanto, 2008). Terapi kognitif-perilaku berasumsi bahwa persepsi dan penghayatan seseorang itu secara umum merupakan suatu proses aktif yang mencakup data inspektif maupun introspektif. Kognisi pasien

(17)

commit to user

mencerminkan suatu sintesis dari stimulus eksternal maupun internal. Cara seseorang menilai suatu kejadian/keadaan umumnya tampak dalam kognisi mereka (pikiran dan bayangan visual). Kognisi ini yang membentuk kesadaran (consciousness) atau fenomena yang timbul. Hal ini mencerminkan pandangan mereka akan dirinya, dunianya, masa lalunya, dan masa depannya (Newman & Beck, 2009).

Perubahan dalam struktur kognitif yang mendasari akan mengubah kondisi emosi serta pola perilaku pasien. Melalui terapi psikologik, pasien akan menyadari (aware) akan distorsi kognitif yang dimiliknya. Koreksi pikiran-pikiran yang salah dan menimbulkan hendaya ini akan memperbaiki keadaan klinis seseorang (Newman & Beck, 2009).

Cara yang berguna untuk menggambarkan peran dari kognisi adalah dengan model “A-B-C” atau model rasional emosi (aslinya dikembangkan oleh Albert Ellis, model ABC ini telah diadaptasi secara umum untuk penggunaan CBT). Model ini dikembangkan oleh Froggat, 2006 menjadi A-B-C-D-E-F. Pada model ini, “A” adalah Activating event (kejadian yang mencetuskan terbentuknya keyakinan atau kepercayaan yang salah), “B” adalah Believe (keyakinan atau kepercayaan seseorang berdasarkan kejadian yang mencetuskan). Ellis menjelaskan bahwa bukan kejadian itu sendiri yang menghasilkan gangguan perasaan, tetapi interpretasi dan keyakinan atau kepercayaan orang tersebut tentang kejadian itu. “C” adalah Consequence (konsekuensi emosional dari kejadian tersebut). Dengan kata lain ini adalah pengalaman perasaan orang

(18)

commit to user

tersebut sebagai hasil dari interpretasi dan kepercayaan berkenaan dengan kejadian. “D” adalah Dispute (penggoyahan terhadap keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat, dan tidak benar kemudian menggantinya dengan keyakinan yang rasional, realistik, tepat dan benar.

“E” adalah Effect, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku. “F” adalah Further Action, mengembangkan sebuah rencana untuk bertindak lebih lanjut, apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan berpikir dan bereaksi yang tidak berguna di masa depan (Froggat, 2006 cit., Sudiyanto, 2008 ).

Model kognitif dari perilaku sehat telah diperkenalkan untuk membantu kita memahami kerumitan proses perubahan perilaku sehat dan untuk lebih memahami bagaimana perilaku ditentukan oleh keyakinan.

Dari praktek klinis, kita tahu bahwa mengedukasi pasien dan menolong mereka belajar ketrampilan teknik yang diperlukan (misalnya, menyuntik insulin, mengecek dan menginterpretasi glukosa darah) adalah prasyarat untuk perilaku perawatan diri tapi bukan berarti hal ini adalah jaminan keberhasilan. Ketika sikap kognitif merintangi, ditambah dengan kekurangan pengetahuan atau ketrampilan, adalah penghambat utama manajemen diri, maka diperlukan intervensi kognitif perilaku (Snoek et al., 1999).

Pendekatan kognitif perilaku mungkin sangat bermanfaat bagi pasien yang mengalami beberapa kegagalan dalam upaya untuk mengelola diabetes, hanya sedikit atau tidak memiliki kepercayaan dalam

(19)

commit to user

kemampuan untuk memenuhi tuntutan rejimen pengobatan, yaitu mereka yang mengembangkan keyakinan negatif yang kuat tentang diabetes terhadap diri mereka. Pikiran negatif seperti itu (misalnya, "diabetes saya adalah di luar kendali saya.") menghasilkan perasaan negatif (misalnya, sedih, marah) dan perilaku kesehatan yang maladaptif (misalnya, tidak minum obat, tidak menyuntik, makan berlebihan, tidak memeriksa glukosa darah), sehingga memperkuat siklus negatif (Rubin et al., 1990).

Premis dasar dari model perilaku kognitif adalah bahwa ada interaksi konstan antara kognisi atau keyakinan pasien tentang diabetes mereka, perasaan mereka, perilaku mereka, dan orang lain. Merubah keyakinan disfungsional pasien dengan lebih realistis akan memungkinkan mereka untuk merasa lebih nyaman dengan terapi juga oleh stres lainnya dalam kehidupan dan akibatnya akan membantu mengatasi tuntutan yang dikenakan pada mereka. Pendekatan ini berasal dari Terapi Rasional Emotif Albert Ellis (RET) dan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dari Aaron T. Beck, dua pendekatan terapi yang mirip dan telah berhasil diterapkan pada berbagai macam masalah emosional dan perilaku, termasuk depresi dan gangguan kecemasan (Newman & Beck, 2009). Dari perspektif ini, mungkin sangat membantu bagi pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol untuk belajar mengeksplorasi pikiran-pikiran otomatis mereka, menemukan bagaimana pikiran-pikiran mempengaruhi suasana hati dan perilaku mereka, dan mengubah keyakinan ini dengan

(20)

commit to user

lebih konstruktif dan pikiran yang membantu diri sendiri. Ini akan menghasilkan berkurangnya perasaan negatif dan menjadi lebih adaptif.

Ada beberapa hal yang negatif dan tidak menyenangkan tentang diabetes, dan karena itu pikiran negatif harus diakui sebagai hal yang wajar dan realistis. Pikiran seperti itu menjadi disfungsional ketika, misalnya, asumsi yang tidak valid dibuat (misalnya, "Saya akan kehilangan penglihatan saya tidak peduli apa yang saya lakukan."), Atau ketika pikiran yang dilebih-lebihkan terjadi (misalnya, "Saya tidak pernah bisa melakukan apa saja yang menyenangkan karena saya diabetes").

Pasien bisa belajar melihat secara kritis pikiran negatif yang melanda dan menggantinya dengan pikiran yang lebih positif. Sebuah contoh yang baik diberikan oleh Albert Ellis, pendiri RET pada pasien diabetes yang mengalami beberapa masalah dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan rejimen pengobatan diabetes. "... Jadi ini adalah rasa sakit! Jika saya tidak mengikuti terapi yang menjengkelkan ini, saya akan segera menciptakan rasa sakit jauh lebih besar -. Dan bahkan tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengatasinya. Adalah hal yang berat untuk tetap bertahan pada terapi ini. Tapi itu akan jauh lebih berat dampaknya jika aku tidak melakukannya” (Rubin et al., 1990).

(21)

commit to user B. Kerangka Pikir

Stressor

Cortex cerebri &

sist limbik

Aksis HPA ↑

Depresi

Perubahan neuro- hormonal

Perubahan transport

glukosa

Aktivasi

inflamasi ↑ Perilaku ↓

Resistensi insulin ↑

Kadar gula darah tidak terkontrol DM

tipe 2

CBT

Kadar gula darah terkontrol

umur, jenis kelamin, tempat tinggal, dukungan keluarga dan lingkungan

sosial, dan kepribadian Antidepresan

Kepatuhan diet, Olahraga

(22)

commit to user Keterangan gambar:

- Ketika seseorang didiagnosis DM, dapat menjadi suatu stressor yang mengganggu. Hal ini tercatat dalam korteks serebri dan system limbik.

Bagian otak ini akan mengirimkan pesan ke tubuh. Tubuh meningkatkan kewaspadaan melalui hiperaktivitas aksis HPA. Hal ini mengakibatkan seseorang rentan terhadap depresi. Disamping itu adanya penyakit DM tipe 2 sendiri dapat secara langsung mengakibatkan hiperaktivitas aksis HPA. Depresi yang terjadi pada pasien DM tipe 2 mengakibatkan perubahan neuro-hormonal, perubahan transport glukosa, peningkatan aktivasi inflamasi, serta penurunan kepatuhan terhadap program penatalaksanaan DM, termasuk kepatuhan diet dan olahraga. Semua hal tersebut mengakibatkan peningkatan resisensi insulin, sehingga kadar gula darah tidak terkontrol.

- Disamping itu depresi juga dipengaruhi faktor-faktor lain, diantaranya:

umur, jenis kelamin, tempat tinggal, dukungan keluarga dan lingkungan sosial, dan kepribadian

- Bila pasien DM yang mengalami depresi diberikan antidepressant, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kadar gula darah tidak terkontrol akibat efek hiperglikemia aktivitas noradrenergik dari antidepressant.

- Pemberian psikoterapi CBT diharapkan dapat mengubah keyakinan atau pikiran otomatis negatif yang tercatat pada korteks serebri dan system limbik, sehingga dapat menurunkan derajat depresi dan akhirnya kadar gula darah menjadi terkontroL.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis asam yang berbeda untuk menganalisis kadar Cu total dan Zn total dalam lumpur limbah industri pelapisan

Implementasi IDS pada server menggunakan jejaring sosial (facebook, twitter, dan whatsapp) sebagai media notifikasi memudahkan administrator dalam mengidentifikasi

Data Rekomendasi Safety untuk meningkatkan keselamatan KA yang telah dikeluarkan KNKT kepada penyelenggara sarana dan prasarana perkeretaapian sejak tahun 2007 sampai dengan

Semua kakitangan Jabatan Bendahari dan penjawat awam yang lain adalah tertakluk di bawah akta ini dan perhatian hendaklah diberikan supaya rahsia dan maklumat

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mencoba membuat suatu perangkat lunak sistem penentuan pemilihan jenis ikan untuk kolam, dimana aplikasi ini akan di

Masalah yang ada dalam mengevaluasi siswa terbaik adalah belum menggunakan metode yang dapat menentukan prioritas dari banyak kriteria dan belum adanya pembobotan untuk

mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan mengenai model pembelajaran blended learning yang mereka jalankan, yang mana persepsi didefinisikan oleh Atkinson (2000)