TABLE OF CONTENTS
Preface i
Acknowledgement ii
Abstract iv
Table of Contents v
List of Tables vii
List of Appendices viii
Chapter I Introduction 1
A. Background 1
B. Purposes of the Research 4
C. Research Questions 5
D. Significances of the Research 5
E. Organization of the Thesis
Chapter II Theoretical Review 12
A. Reading 12
B. Text, Reader, and Transaction 16
C. Reader Response 18
D. Literature 21
E. Related Research Findings 24
Chapter III Methodology 27
A. Research Method 27
B. Data Collection 28
C. Data Analysis 39
D. Short Description of the Novels of Harry Potter 41
Chapter IV Data Analysis 43
B. The Students’ Responses to Stories from Harry Potter 44 C. Similar Response to the Stories from Harry Potter 45 D. Different Response to the Stories from Harry Potter 46 E. Factors Influencing the Students’ Reading Habit 47
Chapter V Findings and Discussion 49
Chapter VI Conclusions and Suggestions 55
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Nilai Rujukan Guru dan Pengembangan Kurikulum
Nilai rujukan (value orientations) pada dasarnya merupakan seperangkat
keyakinan, nilai, dan gagasan yang dijadikan kerangka pikir untuk perencanaan
kurikulum dan yang mendasari tindakan pada semua tahap pengembangan
kurikulum. Dalam konteks pengembangan kurikulum, value orientations dapat
dibagi menjadi dua katagori, yaitu: nilai rujukan kurikulum (curriculum value
orientations) dan nilai rujukan kurikulum guru (Teacher’s curriculum value
orientations) atau sering disederhanakan istilahnya dengan sebutan nilai
rujukan guru atau teacher value orientation (TVO) (Jewett, Ennis dan Bain,
1995: 37).
Istilah nilai rujukan kurikulum (curriculum value orientations) diartikan
sebagai nilai rujukan yang digunakan dalam rangka mengembangkan ide dan
dokumen kurikulum oleh para pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
pada tingkat nasional (Jewett, Ennis dan Bain, 1995; Hasan, 2002). Sementara
itu istilah nilai rujukan guru (Teacher’s curriculum value orientations) diartikan
sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk mengembangkan proses
implementasi kurikulum oleh para pelaksana kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan atau sekolah dan sifatnya individual (Jewett, Ennis dan Bain, 1995;
Walaupun sampai sekarang, studi tentang TVO Pendidikan Jasmani di
Indonesia belum ada yang melakukannya, namun hasil penelitian tentang TVO
di beberapa negara maju sudah cukup banyak. Beberpa kesimpulannya antara
lain adalah bahwa: pertama, penyerapan informasi penataran atau pelatihan
oleh para peserta dipengaruhi oleh kesesuaian antara nilai rujukan yang dimiliki
peserta dengan nilai rujukan materi penataran, dan kedua, guru cenderung
melaksanakan pembelajaran dan memilih hasil belajar yang sesuai dengan nilai
rujukan yang dimilikinya.
Untuk itulah penulis berkeyakinan bahwa nilai rujukan guru (Teacher
value Orientations) memegang peranan penting dalam mengembangkan
kurikulum sebagai proses. Ennis, Mueller dan Hooper (1990), mengemukakan
pada hasil penelitiannya bahwa, “effort to implement a theoretically based
movement education curriculum would be met with limited success by those
teachers for whom the program conflicted with their value Orientations”.
Demikian juga hasil penelitian Ennis dan Zhu (1991) menunjukkan
bahwa pertama, 97% dari seluruh sampel penelitian guru Pendidikan Jasmani
(Pendidikan Jasmani) memilih hasil belajar (learning outcomes) sesuai dengan
nilai rujukannya, dan kedua, guru yang menentukan prioritas tinggi pada dua
atau lebih nilai rujukan cenderung menerapkan kurikulum eklektik dan
cenderung memiliki komitmen yang rendah terhadap dasar teori yang kuat yang
menyebabkan kesulitan dalam menerapkan programnya.
Merujuk pada pentingnya nilai rujukan guru dalam pengembangan
kurikulum sebagai proses, beberapa ahli Pendidikan Jasmani nampaknya tidak
Pendidikan Jasmani hendaknya sejalan dengan nilai rujukan pengajarnya.
Beberapa di antara para ahli tersebut misalnya Steinhardt (Jewett and Bain,
1985: 966) mengemukakan bahwa “The value orientations underlying the
models be made explicit”.
Lebih lanjut, Jewett (1994: 56) mengemukakan dalam Jurnal
Internasional Sport Science Review bahwa “The importance of making value
explicit in curriculum work is now generally acknowledged. Educational philosophy is translated into desired student learning experiences through planning curriculum activities consistent with particular value orientations”. Demikian juga Steinhardt (1992: 966), mengemukakan bahwa “The selection of
a curriculum model should be consistent with a individual’s value orientation and thus characterized by the priorities given to various outcomes of the teaching learning process”
Jewett, Ennis dan Bain (1995: 40) mengemukakan bahwa, “In translating
theory into physical education curriculum models, it is essential that the major
alternative value orientations are understood and that the individual curriculum
designer clarifies his or her personal value orientation for the physical education
curriculum”
Mengingat di Indonesia belum ada bukti hasil penelitian tentang TVO
seperti di sebutkan di atas, maka ada satu pertanyaan pokok yang belum
terjawab yaitu: apakah hal yang sama akan terjadi apabila TVO diterapkan di
Indonesia. Pertanyaan ini muncul mengingat berbagai faktor seperti
karakteristik guru, sarana dan prasarana, termasuk kurikulum di Indonesia
2. Nilai Rujukan Guru dan Model Kurikulum dan Pembelajaran
Pendidikan Jasmani
Sebagai seperangkat keyakinan, nilai, dan gagasan yang dijadikan
kerangka pikir untuk perencanaan kurikulum dan yang mendasari tindakan
pada semua tahap pengembangan kurikulum, nilai rujukan guru (Teacher
value Orientations) secara teoretis menempati posisi yang cukup jelas dalam
proses pengembangan model kurikulum dan pembelajaran Pendidikan
Jasmani. Jewett, Ennis, dan Bain (1995) mengilustrasikan keterkaitan antara
nilai rujukan guru dengan model kurikulum dan pembelajaran Pendidikan
Jasmani sebagaimana tertera pada gambar 1.1 berikut ini
Gambar 1.1
Nilai Rujukan Guru dan Model Kurikulum Pendidikan Jasmani (Jewett; Bain; dan Ennis, 1995: 53)
Ecological Integration S el f A ct u al iz a ti o n
Discipinary Mastery
L ea rn in g P ro ce ss
SOCIETY INDIVIDUAL
SUBJECT MATTER S o ci al -re c o n st ru ct io n Sport Sosialization Movement Education Fitness Education Critical
Constructive Developmental
Models Personal
Model teoretik di atas menunjukkan keterkaitan antara sumber kurikulum
(lingkaran tengah/pertama), nilai rujukan guru (lingkaran kedua), dan model
kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Jasmani (di luar lingkaran). Perbedaan
antara sumber kurikulum (lingkaran pertama) dan nilai rujukan (lingkaran ke
dua) dikemukakan oleh Jewett (1994: 56) dengan cara membandingkan
deskripsi dari keduanya sebagai berikut,
The sources of the curriculum have been viewed traditionally as the subject-matter content, the nature of the individual learner who will utilize the content, and the goal of the society whose purpose the school is intended to serve. . . . value orientations differ according to the relative and absolute values accorded to each of these three concerns
.
Dari kutipan tersebut, dapat disederhanakan bahwa sumber kurikulum
lebih bersifat tradisional dan absolut terdiri dari tiga sumber kurikulum yaitu:
subject matter, individual/learner, dan society. Sedangkan nilai rujukan bersifat
relatif merujuk pada salah satu atau lebih sumber kurikulum. Berdasarkan
kutipan tersebut penulis mengartikan nilai rujukan sebagai nilai-nilai yang
dikembangkan dari salah satu atau lebih sumber kurikulum dan dijadikan
rujukan oleh para guru dalam implementasi pembelajarannya. Nilai rujukan ini
terdiri dari lima kategori, yaitu social reconstruction, disciplinary mastery,
learning process, self actualization, dan ecological integration (Jewett, 1994).
Setiap kategori nilai rujukan dapat menghasilkan satu atau lebih model
Disciplinary mastery merupakan nilai rujukan yang paling tradisional
yang menempatkan prioritas utamanya pada penguasaan subject matter.
Contoh model kurikulumnya antara lain: pendidikan gerak (Laban, 1963; Ring,
1985), pendidikan kebugaran (American College of Sport Medicine, 2000; dan
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat AS, 1988), sport education
(Siedentop, 1990).
Social reconstruction muncul sebagai nilai rujukan dalam pengembangan
kurikulum pada tahun 1940-an di AS, pada saat perang dunia kedua ketika
keterampilan kerjasama dan kepemimpinan sangat dibutuhkan. Pandangan ini
menempatkan kurikulum sekolah sebagai kendaraan untuk menciptakan
sebuah masyarakat yang lebih baik. Prioritas utama diarahkan pada kebutuhan
masyarakat daripada kebutuhan individu. Perkembangan penerapan nilai
rujukan social reconstruction pada saat sekarang lebih diarahkan pada
pemecahan masalah diskriminasi ras, tingkatan sosial, gender, physical ability,
dan penampilan fisik.
The learning process menekankan pada proses belajar. Pengembangan
model kurikulum dan pembelajaran yang berbasis nilai rujukan ini didasarkan
pada premis yang menyatakan bahwa oleh karena volume pengetahuan yang
besar dan perubahan yang cepat akibat teknologi, maka pengembangan
keterampilan proses untuk terus belajar sama pentingnya dengan
pengembangan keterampilan apa yang kita pelajari.
Self-actualization merupakan suatu nilai rujukan yang terpusat pada
siswa yang menekankan pada otonomi individu, pertumbuhan individu, dan
difokuskan sekitar untuk membantu siswa meraih potensinya (Steinhardt,
1979). Contoh model kurikulum Pendidikan Jasmani yang didasarkan pada
nilai rujukan ini adalah developmental model dan Hellison’s social development
model (Hellison dan Templin, 1991)
Ecological integration pada dasarnya menempatkan self-actualization
sebagai bagian yang integral dari lingkungan yang selalu berubah secara
konstan. Belajar diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain di dalam
sebuah lingkungan tertentu untuk membantu siswa menciptakan kehidupan di
masa yang akan datang yang akan dilaluinya. Contoh model kurikulum
Pendidikan Jasmani yang didasarkan pada nilai rujukan ini adalah The
Personal Meaning (Jewett dan Bain, 1985).
3. Realitas Model Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani di
Indonesia
Istilah nilai rujukan kurikulum (curriculum value orientations) di Indonesia
dapat kita temukan dalam buku “Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup” yang
disebut dengan istilah “orientasi pendidikan” (Depdiknas, 2003a: 9) dan
orientasi pendidikan tersebut penekanannya pada kecakapan hidup atau life
skills. Kecakapan hidup ini diartikan sebagai “kemampuan dan keberanian
untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif,
mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya” (Depdiknas, 2003a: 10).
Kecakapan hidup ini di dalamnya terdiri dari empat dimensi, yaitu: kecakapan
pribadi, sosial, akademik dan kecakapan vokasional (PP no 19 tahun 2005,
kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, sosial (PP no 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).
Keterkaitan antara nilai rujukan kurikulum dengan kurikulum dapat dilihat
pada dokumen Ketentuan Umum Kurikulum 2004 dan Pengantar Kurikulum
2004, sebagai, “Upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara
menyeluruh . . .. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada
peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan
melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup,
menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang”
Sementara itu, keterkaitan teoretis antara konsep kecakapan hidup dan
konsep Pendidikan Jasmani dapat kita amati dari pengertian Pendidikan
Jasmani seperti tertera dalam kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut,
Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik diarahkan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional.” (Depdiknas, 2004e: 6)
Dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa substansi dari nilai
rujukan kurikulum di Indonesia pada dasarnya adalah kecakapan hidup yang
dalam dokumen kurikulum direalisasikan melalui pencapaian kompetensi
sesuai dengan mata pelajaran masing-masing. Pendidikan Jasmani itu sendiri
berfungsi sebagai alat untuk mencapai kompetensi baik yang berhubungan
langsung seperti pengembangan dan peningkatan komponen organik maupun
tidak langsung seperti komponen kognitif dan emosional. Dengan demikian
merupakan refleksi dokumenter (kurikulum sebagai dokumen) dari kecakapan
hidup yang menjadi nilai rujukan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Namun demikian, pada kenyataan di lapangan atau pada tatanan
kurikulum sebagai proses, kesenjangan akan sangat mungkin terjadi, terutama
manakala dikaitkan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang beragam dan
fenomena pembelajaran Pendidikan Jasmani selama ini.
Secara teoretis, masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki latar
belakang sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi yang sangat
beragam. Keragaman ini bisa jadi lebih kuat dari pada perbedaan filosofi, visi,
dan teori para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Lebih jelasnya Hasan
(2002: 1) mengemukakan, “Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan
kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat
dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut
para pengambil keputusan mengenai kurikulum“
Sementara itu keragaman ini berpengaruh langsung terhadap
kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam
menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses
dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat
diterjemahkan sebagai hasil belajar. Untuk itu, keragaman ini menjadi suatu
variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan
kurikulum baik sebagai proses maupun sebagai hasil.
Posisi keragaman sebagai variabel bebas berada pada tataran sekolah
dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan
Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggung-jawab
terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani kurikulum.
Lebih tegas lagi Hasan (2002: 7) mengatakan sebagai berikut,
Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh guru. Baik dalam konteks sentralisasi maupun dalam konteks otonomi, peran guru tersebut tetap sama, mereka adalah pengembang kurikulum pada tataran empirik yang langsung berkaitan dengan siswa. . . . Dalam konteks yang lebih ekstrim, kurikulum sebagai proses dapat merupakan kurikulum yang berbeda sama sekali dengan keduanya. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta kemauan guru terhadap kurikulum . . . akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum sebagai proses.
Berdasarkan fenomena yang ada, nilai rujukan guru Pendidikan Jasmani
di Indonesia memiliki kecenderungan yang bervariatif. Kecenderungan nilai
rujukan kurikulum guru tersebut dapat diamati berdasarkan kecenderungan
implementasi kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Jasmani yang
berkembang di Indonesia sekarang ini, yang spektrumnya merentang dari mulai
orientasi kebugaran hingga orientasi rekreasi.
Kecenderungan untuk meningkatkan kesegaran jasmani antara lain
dapat diamati dari bentuk-bentuk aktivitas belajar yang diberikan guru kepada
siswanya. Beberapa diantaranyanya seperti bentuk latihan untuk meningkatkan
daya tahan umum, daya tahan otot, fleksibilitas, power dan kekuatan otot.
Prinsip metode yang paling sering digunakannya adalah membuat dan
mempertahankan siswa sibuk pada intensitas dan frekuensi di atas rata-rata
dengan melakukan berbagai bentuk latihan kebugaran dan teknik dasar
sederhana dari cabang-cabang olahraga. Bentuk latihan yang diberikan kepada
siswa lebih ditujukan agar terjadi adaptasi biologis pada diri siswa dan
Kecenderungan model pembelajaran Pendidikan Jasmani lainnya
terungkap dari hasil observasi yang dikoordinir oleh Pusat Kurikulum (Pusat
Kurikulum, 2004) yang hasilnya dirumuskan ke dalam beberapa masalah antara
lain sebagai berikut,
Kecenderungan guru untuk lebih mengajarkan aspek fisik sehingga kurang
menekankan pada aspek afektif, misalnya: sportifitas, disiplin, kerjasama
dsb.
Lebih mementingkan pencapaian kemampuan cabang olahraga
dibandingkan dengan keterampilan gerak dasar.
Lebih menekankan pada gerakan anak yang harus benar dibandingkan
dengan anak bereksplorasi untuk menemukan sendiri cara yang terbaik
untuk masing-masing anak.
Kecenderungan ekstrim berikutnya diarahkan sebagai aktivitas rekreasi.
Bentuk aktivitas belajar yang diberikan terkadang tidak terlalu dipermasalahkan
yang terpenting prinsipnya adalah siswa senang dan antusias melakukannya.
Tujuan pembelajaran lebih banyak ditujukan untuk pembentukan dan
pengembangan karakter individu secara umum. Tujuan pembelajaran tersebut
seringkali bersifat abstrak dan ditujukan pada pengembangan aspek kognitif,
aestetik, kesenangan, dan keterampilan sosial siswanya. Mereka seringkali
meyakini bahwa nilai-nilai pendidikan tadi akan secara otomatis diraih
manakala siswa terlibat dalam aktivitas fisik. Kedudukan Pendidikan Jasmani
seringkali dijadikan alat untuk mendidik (moving in order to learn and to get
educated) dan bukannnya sekedar mempelajari gerakan (learning to move).
pendidikan yang terkandung di dalamnya baik dalam bentuk olahraga,
permainan tradisional, maupun aktivitas fisik di luar keduanya.
Lebih lanjut, kritik mengenai realitas Pendidikan Jasmani secara umum
juga dilontarkan oleh Crum (2002: 2), seorang ahli Pendidikan Jasmani dari
Free University, Belanda, sebagai berikut,
. . . when dealing with the tasks of the physical educator, I have in mind the physical educator as a professional teacher and expressly not the physical educator - fitness trainer or the physical educator - entertainer. . . PE can only convincingly be legitimated as a core subject in the curriculum of today’s schools if it is perceived as a teaching-learning enterprise in which youngsters are enabled to acquire the knowledge, skills and attitudes, which are needed for an emancipated, satisfying and lasting participation in the movement culture.
Kecenderungan implementasi kurikulum atau kurikulum sebagai proses
yang berbeda dari kurikulum sebagai ide dan dokumen seperti diuraikan di atas
sudah barang tentu harus dicarikan solusinya. Salah satu caranya adalah
dengan mengungkap dan mengembangkan konteks nilai rujukan kurikulum
guru dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Leonard de Vries, Vice President ICHPER.SD (International Council for
Health, Physical Education, Sport and Dance, 2002: 3) untuk kawasan Asia
mengemukakan “If we are to make an impact on the lives of all our pupils in
Asia through PE and Sport, our starting point must be the study of context, the
planning and implementation of curriculum and teaching to match the specific
context of the school”.
Steinhardt (Peterson, 1988: 973) mengemukakan bahwa “In order to
teachers’ and students’ thought process, in addition to measuring teacher
behavior and student achievement“.
Lebih lanjut, Steinhardt (Eisner and Vallance, 1974: 973; dan Jewett and
Bain, 1985: 973) mengemukakan bahwa “One aspect of teacher cognition
considered to influence the philosophical thought process of teachers is that of
educational value orientations”.
Ennis, (1992) melaporkan hasil penelitian terhadap tiga studi kasus
mengenai nilai rujukan kurikulum guru dan hasilnya dipublikasikan dalam
Journal of Teaching in Physical Education (JTPE, 1992) Vol 11 hal 373,
sebagai berikut, “value orientation can be viewed as one of several strong
attractors that influence the curricular decision-making process in the school
ecosystem”.
Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa pengembangan nilai
rujukan kurikulum guru untuk mengurangi masalah kesenjangan antara
kurikulum sebagai ide dan dokumen dengan kurikulum sebagai proses
merupakan bagian yang penting dan mendesak dilakukan di Indonesia.
Pengembangan nilai rujukan kurikulum guru, khususnya guru Pendidikan
Jasmani di Indonesia belum pernah dilakukan dan masih merupakan sesuatu
yang baru. Walaupun, pengenalannya sudah sering diupayakan dalam
berbagai kesempatan baik pada acara penataran guru Pendidikan Jasmani
maupun dalam makalah, misalnya, Lutan (2002:14) mengungkapkan istilah nilai
rujukan kurikulum guru dalam Laporan Hasil Semiloka Pengembangan
. . .. Pengalaman belajar itu disusun dan dipilih, untuk kemudian diputuskan oleh guru Pendidikan Jasmani berdasarkan nilai rujukan. Ada lima nilai rujukan yaitu: (1) penguasaan bidang studi (disciplinary mastery), (2) aktualisasi diri (Self-actualization), (3) rekonstruksi sosial (Social reconstruction), (4) proses belajar (Learning process), dan (5) integrasi lingkungan (Ecological integration)
Namun demikian, pengenalan nilai rujukan kurikulum guru tersebut
belum melibatkan proses pengkajian yang memadai. Karakteristik sekolah di
Indonesia dan di beberapa negara maju dimana nilai rujukan kurikulum guru itu
digunakan secara kontekstual bisa jadi berbeda. Kelengkapan fasilitas, sarana
prasarana, dan latar belakang guru Pendidikan Jasmani bisa jadi merupakan
variabel yang menyebabkan nilai rujukan kurikulum guru Pendidikan Jasmani
merupakan kekecualian untuk diterapkan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana terungkap pada latar belakang
masalah tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa Pendidikan Jasmani
merupakan bidang studi yang berperan penting dalam mempromosikan gaya
hidup aktif dan sehat. Demikian juga, pengalaman gerak yang didapatkan siswa
dalam pendidikan jasmani merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan
dan kesehatan siswa serta partisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga. Untuk
itu pengembangan model kurikulum dan pembelajaran dalam upaya
peningkatan efektivitas PBM merupakan sesuatu yang harus terus diupayakan.
Teacher’s Curriculum Value Orientation (TVO) merupakan salah satu
teori baru yang berdasarkan beberapa hasil penelitian selain mampu
mengurangi kesenjangan antara kurikulum sebagai ide dan dokumen dengan
dan pembelajaran pendidikan jasmani juga diyakini mampu meningkatkan
efektivitas proses pembelajaran. Namun demikian bukti empirik hasil penelitian
implementasi TVO di Indonesia belum cukup tersedia. Bukti empirik hasil
penelitian tersebut mutlak diperlukan sebelum pengembangan model kurikulum
dan pembelajaran pendidikan jasmani di lakukan, lebih-lebih konteks latar
belakang dan karakteristik guru maupun sekolah di Indonesia berbeda dari
negara dimana nilai rujukan kurikulum guru itu digunakan.
Untuk itu, sebagai langkah awal pengembangan model kurikulum dan
pembelajaran Pendidikan Jasmani di Indonesia maka masalah utama yang
ingin diperoleh jawabannya melalui penelitian ini adalah: Apakah nilai rujukan
guru (TVO) relevan di terapkan untuk mengembangkan model kurikulum dan
pembelajaran pendidikan jasmani di Indonesia?. Masalah utama tersebut
selanjutnya dijabarkan menjadi beberapa sub-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kecenderungan TVO dan model pembelajaran Pendidikan
Jasmani Sekolah Dasar di kota Bandung?
a. Bagaimanakah kecenderungan posisi TVO kelompok tradisional di
bandingkan TVO kelompok generik?
b. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan diantara jenis TVO tersebut?
c. Jenis nilai rujukan Pendidikan Jasmani apa saja yang memiliki katagori
intensitas kuat?
d. Bagaimanakah kecenderungan intensitas nilai rujukan yang dimiliki guru
Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar?
2. Apakah TVO berhubungan erat dengan efektivitas Proses Belajar Mengajar
a. Jenis TVO apa yang mempengaruhi efektivitas Proses Belajar Mengajar
(PBM) Pendidikan Jasmani secara signifikan?
b. Apakah intensitas TVO mempengaruhi efektivitas Proses Belajar
Mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani secara signifikan?
3. Apakah latar belakang guru berhubungan erat dengan TVO dan efektivitas
Proses Belajar Mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani?
a. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh latar
belakang guru terhadap TVO dan terhadap PBM?
b. Faktor-faktor apa saja dari latar belakang guru yang cenderung
mempengaruhi jenis TVO dan efektivitas Proses Belajar Mengajar (PBM)
Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar?
4. Apakah latar belakang sekolah berhubungan erat dengan TVO dan
efektivitas Proses Belajar Mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani?
a. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh latar
belakang sekolah terhadap TVO dan terhadap PBM?
b. Faktor-faktor apa saja dari latar belakang sekolah yang cenderung
mempengaruhi jenis TVO dan efektivitas Proses Belajar Mengajar (PBM)
Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar?
Sehubungan dengan pertanyaan penelitian tersebut, berikut ini perlu
kiranya dijelaskan beberapa istilah yang terlibat di dalamnya sehingga
diharapkan dapat menghindari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dalam
menafsirkan beberapa istilah dalam pertanyaan penelitian tersebut. Beberapa
1. Nilai rujukan guru atau “Teacher’s curriculum value orientations” (TVO)
diartikan sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk mengembangkan
proses implementasi kurikulum oleh para pelaksana kurikulum pada tingkat
satuan pendidikan atau sekolah dan sifatnya individual. Nilai rujukan guru
pendidikan jasmani yang diungkap dalam penelitian ini terdiri dari dua
kelompok, yang setiap kelompoknya terdiri dari empat jenis TVO. Kedua
kelompok TVO tersebut adalah kelompok generik yang terdiri Social
reconstruction, Learning process, Self-actualization, dan Ecological
integration dan kelompok spesifik atau tradisional yaitu kelompok nilai
rujukan yang berorientasi pada penguasaan materi atau disciplinary mastery
yang di dalamnya terdiri dari movement, games, fitness, dan sport.
2. Efektivitas Proses Belajar Mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani
dilambangkan dengan sinerginya fungsi variabel pembelajaran dalam PBM.
Variable tersebut meliputi variabel proses guru, variabel proses siswa, dan
variabel hasil belajar. Variable proses pembelajaran yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari ALT (active learning time) dan SME (students’
movement engagement). Hal ini didasarkan pada pernyataan Siedentop
(1991:63) yang berbunyi, ‘A criterion process variable is a measure of
student behavior that provides direct evidence of student learning. ALT
(active learning time) and OTR (opportunity to response) are both good
criterion process variables. One is based in time and the other is based on
frequency counts”. Dalam penelitian ini OTR tidak digunakan namun ada
variabel lain yang digunakan yaitu SME yang berfungsi untuk melengkapi
3. Kecenderungan model pembelajaran Pendidikan Jasmani maksudnya
adalah model pembelajaran pendidikan jasmani yang cenderung
dilaksanakan oleh para guru pendidikan jasmani dalam praktek
pembelajarannya. Kecenderungan ini didasarkan pada intensitas TVO-nya.
Model pembelajaran yang cenderung dilaksanakan guru Pendidikan
Jasmani dalam pembelajaran adalah model pembelajaran yang di dasarkan
pada TVO pada katagaori intensitas kuat (Jewett, 1994)
4. Latar belakang guru (LBG) adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan guru
pendidikan jasmani dan menurut hasil penelitian dan atau secara logika
diduga dapat mempengaruhi TVO (Jewett, 1994) maupun efektivitas PBM
(Dunkin dan Biddle 1974). Berdasarkan definisi tersebut beberapa variabel
LBG yang diungkap dalam penelitian ini adalah: masa kerja, beban
mengajar intra, beban mengajar ekstra, keterlibatan dalam organisasi
keolahragaan di luar sekolah, pengalaman mendapat pelatihan atau kursus
keolahragaan, pengalaman bidang profesi olahraga prestasi (pelatih, atlet,
wasit, dst), dan pendidikan terakhir.
5. Latar belakang sekolah (LBS) adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan
sekolah dan menurut hasil penelitian dan atau secara logika diduga dapat
mempengaruhi TVO (Jewett, 1974) maupun efektivitas PBM (Dunkin dan
Biddle 1974). Berdasarkan definisi tersebut beberapa variabel LBG yang
diungkap dalam penelitian ini adalah: Jumlah siswa sekolah, ketersediaan
sarana prasarana, lingkungan sosial, dan kondisi siswa berdasarkan
C. Asumsi Dan Hipotesis
1. Asumsi
Beberapa asumsi yang dijadikan dasar dalam merumuskan hipotesis
penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut
a) Teachers beliefs and values directly influence their choices of content
topics, their willingness to enthusiastically teach a curriculum, and the
nature of their instructional and assessment decisions (Ennis, 1992)
b) The most salient factor that constrained teacher ability to teach their values
was their (a) knowledge of teaching methods consistent with their value
profile, and (2) ability to engage students effectively in the content (Ennis,
1994)
c) When value orientations are examined within an educational ecosystem,
their influence may be constrained by the characteristics of the learner, the
instructional environment, and the social context (Ennis, 1992, pp.
373-374).
d) Guru yang memiliki intensitas tinggi pada dua jenis nilai rujukan atau lebih
cenderung menerapkan kurikulum eklektif dan memiliki komitmen rendah
terhadap dasar teori yang kuat yang seringkali menyebabkan kesulitan
dalam menerapkan programnya (Steinhardt, 1992)
e) A criterion process variable is a measure of student behavior that provides
direct evidence of student learning. ALT (active learning time) and OTR
(opportunity to response) are both good criterion process variables. One is
based in time and the other is based on frequency counts (Siedentop,
f) Pengembangan kurikulum sebagai proses sangat ditentukan oleh guru. . .
., peran guru . . . adalah pengembang kurikulum pada tataran empirik yang
langsung berkaitan dengan siswa (Hasan, 2002: 7).
g) Kurikulum sebagai proses dapat merupakan kurikulum yang berbeda sama
sekali dengan keduanya. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta
kemauan guru terhadap kurikulum . . . akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan kurikulum sebagai proses (Hasan, 2002: 7).
h) Pembelajaran pendidikan jasmani cenderung lebih mengajarkan aspek
fisik, pencapaian kemampuan cabang olahraga, dan menekankan pada
gerakan yang benar dan kurang menekankan pada aspek afektif, seperti:
sportifitas, disiplin, kerjasama dsb. Pusat Kurikulum (2004)
i) Lemahnya sentuhan pedagogik serta didaktifk dan metodik merupakan
indikasi tentang ketidakselarasan kompetensi yang dibekali dalam proses
pendidikan pra jabatan, sementara dalam proses jabatan, guru pendidikan
jasmani pada umumnya sangat kurang memperoleh pelatihan tambahan
(Lutan 2002:10)
j) Karakteristik sekolah di Indonesia dan di beberapa negara maju dimana
nilai rujukan kurikulum guru itu digunakan, secara kontekstual bisa jadi
berbeda. Kelengkapan fasilitas, sarana prasarana, dan latar belakang guru
pendidikan jasmani sangat mungkin merupakan variabel yang
menyebabkan nilai rujukan kurikulum guru pendidikan jasmani merupakan
2. Hipotesis
Berdasarkan beberapa asumsi sebagaimana telah dikemukakan di atas
maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah bahwa “nilai rujukan guru (TVO)
Pendidikan Jasmani sangat relevan di terapkan untuk mengembangkan model
kurikulum dan pembelajaran pendidikan jasmani di Indonesia. Beberapa
sub-hipotesis yang diajukan adalah
a. Efektivitas PBM Pendidikan Jasmani memiliki korelasi yang signifikan
dengan nilai rujukan guru (TVO) Pendidikan Jasmani.
1) Efektivitas PBM dipengaruhi secara positif signifikan oleh jenis nilai
rujukan kelompok generik dan secara negatif signifikan oleh jenis nilai
rujukan kelompok tradisional
2) Efektivitas PBM dipengaruhi secara signifikan oleh intensitas nilai
rujukan guru (TVO) Pendidikan Jasmani.
b. Latar belakang guru (LBG) memiliki korelasi yang signifikan dengan TVO
dan efektivitas Proses Belajar Mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani.
1) Latar belakang guru berpengaruh secara signifikan terhadap TVO dan
tidak signifikan terhadap PBM.
2) Nilai rujukan guru Pendidikan Jasmani sekolah dasar dipengaruhi
secara signifikan oleh latar belakang guru dilihat berdasarkan masa
kerja, beban mengajar, keterlibatan dalam kegiatan olahraga, dan
jenjang pendidikan.
c. Latar belakang sekolah (LBS) memiliki korelasi yang signifikan dengan
1) Latar belakang sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap TVO
dan tidak signifikan terhadap PBM.
2) Kecenderungan jenis nilai rujukan yang dimiliki guru Pendidikan
Jasmani sekolah dasar dipengaruhi secara signifikan oleh latar
belakang sekolah dilihat berdasarkan jumlah siswa, sarana prasarana,
lingkungan sosial sekolah, dan kondisi siswa.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teori nilai
rujukan kurikulum Pendidikan Jasmani yang sesuai dengan situasi dan kondisi
lingkungan persekolahan di Indonesia. Secara lebih terperinci tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan teori nilai rujukan kurikulum guru (TVO) Pendidikan
Jasmani guna pengembangan model kurikulum dan pembelajaran
Pendidikan Jasmani di Indonesia.
b. Mengungkap keterkaitan antara TVO Pendidikan Jasmani dengan
efektivitas proses pembelajaran Penjas di Indonesia.
c. Mengungkap keterkaitan antara latar belakang guru dan sekolah dengan
TVO dan efektivitas pembelajaran Pendidikan Jasmani di Indonesia.
e. Menghasilkan rekomendasi model kurikulum dan pembelajaran Pendidikan
Jasmani berdasarkan nilai rujukan kurikulum guru pendidikan jasmani yang
berkembang di Indonesia.
f. Memperoleh teori “nilai rujukan kurikulum guru” Pendidikan Jasmani di
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Nilai rujukan guru Pendidikan Jasmani merupakan salah satu teori baru
yang menarik banyak perhatian para pengembang Pendidikan Jasmani.
Rekomendasi terkenal dari teori tersebut adalah bahwa pengembangan model
kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Jasmani harus relevan dengan nilai
rujukan gurunya manakala diharapkan hasil yang lebih baik. Namun demikian
bukti empirik mengenai latar belakang (baik sekolah maupun guru) yang
mempengaruhi jenis dan intensitas nilai rujukan guru demikian juga efeknya
terhadap implementasi kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Jasmani,
belum pernah ada yang menelitinya di Indonesia. Pengembangan nilai rujukan
Pendidikan Jasmani melalui penelitian faktor-faktor yang mempengaruhinya
dan efeknya terhadap PBM sangat penting dilakukan, lebih-lebih konteks sosial
budaya dan fasilitas pembelajaran di Indonesia sangat berbeda dan sangat
mungkin memberikan kontribusi yang berbeda pula.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh masukan berupa
dalil-dalil atau prinsip-prinsip pengembangan kurikulum sebagai proses yang
didasarkan pada efektivitas TVO dalam mengembangkan model kurikulum dan
pembelajaran Pendidikan Jasmani. Efektivitas TVO ini dikaji berdasarkan pada
1) keeratan hubungan antara TVO dengan jumlah waktu aktif belajar atau
Active Learning Time (ALT) siswa dan dengan angka partisipasi siswa atau
Student’s Movement Engagement (SME), 2) keeratan hubungan antara latar
belakang guru dengan TVO dan efektivitas PBM Pendidikan Jasmani, dan 3)
PBM Pendidikan Jasmani. Apakah teori nilai rujukan guru Pendidikan Jasmani
ini sudah cukup stabil atau perlu dimodifikasi dalam pengembangan model
kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Jasmani, jawabannya bergantung
pada hasil penelitian ini.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis implementasi pengembangan model kurikulum dan
pembelajaran Pendidikan Jasmani berdasarkan nilai rujukan guru dapat
memfasilitasi kesempatan munculnya aneka ragam model kurrikulum dan
pembelajaran Pendidikan Jasmani namun tetap berada dalam koridor nilai
rujukan yang terkendali dan PBM yang efektif. Untuk itu manfaat praktis yang
dapat diperoleh melalui penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut,
1) Bagi pihak pengambil keputusan, hasil penelitian berupa teori nilai rujukan
kurikulum guru yang dapat meningkatkan efektivitas kurikulum dan
pembelajaran Pendidikan Jasmani dapat didesiminasikan dan
direalisasikan dalam pengembangan model kurikulum dan pembelajaran
Pendidikan Jasmani di sekolah-sekolah sesuai karakteristik guru, sekolah,
serta jenis dan intensitas TVO nya.
2) Bagi guru, penggunaan model pembelajaran Pendidikan Jasmani
berdasarkan nilai rujukan kurikulum yang diyakininya dapat memberikan
kenyamanan dalam melakukan tugas mengajarnya, yang pada akhirnya
akan menyebabkan kinerja guru lebih baik, selalu berusaha bekerja keras
untuk meraih hasil yang diinginkan.
3) Bagi siswa, pengalaman belajar melalui penerapan model pembelajaran
angka partisipasi siswa (SME) dalam PBM dan jumlah waktu aktif
belajarnya (ALT) sehingga hasil belajar siswa cenderung akan maksimal.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
deskriptif dengan menggunakan tipe studi korelasional (Ary, Jacob dan
Razavieh, 1990: 381). Fraenkel dan Wallen (1993: 286) mengemukakan,
”Correlational research attempts to investigate possible relationships among
variables. Although correlational studies cannot determine the causes of
relationship, they can suggest them”.
Penetapan penggunaan metode tersebut disesuaikan dengan
karakteristik dari penelitian ini. Studi korelasional sering digunakan untuk tujuan
penelitian yang bersifat eksploratif, yaitu memperoleh gambaran keterkaitan
diantara variabel atau beberapa variabel, dan prediktif, yaitu memprediksi suatu
variabel berdasarkan variabel tertentu. Sementara itu besaran tujuan penelitian
ini adalah ingin mendapatkan informasi mengenai relevansi penerapan teori
nilai rujukan guru (TVO) untuk mengembangkan model kurikulum dan
pembelajaran pendidikan jasmani di Indonesia. Untuk itu dilakukan
pengungkapan mengenai 1) profil nilai rujukan guru Pendidikan Jasmani atau
Teacher’s Curriculum Value Orientations (TVO), 2) factor-faktor yang
mempengaruhi TVO dan efektivitas PBM Pendidikan Jasmani, serta 3)
pengaruh TVO terhadap efektivitas PBM Pendidikan Jasmani. Dengan
demikian peneliti berkeyakinan bahwa studi korelasional cocok digunakan
F. Teknik dan Instrumen
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: teknik
angket, observasi dan dokumentasi. Instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Angket Value orientation Inventory (VOI) dan pra kondisi pembelajaran
Pendidikan Jasmani, dikembangkan oleh Ennis dan Chen (1993).
2. Daftar isian latar belakang guru yang di dalamnya berisikan masa kerja,
beban kerja, kiprah keolahragaan, dan pendidikan
3. Daftar isian latar belakang sekolah yang di dalamnya berisikan jumlah
siswa, ketersediaan sarana prasarana, lingkungan sosial, dan kondisi siswa.
4. Pedoman observasi ruang terbuka di sekolah tempat guru mengajar
Pendidikan Jasmani, yaitu blangko inventarisasi luas lahan tempat yang
biasa digunakan untuk melaksanakan PBM Pendidikan Jasmani
5. Pedoman observasi efektivitas mengajar Pendidikan Jasmani yang terdiri
dari instrumen:
a. Pedoman observasi Active Learning Time-Physical Education (ALT-PE)
yang dikembangkan oleh Judith (1993: 308).
b. Pedoman observasi Student’s Movement Engagement (SME-PE) yang
dikembangkan oleh Siedentop (1991: 316).
Mengingat jenis data yang akan diolah dalam penelitian ini bervariasi,
maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik non-parametrik,
yaitu teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data yang berbentuk
nominal dan ordinal dan tidak dilandasi persyaratan data harus berdistribusi
mengolah data hasil penelitian ini disesuaikan dengan jenis data yang
diolahnya serta bentuk hipotesis yang diujinya. Pada kasus pengolahan
terhadap dua data yang salah satu datanya mempunyai tipe lebih rendah, maka
akan diambil penggunaan metode dengan data yang lebih rendah derajatnya.
Korelasi antara variabel bertipe nominal dengan ordinal, maka akan digunakan
ukuran korelasi nominal.
G. Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Pendidikan Jasmani
Sekolah Dasar di Kota Bandung. Sampel diambil secara purposive sebanyak
30 guru Pendidikan Jasmani yang terdiri dari semua guru Pendidikan Jasmani
SD IPOR (yang jumlahnya 10 guru Pendidikan Jasmani; satu SD IPOR satu
guru Pendidikan Jasmani) dan 20 guru Pendidikan Jasmani SD reguler yang
guru Pendidikan Jasmaninya sedang mengikuti perkuliahan lanjutan di FPOK
UPI dan yang tugas mengajarnya berada di lingkungan dinas Kota Bandung.
Dengan asumsi sebagaimana dikemukakan oleh pihak Dinas Pendidikan Kota
Bandung bahwa Sekolah Dasar selain SD IPOR/reguler memiliki karakteristik
fasilitas belajar dan kualitas guru Pendidikan Jasmani yang relatif sama satu
sama lain. Dengan demikian teknik sampling yang peneliti lakukan adalah
Purposive Sampling, yaitu sebagaimana dikemukakan Fraenkel dan Wallen,
(1993: 88), “. . ., researchers use their judgement to select sample which they
believe, base on prior information, will provide the data they need”. Sementara
itu, Ary, Jacob dan Razavieh (1990: 177), mengatakan, “In purposive sampling .
. ., sample elements judged to be typical, or representative, are chosen from the
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan tipe
studi korelasional. Studi ini digunakan karena sebagaimana dikatakan Fraenkel
dan Wallen (1993), ”Correlational research attempts to investigate possible
relationships among variables. Although correlational studies cannot determine
the causes of relationship, they can suggest them”.
Penelitian korelasi sering digunakan untuk tujuan eksplorasi, yaitu
memperoleh gambaran keterkaitan diantara variabel atau beberapa variabel,
dan tujuan prediksi, yaitu memprediksi suatu variabel berdasarkan variabel
tertentu. Oleh karena itu penggunaan penelitian korelasi dalam penelitian ini
sesuai dengan karakteristik dari penelitian ini, yaitu melakukan eksplorasi
terhadap sejumlah kelompok variabel yang berhubungan dengan nilai rujukan
guru (TVO) Pendidikan Jasmani di lapangan. Beberapa kelompok variabel
yang dilibatkan dalam penelitian ini antara lain meliputi kelompok variabel latar
belakang guru, latar belakang sekolah, nilai rujukan guru (TVO) Pendidikan
Jasmani, dan kelompok variabel efektivitas pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Pertanyaan umum yang ingin diperoleh jawabannya melalui penelitian
ini adalah bagaimanakah keterkaitan diantara variabel-variabel yang berada
dalam kelompok variabel latar belakang guru, latar belakang sekolah, nilai
rujukan guru (TVO), dan efektivitas pembelajaran tersebut, serta prediksi apa
yang dapat direkomendasikan dari korelasi tersebut untuk mendapatkan model
pengembangan efektivitas pembelajaran Pendidikan Jasmani berbasis nilai
rujukan guru (Teacher’s Curiculum Value Orientations/TVO) tersebut telah di
tampilkan pada gambar 2.9 sebelumnya, namun untuk memudahkan pembaca,
[image:32.595.97.525.226.617.2]maka berikut ini ditampilkan lagi pada gambar berikut.
Gambar 3.1
Model Studi Korelasi Pengembangan Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Jasmani Berbasis Nilai Rujukan Guru (Teacher’s Curiculum Value Orientations)
Perlu kiranya peneliti jelaskan sekali lagi bahwa gambar 3.1 di atas
bukanlah merupakan gambar model kajian analisis jalur (path analysis) karena
memang tidak menggunakan menggunakan analisis jalur sebagai akibat tidak
terpenuhinya asumsi dasarnya, khususnya jenis datanya yang beragam. Oleh
karena itu, gambar 3.1 di atas merupakan gambar model kajian analisis
korelasi yang digunakan untuk pengembangan efektivitas pembelajaran
Pendidikan Jasmani berbasis nilai rujukan guru (TVO). Secara lebih rinci,
variabel dari masing-masing latar belakang guru (LBG) dan latar belakang
sekolah (LBS), TVO, dan efek proses pembelajarannya, telah ditampilkan pada
Masa kerja guru Beban intra Beban ekstra Organisasi keORan Pelatihan/kursus Olahraga Prestasi Jenjang Pendidikan
Jml Siswa Sekolah Lahan Terbuka Peralatan Dukungan KS Dukungan Guru Kelas Dukungan Orang tua siswa Kesenangan siswa thdp Penjas Kemampuan gerak siswa Kebugaran jasmani siswa Kemampuan kerjasama siswa Percaya diri siswa
tabel 2.4 pada bab sebelumnya, namun untuk kepentingan memudahkan
[image:33.595.98.530.231.696.2]pembaca maka berikut ini ditampilkan lagi pada pada tabel sebagai berikut.
Tabel. 3.1
Variabel Latar Belakang, TVO (Teacher’s Curiculum Value Orientations), dan PBM yang Diungkap dalam Penelitian
Latar Belakang TVO PBM
L B G ( L a ta r B el a k a n g G u ru
) Masa kerja guru
Movement Games Sport Fitness Learning Process Self-Actualization Ecological Integration Social Reconstruction Student’s Movement Engagement (SME) Active Learning Time (ALT
Beban Beban intra Beban ekstra Kiprah Organisasi keolahragaan Pelatihan/kursus Olahraga Prestasi Jenjang Pendidikan L B S ( L a ta r B el a k a n g S ek o la h ) ∑Siswa Sekolah Sarana/ Prasarana
Lahn Terbuka PBM Penjas Peralatan PBM Penjas
Ling. Sosial
Dukungan Kepala Sekolah Dukungan Guru Kelas Dukungan Orang tua siswa
Kondisi Siswa
Data sebagaimana tertera pada tabel 3.1 tersebut di atas selanjutnya
dianalisis keterkaitannya satu sama lain dengan menggunakan statistik tertentu
yang sesuai. Hasil analisis tersebut akan merupakan kesimpulan penelitian
dalam bentuk rekomendasi pengembangan model pembelajaran Pendidikan
Jasmani di Sekolah Dasar. Dengan demikian peneliti berkeyakinan bahwa
studi korelasi cocok digunakan dalam penelitian ini.
Secara umum, struktur dasar pemikiran pengembangan model
pembelajaran Pendidikan Jasmani berbasis nilai rujukan guru ini merujuk pada
teori Dunkin dan Biddle (1974), dimana variabel latar belakang guru (LBG)
berfungsi sebagai variabel presage, latar belakang sekolah (LBS) berfungsi
sebagai variabel context, dan variabel PBM berfungsi sebagai variabel
process. Sementara itu, variabel nilai rujukan guru (TVO) berada diantara
variabel presage, variabel context, dan variabel process. Untuk mengetahui
keterkaitan antara variabel presage, context, TVO, dan variabel process dalam
rangka mengembangkan efektivitas pembelajaran maka perlu dilakukan model
studi korelasi sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini.
B. Populasi dan Sampel
Terkait dengan tujuan umum dari penelitian ini sebagaimana disebutkan
di atas, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Pendidikan
Jasmani Sekolah Dasar/ SD di Kota Bandung. Namun demikian, berdasarkan
informasi yang diperoleh, hingga saat penelitian ini dilakukan, dinas kota
Bandung belum memiliki data base mengenai jumlah guru Pendidikan Jasmani
yang berada di wilayahnya baik untuk tingkat SD, SMP, maupun SMU. Untuk
Bandung agar medapatkan beberapa Sekolah Dasar yang representatif untuk
dijadikan sampel penelitian (dari yang terbaik, rata-rata dan kurang memadai).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kota Bandung, diperoleh keterangan bahwa
di lingkungan Dinas Kota Bandung dikembangkan 10 buah SD Induk
Pengembang Olahraga (IPOR). Beberapa diantara perbedaan karakteristik SD
IPOR daripada SD yang bukan IPOR adalah selain fokus perhatian terhadap
pengembangan keolahragaan yang di atas rata-rata juga memiliki guru
Pendidikan Jasmani yang bisa dipercaya oleh Dinas Kota Bandung untuk
mengembangkan Pendidikan Jasmani dan Olahraga di lingkungan
persekolahan. Terhadap kesepuluh SD IPOR tersebut selanjutnya peneliti
jadikan sampel penelitian sebagai perwakilan dari kelompok sekolah yang
concerned pada olahraga. Kesepuluh sekolah tersebut dapat dilihat pada tabel
[image:35.595.98.529.216.733.2]3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2
Sampel Sekolah Dasar Induk Pengembang Olahraga (IPOR) di Lingkungan Kota Bandung
No Nama SD IPOR Alamat
1 SDN Panyileukan 03 Komp. Bumi Panyileukan B.6. 15 No. 23 Bdg
2 SDN Banjarsari 3 Jl. Merdeka No. 22 Bandung
3 SDN Bintang Mulia Jl. Mekar Kencana
4 SDN Pelita Jln. Rajamantri Kidul No 4 Bdg
5 SDN Soka 34/4 Jl. Soka No. 34 Bdg
6 SDN Percobaan Jl. Sabang no 2 Bandung
7 SD Karang Pawulang Jl. Karawitan 81 Bandung
8 SDN Babakan Surabaya Babakan Surabaya
9 SDN Leuwipanjang 2 Komp. Muara Sari
Sedangkan untuk mendapatkan sampel guru dari sekolah selain SD
IPOR, Dinas Pendidikan Kota Bandung tidak memiliki rekomendasi spesifik.
Hal ini karena selain dari SD IPOR sebagaimana yang telah disebutkan tadi,
pihak Dinas Pendidikan Kota Bandung tidak memiliki rujukan yang tegas untuk
membuat rekomendasi yang spesifik. Sekolah Dasar selain SD IPOR memiliki
karakteristik fasilitas belajar dan kualitas guru Pendidikan Jasmani yang
dianggap relatif sama satu sama lain. Beberapa sekolah dasar mungkin sama
seperti karakteristik yang dimiliki SD IPOR atau bahkan mungkin sangat kurang
memadai untuk pelaksanaan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Terkait dengan karakteristik sekolah selain SD IPOR yang dianggap
relatif sama oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung, maka sampling terhadap
sekolah selain dari SD IPOR diambil dari Sekolah Dasar yang guru Pendidikan
Jasmaninya sedang mengikuti perkuliahan lanjutan di FPOK UPI dan yang
tugas mengajarnya berada di lingkungan dinas Kota Bandung. Dengan
demikian teknik sampling yang peneliti lakukan adalah Purposive Sampling,
yaitu sebagaimana dikemukakan Fraenkel and Wallen (1993: 88), “. . .,
researchers use their judgement to select sample which they believe, base on
prior information, will provide the data they need”.
Sementara itu, Ary, Jacob, dan Razavieh (1990), mengatakan, “In
purposive sampling. . ., sample elements judged to be typical, or
representative, are chosen from the population”. Fraenkel and Wallen (1993:
294) menanggapi penentuan sampel dalam penelitian korelasi sebagai berikut,
“The sample for correlational study, as in any type of study, should be selected
penentuan sampel dalam penelitian korelasi dapat saja dilakukan berdasarkan
purposive sampling. Secara keseluruhan sekolah dasar reguler yang guru
Pendidikan Jasmaninya dijadikan sampel penelitian tersebut dapat dilihat pada
[image:37.595.96.529.222.731.2]tabel 3.2 pada halaman berikut
Tabel 3.3
Sampel Sekolah Dasar Reguler
Tempat Sampel Guru Pendidikan Jasmani Mengajar
No Nama SD Alamat
1 SDN KiaraCondong 06 Jln. Warung Jambu no
2 SDN Pindad 2 Jln. Papanggungan no 2
3 SDN Babakan Ciparay 18 Babakan Ciparay 18
4 SDN Raya Barat 2 Jln. Jend. Sudirman 587 Bdg
5 SDN WARUNG JAMBU 1 Jln. Warung Jambu no 28 Kircon
6 SDN Ujung Berung 3 Ujung Berung
7 SDN Griya Bumi Antapani 32 Jln. Tanjungsari 6 no 40
8 SDN Babakan Sentral 1 Jln. Terusan PSM no 2 Bdg
9 SDN Sukapura 1 Jln. Terusan PSM no 1 Bdg
10 SDN Margahayu Utara 3 Jln. Cibolerang no 185
11 SDN Griya Bumi Antapani 13/1 Antapani 13/1
12 SDN Kiara Condong 3 Jln. Ibrahim Adji
13 SDN Jamika Jln. Jamika 2 Gg Pa Oyon
14 SDN Babakan Sari 2 Jln. Babakan Sari 173
15 SDN Ujung Berung 2 Jln. Cigending Uber
16 SDN COBLONG 1 Jln. Ir H Juanda no 304 Bdg
17 SDN Mekargalih Uber Jln. Sekemala Pasanggrahan Uber
18 SDN Pindad 1 Jln. Papanggungan Bdg
19 SDN Cisitu 2 Jln. Sangkuriang No. 87 Bandung
Alasan guru Pendidikan Jasmani yang sedang mengikuti perkuliahan
lanjutan di FPOK UPI dijadikan sampel penelitian adalah selain mereka
berpeluang homogen dari sisi TVO dan fasilitas belajar Pendidikan Jasmani
yang dimiliki sekolah tempat mengajarnya, juga karena mereka akan relatif
lebih mudah untuk berkolaborasi dengan peneliti dalam memperlancar
pelaksanaan penelitiannya. Ary, Jacob, dan Razavieh, (1990: 177)
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dari purposive sampling sebagai
berikut, “Because of its low cost and convenience, purposive sampling has
been useful . . .”Sedangkan kelemahannya adalah “The assumption that errors
in judgement would [be] necessarily [to] counterbalance one another is not
always credible”.
Dengan demikian keseluruhan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 30 guru Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar yang berasal dari
lingkungan Dinas Kota Bandung. Fraenkel and Wallen (1993: 294) menanggapi
jumlah sampel dalam penelitian korelasi sebagai berikut, “The minimum
acceptable sample size for a correlational study is considered by most
researchers to be no less than 30. Dengan demikian jumlah sampel dalam
penelitian korelasi yang dilakukan ini masih berada dalam batas jumlah yang
dapat diterima oleh para ahli penelitian.
Dari keseluruhan sampel penelitian yang jumlahnya 30 guru Pendidikan
Jasmani dari 30 Sekolah Dasar di lingkungan Dinas Kota Bandung tersebut, 10
guru Pendidikan Jasmani berasal dari SD IPOR dan 20 guru Pendidikan
Jasmani berasal dari SD reguler. Dengan demikian meskipun kemungkinan
hasil, dengan cara seperti ini diharapkan akan tetap dapat terwakili. Secara
lebih lengkap distribusi geografis lokasi kecamatan dimana sampel sekolah
tempat guru Pendidikan Jasmani berada, dapat dilihat pada tabel 3.4 sebagai
[image:39.595.95.527.227.636.2]berikut.
Tabel 3.4
Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Kecamatan, SD IPOR dan SD Reguler
No Kecamatan SD IPOR SD Reguler ∑SD
1 KIARA CONDONG 1 9 10
2 BOJONG LOA KIDUL 2 1 3
3 UJUNG BERUNG - 3 3
4 BABAKAN CIPARAY - 2 2
5 BATU NUNGGAL 2 - 2
6 CICADAS - 2 2
7 COBLONG - 2 2
8 SUMUR BANDUNG 2 - 2
9 BANDUNG WETAN 1 - 1
10 CIBIRU 1 - 1
11 MARGACINTA - 1 1
12 REGOL 1 - 1
Jumlah 10 20 30
C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari teknik angket dan observasi. Angket dan observasi tersebut pada
Namun karena alasan konteksnya sangat berbeda baik dilihat dari bahasa
yang digunakannya (Inggris), karakteristik guru Pendidikan Jasmani sebagai
respondennya, fasilitas belajar Pendidikan Jasmaninya, maupun nilai-nilai
Pendidikan Jasmani itu sendiri, maka terhadap semua instrumen yang akan
digunakan tersebut terlebih dahulu dilakukan analisis validitas isi (content
validity) sebelum selanjutnya diujicobakan.
Analisis validitas isi ditujukan untuk memperoleh instrumen yang valid
berdasarkan kriteria isi. Instrumen yang valid adalah instrumen yang mampu
mengukur apa yang hendak diukur (Baumgartner dan Jackson, 1995). Analisis
validitas isi ini dilakukan dengan cara: analisis isi (content), analisis lapangan,
dan diskusi dengan pembimbing. Analisis isi dilakukan dengan cara
mengungkap isi (content) termasuk komponen yang terdapat pada
masing-masing instrumen yang akan digunakan. Analisis lapangan didasarkan pada
hasil diskusi dengan teman sejawat dengan pertimbangan pelaksanaan dan
keterlaksanaan substansi atau isi instrumen dalam konteks PBM Pendidikan
Jasmani pada umumnya di Indonesia. Diskusi dengan pembimbing untuk
memperbaiki dan melengkapi kekurangan instrumen yang sebelumnya sudah
dikembangkan melalui proses analisis konten dan analisis lapangan.
Berdasarkan uji validitas isi tersebut, selain terjadi perubahan dari sisi
bahasa, juga pada instrumen VOI terjadi penambahan isi (nilai rujukan), yang
tadinya lima menjadi delapan nilai rujukan Pendidikan Jasmani. Untuk lebih
jelasnya, semua instrumen pengumpulan data tersebut diuraikan berdasarkan
1. Angket
Instrumen pengumpul data dalam bentuk angket yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: Value Orientation Inventory (VOI), persepsi guru
mengenai pra-kondisi dan kondisi PBM Pendidikan Jasmani, dan daftar isian
identitas, latar belakang, dan beban kerja guru Pendidikan Jasmani.
a. Value Orientation Inventory (VOI)
Value Orientation Inventory (VOI) merupakan instrumen yang ditujukan
untuk mengungkap Teacher Value Orientations (TVO) dikembangkan oleh
Ennis dan Chen (1993) dalam upaya mengembangkan kurikulum Pendidikan
Jasmani di USA. Instrumen ini berisikan sejumlah kelompok pernyataan tujuan
pembelajaran Pendidikan Jasmani yang pada dasarnya mencerminkan lima
kelompok nilai rujukan Pendidikan Jasmani yang umum diharapkan dapat
diraih oleh siswa. Melalui instrumen ini, responden diminta untuk merengking
setiap tujuan Pendidikan Jasmani secara berurutan berdasarkan skala prioritas
nilai rujukannya, yaitu disciplinary mastery, ecological integration, learning
process, social reconstruction, dan self-actualization.
Untuk kepentingan penelitian nilai rujukan Pendidikan Jasmani di
Indonesia, terhadap ke lima kelompok nilai rujukan Pendidikan Jasmani
tersebut selanjutnya dilakukan analisis lapangan untuk mengetahui apakah ke
lima nilai rujukan tersebut layak digunakan dalam konteks Pendidikan Jasmani
di Indonesia atau masih perlu pengembangan. Analisis lapangan dilakukan
dengan cara menelusuri beberapa dokumen Satuan Acara Pengajaran/ SAP
GBPP Pendidikan Jasmani. Berdasarkan analisis lapangan tersebut diperoleh
bahwa salah satu nilai rujukan, yaitu disciplinary mastery berkembang menjadi
lebih spesifik dan membentuk empat kelompok nilai rujukan baru yaitu
movement, fitness, game, and sport. Dengan demikian untuk kepentingan
penelitian di Indonesia, ke lima kelompok nilai rujukan yang dituangkan dalam
VOI tersebut dikembangkan menjadi delapan kelompok nilai rujukan, yaitu:
disciplinary mastery, ecological integration, learning process, social
reconstruction, self-actualization, movement, fitness, game, dan sport.
Terhadap ke delapan kelompok nilai rujukan Pendidikan Jasmani tersebut
selanjutnya dilakukan uji coba dan analisis statistik sebagaimana dijelaskan
pada uraian ujicoba instrumen dalam naskah ini.
b. Angket Pra Kondisi dan Kondisi PBM Pendidikan Jasmani
Angket pra-kondisi PBM Pendidikan Jasmani merupakan instrumen
yang ditujukan untuk mengungkap kondisi variabel sebelum PBM Pendidikan
Jasmani berlangsung, dikembangkan oleh Ennis dan Chen (1993) satu paket
dengan VOI. Instrumen ini berisikan tiga kelompok pernyataan mengenai
pra-kondisi PBM, yaitu kelompok pernyataan mengenai: dukungan (kepala
sekolah, guru kelas, dan orang tua siswa), ketersediaan peralatan
pembelajaran Pendidikan Jasmani, dan kondisi siswanya. Pada instrumen ini,
responden diminta merespon setiap pernyataan dengan cara memberi tanda
cek (√) pada salah satu alternatif jawaban (sangat setuju, setuju, tidak setuju,
Sementara itu, angket kondisi PBM Pendidikan Jasmani merupakan
instrumen yang ditujukan untuk mengungkap kondisi variabel PBM Pendidikan
Jasmani, dikembangkan oleh Judith (1993) dalam upaya mendiagnosis dan
mengembangkan keterampilan mengajar (teaching skills) para guru Pendidikan
Jasmani. Instrumen ini berisikan dua kelompok besar pernyataan mengenai
kondisi proses pembelajaran, yaitu kelompok perilaku guru dan perilaku siswa
saat PBM Pendidikan Jasmani berlangsung. Pada instrumen ini, responden
diminta merespon setiap pernyataan dengan cara memberi tanda cek (√) pada
salah satu alternatif jawaban (selalu, sering, jarang, dan tidak pernah)
berdasarkan persepsinya masing-masing.
c. Daftar Isian Guru Pendidikan Jasmani
Daftar isian guru Pendidikan Jasmani merupakan instrumen yang
ditujukan untuk mengungkap identitas, latar belakang, dan beban kerja guru
Pendidikan Jasmani, dikembangkan sendiri sesuai kebutuhan. Oleh karena
data identitas, latar belakang, dan beban kerja guru bersifat terbuka dan
bervariasi, maka instrumen inipun bersifat terbuka, yaitu: responden diminta
menjawab setiap pertanyaan dengan cara menuliskan jawabannya secara
langsung pada tempat yang sudah disediakan berdasarkan kondisi objektif
yang dirasakan responden.
2. Observasi
Instrumen pengumpul data dalam bentuk observasi yang digunakan
Time Analysis, Student Behavior Analysis, dan daftar cek (Checklist) mengenai
perilaku guru dan perilaku siswa dalam PBM Pendidikan Jasmani.
a. Lahan Terbuka
Instrumen observasi lahan terbuka fasilitas belajar Pendidikan Jasmani
merupakan instrumen yang ditujukan untuk mengungkap luas lahan terbuka
fasilitas yang biasa digunakan untuk pembelajaran Pendidikan Jasmani. Pada
instrumen ini, observer diminta mengobservasi dan mencatat luas lahan
terbuka fasilitas yang biasa digunakan untuk pembelajaran Pendidikan
Jasmani.
b. Student Time Analysis
Instrumen observasi Student Time Analysis merupakan instrumen yang
ditujukan untuk mengungkap distribusi dan proporsi pemanfaatan waktu
pembelajaran Pendidikan Jasmani oleh siswa, dikembangkan oleh Siedentop,
D (1991) digunakan untuk mendapatkan informasi yang akan dijadikan dasar
analisis curahan waktu aktif belajar Pendidikan Jasmani (Active Learning
Time-Physical Education/ALT-PE). Metode observasi dalam menggunakan
instrumen ini adalah duration recording dan group time sampling, yaitu
observer mencatat lamanya waktu (duration recording) yang ditampilkan siswa
sampel pada setiap katagori perilaku yang diobservasinya dalam kurun
kelompok waktu pembelajaran yang dijadikan sampel (group time sampling)
yang jumlahnya 3 x 15 menit.
Sampel waktu 15 menit pertama diambil dari waktu pembelajaran 30
30 menit ke dua, dan sampel waktu 15 menit ke tiga diambil dari waktu
pembelajaran 30 menit terakhir, permulaan dimulainya observasi dari
masing-masing sampel waktu ditentukan berdasarkan acak sistematis, maksudnya
hasil acak terhadap penentuan permulaan dimulainya observasi dari sampel
waktu yang pertama berlaku juga untuk p